Anda di halaman 1dari 10

BUKU JAWABAN UJIAN (BJU)

UAS TAKE HOME EXAM (THE)


SEMESTER 2021/22.2 (2022.1)

Nama Mahasiswa : YUDHA NOVA IRAWAN

Nomor Induk Mahasiswa/NIM : 043678398

Tanggal Lahir : 26 OKTOBER 2000

Kode/Nama Mata Kuliah : ISIP4131/SISTEM HUKUM INDONESIA

Kode/Nama Program Studi : 311/ILMU HUKUM

Kode/Nama UPBJJ : 50/Samarinda

Hari/Tanggal UAS THE : 26 JUNI 2022

Tanda Tangan Peserta Ujian

Petunjuk

1. Anda wajib mengisi secara lengkap dan benar identitas pada cover BJU pada halaman ini.
2. Anda wajib mengisi dan menandatangani surat pernyataan kejujuran akademik.
3. Jawaban bisa dikerjakan dengan diketik atau tulis tangan.
4. Jawaban diunggah disertai dengan cover BJU dan surat pernyataan kejujuran akademik.

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN


UNIVERSITAS TERBUKA
BUKU JAWABAN UJIAN UNIVERSITAS TERBUKA

SURAT PERNYATAAN MAHASISWA


KEJUJURAN AKADEMIK

Yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama Mahasiswa : YUDHA NOVA IRAWAN

NIM : 043678398

Kode/Nama Mata Kuliah : ISIP4131/SISTEM HUKUM INDONESIA

Fakultas : FHISIP

Program Studi : ILMU HUKUM

UPBJJ-UT : Samarinda

1. Saya tidak menerima naskah UAS THE dari siapapun selain mengunduh dari aplikasi THE pada
laman https://the.ut.ac.id.
2. Saya tidak memberikan naskah UAS THE kepada siapapun.
3. Saya tidak menerima dan atau memberikan bantuan dalam bentuk apapun dalam pengerjaan soal
ujian UAS THE.
4. Saya tidak melakukan plagiasi atas pekerjaan orang lain (menyalin dan mengakuinya sebagai
pekerjaan saya).
5. Saya memahami bahwa segala tindakan kecurangan akan mendapatkan hukuman sesuai dengan
aturan akademik yang berlaku di Universitas Terbuka.
6. Saya bersedia menjunjung tinggi ketertiban, kedisiplinan, dan integritas akademik dengan
tidak melakukan kecurangan, joki, menyebarluaskan soal dan jawaban UAS THE melalui media
apapun, serta tindakan tidak terpuji lainnya yang bertentangan dengan peraturan akademik
Universitas Terbuka.

Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya. Apabila di kemudian hari terdapat
pelanggaran atas pernyataan di atas, saya bersedia bertanggung jawab dan menanggung sanksi akademik
yang ditetapkan oleh Universitas Terbuka.

Balikpapan, 26 JUNI 2022

Yang Membuat Pernyataan

YUDHA NOVA IRAWAN


BUKU JAWABAN UJIAN UNIVERSITAS TERBUKA

Soal :

1 Mengapa masih ada atau tetap dibutuhkannya pluralisme dalam sistem hukum nasional Indonesia?.
Berikan argumentasi anda dan anda dapat menggunakan hukum waris sebagai contoh objek kajian.

Jawab :

Hukum waris di Indonesia hingga kini masih sangat pluralistik (beragam). Di wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia berlaku bermacam-macam sistem hukum kewarisan, yakni hukum waris adat, hukum
waris Islam dan hukum waris Barat yang tercantum dalam Burgerlijk Wetboek (BW). Keanekaragaman
hukum ini semakin terlihat karena hukum waris adat yang berlaku pada kenyataannya tidak bersifat tunggal,
tetapi juga bermacam-macam mengikuti bentuk masyarakat dan sistem kekeluargaan masyarakat Indonesia.

Sistem kekeluargaan pada masyarakat Indonesia terfokus pada sistem penarikan garis keturunan. Pada
umumnya dikenal adanya tiga sistem kekeluargaan, yakni (1) sistem patrilineal (terdapat pada masyarakat di
Tanah Gayo, Alas, Batak, Ambon, Irian Jaya, Timor dan Bali), (2) sistem matrilineal (terdapat di daerah
Minangkabau), dan (3) sistem bilateral atau parental (terdapat di daerah antara lain: Jawa, Madura,
Sumatera Timur, Riau, Aceh, Sumatera Selatan, seluruh Kalimantan, seluruh Sulawesi, Ternate dan Lombok).

Hukum waris tunduk kepada hukum yang di anut oleh pewaris. Sistem hukum waris yang dianut di Indonesia
meliputi: Hukum Waris Islam, Hukum Waris Adat, dan Hukum Waris menurut Kitab UndangUndang Hukum
Perdata (BW). Berikut ini paparan mengenai pengaturan waris menurut ketiga hukum tersebut.

1) Hukum Waris Adat Pandangan hukum adat terhadap hukum kewarisan sangat ditentukan oleh
persekutuan hukum adat itu sendiri. Beberapa persekutuan itu diantaranya pertama persekutuan genealogis
(berdasarkan keturunan) dan persekutuan territorial (berdasarkan kependudukan yakni persekutuan hukum
teritorial).

Di dalam hukum waris adat dikenal beberapa prinsip yaitu:

1.)Prinsip azas hukum yang menyatakan “ Jika pewarisan tidak dapat dilaksanakan secara menurun, maka
warisan ini dilakukan secara keatas atau kesamping. Artinya yang menjadi ahli waris ialah pertama-tama
anak laki atau perempuan dan keturunan mereka. Kalau tidak ada anak atau keturunan secara menurun,
maka warisan itu jatuh pada ayah, nenek dan seterusnya keatas. Kalau ini juga tidak ada, yang mewarisi
adalah saudara-saudara sipeninggal harta dan keturunan mereka yaitu keluarga sedarah menurut garis
kesamping, dengan pengertian bahwa keluarga yang terdekat mengecualikan keluarga yang jauh”.

2) Prinsip penggantian tempat (Plaats Vervulling) yang menyatakan bahwa jika seorang anak sebagai ahli
waris dari ayahnya, dan anak tersebut meninggal dunia maka tempat dari anak itu digantikan oleh anak-
anak dari yang meninggal dunia tadi (cucu dari sipeninggal harta). Dan warisan dari cucu ini adalah sama
dengan yang akan diperoleh ayahnya sebagai bagian warisan yang diterimanya. Dikenal adanya lembaga
pengangkatan anak (adopsi), dimana hak dan kedudukan juga bisa sama dengan anak sendiri ( kandung)“.

Di samping sistem kekeluargaan yang sangat berpengaruh terhadap pengaturan hukum waris adat,
terutama terhadap penetapan ahli waris dan bagian harta peninggalan yang diwariskan, hukum waris adat
mengenal tiga sistem kewarisan, yaitu:

1) Sistem Kewarisan Individual, yaitu sistem kewarisan yang menentukan bahwa para ahli waris mewarisi
secara perorangan, misalnya di Jawa, Batak, Sulawesi, dll.
BUKU JAWABAN UJIAN UNIVERSITAS TERBUKA

2) Sistem Kewarisan Kolektif, yaitu sistem yang menentukan bahwa para ahli waris mewaris harta
peninggalan secara bersama-sama (kolektif) sebab harta peninggalan tersebut tidak dapat dibagi-bagi
pemilikannya kepada masing-masing ahli waris.

3) Sistem Kewarisan Mayorat, yaitu sistem kewarisan yang menentukan bahwa harta peninggalan pewaris
hanya diwarisi oleh seorang anak. Sistem mayorat ini ada dua macam, yaitu:

a) Mayorat laki-laki, yaitu apabila anak laki-laki tertua/sulung atau keturunan laki-laki yang merupakan ahli
waris tunggal dari si pewaris, misalnya di Lampung.

b) Mayorat perempuan, yaitu apabila anak perempuan tertua merupakan ahli waris tunggal dari pewaris,
misalnya pada masyarakat Tanah Semendo di Sumatera Selatan.

2) Hukum Waris berdasarkan Kitab Undangundang Hukum Perdata (BW) Dalam hukum waris barat terdapat
dua unsur penting yaitu:

a) Unsur individual (menyangkut diri pribadi seseorang). Pada prinsipnya seseorang pemilik atas suatu benda
mempunyai kebebasan yang seluas-luasnya sebagai individu untuk berbuat apa saja atas benda yang
dimilikinya termasuk harta kekayaannya menurut kehendaknya.

b) Unsur sosial (menyangkut kepentingan bersama). Perbuatan yang dilakukan pemilik harta kekayaan
sebagaimana dijelaskan dalam unsur individual dapat mengakibatkan kerugian pada ahli waris sehingga
Undang-undang memberikan pembatasan-pembatasan terhadap kebebasan pewaris demi kepentingan ahli
waris.

3) Hukum Waris Islam

Sebagaimana diketahui bersama bahwa hukum kewarisan yang berlaku adalah hukum Faraid . Faraid
menurut istilah bahasa ialah takdir/qadar/ ketentuan dan pada syara adalah bagian yang
diqadarkan/ditentukan bagi ahli waris.

Sejarah hukum Indonesia menunjukkan bahwa eksistensi ketiga sistem hukum waris berlaku secara
bersamasama meski titik mula munculnya tidak bersamaan namun telah lama menjadi bagian dari
kehidupan masyarakat jauh sebelum Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Dalam sejarah perkembangannya,
dapat diketahui bahwa sistem hukum waris adat lebih dahulu ada dibandingkan dengan sistem hukum waris
yang lain. Hal ini dikarenakan hukum adat, termasuk hukum warisnya, merupakan hukum asli bangsa
Indonesia, berasal dari nenek moyangnya dan telah melembaga serta terinternalisasi secara turun-menurun
dari satu generasi ke generasi berikutnya. Ketika agama Islam masuk ke Indonesia, maka terjadi kontak yang
karab antara ajaran maupun hukum islam (yang bersumber pada Alquran dan As-Sunah ) dengan hukum
adat. Titik singgung antara hukum Islam dengan hukum adat terletak pada pandangan adanya keistimewaan
antara anak laki-laki dan perempuan.

Plurarisme ini menimbulkan perbedaan Hukum waris yang akan digunakan dalam suatu peristiwa,
Masyarakat Indonesia dipersilakan memillih hukum waris mana yang akan digunakan. Asal ada kesepakatan,
orang bisa saja memilih hukum waris BW, hukum waris Islam atau hukum waris adat. Tapi masalahnya
menjadi kompleks jika tidak ada kesepakatan antar pihak yang bersengketa. Jika demikian, maka masalahnya
bisa menjadi panjang dan berlarut-larut yang tak berujung. Dalam situasi demikian itu barang tentu tidak
dapat dihindari terjadi konflik kepentingan dari masing-masing pihak. Persoalan semakin melebar yang
BUKU JAWABAN UJIAN UNIVERSITAS TERBUKA

kemudian mengarah kepada konflik pemakaian hukum waris, yakni apakah hukum waris Islam yang akan
dipakai, atau hukum waris adat, ataukah hukum waris BW.

Ada dua kemungkinan cara penyelesaian masalah konflik hukum waris tersebut, yakni: (1) tetap membiarkan
hukum waris dalam keberagaman dan manakala timbul konflik hukum kemudian diserahkan kepada
pengadilan; atau (2) melakukan unifikasi dengan membuat suatu undang-undang baru di bidang kewarisan
yang bersifat nasional

Pluralisme hukum memang tidak seketika menyelesaikan permasalahan yang muncul dalam masyarakat.
Akan tetapi, pluralisme hukum hadir untuk memberikan pemahaman yang baru kepada praktisi hukum,
pembentuk hukum negara (para legislator) serta masyarakat secara luas bahwa disamping hukum negara
terdapat sistem-sistem hukum lain yang lebih dulu ada di masyarakat dan sistem hukum tersebut
berinteraksi dengan hukum negara dan bahkan berkompetisi satu sama lain. Disamping itu, pluralisme
hukum memberikan penjelasan terhadap kenyataan adanya tertib sosial yang bukan bagian dari keteraturan
hukum negara.

Pandangan sentralistik berpendapat bahwa satu-satunya institusi yang berperan menciptakan keteraturan
sosial adalah negara melalui hukum yang dibentuk dan ditetapkan oleh negara. Pada realitanya, banyak
terdapat ‘kekuatan lain’ yang tidak berasal dari negara. Diantaranya, hukum adat, hukum agama, kebiasaan-
kebiasaan, perjanjian-perjanjian perdagangan lintas bangsa dan sebagainya. Kekuatan-kekuatan tersebut
sama-sama memiliki kemampuan mengatur tindakan-tindakan masyarakat yang terikat di dalamnya, bahkan
terkadang anggota atau komunitas dalam masyarakat lebih memilih untuk mentaati aturan-aturan yang
dibentuk oleh kelompoknya dibanding aturan hukum negara.

Jika demikian, tidak berlebihan kalau dikatakan bahwa pluralisme hukum masih atau tetap dibutuhkan di
negara ini. rakyat mempunyai pilihan sendiri terhadap sistem hukum yang mereka percayai dapat mengatur
urusan kehidupannya dan menyelesaikan konflik diantara mereka. Hal ini seyogyanya menjadi bahan
pertimbangan yang signifikan bagi Pemerintah dan Legislator ketika merumuskan hukum nasional maupun
strategi pembangunan hukum nasional. Disamping itu, juga bagi penegak hukum agar memahami bahwa
masyarakat memiliki pilihan cara untuk mengakses keadilan dalam menyelesaikan sengketa diantara
mereka.

Soal :

2. a) Mengapa diperlukan penegasan hierarki Peraturan Perundang- undangan pada sistem hukum di
Indonesia?

Jawab :

Menurut saya, yang menjadi acuan hierarki Peraturan Perundang-undangan di Indonesia adalah Undang-
undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan. Menurut hierarki
perraturan perundang-undangan, peraturan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan
yang lebih tinggi, apabila ada peraturan yang lebih rendah bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi
maka peraturan yang lebih rendah itu dapat dilakukan uji materi (judicial review) untuk dibatalkan
seluruhnya atau dibatalkan sebagian.

Norma hokum yang satu selalu berlaku, bersumber, dan berdasarkan pada norma hukum yang lebih tinggi di
atasnya, dan norma hukum yang lebih tinggi juga selalu merujuk pada norma hukum yang lebih tinggi lagi.
BUKU JAWABAN UJIAN UNIVERSITAS TERBUKA

Demikian seterusnya sampai pada suatu Norma Fundamental Negara (Staatsfundamentalnorm) dari
Republik Indonesia yaitu Pancasila. Sistem norma hukum Indonesia menggarisbawahi bahwa Pancasila
merupakan norma hukum tertinggi atau merupakan norma hukum tertinggi atau sumber dari segala sumber
hukum negara.

Jenjang di bawah Pancasila sekaligus Perundang-undangan di Indonesia adalah Undangundang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) sebagai Aturan Dasar/Pokok Negara (Staatsgrundgesetz).17 Di
bawah UUD 1945, Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat menempati urutan kedua dalam Jenis dan
Hierarki Peraturan Perundang-undangan di Indonesia. Norma hukum selanjutnya di bawah Ketetapan MPR
adalah Undang-Undang, Peraturan Pemerintah Pengganti Undangundang (Formell Gesetz). Berikutnya
secara berurutan adalah, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Daerah Provinsi, dan
Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

Berdasarkan hirarki PeraturanPerundang -Undangan pada Pasal7 ayat (1) dan ayat (2) Undang-undang
Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, peraturan yang lebih rendah
tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi,apabila ada peraturan yang lebih rendah
bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi maka peraturan yang lebih rendah itu dapat dilakukan uji
materi (judicial review) untuk dibatalkan seluruhnya atau dibatalkan sebagian. Penegasan hierarki
dimaksudkan agar tidak terjadi tumpang tindih antara peraturan perundang –undangan yang dapat
menimbulkan ketidakpastian hukum.

Soal :

b.) Apakah di dalam Peraturan Pemerintah yang salah satu fungsinya adalah berisi materi untuk menjalankan
Undang-Undang sebagaimana mestinya, boleh mencantumkan sanksi pidana sedangkan dalam Undang-
Undang nya sendiri tidak ada memuat sanksi pidana, atau pemaksa,?. Tanggapan anda harus menyertakan
dasar hukumnya.

Jawab :

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (“PERPPU”) pada prinsipnya itu setara/setingkat dengan
Undang-undang (UU). Memang benar Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan (“UU 12/2011”) telah mengatur bahwa materi muatan mengenai ketentuan
pidana hanya dapat dimuat dalam UU dan Peraturan Daerah (“Perda”). Karena memiliki kedudukan dan
materi muatan yang sama dengan UU, maka ketentuan pidana dapat dimuat dalam PERPPU.

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (“PERPPU”) merupakan salah satu jenis peraturan
perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa
sebagaimana yang disebut dalam Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 (“UUD 1945”) dan Pasal 1
angka 4 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Ketentuan pidana merupakan ketentuan yang tidak mutlak ada dalam peraturan perundang-undangan,
sehingga perumusan ketentuan pidana tersebut tergantung pada masing-masing peraturan perundang-
undangan. Namun demikian, peraturan perundang-undangan yang dapat mencantumkan Ketentuan Pidana
hanya Undang-Undang dan Peraturan Daerah. Kata “dapat” yang digunakan mengindikasikan bahwa
undang-undang tidak harus selalu ada ketentuan pidana di dalamnya. Hal tersebut sesuai dengan ketentuan
Pasal 15 ayat (1) UU 12/2011 yang mengatakan bahwa materi muatan mengenai ketentuan pidana hanya
dapat dimuat dalam:
BUKU JAWABAN UJIAN UNIVERSITAS TERBUKA

a. Undang-Undang;

b. Peraturan Daerah Provinsi; atau

c. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota

Pasal 15 ayat (1) UU 12/2011 tersebut mempertegas bahwa di dalam undang-undang memang
mencantumkan ketentuan sanksi di dalamnya. Untuk menjawab pertanyaan Anda, di sepanjang penelusuran
kami, sanksi biasanya diatur di bab khusus dengan judul “Sanksi” atau dapat pula dengan judul “Ketentuan
Pidana”.

Contoh undang-undang yang di dalamnya terdapat ketentuan sanksi adalah UndangUndang Nomor 9 Tahun
1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum (“UU 9/1998”) dan Undang-Undang
Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek (“UU Merek”). Sebagian undang-undang menamakan bab yang
mengatur ketentuan sanksi dengan nama “Sanksi” seperti UU 9/1998, yakni dalam Bab V, dan sebagian
lainnya menamakan bab tersebut dengan nama “Ketentuan Pidana” seperti UU Merek, yakni dalam Bab XIV.

Dasar hukum:

1. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum

2. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia

3. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek

4. Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Soal :

3. a. Tentukan status masing – masing pelaku dalam contoh kasus di atas dan jawaban anda harus disertai
dengan ketentuan hukum yang mengaturnya.

Jawab :

Palu : sebagai dalang atau otak yang merencanakan dan membujuk membujuk melakukan” (uitlokking)
pembubuhan Badut, biasanya mereka ini disebut actor intelektual, (medepleger)

Paku : Sebagai (pleger) Eksekutor atau orang yang melakukan pembunuhan terhadap Badut .

Skrup : Sebagai informan atau orang yang memberikan bantuan informasi “membantu melakukan”
(medeplichtige).

Dasar hukumnya : Ketentuan mengenai turut melakukan dilihat dalam Pasal 55 (turut melakukan).

Pasal 55 KUHP:

(1) Dihukum sebagai orang yang melakukan peristiwa pidana:

1e. Orang yang melakukan, yang menyuruh melakukan, atau turut melakukan perbuatan itu;

2e. Orang yang dengan pemberian, perjanjian, salah memakai kekuasaan atau pengaruh, kekerasan,
ancaman atau tipu daya atau dengan memberi kesempatan, daya upaya atau keterangan, sengaja membujuk
untuk melakukan sesuatu perbuatan.
BUKU JAWABAN UJIAN UNIVERSITAS TERBUKA

(2) Tentang orang-orang yang tersebut dalam sub 2e itu yang boleh dipertanggungjawabkan kepadanya
hanyalah perbuatan yang dengan sengaja dibujuk oleh mereka itu, serta dengan akibatnya.

Soal :

b. Kapan seseorang dapat dikatakan memberikan bantuan?, dengan memperhatikan kasus tersebut,
tentukan siapa yang dikualifikasikan sebagai yang memberi bantuan?. Jawaban anda harus menyebutkan
dasar hukumnya.

Jawab :

Menurut saya, yang dikualifikasikan sebagai yang memberi bantuan adalah “Skrup” karena mencari dan
memberikan informasi tentang rutinitas Badut dengan memberikan imbalan uang Rp. 1 juta kepadanya. Hal
tersebutlah yang di kenal dengan “membantu melakukan” (medeplichtige) dalam Pasal 56 KUHP.

Dasar hokum yang saya pakai adalah Pasal 56 KUHP yang berbunyi sebagai berikut : Dihukum sebagai orang
yang membantu melakukan kejahatan:

1. Barangsiapa dengan sengaja membantu melakukan kejahatan itu;

2. Barangsiapa dengan sengaja memberikan kesempatan, daya upaya, atau keterangan untuk melakukan
kejahatan itu.

Soal :

4. a. Dimanakah kompetensi absolut dari perkara tersebut? berikan dasar hukum untuk menguatkan
jawaban anda.

Jawab :

Kompetensi absolut dari perkara ini adalah “Pengadilan Negeri”. Karena Kompentesi Absolut diartikan
kewenangan pengadilan mengadili suatu perkara/sengketa yang didasarkan kepada objek atau menteri
pokok perkaranya. Kompetensi absolute dapat lihat sebagai distribusi berkaitan dengan pemberian
wewenang, yang bersifat terperinci (Relatif) diantara badan - badan yang sejenis mengenai wilayah hukum.
Contoh : pengadilan negeri Kupang dengan pengadilan negeri Soe, Kefa , dan Atambua.

Dasar hukumnya : Pasal 84 ayat (1) KUHAP yang berbunyi: “Pengadilan negeri berwenang mengadili segala
perkara mengenai tindak pidana yang dilakukan dalam daerah hukumnya.”

Soal :

b. Mengingat domisili penggugat dan tergugat dari berbagai daerah, maka pengadilan negeri manakah yang
akan menjadi kompetensi relatif untuk perkara Tuan Anggur? dan berikan alasan yang menjadi dasar anda
menentukan kompetensi relatif tersebut.

Jawab :

Menurut saya, pengadilan negeri yang akan menjadi kompetensi relatif untuk perkara Tuan Anggur adalah
PN dimana Tuan Anggur tinggal, yaitu PN Kota Padang. Kompetensi relatif diartikan kewenangan pengadilan
untuk menangani/mengadili suatu sengketa/perkara didasarkan pada tempat/lokasi/domisili para pihak
BUKU JAWABAN UJIAN UNIVERSITAS TERBUKA

yang bersengketa atau didasarkan pada dimana objek yang disengketakan berada. Atau dengan kata lain,
kompetenasi relatif adalah kewenangan pengadilan untuk menangani perkara sesuai dengan wilayah hukum
(yurisdiksi) yang dimilikinya. Oleh karena itu, para pihak dalam mengajukan gugatan untuk memperhatikan
dimana tempat/lokasi/domisili para pihak serta objek yang disengketakan, dengan tujuan kompentesi relatif
dari gugatan yang diajukan dapat diterima, diperiksa serta diadili oleh hakim.
BUKU JAWABAN UJIAN UNIVERSITAS TERBUKA

Anda mungkin juga menyukai