Anda di halaman 1dari 3

Cerpen Meraih Mimpi

Kala bulan bercahaya dengan cahayanya yang terang tapi tak menyilaukan bersama hembus
angin yang sejuk. Terusik lamunanku saat terngiang sebaris kata ayah yang selalu berulang
menelusup ke telingaku, “Nanda, kamu pasti bisa!” Kata-kata ayahku laksanakan meriam di
rongga dadaku. Setiap kuingat kata-kata itu semakin berat beban kurasakan, terlebih urutanku
sebagai sulung dari lima besaudara. Tidak mudah bagiku menjadi sulung. Kurasakan pula beban
kedua orang tuaku yang semakin menjadi. Ayah, di luar segala kewajiban sebagai PNS, terlibat
aktif di dunia jurnalistik dan organisasi. Tidak mengherankan jika bunda terpaksa turun tangan
untuk menopang keuangan keluarga dengan membuka sebuah warung kecil-kecilan. Padat
aktivitas ayah dan bunda terekam kuat dalam benakku. Kerja keras seakan menjadi menu wajib
bagiku.

Padatnya aktivitas ayah dan bunda terekam kuat dalam benakku. Kerja keras seakan menjadi
menu wajib bagiku. Namun, ada hal yang menjadi titik lemahku. Dua kali tangisku pecah ketika
cita-citaku tak tersampaikan.

Ketika mentari dari ufuk timur bertahta bersama embun, aku jadikan langkah awal tukku
menyajikan menu wajib itu (bekerja keras), yaitu aku langkahkan kakiku membawa alat tulis dan
kesiapan pengetahuanku serta mental.

“Aku siap ujian tes tertulis untuk masuk fakultas kedokteran,” kata-kata yang terucap dalam
pikirku yang terucap bersama semangatku dan sejuknya udara kala itu.

Selang waktu aku menunggu pengumuman kelulusan tes ujian tertulis fakultas kedokteran aku
selalu berdoa kepadaNya, agar aku lulus dalam tersebut. Tepat empat hari waktu berlalu dari hari
pelaksanaan tes yang aku laksanakan waktu itu, telah tertera pengumuman kelulusan tes ujian
tertulis fakultas kedokteran di mading.

“Ya Allah terima kasih atas kuasaMu kini aku telah diterima di fakultas kedokteran yang aku
impikan.” Syukurku atas kuasaNya dengan sujud syukur.

Setelah dinyatakan bahwa aku lulus ujian fakultas kedokteran, pihak TU mengabariku bahwa
esok hari aku dan orang tua wajib hadir ke kampus untuk tes wawancara dan memenuhi biaya
pendaftaran.

Sesampaiku di rumah kumenghadap ayah dan bunda serta menyampaikan kabar gembira, bahwa
diriku diterima di fakultas kedokteran.

“Ayah, Bunda, Resti diterima di Fakultas Kedokteran, besok pagi Ayah dan Bunda datang ke
kampus ya untuk transaksi pendaftaran kuliah Resti.” Kataku dengan lembut dan memohon agar
ayah dan bunda mau memenuhi apa yang kuinginkan.

“Tapi kita tak cukup uang untuk kamu masuk Fakultas Kedokteran. Sabar ya, Nak!” ucap Bunda
lembut tetapi pasti.
“Ya sudah Bun, saya mengerti.”
Tak larut ku dalam kesedihan, dan aku melangkahkan kaki dan tekadku tuk mendaftar STPDN.
Namun belum-belum kumendayung apalagi melalui satu pulau aku sudah tenggelam dan
terhampar dalam impianku yang satu ini. Tenggelamku, kegagalanku dalam pendaftaran STPDN
ini karena satu syarat yang tak terpenuhi oleh diriku, yaitu kurangnya tinggi badan.

Untuk mengobati luka hatiku, kuputuskan untuk membantu bunda menjaga warung. Ternyata
pekerjaan sesederhana sebagai jembatan bundaku mencari nafkah ini membawa banyak pelajaran
kehidupan, bagai pohon cabai, meski kecil buahnya pun banyak dan berguna. Maka dari itu di
sisiku menjaga warung, sedikit demi sedikit kubelajar dari ketegaran bunda dalam menghadapi
kesulitan hidup.

Sering kali ketika gelapnya malam dan kemerlap bulan bintang menjadi teman setia bunda, untuk
menyambung helai-helai kain perca dengan benang-benang lembut dan tajamnya jarum, yang
akan ia rubah menjadi bed cover tuk dijual. Habis gelap terbitlah terang, bunda mulai
melangkahkan kakinya tuk menawarkan bed cover yang iya jahit dengan ketulusan dan
kesungguhan hati tersebut dalam keramaian pembeli dan pedagang.

Tiada putus doaku kepada Sang Khalik agar bunda senantiasa dikaruniai kesehatan lahir dan
batin, serta agar kehidupan kami lebih baik dari kehidupan detik lalu dan detik ini.

Seiring berjalannya waktu salah satu doaku terkabul. Suatu hari ayah memutuskan untuk
berhenti bekerja dan berorganisasi. Ayah mulai melirik dunia usaha. Sebagai langkah awal, ayah
melahap dan berusaha terjun dalam imajinasi sederet buku-buku profil pengusaha sukses, seperti
Bob Sadino, Bill Gates, Steve Jobs, Richard Branson, Donald Trump, dan Elang Gumilang.
Benih pohon jiwa kewirausahaan tumbuh pesat pula dalam diriku, terlebih setelah aku menyerap
isi beberapa buku yang menyampaikan motivasi.

Dua kegagalan yang lalu berakhir ketika aku diterima di jurusan bahasa Inggris. Kutekuni masa
pendidikan tinggi dengan sepenuh hati. Kendala finansial mendorongku untuk merambah dunia
kerja di samping kuliah. Pucuk dicinta ulam tiba. Suatu hari Kak Ica, saudara sepupuku, datang
kepadaku. Menawarkan tuk bekerjasama denganku.

“Nanda, di sebelah toko Bunda ada kios yang dijual. Bagaimana kalau kita patungan untuk
membeli kios itu, lalu kita jual pakaian di san?” kata Kak Ica.

“Wah yang benar saja Kak? Terima kasih Ya Allah, Kakak tepat waktu banget deh, ya sudah aku
setuju, kebetulan banget aku sedang membutuhkan pekerjaan tuk meringankan beban orang tua
membiayai kuliahku.” Jawabku dengan riang.

“Iya, yasudah besok kita datang ke kios itu ya, lalu kita tata rapi untuk kita jualan.”

“Oke sip Kak.”

Suatu hari bunda berkunjung ke tokoku dan dia memuji atas keberhasilanku di dunia wirausaha.
“Wah, ternyata Nanda sudah meraub banyak untung nih.” Canda bundaku untuk memujiku.
“Ia Bunda Alhamdulillah, usahaku berjalan dengan baik, sehingga dapat kupakai tuk membayar
biaya kuliah.” Jawabku dengan senang.

“Iya Alhamdulillah jangan lupa selalu bersyukur ya,” pesan bunda kepadaku.

“Iya Bunda, saying Bunda,” jawabku dengan kasih sayang, dan kupeluk bunda.

Seiring waktu, jaringan bisnisku meluas. Padatnya jadwal ceramah ayah sebagai motivator
mendorongku untuk membantunya. Jadilah aku berkiprah dalam dunia event organizer. Lahan
bisnis ini menuai sukses yang tergolong gemilang. Jaringan konsumen luas semakin membuka
peluang untukku berkiprah di bidang usaha lain. Usaha penjualan tiket pesawat pun kulakoni
hingga membuahkan beberapa kantor cabang di berbagai kota di negeri ini.

Kesuksesan ini tidak patut membuatku angkuh, terutama di hadapan Tuhan. Hanya karena ridha-
Nya aku dapat meraih semuanya. Tidak luput bimbingan dan motivasi dari kedua orang tuaku
turut membuatku tegar dalam berbagai kesulitan.

Anda mungkin juga menyukai