Anda di halaman 1dari 5

DENTIFIKASI POLA PENYEBARAN PENYAKIT MALARIA

DI KAWASAN PESISIR DAN KEPULAUAN


(Sisi Lain Perubahan Iklim dan Sanitasi)

Pemanasan Global dan Perubahan Iklim


Perubahan iklim bukanlah hal yang baru lagi bagi kita. Iklim global sudah
selalu berubah-ubah. Jutaan tahun yang lalu, sebagian wilayah dunia yang kini
lebih hangat, dahulunya merupakan wilayah yang tertutupi oleh es, dan beberapa
abad terakhir ini, suhu rata-rata telah naik turun secara musiman, sebagai akibat
fluktuasi radiasi matahari, misalnya, atau akibat letusan gunung berapi secara
berkala. Namun, yang baru adalah bahwa perubahan iklim yang ada saat ini dan
yang akan datang dapat disebabkan bukan hanya oleh peristiwa alam melainkan
lebih karena berbagai aktivitas manusia. Kemajuan pesat pembangunan ekonomi
kita memberikan dampak yang serius terhadap iklim dunia, antara lain lewat
pembakaran secara besar-besaran batu bara, minyak, dan kayu, misalnya, serta
pembabatan hutan. Kerusakannya terutama terjadi melalui produksi gas rumah
kaca. Gas rumah kaca utama yang terus meningkat adalah karbon dioksida
(CO2). Gas ini adalah salah satu gas yang secara alamiah keluar ketika kita
menghembuskan napas, juga dihasilkan dari pembakaran batu bara, atau kayu,
atau dari penggunaan kendaraan berbahan bakar bensin dan solar. gas rumah kaca
adala metan (CH4), nitrogen oksida (NO2) dan sulfur heksaflorida (SF6) yang
umumnya digunakan pada lemari pendingin.
Negara-negara di seluruh dunia tanpa henti membuang gas-gas ini dalam
jumlah besar ke atmosfer. Negara-negara maju mengeluarkan emisi lebih banyak
per kapita, terutama karena mereka memiliki lebih banyak kendaraan atau secara
umum membakar lebih banyak bahan bakar fosil, tetapi begitu negara-negara
berkembang mulai membangun (termasuk Indonesia), mereka juga lalu menyusul
dalam sumbangan emisi gas-gas ini. Lepas dari siapapun yang memproduksi gas
itu, seluruh warga dunia terkena efeknya. Bumi dan atmosfer kita hanya ada satu.
Masalahnya menjadi lebih parah karena kita sudah banyak kehilangan pohon yang
dapat menyerap karbon dioksida. Brazil, Indonesia, dan banyak negara lain sudah
menggunduli jutaan hektar hutan dan merusak lahan rawa. Laporan Statistik
Kehutanan (2012) menunjukkan bahwa Indonesia kehilangan hutan seluas 0.48
juta hektar pertahun pada periode 2009-2010. Angka ini lebih kecil dibandingkan
dengan laju deforestasi pada periode 2000-2006 yang mencapai 1.17 juta hektar
pertahun. Hal ini yang menjadikan Indonesia dikenal sebagai salah satu pengemisi
terbesar dari sektor kehutanan dan lahan gambut (UNDP Indonesia, 2013).

Dampak Pemanasan Global Terhadap Masyarakat Pesisir di Indonesia


Angka kenaikan suhu bumi mungkin tidak terlihat terlalu tinggi, tetapi di
negara tertentu seperti Indonesia, kenaikan itu dapat memberikan dampak yang
parah dan terutama pada penduduk miskin yang sebagian besar hidup di daerah
pinggiran, yang menggantungkan hidupnya pada sektor kelautan. Iklim global
merupakan suatu sistem yang rumit dan pemanasan global akan berinteraksi
dengan berbagai pengaruh lainnya, tetapi tampaknya di Indonesia perubahan ini
akan makin memperparah berbagai masalah iklim yang sudah ada. Indonesia
rentan terhadap begitu banyak ancaman yang berkaitan dengan iklim seperti
banjir, kemarau panjang, angin kencang, longsor,dan kebakaran hutan. Bahaya
lain yang berkaitan dengan iklim di Indonesia adalah lokasi dan pergerakan siklon
tropis di wilayah selatan timur Samudera India (Januari sampai April) dan sebelah
timur samudera Pasifik (Mei sampai Desember). Di beberapa wilayah Indonesia
hal ini dapat menyebabkan angin kencang dan curah hujan tinggi yang dapat
berlangsung hingga berjam-jam atau berhari-hari. Angin kencang juga sering
terjadi selama peralihan angin munson (angin musim hujan) dari arah timur laut
ke barat daya.
Sebagai sebuah kepulauan amat luas yang memiliki lebih dari 17.000
pulau dan 80.000 kilometer garis pantai, Indonesia amat rentan terhadap kenaikan
muka air laut. Kenaikan 1 meter saja dapat menenggelamkan 405.000 hektar
wilayah pesisir dan menenggelamkan 2.000 pulau yang terletak dekat permukaan
laut beserta kawasan terumbu karang. Hal ini berpengaruh pada batas-batas negara
kita: penelitian mutakhir mengungkapkan bahwa minimal 8 dari 92 pulau-pulau
kecil terluar yang merupakan perbatasan perairan Indonesia sangat rentan
terhadap kenaikan muka air laut. Saat ini sekitar 42 juta penduduk Indonesia
mendiami wilayah yang terletak 10 meter di atas permukaan laut. Perubahan iklim
berdampak luas terhadap jutaan nelayan pesisir. Mereka bergantung pada
ekosistem yang amat rentan yang dengan perubahan kecil saja sudah berdampak
besar. Misalnya perubahan suhu air yang merusak terumbu karang, akan
memperparah kondisi buruk yang dilakukan manusia seperti polusi dan
penangkapan ikan besar-besaran sehingga menurunkan populasi ikan.
Perubahan Iklim, Sanitasi dan Malaria
Dampak perubahan iklim terhadap kesehatan manusia semakin terasa.
Menurut IPCC, telah terjadi peningkatan angka kematian yang berhubungan
dengan perubahan iklim. Selain itu, perubahan suhu dan curah hujan telah
mengubah distribusi beberapa penyakit yang terbawa oleh air dan vektor. Dalam
Peristiwa cuaca ekstrim seperti hujan lebat, limpasan dari curah hujan tersebut
dapat mengakibatkan transportasi mikroba dan kontaminasi air pantai dengan

implikasi terhadap kesehatan masyarakat (Dwight, R.H., et.al., 2004; Semenza,


J.C., et.al., 2012 dalam Semenza, J.C., 2014). Perubahan iklim memicu bencana
alam dan mempengaruhi peningkatan prevalensi penyakit menular pasca bencana,
dimana anak-anak dan usia lanjut merupakan kelompok yang paling rentan
(Kabir, R., et.al., 2014). Suhu permukaan dan suhu air permukaan memiliki
pengaruh penting terhadap siklus hidup nyamuk vektor malaria, umur nyamuk
perilaku menggigit. Curah hujan membantu menciptakan tempat berkembang biak
yang bagi nyamuk dan iklim yang lembab berkontribusi terhadap kelangsungan
hidup nyamuk dewasa (Sukowati, 2010 dalam Bhandari, G. P., et.al., 2013), serta
penularan kasus malaria (Yamana, T. K. dan Eltahir E.A.B., 2013).
Pengaruh perubahan iklim terhadap kejadian penyakit hewan juga dapat
terjadi secara tidak langsung misalnya, terjadinya banjir dan genangan air
sehingga vektor penyakit dapat berkembang dan menyebar ke berbagai lokasi lain
atau pemukiman lain. Suhu yang meningkat sampai batas tertentu dapat
mengurangi waktu yang diperlukan untuk pengembangan larva, sehingga akan
lebih banyak generasi nyamuk yang dihasilkan pada satuan waktu (Bahri, S. dan
Syafriati, T., 2011). Nyamuk anopheles sebagai vektor penular malaria hanya bisa
hidup diatas suhu 15oC. Peningkatan suhu dan kelembaban tertentu juga
menyebabkan perilaku menggigit dan reproduksi/perkawinan nyamuk semakin
meningkat. Secara naluriah, nyamuk memerlukan protein darah dari manusia atau
binatan untuk memproduksi telur. Dampak ini di Indonesia dapat menjadi lebih
berat karena faktor sosial-ekonomi seperti kepadatan penduduk, kemiskinan,
higiene perorangan, keterbatasan sanitasi dasar, ketersediaan air bersih dan
distribusi pendapatan yang tidak merata. Indonesia juga menjadi sarang endemik
penyakit seperti malaria. Masalah sanitasi pada wilayah pesisir merupakan
masalah yang perlu mendapat perhatian khusus, karena masyarakat yang tinggal
dalam kawasan tertutup atau terisolasi maka akan menghadapi berbagai masalah
kesehatan terutama yang berhubungan dengan kondisi lingkungan (Achmadi, U.
F., 2011).
Faktor yang berhubungan dengan kejadian malaria adalah kondisi
lingkungan pemukiman serta perilaku masyarakat dimana lingkungan sekitar
rumah terdapat genangan air hujan, ventilasi rumah yang terbuka, tidak memiliki
jamban dan penyediaan air bersih yang masih kurang, gantungan baju dan
sebagainya karena sangat mempengaruhi tempat perkembangbiakan penyakit
malaria melalui nyamuk Anopheles. Kondisi sosial ekonomi masyarakat di
kawasan pesisir yang masih kurang, mengakibatkan permasalahan pada
pengelolaan pengadaan dan perilaku pemanfaatan sanitasi pemukiman. Penelitian
terkait penyebab kekumuhan di kawasan permukiman pesisir menemukan bahwa
kondisi prasarana sarana dasar dan kondisi bangunan hunian merupakan faktor
dominan kekumuhan di wilayah pesisir (Damisi, D. M., Veronica A. K., Rieneke

L.E. Sela., 2014). Kondisi sanitasi yang demikian serta dipicu oleh dampak
perubahan iklim menjadikan masyarakat di kawasan pesisir rentan akan penularan
dan penyebaran penyakit berbasis lingkungan, salah satunya adalah malaria.
Pola Penyebaran Penyakit Malaria di Wilayah Pesisir
Kejadian dan penyebaran penyakit malaria di suatu wilayah termasuk
wilayah pesisir, merupakan hasil dari ketidakseimbangan antara Agen/Vektor
(nyamuk dan plasmodium), Host (hewan dan manusia, termasuk perilakunya) dan
Lingkungan. Kondisi sosial ekonomi masyarakat pesisir yang umumnya masih
kurang, menjadi pemicu buruknya ketersediaan sanitasi dan perilaku masyarakat
dalam pemeliharaan kesehatannya. Terkait dengan kejadian dan penyebaran
penyakit malaria, sanitasi rumah tangga (seperti kondisi rumah, kebersihan
pekarangan rumah, ventilasi rumah, penyediaan air bersih, kepadatan penghuni,
keberadaan kandang ternak, dll) dan perilaku masyarakat (seperti kebiasaan
membersihkan rumah dan pekarangan rumah, membersihkan bak mandi,
menggantung pakaian, dll), serta dipicu dengan dampak dari perubahan iklim
(peningkatan suhu, banjir dan genangan air, perubahan perilaku vektor nyamuk,
dll) merupakan kombinasi yang ideal bagi penularan malaria di wilayah pesisir.
Penelitian yang dilakukan oleh Yudianto (2009), wilayah sebaran penyakit
malaria di wilayah pesisir menemukan bahwa sebaran kasus malaria dari tahun ke
tahun hanya terkonsentrasi di beberapa desa saja, umumnya pada wilayah dengan
ketinggian 0-100 mdpl, di pemukiman padat penduduk. Penelitian yang dilakukan
oleh Solikhah (2012) terkait Pola distribusi penderita penyakit malaria
menemukan bahwa umumnya penderita malaria laki-laki, kelompok usia
umumnya 15-45 tahun. Hasil Riset Kesehatan Dasar tahun 2010 menemukan
bahwa spesies parasi malaria yang paling banyak ditemukan di Indonesia adalah
Plasmodium falciparum. Karakteristik penderita berdasarkan period prevalence
malaria umumnya pada kelompok umur >15 tahun, prevalensi pada laki-laki
hampir sama dengan perempuan. Berdasarkan distribusi lingkungan fisik dan
sosial, umumnya malaria tersebar di perdesaan, pendidikan penderita yang
kurang, pekerjaan penderita umumnya petani/nelayan/buruh ( Arsin, A. A., 2012).
Dari hasil survei dan penelitian diatas menunjukan bahwa penduduk wilayah
pesisir merupakan kelompok yang rentan terhadap penyebaran penyakit malaria
dalam kaitannya dengan kondisi sanitasi dan dampak perubahan iklim di
Indonesia. Untuk perlu mewaspadai penyebaran penyakit malaria ini, utamanya
pada kondisi setelah hujan, dimana banyak terdapat genangan air sebagai tempat
perindukan nyamuk.

DAFTAR PUSTAKA

Achmadi, U. F. 2011. Dasar-Dasar Penyakit Berbasis Lingkungan. Jakarta :


RajaGrafindo Persada,
Arsin, A. A. 2012. Malaria di Indonesia ; Tinjauan Aspek Epidemiologi.
Makassar : Masagena Press
Bahri, S. dan Syafriati, T., 2011. Mewaspadai Munculnya Beberapa Penyakit
Hewan Menular Strategis di Indonesia Terkait dengan Pemanasan
Global dan Perubahan Iklim. WARTAZOA Vol. 21 No. 1, 25-39
Bhandari, G. P., et.al. 2013. Climate Change and Malaria in Jhapa District of
Nepal: Emerging Evidences from Nepal. Journal of Health
Management, Vol 15, No. 1, 141150
Damisi, D. M., Veronica A. K., Rieneke L.E. Sela. 2014. Analisis Faktor-Faktor
Kekumuhan Kawasan Permukiman Pesisir Tradisional. Jurnal
SABUA Vol. 6, No. 1, 163-172
Kabir, R., et.al. 2014. Climate Change and Public Health Situations in the
Coastal Areas of Bangladesh. International Journal of Social
Science Studies, Vol. 2, No. 3, 109-116
Semenza, J.C. 2014. Climate Change and Human Health. Int. J. Environ. Res.
Public Health, 11, 7347-7353
Solikhah, 2009. Pola Penyebaran Penyakit Malaria di Kecamatan Kokap
Kabupaten Kulon Progo DIY. Buletin Penelitian Sistem Kesehatan
Vol. 15, No. 3, 213222
UNDP Indonesia. 2013. Indeks Tata Kelola Hutan, Lahan, dan REDD+ 2012 di
Indonesia. Jakarta
Yamana, T. K. dan Eltahir E.A.B. 2013. Projected Impacts of Climate Change on
Environmental Suitability for Malaria Transmission in West Africa.
Env. Health Perspectives, Vol. 121, No. 10, 1179-1186
Yudianto. 2009. Analisis Wilayah Sebaran Penyakit Malaria di Kabupaten
Ciamis. http://geografi-kesehatan.blogspot.com/. Diakses tanggal
14 Desember 2014

Anda mungkin juga menyukai