KELOMPOK 7
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS INDONESIA
2012
1. PERUBAHAN IKLIM
Istilah perubahan iklim sering digunakan secara tertukar dengan istilah pemanasan global, padahal fenomena
pemanasan global hanya merupakan bagian dari perubahan iklim, karena parameter iklim tidak hanya temperatur
saja, melainkan ada parameter lain yang terkait seperti presipitasi, kondisi awan, angin, maupun radiasi matahari.
Pemanasan global merupakan peningkatan rata-rata temperatur atmosfer yang dekat dengan permukaan bumi dan di
troposfer, yang dapat berkontribusi pada perubahan pola iklim global. Pemanasan global terjadi sebagai akibat
meningkatnya jumlah emisi Gas Rumah Kaca (GRK) di atmosfer. Naiknya intensitas efek rumah kaca yang terjadi
karena adanya gas dalam atmosfer yang menyerap sinar panas yaitu sinar infra merah yang dipancarkan oleh bumi
menjadikan perubahan iklim global (Budianto, 2000).
Meskipun pemanasan global hanya merupakan 1 bagian dalam fenomena perubahan iklim, namun pemanasan
global menjadi hal yang penting untuk dikaji. Hal tersebut karena perubahan temperatur akan memberikan dampak
yang signifikan terhadap aktivitas manusia. Perubahan temperatur bumi dapat mengubah kondisi lingkungan yang
pada tahap selanjutkan akan berdampak pada tempat dimana kita dapat hidup, apa tumbuhan yang kita makan dapat
tumbuh, bagaimana dan dimana kita dapat menanam bahan makanan, dan organisme apa yang dapat mengancam. Ini
artinya bahwa pemanasan global akan mengancam kehidupan manusia secara menyeluruh.
Salah satu komponen iklim adalah temperatur. IPCC menemukan bahwa, selama 100 tahun terakhir (1906-2005)
temperatur permukaan bumi rata-rata telah naik sekitar 0.74oC, dengan pemanasan yang lebih besar pada daratan
dibandingkan lautan. Tingkat pemanasan rata-rata selama 50 tahun terakhir hampir dua kali lipat dari yang terjadi
pada 100 tahun terakhir. Akhir tahun 1990an dan awal abad 21 merupakan tahun-tahun terpanas sejak adanya arsip
data modern. Peningkatan pemanasan sebesar 0.2oC diproyeksikan akan terjadi untuk setiap dekade pada dua dekade
kedepan.
Aktivitas manusia telah meningkatkan konsentrasi gas rumah kaca dalam atmosfer (sebagian besar berupa
karbon dioksida yang berasal dari pembakaran batu bara, minyak, dan gas; ditambah gas-gas lainnya). Tingkat
karbon dioksida sebelum masa industri (sebelum Revolusi Industri dimulai) adalam sekitar 280 ppmv, dan tingkat
karbon dioksida saat ini adalah sekitar 370 ppmv (IPCC). Konsentrasi CO 2 dalam atmosfer kita saat ini, belum
pernah meningkat selama 420.000 tahun. Namun, berdasarkan laporan khusus dari IPCC mengenai skenario emisi
(Special Report on Emission Scenarios SRES), di akhir abad ke 21, bahwa konsentrasi karbon dioksida sebesar 490
1260 ppm (75 350%) di atas angka konsentrasi di masa pra industri. Karbon dioksida tersebut merupakan salah
satu dari kontributor utama terhadap pemanasan global saat ini. Gas rumah kaca lainnya yang menjadi kontributor
utama pemanasan global adalah metana (CH4) yang dihasilkan dari aktivitas agrikultur dan peternakan (terutama dari
sistem pencernaan hewan-hewan ternak), Nitrogen Oksida (NO) dari pupuk, dan gas-gas yang digunakan untuk
kulkas dan pendingin ruangan (CFC). Rusaknya hutan-hutan yang seharusnya berfungsi sebagai penyimpan CO 2,
juga makin memperparah keadaan ini karena pohon-pohon yang mati akan melepaskan CO 2 yang tersimpan di dalam
jaringannya ke atmosfer.
Perubahan iklim merupakan sesuatu yang sulit untuk dihindari dan memberikan dampak terhadap berbagai segi
kehidupan. Dampak ekstrem dari perubahan iklim terutama adalah terjadinya kenaikan temperatur serta pergeseran
musim. Kenaikan temperatur menyebabkan es dan gletser di Kutub Utara dan Selatan mencair.
Pola musim mulai tidak beraturan sejak 1991 yang mengganggu swasembada pangan nasional hingga kini
tergantung import pangan. Pada musim kemarau cenderung kering dengan trend hujan makin turun salah satu
dampak kebakaran lahan dan hutan sering terjadi. Meningkatnya muka air danau khususnya danau Toba makin susut
dan mungkin danau/waduk lain di Indonesia, konsentrasi es di Puncak Jayawija Papua semakin berkurang dan
munculnya kondisi cuaca ekstrim yang sering yang menimbulkan bencana banjir bandang dan tanah longsor di
beberapa lokasi dalam beberapa tahun terakhir. Beberapa kajian dari IPCC 4AR yang menyinggung Indonesia secara
spesifik antara lain : Meningkatnya hujan di kawasan utara dan menurunnya hujan di selatan (khatulistiwa).
Kebakaran hutan dan lahan yang peluangnya akan makin besar dengan meningkatnya frekuensi dan intensitas El-
Nino. Delta Sungai Mahakam masuk ke dalam peta kawasan pantai yang rentan. (Murdiyarso, 2007).
Naiknya permukaan air laut akan menggenangi wilayah pesisir sehingga akan menghancurkan tambak-tambak
ikan dan udang di Jawa, Aceh, Kalimantan dan Sulawesi (UNDP, 2007). Akibat pemanasan global pada tahun 2050
akan mendegradasi 98 persen terumbu karang dan 50% biota laut. Gejala ini sebetulnya sudah terjadi di kawasan
Delta Mahakam Kalimantan Timur, apabila suhu air laut naik 1,50C setiap tahunnya sampai 2050 akan
memusnahkan 98% terumbu karang. di Indonesia kita tak akan lagi menikmati lobster, cumi-cumi dan rajungan. Di
Maluku, nelayan amat sulit memperkirakan waktu dan lokasi yang sesuai untuk menangkap ikan karena pola iklim
yang berubah.
Kenaikan temperatur menyebabkan es dan gletser di Kutub Utara dan Selatan mencair. Peristiwa ini
menyebabkan terjadinya pemuaian massa air laut dan kenaikan permukaan air laut. Hal ini membawa banyak
perubahan bagi kehidupan di bawah laut, seperti pemutihan terumbu karang dan punahnya berbagai jenis ikan.
Sehingga akan menurunkan produksi tambak ikan dan udang serta mengancam kehidupan masyarakat pesisir
pantai. Kenaikan muka air laut juga akan merusak ekosistem hutan bakau, serta merubah sifat biofisik dan biokimia
di zona pesisir.
Frequensi timbulnya penyakit seperti malaria dan demam berdarah meningkat. Penduduk dengan kapasitas
beradaptasi rendah akan semakin rentan terhadap diare, gizi buruk, serta berubahnya pola distribusi penyakit-
penyakit yang ditularkan melalui berbagai serangga dan hewan. Pemanasan global juga memicu meningkatnya
kasus penyakit tropis seperti malaria dan demam berdarah.. Faktor iklim berpengaruh terhadap risiko penularan
penyakit tular vektor seperti demam berdarah dengue (DBD) dan malaria. Semakin tinggi curah hujan, kasus DBD
akan meningkat. suhu berhubungan negatif dengan kasus DBD, karena itu peningkatan suhu udara per minggu akan
menurunkan kasus DBD. Penderita alergi dan asma akan meningkat secara signifikan. Gelombang panas yang
Pada pertengahan abad ini, rata-rata aliran air sungai dan ketersediaan air di daerah subpolar serta daerah
tropis basah diperkirakan akan meningkat sebanyak 10-40%. Sementara di daerah subtropis dan daerah tropis yang
kering, air akan berkurang sebanyak 10-30% sehingga daerah-daerah yang sekarang sering mengalami kekeringan
akan semakin parah kondisinya
Dampak perubahan iklim Sektor Lingkungan
Dampak perubahan iklim akan diperparah oleh masalah lingkungan, kependudukan, dan kemiskinan. Karena
lingkungan rusak, alam akan lebih rapuh terhadap perubahan iklim. Dampak terhadap penataan ruang dapat terjadi
antara lain apabila penyimpangan iklim berupa curah hujan yang cukup tinggi, memicu terjadinya gerakan tanah
(longsor) yang berpotensi menimbulkan bencana alam, berupa : banjir dan tanah longsor. Dengan kata lain daerah
rawan bencana menjadi perhatian perencanaan dalam mengalokasikan pemanfaatan ruang.
Semua dampak yang terjadi pada setiap sektor tersebut diatas pastilah secara langsung akan memberikan
dampak terhadap perekonomian Indonesia akibat kerugian ekonomi yang harus ditanggung.
Kenaikan muka air laut antara 8 hingga 30 centimeter juga akan berdampak parah pada kota-kota pesisir
seperti Jakarta dan Surabaya yang akan makin rentan terhadap banjir dan limpasan badai. Masalah ini sudah menjadi
makin parah di Jakarta karena bersamaan dengan kenaikan muka air laut, permukaan tanah turun: pendirian
bangunan bertingkat dan meningkatnya pengurasan air tanah telah menyebabkan tanah turun.Namun Jakarta
memang sudah secara rutin dilanda banjir besar:p ada awal Februari,2007,banjir di Jakarta menewaskan 57 orang
dan memaksa 422.300 meninggalkan rumah, yang 1.500 buah di antaranya rusak atau hanyut.Total kerugian ditaksir
sekitar 695 juta dolar. Suatu penelitian memperkirakan bahwa paduan kenaikan muka air laut setinggi 0,5 meter dan
turunnya tanah yang terus berlanjut dapat menyebabkan enam lokasi terendam secara permanen dengan total
populasi sekitar 270,000 jiwa, yakni: tiga di Jakarta Kosambi, Penjaringan dan Cilincing; dan tiga di Bekasi
Muaragembong, Babelan dan Tarumajaya.Banyak wilayah lain di negeri ini juga akhir-akhir ini baru dilanda bencana
banjir. Banjir besar di Aceh, misalnya, di penghujung tahun 2006 menewaskan 96 orang dan membuat mengungsi
110,000 orang yang kehilangan sumber penghidupan dan harta benda mereka. Pada tahun 2007 di Sinjai, Sulawesi
Selatan banjir yang berlangsung berhari-hari telah merusak jalan dan memutus jembatan, serta mengucilkan 200.000
Mitigasi dalam kamus John M. Echols dan Hassan Shadily atinya pengurangan. Sedangkan adaptation atau
adaptasi artinya penyesuaian diri. Kedua istilah ini menjadi penting karena menyangkut strategi menghadapi
perubahan alam. Melalui mitigasi, usaha yang dapat dilakukan adalah mengurangi sebab pemanasan global dari
sumbernya. Gunanya agar laju pemanasan itu melambat. Dan pada saat bersamaan, dapat dilakukan persiapan diri
untuk beradaptasi dengan perubahan yang ada. Sehingga diharapkan akan ditemukan suatu titik temu yang menjamin
kelangsungan hidup manusia.
Dalam skala kecil, mitigasi bisa berupa gerakan cinta lingkungan seperti pengelolaan sampah, bike to work,
mengurangi penggunaan plastik, menggunakan AC yang non CFC, hemat energi dan lain sebagainya. Sedangkan
beradaptasi dapat dilakukan dengan melakukan penataan lansekap lingkungan, penghijauan, menjaga daerah resapan,
re-use, recycling dan lain-lain.
Beradaptasi terhadap perubahan iklim merupakan prioritas mendesak bagi Indonesia. Seluruh kementerian
dalam pemerintahan dan perencanaan nasional perlu mempertimbangkan perubahan iklim dalam program-program
mereka,berkenaan dengan beragam persoalan seperti pengentasan kemiskinan, pemberdayaan masyarakat, keamanan
pangan, pengelolaan bencana, pengendalian penyakit, dan perencanaan tata kota. Namun ini bukan merupakan tugas
pemerintah pusat belaka, tetapi harus menjadi upaya nasional yang melibatkan pemerintah daerah, masyarakat
umum, dan semua organisasi nonpemerintah, serta pihak swasta.
Di tahun-tahun belakangan ini masyarakat dunia semakin meresahkan efek pemanasan global dan di awal
tahun 1990an telah mengonsep United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCC), yang
diberlakukan pada 1994. Di dalam kerangka ini mereka mengajukan dua strategi utama: mitigasi dan adaptasi .
Mitigasi meliputi pencarian cara-cara untuk memperlambat emisi gas rumah kaca atau menahannya, atau
menyerapnya ke hutan atau penyerap karbon lainnya. Sementara itu adaptasi,mencakup cara-cara menghadapi
perubahan iklim dengan melakukan penyesuaian yang tepat bertindak untuk mengurangi berbagai pengaruh
negatifnya, atau memanfaatkan efek-efek positifnya.
Kenaikan muka air laut yang dapat menggenangi ratusan pulau dan menenggelamkan batas wilayah negara
Indonesia. Musim tanam dan panen yang tidak menentu diselingi oleh kemarau panjang yang menyengsarakan.
Banjir melanda sebagian besar jalan raya di berbagai kota besar di pesisir. Air laut menyusup ke delta sungai,
menghancurkan sumber nafkah pengusaha ikan. Anak-anak menderita kurang gizi akut. Itu bukan berita perubahan
iklim kita yang biasa. Umumnya berita perubahan iklim di Indonesia berkisar pada soal penggundulan hutan secara
Yang jadi masalah saat ini adalah bahwa adaptasi dapat dilihat hanya sebagai masalah lingkungan hidup
semata dan merupakan tanggung jawab Kementerian Lingkungan Hidup. Padahal, semua departemen
pemerintahan dan badan perencanaan nasional perlu mempertimbangkan dampak perubahan iklim ini ke dalam
program masing-masing. Berbagai persoalan besar seperti pengentasan kemiskinan, pemberdayaan masyarakat,
perencanaan tata ruang, ketahanan pangan, pemeliharaan infrastruktur, pengendalian penyakit, perencanaan
perkotaan, semuanya mesti ditinjau ulang dari perspektifperubahan iklim.
Tantangannya adalah membuat perencanaan pembangunan menjadi tangguh terhadap iklim. Dampak
perubahan iklim terhadap ekonomi dan pembangunan manusia harus dievaluasi secara seksama dan dipetakan.
Kemudian strategi adaptasi harus diintegrasikan ke dalam berbagai rencana dan anggaran, baik pada tingkat pusat
maupun daerah. Upaya-upaya pengentasan kemiskinan harus ditingkatkan di bidang-bidang yang khusunya rentan
Semua upaya ini juga harus dipadukan ke dalam berbagai upaya di tingkat masyarakat dan rumah tangga.
Bagaimanapun, masyarakat sudah berpengalaman lama dalam beradaptasi dengan berbagai tindakan yang sudah
dipraktikkan selama berabad-abad. Orang-orang yang tinggal di wilayah yang rentan banjir sejak dulu membangun
rumah panggung dan banyak masyarakat masa kini masih meneruskan praktik ini, meski bahan-bahan yang
digunakan sudah modern seperti tiang beton atau genteng besi. Di wilayah rawan longsor, orang-orang membangun
tanggul penahan longsor yang kukuh. Para petani yang terpapar kemarau panjang sudah belajar untuk
mendiversifikasikan sumber pendapatan mereka, menanam tanaman pangan yang tahan kekeringan dan
mengoptimalkan penggunaan air yang terbatas, bahkan bermigrasi sementara untuk mencari pekerjaan di tempat
lain. Apakah itu melalui prakarsa di tingkat publik atau individual, adaptasi hendaknya mencakup penguatan sumber-
sumber penghidupan dan mengurangi kerentanannya. Hal ini akan mempersyaratkan suatu perubahan dalam arah
pembangunan.
Di masa lalu sebagian besar pembangunan di Indonesia didasarkan pada eksploitasi sumber daya alam
dengan manfaat ekonomi yang dinikmati di perkotaan dan biaya lingkungannya dibebankan ke wilayah pedesaan.
Pola itu harus diubah. Baik masyarakat di pedesaan maupun di perkotaan sudah seyogyanya menargetkan
pembangunan manusia yang berkelanjutan dan ancaman perubahan iklim kini makin mendesakkan kepentingannya.
Jika kita tidak mengubah pola pembangunan,maka seluruh sumber daya yang tersedia bagi rakyat pangan, air, dan
wilayah pemukiman kemungkinan dapat menjadi makin sulit didapat. Perubahan pola pembangunan ini memerlukan
strategi adaptasi yang lebih luas yang melibatkan pemerintah, masyarakat sipil, dan sektor swasta memadukan
antara pendekatan pada tingkat pemerintahan dan kelembagaan dengan pendekatan bottom-up yang berakar pada
pengetahuan kewilayahan, kebangsaan, dan lokal. Sementara adaptasi merupakan faktor vital dalam seluruh aktivitas
pembangunan, secara khusus adaptasi penting dilakukan dalam bidang-bidang pertanian,wilayah pesisir, penyediaan
air, kesehatan dan wilayah perkotaan, dengan air memainkan peran lintas sektoral di berbagai bidang ini.
Di antara yang paling rentan terhadap dampak perubahan iklim adalah para petani Indonesia. Sejauh ini, para
petani di Jawa berhasil menanam padi dua kali dalam setahun, tetapi dengan perubahan iklim, panen kali kedua
tampaknya akan menjadi lebih rentan. Oleh karena itu, para petani yang sudah banyak berpengalaman mengatasi
dampak buruk kejadian iklim yang ekstrem akan harus lebih banyak beradaptasi lagi di masa mendatang. Mereka,
misalnya akan perlu mempertimbangkan berbagai varietas tanaman pangan. Beberapa jenis tanaman pangan
memiliki kapasitas adaptasi secara alamiah, seperti jenis padi hasil persilangan yang berbunga pada waktu dini hari
sehingga dimungkin terhindar dari suhu lebih tinggi di siang hari. Para petani juga mungkin dapat menggunakan
Prioritas lainnya adalah pengelolaan air yang lebih baik. Caranya mungkin adalah dengan lebih banyak
berinvestasi untuk irigasi dan juga dalam menampung dan menyimpan air untuk menyeimbangkan peningkatan
curah hujan di bulan April, Mei dan Juni, dengan penurunan curah hujan di bulan Juli, Agustus, dan September. Para
petani mungkin akan lebih tangguh menghadapi perubahan iklim bila mereka memiliki perkiraan cuaca yang akurat
dan tahu bagaimana harus merespon perubahan itu. Jika, misalnya, mereka dapat menyesuaikan waktu tanam dengan
turun hujan pertama, mereka akan dapat memanen hasil yang lebih baik karena tanaman pangan mereka memperoleh
lebih banyak unsur penyubur. Atau jika mereka tahu tahun itu akan menjadi tahun kemarau, maka mereka dapat
mengganti tanaman pangan mungkin dengan menanam kacang hijau, dan bukan padi. Mereka juga dapat beralih ke
tanaman pangan yang lebih tinggi nilai jualnya meski hal ini bergantung pada kualitas benih dan masukan serta
berbagai bantuan tambahan. Sementara itu mereka juga dapat melakukan penyesuaian antara menanam tanaman
pangan dan memelihara ternak. Akhirnya, para petani yang tengah menghadapi atau sudah mengalami tahun gagal
panen, dapat beradaptasi dengan bekerja di bidang non-tani,mungkin dengan bermigrasi sementara ke daerah lain
atau ke kota lain.
Saat ini meski para petani ini sudah mendapatkan informasi dari Badan Meteorologi dan Geofisika, mereka
mungkin tidak tahu bagaimana menginterpretasikan informasi itu. Suatu prakarasa untuk menjembatani hal ini
adalah Sekolah Lapang Iklim seperti yang diadakan di Indramayu yang bertujuan menerjemahkan perkiraan ilmiah
iklim ke dalam bahasa petani yang lebih sederhana dan melatih para petani untuk merespon.
Jika para petani memiliki akses ke informasi dan sarana yang tepat mereka akan dapat melakukan sendiri
adaptasi yang dibutuhkan. Namun, sebagian dari mereka akan lebih sulit melakukan adaptasi, entah itu karena tanah
garapan mereka tidak subur,misalnya, atau karena pasokan air tidak memadai, atau karena mereka tidak memiliki
modal. Selain itu, mereka juga mungkin menghadapi berbagai kendala kelembagaan atau kultural.Dalam berbagai
kasus seperti ini, pemerintah bisa membantu melalui intervensi yang langsung dan terencana, dengan menyediakan
pengetahuan baru atau peralatan baru atau mencarikan teknologi-teknologi baru.
Adaptasi di wilayah pesisir Penduduk yang menghadapi masalah kenaikan muka air laut dapat melakukan tiga
strategi umum: membuat perlindungan, yaitu dengan menanam tanaman penghadang seperti pohon
mangrove;mundur, dengan bermukim jauh dari pantai, atau melakukan penyesuaian yaitu misalnya, dengan
beralih ke sumber-sumber nafkah yang lain.
Dengan lingkungan hidup yang lebih sulit nanti, kita perlu memperkuat layanan dasar kesehatan
masyarakat.Dan karena iklim yang lebih panas akan memungkinkan penyebaran nyamuk-nyamuk ke wilayah-
wilayah baru, maka diperlukan suatu sistem pengawasan kesehatan yang lebih handal untuk memonitor penyebaran
penyakit seperti malaria dan deman berdarah dengue.
Di seluruh wilayah negeri ini, khususnya di wilayah pesisir dan kota yang rawan dilanda banjir, kita
membutuhkan berbagai strategi yang lebih handal untuk mengurangi risiko perubahan iklim.
Di negeri yang memang rawan bencana ini, perubahan iklim makin mendesakkan pentingnya pengelolaan
yang cermat terhadap bencana. Alih-alih hanya merespon setelah bencana terjadi, yang mesti dicapai adalah
mengurangi risiko dan membuat persiapan untuk menghadapi bencana sebelum bencana itu terjadi.
Menurut penggolongan IPCC, Indonesia tidak termasuk dalam negara katagori Annex I (negara-negara
maju). Menurut UU no 6 tahun 1994, yaitu UU pengesahan Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang perubahan iklim,
Indonesia tidak wajib ikut menekan emisi GRK, tetapi hanya bersifat sukarela. Menurut UU lingkungan hidup no 23
tahun 1997, menjaga kelestarian lingkungan hidup adalah suatu yang harus dilakukan agar pembangunan dapat
dilakukan secara berkelanjutan. Jadi upaya mengurangi laju emisi GRK menjadi keharusan dalam rangka
melestarikan lingkungan.
Tabel 1. Sektor-sektor yang akan terkena dampak perubahan iklim dan upaya adaptasi yang dapat dilakukan.
Dalam UU no 6 tahun 1994 jika negara bukan anggota Annex I ikut dalam upaya menekan emisi GRK ataupun
melakukan upaya-upaya adaptasi terhadap dampak perubahan iklim, maka dalam melakukan upaya tersebut berhak
menggunakan dana Climate Change Fund yang disediakan oleh UNFCC. Agar dapat memanfaatkan dana ini
Indonesia harus melakukan beberapa tahapan antara lain ( Murdiyarso, 2001 ; Boer, 2001):
o Kajian ilmiah dan kemampuan prediksi serta analisis dampak perubahan iklim
Dalam rangka mengatasi dampak perubahan iklim, Pemerintah akan lebih menekankan dan mengintegrasikan
kebijakan program untuk perubahan iklim ke dalam sistem perencanaan pembangunan perencanaan pembangunan
nasional dan kebijakan keuangan Negara, serta memobilisasi sumber pendanaan terutama dari hibah luar negeri.
Mekanisme ini telah dibicarakan dengan beberapa mitra kerjasama pembangunan Indonesia, diantaranya
Belanda, Norwegia, EU, dan Bank Dunia untuk mendukung program kebijakan perubahan iklim di Indonesia. Dalam
waktu dekat program-program pembangunan menghadapi climate change akan ditekankan dan diintegrasikan pada
penyusunan Rencana Kerja Pemerintah (RKP) tahun 2009 dan rencana pembangunan jangka menengah (RPJM)
berikutnya, sebagai bagian dari rencana pembangunan jangka panjang nasional (RPJPN) tahun 2005-2025. Hal ini
menunjukkan langkah nyata yang akan diambil Pemerintah Indonesia setelah pertemuan UNFCCC di Bali, dalam
rangka mitigasi dan adaptasi climate change.
6. KENDALA DALAM MEMERANGI PERUBAHAN IKLIM DI INDONESIA
1. Suatu masalah ditanggapi sebagai permasalahan sesaat dan penyelesaiiannya tidak menyentuh kepada
akar permasalahan.
2. Upaya preventif yang dilakukan tidak dimulai dari tahap perencanaan. Sehingga masih banyak terjadinya
pelanggaran.
3. Semua upaya tidak dibarengi dengan penekanan pada penegakan hukum
4. Tindakan penanganan masih melibatkan kepentingan pihak tertentu.
5. Adanya instruksi yang terbatas pada daerah tertentu tidak menyeluruh secara nasional.
DAFTAR PUSTAKA
Aplikasi Klimatologi dan Lingkungan. 2009. Pengertian Iklim dan Perubahan Iklim. Pusfatsatklim LAPAN.
http://iklim.dirgantara-lapan.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=79
Bidang Aplikasi Klimatologi dan Lingkungan. 2009. Bagaimana Iklim Dapat Berubah. Pusfatsatklim
LAPAN.http://iklim.dirgantara-lapan.or.id/index.php?
option=com_content&view=article&id=80&catid=43&Itemid=77
Bidang Aplikasi Klimatologi dan Lingkungan. 2009. Dampak Perubahan Iklim. Pusfatsatklim LAPAN.
http://iklim.dirgantara-lapan.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=60&Itemid=37
Bidang Aplikasi Klimatologi dan Lingkungan. 2009. Adaptasi dan Mitigasi. Pusfatsatklim LAPAN.
http://iklim.dirgantara-lapan.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=61&Itemid=41
Kelompok 7 |Makalah Ilmu Lingkungan Tentang Perubahan Iklim 12
Bidang Aplikasi Klimatologi dan Lingkungan. 2009. KebijakanIiklim. Pusfatsatklim LAPAN. http://iklim.dirgantara-
lapan.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=71&Itemid=79
Kementrian Negara Lingkungan Hidup. 2007. Rencana Aksi Nasional Dalam Menghadapi Perubahan Iklim. Jakarta.
United Nations Development Programme Indonesia, 2007. Sisi lain perubahan iklim - Mengapa Indonesia harus
beradaptasi untuk melindungi rakyat miskinnya. ISBN: 978-979-17069-0-2.
Meiviana, Armely, Diah R Sulistiowati, Moekti H Soejachmoen, 2004. BUMI MAKIN PANAS - ANCAMAN
PERUBAHAN IKLIM DI INDONESIA. Kerjsama Kementerian Lingkungan Hidup Bidang Pelestarian
Lingkungan, Pelangi dan JICA.