Anda di halaman 1dari 19

“TEKNIK BK PENDEKATAN PERILAKU KOGNITIF”

MAKALAH

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Terstruktur pada

Mata Kuliah Konseling Kelompok

Dosen Pengampu: Dr. Hajir Tajiri, M.Ag. dan Anggit Garnita, S.Ag., M.Sos.

Disusun oleh :

Muhammad Qolbun Fajrin 1204010099


Nur Azizah BR Sitepu 1204010096
Rahmi Najahusilmi 1204010116
Ratu Fauziah 1204010129
Rifdah Rohadatul Jannah 1204010132

JURUSAN BIMBINGAN KONSELING ISLAM 5/C

FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI

UIN SUNAN GUNUNG DJATI

BANDUNG

2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan karunianya

penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “TEKNIK BK PENDEKATAN


PERILAKU KOGNITIF”

Penulis juga mengucapkan terimakasih yang sebesar - besarnya kepada bapak Dr. Hajir
Tajiri, M.Ag. dan Anggit Garnita, S.Ag., M.Sos. selaku dosen pengampu mata kuliah Teknik BK
yang sudah memberikan kepercayaan kepada kami untuk menyelesaikan tugas ini.

Penulis sangat berharap makalah ini dapat bermanfaat dalam rangka menambah
pengetahuan juga wawasan menyangkut Teknik BK Pendekatan Perilaku Kognitif.

Penulis pun menyadari bahwa di dalam makalah ini masih terdapat banyak kekurangan
dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, kami mengharapkan adanya kritik dan saran demi
perbaikan makalah yang akan penulis buat di masa yang akan datang.

Mudah-mudahan makalah ini dapat dipahami oleh semua orang khususnya bagi para
pembaca. Mohon maaf yang sebesar-besarnya jika terdapat kata-kata yang kurang berkenan.

Bandung, 19 Oktober 2022

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................................................... i


DAFTAR ISI.................................................................................................................................. ii
BAB I .............................................................................................................................................. 1
PENDAHULUAN ......................................................................................................................... 1
A. Latarbelakang Masalah .................................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ............................................................................................................. 1
C. Tujuan ................................................................................................................................. 1
BAB II ............................................................................................................................................ 2
PEMBAHASAN ............................................................................................................................ 2
A. Restrukturasi Kognitif....................................................................................................... 2
B. Self-Talk .............................................................................................................................. 2
C. Reframing ........................................................................................................................... 4
D. Thought stopping ............................................................................................................... 5
E. Rasional-emotif Behavor Therapy ................................................................................... 6
F. Bibliotherapy ...................................................................................................................... 8
G. Desensitisasi Sistematis ................................................................................................ 10
KESIMPULAN ........................................................................................................................... 14
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................................. 16

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latarbelakang Masalah
Beberapa teknik konseling yang dijelaskan dalam bab ini merupakan bagian dari
penjewantahan pendekatan perilaku kognitif. Perilaku dan kognitif ditulis tidak terpisah
melainkan ada tanda penghubung, menunjukkan bahwa perilaku tidak dapat terlepas dari
pikiran. Perilaku seseoag yang buruk pasti akan berawal dari pikiran-pikirannya yang
buruk juga, dapat juga disebab pikiran yang eror, salah mengira, salah berasumsi,
bermula dari pikiran yang kacau maka lahir periaku yang kacau. Maka penanganannya,
konselor harus dapat mengidentifikasi sumber yang menjadi akar masalahnya. Dalam
pendekatan ini, untuk mendapatkan penanganan yang tepat mesti diawali dari identifikasi
maslah yang tepat dengan menggunakan formula formula yang berlaku dalam konseling
perilaku kognitif.

Pendekatan kognitif adalah suatu rancangan konseling atau pendekatan yang berfokus
pada berpikir dan proses mental dalam modifikasi atau mengubah tingkah laku dan sering
melibatkan pelatihan, pengembangan keterampilan, kontrol pikiran, serta proses-proses
dan teknik-teknik yang berorientasi kognitif lainnya (Mappiare Andi, pengantar
konseling dan psikoterapi)

Teknik bimbingan konseling adalah cara ataupun metode yang dilakukan untuk
membantu, mengarahkan ataupun memandu seseorang atau sekelompok orang agar
menyadari dan mengembangkan potensi-potensi dirinya, serta mampu mengambil sebuah
keputusan dan menetukan tujuan hidupnya dengan cara berinteraksi atau bertatap muka.

B. Rumusan Masalah
1. Apa itu Restukturasi Kognitif ?
2. Apa itu Self-Talk ?
3. Apa itu Reframing ?
4. Apa itu Tought Stopping ?
5. Apa itu Rasional-emotif Behavor Therapy ?
6. Apa itu Biblitherapy ?
7. Apa itu Desensitisasi Sistematis ?

C. Tujuan
1. Mengetahui Apa itu Restukturasi Kognitif
2. Mengetahui Apa itu Self-Talk
3. Mengetahui Apa itu Reframing
4. Mengetahui Apa itu Tought Stopping
5. Mengetahui Apa itu Rasional-emotif Behavor Therapy
6. Mengetahui Apa itu Biblitherapy
7. Mengetahui Apa itu Desensitisasi Sistematis

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Restrukturasi Kognitif
Cognitive restructuring adalah sebuah teknik yang lahir dari terapi kognitif,
biasanya dikaitkan degan karya Albert Ellis, Aaron Beck dan Don Meichenbaum.
Kadang-kadang teknik ini disebut juga correcting cognitive distortions (mengoreksi
distorsi kognitif). Restrukturisasi kogitif didasarkan pada dua asumsi: Pertama, pikiran
irasional dan kognisi defektif menghasilkan self-defeating behaviors (perilaku disengaja
yang memiliki efek negatif pada diri sendiri), dan kedua, pikiran dan pernyataan tentang
diri sendiri dapat diubah melalui perubahan eksperimen-eksperimen pribadi dalam ranah
terapeutik dan kemudian beralih ke situasi kehidupan nyata ketika klien sudah siap.

Ada tujuh langkah yang perlu ditempuh konselor apabila ia ingin menggunakan
cognitive restructuring untuk kliennya: Pertama, kumpulkan informasi latar belakang
untuk mengungkap bagaimana klien menangani masalah di masa lalu maupun saat ini.
Kedua, Bantu klien menjadi sadar akan proses pikirannya. Diskusikan contoh-contoh
kehidupan nyata yang mendukung kesimpulan klien dan diskusikan berbagai interpetasi
yang berbeda tentang bukti yang ada. Ketiga, Periksa proses berpikir rasional klien, yang
memfokuskan bagaimana pikiran klien mempengaruhi kesejahteraannya. Konselor dapat
membesar-besarkan pemikiran irasional untuk membuat poinnya lebih terlihat bagi klien.
Keempat, Memberikan bantuan kepada klien untuk mengevaluasi keyakinan klien
tentang pola pola pikiran logis klien sendiri dan orang lain. Kelima, membantu klien
belajar mengubah keyakinan dan asumsi internalnya. Keenam, Ulangi proses pikiran
rasional sekali lagi. kali ini dengan mengajarkan tentang aspek-aspek penting kepada
klien dengan menggunakan contoh-contoh kehidupan nyata. Bantu klien membentuk
tujuan-tujuan yang masuk akal yang akan bisa dicapai oleh klien. Ketujuh, Kombinasikan
thought stopping dengan simulasi, pekerjaan ruamh (PR), dan relaksasi sampai pola-pola
logis benar-benar terbentuk (Doyle, 1998: 92).

Dalam mengenali masalah klien, konselor secara kolaboratif dengan klien dapat
menggunakan beberapa cara antara lain: logical disputation, socratic questioning, dan
eksperimen perilaku.

B. Self-Talk
Self-talk adalah suatu teknik yang dapat digunakan untuk menyangkal keyakinan
yang tidak masuk akal dan mengembangkan pemikiran yang lebih sehat, yang akan
menghasilkan self-talk yang lebih positif. Self- talk adalah cara dari orang-orang untuk
menangani pesan negatif yang mereka kirimkan kepada dirinya sendiri. Self-talk
bermanfaat untuk membangkitkan keberanian atau antusiasme positif diberikan seseorang
kepada dirinya sendiri. Self-talk juga dapat digunakan untuk menagani masalah-masalah
perfeksionisme, kekhawatiran, self-esteem, yang seperti: pengelolaan amarah, dan untuk
2
mengembangkan motivasi. Ketika menggunakan self-talk seseorang berulang-ulang
menyebutkan sebuah frasa suportif yang sangat membantu ketika dihadapkan pada suatu
masalah. (Bradley, ).

Ada dua macam self-talk yaitu self-talk positif dan self talk negatif. Self-talk
positif merupakan tipe yang penting diajarkan kepada kliennya agar dapat dipergunakan.
Dengan self-talk positif klien sangat mungkin tetap termotivasi dalam mencapai tujuan.
Self-talk negatif seringkali bersifat self defeating dan mencegah klien untuk membaik
atau sukses. Tipe self-talk ini didominasi oleh pesimisme dan kecemasan. Menurut
Shafer (1998) setidaknya ada 16 tipe self-talk negatif yaitu: negativizing (memfokuskan
pada aspek-aspek negatif), awfulizing (mempersepsi situasinya buruk), catastrophizing
(mempersepsi situasiya adalah bencana), overgeneralizing (terlalu menggeneralisasi),
minimizing (menyepelekan), blaming (menyalahkan), perfectionisme (perfeksionise),
musterbation (mempersepsi bahwa dirinya "harus" melakukan sesuatu), personalizing
(menganggap sebagai urusan pribadi), judging human worth (menghakimi makna orang
lain), control fallacy (persepsi bahwa segala sesuatunya berada di bawah kendalinya),
polarized thinking (mentalitas all or none), being right (menganggap diri selalu benar),
fallacy of fairness (keykinan bahwa hidup mestinya adil), shoulding (memersepsi bahwa
dirinya "seharusnya" melakukan sesuatu), dan magnifying (membesar-besarkan). Dengan
menggunakan self-talk, mengubah cara berpikir absolutif, klien dapat mencapai kontrol
yang lebih besar atas berbagai situasi.

Bagaimana caranya agar klien dapat mengurangi self talk negatif. M.E. Young
(2013) menyebutkan ada empat langkah yang dikenal dengan metode countering.
Langkah pertama, memastikan posisi self-talk negatif, pada self-talk negatif yang mana
klien terlibat, seberapa sering self-talk negatif terjadi, tipe-tipe situasi yang memunculkan
self-talk negatif. Keberadaa kartu indeks biasanya sangat membantu. Langkah kedua,
setelah satu minggu self-monitoring, yaitu memeriksa apa maksud self-talk negatif klien,
apakah self-talk negatif ini untuk membantu saya melakukan sesuatu. Penyelidikan ini
bukan hanya membantu klien dan konselor memahami dasar self-talk negatif tetapi klien
juga dapat menyadari ada hal lain yang ingin ditanganinya selama sesi konseling. Setelah
klien menyadari alasan menggunakan self-talk negatif, konselor dapat membantu klien
mengembangkan counters. Conter yang baik efektif melawan keyakinan tidak masuk akal
dan konsisten dengan nilai-nilai klien. Counters seharusnya disusun kata katanya secara
positif dan dalam preset tense, bersifat realistis mudah dihapal, dan sering diulang-ulang.
memiliki klien yang musterbates (harus mendapatkan semua hal Jika konselor yang
diinginkan), maka conters efektifnya mungkin: aku tidak pernah harus mendapatkan
keinginanku, atau aku hanya lebih suka bisa mendapatkannya.

Beberapa variasi teknik self-talk: Pertama, metode P dan apa yang Q. Dalam
metode ini, ketika self-talk negatif dimulai, klien pause (P)(berhenti), mengambil napas
dalam-dalam, dan question (menanyai) dirinya sendiri untuk menemukan meresahkan

3
tentang situasinya. Kedua, instant replay. Ketika klien menyadari bahwa dirinya
merespons dengan cara yang tidak diinginkan, ia perlu menangkap self-talk negatifnya,
menantangnya dan mengubahnya. Untung menantang self-talk negatif klien dapat
mengevaluasi apakah self-talk itu faktual atau terdistorsi, sedang atau ekstrm, membantu
atau merugikan.

Contoh dalam aplikasi konselin: Ketika Anda merasa cemas dan gugup, kami
menyebutnya cogitive self-talk. Ketika Anda berpikir dalam pikiran Anda sendiri dan
mengatakan berbagai hal kepada diri Anda sendiri. Anda memikirkan hal hal negatif,
kejam, menyakitkan dan membuat senewen, bahkan Ada mulai merasakanperasaa tidak
nayaman di perut dan mulai merasakan ketegangan di leher, atau Anda bisa memikirkan
hal hal positif dan bersifat tegas. Jika Anda memikirkan hal-hal positif dan tegas mustahil
memikirkan sebaliknya. Reciprocal inhibition, pada dasarya berarti Anda tidak mungkin
melakukan dua halyang berlawanan diwaktu yang sama. Jadi kalau Anda memikirkan
hal-hal positif dan membangkitkan semangat, Anda tidak mungkin memikirkan hal
negatif dan menyakitkan.

Anda berkata kepada diri sendiri, Áku lebih baik bekerja dengan baik, kalau tidak
aku akan mendapatkan masalah yang besar dan tidak mendapatkan perguruan tinggi yang
bagus". Pikiran semacam ini benar-benar dapat menjadikan Anda cemas dan khawatir.
Bersandarlah di kursi, tutuplah mata Anda. Kemudian ucapkan keras-keras hal-hal yang
biasa Anda katakan, seperti:"Aku harus berhasil dalam ujian ini," Aku harus bisa masuk
perguruan tinggi yang baik<" dan semacamnya, dan aku ingin kau merasakan ketegangan
dalam tubuhu...(berhenti 15 detik), kemudian katakan hal-hal menenangkan dan membuat
rileks diri Anda. Katakanlah:" Jangan khawatir, karena segala sesuatunya akan berjalan
dengan baik, jangan menjadi stres. Ambil nafas panjang dan rileks!.

C. Reframing
Reframing, mengubah sudut pandang konseptual atau emosional terhadap suatu
situasi da mengubah maknanya dengan meletakkannya dalam suatu kerangka kerja
kontekstual lain yang juga cocok dengan fakta-fakta yang sama dari situasi aslinya.
Tujuan reframing yaitu untuk membatu klien melihat situasiya dari sudut padang lain,
yang membuatnya tampak tidak terlalu problematik dan lebih normal, dan dengan
demikian lebih terbuka terhadap solusi (Corey, 2015).

Pada saat reframing, konselor menawarkan suatu sudut pandang baru kepada
klien dengan harapan klien akan melihat situasinya secara berbeda dan dengan demikian
bertindak dengan lebih pas. Reframing bisa membuat klien melihat masalah yang
sebelumnya tidak dapat diatasi sebagai sesuatu yang dapat diatasi atau tidak melihatnya
sebagai masalah sama sekali (Hackney & Cormier, 2012). Dalam terapi sistemik dan
terapi terfokus-solusi, reframing enekakan meredefinisi pegalaman dan masalah dalam
konteks sistem sosial dan kultural. Reframing didasarka pada epistemologi konstruksi
sosial. Reframing bekerja berdasarkan premis bahwa masalah perilaku dan emosi bukan
disebabkan oleh kejadian-kejadian tetapi oleh bagaimana kejadian-kejadian itu dilihat.

4
Reframing dapat diimlementasikan dengan tiga langkah: Pertama, konselor
mengguakan suatu siklus mendengarkan tanpa menghakimi untuk mencapai pemahaman
tentang masalah klien. Kedua, begitu konselor memahami masalahnya, koselor kemudian
membangun sebuah jembatan dari sudut pandang klien dengan cara baru untuk melihat
masalahnya. Ketiga, konselor menegakkan jembatan sampai perubahan dalam perspektif
berkembang. Klien diberi pekerjaan rumah untuk melihat masalah dengan cara baru.

Beberapa contoh reframing: Jika seorang perempuan mendeskripsikan suaminya


"cemburu", label ini dapat diganti dengan deskripsi "penuh perhatian". "Ibuku tidak
pernah membiarkan aku melakukan apapun dapat di-reframed sebagai" Ibuku cukup
mencintaiku sehingga menetapkan batas batas".

D. Thought stopping
Thought stopping melatih klien menghentikan seawal mungkin setiap pikiran
yang tidak diinginkan, biasanya dengan menyerukan perintah "berhenti" untuk
menginterupsi pikiran yang tidak diinginkan.

Ada beberapa alasan penggunaan thought stopping menjadi berhasil: Pertama,


perintah "berhenti" berfungsi sebagai hukuman sehingg mengurangi kemungkinan
pikiran tersebut muncul kembali. Selain itu, perintah "berhenti" bertindak sebagai pegalih
perhatian dan tidak selaras dengan pikiran yang tidak diinginkan. Peerintah "berhenti"
dapat diikuti oleh substitusi pikiran untuk memastikan bahwa pikiran yang tidak
diinginkan tidak akan kembali. Contoh, pernyataan yang bersifat menerima diri sendiri
dapat dijadikan pengganti untuk pikiran-ikiran negatif yang tidak diinginkan tentang diri
sendiri. sebuah proses yag didasarkan pada prinsip reciprocal inhibition. Tought stopping
elibatkan empat langkah: Pertama,

Klien dan konselor harus memutuskan bersama, pikiran-pikiran mana yang akan
ditarget dalam prosedur thought stopping ini. Kedua, klien menutup matanya dan
membayangkan sebuah situasi di mana pikiran target itu kemungkinan akan muncul.
Ketiga, pikiran target itu diinterupsi oleh perintah "berhenti!". Keempat, mengganti
pikiran yag tidak diingnkan dengan pikira yang lebih positif. Sebuah sesi thought
stopping lazimnya membutuhkan waktu antara 15 s.d. 20 menit untuk pemantauan diri
klien.

Pada sebagian klien, perintah "berhenti" tidak cukup untuk menekan pikiran yang
tidak diinginkan. Dalam kasus ini, metode interupsi lain yang lebih kuat dapat diguakan.
Klien dapat memakai karet gelang di pergelangan tangannya dan menjepretkannya ketika
pikiran yang tidak diinginkan muncul. Klien juga dapat mencubit dirinya atau
menekankan ujung ujung kukunya ke teapak tangannya sediri untuk menghentikan
pikiran negatif. Di samping itu, mengguakan perintah "berhenti” sambil menekan sebuah
bel yang bunyinya keras ketika pikiran yang tidak diinginkan muncul, juga dapat
mendisrupsi pikiran negatif dengan sukses. Sebagian klien merasa terbantu dengan
melakukan sesuatu yang sifatnya fisik untuk memutus siklus pikiran, misalnya berdiri

5
lalu duduk, berjalan memutar beberapa kali, atau sekedar menyilangkan kakinya. Serupa
dengan karet gelang dan cubitan, kegiatan fisik memutus "pusaran" kognitif. Contoh:
Anda teridetifikasi sebagai mengalami pikiran obsesif, suatu aktivitas yang dilakukan
berulang-ulang, dengan mengatakan “saya bodoh, saya tolol", ini terus berulang-ulang.
Aku benar-benar ideot karena tidak lulus ujian. Konselor meminta Anda untuk
mengucapkannya dengan suara keras. "Saya bodoh saya tolol", berhenti! Sambil
berteriak, berhentilah berucap seperti itu!. Kata berhenti! Atau hetikan! (yuruh berhenti)
bear-benar emutus silus pikiran negatif Anda perlu melakukan sesuatu secara fisik yag
akan memutus pola pikiran dan memungkinkan Anda mengalihkan pikiran Anda ke
sesuatu yang lebih positif. Katakan kepada diri Anda sendiri pesan self talk
yaitu:"semuanya akan baik-baik saja". Janga khawatir, semuanya akan baik-baik saja.
Seteah itu, kaau mau, Anda dapat menggunakan beberapa bayangan visual denga
membawa diri Anda ke sebuah tempat yang menyenangkan dan membuat Anda rileks.
Jadi, katakan dengan keras "hentikan" dan setelah itu masukan frasa self-talk positif,
"semuanya akan baik-baik saja", berulang-ulang, tarik nafas panjang, dan masuklah ke
ebuah bayagan visual yang menenangkan.

E. Rasional-emotif Behavor Therapy


Terapi perilaku rasional-emotif diciptakan oleh Albert Ells pada 1955, muncul
setelah ia menetapkan terapi Rogerian dan psikoanalisis, sebagai metode penanganan
yang tidak efektif. karena tidak memfokuskan pada pikiran dan keyakinan klien saat ini.
Ellis menyadari bahwa emosi, perilaku dan pikiran tidak dapat dipisahkan satu sama lain.

Dalam REBT, emosi penting; tetapi kognisi seseorang adalah sumber berbagai
masalah psikologis. Konselor perlu membantu klien memahami bahwa perasaan tidak
disebabkan oleh berbagai peristiwa, orang lain atau masa lalu, melainkan oleh pikiran
yang dikembangkan oleh orang tersebut di seputar Ide dasar teori ini adalah dengan
mengubah keyakinan irasional menjadi keyakinan yang lebih fleksibel dan situasinya.
rasional, perubahan yang lebih adaptif dalam konsekuensi perilaku dan emosional dapat
terjadi.

REBT memiliki tiga tujuan: Pertama, membantu klie mencapai insight tentang self-
talknya sendiri; kedua, membantu klien mengases pikiran, perasaan dan perilakunya; dan
ketiga, melatih klien tentang prinsip-prinsip REBT sehingga mereka dapat berfungsi secara
lebih efektif di masa mendatang tanpa bantuan konselor.

Salah satu konsep inti REBT adalah model ABCDE. A = Activating event
(kejadian pengaktif) yaitu situasi yang memicu keyakinan klien; ini bisa saja kejadian
yang memang terjadi atau disimpulkan terjadi, internal atau eksternal, atau mengacu
kepada masa lalu, masa kini atau masa mendatang. Penting bagi konselor memahami apa
yang sebenarnya terjadi selama peristiwa itu maupun persepsi klien tentang apa yang
terjadi. Konselor perlu membantu klien untuk memberikan detail dengan jumlah yang
tepat tentang A.

6
B = Belief (keyakinan). Ada dua tipe keyakinan (belief): keyakinan rasional dan
irasional. Keyakinan seseorang mempengaruhi pikiran dan tindakannya. Keyakinan
rasional bersifat realistis dan dapat didukung oleh bukti-bukti. Keyakinan ini fleksibel
dan logis, dan dapat membantu klien meraih tujuan. Keyakinan irasional tidak realistis
dan seringkali didasarkan pada "absolutic musts (keharusan mutlak). Keyakinan ini kaku
dan tidak logis, dan tidak membantu klien meraih tujuan. Untuk mengidentifikasi sistem
keyakinan irasional klien, konselor perlu memeriksa hal-hal yang diyakini klien sebagai
sesuatu yang seharusnya, yang harus menyebalkan dan tidak dapat diterima, perasaan
tidak berharga dan overgeneralisasi. Biasanya, keyakinan irasional klien berkaitan
dengan sikap merendakan diri sendiri atau menyalahkan atau mengutuk orang lain yang
tidak mas menoleransi frustasi. Biasanya keyakinan irasioal seorang klien dapat
digologkan ke dalam salah satu pernyataan di bawah ini :

1. Saya percaya bahwa saya harus dicintai atau disetujui oleh hampir semua orang yang
memiliki hubungan dengan saya.
2. Saya percaya bahwa saya seharusnya betul-betul kompeten adekuat, dan berprestasi
agar dianggap berbahagia.
3. Sebagian orang tidak baik, jahat, kejam, dan oleh sebab it seharusnya dipersalahkan
dan dihukum
4. Benar-benar bencana ketika segala sesuatunya berjalan tidaksesuai dengan keinginan
saya.
5. Ketidakbahagiaan disebabkan oleh keadaan yang berjalan diluar kendali saya.
6. Pengalaman dan kejadian di masa silam menentukan perilakunya sekarang: pengaruh
masa lalu tidak akan pernah dapat dihapus.

C = Consequence (konsekuensi) yaitu respons emosional atau perilaku klien


terhadap keyakinan yang dimiliki klien tentang kejadian pengaktif. Biasanya, inilah yang
awalnya mendorong klien untuk mencari konseling. Emosi-emosi negatif seperti
kekhawatiran, kesedihan, penyesalan, dan kesusahan adalah respons yang sehat,
sementara itu kecemasan, depresi. rasa bersalah dan merasa terluka adalah respons yang
tidak sehat.

D = Dispute (penentangan, yaitu penentangan terhadap keyakinan irrasional klien


"dengan menanyakan pertanyaan yang mendorong orang tersebut untuk mempertanyakan
keempirikan, kelogisan, dan kepragmatisan pertanyaan status keyakinan irasional. Ada
tiga langkah untuk Dispute (D): debating (memperdebatkan), discriminating
(memperbedakan). defining (mendefinisikan). Dengan tiga langkah ini, konselor
memperdebatkan sistem keyakinan klien di seputar A membantu klien membedakan
antara reaksi rasional dan irasional, dan membantu klien mendefinisikan pernyataan
pernyataan secara lebih rasional. Ketika memperdebatkan, konselor dapat
mempergunakan beberapa pertanyaan berikut: "Apakah itu adalah logika yang baik? Jika
seorang teman memiliki ide, apakah Anda mau menerimanya? Mengapa harus begitu?

7
Mana buktinya? Apa yang akan terjadi seandainya...? Mengapa harus...? Atau, bisakah
Anda bahagia meskipun Anda tidak mendapatkan keinginan Anda?

E = Effect (efek). Konselor dan klien mengevaluasi efek efek. Jika D berhasil,
klien akan mengubah perasaan dan tindakan karena ia telah mengubah keyakinannya.
Jika A terjadi, klien akan mampu menarik kesimpulan yang lebih rasional.

Secara garis besar implementasi REBT dapat dilakukan dengan 13 langka:

1. Tanyakan kepada klien, apa yang membawanya ke konseling


2. Sepakati tentang sebuah masalah untuk didiskusikan dan tujuan-tujuan untuk
konseling
3. Ases kejadian pengaktifnya (A). Penting untuk menentukan tindakan yang
mencetuskan sebuah keyakinan irasional
4. Ases konsekuensi (C) isu yang membuatnya mencari konseling. Konsekuensi itu bisa
berupa perilaku, emosional atau kognitif
5. Identifikasi dan ases masalah emosional sekunder klien kalau ada
6. Ajarkan kepada klien bahwa keyakinan di balik A berkaitanlangsung dengan C
7. Ases B, bedakan antara pemikiran absolutistik (tradisional)dan pemikiran yang lebih
rasional
8. Buat hubungan B dan C yng irasional
9. Bantu klien untuk menentang (D) keyakinan irasional dan fasilitasi pemahaman yang
leih mendalam tetang B yangirasional
10. Bantu klien mempedalam keyakinan dirinya pada keyakinan rasional yang baru
11. Berikan pekerjaan rumah (PR) yang memungkinkan klien untuk mempraktikkan apa
yang telah dipelajarinya
12. Periksa kemajuan klien pada peerjaan rumahnya selama sesiyang akan datang
13. Bantu klien untuk mengatasi kesulitan apapun terkait masalah atau pekerjaan
rmahnya dan generalisasikan penggunaan proses tersebut untuk masalah-asalah yang
lain.

F. Bibliotherapy
Bibliotherapy adalah istilah yang dilontarkan oleh Samuel Clohers pada 1916
untuk mendeskripsikan penggunaan sebagai bagian dari proses konseling (Jackson,
2001). buku Bibliotherapy sering digunakan konselor apabila bertemu klien yang perlu
modifikasi cara berikimya, antara lain membantu klien agar menemukan kesenangan
dalam membaxa dan melepaskan diri dari distress mental. Salah satu proposisi utama
yang mendasari teknik ini adalah klien perlu mampu mengidentifikasi diri dengan salah
satu tokoh yang mengalami masalah serupa dengan masalah klien. Dengan membaca
sebuah buku dan dengan mampu mengidentifikasikan diri dengan seorang tokoh, klien
dapat belajar dari orang lain bagimana cara mengatasi masalahnya, dan melepaskan
emosi-emosi, mencapai arah baru dalam kehidupan, dan mengeksplorasi cara baru dalam
berinteraksi.

8
Bibliotherapy meiliki lima tujuan: mengajarkan berpikir konstruktif dan positif,
mendorong untuk mengungkapkan masalah dengan bebas, membantu klien dalam
menganalisis sikap dan perilakunya, membantu pencarin solusi-solusi alternatif untuk
masalah klien, memungkinkan klien untuk menemukan bahwa masalahnya serupa dengan
masalah orang lain.

Ada empat tahapan dalam mengimplementasikan teknik bibliotherapy:


identifikasi, pemilihan, presentasi, dan tindak lanjut. Pada tahap pertama, konselor
mengidetifikasi kebutuhan kebutuhan klien, yang dilanjutkan dengan memilih buku-buku
yang cocok untuk situasi klien. Buku tersebut penulisannya di tingkat dapat yang
dipahami klien, dan tokoh-tokoh dalam ceritanya perlu dapat dipercaya. Konselor
seharusnya merekomendasikan buku-buku yang pernah dibaca sendiri dan sesuai dengan
nilai-nilai dan tujuan klien.

Dalam tahap presentasi, klien membaca buku-buku, biasanya secara mandiri, di


luar waktu sesi, dan selama sesi-sesi konseling ia mendiskusikan aspek-aspek penting
buku tersebut bersama konselor. Untuk anak-anak yang lebih muda, bukunya dibaca
bersama-sama dalam sesi konseling. Konselor da meminta klien menggarisbawahi poin-
poin kunci dalam buku atau membuat catatan harian jika itu akan membantu klien.

Bagaimanakah cara membantu klien mengidentifikasi diri dengan seorang tokoh


dalam cerita? Konselor perlu meminta klien untuk menceritakan kembali kisahnya.
Selama proses ini. penting untuk meminta klien berkonsentrasi pada perasaan perasaan
yang dialami oleh tokoh dalam cerita. Kemudian konselor membantu klien menunjukkan
transformasi dalam perasaan. Hubungan atau perilaku tokoh cerita. Selanjutnya, konselor
membantu klien dalam membandingkan antara klien dengan tokoh dari cerita yang
dibacanya. Salah satu bagian esensial tahap ini adalah klien mengidentifikasi solusi-
solusi alternatif untuk masalah yang dialami tokoh cerita dan mendiskusikan konsekuensi
dari masing-masing solusi.

Pada tahap terakhir, yaitu tindak kanjut, konselor dan klien mendiskusikan apa
yang telah klien pelajari maupun apa yang telah dicapai dari mengidentifikasikan diri
dengan tokoh cerita. Klien dapat mengungkapkan pengalamannya melalui diskusi,
bermain peran, medium seni, atau beragam cara kreatif lainnya.

Contoh penggunaan teknik bibliotherapy dalam menurunkan kesedihan akibat kondisi


tubuh yang sakit-sakitan dan selalu kehilangan peluang karir. klien diajak oleh konselor
untuk mampu bersabar atas kenyataan hidup yang menimpa dirinya. Setelah konselor
menunjukkan empatinya seraya mengatakan, saya pun jika mengalami peristiwa seperti itu
akan merasakan kesedihan yang sama, tapi kita harus tangguh, dan mampu menerima
kenyataan pahit ini. Kemudian konselor mengajak konseli untuk membaca buku yang berisi
cerita super motivatif "Sembuhkan Dulu Penyakitmu, Baru Pikirkan Karir!

9
G. Desensitisasi Sistematis
Pada akhir 1950-an. Joseph Wolfe mengembangkan teknik systematic
desensitization (desensitisasi sistematik), salah satu teknik yang paling lazim digunakan
untuk menangani kecemasan dan fobia. Desensitisasi sistematik adalah sebuah prosedur
dimana klien berulang kali mengingat, membayangkan, atau mengalami kejadian yang
membangkitkan kecemasan dan setelah itu menggunakan teknik relaksasi untuk menekan
kecemasan yang disebabkan oleh kejadian itu.

Ada dua bentuk respons terhadap peristiwa yang membangkitkan kecemasan,


keduanya saling bertentangan, dan tidak mungkin terjadi berbarengan, misalnya takut dan
tenang. Kuncinya, memperkuat respons yang diinginkan (tenang) untuk memblokir
respons yang tidak diinginkan (takut). Dalam desensitisasi sistematis, salah satunya
dengan rileksasi, hal ini karena rileksasi dapat menurunkan kecemasan.

Proses desensitisasi sistematik memiliki tiga komponen umum. Pertama, klien


diajari sebuah teknik relaksasi (misalnya, mengambil napas dalam-dalam, latihan
relaksasi otot progresif dimana ia perlu mahir disini. Kedua, sebuah skala hierarki
kecemasan dibuat. Ketiga, menyajikan stimuli yang membangkitkan kecemasan selama
relaksasi. Sedangkan dalam proses konseling, desensitisasi sistematik dilangsungkan
setelah hubungan konselor dan konseli terbangun. Langkah langkahnya yaitu: Pertama,
menemukan perilaku untuk memfokuskan intervensinya. Untuk ini, konselor perlu
mengumpulkan riwayat lengkap klien. Dengan menanyai klien mengaitkannya dengan
kejadian-kejadian lain yang terjadi dalam kehidupan klien. Disamping informasi umum,
konselor juga mempelajari situasi dan keadaan membangkitkan kecemasan klien, yang
akan membantu langkah berikutnya. Kedua, konselor bekerja bersama klien untuk
menemukan faktor-faktor apapun yang berkaitan dengan kecemasan klien. Penting bagi
klien menjelaskan secara detail tentang situasi-situasi yang membangkitkan kecemasan.
Informasi ini dipelajari melalui diskusi, dan metode lainnya yang dapat mengungkap
kecemasan klien. mana yang

Selanjutnya konseor membantu klien dalam mengostruksikan sebuah hierarki


kecemasan. Penting bahwa hierarkinya realistis dan kongkrit. Konselor juga memberi
tugas kepada klien, sebagai pekerjaan rumah untuk membuat daftar stimuli yang
berkaitan dengan ketakutan. Bila diperlukan. konselor seharusnya membantu klienuntuk
sampau pada 10 items; biasanya daftar memiliki tidak lebih dari 15 items. Konselor
kemudia meninjau daftar itu dan mengelompokkan item-iten yang berkaitn dengan
ketakutan-ketakutan tertentu. Klien melihat daftar yang terbagi bagi itu dan
memperingkat item terutama tertema itu debgan menggunakan subjectives unit of
Distress scale. Ierarki itu kemudian disusun dengan meletakan situasi-situasi yang paling
banyak menyebabkan kecemasan di bagian bawah daftar dan situasi-situasi yang paling
sedikit menyebabkan kecemasan di bagian atas daftar. secara berurutan.

Setelah hierarki dibuat klien siap belajar teknik-teknik relaksasi. Klien belajar
mengendurkan seluruh kelompok otot yang berbeda di tubuhnya, Klien perlu benar-benar

10
rileks agar desensitisasi sistematik efektif, demikian juga klien harus berlath agar
terampil dalam menggunakan teknik relaksasi.

Selanjutnya konselor perlu membuat rencana untuk menyodorkan berbagai


skenario dari hierarki klien. Biasanya, progresi dari skenario yang lebih tertutup ke yang
lebih terbuka berjalan lambat dan mulai dari intensitas lebih rendah ke lebih tinggi atau
ke situasi-situasi yang lebuh realistis. Konselor dan konseli perlu menyepakati tentang
sebuah isyarat yng akan diberikan klien kepada konselor jika ia menjadi distress,
misalnya dengan sedikit mengangkat tangan atau menggerakan jari-jari.

Ketika klien dan konselor siap memulai proses desensitisi, klien perlu mencapai
keadaan relaksasi mendalam yang telah dipelajari sebelumnya. Mata klien seharusnya
dipejamkan. Konselor mulai dengan mengintrodksikan sebuh scene netral yang tidak ada
dalam hierarki klien. Jika klien dapat membayangkan scene ini tanpa mengalami
kecemasan. konselor meminta klien untuk membayangkan situasi yang ada di bagian
bawah dalam hierarki. Setelah beberapa detik sampai dengan setengah menit, konselor
meminta klien untuk membayangkan situasi urutan berikutnya pada hierrki. Jika klien
merasakan kecemasan selama proses ini, klien menggunakan isyarat yag telah disepakati
untuk memberi tahu konselor. Ketika klien mengalami kecemasan, ia berhenti
membayangkan scene itu dan kembali ke keadaan relaksasi mendalam. Setelah klien
rileks, konselor dapat meneruskan penyajian berbagai scene dari hierarki. Biasanya
menyelesaikan lima sampai enam langkah pada hierarki sudah cukup untuk satu sesi. Isi
sesi kedua ditentukan oleh sejauhmana klien mengalami kemajuan dalam hierarki selama
sesi pertama. Di scene-scene mana klien tidak mengalami reaksi tidak menyenangakan
dikeluarkan dari hierarki. Jika klien mengalami kecemasan signifikan pada situasi
terlemah, situasi itu harus diganti dengan yang lebih lemah lagi. Jika sebuah stimulus
yang terlalu kuat disodorkan. ketakutannya mungkin tidak tertahankan oleh klien;
konselor juga salah jika menyodorkan stimulus yang lemah karena tidak ada ketakutan
yang diakibatkannya.

Langkah terakhir adalah konselor mengembangkan rencana tindak lanjut.


Rencana ini seharusnya meminta klien mempraktikan tekniknya di rumah setelah sesinya
berakhir. Konselor seharusnya menjadwalkan kunjungan tindak lanjut bersama klien
karena penguatan mungkin diperlukan untuk memastikan keberhasilan penanganan. dan
klien

Contoh penggunaan desensitisasi sistematik dalam proses konseling (pebuatan


hierarki kecemasan, implementasi SUDS dan prosedur desensitisasi sistematis:

Konselor (K) :

Baiklah, mari kita lihat. Jadi kita telah belajar tentang self-talk positif dan visual
imagery. Kita telah melakukan beberapa pernapasan dan beberapa relaksasi otot.
Sekarang kita siap untuk menangani masalah yang membuat Anda datang kesini, fobia
ujian, dengan menggunakan apa yang disebut desensitisasi sistematik. Istilah yang

11
terdengar mewah, tetapi pada dasarnya berarti bahwa membantu Anda terbiasa dengan
situasi kita akan tes secara langkah demi langkah dan mengganti kecemasan Anda dengan
relaksasi. Kita akan membuat yang disebut hierarki kecemasan dengan beberapa hal yang
ada kaitannya dengan ujian yang sama sekali tidak menghasilkan kecemasan, naik ke atas
sampai ke hal-hal terkait situasi ujian yang membuat Anda sangat cemas, seperti ketika
Anda sangat cemas, seperti ketika Anda duduk di sana. menghadapi ujian SAT Anda,
gemetaran dan merasa "dunia kiamat" dan mencapai 0 dan 10 pada skala panik. Hal-hal
yang menaktkan dan memicu kecemasan.

 Stress Inoculation Training

Asal muasal teknik Stress Inoculation Training (SIT). Stress inoculation training
(SIT) (teknik inokulasi stres), sebuah teknik yang dikembangkan oleh Donald
Meichenbaum, didasarkan pada ide bahwa membantu klien mengatasi stresor ringan akan
memungkinkan mereka untuk stresor ringan mengembangkan toleransi untuk bentuk-
bentuk distres (distres adalah istilah untuk stres yang berakibat buruk, custres adalah
istilah untuk stres yang berakibat baik, misalnya memotivasi kita untuk menyelesaikan
sesuatu). Meichenbaum percaya bahwa klien dapat meningkatkan kemampuannya untuk
mengatasi distres yang lebih berat (Corey, 2015). Meichenbaum percaya bahwa klien
dapat meningkatkan kemampuannya untuk mengatasi masalah dengan memodifikasi
keyakinannya tentang kinerjanya sendiri dalam situasi penuh tekanan. SIT mencoba
dimilikinya meningkatkan keterampilan coping klien yang sengaja dibangun dan
mendorong klien untuk mengunakan keterampilan keterampilan yang sebelumnya sudah
(Meichenbaum, 1995). SIT menggabungkan elemen-elemen pengajaran sokratik dan
didaktif, pemantauan-diri klien, cognitive restructuring, problem solving, latihan
relaksasi, behavior rehearsal, dan perubahan lingkungan. Akan tetapi, SIT bukan
penanganan formula yang dapat diterapkan secara membabi buta pada semua klien yang
mengalami distres (hendaya); alih-alih, SIT terdiri atas prisip-prinsip umum dan
prosedur-prosedur klinis yang harus disesuaikan dengan kondisi individual klien.

SIT diintroduksikan oleh Meichenbaum pada awal tahun 1970-an. Klien-klien


pertamanya adalah individu-individu yang mengalami ketakutan majemuk, yang
mengalami kesulitan mengendalikan amarahnya, dan yang mengalami masalah dalam
mengatasi kesakitan fisik (Meichenbaum, 1993). Meichenbaum menekankan modifikasi
perilaku kognitif, yang dikonsentrasikan pada mengubah self-talk klien (Corey, 2015).
SIT melibatkan sebuah komponen kognitif yang memfokuskan pada membantu klien
memodifikasi instruksi-dirinya agar dapat mengatasi masalah yang mereka temui dengan
lebih efektif. SIT membantu klien dalam mengonseptualisasikan dan me reframing stres,
yang memungkinkan mereka untuk me-rescrift hidupnya atau mengembangkan naratif
baru kemampuannya untuk mengatasi masalah. tentang

SIT didasarkan pada pandangan transaksional tentang stres, yang menyatakan


bahwa stres terjadi bilamana tuntutan yang dipersepsi dari sebuah situasi melampaui
kemampuan yang dipersepsi untuk memenuhi tuntutan itu (Meichenbium, 1993). Stres

12
oleh karenanya didefinisikan sebagai hubungan antara orang dan linkungan dimana orang
itu melihat tuntutan-tuntutan yang dihadapinya saat ini melampaui sumber daya yang
dimiliki untuk memenuhinya. SIT mencoba memperkuat keterampilan coping klien dan
meningkatkan keyakinan klien akan kemampuan coping-nya, sehingga
memungkinkannya untuk mengatasi stresor-stresor kehidupannya secara lebih efektif.

SIT itu memiliki beberapa tujuan. Pertama, Klien belajar untuk melihat stresnya
sebagai reaksi adaftif yang normal (Meichenbaum, 1993). Klien juga menemukan
perjalanan gangguannya, sifat transaksional stresnya, dan perannya sendiri dalam
mempertahankan tingkat stresnya. Disamping itu, klien belajar untuk mengelola stresnya
dengan mengubah konseptualisasinya tentang itu dan dengan memahami perbedaan
antara aspek-aspek yang dapat dan tidak dapat diubah dari situasi-situasi yang punuh-
tekanan. Terakhir, klien menguraikan stresor-stresor besar menjadi tujuan-tujuan coping
jangka-pendek, jangka-menengah, dan jangka-panjang.

13
KESIMPULAN

Cognitiverestructuring adalah sebuah teknik yang lahir dari terapi kognitif, biasanya
dikaitkan degan karya Albert Ellis, Aaron Beck dan Don Meichenbaum. Ada tujuh langkah yang
perlu ditempuh konselor apabila ia ingin menggunakan cognitiverestructuring untuk kliennya:
Pertama, kumpulkan informasi latar belakang untuk mengungkap bagaimana klien menangani
masalah di masa lalu maupun saat ini. Kedua, Bantu klien menjadi sadar akan proses pikirannya.
Diskusikan contoh-contoh kehidupan nyata yang mendukung kesimpulan klien dan diskusikan
berbagai interpetasi yang berbeda tentang bukti yang ada. Ketiga, Periksa proses berpikir
rasional klien, yang memfokuskan bagaimana pikiran klien mempengaruhi kesejahteraannya.
Konselor dapat membesar-besarkan pemikiran irasional untuk membuat poinnya lebih terlihat
bagi klien. Keempat, Memberikan bantuan kepada klien untuk mengevaluasi keyakinan klien
tentang pola pola pikiran logis klien sendiri dan orang lain. Kelima, membantu klien belajar
mengubah keyakinan dan asumsi internalnya. Keenam, Ulangi proses pikiran rasional sekali lagi.
Kali ini dengan mengajarkan tentang aspek-aspek penting kepada klien dengan menggunakan
contoh-contoh kehidupan nyata. Bantu klien membentuk tujuan-tujuan yang masuk akal yang
akan bisa dicapai oleh klien. Ketujuh, Kombinasikan thoughtstopping dengan simulasi,
pekerjaan ruamh (PR), dan relaksasi sampai pola-pola logis benar-benar terbentuk (Doyle, 1998:
92).

Self- talk adalah cara dari orang-orang untuk menangani pesan negatif yang mereka
kirimkan kepada dirinya sendiri. Self-talk bermanfaat untuk membangkitkan keberanian atau
antusiasme positif diberikan seseorang kepada dirinya sendiri. Ada dua macam self-talk yaitu
self-talk positif dan self talk negatif.

Reframing, mengubah sudut pandang konseptual atau emosional terhadap suatu situasi da
mengubah maknanya dengan meletakkannya dalam suatu kerangka kerja kontekstual lain yang
juga cocok dengan fakta-fakta yang sama dari situasi aslinya. Tujuan reframing yaitu untuk
membatu klien melihat situasiya dari sudut padang lain, yang membuatnya tampak tidak terlalu
problematik dan lebih normal, dan dengan demikian lebih terbuka terhadap solusi (Corey, 2015).

Thoughtstopping melatih klien menghentikan seawal mungkin setiap pikiran yang tidak
diinginkan, biasanya dengan menyerukan perintah “berhenti” untuk menginterupsi pikiran yang
tidak diinginkan. Klien dan konselor harus memutuskan bersama, pikiran-pikiran mana yang
akan ditarget dalam prosedur thoughtstopping ini. Kedua, klien menutup matanya dan
membayangkan sebuah situasi di mana pikiran target itu kemungkinan akan muncul. Ketiga,
pikiran target itu diinterupsi oleh perintah “berhenti!”. Keempat, mengganti pikiran yag tidak
diingnkan dengan pikira yang lebih positif. Sebuah sesi thoughtstopping lazimnya membutuhkan
waktu antara 15 s.d. 20 menit untuk pemantauan diri klien.

REBT memiliki tiga tujuan: Pertama, membantu klie mencapai insight tentang self-
talknya sendiri; kedua, membantu klien mengases pikiran, perasaan dan perilakunya; dan ketiga,
melatih klien tentang prinsip-prinsip REBT sehingga mereka dapat berfungsi secara lebih efektif
di masa mendatang tanpa bantuan konselor.

14
Bibliotherapy adalah istilah yang dilontarkan oleh Samuel Clohers pada 1916 untuk
mendeskripsikan penggunaan sebagai bagian dari proses konseling (Jackson, 2001). Buku
Bibliotherapy sering digunakan konselor apabila bertemu klien yang perlu modifikasi cara
berikimya, antara lain membantu klien agar menemukan kesenangan dalam membaxa dan
melepaskan diri dari distress mental. Ada empat tahapan dalam mengimplementasikan teknik
bibliotherapy: identifikasi, pemilihan, presentasi, dan tindak lanjut. Pada tahap pertama, konselor
mengidetifikasi kebutuhan kebutuhan klien, yang dilanjutkan dengan memilih buku-buku yang
cocok untuk situasi klien. Buku tersebut penulisannya di tingkat dapat yang dipahami klien, dan
tokoh-tokoh dalam ceritanya perlu dapat dipercaya. Konselor seharusnya merekomendasikan
buku-buku yang pernah dibaca sendiri dan sesuai dengan nilai-nilai dan tujuan klien.

Asal muasal teknik StressInoculationTraining (SIT). Stressinoculationtraining (SIT)


(teknik inokulasi stres), sebuah teknik yang dikembangkan oleh Donald Meichenbaum,
didasarkan pada ide bahwa membantu klien mengatasi stresor ringan akan memungkinkan
mereka untuk stresor ringan mengembangkan toleransi untuk bentuk-bentuk distres (distres
adalah istilah untuk stres yang berakibat buruk, custres adalah istilah untuk stres yang berakibat
baik, misalnya memotivasi kita untuk menyelesaikan sesuatu).

15
DAFTAR PUSTAKA

Mappiare, A. T. Andi. (2008). Pengantar Konseling dan Psikoterapi. Jakarta: Raja Grafindo
Persada.

Tajiri, Hajir. (2022). Teknik Bimbingan dan Konseling Pendekatan Integratif Konvensional dan
Islam. Bandung: CV Mimbar Pustaka.

16

Anda mungkin juga menyukai