Anda di halaman 1dari 25

TUGAS PRAKTIK KEBIDANAN YANG

SENSITIF BUDAYA

NAMA KELOMPOK :
1. DEFA OKTAFIANA ( G2E020009 )
2. HANUM HABIBAH ( G2E020017 )

PROGRAM SARJANA KEBIDANAN


FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN DAN KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SEMARANG
2020 / 2021

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
mencurahkan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan
makalah ini untuk memenuhi tugas dari mata kuliah PERSPEKTIF ILMU SOSIAL
BUDAYA DAN HUMANIORA DALAM PRAKTIK KEBIDANAN dengan judul “
PRAKTIK KEBIDANAN YANG SENSITIF BUDAYA ” ini dapat terselesaiakan
semaksimal mungkin, walaupun mengalami berbagai kesulitan.

Makalah ini dapat terselesaikan dengan baik dan tepat waktu, bukan
karena usaha dari kami selaku penulis, melainkan banyak mendapat bantuan
dari berbagai pihak. Untuk itu kami mengucapkan terima kasih pada pihak-pihak
yang telah membantu kami baik itu dosen kami dan semua pihak yang telah
membantu kami dalam menyelesaikan makalah ini.

Kami menyadari bahwa makalah ini jauh dari sempurna, untuk itu kami
selaku penulis makalah ini mengharapkan saran dan kritik yang membangun
demi kesempurnaan tugas kami selanjutnya.

Demikian kami selaku penulis makalah, mohon maaf bila dalam


pembuatan makalah ini ada hal-hal yang kurang berkenan. Semoga makalah
yang kami buat ini dapat bermanfaat dan berguna bagi semua pihak.

Tegal, 27 Oktober 2020

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL...................................................................................................i

KATA PENGANTAR................................................................................................ii

DAFTAR ISI..............................................................................................................iii

BAB 1 PENDAHULUAN..........................................................................................1

A. LATAR BELAKANG...........................................................................1

B. TUJUAN MAKALAH..........................................................................2

C. RUMUSAN MASALAH......................................................................2

BAB II PEMBAHASAN............................................................................................3

A. KEBUDAYAAN DAN SENSITIF BUDAYA....................................3

B. PRAKTEK KEBIDANAN...................................................................3

C. ASPEK BUDAYA DALAM PRAKTIK KEBIDANAN......................3

D. ASPEK SOSIA; BUDAYA YANG BERKAITAN DENGAN PRA

PERKAWINAN DAN PERKAWINAN.............................................4

E. ASPEK SOSIAL BUDAYA YANG BERKAITAN DENGAN

KEHAMILAN......................................................................................7

F. ASPEK SOSIAL BUDAYA YANG BERKAITAN DENGAN

KELAHIRAN, NIFAS DAN BAYI BARU LAHIR............................10

G. PENDEKATAN MELALUI BUDAYA DAN KEGIATAN KEBIDAYAAN

KAITANYA DENGAN PERAN BIDAN............................................13

H. PAIN IN LABOR BASED ON CULTURE........................................15

BAB IV PENUTUP...................................................................................................18

A. KESIMPULAN...................................................................................18

A. SARAN...............................................................................................18

iii
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................19

iv
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Aspek sosial dan budaya sangat mempengaruhi pola kehidupan manusia.
Di era globalisasi sekarang ini dengan berbagai perubahan yang begitu ekstrem
menuntut semua manusia harus memperhatikan aspek sosial budaya. Salah satu
masalah yang kini banyak merebak di kalangan masyarakat adalah kematian
ataupun kesakitan pada ibu dan anak yang sesungguhnya tidak terlepas dari
faktor-faktor sosial budaya dan lingkungan di dalam masyarakat dimana mereka
berada.
Disadari atau tidak, faktor-faktor kepercayaan dan pengetahuan budaya
seperti konsepsi-konsepsi mengenai berbagai pantangan, hubungan sebab-
akibat antara makanan dan kondisi sehat-sakit, kebiasaan dan ketidaktahuan,
seringkali membawa dampak baik positif maupun negatif terhadap kesehatan ibu
dan anak.
Menjadi seorang bidan bukanlah hal yang mudah. Seorang bidan harus
siap fisik maupun mental, karena tugas seorang bidan sangatlah berat. Bidan
yang siap mengabdi di kawasan pedesaan mempunyai tantangan yang besar
dalam mengubah pola kehidupan masyarakat yang mempunyai dampak negatif
tehadap kesehatan masyarakat.. Tidak mudah mengubah pola pikir ataupun
sosial budaya masyarakat. Apalagi masalah proses persalinan yang umum
masih banyak menggunakan dukun beranak.
Ditambah lagi tantangan konkret yang dihadapi bidan di pedesaan adalah
kemiskinan, pendidikan rendah, dan budaya. Karena itu, kemampuan mengenali
masalah dan mencari solusi bersama masyarakat menjadi kemampuan dasar
yang harus dimiliki bidan.
Untuk itu seorang bidan agar dapat melakukan pendekatan terhadap
masyarakat perlu mempelajari sosial-budaya masyarakat tersebut, yang meliputi
tingkat pengetahuan penduduk, struktur pemerintahan, adat istiadat dan
kebiasaan sehari-hari, pandangan norma dan nilai, agama, bahasa, kesenian,
dan hal-hal lain yang berkaitan dengan wilayah tersebut.

1
B. Tujuan Makalah
Untuk mengetahui aspek sosial budaya yang berkaitan dengan peran seorang
bidan.

C. Rumusan Masalah
1. Apa itu Kebudayaan dan sensitif budaya?
2. Apa itu praktek kebudayaan?
3. Bagaimana aspek budaya dalam praktik kebidanan?
4. Bagaimana aspek Sosial Budaya yang Berkaitan dengan Pra Perkawinan
dan Perkawinan?
5. Bagaimana aspek Sosial Budaya yang Berkaitan dengan Kehamilan?
6. Bagaimana aspek Sosial Budaya yang Berkaitan dengan Kelahiran, Nifas
dan Bayi Baru Lahir?
7. Bagaimana pendekatan Melalui Budaya dan Kegiatan Kebudayaan
Kaitannya dengan Peran Seorang Bidan?
8. Apa itu pain in labor based on culture?

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Kebudayaan Dan Sensitif Budaya

Kebudayaan atau yang disebut peradapan adalah pemahaman yang


meliputi : pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat istiadat yang
diperoleh dari anggota masyarakat (Taylor 1997).Pendapat umum sesuatu yang
baik dan berharga dalam kehidupan masyarakat ( Bakker 1984 ).Pola tingkah
laku mantap, pikiran, perasaan, dan reaksi yang diperoleh dan terutama
diwujudkan oleh simbol-simbol pada pencapaian tersendiri dari kelompok
manusia yang bersifat universal (Kroeber & Klukhon, 1950).Kebudayaan berasal
dari bahasa sansekerta “budayah“ atau “bodhi“ yang berarti budi akal atau
segala sesuatu yang berkaitan dengan akal. Budaya dapat dipisahkan sebagai
kata majemuk Budi & Daya yang berupa: cipta, rasa, karsa,
karya (Kuncoroningrat, 1980).

 Jenis Kebudayaan di Indonesia

a. Kebudayaan Modern

Kebudayaan modern biasanya berasal dari manca negara datang


di Indonesia merupakan budaya/ kesenian import. Budaya modern
akting, penampilan, dan kemampuan meragakan diri didasari sifat
komersial. Budaya modern lebih mengesampingkan norma, gaya
menjadi idola masyarakat dan merupakan target sasaran.
Contoh : film, musik jazz.

b. Kebudayaan Tradisional

Bersumber dan berkembang dari daerah setempat. Penampilan


mengutamakan norma dengan mengedepankan intuisi bahkan
bersifat bimbingan dan petunjuk tentang kehidupan manusia.
Kebudayaan tradisional kurang mengutamakan komersial dan
sering dilandasi sifat kekeluargaan. Contoh : Ketoprak, wayang
orang, keroncong, ludruk.

c. Budaya Campuran

Budaya campuran pada hakekatnya merupakan campuran


budaya modern dengan budaya tradisional yang berkembang
dengan cara asimilasi ataupun defusi. Kebudayaan campuran
sudah memperhitungkan komersiel tapi masih mengindahkan
norma dan adat setempat. Contoh : Musik dangdut, orkes
gambus, campur sari.

Istilah budaya merupakan sesuatu yang kompleks. Apa lagi jika


ditelusuri dari asal usul kata di Indonesia, yang berasal dari budi
dan daya. Budi berarti pikiran, cara berpikir, atau pengertian,

3
sedangkan daya merujuk pada kekuatan, upaya-upaya, dan hasil-
hasil (Supriatna, 2009). Kebudayaan itu sendiri berarti hasil
kegiatan dan penciptaan batin (akal budi) manusia seperti
kesenian, kepercayaan dan adat istiadat (kamus besar bahasa
Indonesia). Kesamaan perilaku, sikap, penampilan, pendapat dan
lain sebagainya itu tercermin dalam keseharian individu.
Sehingga, tampak adanya kesamaan perilaku, sikap, dan
pendapat antara individu dengan masyarakat di sekitarnya.
Bahkan sering kali hal-hal yang ditampakkan oleh individu bisa
dijadikan acuan untuk mengenal dari mana individu itu berasal
(Sulistyarini & Jauhar dalam Suwarni,2016).

Pengertian budaya adalah seperangkat sikap, nilai, keyakinan,


dan perilaku yang dimiliki oleh sekelompok orang, namun
demikian ada derajat perbedaan pada setiap individu dan
dikomunikasikan dari satu generasi ke generasi berikutnya
(Dayakisni & Yuniardi dalam Suwarni, 2016). Menurut Herkovitz
dalam (Gainau, 2009), budaya ialah bagian buatan manusia yang
berasal dari lingkungan manusia dan juga bersifat material, seni,
pengetahuan, agama, masyarakat dan pemerintahan. Budaya
memberi kita sebuah identitas dan seperangkat atribut yang
menentukan identitas. Budaya mempengaruhi apa yang kita
pikirkan, bagaimana perasaan kita, bagaimana kita berpakaian,
apa dan bagaimana kita makan, bagaimana kita berbicara, nilai
dan prinsip moral apa yang kita pegang, bagaimana kita
berinteraksi satu sama lain dan bagaimana kita memahami dunia
disekitar kita. Budaya mencakup hampir semua aspek eksistensi
kita. Oleh karena itu, budaya merupakan latar belakang yang
diambil untuk masa depan (Hogg & Vaughan, 2011) ataupun hal
yang tak kalah harus diperhatikan oleh seorang konselor dalam
proses konseling.

Secara etimologis, multikulturalisme dibentuk dari kata multi


(banyak), kultur (budaya), dan isme (aliran/paham). Secara hakiki,
dalam kata itu terkandung pengakuan akan martabat manusia
yang hidup dalam komunitasnya dengan kebudayaannya masing-
masing yang unik. Dengan demikian, setiap individu merasa
dihargai sekaligus merasa bertanggung jawab untuk hidup
bersama komunitasnya. Pengingkaran suatu masyarakat terhadap
kebutuhan untuk diakui merupakan akar dari segala ketimpangan
dalam berbagai bidang kehidupan (Mahfud dalam Sumadi, 2016).
Multikulturalisme menurut Abdullah merupakan sebuah paham
yang menekankan pada kesenjangan dan kesetaraan budaya-
budaya lokal dengan tanpa mengabaikan hak-hak dan eksistensi
budaya yang ada. Dengan kata lain, penekanan utama
multikulturalisme adalah pada kesetaraan budaya (Sumadi, 2016).
Lintas budaya atau multikultur bisa juga disebut sebagai
keberagaman budaya pada suatu wilayah, di mana masing-
masing budaya akan saling memperlihatkan jati diri mereka yang
menjadikan ciri khas di setiap budaya.

4
Sementara sensitif budaya itu sensitivitas atau kepekaan
budaya (cultural sensitivity) juga disebut sebagai empati budaya
(cultural empathy). Merujuk pada penghargaan secara sadar atas
budaya yang berbeda. Baik perbedaan budaya antar bangsa,
bahkan antar suku dalam bangsa. Ada upaya kemampuan untuk
memahami sesuatu kajian dengan perspektif atau cara pandang
orang lain. Cara pandang yang merangkum nilai, norma pun
keyakinan yang hidup dalam sistem masyarakat tertentu.
Pemahaman akan sensitivitas budaya akan mempengaruhi
strategi dan teknik berkomunikasi maupun bertindak. Pada
gilirannya mengurangi hal-hal yang tidak perlu terjadi.
Meningkatkan efektivitas pencapaian tujuan bersama.

B. Praktek Kebudayaan

Kebidanan memiliki Undang-Undang tersendiri. Undang-Undang Nomor 4


Tahun 2019 tentang Kebidanan disahkan oleh Presiden Joko Widodo
pada tanggal 13 Maret 2019. UU 4 tahun 2019 tentang Kebidanan
diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019
Nomor 56 dan Penjelasan Atas UU 4 Tahun 2019 tentang Kebidanan
dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6325
oleh Menkumham Yasonna H. Laoly pada tanggal 15 Maret 2019 di
Jakarta.
Kebidanan dalam UU 4 Tahun 2019 tentang Kebidanan adalah segala
sesuatu yang berhubungan dengan bidan dalam memberikan pelayanan
kebidanan kepada perempuan selama masa sebelum hamil, masa
kehamilan, persalinan, pascapersalinan, masa nifas, bayi baru lahir, bayi,
balita, dan anak prasekolah, termasuk kesehatan reproduksi perempuan
dan keluarga berencana sesuai dengan tugas dan wewenangnya. Bidan
adalah seorang perempuan yang telah menyelesaikan program
pendidikan Kebidanan baik di dalam negeri maupun di luar negeri yang
diakui secara sah oleh Pemerintah Pusat dan telah memenuhi
persyaratan untuk melakukan praktik Kebidanan.

Praktik Kebidanan adalah implementasi dari ilmu kebidanan oleh bidan


yang bersifat otonom, kepada perempuan, keluarga dan komunitasnya,
didasari etika dan kode etik bidan.
Pelayanan Kebidanan menurut ketentuan umum Undang-Undang Nomor
4 Tahun 2019 tentang Kebidanan adalah suatu bentuk pelayanan
profesional yang merupakan bagian integral dari sistem pelayanan
kesehatan yang diberikan oleh bidct.n secara mandiri, kolaborasi,
dan/atau rujukan. Praktik Kebidanan adalah kegiatan pemberian
pelayanan yang dilakukan oleh Bidan dalam bentuk asuhan kebidanan.
Kompetensi Bidan adalah kemampuan yang dimiliki oleh Bidan yang
meliputi pengetahuan, keterampilan, dan sikap untuk memberikan
Pelayanan Kebidanan.

5
Pertimbangan sebagai latar belakang lahirnya Undang-Undang Nomor 4 Tahun
2019 tentang Kebidanan adalah:
a. bahwa setiap orang berhak memperoleh pelayanan kesehatan agar dapat
hidup sejahtera lahir dan batin, sehingga mampu membangun
masyarakat, bangsa, dan negara sebagaimana diamanatkan dalam
Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. bahwa pelayanan kesehatan kepada masyarakat khususnya perempuan,
bayi, dan anak yang dilaksanakan oleh bidan secara bertanggungjawab,
akuntabel, bermutu, aman, dan berkesinambungan, masih dihadapkan
pada kendala profesionalitas, kompetensi, dan kewenangan;
c. bahwa pengaturan mengenai pelayanan kesehatan oleh bidan maupun
pengakuan terhadap profesi dan praktik kebidanan belum diatur secara
komprehensif sebagaimana profesi kesehatan lain, sehingga belum
memberikan pelindungan dan kepastian hukum bagi bidan dalam
melaksanakan pelayanan kesehatan kepada masyarakat;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a,
huruf b, dan huruf c, perlu membentuk Undang-Undang tentang
Kebidanan.

C. Aspek Budaya Dalam Praktik Kebidanan


Perilaku kesehatan merupakan salah satu faktor determinan pada derajat
kesehatan. Perilaku kesehatan tersebut meliputi seluruh perilaku seseorang atau
masyarakat yang dapat memberi akibat terhadap kesehatan, kesakitan dan
kematian. Perilaku sakit adalah cara seseorang bereaksi terhadap gejala
penyakit yang biasanya dipengaruhi oleh pengetahuan, fasilitas, kesempatan,
kebiasaan, kepercayaan, norma, nilai dan segala aturan dalam masyarakat atau
yang biasa disebut dengan budaya. Beberapa perilaku dan aspek budaya yang
mempengaruhi pelayanan kebidanan diantaranya adalah sebagai berikut :

1. Health believe
Adalah tradisi- tradisi yang diberlakukan secara turun- menurun
dalam. Contohnya: dalam pemberian makanan pada bayi, di daerah Nusa
Tenggara Barat ada pemberian nasi papah atau di jawa dengan tradisi
nasi pisang.
2. Life style
Adalah gaya hidup yang berpengaruh terhadap kesehatan.
Contohnya gaya hidup kawin cerai di lombok atau gaya hidup perokok
3. Health seeking behavior
Salah satu bentuk perilaku sosial budaya yang mempercayai apabila
seseorang sakit tidak perlu ke pelayanan kesehatan akan tetapi cukup
dengan membeli obat di warung atau mendatangi fasilitas kesehatan
tradisional (dukun, sinshe, dan sebagainya).

 Masyarakat sebagai tempat atau budaya

6
Masyarakat dapat digambarkan baik secara fisik sebagai tempat tinggal
individu atau sebagai lingkungan kehidupan sosial di suatu tempat tertentu.
Sebagian besar individu hidup di masyarakat bersama orang lain. Melalui
hubungan dalam masyarakat, individu mengembangkan dan mendukung sistem
kepercayaan tentang keluarga,sehat, sakit serta penyakit. Keyakinan personal ini
sejalan dengan perilaku keluarga dan keyakinan kelompoknya, yang menjadi
dasar individu untuk memutuskan cara-cara menjaga status kesehatan dan
perawatan individu yang sakit.

Menilai pelahiran dari sudut pandang antropologi, mengemukakan bahwa


konteks budaya dan social pelahiran bagi pengalaman melahirkan serta
kesejahteraan seorang ibu sama penting dengan perawatan ibu tersebut. Ibu
menjalani pengalaman melahirkan dalam konteks budaya dengan aturan dan
ritual sosial yang menganut keyakinan.

D. Aspek Sosial Budaya Yang Berkaitan Dengan Pra Perkawinan Dan


Perkawinan
1. Pra Perkawinan
Masa pra perkawinan adalah masa pasangan untuk mempersiapkan diri
ke jenjang perkawinan Pelayanan kebidanan diawali dengan pemeliharaan
kesehatan para calon ibu. Remaja wanita yang akan memasuki jenjang
perkawinan perlu dijaga kondisi kesehatannya. Kepada para remaja di beri
pengertian tentang hubungan seksual yang sehat, kesiapan mental dalam
menghadapi kehamilan dan pengetahuan tentang proses kehamilan dan
persalinan, pemeliharaan kesehatan dalam masa pra dan pasca kehamilan.
Promosi kesehatan pada masa pra kehamilan disampaikan kepada
kelompok remaja wanita atau pada wanita yang akan menikah. Penyampaian
nasehat tentang kesehatan pada masa pranikah ini disesuaikan dengan tingkat
intelektual para calon ibu dan keadaan sosial budaya masyarakat. Nasehat yang
di berikan menggunakan bahasa yang mudah di mengerti karena informasi yang
di berikan bersifat pribadi dan sensitif. Remaja yang tumbuh kembang secara
biologis diikuti oleh perkembangan psikologis dan sosialnya. Alam dan pikiran
remaja perlu diketahui. Remaja yang berjiwa muda memiliki sifat menantang,
sesuatu yang dianggap kaku dan kolot serta ingin akan kebebasan dapat
menimbulkan konflik di dalam diri mereka. Pendekatan keremajaan di dalam

7
membina kesehatan diperlukan. Penyampaian pesan kesehatan dilakukan
melalui bahasa remaja dengan memperhatikan aspek sosial budaya setempat.
Pemeriksaan kesehatan bagi remaja yang akan menikah dianjurkan.
Tujuan dari pemeriksaan tersebut adalah untuk mengetahui secara dini tentang
kondisi kesehatan para remaja. Bila ditemukan penyakit atau kelainan di dalam
diri remaja, maka tindakan pengobatan dapat segera dilakukan. Bila penyakit
atau kelainan tersebut tidak diatasi maka diupayakan agar remaja tersebut
berupaya untuk menjaga agar masalahnya tidak bertambah berat atau menular
kepada pasangannya. Misalnya remaja yang menderita penyakit jantung, bila
hamil secara teratur harus memeriksakan kesehatannya kepada dokter. Remaja
yang menderita AIDS harus menjaga pasanganya agar tidak terkena virus HIV.
Caranya adalah agar menggunakan kondom saat besrsenggama, bila menikah.
Upaya pemeliharaan kesehatan bagi para calon ibu ini dapat dilakukan melalui
kelompok atau kumpulan para remaja seperti karang taruna, pramuka, organisaai
wanita remaja dan sebagainya.
Promosi kesehatan pranikah merupakan suatu proses untuk
meningkatkan kemampuan masyarakat dalam memelihara dan meningkatkan
kesehatannya yang ditujukan pada masyarakat reproduktip pranikah.
Bidan juga berperan dalam mencegah perkawinan dini pada pasangan
pra nikah yang masih menjadi masalah penting dalam kesehatan reproduksii
perempuan di Indonesia. Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) mencatat,
anak perempuan yang menikah pertama kali pada usia sangat muda, 10-14
tahun, cukup tinggi, jumlahnya 4,8 persen dari jumlah perempuan usia 10-59
tahun. Sedangkan yang menikah dalam rentang usia 16-19 tahun berjumlah 41,9
persen. Dengan demikian, hampir 50 persen perempuan Indonesia menikah
pertama kali pada usia di bawah 20 tahun. Provinsi dengan persentase
perkawinan dini tertinggi adalah Kalimantan Selatan (9 persen), Jawa Barat (7,5
persen), serta Kalimantan Timur dan Kalimantan Tengah masing-masing 7
persen. Hal ini sangat berhubungan dengan sosial budaya pada daerah tersebut
yang mendukung perkawinan dini.
Usia perkawinan dini yang cukup tinggi pada perempuan
mengindikasikan rentannya posisi perempuan di masyarakat. Koordinator Kartini
Network Nursyahbani Katjasungkana menyebut dalam berbagai kesempatan,
pernikahan dini menunjukkan posisi perempuan yang lebih lemah secara

8
ekonomi maupun budaya. Secara budaya, perempuan disosialisasikan segera
menikah sebagai tujuan hidupnya. Akibatnya, perempuan memiliki pilihan lebih
terbatas untuk mengembangkan diri sebagai individu utuh. Selain itu, segera
menikahkan anak perempuan artinya keluarga akan mendapat mas kawin yang
berharga di masyarakat setempat, seperti hewan ternak. Data Riskesdas
memperlihatkan, perkawinan sangat muda (10-14 tahun) banyak terjadi pada
perempuan di pedesaan, berpendidikan rendah, berstatus ekonomi termiskin,
serta berasal dari kelompok buruh, petani, dan nelayan.
Sedangkan bagi perempuan, menikah artinya harus siap hamil pada usia
sangat muda. Bila disertai kekurangan energi dan protein, akan menimbulkan
masalah kesehatan yang dapat berakibat kematian bagi ibu saat melahirkan dan
juga bayinya. Dan resiko hamil muda sangat tinggi.

2. Perkawinan
Pekawinan bukan hanya sekedar hubungan antara suami dan istri.
Perkawinan memberikan buah untuk menghasilkan turunan. Bayi yang dilahirkan
juga adalah bayi yang sehat dan direncanakan. Kegiatan pembinaan yang
dilakukan oleh bidan sendiri antara lain mempromosikan kesehatan agar peran
serta ibu dalam upaya kesehatan ibu, anak dan keluarga meningkat.
Pelayanan kesehatan ibu dan anak yang meliputi pelayanan ibu hamil,
ibu bersalin, ibu nifas, keluarga berencana, kesehatan reproduksi, pemeriksaan
bayi, anak balita dan anak prasekolah sehat. Peningkatan kualitas pelayanan
kesehatan ibu dan anak tersebut diyakini memerlukan pengetahuan aspek sosial
budaya dalam penerapannya kemudian melakukan pendekatan-pendekatan
untuk melakukan perubahan-perubahan terhadap kebiasaan-kebiasaan yang
tidak mendukung peningkatan kesehatan ibu dan anak. Misalnya pola makan,
pacta dasarnya adalah merupakan salah satu selera manusia dimana peran
kebudayaan cukup besar. Hal ini terlihat bahwa setiap daerah mempunyai pola
makan tertentu, termasuk pola makan ibu hamil dan anak yang disertai dengan
kepercayaan akan pantangan, tabu, dan anjuran terhadap beberapa makanan
tertentu. Misalnya di Jawa Tengah adanya anggapan bahwa ibu hamil pantang
makan telur karena akan mempersulit persalinan dan pantang makan daging
karena akan menyebabkan perdarahan yang banyak. Sementara di salah satu

9
daerah di Jawa Barat, ibu yang kehamilannya memasuki 8-9 bulan sengaja harus
mengurangi makannya agar bayi yang dikandungnya kecil dan mudah dilahirkan.
Sikap seperti ini akan berakibat buruk bagi ibu hamil karena akan membuat ibu
dan anak kurang gizi.

E. Aspek Sosial Budaya yang Berkaitan dengan Kehamilan


Perawatan kehamilan merupakan salah satu faktor yang amat perlu
diperhatikan untuk mencegah terjadinya komplikasi dan kematian ketika
persalinan, disamping itu juga untuk menjaga pertumbuhan dan kesehatan janin.
Memahami perilaku perawatan kehamilan (ante natal care) adalah penting untuk
mengetahui dampak kesehatan bayi dan si ibu sendiri.
Fakta di berbagai kalangan masyarakat di Indonesia, masih banyak ibu-
ibu yang menganggap kehamilan sebagai hal yang biasa, alamiah dan kodrati.
Mereka merasa tidak perlu memeriksakan dirinya secara rutin ke bidan ataupun
dokter. Masih banyaknya ibu-ibu yang kurang menyadari pentingnya
pemeriksaan kehamilan ke bidan menyebabkan tidak terdeteksinya faktor-faktor
resiko tinggi yang mungkin dialami oleh mereka. Resiko ini baru diketahui pada
saat persalinan yang sering kali karena kasusnya sudah terlambat dapat
membawa akibat fatal yaitu kematian.
Hal ini kemungkinan disebabkan oleh rendahnya tingkat pendidikan dan
kurangnya informasi. Selain dari kurangnya pengetahuan akan pentingnya
perawatan kehamilan, permasalahan-permasalahan pada kehamilan dan
persalinan dipengaruhi juga oleh faktor nikah pada usia muda yang masih
banyak dijumpai di daerah pedesaan. Disamping itu, dengan masih adanya
preferensi terhadap jenis kelamin anak khususnya pada beberapa suku, yang
menyebabkan istri mengalami kehamilan yang berturut-turut dalam jangka waktu
yang relatif pendek, menyebabkan ibu mempunyai resiko tinggi saat melahirkan.
Contohnya di kalangan masyarakat pada suku bangsa nuaulu (Maluku)
terdapat suatu tradisi upacara kehamilan yang dianggap sebagai suatu peristiwa
biasa, khususnya masa kehamilan seorang perempuan pada bulan pertama
hingga bulan kedelapan. Namun pada usia saat kandungan telah mencapai
Sembilan bulan, barulah mereka akan mengadakan suatu upacara. Masyarakat
nuaulu mempunyai anggapan bahwa pada saat usia kandungan seorang
perempuan telah mencapai Sembilan bulan, maka pada diri perempuan yang

1
bersangkutan banyak diliputi oleh pengaruh roh-roh jahat yang dapat
menimbulkan berbagai bahaya gaib. Dan tidak hanya dirinya sendiri juga anak
yang dikandungannya, melainkan orang lain disekitarnya, khususnya kaum laki-
laki. Untuk menghindari pengaruh roh-roh jahat tersebut, si perempuan hamil
perlu diasingkan dengan menempatkannya di posuno. Masyarakat nuaulu juga
beranggapan bahwa pada kehidupan seorang anak manusia itu baru tercipta
atau baru dimulai sejak dalam kandungan yang telah berusia 9 bulan. Jadi dalam
hal ini ( masa kehamilan 1-8 bulan ) oleh mereka bukan dianggap merupakan
suatu proses dimulainya bentuk kehidupan.
Permasalahan lain yang cukup besar pengaruhnya pada kehamilan
adalah masalah gizi. Hal ini disebabkan karena adanya kepercayaan-
kepercayaan dan pantangan-pantangan terhadap beberapa makanan.
Sementara, kegiatan mereka sehari-hari tidak berkurang ditambah lagi dengan
pantangan-pantangan terhadap beberapa makanan yang sebenamya sangat
dibutuhkan oleh wanita hamil tentunya akan berdampak negatif terhadap
kesehatan ibu dan janin. Tidak heran kalau anemia dan kurang gizi pada wanita
hamil cukup tinggi terutama di daerah pedesaan.
Di Jawa Tengah, ada kepercayaan bahwa ibu hamil pantang makan telur
karena akan mempersulit persalinan dan pantang makan daging karena akan
menyebabkan perdarahan yang banyak. Sementara di salah satu daerah di Jawa
Barat, ibu yang kehamilannya memasuki 8-9 bulan sengaja harus mengurangi
makannya agar bayi yang dikandungnya kecil dan mudah dilahirkan. Di
masyarakat Betawi berlaku pantangan makan ikan asin, ikan laut, udang dan
kepiting karena dapat menyebabkan ASI menjadi asin. Dan memang, selain
ibunya kurang gizi, berat badan bayi yang dilahirkan juga rendah. Tentunya hal
ini sangat mempengaruhi daya tahan dan kesehatan si bayi.

 Perilaku budaya masyarakat selama kehamilan

1. Upaya yang harus dilakukan untuk mengupayakan keselamatan bagi


janin dalam prosesnya menjadi bayi hingga saat kelahirannya. Contohnya
upacara 7 bulanan.
2. Pantangan jangan memancing ikan karena akan menyebabkan bibir anak
menjadi sumbing.
3. Larangan masuk hutan.
4. Pantangan keluar waktu magrib.

1
5. Pantangan menjalin rambut karena bisa menyebabkan lilitan tali pusat.
6. Pantangan nazar karena bisa menyebabkan air liur menetes terus.
7. Pantangan makan tertentu, pantangan terhadap pakaian, pantangan
jangan pergi malam, pantangan jangan duduk depan pintu, dll.
8. Kenduri
Kenduri pertama kali dilakukan pada waktu hamil 3 bulan sebagai tanda
wanita itu hamil, kenduri kedua dilakukan pada waktu umur kehamilan &
bulan.

 Peran bidan terhadap prilaku selama hamil

1. KIE tentang menjaga kehamilan yaitu dengan ANC teratur,komunikasi


makanan bergizi, batasi aktifitas fisik, dan tidak perlu pantang makan.
2. KIE tentang segala sesuatu sudah diatur tuhan yang maha esa, mitos
yang tidak benar ditinggalkan.
3. Pendekatan kepada tokoh masyarakat untuk mengubah tradisi yang
negatif atau berpengaruh buruk terhadap kehamilan.

F. Aspek Sosial Budaya yang Berkaitan dengan Kelahiran, Nifas dan Bayi
Baru Lahir
Berdasarkan survei rumah tangga (SKRT) pada tahun 1986, angka
kematian ibu maternal berkisar 450 per 100.000 kelahiran hidup atau lebih dari
20.0 kematian pertahunnya. Angka kematian ibu merupakan salah satu
indikator kesehatan ibu yang meliputi ibu dalam masa kehamilan, persalinan, dan
nifas. Angka tersebut dikatakan tinggi bila dibandingkan dengan negara-negara
ASEAN. Dari hasil penelitian di 12 rumah sakit, dikatakan bahwa kehamilan
merupakan penyebab utama kematian ibu maternal, yaitu sebesar 94,4%
dengan penyebabnya, yaitu pendarahan, infeksi, dan toxaemia (*)%). Selain
menimbulkan kematian, ada penyebab lain yang dapat menambah resiko
terjadinya kematian yaitu Anemia gizi pada ibu hamil, dengan Hb kurang dari
11gr%.
Angka kematian balita masih didapatkan sebesar 10,6 per 1000 anak
balita. Seperti halnya dengan bayi sekitar 31% penyebab kematian balita adalah
penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi, yaitu infeksi saluran pernafasan,
polio, dan lain-lain.

1
Masih tingginya angka kematian ibu dan anak di Indonesia berkaitan erat
dengan faktor sosial budaya masyarakat, seperti tingkat pendidikan penduduk,
khususnya wanita dewasa yang masih rendah, keadaan sosial ekonomi yang
belum memadai, tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pelayanan
kesehatan dan petugas kesehatan yang masih rendah dan jauhnya lokasi tempat
pelayanan kesehatan dari rumah-rumah penduduk kebiasaan-kebiasaan dan
adat istiadat dan perilaku masyarakat yang kurang menunjang dan lain
sebagainya.
Tingkat pendidikan terutama pada wanita dewasa yang masih rendah,
mempunyai pengaruh besar terhadap masih tingginya angka kematian bayi.
Berdasarkan survei rumah tangganya (SKRT) pada tahun 1985, tingkat buta
huruf pada wanita dewasa adalah sebesar 25,7%. Rendahnya tingkat pendidikan
dan buta huruf pada wanita menyebabkan ibu-ibu tidak mengetahui tentang
perawatan semasa hamil, kelahiran, perawatan bayi dan semasa nifas, tidak
mengetahui kapan ia harus datang ke pelayanan kesehatan, kontrol ulang, dan
sebagainya.
Kebiasaan-kebiasaan adat istiadat dan perilaku masyarakat sering kali
merupakan penghalang atau penghambat terciptanya pola hidup sehat di
masyarakat. Perilaku, kebiasaan, dan adat istiadat yang merugikan seperti
misalnya:
 Ibu hamil dilarang tidur siang karena takut bayinya besar dan akan sulit
melahirkan.
 Ibu menyusui dilarang makan makanan yang asin, misalnya: ikan asin,
telur asin karena bisa membuat ASI jadi asin.
 Ibu habis melahirkan dilarang tidur siang,
 Bayi berusia 1 minggu sudah boleh diberikan nasi atau pisang agar
mekoniumnya cepat keluar.
 Ibu post partum harus tidur dengan posisi duduk atau setengah duduk
karena takut darah kotor naik ke mata.
 Ibu yang mengalami kesulitan dalam melahirkan, rambutnya harus
diuraikan dan persalinan yang dilakukan di lantai, diharapkan ibu dapat
dengan mudah melahirkan.
 Bayi baru lahir yang sedang tidur harus ditemani dengan benda-benda
tajam.

1
Tingkat kepercayaan masyarakat kepada petugas kesehatan, dibeberapa
wilayah masih rendah. Mereka masih percaya kepada dukun karena kharismatik
dukun tersebut yang sedemikian tinggi, sehingga ia lebih senang berobat dan
meminta tolong kepada ibu dukun. Di daerah pedesaan, kebanyakan ibu hamil
masih mempercayai dukun beranak untuk menolong persalinan yang biasanya
dilakukan di rumah. Data Survei Kesehatan Rumah Tangga tahun 1992
rnenunjukkan bahwa 65% persalinan ditolong oleh dukun beranak. Beberapa
penelitian yang pernah dilakukan mengungkapkan bahwa masih terdapat
praktek-praktek persalinan oleh dukun yang dapat membahayakan si ibu.
Penelitian Iskandar dkk (1996) menunjukkan beberapa tindakan/praktek yang
membawa resiko infeksi seperti "ngolesi" (membasahi vagina dengan minyak
kelapa untuk memperlancar persalinan), "kodok" (memasukkan tangan ke dalam
vagina dan uterus untuk rnengeluarkan placenta) atau "nyanda" (setelah
persalinan, ibu duduk dengan posisi bersandardan kaki diluruskan ke depan
selama berjam-jam yang dapat menyebabkan perdarahan dan pembengkakan).
Selain pada masa hamil, pantangan-pantangan atau anjuran masih
diberlakukan juga pada masa pasca persalinan. Pantangan ataupun anjuraan ini
biasanya berkaitan dengan proses pemulihan kondisi fisik misalnya, ada
makanan tertentu yang sebaiknya dikonsumsi untuk memperbanyak produksi
ASI; ada pula makanan tertentu yang dilarang karena dianggap dapat
mempengaruhi kesehatan bayi. Secara tradisional, ada praktek-praktek yang
dilakukan oleh dukun beranak untuk mengembalikan kondisi fisik dan kesehatan
si ibu. Misalnya mengurut perut yang bertujuan untuk mengembalikan rahim ke
posisi semula; memasukkan ramuan-ramuan seperti daun-daunan kedalam
vagina dengan maksud untuk membersihkan darah dan cairan yang keluar
karena proses persalinan; atau memberi jamu tertentu untuk memperkuat tubuh
(Iskandar et al., 1996).
Ini adalah sedikit gambaran tentang aspek sosial budaya masyarakat yang
berkaitan dengan persalinan dan pasca persalinan, yang tentunya masih banyak
terdapat aspek sosial budaya yang mempengaruhi persalinan dan pasca
persalinan sesuai dengan keanekaragaman masyarakat di Indonesia.

1
 Perilaku budaya masyarakat selama persalinan

1. Bayi laki-laki adalah penerus keluarga yang akan membawa nama baik.
2. Bayi perempuan adalah pelanjut atau penghasil keturunan.
3. Memasukan minyak ke dalam vagina supaya persalinan lancar.
4. Melahirkan di tempat terpencil hanya dengan dukun, biasanya persalinan
dilakukan dengan duduk dilantai di atas tikar, dukun yang menolong
menunggu sampai persalinan selesai.
5. Minum air akar rumput fatimah dapat membuat persalinan lancar.

 Peran Bidan terhadap perilaku selama persalinan

1. Memberikan pendidikan pada penolong persalinan mengenai tempat


persalinan, proses persalinan, perawatan selama dan pasca persalinan.
2. Memberikan pendidikan mengenai konsep kebersihan baik dari segi
tempat dan peralatan.
3. Bekerja sama dengan penolong persalinan( dukun) dan tenaga
kesehatan setempat.

 Perilaku budaya masyarakat selama masa nifas

Setelah bersalin ibu dimandikan oleh dukun selanjutnya ibu sudah harus
bisa merawat dirinya sendiri lalu ibu diberikan juga jamu untuk peredaran darah
dan untuk laktasi. Cara ibu tidur setengah duduk agar darah kotor lekas keluar.
Ibu masa nifas tidak boleh minum banyak, ibu tidak boleh keluar rumah sebelum
40 hari karena bisa sawan, ibu tidak boleh makan terong karena bisa membuat
bayi demam dan lain sebagainya.

 Perilaku budaya masyarakat pada bayi baru lahir

Bayi diurut baru dimandikan oleh dukun selama 40 hari, ramuan tali pusat
tiap hari harus diganti sampai putus. Tali pusat yang sudah lepas dibuat jimat
atau obat. Bayi ditidurkan disamping ibu,tidak boleh dibawa jauh dari rumah
sebelum bayi 40 hari, khitan dilakukan pada bayi laki-laki dan perempuan.

 Peran bidan terhadap perilaku masa nifas dan bayi baru lahir

1. KIE perilaku positif dan negatif.


2. Memberikan penyuluhan tentang pantangan makanan selama nifas dan
menyusui sebenarnya kurang menguntungkan bagi ibu dan bayi.
3. Memberikan pendidikan tentang perawatan bayi baru lahir yang benar
dan tepat, meliputi pemotongan tali pusat, membersihkan/memandikan,
menyusukan (kolostrum), dan menjaga kehangatan bayi.

1
4. Memberikan penyuluhan pentingnya pemenuhan gizi selama masa pasca
bersalin, bayi dan balita.

G. Pendekatan Melalui Budaya dan Kegiatan Kebudayaan Kaitannya


dengan Peran Seorang Bidan
Bidan sebagai salah seorang anggota tim kesehatan yang terdekat
dengan masyarakat, mempunyai peran yang sangat menentukan dalam
meningkatkan status kesehatan masyarakat, khususnya kesehatan ibu dan anak
di wilayah kerjanya.
Seorang bidan harus mampu menggerakkan peran serta masyarakat
khususnya, berkaitan dengan kesehatan ibu hamil, ibu bersalin, nifas, bayi baru
lahir, anak remaja dan usia lanjut. Seorang bidan juga harus memiliki kompetensi
yang cukup berkaitan dengan tugas, peran serta tanggung jawabnya. Dalam
rangka peningkatan kualitas dan mutu pelayanan kebidanan diperlukan
pendekatan-pendekatan khususnya sosial budaya, untuk itu sebagai tenaga
kesehatan khususnya calon bidan agar mengetahui dan mampu melaksanakan
berbagai upaya untuk meningkatkan peran aktif masyarakat agar masyarakat
sadar pentingnya kesehatan.
Menurut Departemen Kesehatan RI, fungsi bidan di wilayah kerjanya
adalah sebagai berikut:
1. Memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat di rumah-rumah,
mengenai persalinan, pelayanan keluarga berencana, dan pengayoman
medis kontrasepsi.
2. Menggerakkan dan membina peran serta masyarakat dalam bidang
kesehatan, dengan melakukan penyuluhan kesehatan yang sesuai
dengan permasalahan kesehatan setempat.
3. Membina dan memberikan bimbingan teknis kepada kader serta dukun
bayi.
4. Membina kelompok dasa wisma di bidang kesehatan.
5. Membina kerja sama lintas program, lintas sektoral, dan lembaga
swadaya masyarakat.
6. Melakukan rujukan medis maupun rujukan kesehatan ke fasilitas
kesehatan lainnya.

1
7. Mendeteksi dini adanya efek samping dan komplikasi pemakaian
kontrasepsi serta adanya penyakit-penyakit lain dan berusaha mengatasi
sesuai dengan kemampuannya.
Melihat dari luasnya fungsi bidan tersebut, aspek sosial-budaya perlu
diperhatikan oleh bidan. Sesuai kewenangan tugas bidan yang berkaitan dengan
aspek sosial-budaya, telah diuraikan dalam peraturan Menteri Kesehatan No.
363/Menkes/Per/IX/1980 yaitu: Mengenai wilayah, struktur kemasyarakatan dan
komposisi penduduk, serta sistem pemerintahan desa dengan cara:
1. Menghubungi pamong desa untuk mendapatkan peta desa yang telah
ada pembagian wilayah pendukuhan/RK dan pembagian wilayah RT
serta mencari keterangan tentang penduduk dari masing-masing RT.
2. Mengenali struktur kemasyarakatan seperti LKMD, PKK, LSM, karang
taruna, tokoh masyarakat, kelompok pengajian, kelompok arisan, dan
lain-lain.
3. Mempelajari data penduduk yang meliputi :
 Jenis kelamin
 Umur
 Mata pencaharian
 Pendidikan
 Agama
4. Mempelajari peta desa
5. Mencatat jumlah KK, PUS, dan penduduk menurut jenis kelamin dan
golongan.
Agar seluruh tugas dan fungsi bidan dapat dilaksanakan secara efektif,
bidan harus mengupayakan hubungan yang efektif dengan masyarakat. Salah
satu kunci keberhasilan hubungan yang efektif adalah komunikasi. Kegiatan
bidan yang pertama kali harus dilakukan bila datang ke suatu wilayah adalah
mempelajari bahasa yang digunakan oleh masyarakat setempat.
Kemudian seorang bidan perlu mempelajari sosial-budaya masyarakat
tersebut, yang meliputi tingkat pengetahuan penduduk, struktur pemerintahan,
adat istiadat dan kebiasaan sehari-hari, pandangan norma dan nilai, agama,
bahasa, kesenian, dan hal-hal lain yang berkaitan dengan wilayah tersebut.
Bidan dapat menunjukan otonominya dan akuntabilitas profesi melalui
pendekatan social dan budaya yang akurat. Manusia sebagai mahluk ciptaan

1
Tuhan yang di anugerahi pikiran, perasaan dan kemauan secara naluriah
memerlukan prantara budaya untuk menyatakan rasa seninya, baik secara aktif
dalam kegiatan kreatif, maupun secara pasif dalam kegiatan apresiatif. Dalam
kegiatan apresiatif, yaitu mengadakan pendekatan terhadap kesenian atau
kebudayaan seolah kita memasuki suatu alam rasa yang kasat mata. Maka itu
dalam mengadakan pendekatan terhadap kesenian kita tidak cukup hanya
bersimpati terhadap kesenian itu, tetapi lebih dari itu yaitu secara empati. Melalui
kegiatan-kegiatan kebudayaan tradisional setempat bidan dapat berperan aktif
untuk melakukan promosi kesehatan kepada masyaratkat dengan melakukan
penyuluhan kesehatan di sela-sela acara kesenian atau kebudayaan tradisional
tersebut. Misalnya: Dengan Kesenian wayang kulit melalui pertunjukan ini
diselipkan pesan-pesan kesehatan yang ditampilkan di awal pertunjukan dan
pada akhir pertunjukan.

H. Pain in labor based on culture


Pain in labor based on culture adalah budaya memainkan peran penting
dalam sikap menghadapi rasa nyeri persalinan. Tanggapan terhadap nyeri dalam
melahirkan dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor budaya, makna nyeri dan
harapan intervensi berbeda antara kebudayaan yang satu dengan yang lainnya.
Beberapa budaya mengharapkan stoicisme ( sabar dan membiarkannya) sedang
budaya lainnya mendorong keterbukaaan untuk menyatakan perasaan ibu.

Salah satu kebutuhan wanita dalam proses persalinan adalah adalah


keringanan rasa sakit. Umumnya bidan menemukan ibu pada persalinan awal
normal , mengeluh nyeri hebat, yang terlihat dari perilaku marah, mengulang-
ulang cercaan, dan mengeluarkan kata-kata secara berlebihan, tetapi ketika
melakukan palpasi bidan hanya menemukan kontraksi ringan berdurasi
singkat.Bidan dapat menghadirkan perubahan perillaku yang dramatis ketika
dramatis ketika memberi perhatian terhadap apa yang dirasakan ibu secara fisik
dan dialami secara psikologis. Kemungkinan besar ibu merasa sangat takut.
Dengan melakukan perawatan penunjang ibu dapat dibantu untuk terseyum,
meningkatkan kemampuan kopingnya untuk menuju persalinan aktif yang tidak
memerlukan narkotik pada saat ini.Sebaliknya dalam mengobati ibu, bidan harus
selalu mengantisipasi kapan ia paling membutuhkannya, yaitu selama transisi
dan kemudian mengatur perencanaan. Nyeri persalinan yang dialami ibu tidak
boleh diremehkan terlepas apapun temuan bidan. Ibu merasakan dan bidan
harus menghargai apa yang dialaminya. Sekali lagi ditegaskan, kiat pengobatan
melibatkan perencanaan perawatan penunjang secara total, termasuk
pengobatan sepanjang persalinan yang di rancang untuk setiap ibu dengan
memperhatikan batas keamanan.

1
 Pengurangan Rasa Nyeri Dalam Persalinan
Kebutuhan seorang wanita dalam proses persalinan adalah:
a. Pemenuhan kebutuhan fisik.
b. Kehadiran seorang pendamping secara terus-menerus.
c. Keringanan dari rasa sakit.
d. Penerimaan atas sikap dan perilakunya.
e. Pemberian informasi tentang kemajuan proses persalinan.
 Persepsi Rasa Nyeri
Cara yang dirasakan oleh individu dan reaksi terhadap rasa sakit
dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain:
a. Rasa takut atau kecemasan
Rasa takut atau kecemasan akan meninggikan respon individual
terhadap rasa sakit. Rasa takut terhadap hal yang tidak diketahui, rasa
takut ditinggal sendiri pada saat proses persalinan (tanpa pendamping)
dan rasa takut atas kegagalan persalinan dapat meningkatkan
kecemasan. Pengalaman buruk persalinan yang lalu juga akan
menambah kecemasan.

b. Kepribadian

Kepribadian ibu berperan penting terhadap rasa sakit, ibu yang


secara alamiah tegang dan cemas akan lebih lemah dalam menghadapi
persalinan dibanding wanita yang rileks dan percaya diri.

c. Kelelahan
Ibu yang sudah lelah selama beberapa jam persalinan, mungkin
sebelumnya sudah terganggu tidurnya oleh ketidaknyamanan dari akhir
masa kehamilannya akan kurang mampu mentolerir rasa sakit.
d. Faktor sosial dan budaya
Faktor sosial dan budaya juga berperan penting dalam reaksi rasa
sakit. Beberapa budaya mengharapkan stooicisme (sabar dan
membiarkannya) sedang budaya lainnya mendorong keterbukaan untuk
menyatakan perasaan.
e. Pengharapan
Pengharapan akan memberi warna pada pengalaman. Wanita
yang realistis dalam pengharapannya mengenai persalinannya dan
tanggapannya terhadap hal tersebut mungkin adalah persiapan yang
terbaik sepanjang ia merasa percaya diri bahwa ia akan menerima
pertolongan dan dukungan yang diperlukannya dan yakin bahwa ia akan
menerima analgesik yang sesuai.

1
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan
Bidan sebagai salah seorang anggota tim kesehatan yang terdekat
dengan masyarakat, mempunyai peran yang sangat menentukan dalam
meningkatkan status kesehatan masyarakat, khususnya kesehatan ibu dan anak
di wilayah kerjanya.
Seorang bidan harus mampu menggerakkan peran serta masyarakat
khususnya, berkaitan dengan kesehatan ibu hamil, ibu bersalin, bufas, bayi baru
lahir, anak remaja dan usia lanjut. Seorang bidan juga harus memiliki kompetensi
yang cukup berkaitan dengan tugas, peran serta tanggung jawabnya.
Seorang bidan perlu mempelajari sosial-budaya masyarakat tersebut,
yang meliputi tingkat pengetahuan penduduk, struktur pemerintahan, adat
istiadat dan kebiasaan sehari-hari, pandangan norma dan nilai, agama, bahasa,
kesenian, dan hal-hal lain yang berkaitan dengan wilayah tersebut.
Melalui kegiatan-kegiatan kebudayaan tradisional setempat bidan dapat
berperan aktif untuk melakukan promosi kesehatan kepada masyaratkat dengan
melakukan penyuluhan kesehatan di sela-sela acara kesenian atau kebudayaan
tradisional tersebut.

B. Saran
Bidan harus selalu menjaga hubungan yang efektif dengan masyarakat dengan
selalu mengadakan komunkasi efektif.

2
DAFTAR PUSTAKA

http://id.wikipedia.org/wiki/Budaya
www.google.com
http://rohanihasanuddin.blogspot.com/2016/06/budaya-dalam-praktik- kebidanan.html

https://slideplayer.info/slide/13342854/

https://www.jogloabang.com/pustaka/uu-4-2019- kebidanan

file:///C:/Users/User/Downloads/8196-18680-1- SM.pdf

Anda mungkin juga menyukai