Anda di halaman 1dari 5

Merai h

pi an
Imp
Karya: Resti Hartika

Terusik lamunanku saat terngiang sebaris


kata ayah yang selalu berulang menelusup ke
telingaku, “Nanda, kamu pasti bisa!” Kata-kata
ayahku laksana dentuman meriam di rongga
dadaku. Setiap kuingat kata-kata itu, semakin
berat beban yang kurasakan, terlebih,
urutanku sebagai sulung dari lima bersaudara.
Tidak mudah bagiku untuk menjadi sulung.
Kurasakan pula beban kedua orang tuaku yang
semakin menjadi. Ayah, di luar segala
kewajibannya sebagai PNS, terlibat aktif di
dunia jurnalistik dan organisasi. Tidak
mengherankan jika bunda terpaksa turun
tangan untuk menopang keuangan keluarga
dengan membuka sebuah warung kecil-
kecilan.
Padatnya aktivitas ayah dan bunda terekam
kuat dalam benakku. Kerja keras seakan
menjadi menu wajib bagiku. Namun, ada hal
yang menjadi titik lemahku. Dua kali tangisku
pecah ketika cita-citaku tak tersampaikan.
Pertama, ketika gagal masuk fakultas
kedokteran karena faktor biaya. Kuingat kata-
kata bunda di telingaku.
“Kita tak cukup uang untuk kamu masuk
Fakultas Kedokteran. Sabar ya, Nak!”, ucap
Bunda lembut, tetapi pasti.
Kedua, ketika gagal mendaftar ke STPDN
karena tinggi badan kurang. Kegagalan itu
tentu saja membuatku terluka. Ayah dan
bunda tiada putusputusnya membangkitkan
diriku hingga kedua kakiku benar-benar
mampu berpijak.

Untuk mengobati luka hatiku, kuputuskan


untuk membantu bunda menjaga warung.
Sambil menjaga warung, sedikit demi sedikit
belajar dari ketegaran bunda dalam
menghadapi kesulitan hidup.
Sering bunda tidur larut karena harus
menyambung potongan perca menjadi
sebuah bed cover untuk dijual. Bed cover itu
dititipkan di sebuah toko swalayan. Tiada
pernah putus doaku kepada Sang Khalik agar
bunda senantiasa dikaruniai kesehatan lahir
dan batin.
Salah satu doaku terkabul. Suatu hari ayah
memutuskan untuk berhenti bekerja dan
berorganisasi. Ayah mulai melirik dunia usaha.
Sebagai langkah awal, ayah melahap buku-
buku sederet profil pengusaha sukses, sebut
saja Bob Sadino, Bill Gates, Steve Jobs,
Richard Branson, Donald Trump, dan Elang
Gumilang. Benih pohon bisnis tumbuh pesat
pula dalam diriku, terlebih setelah aku
menyerap isi beberapa buku yang
menyampaikan motivasi.
Dua kegagalan yang lalu berakhir ketika aku
diterima di jurusan bahasa Inggris. Kutekuni
masa pendidikan tinggi dengan sepenuh hati.
Kendala finansial mendorongku untuk
merambah dunia kerja di samping kuliah.
Pucuk dicinta ulam tiba. Suatu hari Kak Ica,
saudara sepupuku, datang kepadaku.
“Nanda, di sebelah toko Bunda ada kios yang
dijual. Bagaimana kalau kita patungan untuk
membeli kios itu, lalu kita jual pakaian di
sana?” kata Kak Ica.
Ia mengajak berpatungan untuk membeli kios
itu. Kami mulai berbisnis pakaian. Tidak
kusangka, usaha itu menuai hasil yang
gemilang. Bunda berkunjung ke tokoku dan dia
memuji, “Wah, ternyata Nanda sudah meraup
banyak untung nih”. Kesibukan berbisnis tidak
melemahkan prestasi di ranah akademis. Aku
berhasil mempertahankan semuanya dengan
hasil yang memukau.
Seiring waktu, jaringan bisnisku meluas.
Padatnya jadwal ceramah ayah sebagai
motivator mendorongku untuk membantunya.
Jadilah aku berkiprah dalam dunia event
organizer. Lahan bisnis ini menuai sukses yang
tergolong gemilang. Jaringan konsumen luas
semakin membuka peluang untuk berkiprah di
bidang lain. Usaha penjualan tiket pesawat
pun kulakoni hingga membuahkan beberapa
kantor cabang di berbagai kota di negeri ini.
Kesuksesan ini tidak patut membuatku
angkuh, terutama di hadapan Tuhan. Hanya
karena ridha-Nya aku dapat meraih semuanya.
Tidak luput bimbingan dan motivasi dari
kedua orang tuaku turut membuatku tegar
dalam berbagai kesulitan.

Anda mungkin juga menyukai