Anda di halaman 1dari 15

Islam dan Jender:

Wacana Teoritis dan Praktis

Editor

Kusmana

Buku Ajar
Fakultas Ushuluddin dan Filsafat
UIN Syarif Hidayatullah lakarta
20a7
PARADIGMA KAJIAN ISLAM KONTEMPORER
DAN WACANA JENDER:
dan Tantangan bagi Pengembangan Kurikulum
Prospek

Kusmana

Abstrak
jender sebagai salah satu pendekatan kontemporer
Makqlah ini mendiskusikan wacana UIN
dan perhatian p"rgr;;on iisg, trtr*
tuioirp"yr, ielalui komparasi UIN Jayarta danFilsafat
tJshuluddin dan
yogtokarta d"ngo, kii^ irlruU- l*,,r*T'ittir Hadis Fakultasdi Jurusan tersebut masih
UIN Jakarta. Makalah ini mengyonfirmasi
bahia wacana iender
demikian' hil berarti sensitivitas
tersebut tidak
belum mendapat tempat yang memadai..Namtun
jender di kalangan''irt iton, lemah.'i;-;;i"hn"g oleh banyak fahor yang menguatkan
maupun kesempatan
mulai dari ttdak adiia iirii*iroti dati
hal pendiftaran, penerimaan,
sinyalemen meningkatnya
belajar di UIN. iiryo tuti, tentong ir"a"r'irgo"p"ruit
perhatian rcrnoaoi iiiii i"na"r. S";;;;
r"ki, ^"ngitkan menvimpukan bahwa perhatian
wacana jendei di universitas masih
perlu ditingkatkan'
terhadap

Kata Kunci
Isldmiyah dll'
Gender mainstreamizg kurikulum' dirdsah

Pendahuluan
PendekatanpengkajiandanpengajarandiUlNJ.**n$usus.nvadifakultas-fakultas
agarna sampai
y{-au masih terkungkung oleh elemen
;; fii;enurut rr"*it--p.nulis, Isldmiyah (kajian Islam) yang normatif
pembentuk Aolltinurryi yaitu bangunan'dirdsah Tengah' sudah mulai ada
dengan sumber ;;; informasi Oun t uditi keilmuan dari Timui
maupun random individual dengan tahapan
kegelisahan b"ik ;;;; ,iJg_*",i. ke]Smbasaan
the siage of making a new tradition' untuk
yang masih u*ut iri l"Uif, t"put di$d,
'rn.fiuruttu, ke daiamnya pendekatan-pendekatan empirik'
model-model pengkajian dan pengajaran
Keyakinan ini didasarkan pada masuknya
berbeda yang datang dari sumber d",u
t*did'n oi t uairi keilmuan Iilam kontemporer, baik
yang terjadi secara internal
Timur Tengah *uop,r, Barat, d* dJ;;b"h*-perubahan ke
seperti motivasi aioirit<an IAIN
yani'[;d;;;ti politis dan- pragmatis berkembang keilmuan
t"r:uJinya ierubahan di sumber-sumber
dimensi akademis, dan secara "r.rt"*ir,
Islam di Timur Tengah, seperti Universitas
at-a'itut yang membuka ilmu-itmu sekuler sejak
pertengahan r..ouu-iuui io,;uga ai
g*"t d"rg* r.riiir t-e$adap orientalismenya' Ditambah
tidak akan lepas dari pengaruh
lagi, urN,TArN/srArN ,eLuEai l;;rg; ["it*uu.,
perkembangun f."if-ru, ,""u.igtoUut
Oii,u'u kemajuan teknologi informasi banyak sekali
kendala
tenOata jarak, politilq ikonomi' sampai
menghilangkan berbagai kendala tari
ter.laOinya pertukaran dan dessiminasi
budaya, ,.f,inggu-*;;;rmudalr Oun'tn".f"'fiat pendidikan'
puOu titik terburu! n'n suatu lembaga
informasi (ilmu pengetahuan). Su*pui tekntlogi informasi atau ia menjadi
misaln;-a UNl\N:SierN iOuf. Auput?L*unf*tkan riset orang lain
,,mereka , rnf ..nguasai info'rmasi" sehingga hanya menjadi obyek
obyek
urrtTrarplsTAlN masih dihadapkan pada
saja. Dengan t..niaur,u,i ut.", inrorruri,
terbukanlaaisesb,erbagaiinformati'V""gUitadimanfaatkanuntukmelakukanakselerasi
situasi seperti ini
adaptasi dengan retembangan
dan t ntuiun zaman' Dengan kata lain'

162
menyediakan kesempatan kepada perguruan tinggi untuk beradaptasi dan memanfaatkan
konteks demi peningkatan kualitas dan pengembangan perguruan tinggi itu sendiri.
Dalam konteks di atas, prospek dan tantangan bagi UIN menarik untuk dilihat lebih
dekat dengan mengambil kasus wacana jender sebagai salah satu fenomena kontemporer
yang perlu direspon. Untuk mensistematisaikan pembahasan, penulis membagi tulisannya ke
dalam sub-sub judul berikut: pergeseran paradigma keilmuan humainora, termasuk di
dalamnya ilmu-ilmu sosial, pengkajian Islam kontemporer, wacana jender; kurikulum
Fakultas Ushuluddin dan Filsafat; kurikulum Jurusan Tafsir Hadis; dan karya tulis tentang
isu-isu jender.

Pergeseran Paradigma Keilmuan Humainora


Secara longgar bisa dikatakan bahwa terjadi pergeseran paradigma keilmuan
humainora/ilmu-ilmu sosial, dari perspektif empirik positivisme ke empirik hermeneutik
sejak awal pertengahan ke dua abad 20. Pergeseran itu dimulai dari kegelisahan sebagiari
pernikir akan validitas, akurasi, dan kemampuan empirik positivisme dalam menyingkap
rahasia-rahasia persoalan kehidupan manusia yang kompleks dan penuh misteri, yaitu sejak
kurang lebih 100 tahun lalu. Kegelisahan itu muncul misalnya pada kenyataan bahwa empirik
positivisme bekerja berdasar penglihatan sesuatu gejala dari sisi sebab akibat (kausalitas).
Untuk wilayah empirik seperti fisik hewan, manusia, dan tumbuhan atau alam, prinsip
kausalitas adalah jalan terbaik untuk mendapatkan kebenaran-kebenaran atau rahasia-
rahasianya, karena sifat mekanik dan konstan dari cara kerja fisik obyek-obyek tadi, sehingga
memungkinkan untuk diukur secara akurat. Sementara, aspek mental terutama manusi4
termasuk di dalamnya keterkaitan perilaku atau dorongan-dorongan eksternal yang
mempengaruhi cara berpikir dan sikap yang unik dengan kemampuan untuk
menyembunyikan "kebenaran" yang sesungguhnya, tidak bisa diukur oleh ukuran yang cara
kerjanya lurus, hanya mengenal satu penafsiran, konstan, dan sangat menjunjung akurasi
fisik.
Dengan meragukan kembali cara kerja empirik positivisme untuk obyek ilmu-ilmu
sosial kemanusian, mendorong sebagian pemikir unfuk mencari "alat ukur alternatif'. Di
antara penggagas awal adalah F.W. Dilthey (1833-1911) yang menyodorkan vertehen
(pemahaman) sebagai alat ukur alternatif humainora. Vertehen adalah alat ukur suatu tradisi
keilmuan yang tumbuh awalnya dalam kajian keagamaarq terutama kajian teks suci Bibel,
yang disebut hermeneutik. Sebenamya, sosiolog klasik terkenal sudah mengenalkan istilah
vertehen, yaitu Max Weber (1864-1920), tapi masih dengan nuans,r sosiologi berbasis
positivisme itu sendiri. Weber dianggap sebagai salah satu mazhab pemikiran tersendiri
dalam disiplin sosiologi. Inti dari pandangan Weber dalam kaitannya dengan vertehen adalah
keyakinan dia akan faktor subyektif manusia dalam hidup dan kehidupannya sebagai
makhluk sosial. Seorang individu, kebalikkan dari Durhaim, dalam pandangan Weber adalah
manusia yang berdaya dan bisa mempengaruhi masyarakat lingkungannya. Keyakinannya ini
mengarahkan dia untuk salah satunya mendikusikan konsep kharisma, di mana individu
dominan dalam suatu kelompok atau masyarakat.
Di tangan Dilthey, vertehen kemudian digiring tidak hanya seperti yang dipahami
Weber, tapi dikontraskan dengan prinsip kerja explanation (penjelasan) yang menjadi media
ekspresi pendekatan positivisme. Kerja Vertehen adalah melalui pemahaman. Memahami
suatu obyek berarti melakukan tindakan analisis melalui dan sejauh "subyek" (peneliti) bisa
menangkap pengertian, pesan, atau hakikat obyek itu sendiri. Menurut Dilthey, manusia
dengan kebudayaan, peradaban, dan paradoks-paradoks antara isi hati dan ekspresinya dapat

163
digali lebih proporsional dengan "pemahaman" dan bukan "penjelasan". penjelasan lebih
merupakan suatu upaya pengekspresian fakta-fakta secara apa adanya utuu
dengan
menghindari sebisa mungkin masuknya pertimbangan pribadi ke dalam opuyu
mengungkap
hakikat suatu obyek. Cxakerja seperti penjelasan ini cocot untuk aspek ns1<
oUyet manusia
dan bukan aspek mental atau abstraknya.
Model kerja pemahaman di atas dipicu tidak hanya oleh pemikir seperti Dilthey yang
_._
melihat ketidakcukupan cara pandang empirik positiviime, tapi juga didorong oleh
model
pemahaman baru linguistik yang melihat aspek sosiopolitis, urt opologis,
dan Epistemologis
kajian kebahasaan. Adalah Ferdinand de SaussurL dan Charles Banders iri"r"" yuig
mengenalkan semiotika modern. Kajian
_keb{asaan tidak lagi hanya dilihat dari sisi fungsil
fungsi dan kedudukan gramatikal suatu kalimat, tapi juga dilihat-dari sisi kandungan atau
sistgm_ makna yang dikandung oleh setiap unsur kebahasaan. Setiap kata
dilihaisebagai
simbol dan ia mengandung sistem makna tersendiri yang terbentuk olei konvensi masyarakat
pengguna bahasa, karenanya setiap simbol mempunyai ruang lingkup dan
batasan makna
tersendiri yang memungkinkan terungkapnya logika dan baias Grpikir suatu masyarakat
pengguna bahasa, yang di dalamnya terjadi gesekan pertimbangan politis,
ekonorni, sosial,
dan budaya.

Munculnya cara pandang seperti di atas melahirkan cara baru untuk melihat realitas.
Tradisi filologi yang cara kerjanya didominasi oleh cara kerja dengan melihat obyek
secara
diakronistilq yaitu yang membedah obyek dari awal sampai perk"ibungun kontemporernya
seperti membelah kayu dari bawah sampai bagian atas, mendapat suntikan baru dengan
cara
pandang yang sinkronistik di mana obyek dilihat dari sisi internalny4 seperti
memotong kayu
yang akan terlihat patterns dan teksturnya. Caru pandang baru-ini memungkinkan
untuk
mengungkap yang selama ini terabaikan, seperti kenapa olah raga tertentu sepe*i sepak
bola
bisa "berfungsi seperti agama", atau menunjukkan bahwa tidaklda superioriLs satu budaya
dengan budaya lain- karena mempunyai sistem makna sendiri-sendiri. Sebagai
contoh,
antropolog sosial terkenal, Claude L6vi-Strauss, berhasil menunjukkan bahwa-masyarakat
modern tidak bisa dikatakan lebih tinggi dari masyarakat primitif, karena keduanya
mempunyai sistem makna tersendiri. Masyarakat primitif mempunyai cara memahami
pandangan dunia (world view) dan bagaimana menjaga cara bereksistinsi
mereka di dunia
tersendiri yang tidak kalah canggih dan sophisticated dart world view "masyarakat
modern',.
Lebih jauh, cara pandang baru dengan motor hermeneutik dan strukturalisme dan
jalannya kebahasaan,
lel8ybah cara pandang ilmu-ilmu sosial seperti sosiologi, sejaralr,
antropologi, dan psikologi dari cara pandang yang lebih mempertimbangkan Anita-fana
rit
dan hubungan kausalitas logis dari fakta-fakta tersebut, ki pulrdung yang lebih
mempertimbangkan pemahaman kebahasaan sebagai media pelaku-pelaku "uru Oai oUyet yang
diteliti. Implikasi dari kecenderungan ini cukup luar bias4 terlihat dari bagaimana cara
obyek-obyek sosiologis, politis, ekonomis, agamis dll., dianalisis. Misalnya,-sejarah yang
salgat kental pengaruh positivismenya, mulai melihat realitas masa lalu Oari tiAat franyl
sejauh mana seorang sejarawan bisa menghadirkan kenyataan sejarah untuk audiennya,
tapi
juga sejauh mana dia mampu memproduksi pengetahuannya Jendiri yang dibangun
dari
realitas sejarah yang cara kerja penelitiannya melalui penelusuran penggunrum bahasa
dari
fakta sejarah yang diteliti.
Pergeseran paradigma bergulir dan bersinergi dengan munculnya isu-isu aktual yang
mengarah pada apresiasi yang memanusiakan manusi4 yang dikenal kemudian dengan Hak
Asasi Manusia. Gerakan ini melahirkan gelombang gerakan kemerdekaan, gerakan anti-
aportheid, kebebasan, termasuk di dalamnya gerakan feminisme (terkandung- didalamnya
"gerakan balas dendam kaum Hawa atas kaum Adam") yang kemudian bergulir menjadi

164
kajian dan gerakan jender atau gender mainstreaming (pengarusutamaan jender) yang melihat
isu tersebut secara lebih netral atau obyektif. Berkaitan d"ngan isu yang diseiut terakhir,
\ujiT dan pengarusutamaan jender saat ini sudah menjadi p"-bi"aruan Uiryat< pihak, mulai
dari ilmuwan, budayawan, pemerintah, maupun politisi. Fenomena kajian dan gerakanjender
sekarang berkembang sampai pada level kebutuhan untuk keperluan rekayisa
sosial dan
kelembagaan.l

Pengkajian Islam Kontemporer


Kajian Islam sebagai salah satu kegiatan ilmiah di bidang keagamaan tidak lepas dari
pengaruh pergeseran paradigma di atas. Menurut hemat penulis, kuji* Islam kontemporer
menunjukkan model '-b*latau ada perubahan ke arah mengkaji Islam dalam konteks,
dilihat dari sisi metodologi atau pendekatan yang dipakai. Di kalangan sarjana Muslim,
perubahan terjadi dari pendekatan normatif pedagogik ke pendekatin histdris akademis
dengan mengikuti kecenderungan terakhir tradisi ilmu-iknu sosial, bahas4 dan filsafat.
Sedangkan di kalangan pengkaji Islam dari Barat, perubahan itu terjadi dari empiris
positivistik ke empiris hermeneutik dan dari kolonial perspektif ke perspektifyang lebih
adil.
Bangunan khazanah keilmuan Islam berdiri di atas azas tidak adanya dikotomi antara
agama dan ilmu. Namun demikian apa bila dilihat lebih dekat lagi, khazanah keilmuan
Islam
diproduksi dengan semangat formalisasi atau pelembagaan berbasis tekstualisme. Sampai
sekarang, bangunan tersebut masih merupakan salah situ bangunan keilmuan Islam yang
paling berpengaruh di kalangan sarjana dan masyarakat Islam. Misalnya, betapa panOangai
inovatif yang digagas pemikir Islam kontemporer, Nashr flamid Abi Zayd, tidak mendalat
tempat di negara yang memiliki salah satu lembaga pendidikan Islam tertua.2
Karakter tekstualisme khazanah Islam berimplikasi positif sekaligus "negatif,.
lmplikasi positif dari semangat ini adalah umat Islam selama beiabad-abad laf,anya berhasil
mempertahankan eksistensi dan memainkan peranannya dalam masyarakat internal umat
I,slam maupun masyarakat global. Secara praktis, cara berada ,r*ui Irlu-
kelompok ini
ditopang oleh tradisi keilmuan,yang mengedepankan kebenaran otoritas generasi awal
umat
Islam. Penyandaran epistemer ini kemudian sering diadagiumkan dingan memelihara
"kesalehan ahl salaf." Modemis Muslim pun mempertimbangkan prinsiplni, tapi dengan
keterbukaan untuk secara hati-hati menerima inovaii dan sering diadagiumkan d"ngunT
muh,hfada bil-qadim os-sdlifuwal-akhdu bi jadid al-ashlaftlmemelihara-kebijaksanaan
lama
dan mengambil sesuatu yang baru yang paling bermanfaat). Model prrr-r"- pesan-pesan
r-eligius Islam seperti ini menjanjikan kesederhanaan konsep yurg *uduh dipahami, mencoba
didalamnya tidak meninggalkan keraguan, dan menyediakin paket pemahaman yang instant

I Fenomena tersebut mulai merebak menjadi perhatian dan pengakuan dunia tahun 1990-an.
Misalnya, Konferensi Hak Asasi Manusia di Wina pada tahun 1993 melahirkan Deklarasi Wina Salah
satu butir keputusannya adalah pengakuan hak asasi perempuan dengan kewajiban setiap negara
untuk melindungi dan memajukan hak-hak mereka, termasuk hak untuk bebas dari kekerasan. Julie
Mertus (et.al), Hak Asasi Manusia Kaum Perempuan: Langkah demi Langkah, terj. Ismu M.
Gunawan (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan,2OOl),h. 12.
'M. Nashr Hamid Abt"Zayddiiuduh telah "merusak" ajaran Islam, karena pemikirannya yang
berbeda dari kalangan ularna mainstream lslant Hilman Latief Nasr Hamid ,qbi Zaid: Kritik
Teks
Keagamaan (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2003).
'
Episteme adalah pengetahuan ilmiah. Secara epistemik, dalam pengetahuan ilmiah peneliti
mencari penjelasan kenapa sesuatu itu bermakna atau dimaknai tertentu. Michael V. Wedin,
"Aristotle" dalam The Cambridge Dictionary of Philosophy, Robert Audi [General Editor]
(Cambridge: Cambridge University Press, 1995), h. 40.

165
dan "pasti."
Sementara, kelemahan dari pelembagaan keilmuan tektualisme terletak dari beberapa
hal. Pertama, pengambilan konteks masyarakat awal Islam sebagai basis episteme tidak
diiringi dengan pemahaman kompleksitasnya di satu sisi dan kompleksitas masyarakat
kontemporer di sisi lainnya. Seperti mengambil contoh cuplikan kejadian di masa Rasul yang
diambil dalam catatan hadis atau sunah dipakai untuk menilai suatu keladian yang dianggap
"mirip", tanpa dibarengi dengan pertimbangan hal-hal apa saja yarg -"tatarUefatigi
kejadian di masa Nabi Saw. dan pada saat yang sama kejadian di masa sekarang. Dalam
prakteknya, pemaksaan atau bahkan pembenaran yang tidak kukuh yang menarik liemiripan
kejadian lama dan sekarang seringkali terjadi. Hal seperi ini berimplikasi pada pemahaman
masalah yang terdi storsi.
Kedu4 para pendukung model pemahaman keislaman tekstualis, yang terlalu
memfokuskan pada pencarian model pemahaman dan "kebenaran" dalam teis Oan tidak
dalam kontekq kemudian memperlakukan pemahaman keislaman yang ada dalam teks
sebagai tolok ukur pembenaran atau kebenaran dalam setiap penyelesaian persoalan-
persoalan kontemporer mereka. Dalam kebijakan seperti ini seringkali pertimbangan-
pertimbangan yang mestinya diambil, terabaikan. Hal ini berimplikasi pada pengambllan
keputusan yang tidak komprehensif, sehingga pesan Islam tentang kedamaian, keadilan, dan
tanggun gf awab tak tersampaikan.
Ketiga, implikasikasi yang tidak terhindari dari kenyataan-kenyatan di atas adalah
banyak yang mesti dipertimbangkan tertinggal, sehingga pada gilirannya menampilkan wajah
Islam yang tidak toleran atau umat Islam yang disalahpahami dalam konteks hidup di
masyarakat global.
Sejarah panjang bangunan keilmuan Islam yang normatif pedagogik dimotori oleh
model pemahaman tekstualis. Walau pada awalnya model pemahaman tekstualis diiringi oleh
model pemahaman rasionalis. Di awal perkembangannya ada dalam plot yang sama yaitu
pelembagaan khazanah Islam. Kenyataann ini bukan kesalahan, tapi lebih- *e*pukan
kebutuhan umat Islam yang sedang membangun jati dirinya. Pasca-peiembagaan khazanah
Islam, tarik menarik antar kedua model pemahaman keislaman (teistualis dan rasionalis)
terus bergulir. Dan dalam masa kontemporer sekarang keduanya mendapat momentum,
dengan posisi pendekatan rasional berupaya mengisi kekurangan atau bahkan menawarkan
pendekatan yang baru yang Iebih melihat persoalan pada konteks. Pemahaman konteks
semakin diyakini bisa membantu memasukkan pertimbangan-pertimbangan yang tercecer
dalam pendekatan tekstualis. Harapan lain adalah pendekatan ini bisa melihat persoalan baik
keilmuan atau kemasyarakatan dengan lebih terukur, terprogram, dan taktig serta bisa lebih
percaya diri untuk duduk bersama dengan penduduk dunia non-Islam lainnya. Sarjana
Muslim kontemporer seperti Abdurrahman Wahid, Nurcholish Madjid, dan nzyu^-mardi A71a
untuk Indonesi4 lalu Farid Esack, Muhammad Arkoun, Hasan Hanafi, al-Jabiri di belahan
Dunia Islam lainnya -hanya untuk menyebut beberapa- menunjukkan kecenderungan untuk
melihat Islam dalam konteks. Hal tersebut merupakan fenomena yang menggembirakan,
karena dinamika wacana respon Islam terhadap zarnan menunjukkan usalia-usahiyang serius
yang mencoba mendekati masalah secara lebih empiris dan mencari pemecahan yang teUitl
mungkin dilakukan oleh manusia di sini dan sekarang.
Salah satu isu kontemporer yang juga banyak didiskusikan oleh pemikir Islam
kontemporer adalah jender. Tokoh-tokoh perempuan seperti Bintu Shati, Amina Wad6d,
Fatima Mernissi, Riffat Hasan, Leyla Ahmad, Nawal al-Sadawi, dll., adalah pemikir
kontemporer yang konsen pada kajian jender. Penulis kontemporer laki-laki pun banyak
yang mempunyai perhatian yang sama, antara lain Nashr Hamid Ab0 Zayd dengan

166
Dektnstruksi Jender: Kritik lfacana Perempuan dalam Islam (2003), Masdar F. Mas,udi
dengan Islam dan Hak-hak Reproduksi Perempuan, Dialog Fiqih Pemberdayaan (lgg7),
!{unq Hasyim dengan Hal-hal yang Tok Terpikirkan tentang lsu-isu Keperempuanan dalam
Islam (2001), Nasaruddin Umar dengan Argumentqsi Kesetaraan Jender-perspehif al-
Qur'an Q002), Ace Suryadi dan Ecep Idris dengan Kesetoraan Jender daliru tiaang
Pendidikan (2004) dll.

Wacana Jender
Jendera sebenamya istilah yang muncul kemudian dalam wacana dan pergerakan
feminisme.s Feminisme itu sendiri merupakan istilah yang dipakai untuk menjetaskai upaya
pemahaman dan upaya-upaya berubahan yang didasari oleh semangat ketertindasan kaum
perempuan oleh kaum lelaki. Semangat "balas dendam" feminisme yang kemudian menuai
banyak pro dan kontra, sampai batas tertentu ikut mengaburkan niai suci upaya-upaya
pemahaman dan perubahan bagi perempuan dalam hidup bermasyarakat. Istilal je'ncler
kemudian muncul untuk memagari niat suci tersebut. Ketidakadilan yang terdapat antara
laki-laki dan perempuan dalam konteks kehidupan berkeluarga atau bermasyarakat kemudian
dilihat secara apa adanya. Artinya, wacana dan gerakan jender mencari dan memperjuangkan
relasi jender tanpa mengingkari kodrat laki-laki dan perempuan dan pada saai yang sama
tanpa mengingkari kenyataan yang ada di lapangan. Identifikasi masalah jendei kemudian
bergulir pada tidak menempatkan laki-laki sebagai "musuh" tapi partner yang perlu ..diberi
pengertian" dan atau diajak untuk ikut memahami masalah dan ikut meningkatkan peran
perempuan dalam kehidupan domestik maupun publik dalam level lokal, nasional, regional
maupun internasional, sehingga perempuan bersama laki-laki dapat mengurangi ketimpingu,
di antara mereka dan pada gilirannya menghilangkan ketidakadilan jendei. -
Adapun masalah jender didiskusikan dan diupayakan seputar ketidakadilan setidaknya
dalam lima kategori: l).
Marjinalisasi perempuan, z). penempatan perempuan pada
subordinasi,3). Stereotype terhadap perempuan, 4). Kekerasan terhadap pir"*puun dan 5).
Beban kerja tidak proporsional.o Secara lebih rinci masalah jender
-*i.ru*i
Konferensi
Beijing adalah kemiskinan, keterbatasan kesempatan mendapat pendidikan, kesehatan dan
hak reproduksi, kekerasan fisilg keterbatasan akses di bidang ekonomi, keikutsertaan
perempuan dalam mengambil kebijakan di keluarg4 masyarakat dan negara, keterbatasan
lembaga yang memperjuangkan nasib perempuan, perlindungan hat<-hak perempuan,
keterbatasan akses perempuan pada media massa kerentanan terhadap p"r""m**

a
Asriati Jamil dan Amany Lubis dengan mengutip Lisa Tuttle dan Julia Cleve Mosse melihat
jender sebagai sifat yang melekat atau peranan laki-laki dan perempuan yang dikonstruksi oleh
masyarakat dan masyarakat. Sementara masyarakat dan budaya dari satu tempai ke tempd lainnya
berbed4 sehingga sifat dan peran tersebut dengan sendirinya berbeda dari satu tempaike tempat
lainnya. Sederhananya jender melihat perbedaan laki-laki dan perempuan secara sosial bukan sesuatu
yang selesai tapi sesuatu yang belum selesai dan karenanya dapat dirubah ke relasi yang lebih adil.
Lihat, Asriati Jamil dan Amany Lubis, "Seks dan Jender" dalam Pengantar Kajian Jender, Fadilah
Suralaga (et. al) (Jakarta: PSW UIN Jakarta, 2003), h. 53-8. Penjelasan serupa dipat juga dilihat pada
Ursula King (ed.), Religion and Jender (Oxford: Blackwell, 1995).
' Sementara feminisme merupakan istilah yang dinamis, berubah-ubah bergantung pada
perbedaan latar belakang masyarakat dan buday4 kesadaran, persepsi, dan kecenderungan
feminisnya. Feminisme sebagai gerakan menjadi kontroversial karena kecenderungannya yang .,anti
Iaki-laki" karena mereka telah memarjinalkan posisi dan peran perempuan. Euis Amalia'oFeminisme:
Konsep, Sejarah, dan Perkembangannya," dalam Pengantar Kajian Jender, Fadilah Suralaga (et. al)
(Jakarta: PSW UIN Jakarta 2003), h. 86-88.
Jamil dan Lubis, o'Pengantar.." ,h.':l3.
6

167
lingkun gan, dan keterbatasan untuk men gemban gkan potensi.
Sementara dalam konteks masyarakat Indonesia, di samping poin-poin di atas,
perempuan Indonesia juga masih mempunyai keprihatinan antara lain: masih terdapat
perundang-undangan yang deskriminatif terutama di tempat kerja dan skala penggajian,
tindakan kekerasan terhadap perempuan, sindikat penipuan dan perdagangan perempuan,
eksploitasi tubuh, budaya kawin muda, budaya melamar dengan antarat dan maskawin yang
mahal, pemahaman dan penafsiran ajaran agarna, diskriminasi kesempatan pendidikan,
pelatihan dan kesempatan kerj4 dan pemaksaan penggunaan alat kontrasepsi.T
Dari sisi obyek masalah jender, kita dapat mengelompokkannya ke dalam dua wilayah
besar, yaitu masalah atau dianggap ada masalah yang terdapat dalam teks. Dalam
permasalahan pertama, masalah jender beroperasi dalam situasi berbed4 setidaknya dalam
empat keadaan: permasalahan terdapat pada teks itu sendiri, dalam pemahaman atau
penafsiran teks, pemahaman ulang atau penafsiran ulang atas teks awal, pemahaman ulang
atau penafsiran ulang atas hasil pemahaman atau hasil penafsiran. Obyeknya bisa terdapat
dalam buku-buku ilmiah, populer, bahan pendidikan, pelatihan, dan pengajaran serta dalarn
buku-buku keagamaan. Kedua, masalah yang ada di lapangan, yaitu masalah jender yang
terdapat dalam realitas sosial dan budaya. Persoalan jender dalam realitas sosial beragam,
luas, dan bahkan global. Setiap masyarakat dunia mempunyai persoalan jender, mulai dari
diskriminasi kesempatan, perlakuan sampai dominasi dan kekerasan kaum laki-laki terhadap
perempuan.
Dalam konteks pemetaan masalah jender di atas, isu-isu jender dan pengembangan
kurikulum dapat dilihat sebagai salah satu pokok masalah pewacan&m dan gerakan jender
yang penting. Persoalan-persoalan, seperti, apakah isu jender diakomodir dalam kurikulum?
Apakah sivitas akademika UIN Jakarta telah mempunyai kesadaran dan sensititivitas jender?
Pertanyaan lainny4 gerakan jender apa atau pengarusuatamaan jender apa yang dilaksaqpkp.n
oleh UIN Jakarta? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut memerlukan penelitian
tersendiri. Dalam kesempatan ini, penulis mencoba menjawabnya melalui penjajagan awal
atau survey awal Qtreliminary survey) terhadap fenomena tersebut melalui analisis kurikulum
Fakultas Ushuluddin dan Filsafat dan Jurusan Tafsir Hadis serta pertimbangan lain, yaitu
melalui penelusuran makna data-data yang terdapat dalam karya tulis Waryono Abdul GhaAE
dan Muhammad Isnanto yang berjudul Anotasi Dinamika Studi Jender IAIN Sunan Kalijaga
1995-2003 (2004), bagi isu yang didiskusikan.

Kurikulum Jurusan Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin dan Filsafat:


Pengembangan Kurikulum Fakultas Ushuluddin dan Filsafat
Sebelum berbicara secara spesifik isu jender dalam kurikulum Jurusan Tafsir Hadis,
ada baiknya mendiskusikan hal tersebut dalam konteks yang lebih umum, yaitu
pengembangan kurikulum di Fakultas Ushuluddin dan Filsafat. Dalam rentang waktu sebelas
tahun (1990-2000), Kurikulum Fakultas Ushuluddin memasuki pemakaian model kurikulum
baru yang disesuaikan dengan sistem Strata 1 (Sl) sebagai akibat dari perubahan Kurikulum
Nasional Program Sarjana S1. Program Sl merupakan pelaksanaan ketentuan pasal 37, 38
dan 39 Undang-undang Nomor 2 tahun 1989 tentang sistem Pendidikan Nasional dan pasal
13 peraturan Pemerintah nomor 30 tahun 1990 tentang pendidikan Tinggi. Dalam rentang
waktu tersebut, kurikulum Fakultas Ushuluddin mengalami revisi empat kali: kurikulum

'Nabila Kadir, Sejarah Perkembangan dan Konsep Teori Jender Makalah Panduan Pelatihan
Regional Jender di Bidang Kesehatan Reproduksi dan Kependudukan, h. 16-17.

t68
1994 (yang merevisi kurikulum sebelumnya), 1995, 1998 dan 2000. Revisi kurikulum
dilakukan nampaknya tidak didasarkan perencanaan yang diprogram secara konsisten,
sehingga dalam satu kasus revisi baru dilakukan setelah lebih dari empat tahun (1990-1994)
dan dikasus lain dalam rentang waktu tiga tahun seperti revisi kurikulum 1998 menjadi
kurikulum 2000, kecuali revisi kurikulum 1994 yang diperbaiki setahun kemudian (1995).
Rentang waktu yang cukup panjang patut dipertanyakan karena tiga tahun misalnya, adalah
suatu rentang waktu yang cukup lama yang memungkinkan banyak perubahan karena ada
hasil-hasil penelitian baru, kecenderungan baru, dan lain-lain. Imunnya kurikulum dari
perubahan kemudian merupakan tantangan nyata pengelola Fakultas Ushuluddin dan Filsafat
terhadap perkembangan yang ad4yangbersifat niscaya untuk direspon. Keniscayaan tersebut
diperkuat oleh kenyataan bahwa akses informasi yang lebih luas dan mudah karena bantuan
teknologi, juga karena selalu ada perubahan paradigma ilmu-ilmu humainora dan sosial yang
sedang mencari dan mengaplikasikan cara pandang alternatif terhadap cara pandang
positivistilg seperti dijelaskan di atas.
Ditambah lagi secara faktual, perubahan kurikulum tahun 1998 dan 2000 terjadi lebih
karena adanya penambahan program studi baru dan terkait dengan rencana IAIN Jakarta
menjadi Universitas, bukan karena mengevaluasi secara serius kurikulum yang ada. Sebagai
contoh, dalam kurikulum 1994, mata kuliah metodologi penelitian tafsir-hadis (tersebut
dalam daftar isi kurikulum i994) diajarkan dalam 12 pertemuan tapi dengan nama
metodologi penelitian tafsir (h.258) tidak mengalami perubahan signifikan dalam substansi
dan fokus target yang ingin dicapai dalam kurikulum 1995, 1998 ataupun 2000. Di dalam
kurikulum 1994 dibahas pengertian tafsir dan metodologi tafsir, dasar dan urgensi tafsir,
pembagian/jenis-jenis tafsir, tafsir sebagai metode penelitian, obyek dan tujuan penelitian
tafsir, langkah-langkah penelitian tafsir, penyusunan proposal, pengumpulan data, analisis
data, interpretasi dat4 pen)rusunan laporan, dan praktikum. Referensi ada dua macam: buku
wajib dan anjuran, tidak satupun buku anjuran disebutkan. Buku wajib terdiri dan: arTafstr
wal-Mufassirftnkarya adz-Dzaha6, al-Bidayahfi at-Tofstr al-Mawdhf ikarya al-Farmawi,
al-Burhdn fi 'Wftm al-Qur'dn karya az-Zarkasy, dan tentunya Membumikan al-Qur'an
ditambah dengan beberapa pendahuluan karya tafsir, tercatat: pendahuluan Tafsir a/-
Mardghi,Ibn Ka;ir, al-Mandr, dan Kekuasaon Politik al-Qur'an karya Abd. Muin Salim (h.
258-9). Seperti mata kuliah lainnya, metodologi tafsir-hadis di samping mengandung
informasi tema-tema pokok mata kuliah, juga menginformasikan nama mata kuliah,
komponen, jurusan, fakultas, program, bobot, dan fujuan.
Dalam kurikulum 1995, obyek dan tujuan penelitian tafsir, tafsir sebagai metode
penelitian, langkah-langkah penelitian tafsir, dan penyusunan proposal dihapus, lalu
ditambahkan perumusan masalah, ilmu-ilmu bantu penelitian tafsir, dan postulat dalam
penelitian tafsir. Analisis dan interpretasi data digabungkan menjadi satu tema. Secara umum,
mata kuliah ini mempunyai 10 tema. Informasi lainnya sama dengan kurikulum sebelumnya
(Kurikulum Fakultas Ushuluddin IAIN Jakarta tahun 1995, h. 215). Dalam kurikulum 1998
dan 2000, unsur penelitian hadis dimasukkan sehingga mata kuliahnya menjadi metode
penelitian tafsir dan hadis.
Dilihat dari substansi materi tidak banyak berubah kecuali menambah unsur hadis
untuk setiap temanya dan menambah praktikum dan ilmu-ilmu bantu satu kali (ilmu-ilmu
bantu satu untuk tafsir dan lainnya untuk hadis), sehingga jumlah pertemuan seluruhnya
menjadi 14. Sedikit perubahan dalam kategorisasi, yaitu mukadimah atau pendahuluan
beberapa karya tafsir dimasukkan menjadi buku anjuran. (Kurikulum 1998, h. 106, dan
Kurikulum 2000, h. 95)
Lebih jauh, dalam setiap mata kuliah dari kurikulum yang ada setidaknya dari 4

169
kurikulum yang diteliti, tidak digambarkan outline kursus (course outline) yang detail yang
menggambarkan dengan jelas dan terukur output-nya. Mungkin perlu dibuat semacam
Companion to the Curuiculum (Buku Pendamping) yang menggambarkan detailnya pokok
bahasan setiap mata kuliahnya. Absennya poin ini menurut penulis berimplikasi sangat besar
terhadap proses pembelajaran dan output-nya. Salah satu implikasi yang mendasar adalah
pihak Fakultas tidak mempunyai alat untuk memantau, misalnya, mata kuliah A sebenamya
mempersyaratkan pengetahuan apa dan referensi detail apa saja untuk setiap tema yang
diajukan dan terakhir ouput konkrit apa yang akan didapat oleh mahasiswa. Tujuan dalam
kurikulum yang ada sudah disebut tapi sebagaimana setiap tujuan aktivitas tertentu selalu
dibahasakan dengan bahasa yang umum misalnya, "Mahasiswa mengetatrui dan menguasai
tatacara pelaksanaan penelitian, penafsiran al-Qur'an dan hadis" [Kurikulum 1990 dan 1995
"kata-kata .,. dan hadis tidak disebutkan"l *dan mampu mempraktekannya dalam rangka
pembangunan pengetahuan keislaman." (Kurikulum 1994,1995, 1998 dan 2000).

Sampai sekarang sejak perumusan pertama kurikulum 1990-1994, rumusan tujuan


mata kuliah ini tidak mengalami perubahan. Sehingga'tidak heran kalau proses evaluasi di
lingkungan Fakultas Ushuluddin hanya dilakukan di awal perkuliahan semester baru dan itu
bersifat umum. Padahal persoalan-persoalan yang muncul kalau ingin ditangani secara serius,
memerlukan tenaga, pikiran dan waktu yang cukup. Model kontrol per semester seperti ini
sangat jauh dari memenuhi prasyarat kerja serius di atas. Dengan profil manajemen
pengelolaan seperti itu, bagaimana Fakultas mampu memperbaharui kurikulumnya dalam
rangka merespon perkemban gan zaman, termasuk merespon isu-isu jender?
Menyadari kenyataan seperti di atas, sangatlah urgen untuk merekayasa kurikulum
Fakultas Ushuluddin ke depan. Karena kompleksnya persolan kurikulum, menurut hemat
penulis, Fakultas Ushuluddin harus membuat prioritas program. Pertoma, Fakultas harus
mengupayakan pemenuhan prakondisi yang memungkinkan bagi pengelola Fakultas
Ushuluddin bisa bekerja mengevaluasi dan mengembangkan kurikulum dengan baik.
Prakondisi itu adalah tempat, organisasi, dana, dan sistem kerja. Dari keempat prakondisi
tersebut yang perlu dibenahi adalah sistem kerja. Dana bisa diusahakan, prinsipnya bila
program itu visible dan applicable biasanya sumber dana relatif bisa didapa! tempat sudah
tersedi4 dan organisasi sudah tersedia seperti Pudek I, Ketua Jurusan atau ketua Program
Studi, dan Sekertaris Jurusan atau Program Studi. Penulis tidak melihat sistem kerja yang
efektif, efesien, dan profesional antara unsur-unsur penanggung jawab kurikulum: Dekan,
Pudek I, Ketua dan Sekertaris Jurusan, dan Sub akademik Fakultas. Yang sekarang berjalan
dalam lingkaran ini lebih merupakan pekerjaan teknis dan rutinitas. Ada anggaran untuk
revisi kurikulum tapi selalu jatuhnya bersifat makro: bagaimana nTungkin mengevaluasi lebih
serius, katakan mata kuliah satu program studi, kalau itu hanya dikerjakan dalam workshop
dua atau tiga hari saj4 padahal untuk program seperti itu perlu waktu lebih lama dan
pemikiran lebih serius lagi.
Di lain pihak, bila dilihat keseharian kerja mereka, dengan belum terbentuknya budaya
dan sistem kerja yang operasional, terlihat bagi jajarm pimpinan kurang memaksimalkan
waktu kerjanya, dan seolah-olah pemanfaatan waklu kerja tertumpah hanya untuk "tanda
tangan" dokumen-dokumen saja. Penulis kurang sepakat kepada orang yang berpendapat
bahwa sebab lemahnya etos dan profesionalitas kerja dikarenakan tunjangan yang masih
kurang memadai. Karena, kasus tunjangan pimpinan seperti dekan dan pembantunya yang
dinaikkan secara signifikan, pada kenyataannya masih kesulitan untuk menunjukkan
perbaikan kinerja yang signifikan juga. Mengenai hal ini, sering orang berkelakar untuk
pimpinan fakultas (dekan dan pudek, termasuk didalamnya kabag dan kajur) tunjangan ada
perbaikan signifikan tapi sistem atau manajemen kerjanya jalan di tempat. Penulis kira,
Dekan Fakultas Ushuluddin dan jajaran pimpinan lainnya sekarang, termasuk di fakultas-

170
fakultas lainnya, dihadapkan pada tantangan bahwa apa yang diasumsikan "miring" perlu
dijawab dengan program kegiatan yang kongkrit. Penulis yakin, seluruh jajaran Fakultas
Ushuluddin dan Filsafat sekarang sedang berusaha keras untuk melakukan hal tersebut.
Kedua, mengevaluasi sistem kerja di antara unsur pimpinan Fakultas dan unit-unitnya
dengan mempertimbangkan saluran sistem komunikasi yang lancar yang memungkinkan hak
dan kewajiban terlaksana dan terkontrol dengan fair. Kesadaran akan pemenuhan kewajiban
juga harus diiringi dengan pemenuhan hak yang terjamin, adanya ketimpangan di salah
satunya bisa mengganggu kinerja pengelola Fakultas secara keseluruhan.
Ketiga, membangun sistem evaluasi kurikulum yang bersifat on going process dengan
sistem keda yang fleksibel. Di antara pimpinan Fakultas: Dekaru terutama Pudek I dan kajur-
kajur harus membangun pola kerja dinamis yang sanggup, ke dalam, menjamin terlaksananya
semua kebijakan yang telah disepakati, seperti mengembangkan sistem konhol dan evaluasi
yang tegas dan ke luar, bersikap responsif terhadap berbagai perkembangan yang ada baik
perkembangan keilmuan, pasar, maupun manajemen. Dalam hal ini, meningkatkan peran
Jurusan dan hogram Studi menjadi kebijakan strategis untuk pengembangan Fakultas ke
depan.
Terakhir, isu-isu jender dalam kondisi perkembangan kurikulum seperti dijelaskan di
atas, secara obyektif menghadapi tantangan yang cukup berat dari sisi aktualisasi kebijakan,
respon terhadap perkembangan zaman dan dari sisi manajemen pengelolaannya.

Kurikulum Jurusan Tafsir Hadis tahun Z0A0nA0l


Kurikulum Jurusan Tafsir Hadis tahun 2000/2001 memuat 144 SKS yang dibagi habis
ke dalam 51 maka kuliah. Kurikulum dikelompokkan ke dalam 4 kategori: Mata Kuliah
Umum (lvfl(U) dengan 8 mata kuliah yang berbobot keseluruhannya 16 SKS [2 SKS prr
MKl, Mata Kuliah Dasar Keahlian (MKDK) I untuk Institut dengan 1l mata kuliah yang
berbobot 22 SKS [2 SKS per MK], MKDK II untuk Fakultas dengan l0 mata kuliah yang
berbobot 30 SKS [3 SKS per MK] dan Mata Kuliah Keahlian (Nff(K) dengan 22 mata h]tiah
yang berbobot 76 SKS. Secara ulnum, perhatian Kurikulum Jurusan Tafsir Hadis tahun
2A00/2001terhadap isu jender masih minim dan memprihatinkan. Dari semua kategori mata
kuliah, isu jender hanya didiskusikan pada dua mata kuliah. Pertama, mata kuliah Hadis IV,
kategori MKK. Dalam Hadis IV, terdapat t2 tema materi, 25 o/onya (3 tema materi)
mendiskusikan isu jender: Pertemuan ke 2, 3 dan ke 4. Dalam mata kuliah tersebut tidak
disebut satu referensi pun tentang jender.s Padahal referensi merupakan salah satu indikator
kunci kuat tidaknya materi yang ditawarkan. Kedu4 mata kuliah Pemikiran Modern dalam
Islam, kategori MKDK II, bobot 3 sks, mengalokasikan satu tema kajian (pertemuan ke 12)
dari 13 materi yang diajarkan. Ini artinya isu jender hanya mendapat perhatlan kurang dari
10%. Tema kajiannya adalah Beberapa Tokoh Pembaharu Wanita: a. Fatimd Mernissi, b.
Riffat Hasan dan c. Nawal al-Sa'dawi. Ada tiga refensi penting dijadikan rujukan wajib, yaitu
Fatima Mernissi - Riffat Hasan, Setara di Hadapan Allah, Fatima Memissi, Menengok
Kontroversi Peran lVanila dalam Politik dan Nawal al-Sa'dawi, Akhstar Qodhaya al-Mar'ah.

t Pertemuan
ke 2, Jender dalam Perspektif Hadis: a. Penciptaan Wanitq b. Penghuni Surga dan
Penghuni Neraka, c. Kesaksian Wanitq d. Sujud kepada Suami dan e. Peringatan hati-hati terhadap
Wanita; Pertemuan ke 3, Emansipasi: a. Penghargaan dan Pemberian Hak Wanita, b. Hak Laki-laki
terhadap Perempuan dan Hak Perempuan terhadap lakiJaki; Pertemuan ke 4, Aktivitas Wanita di
Luar Rumah: a. lzin untuk Wanita untuk Keluar Rumah, b. Izin untuk Wanita Melakukan Aktivitas
yang Tidak Menimbulkan Fitnah. Kurikulum dan Silabus Jurusqn Tafsir Hadis (Jakarta: Fakultas
Ushuluddin, 2000), h. 96.

t7l
Rujukan tersebut tidak diimbangi dengan rujukan standar tentang isu jender. Namun
demikian, silabus tersebut menebusnya dengan anjuran untuk merujuk pada rujukan yang
terkait.
Selain dalam dua mata kuliah di atas, tidak ada tema dan rujukan tentang jender. Pada
mata kuliah-mata kuliah yang memungkinkan diskusi tentang jender dilakukan seperti pada
mata kuliah Sejarah Pemikiran Islam di Indonesia (SPID, Tafsir I, II, dan III, Filsafat Negar4
Pengantar Studi Islam, Ilmu Akhlak, dll. belum ada perhatian terhadap isu jender. Dalam
SPII misalnya, tidak ada satu tema kajian pun yang mendiskusikan isu jender. Contoh
lainny4 Ilmu Akhlak belum mengakomodir isu jender. Dalam salah satu materi kajiannya
ada akhlak berhubungan dengan Tuhan, alam, dan manusi4 ftrmun pembahasan tema-tema
tersebut belum terlihat dikaitkan dengan isu jender.
Walau demikian, menurut penulis, situasi di atas bukan menu4iukkan kepastian
bahwa UIN, khususnya Fakultas Ushuluddin dan Filsafat tidak responsif terhadap isu-isu
jender, karena belum terakomodir isu-isu jender dalam kurikulum secara proporsional bukan
berarti menutup keran untuk merespon. Desakan publik dan juga desakan mahasiswa di satu
sisi, dan kebutuhan tenaga pengajar agar wawasan dan pengetahuannya ter-update, di sisi
lain, "memaksa" tenaga pengajar untuk berimprovisasi dan kreatif mengaitkan silabus dan
kurikulum yang ada dengan isu-isu kontemporer seperti jender. penulis sendiri dalam
mengampu mata kuliah baik Tafsir maupun Metode Penelitian Tafsir-Hadis, mendiskusikan
isu-isu jender di satu atau dua pertemuan perkuliahan.
Secara kebijakan baik Universitas atau Fakultas mempuyai sikap yang terbuka
terhadap jender. Hal tersebut terlihat setidaknya dalam pemberian kesempatan bagi laki-laki
dan perempuan baik dalam pendaftaran, penerimaan, kesempatan belajar, dan berkarir.
Misalnya, pendaftaran peserta SPMB dan PMDK UIN Jakarta tahun akademik 2004/2005.
Dari jumlah pendaftar 72A, 425 pendaftar adalah perempuan. Dari jumlah tersebut diterima
256 lebih besar 56 orang dari jumlah peseria laki-laki yang diterima (200 orang).e Ketiga,
fenomena kesadaran dan sensitivitas jender juga dilihat dari karya tulis. Dalam kasus ini,
fenomenanya menunjukkan hal yang menggembirakan. Lebih detailnya, penulis
mendiskusikannya pada sub judul tersendiri.
Dalam kasus-kasus tertentu jumlah laki-laki lebih besar dari perempuan seperti dalarn
kepemimpinan dan tenaga pengajar. Namun demikian, penulis mempunyai pandangan positif
bahwa hal tersebut lebih disebabkan alasan-alasan obyektif. Bahwa kenyataan perlu
affirmative action seperti Pengarsutamoan Gender (PUG), merupakan keniscayaan agar
terjadi akselerasi jumlah sehingga ada keseimbangan jender di kemudian hari.

Karya Tulis tentang Jender


Irfan Abu Bakar mengutif tulisan Johan Hendrik Meuleman tentang "Analisis Buku-
buku Wanita Islam yang Beredar di Indonesia" (1991), dan menjelaskan bahwa antara tahun
19970-an sampai 1980-an belum.pda karya tulis di Indonesiayang mempergunaan perspektif
jender sebagai alat analisisnya.'' Karya tulis-karya tulis yang menggunakan alat analisis
tersebut mulai muncul tahun 1990-an. Karya tulis pertama muncul dalam bentuk terjemahan,

e Ulil Azmi, Rekapitulasi Peserta


SPMB-PMDK tlIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun
Akademik 2004/2005 dan Ulil Azmi, Rekopitulasi Kelulusan Peserta SPMB-PMDK UIN Syarif
Hi dayatul I ah Jakart a Tahun Akad emi k 2 0 0 4 /2 0 0 5 .

'' Irfan Abu Bakar, "Islam and Gender Books Published in Indonesia (1990-2003)" dalam
Kultur: The Indonesian Journalfor Muslim CulturesYol.2, Number 2,2002, h. 131.

172
yaitu karya Fatima Mernissi, The Forgotten Queen of Islam, terbit tahun lgg3.Karyatersebut
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan diterbitkan setahun kemudian oleh Penerbit
Mizan. Dengan kategori buku, Irfan memprediksi lebih dari 40 karya baik dalam bentuk
terjemahan maupun tulisan sarjana Indonesia lahir dari tahun 1990-an sampai tahun 2000-an.
Dalam tulisannya sendiri, Irfan mendiskusikan 42karya tulis yang dikelompokkan ke dalam
Gender ldeas in Islam (Gagasan Jender dalam Islam), Women's Public Rights (Hak-hak
Publik Perempuan) dan.Women's Reproductive Rights ond Heolth (Hak-hak Reproduksi dan
Kesehatan Perempuan)." Hasil pengamatan penulis terhadap tulisan tesis dan disertasi UIN
Jakana sampai tahun 2000 menemukan 266 tesis dan disertasi. Dari jumlah tersebut hanya
terdapat 11 tulisan tentang jender (9 tesis dan 2 disertasi).l2
Dari sisi penerbitan jurnal, beberapa jurnal memuat tulisan seputar isu-isu jender. PSW
UIN Jakarta sendiri menerbitkan media tersendiri, yaifu Jurnal Harkat Media Komuniknsi
Jender yang terbit sejak tahun 1999 dengan satu kali terbit per tahun dari tatrun 1999-2000
dan dua kali pertahun sejak tahun 2001 sampai sekarang. Media lain, Refleksi: Jurnal Filsofat
dan Agama di edisi Vol. ilI Nomor 2 tahun 2001 menerbitkan khusus tentang 'oJender dalam
Perspektif Islam" dengan memuat 7 artikel terrnasuk tulisan penulis sendiri yang me-review
buk-u editan Ursula King (1995) dan Kultur: the Indonesian Journalfur Muslim Cultures juga
mengeluarkan edisi khusus Vol. 2, Number 2 tahun 2002,tentang jender dengan memuat 10
tulisan sarjana Indonesia dan luar negeri. Demikian juga Studia Islamika: Indonesian
Journalfor Islamic Studies memuat tulisan-tulisan tentang jender. Misalnya Vol. 10, Number
2,2403 memuat tutulisan Jajang Jahroni, *Al-Isldm wal-Mar'ah: Qadhiyat al-Mar'ah 'inda
ad-Ddrisin bin al-Jdmi'dt al-Isldmiyyah bi Indhfisiyyd," dan Vol. 10 Number 3, 2003
memuat tulisan Arskal Salim tentang "Hukum Islam dan Kesetaraan Jender di Indonesia."
Data-data di atas belum ditambah dengan datadata dari skripsi mahasiswa Sl dan
hasil-hasil penelitian sivitas akademika UIN Jakarta. Oleh karena itu, penulis melihat data-
data di atas belum dapat dipandang telah dapat menggambarkan perhatian kita terhadap isu-
isu jender secara lebih komprehensif.

Kekurang komprehensifan dokumen atau karya tulis yang memotret isu-isu jender di
UIN Jakarta menjadi kendala tersendiri, tapi penulis dapat menyandarkan data pada hasil
survey dan anotasi Waryono Abdul Ghafur dan Muhammad Isnanto, yang dipublikasikan

'r12 Abu Bakar, "Islam and Gender,- h. l3l-132.


Se.iauh penulis bisa melacak szrmpal tahun 2000, dan266 tesis M.A. dan Ph.D, hanya l l tesis
yang mendiskusikan waczlna perempuan dan Qur'an. Dari I I karya harrya 2 dua karya Ph.D yang
mendiskusikan perempuan dan al-Qur'an, yaitu karya Nasanrddin itu sendiri dan Zaitunah Subhan,
Tafsir Kebencian: Studi Bias Jender dalam Tafsir al-Qur'an (1999). Diskusi perempuan dalam
perspektif Qur'an kemudian yang diangkat lewat penulisan tesis M.A dilakukan oleh Noer Huda
Noor, berjudul Konsep Wanita dalam al-Qur'an: Suatu Pendelcatan Tafsir Tematik (1994). Noer
mendiskusikan hal samq yaitu peranan, pekerjaan, hak, dan tanggung jawab perempuan berdasarkan
perpektif al-Qur'an. Setahun kemudian Johari meneliti, Ayat-ayat Nusyuz: Tinjauan Psikologis
Pedagogik, tesis M.A. (1995) mengklarifikasi bahwa sebenarnya Islam menghormati hak dan
kewajiban suami dan istri dan apa bila terjadi perselisihan seperti nusryz (ketidakpatuhan istri
terhadap suami), cara yang baik adalah ishlah atau perbaikan dari kedua belah pihak dan bukan tindak
kekerasan fisik. Tahun selanjutnya, Yunahar Ilyas menulis, Isu-isufeminisme dalam Tinjauan tafsir
al-Qur'an: Studi Kritis terhadap Pemilciran Para Mufassir dan Femninis Muslim tentang Perempuan,
(1996). Dia mendiskusikan 4 tema: penciptaan perempuan, kepemimpinan perempuan dalam rumah,
perempuan dalam saksi di pengadilan, pembagian harta waris, dan menemukan bahwa perbedaan
pendapat di antara pemikir, dikarenakan oleh perbedaan pandangan atas konsep kesetaraan dan
keadilan jender.

173
dengan judul Anotasi Dinamika Studi Jender IAIN Sunan Kalijaga 1995-2003 (2004).13
Dalam pandangan penulis, buku tersebut dapat membantu memberikan bukti tambahan yang
signifikan bahwa dari sisi wacana dan karya tulis, isu-isu jender telah mendapatkan perhatian
yang menggembirakan.
Kedua penulis buku di atas -Abdul Ghafur dan Isnanto- mengidentifikasi dan memberi
anotasi terhadap 221 karya dosen dan mahasiswa IAIN Yogyakarta baik dalam bentuk
skripsi, tesis, disertasi, buku, dan artikel ilmiah dalam rentang waktu 8 tahun (1995-2003),
dengan kategori 4 tema besar, yaitu l). Jender dan Islam, 2). Islam dan Hak-hak Reproduksi,
3). Jender, Pendidikan Perempuan dan Perannya dalam Islam dan 4). Poligami dalam Islam.
Kalau ditarik ruta-rata maka terdapat 27 atau 28 karya dosen dan mahasiswa IAIN
Yogyakarta yang berkaitan dengan jender lahir tiap tahunny4 atau terdapat 2 atau 3 karya
mahasiswa dan atau dosen tentang jender dalam setiap bulannya. Apa arti data tersebut bagi
upaya desiminasi keasadaran jender di IAIN Yogyakarta? Secara wacana, isu-isu jender
sudah menjadi milik publik IAIN Yogyakarta. Perhatian mereka terhadap jender sudah
meningkat dari warung kopi ke diskusi ilmiah, bahkan tawaran konseptual. Dua atau tiga
hasil penelitian terlahir dalam komunitas yang terbatas seperti IAIN merupakan situasi
konstruktif dan kondusif bagi gender mainstreaming, karcna semua pihak baik un$r
pimpinan, dosen, staff administrasi, dan mahasiswa tidak menunjukkan resistensinya tapi
sebal iknya aseptabi I itasnya.

Perhatian dosen, staS dan mahasiswa terhadap isu jender beragam, setidaknya
ditunjukkan oleh 4 kategori dia di atas. Lebih dari 60%o dari 221 karya tentang jender adalah
hasil penelitian mahasiswa dalam bentuk skripsi (perhitungan ini diasumsikan tulisan
disertasi, tesis, dan artikel adalah karya dosen atau staff yang jumlahnya sebanyak 63 karya
atau sekitar kurang lebih 307o).
Dilihat dari penyebaran perhatian terhadap isu-isu jender dalam bentuk artikel atau
buku, dosen dan mahasiswa Fakultas Ushuluddin (13 karya) dan Tarbiyah (12 karya) lebih
banyak yang tertarik untuk menulis seputar jender. Dosen dan mahasiswa Fakultas Dakwah
(5 karya) di bawah setengah dari jumlah karya dua fakultas tersebu! bahkan Fakultas Adab
hanya melahirkan 2 V'arya. Yang agak mengherankan, Fakultas Syariah tidak tercatat
melahirkan satu karya pun dalam kategori ini.
Sementara dalam bentuk tesis dan disertasi, Prodi Hukum [slam paling banyak
melahirkan karya tentang jender (14), Prodi Agama dan Filsafat melahirkan 9 karya dan
Prodi Pendidikan Islam melahirkan hanya 8 karya.
Di tingkat Sl, secara umum lebih luas (terdapat 159 karya dan 221karya) dan hampir
merata (Fakultas Syariah 26karya Fakultas Adab 25 karyq Fakultas Tarbiyah 32karya dan
Fakultas Dakwah 25 karya), kecuali di Fakultas Ushuluddin yang menunjukkan perhatiap
yang spetakuler terhadap isu jender, terefleksi dari karya yang lahir, yaitu 50 karya.
Dilihat secara tematik, perhatian sivitas akademika UIN Yogyakarta terhadap tiga isu
pertama: 1.) Jender dan Islam, 2). Islam dan Hak-hak Reproduksi, dan 3). Jender, Pendidikan
Perempuan dan Perannya dalam Islam cukup tinggi, terlihat dalam level 51, tema 1 ada 48
karya, tema 2 ada 52 karya, dan tema 3 ada 52 karya; dalam level 52 dan 53, tema 1 ada 15
karya, tema 2 ada 8 karya, dan tema 3 ada 9 karya; dan untuk karya lepas dalam bentuk
I
artikel dan buku, tema ada 7 karya, tema 2 ada 10 dan tema 3 ada 12 karya. Sementara
terhahap isu 4). Poligami dalam Islam, perhatian mereka sangat kurang: untuk level Sl,
terdapat hanya 5 karya dan dalam bentuk arikel dan buku hanya terdapat 4 karya. Perhatian

'' Waryoro Abdul Ghafur dan Muhammad lsnanto, Anotasi Dinamika Sudi Jender: IAIN Sunan
Kalij aga I 9 9 5 -2 00 3 (Yogyakarta: PSW IAIN Yogyakarta, 2004).

174
mereka untuk level 52 dan 53 bahkan bisa disebut tidak ada terhadap isu ini, karena dalam
waktu 8 tahun (1995-2003) tidak ada satu karya pun yang lahir. Di kalangan mahasiswa S1
isu ke I sampai ke 3 lebih banyak mendapat perhatian dengan urutan isu ke 2 paling banyak
perhatian (S}karya), kemudian isu ke I (48 karya) dan ke 3 (3}karya). Sementara isu ke 4).
Poligami dalam Islam, paling sedikit mendapat perhatian: hanya terdapat 6 karya di kalangan
mahasiswa Sl dan 4 karya buku atau artikel yang ditulis sivitas akademikan IAIN
Yogyakarta. Yang menarik adalah dalam rentang waktu 8 tahun (1995-2003), kedua penulis
tidak menemukan satu mahasiswa 52 dan 53 pun yang menulis seputar Poligami dalam
Islam.
Dilihat dari Fakultas, sivitas akademika Fakultas Ushuluddin Program Sl dan di
Jurusan Agama dan Filsafat untuk Program 52 dan 53, menunjukkan perhatian yang tinggi
terhadap isu-isu jender terutama pada isu jender dan Islam: terdapat 24 V,arya tulis dari 48
karya tulis di Program 31 dan 8 tulisan dari 15 karya tulis di Program 52 dan 53. Dalam tema
Islam dan Hak-hak Reproduksi, terdapat 16 tulisan dar' 52 tulisan, terpaut 7 tulisan dengan
karya dari Fakultas Syariah, dan lebih banyak 1l karya dari Fakultas Tarbiyah yang
memproduksi hanya 5 kurya untuk Program Sl.
Dari data-data tersebu! dapat diinferensikan bahwa kurikulum, pimpinan, staff
administrasi dan dosen, terutama mahasiswa IAIN Yogyakarta telah memberikan cukup
perhatian terhadap isu-isu jender sehingga mendorong sivitas akademikanya, khususnya
mahasiswa, untuk meneliti isu jender lebih jauh. Kemudian kalau diasumsikan situasi dan,
atmosfir akademik UIN Jakarta kurang lebih sama dengan UIN Yogyakart4 maka dapat
diinferensikan perhatian Fakultas Ushuluddin dan Filsafat khususnya dan UIN Jakarta
umumnya, juga mempunyai perhatian kurang lebih sama juga.

Penutup
Dari diskusi di atag penulis dapat menyimpulkan bahwa isu-isu jender dalam
pengembangan kurikulum perlu mendapatkan perhatian serius. Perhatian serius itu menjadi
niscaya karena secara faktual, kebutuhan untuk itu sudah benar-benar dirasakan dan
responnya secara acak sudak dilakukan oleh individu-individu baik dosen maupun
mahasiswa. Kenyataan belum adanya dokumentasi yang baik terhadap harya karya tulis
seputar isu-isu jender perlu mendapat perhatian dari kita semua.
Wa Atldh A'lam bi osh-Showdb

t75

Anda mungkin juga menyukai