Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH

Keterpaparan Erosi Akibat Hujan di Kabupaten Kulon Progo, D.I Yogyakarta dan
penanggulangannya

Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Konservasi Tanah dan Air
Dosen Pengampu : Prof. Dr. Ir. Abraham Suriadikusumah, D.D.A.

Disusun Oleh :

Kelompok 8

Vina Nurfadilah (150510210002)


Saepul Zamil (150510210003)
Siti Robiah Nurfajriah (150510210005)
Fanisa Oktarista (150510210009)
Nabilah Darayani (150510210011)
Salma Saudah Azizah (150510210038)
Fajar Ramadhan Hasibuan (150510210049)

PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI


FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS PADJADJARAN
2022
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Hujan merupakan bagian dari siklus air untuk menjaga keseimbangan air di alam semesta.
Pemanasan air samudera oleh sinar matahari merupakan kunci proses dari siklus hidrologi dapat berjalan
secara kontinu. Siklus air terjadi dimulai dari penguapan air oleh matahari, uap air ini kemudian menjadi
awan dan mengalami kondensasi dan membentuk butir-butir air yang akan jatuh kembali sebagai
presipitasi berupa hujan dan / salju. Sebagian air-air yang jatuh ke permukaan bumi akan mengalir
menuju sungai dan kemudian mengalir ke laut dan mengalami penguapan kembali. Besarnya intensitas
curah hujan yang berbeda-beda tergantung dari lamanya curah hujan dan frekuensi kejadiannya. Hasil
dari formulasi pola hujan sangat penting untuk upaya-upaya penanganan dan pengendalian dampak
negatif yang diakibatkan oleh adanya hujan. Intensitas curah hujan dapat dinyatakan dalam tinggi hujan
atau volume hujan tiap satuan waktu, terjadi pada satu kurun waktu air hujan terkonsentrasi (Wesli,2008).
Erosi adalah peristiwa terangkutnya tanah atau bagian-bagian tanah yang dibawa oleh media alam
seperti angin dan air yang mengikis tanah dan berpindah dari suatu tempat ke tempat lain (Arsyad, 1989).
Peristiwa erosi yang terjadi di daerah tropis terutama di daerah beriklim tropika basah, seperti Indonesia
dapat disebabkan oleh air yang menjadi faktor utamanya. Erosi tanah merupakan fenomena kompleks
alami yang meliputi proses pelepasan (detachment), pengangkutan (transport), dan pemindahan
(deposition) partikel tanah. Erosi tanah merupakan proses alami yang selalu ada dalam perkembangan
geomorfologis suatu wilayah. Pada proses erosi tanah, partikel tanah yang terangkut oleh aliran
permukaan tanah memiliki sifat kimia dan fisika yang dapat dilihat dengan adanya inersia dan kecepatan
komponen tanah yang terangkut. Kecepatan laju aliran air di permukaan tanah berkaitan dengan frekuensi
hujan yang terjadi. Besarnya erosi yang terjadi dapat ditentukan oleh intensitas hujan dan bentuk kegiatan
pengelolaan lahan oleh manusia, disamping faktor topografi dan sifat tanah. Perkiraan besarnya erosi
pada suatu lahan dapat digunakan untuk perencanaan penggunaan lahan dan tindakan konservasi tanah
yang tepat, supaya tidak terjadi kerusakan tanah sehingga tanah tersebut dapat digunakan secara produktif
dan berkelanjutan.
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1 Bagaimana gambaran umum wilayah Kabupaten Kulon Progo
1.2.2 Bagaimana pola keterpaparan erosi akibat Hujan di Kabupaten Kulon Progo?
1.2.3 Bagaimana pola keterpaparan erosi akibat hujan di Kabupaten Kulon Progo berdasarkan
Kecamatan
1.2.4 Bagaimana solusi yang dapat dilakukan
1.3 Tujuan Masalah
1.3.1 Untuk mengetahui gambaran umum wilayah Kabupaten Kulon Progo
1.3.2 Untuk mengetahui pola keterpaparan erosi akibat Hujan di Kabupaten Kulon Progo
1.3.3 Untuk mengetahui pola Keterpaparan erosi akibat hujan di Kabupaten Kulon Progo berdasarkan
Kecamatan
1.3.4 Untuk mengetahui solusi yang dapat dilakukan

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Gambaran Umum Wilayah Kabupaten Kulon Progo


Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Kulon Progo yang terletak di bagian barat
Daerah Istimewa Yogyakarta dan terdiri dari 12 kecamatan. Secara geografis, Kabupaten
Kulon Progo terletak pada 7⁰ 38'42" – 7⁰ 59'3" Lintang Selatan dan 110⁰ 1'37" – 110 ⁰
16'26" Bujur Timur. Topografi wilayah ini terdiri dari pesisir hingga perbukitan
menyebabkan lereng di wilayah tersebut beragam mulai dari 0% hingga >40%.
Keragaman topografi tersebut mengakibatkan beberapa wilayah di kabupaten Kulon
Progo dapat memicu terjadinya erosi. Kondisi tanah di wilayah Kulon Progo didominasi
oleh tanah Andisol dan terdiri dari badan air, sawah, permukiman, tegalan, muara laut
dan didominasi oleh kebun campuran.
Di wilayah Kabupaten Kulon Progo terdapat 12 stasiun hujan yang masih aktif di
12 kecamatan. Kabupaten Kulon Progo memiliki curah hujan rata- rata bulanan tertinggi
pada bulan Januari hingga mencapai 270 mm/ bulan dan merupakan puncak dari musim
hujan. Sedangkan puncak musim kemarau terjadi di bulan Agustus dengan rata- rata
curah hujan hanya 3mm/ bulan. Rata- rata curah hujan tertinggi di Kabupaten Kulon
Progo terjadi pada tahun 2013 yaitu mencapai 2.461 mm/ tahun sedangkan rata- rata
curah hujan terendah terjadi pada tahun 2009 yaitu sebesar 1.444 mm/ tahun. Pada tahun
2013 terjadi anomali iklim yang merupakan gejala dari La Nina yang menyebabkan
musim hujan berkepanjangan tanpa kemarau yang sering terjadi di Indonesia. Kejadian
tersebut menyebabkan terjadinya banjir terbesar di beberapa provinsi di Pulau Jawa.

Gambar 1. Grafik Rata- rata Curah Hujan Tahunan Kabupaten Kulon Progo
Gambar 2. Grafik Rata- rata Curah Hujan Bulanan Kabupaten Kulon Progo

2.2 Pola Keterpaparan Erosi Akibat Hujan di Kabupaten Kulon Progo


Menurut data BPBD erosi yang terjadi di Kabupaten Kulon Progo terdapat
keterpaparan erosi ringan, sedang dan berat. Namun, sebagian besar wilayah mengalami
erosi alur yang merupakan erosi sedang dengan luasan 314,98 km² atau sebesar 53,7%
dari total luas Kabupaten Kulon Progo. Berikut merupakan tabel keterpaparan erosi yang
terjadi beserta luasan wilayahnya.

Berdasarkan tingkat erosi, wilayah utara dan barat kabupaten mengalami erosi
parit, yang merupakan erosi berat. Pada wilayah tengah, selatan hingga timur kabupaten
memiliki tingkatan erosi sedang dan yabg terjadi adalah erosi alur. Berikut merupakan
gambar mengenai frekuensi kejadian erosi
2.3 Pola Keterpaparan Erosi Akibat Hujan di Kabupaten Kulon Progo Berdasarkan Kecamatan
Terdapat pola keterpaparan erosi akibat hujan di kabupaten kulon progo mulai dari tingkat
rendah, sedang, dan berat. Pada 7 kecamatan yaitu Kecamatan Wates, Sentolo, Nanggulan, Girimulyo,
Pengasih, Panjatan dan Kecamatan Galur terjadi pola keterpaparan erosi akibat hujan tingkat ringan.
Seperti yang disajikan pada tabel, kecamatan yang memiliki luasan wilayah terpapar erosi akibat hujan
tingkatan ringan yang paling luas adalah Kecamatan Panjatan dengan luas 35,10 km² atau sebesar 40,27%
dari total luas keseluruhan wilayah keterpaparan erosi tingkat ringan di Kabupaten Kulon progo,
sedangkan kecamatan dengan luas keterpaparan erosi akibat hujan tingkat ringan dengan luas paling kecil
0,77 km² adalah Kecamatan Pengasih yaitu sebesar 0,88% dari total luas wilayah terpapar erosi tingkat
ringan di Kabupaten Kulon Progo.
Pada tabel dibawah, tersajikan data kecamatan-kecamatan yang terkena pola keterpaparan erosi akibat
hujan di kabupaten kulon progo tingkat sedang yaitu Kecamatan Wates, Sentolo, Nanggulan, Girimulyo,
Samigaluh, Kalibawang, Kokap, Pengasih, Lendah, Temon, Panjatan dan Kecamatan Galur. Kecamatan
Lendah merupakan kecamatan yang terpapar erosi akibat hujan tingkat sedang yang paling luas dengan
luas 86,42 km² atau sebesar 27,22% dari total luas keseluruhan wilayah keterpaparan erosi tingkat sedang
di Kabupaten Kulon Progo. Sedangkan Kecamatan Samigaluh merupakan kecamatan dengan luas
keterpaparan erosi akibat hujan tingkat sedang paling kecil yaitu seluas 2,64 km² atau sebesar 0,83% dari
total luas wilayah terpapar erosi tingkat sedang di Kabupaten Kulon Progo.

Selain itu, terdapat 7 kecamatan dengan pola keterpaparan erosi akibat hujan tingkat berat di Kabupaten
Kulon Progo, yaitu Kecamatan Nanggulan, Girimulyo, Samigaluh, Kalibawang, Kokap, Pengasih dan
Kecamatan Temon. Seperti yang tersajikan pada tabel di bawah, Kecamatan Samigaluh merupakan
kecamatan yang memiliki luasan wilayah terpapar erosi akibat hujan tingkatan berat terluas yaitu dengan
luas keterpaparan wilayah 64,80 km² atau 37,26% dari total luas keseluruhan wilayah keterpaparan erosi
tingkat berat Kabupaten Kulon Progo. Sedangkan Kecamatan Nanggulan merupakan kecamata dengan
luasan wilayah terpapar erosi akibat hujan tingkatan berat terkecil yaitu dengan luas 0,09 km² atau sebesar
0,05% dari total luas wilayah terpapar erosi tingkat sedang di Kabupaten Kulon Progo.
2.4 Solusi
a. Cara Vegetasi
Vegetasi yang digunakan berupa tanaman penutup tanah. Tanaman penutup tanah yaitu tanaman yang
khusus ditanam untuk melindungi tanah dari ancaman kerusakan oleh erosi dan untuk memperbaiki
kondisi tanah. Vegetasi juga dapat menghambat aliran permukaan dan memperbesar infiltrasi, selain itu
juga penyerapan air ke dalam tanah diperkuat oleh transpirasi (penyerapan air melalui vegetasi).
Efektifitas tanaman penutup dalam mengurangi erosi tergantung pada ketinggian dan kontinuitas
penutupan, kerapatan penutup tanah dan kerapatan perakaran. Makin tinggi tanaman penutup makin
tinggi efektifitasnya. Butiran air hujan yang ditangkap tanaman kemungkinan terkumpul didaun dan
membentuk butiran yang lebih besar. Tanaman penutup tidak hanya mengurangi kecepatan aliran
permukaan karena meningkatnya kekasaran, tetapi juga terkonsentrasinya aliran permukaan. Penurunan
kecepatan aliran permukaan memberi peluang waktu untuk terjadinya infiltrasi.
Pengaruh vegetasi penutup tanah terhadap erosi adalah: 1) Melindungi permukaan tanah dari tumbukan
air hujan (menurunkan kecepatan terminal dan memperkecil diameter air hujan), 2) menurunkan
kecepatan dan volume air runoff, 3) menahan partikel-partikel tanah pada tempetnya melelui sistem
perakaran dan serasah yang dihasilkan, dan 4) mempertahankan kapasitas tanah dalam menyimpan air;
dan 5) meningkatkan laju infiltrasi dan perkolasi air dalam tanah. Menurut Soemarwoto (1983) bahwa
selain berfungsi menghalangi pukulan langsung air hujan kepermukaan tanah, vegetasi penutup lahan
juga menambah kandungan bahan organik tanah yang meningkatkan resistensi terhadap erosi yang
terjadi. Selanjutnya, menurut Hardjowigeno (1987; Subandi 2014), pencegahan erosi dapat berlangsung
secara efektif apabila paling sedikit 70 % permukaan lahan tertutup oleh vegetasi.
Vegetasi secara umum dapat mencegah erosi, namun setiap jenis tanaman dan banyaknya tajuk terhadap
erosi berbeda-beda. Pada tanaman yang rimbun kemungkinan erosi lebih kecil dibandingkan dengan
tanaman yang tumbuh jarang. Pengaruh vegetasi terhadap aliran permukaan dan erosi yaitu intersepai air
hujan oleh tanaman, mengurangi kecepatan aliran dan energi perusak air serta meningkatkan efektivitas
mikroorganisme yang berperan dalam proses humifikasi. Juga dapat menigkatkan agregasi dimana akar-
akar tanaman dengan selaput koloidnya menyebabkan agregat menjadi stabil dan pengaruh traspirasi
dimana terjadi peningkatan kehilangan air tanah melalui penguapan sehingga kemampuan menyerap air
meningkat.
b. Cara Struktural
Cara Struktural, salahsatu cara struktural yang dapat digunakan untuk mencegah erosi adalah dinding
penahan tanah. Dinding penahan tanah adalah suatu konstruksi yang berfungsi untu menahan tanah lepas
atau alami dan mencegah keruntuhan tanah yang miring atau lereng yang kemantapannya tidak dapat
dijamin oleh lereng tanah itu sendiri. Tanah yang tertahan memberikan dorongan secara aktif pada
struktur dinding sehingga struktur cenderung akan terguling atau akan tergeser. Dinding penahan tanah
berfungsi untuk menyokong serta mencegahnya dari bahaya kelongsoran. Baik akibat beban air hujan,
berat tanah itu sendiri maupun akibat beban yang bekerja di atasnya.
Teknik konservasi tanah secara vegetatif dan struktural tersebut pada prinsipnya memiliki tujuan yang
sama yaitu mengendalikan laju erosi, namun efektifitas, persyaratan dan kelayakan untuk diterapkan
sangat berbeda. Oleh karena itu pemilihan teknik konservasi yang tepat sangat diperlukan (Kasdi
Subagyono, Setiari Marwanto, dan Undang Kurnia, 2003). Jika dilihat dari segi ekonomi pencegahan
erosi dengan cara menggunakan tanaman penutup dinilai lebih terjangkau jika dibandingkan dengan
dinding penahan erosi. Sedangkan dengan dinding penahan tanah dinilai lebih mahal karena
menggunakan bahan-bahan bangunan seperti semen yang memiliki harga kurang ekonomis. Dikarenakan
upaya pencegahan erosi dengan menggunakan dinding penahan tanah relatif mahal, maka penggunaan
tanaman penutup tampaknya lebih ekonomis menjadi alternatif terbaik untuk penganggulangan.
BAB III
PENUTUP

3.1 Simpulan
Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa
● Kabupaten Kulon Progo merupakan daerah dengan kondisi topografi pesisir hingga perbukitan
dengan variasi lereng 0% sampai > 40% sehingga memungkinkan terjadinya erosi. Intensitas
curah hujan terbesar di kabupaten tersebut terjadi di tahun 2013 dengan rata-rata 2.461 mm/thn.
Intensitas curah hujan yang tinggi tersebut menyebabkan terjadinya banjir di beberapa provinsi di
Pulau Jawa.
● Rata-rata hari hujan di Kulon Progo pada setiap kelas frekuensi hujan dari tahun 2005-2013
cenderung naik pada kelas frekuensi 11-25mm, dan variasi kenaikan dan penurunan pada kelas 5-
10mm, 26-50mm dan >51mm di setiap tahunnya. Jumlah hari hujan terbanyak dengan frekuensi
paling banyak terjadi pada tahun 2013.
● Wilayah yang terpapar erosi dengan tingkat sedang yang disebabkan oleh hujan mendominasi
daerah Kulon Progo, yaitu seluas 314,98 km² atau sebesar 53,7% dari total luas Kabupaten Kulon
Progo.
● Pola keterpaparan erosi di Kabupaten Kulon Progo yang disebabkan oleh faktor hujan dengan
tingkat ringan terjadi di Kecamatan Wates, Sentolo, Nanggulan, Girimulyo, Pengasih, Panjatan
dan Kecamatan Galur, dengan wilayah paparan tertinggi terjadi di Kecamatan Panjatan yaitu
35,10 km2 atau sebesar 40,27% dari total keseluruhan wilayah terpapar di Kulon Progo.
● Solusi yang bisa dilakukan untuk menangani permasalahan mengenai erosi karena hujan yani
dengan menanam tanaman penutup tanah dan membangun dinding penahan tanah untuk
mencegah erosi pada lahan yang miring atau lereng
DAFTAR PUSTAKA

Muchlis, D.R; Sobirin; Damayanti A. (2017). Wilayah Keterpaparan Erosi Akibat Hujan di
Kabupaten Kulon Progo, D.I Yogyakarta. Industri Research Workshop and National
Seminar. Politeknik Negeri Bandung.
Juleha; Rismalinda; Rahmi A. (2016). Analisa Metode Intensitas Hujan Pada Stasiun Hujan
Rokan IV Koto, Ujung Batu, dan Tandun Mewakili Ketersediaan Air di Sungai Rokan
Soemarwoto, Otto, 1983, Ekologi Lingkungan Hidup dan Pembangunan, Jakarta, Penerbit
Djambatan.
Subandi, M. (2014) Comparing the Local Climate Change and its Effects on Physiological
Aspects and Yield of Ramie Cultivated in Different Biophysical Environments. Asian Journal of
Agriculture and Rural Development 4 (11), 515-524.
Hardjowigeno, S. 1987. Ilmu Tanah. Mediyatama Sarana Perkasa. Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai