Anda di halaman 1dari 2

Melihat aksi Carok dari Sisi Hukum Nasional dan Hukum Adat https://u2rie.blogspot.com/2016/10/melihat-aksi-carok-dari-sisi-huku...

Melihat aksi Carok dari Sisi Hukum Nasional dan Hukum Adat

Istilah Carok memang lebih identik untuk menggambarkan perkelahian berdarah yang dilakukan dengan senjata Celurit yang
notabene adalah senjata tradisional orang madura. Tema posting ini pernah diunggah di situs bangkalan-memory.net, namun
saat ini kayanya sudah mati situsnya, dan karena merupakan sebuah ulasan sejarah, tidak ada jeleknya diposting di Warung
Bebas.

Benarkah carok adalah budaya yang diwariskan leluhur suku madura dan merupakan adat dari Madura?

Carok dan celurit laksana dua sisi mata uang. Satu sama lain tak bisa dipisahkan. Hal ini muncul di kalangan orang-orang
Madura sejak zaman penjajahan Belanda abad 18 M. Carok merupakan simbol kesatria dalam memperjuangkan harga diri
(kehormatan).

Pada zaman Cakraningrat, Joko Tole dan Panembahan Semolo di Madura, tidak mengenal budaya tersebut. Budaya yang ada
waktu itu adalah membunuh orang secara kesatria dengan menggunakan pedang atau keris. Senjata celurit mulai muncul pada
zaman legenda Pak Sakera. Mandor tebu dari Pasuruan ini hampir tak pernah meninggalkan celurit setiap pergi ke kebun untuk
mengawasi para pekerja.

Celurit Celurit bagi Sakera merupakan simbol perlawanan rakyat jelata. Lantas apa hubungannya dengan carok? Carok dalam
bahasa Kawi kuno artinya perkelahian. Biasanya melibatkan dua orang atau dua keluarga besar. Bahkan antar penduduk sebuah
desa di Bangkalan, Sampang, dan Pamekasan. Pemicu dari carok ini berupa perebutan kedudukan di keraton, perselingkuhan,
rebutan tanah, bisa juga dendam turun-temurun selama bertahun-tahun.Pada abad ke-12 M, zaman kerajaan Madura saat
dipimpin Prabu Cakraningrat dan abad 14 di bawah pemerintahan Joko Tole, istilah carok belum dikenal. Bahkan pada masa
pemerintahan Penembahan Semolo, putra dari Bindara Saud putra Sunan Kudus di abad ke-17 M tidak ada istilah carok.
Munculnya budaya carok di pulau Madura bermula pada zaman penjajahan Belanda, yaitu pada abad ke-18 M.

Setelah Pak Sakerah tertangkap dan dihukum gantung di Pasuruan, Jawa Timur, orang-orang bawah mulai berani melakukan
perlawanan pada penindas. Senjatanya adalah celurit. Saat itulah timbul keberanian melakukan perlawanan. Namun, pada masa
itu mereka tidak menyadari, kalau dihasut oleh Belanda. Mereka diadu dengan golongan keluarga Blater (jagoan) yang menjadi
kaki tangan penjajah Belanda, yang juga sesama bangsa. Karena provokasi Belanda itulah, golongan blater yang seringkali
melakukan carok pada masa itu.

Pada saat carok mereka tidak menggunakan senjata pedang atau keris sebagaimana yang dilakukan masyarakat Madura zaman
dahulu, akan tetapi menggunakan celurit sebagai senjata andalannya. Senjata celurit ini sengaja diberikan Belanda kepada kaum
blater dengan tujuan merusak citra Pak Sakera sebagai pemilik sah senjata tersebut. Karena beliau adalah seorang pemberontak
dari kalangan santri dan seorang muslim yang taat menjalankan agama Islam. Celurit digunakan Sakera sebagai simbol
perlawanan rakyat jelata terhadap penjajah Belanda.

Sedangkan bagi Belanda, celurit disimbolkan sebagai senjata para jagoan dan penjahat. Upaya Belanda tersebut rupanya berhasil
merasuki sebagian masyarakat Madura dan menjadi filsafat hidupnya. Bahwa kalau ada persoalan, perselingkuhan, perebutan
tanah, dan sebagainya selalu menggunakan kebijakan dengan jalan carok. Alasannya adalah demi menjunjung harga diri.
Istilahnya, daripada putih mata lebih baik putih tulang. Artinya, lebih baik mati berkalang tanah daripada menanggung malu.
Tidak heran jika terjadi persoalan perselingkuhan dan perebutan tanah di Madura maupun pada keturunan orang Madura di
Jawa dan Kalimantan selalu diselesaikan dengan jalan carok perorangan maupun secara massal. Senjata yang digunakan selalu
celurit. Begitu pula saat melakukan aksi kejahatan, juga menggunakan celurit.

Kondisi semacam itu akhirnya, masyarakat Jawa, Kalimantan, Sumatra, Irian Jaya, Sulawesi mengecap orang Madura suka carok,
kasar, sok jagoan, bersuara keras, suka cerai, tidak tahu sopan santun, dan kalau membunuh orang menggunakan celurit. Padahal
sebenarnya tidak semua masyarakat Madura demikian. Masyarakat Madura yang memiliki sikap halus, tahu sopan santun,
berkata lembut, tidak suka bercerai, tidak suka bertengkar, tanpa menggunakan senjata celurit, dan sebagainya biasanya adalah
dari kalangan masyarakat santri. Mereka ini keturunan orang-orang yang zaman dahulu bertujuan melawan penjajah Belanda.
Setelah sekian tahun penjajah Belanda meninggalkan pulau Madura, budaya carok dan menggunakan celurit untuk menghabisi
lawannya masih tetap ada, baik itu di Bangkalan, Sampang, maupun Pamekasan. Mereka mengira budaya tersebut hasil ciptaan
leluhurnya, tidak menyadari bila hasil rekayasa penjajah Belanda.

1 of 2 8/10/2022, 11:03 AM
Melihat aksi Carok dari Sisi Hukum Nasional dan Hukum Adat https://u2rie.blogspot.com/2016/10/melihat-aksi-carok-dari-sisi-huku...

Biasanya orang yang melakukan carok, setelah melakukan perbuatan mereka menyerahkan diri ke Polisi atau Penegak Hukum,
meskipun kadang ada juga yang setelah melakukan carok melarikan diri. Meskipun para pelaku carok disini mengatakan bahwa
ini adalah sudah menjadi adat atau sudah mengakar di masyarakat namun ketika aksi carok tersebut sudah di lakukan maka
Hukum Nasional tetap berlaku. Dengan alasan bahwa carok untuk membela harga diri namun mereka tetap harus berhadapan
dengan hukum nasional. Pelaku carok dapat dikenakan Pasal 340 KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) tentang
Pembunuhan Berencana yang pasalnya berbunyi " “Barangsiapa dengan sengaja dan dengan direncanakan lebih dahulu
menghilangkan nyawa orang lain, dihukum karena pembunuhan direncanakan (moord), dengan hukuman mati atau penjara
seumur hidup atau penjara sementara selama-lamanya dua puluh tahun.” Dari uraian bunyi pasal diatas, bisa disimpulkan bahwa
Pembunuhan Berencana itu memiliki dua unsur, yaitu Unsur Subyektif dan Unsur Obyektif.

• Unsur Subyektif, yaitu : dengan sengaja, dengan rencana lebih dahulu.


• Unsur Obyektif, yaitu : Perbuatan (menghilangkan nyawa), Obyeknya (nyawa orang lain)

Atau apabila perbuatan carok tersebut dilakukan seseorang dengan menyuruh orang lain atau bersama-sama dengan satu pelaku
menyuruh dan yang disuruh maka pelaku carok tersebut terkena pasal 55 dan 66 KUH Pidana Penyertaan dalam Hukum Pidana.

alam Hukum Pidana, diatur Pasal 55 dan 66 KUH Pidana:


1. Pleger(orang yang melakukan);
2. Doen Plegen(orang yang menyuruh melakukan);
3. Medepleger(orang yang turut melakukan);
4. Uitlokker(orang yang membujuk melakukan.

Ad. 1. Pleger
Mereka yang termasuk golongan ini adalah pelaku tindak pidana yang melakukan perbuatannya sendiri, baik dengan memakai
alat maupun tidak memakai alat. Dengan kata lain, plegeradalah mereka yang memenuhi seluruh unsur yang ada dalam suatu
perumusan karakteristik delik pidana dalam setiap pasal.

Ad.2. Doen Plegen


Untuk dapat dikategorikan sebagai doen plegen, paling sedikit harus ada dua orang, dimana salah seorang bertindak sebagai
perantara. Sebab doen plegen adalah seseorang yang ingin melakukan tindak pidana, tetapi dia tidak melakukannya sendiri
melainkan menggunakan atau menyuruh orang lain, dengan catatan yang dipakai atau disuruh tidak bisa menolak atau
menentang kehendak orang yang menyuruh melakukan. Dalam posisi yang demikian, orang yang disuruh melakukan itu harus
pula hanya sekedar menjadi alat (instrumen) belaka, dan perbutan itu sepenuhnya dikendalikan oleh orang yang menyuruh
melakukan. Sesungguhnya yang benar-benar melakukan tindak pidana langsung adalah orang yang disuruh melakukan, tetapi
yang bertanggung jawab adalah orang lain, yaitu orang yang menyuruh melakukan. Hal ini disebabkan orang yang disuruh
melakukan secara hukum tidak bisa dipersalahkan atau tidak dapat dipertanggungjawabkan. Orang yang disuruh mempunyai
"dasar-dasar yang menghilangkan sifat pidana" sebagaimana diatur dalam Pasal 44, Pasal 48, Pasal 49, Pasal 50 dan Pasal 51
KUH Pidana.

Ad.3. Medepleger
Untuk dapat dikategorikan sebagai medepleger, paling sedikit juga harus tersangkut dua orang, yaitu "orang yang menyuruh
melakukan" (pleger) dan "orang yang turut melakukan" (medepleger). Disebut "turut melakukan", karena ia terlibat secara
langsung bersama pelaku dalam melakukan suatu tindak pidana, dan bukan hanya sekedar membantu atau terlibat ketika dalam
tindakan persiapan saja. Ini berarti antara "orang yang turut melakukan" dengan pelaku, harus ada kerjasama secara sadar dan
sengaja.

Ad.4. Uitlokker
Secara sederhana pengertian uitlokker adalah setiap orang yang menggerakkan atau membujuk orang lain untuk melakukan
suatu tindak pidana. Istilah "menggerakkan" atau "membujuk" ruang lingkup pengertiannya sudah dibatasi oleh Pasal 55 ayat (1)
bagian 1 KUH Pidana yaitu dengan cara memberikan atau menjanjikan sesuatu, menyalahgunakan kekuasaan atau martabat,
dengan kekerasan, ancaman atau penyesatan, memberi kesempatan, sarana dan keterangan. Berbeda dengan "orang yang
disuruh melakukan", "orang yang dibujuk tetap" dapat dihukum, karena dia masih tetap mempunyai kesempatan untuk
menghindari perbuatan yang dibujukkan kepadanya. Tanggung jawab orang yang membujuk (uitlokker) hanya terbatas pada
tindakan dan akibat-akibat dari perbuatan yang dibujuknya, selebih tanggung jawab yang dibujuk sendiri.

Semua golongan yang disebut Pasal 55 KUH Pidana tergolong kepada pelaku tindak pidana, sehingga hukuman buat mereka juga
disamakan. Sebaliknya, Pasal 56 KUH Pidana mengatur mengenai orang digolongkan sebagai "orang yang membantu"
melakukan tindak pidana (medeplichtig) atau "pembantu". Orang dikatakan termasuk sebagai "yang membantu" tindak pidana
jika ia memberikan bantuan kepada pelaku pada saat atau sebelum tindak pidana tersebut dilakukan. Apabilan bantuan diberikan
sesudah tindakan, tidak lagi termasuk "orang yang membantu" tetapi termasuk sebagai penadah atau persekongkolan. Sifat
bantuan bisa berbentuk apa saja, baik materil maupun moral. Tetapi antara bantuan yang diberikan dengan hasil bantuannya
harus ada sebab akibat yang jelas dan berhubungan. Begitupula sifat bantuan harus benar-benar dalam taraf membantu dan
bukan merupakan suatu tindakan yang berdiri sendiri. Perbuatan yang sudah berdiri sendiri tidak lagi termasuk "turut
membantu" tetapi sudh menjadi "turut melakukan". Inisiatif atau niat harus pula datang dari pihak yang diberi bantuan, sebab
jika inisiatif atau niat itu berasal dari orang yang memberi bantuan, sudah termasuk dalam golongan "membujuk melakukan"
(uitlokker).

DAFTAR PUSTAKA

Andi Hamzah, Buku Kitab Hukum Undang Undang Pidana;

Siamto, SH, Belajar Hukum Indonesia;

NB : Mohon maaf banyak kekurangan dalam artikel ini, karena semata mata Pemilik blog masih belum begitu menguasai Hukum
Pidana, apabila ada hal yang salah mengenai postingan ini, saya sangat menerima masukan dan saran dari semua,..

2 of 2 8/10/2022, 11:03 AM

Anda mungkin juga menyukai