Anda di halaman 1dari 93

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.

id

BAB IV

PEMBAHASAN

A. Gambaran Umum Kecamatan Cepogo, Kabupaten Boyolali

1. Aspek Geografis

a. Letak dan Geografis

Wilayah Kabupaten Boyolali sangat potensial untuk

pengembangan pertanian karena memiliki beberapa keunggulan

yang cukup tinggi. Kabupaten Boyolali memiliki luas wilayah

101.510,1955 Ha yang terdiri dari 22.710,1595 Ha tanah sawah dan

78.800,0360 Ha tanah kering. Tanah sawah dapat dimanfaatkan

sebagai area penanaman padi dan tanaman pangan lainnya,

sedangkan tanah kering bisa dimanfaatkan sebagai area atau wilayah

sumber hijauan dan area penggembalaan bagi hewan ternak.

Wilayah Boyolali terletak antara 1100 22‟ – 1100 50‟ Bujur

Timur dan 70 36‟ – 70 71‟ Lintang Selatan dengan ketinggian antara

75 - 1500 meter diatas permukaan laut (mdpl). Luas wilayah

Kabupaten Boyolali tersebut didukung oleh 19 kecamatan yang

dimilikinya, yaitu Kecamatan Selo, Ampel, Cepogo, Musuk,

Boyolali, Mojosongo, Teras, Sawit, Banyudono, Sambi, Ngemplak,

Nogosari, Simo, Karanggede, Klego, Andong, Kemusu,

Wonosegoro, dan Juwangi. Kabupaten Boyolali merupakan wilayah

commit
pegunungan yang terdiri daritodua
usergunung, yaitu Gunung Merapi dan

70
perpustakaan.uns.ac.id 71
digilib.uns.ac.id

Gunung Merbabu yang berada tidak jauh dari Kecamatan Selo,

Cepogo, Musuk dan Ampel. Selama tahun 2014, curah hujan rata-

rata wilayah Kabupaten Boyolali sekitar 2.383 Mm per tahun dengan

jumlah 124 hari hujan (Boyolali Dalam Angka 2015).

Salah satu kecamatan di Kabupaten Boyolali yang cukup

unggul dalam pengembangan pertanian seperti dibidang peternakan

terutama ternak sapi perah yaitu di Kecamatan Cepogo. Kecamatan

Cepogo yang terletak antara 1100 00‟ – 1100 31‟ Bujur Timur dan 70

05‟ – 70 30‟ Lintang Selatan, pada ketinggian antara 1.000 – 1.300

meter diatas permukaan laut (mdpl). Kecamatan Cepogo terdiri dari

15 desa yaitu Desa Wonodoyo, Jombong, Gedangan, Sumbung,

Paras, Jelok, Bakulan, Mliwis, Sukabumi, Genting, Cepogo,

Kembangkuning, Cabeankunti, Candigatak, dan Gubug. Wilayah

Kecamatan Cepogo sebelah utara dibatasi oleh Kecamatan Ampel,

sebelah timur dibatasi oleh Kecamatan Boyolali, kemudian sebelah

selatan dibatasi oleh Kecamatan Musuk, selanjutnya sebelah barat

dibatasi oleh Kecamatan Selo.

Kecamatan Cepogo dapat dicapai dari Kecamatan

Boyolali dengan berjalan menuju ke arah barat, atau bisa juga dari

Kecamatan Ampel menuju kearah barat daya. Jalan ke Cepogo

cukup menanjak, jika terus lagi ke barat, akan sampai di Kecamatan

Selo yang terletak di kaki Gunung Merapi sebelah timur. Banyak

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 72
digilib.uns.ac.id

sapi perah dipelihara di Cepogo, karena klim sedang yang cenderung

dingin memungkinkan pemeliharaan sapi perah di lokasi tersebut.

b. Kondisi Alam

Kecamatan Cepogo merupakan perbukitan beriklim sedang

dengan curah hujan 2.984 Mm pada tahun 2013 dengan jumlah rata-

rata hujan 176 Hh. Topografi bergelombang dengan relief halus

hingga kasar yang terbagi menjadi 2 satuan geomorfologi, yaitu

perbukitan berelief halus-datar (menempati wilayah bagian timur dan

memanjang ke arah tenggara) dan perbukitan berelief sedang

(menempati bagian tengah hingga barat daya dan barat laut).

Jumlah curah hujan di Kecamatan Cepogo selama tahun 2014

sebesar 2.179 mm. Sedangkan jumlah hari hujan adalah 152 hari

hujan. Curah hujan tertinggi terjadi pada bulan Maret 2014 sebesar

415 mm, terbesar kedua dan ketiga masing-masing pada bulan

Desember sebesar 318 mm dan bulan Februari sebesar 307 mm.

Sedangkan untuk bulan september sama sekali tidak terjadi hujan.

Untuk hari hujan tertinggi terjadi pada bulan desember dengan 23

hari hujan, tertinggi kedua dan ketiga masing-masing pada bulan

Januari dengan jumlah 22 hari hujan dan selanjutnya pada bulan

Maret 2014 (sumber: Statistik Daerah Kecamatan Cepogo 2015).

Luas Kecamatan Cepogo adalah 5.299,8 Ha. Luas lahan yang

ada terbagi kedalam berbagai peruntukan yang dapat dikelompokkan


commit to user
seperti untuk tanah sawah, tanah ladang, tanah pekarangan, hutan
perpustakaan.uns.ac.id 73
digilib.uns.ac.id

negara, padang rumput dan lain-lain. Luas lahan yang diperuntukkan

sebagai tanah tegal/ladang 3.118,6 Ha, tanah pekarangan 1.437,9 Ha,

hutan negara 265 Ha, padang rumput 55,5 Ha, lain-lain 357,0 Ha,

sedangkan lahan yang kegunaan sebagai tanah sawah adalah 55,8

Ha (sumber: Kecamatan Cepogo Dalam Angka 2016).

Kondisi basis ekologi yang terdiri dari tegal/ladang,

pekarangan, hutan dan padang rumput mempunyai implikasi

terhadap kehidupan sosial ekonomi masyarakatnya, sehingga

kehidupan sosial ekonomi masyarakat lebih banyak mengandalkan

pada potensi lingkungan alamiahnya. Pola kehidupan sosial

masyarakat bercorak kehidupan pedesaan dengan nilai-nilai sosial

yang bercorak tradisional agamis dan kehidupan ekonomi yang

bercorak ekonomi produksi pertanian. Oleh karena itu, salah satu

ekonomi yang cukup berkembang di sana adalah hasil produksi

pertanian, seperti usaha pertanian tanaman pangan dan peternakan

sapi perah.

c. Penggunaan Lahan

Luas wilayah Kecamatan Cepogo adalah sebesar 5.299,8 Ha

yang terbagi kedalam 15 desa. Desa yang memiliki wilayah terluas

di Kecamatan Cepogo yaitu pada Desa Jelok kemudian menuju ke

luasan lebih kecil yaitu pada Desa Wonodoyo, Desa Mliwis dan

Desa Cabeankunti. Luasnya wilayah Kecamatan Cepogo ini terbagi

commit
kedalam dua penggunaan to user
lahan, yaitu sebagai tanah sawah dan tanah
perpustakaan.uns.ac.id 74
digilib.uns.ac.id

kering. Jumlah area persawahan yaitu seluas 55,8 Ha dan tanah

kering atau tegalan seluas 5.244 Ha, dengan angka perbandingan

sebesar 1 : 94. Artinya sebagian besar penggunaan lahan di

Kecamatan Cepogo yaitu sebagai tanah kering atau

pekarangan/tegalan.

Tabel 4.1
Luas Wilayah dan Penggunaan Tanah (Ha) di Kecamatan Cepogo
Tahun 2015.
Penggunaan Lahan
Luas
No. Desa Tanah Tanah
Wilayah
Sawah Kering
1 Wonodoyo 588 - 588
2 Jombong 302,4 - 302,4
3 Gedangan 396 - 396
4 Sumbung 353,8 11,4 342,4
5 Paras 53,8 18,5 35,3
6 Jelok 611 1,8 609,2
7 Bakulan 212,1 - 212,1
8 Mliwis 547,9 24,1 523,8
9 Sukabumi 257,3 - 257,3
10 Genting 232,1 - 232,1
11 Cepogo 385,3 - 385,3
12 Kembangkuning 356,7 - 356,7
13 Cabeankunti 410,8 - 410,8
14 Candigatak 291 - 291
15 Gubug 301,6 - 301,6
Jumlah 5.299,8 55,8 5.244,0
Sumber : Kecamatan Cepogo Dalam Angka 2016.

2. Aspek Pemerintahan

Pemerintahan di Cepogo terdiri dari satu kecamatan dan beberapa

desa, dukuh, dusun, rukun tetangga, dan rukun warga. Jumlahnya yaitu

sebanyak 15 desa, 217 dukuh, 45 dusun, 406 rukun tetangga (RT), dan 92

commitsekian
rukun warga (RW). Diantara to userdesa, desa yang memiliki dukuh
perpustakaan.uns.ac.id 75
digilib.uns.ac.id

terbanyak adalah pada Desa Jelok dan Desa Mliwis. Hal ini dipengaruhi

oleh faktor luasan lahan, kedua desa tersebut merupakan desa yang

termasuk paling luas.

Tabel 4.2
Banyaknya Dukuh, Dusun, RT dan RW di Kecamatan Cepogo Tahun
2015.
Rukun Rukun
No. Desa Dukuh Dusun Tetangga Warga
(RT) (RW)
1 Wonodoyo 11 3 23 3
2 Jombong 14 2 20 4
3 Gedangan 22 4 22 4
4 Sumbung 17 3 17 3
5 Paras 6 2 6 2
6 Jelok 27 5 53 7
7 Bakulan 7 3 12 3
8 Mliwis 25 4 33 4
9 Sukabumi 11 3 31 9
10 Genting 11 2 17 3
11 Cepogo 16 4 49 16
12 Kembangkuning 16 3 41 10
13 Cabeankunti 14 3 28 4
14 Candigatak 7 2 27 7
15 Gubug 13 2 27 13
Jumlah 217 45 406 92
2014 217 45 406 92
2013 217 45 406 92
Sumber : Kecamatan Cepogo Dalam Angka 2016.

Melihat jumlah dari pemerintahan di Kecamatan Cepogo,

menunjukan bahwa dari tahun 2013 hingga tahun 2015 tidak terjadi

penambahan ataupun pengurangan. Artinya selama tiga tahun tersebut

tidak ada proses pemekaran pemerintahan baik pada tingkat

pemerintahan yang paling bawah maupun pada tingkatan atas di

Kecamatan Cepogo. Seperti keberadaan Rukun Tetangga (RT) sebagai


commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 76
digilib.uns.ac.id

bagian dari satuan wilayah pemerintahan desa pada tingkatan paling

bawah sekalipun tetap memiliki fungsi yang sangat berarti terhadap

pelayanan kepentingan masyarakat wilayah tersebut, terutama terkait

hubungannya dengan masyarakat secara langsung dan hubungan

pemerintahan pada level diatasnya.

3. Aspek Kependudukan

Jumlah penduduk Kecamatan Cepogo pada tahun 2015 adalah

54.408 orang, yang terdiri dari laki-laki dan perempuan. Jumlah laki-laki

26.797 orang dan perempuan 27.611 orang, diantara keduanya bisa

dikatan tidak ada perbedaan yang besar, hanya selisih 814 orang lebih

banyak pada penduduk perempuan, sedangkan jumlah rumah tangganya

yaitu 17.576 kepala keluarga. (sumber: Kecamatan Cepogo Dalam

Angka 2016).

Proporsi jumlah penduduk paling banyak diantara ke-15 (lima

belas) desa yaitu pada Desa Cepogo sebanyak 6.861 orang, atau sebesar

13% terhadap total jumlah penduduk Kecamatan Cepogo, dengan

kepadatan penduduk sebesar 1.781 jiwa/Km2. Sedangkan jumlah

penduduk terendah yaitu 988 orang di Desa Paras dengan kepadatan

penduduk sebesar 1.836 jiwa/Km2. Hal ini dipengaruhi oleh luasan

wilayah yang dimiliki kedua desa tersebut, seperti pada Desa Cepogo

yang memiliki luas 3,853 Km2, sedangkan Desa Paras yang hanya

memiliki luas 0,538 Km2. Secara keseluruhan, Kecamatan Cepogo

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 77
digilib.uns.ac.id

dengan luas wilayah 52,998 Km2 mempunyai kepadatan penduduk 1.027

jiwa/Km2. Selengkapnya dapat dilihat pada tabel 4.3 berikut ini.

Tabel 4.3
Jumlah dan Kepadatan Penduduk di Kecamatan Cepogo Tahun 2015.
Jumlah Penduduk Kepadatan
Luas
No. Desa Penduduk
(Km2) Laki-
Perempuan (Jiwa/Km2)
laki
1 Wonodoyo 5,88 1.160 1.206 402
2 Jombong 3,024 1.168 1.151 767
3 Gedangan 3,96 2.004 1.990 1.009
4 Sumbung 3,538 1.826 1.977 1.075
5 Paras 0,538 487 501 1.836
6 Jelok 6,11 2.732 2.895 921
7 Bakulan 2,121 943 976 905
8 Mliwis 5,479 2.949 3.000 1.086
9 Sukabumi 2,573 1.601 1.650 1.264
10 Genting 2,321 1.073 1.093 933
11 Cepogo 3,853 3.317 3.544 1.781
12 Kembangkuning 3,567 2.137 2.172 1.208
13 Cabeankunti 4,108 1.958 2.046 975
14 Candigatak 2,91 1.579 1.604 1.094
15 Gubug 3,016 1.863 1.806 1.217
Jumlah 52,998 26.797 27.611 1.027
2014 52,998 26.713 27.509 1.023
2013 52,998 26.640 27.393 1.020
Sumber: Kecamatan Cepogo Dalam Angka 2016.

4. Aspek Pendidikan

Tingkat pendidikan yang ditamatkan masyarakat di Kecamatan

Cepogo mayoritas hanya mampu menyelesaikan sekolah pada jenjang

pendidikan wajib belajar dua belas tahun, namun lebih dominan hanya

menamatkan pendidikan sampai pada sekolah dasar (SD) yaitu sebanyak

21.765 orang dengan proporsi sebesar 43% terhadap total jumlah


commit to user
penduduk. Pendidikan sekolah lanjutan tingkat pertama dan tingkat atas
perpustakaan.uns.ac.id 78
digilib.uns.ac.id

kurang lebih sama antara 13% hingga 16%, keduanya hanya selisih 1.092

orang yaitu 8.030 orang yang telah menamatkan pendidikan SLTP dan

6.938 orang yang menamatkan pendidikan SLTA, sebagaimana terlihat

di tahun 2015 pada tabel 4.4 berikut.

Tabel 4.4
Tingkat Pendidikan Tertinggi yang Ditamatkan Masyarakat Kecamatan
Cepogo, Tahun 2013 - 2015.
Tahun
No. Keterangan
2013 2014 2015
1 Tidak / belum tamat SD 12.326 12.490 12.487
2 SD 21.621 21.803 21.765
3 SLTP 7.646 8.021 8.030
4 SLTA 6.607 6.856 6.938
5 DI / D II 155 188 200
6 Akademi 412 474 487
7 PT / D IV 971 1.020 1.048
Jumlah 49.725 50.852 50.954
Sumber: Kecamatan Cepogo Dalam Angka 2016, data diolah 2016.

Sedangkan jumlah sekolah yang berada di Kecamatan Cepogo

dapat dilihat pada tabel 4.5 menunjukan bahwa ketersediaan sekolah baik

sekolah negeri maupun sekolah swasta, dari tingkat paling bawah (TK)

hingga tingkat paling atas (SLTA) cukup banyak. Ketersediaan lembaga

pendidikan yang cukup besar sangat berarti bagi masyarakat Cepogo

untuk lebih mudah dalam menuntut ilmu sehingga meningkatkan rasa

semangat yang lebih tinggi karena berada dalam satu wilayah. Hal ini

tentunya dapat menciptakan generasi-generasi terdidik secara

menyeluruh, tanpa adanya alasan seperti misalnya tidak ada sekolah

maupun jarak tempuh yang terlalu jauh.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 79
digilib.uns.ac.id

Tabel 4.5
Banyaknya Sekolah di Kecamatan Cepogo, Tahun 2013 - 2015.
Tahun
No. Keterangan
2013 2014 2015
1 TK Swasta 33 48 33
2 TK BA / RA 32 10 10
3 SD 35 34 34
4 SD Swasta 1 1 1
5 Madrasah Ibtidaiyah Swasta 12 12 12
6 SLTP Negeri 3 3 3
Madrasah Tsanawiyah (MTs)
7 1 1 1
Negeri
Madrasah Tsanawiyah (MTs)
8 1 1 1
Swasta
9 SLTA Negeri 1 1 1
10 SLTA Swasta 1 1 1
11 Madrasah Aliyah Swasta 3 2 2
Jumlah 123 114 99
Sumber: Kecamatan Cepogo Dalam Angka 2016.

5. Aspek Peternakan

Selama tahun 2015, beberapa potensi populasi ternak di

Kecamatan Cepogo adalah termasuk ternak sapi perah yang berjumlah

18.994 ekor, sedangkan tahun 2014 berjumlah 18.404 ekor, artinya

mengalami kenaikan dari tahun sebelumnya sebanyak 590 ekor. Populasi

ternak yang lain seperti sapi potong berjumlah 2.993 ekor yang juga

meningkat sebanyak 202 ekor dari tahun sebelumnya (2014) yang

berjumlah 2.791 ekor, populasi kuda pada tahun 2015 berjumlah 15 ekor

sedangkan tahun 2014 berjumlah 12 ekor, maka populasi kuda di

Kecamatan Cepogo mengalami kenaikan 3 ekor. Terdapat pula populasi

ternak kambing dan domba, keduanya juga megalami perubahan yaitu

adanya peningkatan. Populasi kambing di tahun 2015 berjumlah 12.611


commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 80
digilib.uns.ac.id

ekor meningkat 159 ekor dari tahun sebelumnya (2014) dan untuk

populasi domba sebanyak 2.699 ekor meningkat 72 ekor dari tahun

sebelumnya (2014). Kemudian, populasi Kelinci di Kecamatan Cepogo

pada tahun 2015 berjumlah 607 ekor yang justru menurun 248 ekor

dibandingkan dengan tahun 2014 yang berjumlah 855 ekor, selanjutnya

populasi babi berjumlah 79 ekor (Kecamatan Cepogo Dalam Angka

2016).

Selain populasi hewan ternak berkaki empat, di Kecamatan

Cepogo juga terdapat usaha peternakan hewan berkaki dua yaitu ternak

unggas, seperti; ayam petelur, ayam pedaging, ayam buras, itik, dan

burung puyuh. Pada tahun 2015, populasi ayam petelur berjumlah

813.200 ekor, ayam pedaging sebanyak 160.775 ekor, ayam buras

sebanyak 34.376 ekor, itik sebanyak 3.533 ekor dan ternak burung puyuh

sebanyak 22.250 ekor (Kecamatan Cepogo Dalam Angka 2016).

Jumlah populasi sapi perah di Kecamatan Cepogo banyak

terdapat di Desa Jelok, Desa Mliwis, Desa Sumbung, dan Desa

Sukabumi, meskipun di desa lain juga terdapat masyarakat yang

berternak sapi perah dengan populasi hewan ternak yang relatif tinggi

dengan jumlah total tiap desa sekitar 1.100-an ekor. Dilihat dari jumlah

populasi hewan ternak dari beberapa desa pada tabel 4.6, menunjukan

bahwa Desa Jelok, Desa Mliwis, dan Desa Sumbung merupakan lokasi

paling berkembang dalam usaha peternakan sapi perah di Kecamatan

Cepogo. Lebih lengkapnya dapat dilihap pada tabel 4.6 sebagai berikut.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 81
digilib.uns.ac.id

Tabel 4.6
Banyaknya Pemilik dan Ternak Sapi Perah di Kecamatan Cepogo, Tahun
2015 (versi tingkat kecamatan).
Sapi Perah
Kontribusi
No. Desa Pemilik Ternak Ternak
(orang) (ekor)
1 Wonodoyo 217 1.157 6,09%
2 Jombong 184 1.146 6,03%
3 Gedangan 295 1.398 7,36%
4 Sumbung 375 1.712 9,01%
5 Paras 136 408 2,15%
6 Jelok 483 2.084 10,97%
7 Bakulan 226 1.071 5,64%
8 Mliwis 402 1.760 9,27%
9 Sukabumi 393 1.431 7,53%
10 Genting 245 1.041 5,48%
11 Cepogo 411 1.332 7,01%
12 Kembangkuning 281 1.093 5,75%
13 Cabeankunti 245 1.051 5,53%
14 Candigatak 264 1.181 6,22%
15 Gubug 344 1.129 5,94%
Jumlah 4.501 18.994 100,00%
Sumber: Kecamatan Cepogo Dalam Angka 2016, data diolah 2016.

Populasi ternak sapi perah telah tersebar luas di seluruh desa-desa

se-Kecamatan Cepogo, artinya tidak ditemukan satu desa pun yang tidak

memelihara sapi perah. Namun, jika melihat perbandingan pada tahun

2015 tersebut antara jumlah penduduk sebanyak 54.408 orang yang

tergolong dalam satuan rumah tangga di Kecamatan Cepogo yang

berjumlah 17.576 kepala keluarga dengan jumlah pemilik ternak yang

hanya berjumlah 4.501 orang (kepala keluarga), artinya hanya 26%

kepala keluarga yang telah melakukan usaha peternakan sapi perah.

Sisanya yang berjumlah 13.075 kepala keluarga atau sebanyak 74% yang

sedang mencari pekerjaan ataupun sedang bekerja pada berbagai sektor

selain usaha peternakan budidaya


commit toternak
user sapi perah.
perpustakaan.uns.ac.id 82
digilib.uns.ac.id

Jika dipandang lebih jauh, peneliti telah menemukan data yang

menunjukan jumlah populasi ternak sapi perah dari tahun 2000 hingga

tahun 2015 beserta jumlah produksi susu yang dihasilkannya.

Selengkapnya sebagai berikut tersaji dalam tabel 4.7.

Tabel 4.7
Banyaknya Pemilik, Ternak Sapi Perah, dan Jumlah Produksi Susu Segar
di Kecamatan Cepogo, Tahun 2000 - 2015 (versi tingkat kabupaten).
Ternak Sapi Perah Produksi Susu
Tahun Pemilik (orang)
(ekor) Segar (liter)

2000 8.537 10.354 6.293.200


2001 8.537 12.633 5.401.642
2002 8.537 12.633 4.610.729
2003 8.537 10.738 4.496.530
2004 8.535 10.491 4.070.872
2005 8.535 10.613 3.675.192
2006 8.535 10.784 4.079.463
2007 8.535 10.784 4.363.200
2008 8.127 11.234 5.400.000
2009 8.127 11.303 5.900.000
2010 8.129 11.383 4.562.500
2011 7.923 17.765 9.360.757
2012 7.923 17.915 9.465.208
2013 7.923 17.915 9.565.219
2014 4.501 15.208 12.562.899
2015 4.501 18.173 4.229.640
Sumber: BPS Kabupaten Boyolali, Kabupaten Boyolali Dalam Angka
2000 - 2015.

Jumlah pemilik ternak (peternak) dari tahun 2000 hingga tahun

2015 cenderung mengalami penurunan yang cukup besar walaupun

berjalan cukup lamban. Selama kurun waktu 15 tahun telah terjadi

penurunan jumlah pemilik ternak atau orang yang melakukan budidaya

ternak sapi perah yaitu sebanyak 4.036 atau sebesar 53%. Kemudian dari

sisi jumlah ternaknya justru mengalami pertumbuhan/kenaikan sebesar


commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 83
digilib.uns.ac.id

75%. Sedangkan dari jumlah susu segar yang dihasilkan terjadi kenaikan

dan penurunan yang fluktuatif pada kisaran antara 3 juta liter sampai 12

juta liter per tahun dengan rata-rata sebesar 6 juta liter per tahun.

Angka tertinggi produksi susu dimulai pada tahun 2011 hingga

tahun 2013 secara berturut-turut dengan perolehan pada kisaran angka 9

juta-an liter per tahun dan memuncak sampai produksi sebanyak

12.562.899 liter per tahun yang terjadi pada tahun 2014. Namun, pada

tahun kemudian yaitu pada tahun 2015 hasil produksi susu menurun

sangat drastis sebesar 66% dengan perolehan hanya berjumlah 4.229.640

liter per tahun, perolehan ini sama dengan perolehan yang terjadi pada

tahun-tahun sebelum 2011. Lebih detailnya apa yang terjadi pada tahun

2015 dapat dilihat pada tabel 4.8 dan tabel 4.9 berikut ini.

Tabel 4.8
Banyaknya Ternak Sapi Perah Menurut Jenis Kelamin dan Golongan di
Kecamatan Cepogo dan Kecamatan Lain, Tahun 2015.
Jantan Betina
No. Kecamatan Total
Anak Muda Dewasa Anak Muda Dewasa
1 Cepogo 3.071 4.153 4.630 1.223 1.936 3.160 18.173
2 Musuk 1.414 1.977 2.254 3.468 5.909 9.900 24.922
3 Mojosongo 553 698 1.491 730 2.495 8.835 14.802
4 Ampel 1.828 1.828 534 1.120 2.839 5.825 13.974
5 Selo 216 592 2.848 433 1.185 2.817 8.091
6 Boyolali 177 271 842 615 894 3.374 6.173
7 Teras 13 3 14 51 29 107 217
8 Simo 2 0 0 0 0 9 11
Kabupaten 7.274 9.522 12.613 7.640 15.287 34.027 86.363
Sumber: Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Boyolali.

Pada tahun 2015, populasi ternak sapi perah di Kecamatan

Cepogo secara total yaitu berjumlah 18.173 ekor, masih berada dibawah

populasi yang berada di commit to user


Kecamatan Musuk yang berjumlah 24.922 ekor.
perpustakaan.uns.ac.id 84
digilib.uns.ac.id

Namun populasi ternak sapi perah di Kecamatan Cepogo tersebut lebih

besar dibandingkan dengan populasi yang berada di Kecamatan

Mojosongo, Ampel, Selo, Boyolali, Teras dan Simo.

Secara umum di Kabupaten Boyolali, populasi ternak sapi perah

hanya berada di delapan (8) lokasi tersebut karena tidak ditemukan

seekor pun ternak sapi perah di kecamatan-kecamatan lain. Jika dilihat

dari proporsi antara jumlah ternak jantan dan ternak betina justru

menunjukan bahwa satu-satunya lokasi yang populasi ternak betinanya

lebih sedikit dibandingkan dengan ternak jantan yaitu berada di

Kecamatan Cepogo. Banyaknya ternak betina hanya berjumlah 6.319

ekor, berbeda jauh dengan ternak jantan yang berjumlah 11.854 ekor.

Populasi ternak betina yang berada di Kecamatan Cepogo tersebut

tidak semuanya mampu menghasilkan susu, karena masuk dalam

kategori sapi betina anakan, sapi betina muda, dan sapi betina dewasa.

Sapi perah yang mampu menghasilkan susu tentunya adalah sapi perah

dewasa yang sudah pernah melahirkan dan tidak kering (istilah ambing

kering atau tidak meghasilkan susu) masuk dalam kategori sapi produksi.

Populasi dan tingkat kontribusi sapi perah betina produksi antara

Kecamatan Cepogo dengan tujuh (7) kecamatan lain yang telah

melakukan usaha peternakan sapi perah dapat dilihat pada tabel 4.9.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 85
digilib.uns.ac.id

Tabel 4.9
Banyaknya Ternak Sapi Perah Betina, Sapi Perah Produksi, dan
Kontribusinya Terhadap Total Ternak Tiap Kecamatan di Kabupaten
Boyolali, Tahun 2015.

Kontribusi
Selisih Betina Betina Betina
Produksi
No. Kecamatan (betina - Dewasa Produksi Produksi
Susu (liter)
jantan) (ekor) (ekor) Terhadap
Total Ternak

1 Selo 779 2.817 1.556 3.770.536 19,20%


2 Ampel 5.594 5.825 3.217 7.796.725 23,00%
3 Cepogo -5.535 3.160 1.745 4.229.640 9,60%
4 Musuk 13.632 9.900 5.468 13.251.086 21,90%
5 Boyolali 3.593 3.374 1.863 4.516.077 30,20%
6 Mojosongo 9.318 8.835 4.880 11.825.590 33,00%
7 Teras 157 107 59 143.219 27,20%
8 Simo 7 9 5 12.046 45,50%
Kabupaten 27.545 34.027 18.793 45.544.919 21,80%
Sumber: Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Boyolali, data
diolah 2016.

Sapi perah betina dewasa yang dianggap sebagai sapi produksi

yang berada di Kecamatan Cepogo hanya berjumlah 1.745 ekor, artinya

sapi perah yang mampu menghasilkan susu hanya memberikan

kontribusi sebesar 9,6% dari seluruh populasi ternak sapi perah di

Kecamatan Cepogo pada tahun 2015 yang berjumlah 18.173 ekor. Selain

itu, dari jumlah produksi susu yang dihasilkan sebanyak 4.229.640 liter

pada tahun 2015 ternyata memiliki nilai rata-rata produksi susu per

harinya hanya sebesar 11.749 liter, berbeda jauh dengan hasil produksi

susu pada kecamatan-kecamatan lain (seperti; Musuk, Mojosongo,

Ampel, dan Boyolali) yang melebihi angka tersebut (Dinas Peternakan

dan Perikanan Kabupaten Boyolali).

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 86
digilib.uns.ac.id

B. Hasil Temuan Penelitian dan Pembahasan

1. Sejarah Perkembangan Sentra Peternakan Sapi Perah di

Kecamatan Cepogo, Kabupaten Boyolali

a. Awal Mula Usaha Peternakan Sapi Perah

Peternakan sapi perah di Boyolali secara umum sudah ada

sejak abad ke-17 (tahun 1600 s/d 1700 Masehi). Awalnya sapi-sapi

didatangkan dari Belanda yang dilakukan oleh pemerintah Belanda

pada saat penjajahannya di Indonesia. Dahulu para penjajah di

negara Indonesia yang menempati wilayah Boyolali dan sekitarnya

yang berasal dari Belanda memiliki kebiasaan gemar minum susu.

Karena kegemarannya tersebut, untuk memenuhi permintaan susu,

maka dibawalah sapi perah jenis Friesian Holstein dari Belanda.

Akhirnya, berawal dari itulah sapi perah mulai dikenal di Boyolali,

tak terkecuali di Kecamatan Cepogo.

Hal itu dibenarkan oleh informan penelitian, bapak Sugiarto,

yang menyatakan bahwa;

“Sapi perah itu ada sejak zaman penjajahan dulu


(dahulu), kalau gak (tidak) salah mungkin pas (waktu)
zaman pemerintahan Belanda, orang belanda itu suka
minum susu. Karena untuk memenuhi para orang-
orang penjajah itu, akhirnya mereka mendatangkan
sapi perah dari sana agar bisa dikelola disini. …itu
termasuk di Cepogo dan di Boyolali secara umum”.

Dari pernyataan bapak Sugiarto yang menjabat sebagai Kasi

Produksi Ternak Ruminasi pada kantor Disnakkan Kabupaten

commit
Boyolali, membenarkan to user
bahwa peternakan sapi perah di Kecamatan
perpustakaan.uns.ac.id 87
digilib.uns.ac.id

Cepogo telah ada sejak pada masa penjajahan yang terjadi di

Indonesia. Didukung pula oleh semua informan penelitian, termasuk

bapak Marsono yang menyatakan bahwa; “…Kalau awal mulanya

itu sejak zaman Belanda”.

b. Perkembangan Usaha Peternakan Sapi Perah

Terkonsentrasinya usaha peternakan sapi perah di Kecamatan

Cepogo terjadi sebagai upaya uji coba pengembangan peternakan

yang dilakukan oleh pemerintah pusat. Pemerintah mengambil

kebijakan pengembangan peternakan sapi perah di Indonesia,

terlebih di Boyolali dan khususnya di Kecamatan Cepogo melalui

Kementrian Koperasi yang waktu itu (program pertama) dipimpin

oleh bapak Bustanil Arifin. Rincian programnya dapat dilihat pada

tabel 4.10.

Tabel 4.10
Program Bantuan/pinjaman Pemerintah di Kecamatan Cepogo.
Tahun Program

Program bantuan/pinjaman sapi perah dara (sapi


1979 – 1982 muda) dan permodalan keuangan biaya
perkandangannya

Program bantuan/pinjaman sapi perah yang sudah


1989 – 1992 bunting sesuai dengan tingkat keberhasilan
program pada tahun 1979 – 1982

Pemberian kredit pembiayaan, seperti KKPA


1994 – Sekarang (Kredit Koperasi Primer untuk Anggota) dan
pembiayaan lain-lain.

Sumber: Data diolah 2016.


commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 88
digilib.uns.ac.id

Program pada tahun 1979 hingga tahun 1982 yaitu dengan

cara memberikan pinjaman sapi perah dara (sapi muda) dan

permodalan perkandangannya untuk dibagikan kepada warga

anggota koperasi KUD Cepogo. Kemudian dilanjutkan dengan

program yang kurang lebih sama yaitu pada tahun 1989 hingga tahun

1992 dengan cara memberikan bantuan/pinjaman sapi perah dalam

kondisi yang sudah mengandung (bunting). Kemudian berakhir

dengan program bantuan pembiayaan yang dimulai pada tahun 1994

hingga sampai sekarang.

Program pembangunan pada tahun 1979 – 1982 sebagaimana

yang telah terjadi diungkapkan oleh informan penelitian, bapak

Sumyani yang menyatakan bahwa;

“Sejarah sapi perah di Cepogo umumnya di Boyolali


dimulai tahun 79-82, Menteri Muda Koperasi pada
waktu itu pak Bustanil Arifin. Pada sebelum waktu itu
mungkin seluruh Indonesia belum ada sapi perah
atau hanya di lokasi-lokasi tertentu. Pemerintah
memberikan bantuan kredit sapi perah anakan, jadi
habis sapeh. Yang diberikan kredit berupa sapi dan
fasilitas perkandangan, jadi uang untuk membuat
kandang”.

Ditambahkan informasi yang disampaikan oleh bapak Gito

Triyono;

“…Ada perhatian dari pemerintah, disana ada


bantuan sapi, mestinya kan potensi yang ada di
masyarakat kan didukung oleh para pemangku
kepentingan. Kemudian ada kebijakan-kebijakan
koperasi, waktu itu Pak Bustanil Arifin sangat konsen
dengan perkembangan koperasi”.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 89
digilib.uns.ac.id

Sebelum tahun 1979, di Cepogo sudah ada populasi ternak

sapi perah dengan jumlah yang relatif sedikit, karena lebih

didominasi dengan hewan ternak lainnya, seperti peternakan sapi

lokal sebagai sapi pedaging/sapi potong. Melalui kementrian

koperasi tersebut, pemerintah memberikan bantuan kredit berupa

sapi perah anakan dan permodalan keuangan sebagai biaya

perkandangannya kepada beberapa kecamatan di Kabupaten

Boyolali. Dalam pelaksanaannya, sapi-sapi yang didatangkan ke

lokasi disalurkan melalui beberapa koperasi unit desa (KUD) yang

ada di tiap kecamatan se-Boyolali.

Argumentasi dari bapak Sumyani juga dibenarkan oleh bapak

Gito Triyono, bahwa usaha ternak sapi perah seperti yang digeluti

orang tua beliau yang berprofesi sebagi peternak, namun waktu itu

bukan ternak sapi perah melainkan sapi potong. “Waktu itu bapak

saya bukan petani sapi perah, tapi sapi potong”, ucap bapak Gito

Triyono.

Pada tahun 1979, Kabupaten Boyolali mendapatkan bantuan

tersebut karena dianggap berpotensi dalam pengembangan

peternakan sapi perah. Serta kabetulan di Boyolali terdapat Koperasi

Unit Desa (KUD) yang dibina oleh Kementrian Koperasi, yaitu pada

Kecamatan Cepogo, Kecamatan Selo, Kecamatan Musuk,

Kecamatan Ampel, Kecamatan Mojosongo, Kecamatan Boyolali,

Kecamatan Teras, dan Kecamatan Banyudono. Terlihat dari


commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 90
digilib.uns.ac.id

pernyataan informan penelitian, bapak Sumyani yang menyatakan

bahwa;

“...Yang di Boyolali, yang diberikan sifatnya untuk


tahun 79 - 82 ini sifatnya baru uji coba. Uji coba
untuk peternakan sapi perah di Boyolali khususnya,
mungkin di Indonesia. Di Boyolali yang diberikan
bantuan untuk uji coba ini ada kecamatan,
kecamatannya Cepogo, kemudian Kecamatan Selo,
Kecamatan Musuk, trus Kecamatan Ampel, kemudian
Kecamatan Mojosongo, kemudian Boyolali Kota,
Kemudian Kecamatan Teras, dan Kecamatan
Banyudono”.

Sapi perah yang dikembangkan di Kecamatan Cepogo

merupakan sapi perah yang berasal dari Australia dan New Zealand.

Menurut pernyataan informan penelitian, bapak Hadi Martono:

“Kala (waktu) itu berkembang ada KUD Cepogo,


turun sapi dari Australia langsung”, jumlahnya
beliau sudah lupa. “…Turunnya sapi perah yang
kedua itu kalau endak keleru (kalau tidak salah) 60
ekor, turun ketiga itu dari New Zealand kalau endak
keleru (kalau tidak salah) sampai antara 200 sampai
400 ekor waktu itu”.

Pemeliharaan sapi perah yang diterima peternak tentu pernah

mengalami berbagai kasus, diantaranya seperti misalnya sapi perah

mati. Ketika sapi perah mati, maka kelompok menanggung bersama

yang disebut sebagai „tanggung renteng‟. “Tanggung renteng itu

misalnya dalam suatu kelompok ada seorang anggota yang sapinya

mati, maka seluruh anggota kelompok itu harus ikut menanggung”,

ungkap bapak Hadi Martono.

Menurut informan penelitian yang lain, yaitu Ibu Suratmi,

jika awal mula berkembangnya sapi perah di Cepogo itu muncul


commit to user
sekitar tahun 1980-an, dahulu dapat bantuan bibit sapi untuk
perpustakaan.uns.ac.id 91
digilib.uns.ac.id

kemudian diangsur dengan menggunakan penjualan susu. Berikut

pernyataannya;

“Niko enggeh sekitare tahun delapan puluh-an. Disek


kan entok bantuan nganu, dikei bibit trus dikon
ngangsur, diberi pinjaman bibit sapi. …Ngertiku kui
nerimo siji trus diangsur nganggo susu kui.
…Enggeh daftar anggota, arepo wes due ternak tetep
daftar” (itu ya sekitar tahun 1980-an. Dahulu dapat
bantuan, diberi bibit kemudian disuruh mengangsur
pembayarannya memakai susu itu. …Iya daftar
anggota, walaupun sudah punya ternak ya tetap harus
daftar), ucap ibu Suratmi.

Pemberian kredit/pinjaman kepada para warga yang tinggal

di Kabupaten Boyolali, termasuk di Kecamatan Cepogo harus

terlebih dahulu bermata pencaharian sebagai petani dan peternak,

mereka harus mendaftar atau sudah terdaftar sebagai anggota

Koperasi KUD, karena pada saat itu beberapa warga sudah

tergabung dalam organisasi koperasi KUD. Masyarakat

diperbolehkan menerima sapi perah anakan dan segala fasilitas

perkandangannya tanpa menggunakan agunan/jaminan. Ternak

anakan harus dipelihara terlebih dahulu beberapa bulan hingga pada

waktunya dapat diperoleh hasil susunya.

Mekanisme pelaksanaan peminjaman yaitu melalui pola

koperasi, peternak-peternak yang bergabung dalam keanggotaan

koperasi melaksanakan budidaya sapi perah yang diperoleh melalui

koperasi tersebut dengan fasilitas kredit. Pembayaran peternak

dengan cara menyerahkan produk hasil susu pemerahan kepada

pihak pemberi pinjaman yaitu KUD setempat. Dalam jangka waktu


commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 92
digilib.uns.ac.id

tertentu kepemilikan sapi perah sepenuhnya menjadi milik pribadi

peternak karena pembayaran melalui uang atau susu sapi perah yang

diserahkan tersebut dianggap sesuai dengan harga sapi yang ia

terima.

Peternak berkewajiban mengembalikan atau membayar

hutang kepada pemerintah melalui bank-bank pelaksana yang telah

dilimpahkan pada tiap-tiap koperasi dimana ia mengambil ternak

baik dengan uang maupun dengan membayar susu, karena susu dari

sapi perah tersebut wajib diserahkan/disetorkan kepada pihak KUD

setempat. Bapak Sumyani mengatakankan; “Bayarnya ke KUD

masing-masing, kemudian KUD ke bank pelaksana, ada yang BRI

ada yang Bukopin”.

Keberhasilan Pengembangan usaha peternakan sapi perah di

Kecamatan Cepogo sudah nampak sejak tahun 1989, yaitu 7 (tujuh)

tahun setelah pemberian program pinjaman yang terakhir. Pada

tahun 1989 telah dilakukan evaluasi oleh pemerintah terkait

keberlanjutan usaha peternakan sapi perah di Kabupaten Boyolali

tersebut. Beberapa koperasi di kecamatan penerima bantuan telah

berhasil dalam mengembangkan dan menyalurkan ternak kepada

para warganya dengan optimal, namun juga terdapat koperasi yang

tidak berhasil, dalam pengertian karena manajemen yang kurang

baik dan faktor lokasi tersebut yang dirasa tidak cocok untuk usaha

ternak sapi perah. Lokasi tersebut seperti pada koperasi yang ada di
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 93
digilib.uns.ac.id

Kecamatan Teras dan Kecamatan Banyudono. Sedangkan enam

lokasi yang lainnya bisa berkembang dengan baik, termasuk di

Kecamatan Cepogo.

Berikut pernyataan bapak Sumyani;

“...Kemudian tahun 89. ...dievaluasi dari program


peternakan sapi perah yang di Boyolali. Yang di
Kabupaten Boyolali aja ya yang saya tahu. Itukan
ada yang berhasil dan enggak berhasil. Yang tidak
berhasil dari delapan kecamatan tadi ini maksudnya
yang tidak cocok untuk usaha sapi perah mungkin
karena iklim dan sebagainya, itu di Teras dan
Banyudono. Yang lainnya bisa, bisa dikembangkan
lah”.

Peternak yang tadinya pada tahun 1979 – 1982 sudah

memelihara dan bisa dikatakan berhasil kemudian ditinjaklanjuti

dengan pemberian kredit lagi, yaitu pada Kecamatan Cepogo dan

lima kecamatan lainnya (Kecamatan Selo, Kecamatan Musuk,

Kecamatan Ampel, Kecamatan Mojosongo, dan Kecamatan

Boyolali). Pada tahun 1989 sampai tahun 1992, pemerintah

memberikan bantuan/pinjaman sapi perah yang sudah bunting

dengan jumlah yang berbeda-beda tiap kecamatan tergantung dari

tingkat keberhasilan program pada tahun 1979 hingga 1982 tersebut.

Sapi yang diberikan tidak lagi yang masih kecil/muda, namun sudah

besar dan sedang mengandung/bunting yang juga berasal dari luar

negeri (impor), seperti dari Australia dan New Zealand. Pemberian

bantuan pada tahap ini dimaksudkan agar lebih cepat meningkatkan

jumlah ternak dan produktifitas susu karena tidak perlu menunggu

commit
waktu lama bagi peternak to user
untuk bisa menghasilkan susu.
perpustakaan.uns.ac.id 94
digilib.uns.ac.id

Hal ini disampaikan oleh informan penelitian, bapak

Sumyani sebagai berikut;

“Kemudian untuk yang tahun 89-92 ini kreditnya sapi


perah yang sudah bunting, jadi dari Australia dan
ada juga dari New Zealand itu sudah bunting sampai
disini. ...Cuma jumlahnya beda-beda tergantung dari
keberhasilan untuk tahun 79-82. ...Rata-rata
buntingnya usia 4 (empat) bulan waktu itu”.

Pembayaran kredit untuk program pada tahun 1989 hingga

tahun 1992 yaitu juga masih tetap sama dengan pembayaran kredit

pada program-program sebelumnya (tahun 1979 – 1982) yaitu bisa

dengan uang maupun dengan penjualan susu. Pemberian pinjaman

ini tetap dikenakan bunga yang berlaku pada saat itu, yaitu sebesar

14% per tahun.

Perkembangan usaha peternakan sapi perah di Kecamatan

Cepogo telah mencapai puncak kejayaannya pada tahun 90-an.

Berkat dukungan berbagai faktor seperti fasilitas-fasilitas yang ada

serta bantuan kredit bahkan bantuan hibah dari pemerintah.

Kesadaran para peternak untuk membudidayakan ternak sapi perah

sebagai usaha penghasil susu begitu besar dibandingkan usaha lain

seperti berternak sapi potong.

Sperti yang disampaikan oleh informan penelitian,

bapak Gito Triyono sebagai berikut;

“Seiring perkambangannya para peternak makin


merasakan itu (manfaat). Ini klimaknya kan tahun 90-
an sekian. Disamping dari fasilitas-fasilitas yang ada
juga adanya susu yang dikata lebih menguntung
commit daripada
peternak-peternak to user sapi potong. Para
peternak itu banyak yang menambah populasi,
perpustakaan.uns.ac.id 95
digilib.uns.ac.id

disamping bantuan dari pemerintah melalui bantuan


kredit bahkan bantuan hibah, para peternak juga
banyak yang menambah bibit dengan cara mereka
beli, dibesarkan, manak (melahirkan) dan dipelihara,
dan dukungan lahan yang ada, produk (susu) di
Cepogo ini pernah klimaknya sekitar 20.000 liter per
hari. Kalau enggak salah sekitar tahun 92 itu”,
ungkap bapak Gito Triyono.

Khususnya di Kecamatan Cepogo, perkembangan usaha

peternakan sapi perah sangat tinggi. Selain dari pertambahan hewan

ternak juga dari produksi susu yang telah mencapai puncaknya pada

tahun 1992 sampai dengan tahun 1994 bisa mencapai 18.000 -

22.000 liter per hari, yang juga ditampung atau dikumpulkan di

KUD Cepogo untuk dipasarkan kepada perusahaan rekanan.

Demikian pernyataan informan penelitian, bapak

Sumyani;

“...Cepogo khususnya, ...produksinya pun sampai


puncaknya tahun 94 tadi ya, tahun 94 itu KUD
Cepogo produksinya bisa sampai 22.000 liter perhari,
antara 18.000 sampai 22.000 liter per hari, tahun
94”.

Ditambahkan pernyataan bahwa pada tahun 1992, di Desa

Sumbung, Kecamatan Cepogo, merupakan juara satu tingkat

nasional ternak sapi perah terbaik dengan kategori penghasil susu

tertinggi, kualitas susu terbaik serta hubungan kemasyarakatannya

yang baik, berikut ungkap bapak Hari Purnomo;

“Dulu (dahulu) tahun sembilan dua (1992) di


Sumbung ini juaranya juara nasional sapi perah.
Lomba desa sapi perah, juara nasional. Diadu antar
juara nasional masih juara satu. ...Penghasil susu
juga, kualitas susu juga, terus kemasyarakatannya
juga”. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 96
digilib.uns.ac.id

Yang dibenarkan oleh bapak Sugiarto;

“Di Cepogo itu dulu juara nasional kelompok tani itu,


tahun 92 jamannya presiden Soeharto, mereka semua
salaman sama pak Soeharto” (di Cepogo itu dahulu
juara nasional kelompok tani itu, tahun 1992
zamannya Presidan Soeharto, mereka semua berjabat
tangan dengan bapak Soeharto).

Keberhasilan program pengembangan sapi perah di

Kabupaten Boyolali secara umum, dan di Cepogo secara khususnya

juga dapat terlihat dari prestasi yang diperoleh Desa Sumbung,

Kecamatan Cepogo sebagai juara nasional ternak sapi perah terbaik,

dan dengan produksi susu tertinggi, sehingga Kecamatna Cepogo

pada waktu itu mendapatkan banyak bantuan dan penghargaan dari

pemerintah pusat, seperti bantuan pengembangan infrastruktur

berupa pengadaan jaringan listrik dan pengerasan jalan. Berawal dari

itu kemudian Kabupaten Boyolali mendapatkan julukan sebagai

“Kota Susu”. Seperti ungkapan bapak Hari Purnomo berikut; “waktu

itu emang kuncoronya Boyolali sapi perah itu ya karena Sumbung,

karena juara nasional itu tadi, terus jadilah boyolali itu jadi kota

susu”.

Setelah tahun 1992, pemerintah tidak megeluarkan

bantuan/pinjaman sapi dan kredit karena dimungkinkan bahwa

peternak sudah memiliki kemampuan yang cukup baik dari sisi

ketersediaan ternak maupun dari sisi permodalannya dalam

mengembangkan usahanya sendiri. Namun, sebagai upaya perhatian

pemerintah dalam menjaga kesetabilan perkembangan dan


commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 97
digilib.uns.ac.id

peningkatan usaha ternak sapi perah, dua tahun kemudian, yaitu pada

tahun 1994, pemerintah mulai menyediakan sistem pinjaman kredit

dalam bentuk keuangan yaitu dengan nama KKPA (Kredit Koperasi

Primer untuk Anggota) dengan bunga 14% per tahun.

Sistem KKPA ini tidak ada lagi dalam bentuk barang berupa

sapi perah, namun hanya dalam bentuk pembiayaan. Pemberian

pinjaman KKPA ini tidak serta-merta diserahkan kepada

koperasi/warga secara langsung, tetapi pihak masyarakat/anggota

melalaui koperasi harus mengajukan proposal permohonan dengan

tetap melengkapi berbagai pemberkasan dan persyaratan yang

diperlukan untuk diajukan kepada bank-bank pelaksana yang telah

ditunjuk oleh pemerintah.

Seperti yang telah diungkapkan oleh bapak Sumyani, sebagai

berikut;

“Kemudian untuk tahun berikutnya mulai tahun 94,


mulai tahun 94 itu ada skim kredit dari pemerintah itu
namanya KKPA (Kredit Koperasi Primer untuk
Anggota) bunganya 14%. Ada program itu
pemerintah tidak, kalau yang tadinya kan pemerintah
nyoh (ini) Cepogo saya kasih sapi sekian, jadi sapi,
wujudnya sapi. Kalau KKPA wujudnya uang, jadi
pemerintah menyediakan sekian, tergantung dari
koperasi mana yang mau mengajukan. Kalau kemarin
kan yang sebelum-sebelumnya itu kan dari
pemerintah katakanlah top-down ya. Kalau ini dari
bottom-up, jadi dari koperasi harus mengajukan
proposal dulu kemudian syarat-syaratnya ada agunan
dan sebagainya ada FS nya dulu”.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 98
digilib.uns.ac.id

Seiring perkembangannya, saat ini peternak bisa mengadakan

pembibitan dengan cara proses inseminasi/perkawinan alami dari

sapi perah yang dimilikinya sendiri maupun dengan meminjam

kepada warga sekitar ataupun inseminasi buatan dengan

menggunakan tenaga IB melalui pihak koperasi maupun individu.

Seperti yang disampaikan oleh bapak Sutarto, “Disini kalau

pejantannya dari IB, suntik. ...pembibitan saya dari mantri-mantri

KUD niku (itu)”. Peternak pun bisa membeli sapi perah melalui

kegiatan usaha yang dijalankan oleh KUD Cepogo ataupun bisa juga

langsung membeli sapi perah yang ada di pasar sapi. Pasar sapi

terdekat ada di Kota Boyolali, yaitu di Pasar Sunggingan.

c. Usaha Peternakan Sapi Perah dari Generasi ke Generasi

Usaha peternakan khususnya sapi perah makin kesini terjadi

perkembangan secara turun-temurun, artinya perpindahan generasi

ke generasi selalu mengalami proses yang sama, yaitu berternak sapi

perah. Secara garis besar kegiatan peternakan sudah terjadi sejak

lampau, dari beberapa informan penelitian mengatakan bahwa

kegiatan peternakan di Cepogo ini terjadi secara turun-temurun,

umumnya seseorang memutuskan untuk beternak mengikuti jejak

orang tuanya ketika telah berumah tangga. terlihat dari beberapa

informan di bawah ini yang memberikan keterangan sebagai berikut.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 99
digilib.uns.ac.id

Bapak Gito Triyono yang menyatakan bahwa praktek usaha

peternakan sapi perah secara persis terjadi secara turun-temurun.

Seperti yang disampaikan oleh bapak Gito Triyono sebagai berikut;

“Secara persis mulai sapi perah itu kan terjadi secara


turun-temurun, seperti saya peternak sapi karena
bapak saya juga peternak”.

Dibenarkan oleh bapak Hadi Martono yang kurang lebih

sama dengan informasi yang disampaikan oleh bapak Gito Triyono,

sebagai berikut;

“Sapi perah kalau seingat saya itu waktu saya masih


kecil termasuk nenek moyang saya itu sudah
memelihara sapi perah. Tapi waktu itu belum
diperah, jadi begitu manak (melahirkan) langsung
disusu sama pedetnya, kalau pedetnya sudah gede
(besar) ya sudah, indukan sapinya enggak (tidak)
diperah”.

Menurut Informan penelitian, bapak H. Purno Wiyono;

“Enggih, jadine kulo kari melu-melu tinggal


nglanjutke. Wong tuo nek asline omahe mriki, aku lak
anak terakhir sing nungguni wong tuo. ...Yo awale
bar nikah kui. ...wong tuone kan ngingu ngunu, trus
tapi kan kene neroske” (iya, jadi saya cuma ikut-ikut
hanya melanjutkan. Orang tua saya aslinya rumahnya
disini, saya anak terakhir yang tinggal bersama orang
tua. …iya awalnya setelah nikah itu. … orang tua juga
memelihara ternak sapi perah, kemudian saya
meneruskan).

Bapak Mujiono menyatakan bahwa;

“Usahane dari sekitar duabelas tahunan dari yang


lalu sampai sekarang, pertama yo due pedet sitok,
tros gede, manak, trus disapeh, engko pedete lek wis
gede yo diijolke babon, bade ngoten niku terus
berkembang ngono loh, berkembang. ...Yo kulo
nyambi lah mas, dagang sapi, sapi perah” (usahanya
sejak 12 tahun yang lalu hingga sekarang, pertama-
tama punya pedet 1 ekor, kemudian besar, beranak,
commitnanti
kemudian disapih, to user
pedetnya kalau sudah besar
bisa dijual/tukar-tambah dengan indukan, begitu
perpustakaan.uns.ac.id 100
digilib.uns.ac.id

perkembangannya. saya juga punya kerjaan lain,


berdagang sapi perah).

Diperkuat dengan ungkapan Bapak Sukirno (pegawai bapak

Mujiono) yang menjelaskan bahwa pembelian sapi berasal dari pasar

sapi “Yo neng pasar, Pasar Sunggingan, teng mriko pasare ageng”

(ya di pasar, Pasar Sunggingan, disana pasarnya besar).

Bapak Sukirno (pegawai dari bapak Mujiono) juga

membenarkan jika usaha peternakan sapi perah telah terjadi secara

turun-temurun, berikut pernyataannya;

“Iki turun temurun, tapi kalau wong tuone dulu


sekedar nernak, tapi tidak dikelola, gur go duen-duen.
Bisa dijual kalau pas butuh. Kalau ini kan dikelola.
Rien niku yang penting wujud hewan ternak mawon”
(disini turun-temurun, tapi kalau orang tuanya dulu
sekedar berternak dan tidak dikelola, cuma buat
kepemilikan. Bisa dijual kalau lagi butuh uang. Kalau
sekarang ini dikelola. Dahulu yang terpenting wujud
hewan ternak saja).

Ibu Suratmi (istri dari bapak Sutarto) melakukan usaha

peternakan sapi perah yaitu dengan melanjutkan usaha orang tua dari

suaminya, berikut pernyataannya;

“Kan kulo melanjutkan teng mriki, kulo melanjutkan


dari bapak e pak Sutarto, kulo mulai seploke teng
mriki, tahun delapan enam, awal nikah. lak disek,
kulo boten kesupen, sekitar empat nopo piro ngono,
Lak disek kan dikongkonke, la kulo teng mriki trus
kulo seng meres. Pak Tarto niku anak ragil, jadi seng
nganggoni prabone wong tuo” (saya melanjutkan
disini, saya melanjutkan dari orang tuanya pak
Sutarto, saya mulai setelah disini, tahun 1986, awal
nikah. Kalau dulu saya tidak ingat, sekitar 4 atau
berapa ekor begitu. Kalau dulu dipekerjakan,
kemudian saya kesini saya yang memeras. Pak Tarto
itu anak ragil, jadi yang menempati rumah orang
tuanya). commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 101
digilib.uns.ac.id

Ibu Sri Nuryati (istri dari bapak Trimadi) berternak sapi perah

sejak awal pernikahannya yaitu dengan cara mengikuti usaha

peternakan yang telah dilakukan oleh orang tuanya, berikut

pernyataanya;

“Awal nernak yo awal nikah itu langsung beli sapi


satu ya, tahun 93. Trus lama-lama kan berkembang,
ya nabung dikit-sedikit. Trus dimasukkan ke sapi, kan
usahanya di sapi. ...Belinya ya didaerah sini, di
pasar. Pasar Sapi Sunggingan niku di Boyolali kota
tapi ya agak pinggiran” (awal berternak ya sejak awal
menikah itu langsung beli sapi 1 ekor, tahun 1993.
Kemudian lama-kelamaan berkembang, sembari
menabung sedikit demi sedikit. Kemudian
dimasukkan anggaran ke sapi, karena usahanya di
sapi. …Belinya ya di daerah sini, di pasar. Pasar Sapi
Sunggingan itu di Boyolali kota tapi sedikit
pinggiran) Sedangkan orang tuanya juga nernak,
“Nernak iya, tapi dagangnya endak. Tapi juga petani
dan peternak, trus ibunya dagang sayur” (berternak
iya, tapi tidak berdagang sapi seperti yang digeluti
suami ibu Sri Nuryati. Tetapi juga petani dan
peternak, sedangkan ibunya berdagang sayuran).

Bapak Widarsono menceritakan pengalamannya sebagai

peternak yang diawali sejak kecil dengan membantu orang tuanya

dan fokus usaha sendiri setelah berumah tangga, berikut

pernyataanya;

“Mulai berdiri sendiri sakrenene nikah niku mas,


(setelah tahun 2007), sakdereng tumot bapak terus,
kulo sekolah boten nganu niku mergo tumot bapak
teros, rien niku pak e. Tunggal kulo lak katah mas,
seng tementing damelane nernak sapi perah niku
mung kulo kiambak. ...Rien empun ngingu katah mas,
kaleh doso (20), wolulas (18) niku lak rien. La
namung kiambak, boten ngingu tenogo ngoten niku.
La trus kulo sekolah niko due roso mesakne ngoten,
sekolahe kulo kalahke mung bantu wong tuo enggeh
ngoten niku. Dadi kulo empun ket alit mas, empun ket
umur enem (6) tahun (pada tahun 1988) niku empun
mulai bantu commit to user
meres niku” (Mulai usaha ternak sendiri
perpustakaan.uns.ac.id 102
digilib.uns.ac.id

setelah menikah itu mas, [setelah tahun 2007],


sebelumnya ikut bantu-bantu orang tua, saya sekolah
enggak sampai tinggi itu karena ikut bapak. Saudara
saya banyak mas, yang fokus kerjaannya berternak
sapi perah hanya saya sendiri. …Dahulu pernah
memelihara banyak mas, 18 sampai 20 ekor. Karena
orang tua hanya sendirian tidak ada tenaga
kerja/karyawan begitu. Saat saya sekolah itu merasa
kasihan, sekolahnya saya tinggalkan untuk fokus
membantu orang tua. Jadi saya sudah sejak dari kecil
mas, sejak umur 6 tahun [pada tahun 1988] itu sudah
bantu-bantu orang tua memeras susu).

Bapak Widarsono berternak sapi perah sendiri sejak tahun

2007 setelah beliau berumah tangga, karena sebelumnya sejak kecil

beliau hanya membantu-bantu orang tuanya yang dahulu berternak

cukup banyak yaitu mencapai 20 ekor sapi perah. Beliau sudah

berkecimpung dengan usaha ternak sapi perah sejak usia 6 tahun

yaitu mulai pada tahun 1988.

Bapak Tiyoso Ngatemen mengatakan jika usahanya dimulai

pada tahun 1985 dengan berawal dari dua ekor sapi perah dan

berkembang hingga 25 ekor sapi,

“85 niku sitik mas, setelah tahun niku katah, kaleh


doso (20 ekor), selangkong (25 ekor) ngoten.
...Enggeh seko sitik. ...Awale kaleh” (awalnya dari
tahun 1985 itu jumlahnya sedikit mas, setelah tahun
itu banyak, 20 ekor hingga 25 ekor. …ya berawal dari
sedikit, …awalnya 2 ekor sapi perah).

Beliau juga menjelaskan jika orang tuanya dahulu juga sudah

berternak sapi perah, namun jumlahnya lebih sedikit,

“Nernak mas, nanging sitik. Paling-paling enggih


gangsal (5 ekor), enggeh enem (6 ekor) ngoten loh”
(berternak mas, cuma sedikit, paling banyak cuma 5
ekor atau 6 ekor begitu), ucap bapak Tiyoso
Ngatemen. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 103
digilib.uns.ac.id

d. Manfaat Pengembangan Usaha Peternakan Sapi Perah

Usaha peternakan sapi perah yang ada di Kecamatan Cepogo

merupakan usaha peternakan rakyat, artinya kegiatan peternakan

tersebut lebih banyak dikerjakan oleh rakyat secara perorangan

dalam suatu keluarga. Usaha peternakan memberikan banyak

manfaat bagi peningkatan pertumbuhan ekonomi dan sosial, seperti

peningkatan pendapatan masyarakat, peningkatan mutu pendidikan,

peningkatan pembangunan infrastruktur dan peningkatan

kesejahteraan. Terjadinya percepatan pembangunan infrastruktur

dari pemerintah berupa pengadaan jaringan listrik, pengerasan jalan,

dan lain sebagainya. Sehingga perekonomiannya mampu terangkat,

karena potensi-potensi yang dimiliki dapat dikelola dengan optimal.

Informan penelitian, seperti yang disampaikan oleh bapak

Hari Purnomo, menyatakan bahwa;

“...Dengan sapi perah, dulu anak-anak sekolah itu


enggak bingung, karena apa, ada harian. Cash-flow
hariannya ada, jelas. ...Sebenarnya paling untung itu
perah. Karena apa, dari kita kasih makan sapi, kita
gak harus keluar kantong, kalau perlu ada sisa.
Kedua, satu tahun dapat satu pedet, itu keuntungan
murni”.

Perkembangan sapi perah cukup tinggi, memelihara sapi

perah bisa dikatakan sangat menguntungkan, selain hasil susu yang

bisa diperoleh setiap hari, sapi perah khususnya betina rata-rata

mampu beranak setiap 1 tahun atau 2 tahun sekali serta mampu

memanfaatkan kotoran ternak sebagai pupuk kandang maupun


commit to user
sebagai bahan utama pembuatan biogas. Usaha peternakan sapi
perpustakaan.uns.ac.id 104
digilib.uns.ac.id

perah bisa dikatakan tidak akan pernah mengalami

penyusutan/kerugian karena indukan yang sudah tidak mampu

memproduksi susu segar pun nantinya akan tetap menguntungkan

peternak karena bisa dijual ke pasar dengan mempertimbangkan nilai

berat badan sapi apakah kurus atau gemuk, disini yang dijual bukan

lagi susu segar, melainkan dagingnya.

e. Temuan Penting dan Unik pada Sejarah Perkembangan Sentra

Peternakan Sapi Perah di Kecamatan Cepogo

Usaha peternakan sapi perah di Cepogo telah ada sejak

zaman penjajahan Belanda di Indonesia. Namun awal mula

perkembangannya terjadi sejak adanya program pembangunan

pertanian melalui pengembangan usaha peternakan yang fokus

terhadap usaha peternakan sapi perah sebagai penghasil susu segar.

Pembangunan tersebut melalui program pinjaman/pemberian kredit

sapi perah yang terbagi dalam dua program utama, pertama pada

tahun 1979 – 1982 dan kedua pada tahun 1989 – 1992.

Praktek usaha peternakan sapi perah telah terjadi secara luas

di seluruh desa pada Kecamatan Cepogo. Eksistensinya terjadi

secara turun-temurun, yaitu usaha peternakan sapi perah telah diikuti

oleh generasi-generasi penerusnya. Masyarakat Cepogo telah

marasakan berbagai manfaat dari adanya usaha peternakan sapi

perah, diantaranya seperti peningkatan ekonomi dan merasakan

kehidupan yang lebihcommit to user


layak dari sebelumnya.
perpustakaan.uns.ac.id 105
digilib.uns.ac.id

2. Keberlanjutan Usaha Peternakan Sapi Perah di Kecamatan Cepogo

dalam Berbagai Dimensi

a. Dimensi Ekologi dan Pembibitan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada aspek ekologi dan

pembibitan yang didalamnya seperti; indikator kesesuaian

agroklimat, luas lahan untuk hijauan pakan ternak, luas lahan untuk

tanaman komoditas lain, rata-rata jumlah produksi hijauan pakan

ternak, usia ternak berproduksi hingga tak berproduksi, pengadaan

bibit ternak, tingkat kematian ternak, tingkat penanganan hama dan

penyakit, dan tindakan konservasi untuk lahan hijauan, serta tingkat

pengolahan kotoran ternak dapat dikategorikan masuk dalam

keberlanjutan tingkatan tinggi (lihat tabel 4.11), hal ini berarti pada

aspek ekologi dan pembibitan secara umum dalam upaya

keberlanjutan usaha peternakan tidak menimbulkan persoalan.

Namun, pada sisi lingkungan, seperti yang terlihat pada indikator

luasan lahan pekarangan dan kandang ternak, tingkat serangan

penyakit, pengelolaan kandang, dan jarak lahan peternakan dengan

tempat tinggal masuk dalam kategori keberlanjutan sedang hingga

rendah, hal ini artinya perlu adanya dorongan perubahan agar

menjadi perhatian lebih demi suatu koreksi pembenahan.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 106
digilib.uns.ac.id

Tabel 4.11
Indikator Keberlanjutan Usaha Peternakan Sapi Perah dalam
Dimensi Ekologi dan Pembibitan.
Kategori Keberlanjutan
No. Indikator
Rendah Sedang Tinggi
1 Kesesuaian agroklimat +
luas lahan pekarangan dan kandang
2 +
ternak
Luas lahan untuk hijauan pakan
3 +
ternak
Rata-rata jumlah produksi hijauan
4 +
pakan ternak
Usia ternak berproduksi hingga tak
5 +
berproduksi
6 Pengadaan bibit ternak/ beranak +
7 Tingkat kematian ternak +
8 Tingat serangan penyakit +
Tingkat penanganan hama dan
9 +
penyakit
Jarak lahan peternakan dengan
10 +
tempat tinggal
Tindakan konservasi untuk lahan
11 +
hijauan
12 Pengelolaan kandang +
13 Tingkat pengolahan kotoran ternak +
Sumber: Data diolah 2016

1) Kesesuaian Agroklimat

Agroklimat terdiri dari dua kata yaitu agro

(lahan/lingkungan) dan klimat (iklim) yang artinya bahwa

pemanfaatan lahan yang berkaitan erat dengan iklim maupun

cuaca yang berpengaruh terhadap usaha peternakan, yaitu

menunjukan bahwa unsur kesesuaian agroklimat masuk dalam

kategori keberlanjutan yang tinggi, artinya lokasi tersebut benar-

benar cocok dalam usaha peternakan sapi perah karena memiliki

iklim sedang yang cenderung dingin karena berada dalam

ketinggian antara 1.000 hingga 1.300 mdpl serta cuaca yang


commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 107
digilib.uns.ac.id

sedikit panas yang sangat cocok dalam tumbuh kembang biak

hewan ternak.

Menurut bapak Hari Purnomo; “Kalau idealnya, …sapi

perah itu karena emang adaptasinya kan ditempat dingin…,

…harusnya diatas 650 atau 700 mdpl”.

Ditambahkan pernyataan oleh informan penelitian, bapak

Sugiarto;

“Sebetulnya di daerah enam kecamatan ini


(Cepogo, Mojosongo, Ampel, Musuk, Boyolali,
dan Selo) tidak begitu signifikan pengaruh dari
suhu, kan itu tergantung dari bagaimana kita
memelihara, pola pemeliharaan karena disini kan
masih peternakan rakyat bukanlah perusahaan-
perusahaan”.

2) Luas Lahan Pekarangan dan Kandang Ternak

Luasan lahan pekarangan atau lahan kosong yang

dimiliki para peternak bisa dikatakan terbatas karena lokasi

kandang ternak hanya berada di area pekarang rumah. Para

warga yang bekerja sebagai peternak juga memiliki keterbatasan

luasan lahan pekarangan sehingga mempengaruhi luasan

kandang yang bisa dibangun sebagai tempat tinggal ternak sapi

perah. Dari observasi selama di lapangan, dapat disimpulkan

jika luasan lahan pekarangan dan kandang ternak masuk dalam

kategori keberlanjutan sedang. Artinya jika kondisi seperti ini

dibiarkan bisa saja menimbulkan masalah lain karena


commit to user
seharusnya hewan ternak berada di area kandang yang lebih luas
perpustakaan.uns.ac.id 108
digilib.uns.ac.id

serta adanya lahan kosong demi kelancaran tumbuh kembang

ternak sebagai area gembala atau setidaknya selama hidupnya

tidak terikat dan terkurung didalam kandang.

3) Luas Lahan Untuk Hijauan Pakan Ternak

Luasan lahan hijauan pakan ternak yang cukup tinggi

dimiliki setiap peternak. Setiap peternak rata-rata memiliki

lahan khusus sebagai sumber pakan hijauan serta untuk tanaman

komoditas lain, sehingga rata-rata jumlah produksi hijauan

pakan ternak selalu tercukupi. Peternak yang berada di

Kecamatan Cepogo pada umunya juga berprofesi sebagai petani.

Pemanfaatan lahan yang memiliki digunakan sebagai area

pertanian maupun sebagai lahan tempat penanaman rumput

untuk pakan hijauan bagi ternaknya.

Luasan lahan yang dimiliki para peternak berkisar antara

3.000 m2 hingga 10.000 m2 atau 1 Ha. Seperti yang dimiliki oleh

bapak Purno Wiyono dengan kepemilikan lahan dengan luasan

sekitar 3.000 m2 dan bapak Tiyoso Ngatemen dengan luas

sekitar 1 Ha, beliau mengatakan jika luasan lahan yang dimiliki

sudah sangat cukup untuk memenuhi kebutuhan pakan hiajauan

walaupun dengan luasan lahan yang dimiliki peternak tidak

semuanya dimanfaatkan sebagai lokasi penanaman rumput

untuk pakan ternak, tetapi sebagain lahan dipergunakan sebagai

commit
lahan pengembangan to user
pertanian.
perpustakaan.uns.ac.id 109
digilib.uns.ac.id

Di lokasi penelitian, penggunaan rumput sebagai

makanan utama termasuk tidak begitu maksimal. Justru mereka

lebih banyak menggunakan makanan tambahan seperti

konsentrat dan jenis yang lainnya, seperti yang diungkapkan

oleh bapak Sukirno;

“Kalau rumputnya enggak banyak,


ampasnya/campurannya/minumannya itu yang
banyak. Satu hari kalau dihitung itu 10 kilo (kg)
habis satu ekor sapi, tapi campur-campuran ada
brend, ada kotoran ayam sama (dan)
singkong/pohong”.

Selain pakan hijauan, peternak juga menggunakan pakan

tambahan lainnya seperti konsentrat, bekatol dan lain-lain demi

menunjang kebutuhan pakan ternak. Namun, pola pemberian

pakan ternak yang terjadi di Kecamatan Cepogo tidak

dibenarkan oleh bapak Sugiarto yang berprofesi sebagai kepala

sesi produksi ternak ruminasi di kantor Dinas Peternakan dan

Perikanan Kabupeten Boyolali, beliau mengatakan jika

seharusnya sapi perah itu seharusnya hanya konsumsi hijauan

bukan yang lain.

“Ternak itu makanan pokoknya apa to, kan


rumput, kalau rumput sudah terpenuhi semua gizi
kan ada disitu. Buat apa kita butuh ampas,
puhung, batang ketela, batang pisang, batang
kates, enggak (tidak) perlu kalau persediaan
rumputnya cukup”, ungkap bapak Sugiarto.

4) Rata-Rata Jumlah Produksi Hijauan Pakan Ternak

Rata-rata jumlah produksi hijauan pakan ternak cukup


commit to user
banyak, Saat musim penghujan pada umumnya persediaan
perpustakaan.uns.ac.id 110
digilib.uns.ac.id

pakan melimpah, namun saat musim kemarau terjadi

kecenderungan semakin sedikitnya persediaan hijauan karena

faktor kekeringan yang menyebabkan pertumbuhan rumput

semakin menurun bahkan mati. Seperti yang diungkapkan oleh

bapak Marsono; “Sebenarnya secara daya tampung ya masih

memenuhi ya, cuma kalau di Cepogo itu kendalanya kalau pas

kemarau panjang tegalannya akan kering”.

Ketika musim kemarau panjang tiba, sudah bisa

dipastikan seorang peternak akan megalami kerugian karena

peternak terpaksa melakukan pembelian pakan hijauan dari

daerah lain seperti di daerah sawah. Harga yang harus

dibayarkan pun tergantung pada tinggi rendahnya permintaan

terhadap hijauan. Harga rumput dalam satu ikat yang beratnya

sekitar 30 kg harganya antara Rp.15.000 sampai Rp.30.000.

seperti yang diungkapkan oleh bapak Sukirno;

“Satu bongkok sekitar 30 Kg iku sekitar


Rp.15.000 sampai Rp.20.000 kalau di musim
hujan begini, kalau di musim kemarau bisa
nyampe (sampai) Rp.30.000. Soalnya kan pakan
enggak (tidak) ada. Lebih mahal kalau kemarau.
Ampasnya pun juga begitu kalau gini (sekarang
saat musim penghujan) kan murah, tapi kalau
kemarau naik semua, dari pakan comboran
sampai pakan rumputnya itu naik semua”.

5) Usia Ternak Berproduksi Hingga Tak Berproduksi

Usia ternak laktasi pada umunya cukup tinggi, hingga

commit
pada lima kali masa to user
laktasi (masa produksi) atau sampai pada
perpustakaan.uns.ac.id 111
digilib.uns.ac.id

usia 7 tahun. Seperti yang diungkapkan oleh Bapak Sukirno;

“Sekitar tujuh tahunan, sapi pedet sampai dewasa itu dua tahun,

ditambah pemerahan lima tahun, jadine (jadinya) tujuh tahun

itu mungkin sudah layak untuk dijual”. Dijual sebagai sapi afkir

yang dipandang terhadap berat badan sapi bukan lagi tingkat

produksinya. “Kalau yang sudah tua, …misalkan …sudah lima

atau enam kali (5 atau 6 kali melahirkan) itu sudah dijual.

…Kalau sudah tidak menghasilkan susu, itu kita jual ke

daging”, imbuh bapak Sukirno.

Rentang waktu pemerahan itu bisa dimulai sejak sapi

perah mencapai masa laktasi pertama atau sejak melahirkan

pertama kali hingga mengalami kandungan kedua dengan usia 7

bulan. Usia kandungan 7 bulan harus dihentikan pemerahan

karena untuk menjaga kuantitas susu dalam jangka panjang.

Berikut pernyataan bapak Sugiarto;

“Rentang waktu pemerahan itu sekitar 10 bulan


yang optimal. Setelah itu kan bunting, 2 bulan
istirahat trus diperah lagi. Sapi perah itu bisa
mulai bunting minimal usia dua tahun, itu kalau
dari umur. Kalau dari bobot itu minimal 275 kg.
sehingga organ reproduksinya sudah siap, sudah
dewasa”.

6) Pengadaan Bibit Ternak/ Beranak

Dalam hal pengadaan bibit sudah cukup berkembang di

lokasi penelitian yang didukung dengan perkembangan ilmu


commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 112
digilib.uns.ac.id

peternakan terbaru seperti dengan cara inseminasi buatan.

Seperti yang disampaikan oleh bapak Sugiarto;

“Inseminasi buatan yang berkualitas itu sudah


ditempuh oleh pemerintah, sudah diedarkan ke
masyarakat, neng knopo (cuma kenapa), angger
metu pedete malah dijual (ketika keluar anak sapi
justru dijual), mestinya kan itu dipelihara. Kalau
yang sudah afkir diganti dengan yang bagus ini,
sehingga untuk memperoleh bibit yang bagus itu
enggak perlu beli. Cukup dengan hasil mereka
kawin suntik yang sudah dilakukan”.

Kendala yang dialami peternak diantaranya seperti

anakan sapi berkualitas yang dihasilkan cenderung dijual ke

pasar, bukan untuk dipelihara sendiri hingga bisa menghasilkan

susu. Sapi-sapi yang dipelihara dominan sapi perah yang sudah

tua-tua dan genetinya pun sudah tidak jelas serta sumber daya

manusia peternak yang relatif rendah.

Berikut pernyataan informan penelitian, bapak Gito

Triyono;

“Sapi yang dipelihara itu sudah tua-tua,


genetiknya sudah tidak jelas. Peternakan disini
juga kebetulan ada pasar, di dol neng pasar karo
tuku sak karepe dewe (dijual ke pasar dan beli
semaunya sendiri). Disini namanya juga desa,
jadi untuk mengatur hal itu bukanlah perkara
mudah. Disini petaninya ribuan dan itu milik
mereka sendiri dan pengaruh SDM yang rata-
rata rendah”.

Bapak Gito Triyono menambahkan;

“Bibit Indonesia ini masih kalah jauh dengan


bibit luar negeri, sehingga perlunya langkah, ini
sudah sebenarnya. Namun saya rasa belum
sesuai dengan tuntutan, jadi kita harus
commitbibit.
meningkatkan to user
Sapi perah itu genetiknya
atau bibitnya memberikan pengaruh 40% dan
perpustakaan.uns.ac.id 113
digilib.uns.ac.id

pengaruh perawatan ternak 60%. Kalau


perawatannya dan bibitnya betul kan 100%.
Sehingga akan menghasilkan yang lebih
maksimal”.

7) Tingkat Kematian Ternak

Sapi perah di Kecamatan Cepogo cenderung sehat-sehat

dan kuat-kuat. Serangan penyakit yang umumnya terjadi hanya

penyakit ringan-ringan. Kondisi dimana kasus kematian ternak

pun sangat jarang sekali ditemukan. Kategori keberlanjutan dari

indikator tingkat kematian ternak masuk dalam tingkatan

keberlanjutan yang tinggi karena jarang sekali muncul kasus

kematian ternak atau bahkan tidak ada.

8) Tingkat Serangan Penyakit

Penyakit yang pada umumnya terjadi yaitu seperti masuk

angin, cacingan, pusing-pusing, kaki lumpuh dan mastitis.

Menurut beberapa informan penelitian, seperti Ibu Sri Nuryati,

bapak Mujiono, dan bapak Marsono menjelaskan bahwa

penyakit yang umunya diderita hewan ternak masih termasuk

ringan dan mudah untuk diobati. Berikut pernyataannya.

Menurut Ibu Sri Nuryati;

“Kalau disini aman-aman aja, mungkin cuma


cacingen kalau sapi yang masih kecil-kecil..,
terus katanya sapinya itu pusing” (jika di Cepogo
aman dari gangguan serangan penyakit, mungkin
hanya cacingan untuk sapi yang masih kecil-
kecil, selain itu sapi-sapi juga sakit pusing).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 114
digilib.uns.ac.id

Menurut pernyataan bapak Mujiono;

“Penyakit sapi kadang-kadang enten mas, enggeh


masuk angin, mangke panggilke mantri trus
disontek, aman-aman mawon” (penyakit sapi
terkadang ada, iya masuk angin, nanti
dipanggilkan mantri/dokter hewan lalu disuntik
aman-aman saja).

Menurut pernyataan bapak Marsono;

“Cuma biasa paling-paling mung mastitis, yang


serius boten enten. Itu ya karena sanitasinya
yang kurang, seperti petani yang rajin atau
enggak”. (cuma biasanya hanya penyakit mastitis,
yang serius tidak ada. Itu hanya karena
sanitasinya yang kurang bersih, seperti petani
yang rajin atau tidak).

9) Tingkat Penanganan Hama dan Penyakit

Tingkat penanganan hama dan penyakit termasuk dalam

kategori keberlanjutan yang tinggi karena hewan ternak tidak

mudah terkena penyakit berat serta adanya mantri atau dokter

hewan yang selalu siap memberikan bantuan kesehatan sapi

ketika dibutuhkan, sehingga penyakit lebih cepat disembuhkan

yang berdampak pada rendahnya tingkat kamatian ternak.

Penanganan hama dan penyakit sangat mudah dilakukan

dengan cara mendatangkan mantri atau dokter hewan terdekat.

Keberadaan dokter hewan sudah sangat membantu demi

menjaga kesehatan ternak. Selain itu, serangan hama atau

penyakit yang diderita hewan ternak dapat dicarikan pengobatan

dengan sharing pengalaman antar peternak. Seperti yang


commit to user
dialami bapak Purno Wiyono;
perpustakaan.uns.ac.id 115
digilib.uns.ac.id

“Sok deprok, mastitis susune, …kadang-kadang


tukar pengalaman kaleh konco-konco ngoten niku
loh, mangke diparingi puyer, nek boten diparingi
sabun susune niku, sok mari malahan” (sapinya
lumpuh, mastitis susunya, kadang-kadang tukar
pengalaman dengan teman-teman sama-sama
peternak, nanti diobatin pakai puyer atau pakai
sabun di susunya itu terkadang bisa sembuh).

Diperkuat dengan argumentasi dari bapak Mujiono;

“Mangke panggilke mantri trus disontek, aman-


aman mawon” (nanti dipanggilkan mantri/dokter
hewan kemudian disuntik, aman-aman saja).

10) Jarak Lahan Peternakan dengan Tempat Tinggal

Penempatan lokasi kandang ternak dengan tempat

tinggal pemilik ternak pada umumnya berada dalam satu lokasi

yang sama. Kandang diletakkan di belakang rumah, bahkan juga

sebagian peternak meletakkan sapi perah dalam satu rumah yang

berlokasi dekat dengan dapur. Seperti yang diungkapkan bapak

Sugiarto;

“Disini semuanya masih banyak berhimpitan


dengan rumah, padahal seharusnya mulai dari
sekarang ini berternak sapi perah harus seperti
perusahaan karena semuanya nilainya uang”.

Keuntungan dari penempatan kandang yang lokasinya

sangat dekat dengan rumah tinggal yaitu bisa memberikan

keamanan bagi hewan ternak dari kasus pencurian, seperti yang

diungkapkan bapak Marsono;

“Karena disini dulu secara sejarah sering terjadi


pencurian hewan ternak, ternak di kandang pun
bisa hilang. Budaya sejak dulu yang belum bisa
kita hilangkan”.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 116
digilib.uns.ac.id

Penempatan kandang sapi perah sampai sekarang

berhimpitan dengan rumah tinggal. Namun, dibalik keuntungan

tersebut juga banyak kerugiannya bagi peternak dan warga

masyarakat lingkungan sekitar seperti menurunnya tingkat

kenyamanan, tercemarnya udara seperti bau kotoran ternak,

berpeluang mudah terserang penyakit karena tentunya

kebersihan lingkungan permukiman tidak terjamin dan berbagai

dampak lainnya yang bisa saja terjadi.

11) Tindakan Konservasi Untuk Lahan Hijauan

Tindakan konservasi untuk lahan hijauan merupakan

kegiatan yang wajib dilakukan guna menunjang persediaan

pakan hijauan untuk masa depan. Kegiatan yang dilakukan

peternak sejauh ini dengan cara penanaman rumput dan

pemupukan dengan menggunakan pupuk kandang dari ternak

yang dihasilkan. Penggunaan pupuk kandang dapat

memperbaiki unsur hara dalam tanah sehingga bisa bermanfaat

sebagai penyubur tanah dalam jangka pendek maupun jangka

panjang. Menurut Setiadi, dkk (2012:147), penggunaan kotoran

ternak sebagai pupuk kandang terhadap tanah

pekarangan/tegalan maupun perkebunan memberikan berbagai

manfaat, diantaranya; 1) mempermudah penyerapan air hujan;

2) memperbaiki kemampuan tanah dalam mengikat air; 3)

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 117
digilib.uns.ac.id

mengurangi erosi; 4) memberikan lingkungan tumbuh yang baik

bagi tanaman; dan 5) sumber unsur hara bagi tanaman.

12) Pengelolaan Kandang

Perkandangan yang ada di Kecamatan Cepogo tergolong

sudah cukup mumpuni, walaupun ada beberapa yang masih

kurang baik bagi hewan ternak dalam hal keterjaminan

kebersihan dan kenyaman bagi hewan ternak maupun

pemiliknya. Seperti yang disampaikan oleh bapak Marsono;

“Masih bervariatif, kita akui yang layak juga


banyak tetapi juga masih ada beberapa yang
mungkin belum memberikan kenyaman bagi
hewan. Itu biasanya karena keterpaksaan, karena
ekonomi. Jadi bukan karena kesengajaan
dilakukan seperti itu”.

Karena keterbatasan ekonomi memaksa para peternak

untuk menerima kondisi yang ada. Kondisi perkandangan yang

masih jauh dari kata layak bagi hewan ternak pun bisa terlihat

dimana-mana. Hal ini menjadi salah satu kelemahan yang

dimiliki para peternak karena seharusnya demi menunjang

produksi susu yang berkualias baik selayaknya berada dalam

lokasi perkandangan yang baik pula. Kegiatan pemerahan yang

pada umunya juga dilakukan di dalam kandang tersebut akan

sangat mudah mangalami kerusakan bagi kualitas susu karena

lingkungan yang kurang bersih.

Pengembangan jumlah populasi ternak sapi perah justru


commit to user
terkendala oleh luasan lahan yang dimiliki. Mengingat ternak
perpustakaan.uns.ac.id 118
digilib.uns.ac.id

sangat memakan tempat, seperti yang disampaikan oleh bapak

Trimadi bahwa sampai sejauh ini kendala yang menjadi

penghambat dari usaha peternakannya adalah kurangnya luasan

lahan pekarangan yang dimiliki sebagai area tempat kandang

sapi.

13) Tingkat Pengolahan Kotoran Ternak

Pakan yang diberikan untuk ternak tidak semuanya

terserap menjadi daging dan susu. Namun, sisanya dibuang

sebagai zat sisa (kotoran). Ternyata kotoran ini bisa

dimanfaatkan oleh peternak sebagai pupuk dan sumber energi

alami (seperti biogas). Ramah lingkungan dan pastinya

menguntungkan bagi peternak.

Menurut informan penelitian, bapak Marsono;

“Kalau kotoran itu kita masih ada yang sudah


diolah seperti menjadi biogas. Selain itu limbah
dari biogas sendiri juga bisa dimanfaatkan untuk
menjadi pupuk kandang untuk menyuburkan
tanaman pertanian. Ada juga yang langsung
menjadi pupuk kandang”.

Menurut Setiadi, dkk (2012:147), Biogas yang terbentuk

dapat dijadikan bahan bakar karena mengandung gas metan

yang cukup tinggi. Keuntungan penggunaan kotoran ternak

sebagai biogas yaitu, 1) mengurangi ketergantungan terhadap

penggunaan minyak/LPG; 2) mengurangi biaya rumah tangga;

3) mengurangi pencemaran lingkungan; dan 4) buangan sisa


commit to user
biogas juga dapat digunakan sebagai pupuk.
perpustakaan.uns.ac.id 119
digilib.uns.ac.id

b. Dimensi Sosial Budaya

Analisis keberlanjutan dalam dimensi sosial budaya masuk

dalam kategori keberlanjutan sedang hingga tinggi. Diantaranya

yang menjadi keunggulan atau masuk dalam kategori keberlanjutan

tinggi yaitu seperti dalam sisi alokasi waktu peternak, akses

masyarakat dalam kegiatan peternakan, kepemilikan ternak milik

sendiri, kepemilikan lahan hijauan milik sendiri, partisipasi keluarga,

dan peran modal sosial dalam kegiatan peternakan.

Tabel 4.12
Indikator Keberlanjutan Usaha Peternakan Sapi Perah dalam
Dimensi Sosial Budaya.
Kategori Keberlanjutan
No. Indikator
Rendah Sedang Tinggi
1 Tingkat pendidikan formal +
2 Rata-rata usia peternak +
3 Alokasi waktu untuk usaha ternak +
Akses masyarakat dalam kegiatan
4 +
peternakan
5 Kepemilikan ternak milik sendiri +
Kepemilikan lahan hijauan milik
6 +
sendiri
Pandangan masyarakat terhadap
7 +
usaha ternak sapi perah
8 Jumlah ketersediaan tenaga kerja +
Partisipasi keluarga dalam usaha
9 +
ternak
Tingkat penyerapan tenaga kerja
10 +
usaha ternak
Pemberdayaan masyarakat dalam
11 +
kegiatan peternakan
Peranan modal sosial dalam
12 +
kegiatan peternakan
Pola hubungan masyarakat dalam
13 +
kegiatan peternakan
Sumber: Data diolah 2016.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 120
digilib.uns.ac.id

1) Tingkat Pendidikan Formal

Pendidikan yang ditamatkan oleh para peternak sapi

perah di Kecamatan Cepogo sangat variatif, mulai yang tidak

tamat SD, tamat SD, tamat SLTP/SMP dan tamat SLTA/SMA,

hingga tamatan perguruan tinggi pun juga ada. Secara garis

besar, saat ini rata-rata pendidikan yang ditamatkan oleh

peternak hanya sampai pada Sekolah Lanjutan Tingkat Atas

(SLTA). Hal ini berada dalam keberlanjutan sedang karena

sebagian peternak memiliki keterbatasan sumber daya manusia

yang dimiliki seperti dalam hal pemeliharaan/perawatan yang

baik.

2) Rata-Rata Usia Peternak

Usia para peternak sapi perah di Kecamatan Cepogo

masuk dalam kategori usia produktif antara usia 30 tahun hingga

usia 60-an tahun. Dari usia peternak tersebut rata-rata paling

banyak berada pada rentang usia 50 tahun sampai 60 tahun.

Diperkuat oleh bapak Gito Triyono sebagai informan yang

menjelaskan bahwa masyarakat Cepogo yang bersedia berternk

sapi perah itu karena sudah terbebas dari pekerjaannya, seperti

talah pensiun kerja, berikut ini pernyataannya;

“Biasane lek gelem ngopeni sapi ki lek megawe


ne wes pensiun, mulo lek kon berhasil yo susah
(biasanya yang mau memelihara sapi itu jika
bekerjanya sudah pensiun, maka susah berhasil).
Karena commit to useritu termasuk juga yang
pengalaman
utama”.
perpustakaan.uns.ac.id 121
digilib.uns.ac.id

3) Alokasi Waktu untuk Usaha Ternak

Pemeliharaan sapi perah dilaksanakan secara penuh

waktu, mulai dari pagi hari dengan mencarikan rumput sebagai

pakan ternak, membersihkan kandang, dan segala pemeliharaan

yang bisa berlanjut hingga sore hari, serta kegiatan pemerahan

yang wajib dilakukan dipagi hari dan di sore hari. Kesediaan

peternak meluangkan waktu sangat besar dalam memperhatikan

atau pemeliharaan ternak. Menurut bapak Gito Triyono;

“Berternak sapi itu kan rutin, sapi itu dicencang (hanya

dikandangkan) jadi harus mencarikan rumput, memelihara itu

kan rutin”.

4) Akses Masyarakat dalam Kegiatan Peternakan

Akses masyarakat dalam kegiatan peternakan di

Kecamatan Cepogo termasuk sangat mudah. Lokasinya yang

strategis bagi pengembangan ternak yang ditunjang ketersediaan

pakan yang cukup mumpuni memberikan nilai lebih. Dukungan

akses pembiayaan pun sangat mamadai demi pengembangan

usaha peternakan. Selain itu, hubungan kemasyarakatan yang

baik juga telah berkontribusi besar terhadap keberlanjutan usaha

peternakan.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 122
digilib.uns.ac.id

5) Kepemilikan Ternak Milik Sendiri

Peternakan sapi perah di Kecamatan Cepogo merupakan

usaha peternakan rakyat. Semua peternak yang mengusahakan

peternakan adalah warga di dalam Kecamatan Cepogo sendiri.

Kepemilikan ternak yang dimiliki cukup bervariatif antara satu

ekor hingga puluhan ekor yang semuanya merupakan ternak

milik mereka sendiri.

6) Kepemilikan Lahan Hijauan Milik Sendiri

Semua peternak sapi perah di Kecamatan Cepogo selain

sebaga peternak juga berprofesi sebagai petani. Kepemilikan

lahan pertanian selain digunakan untuk lahan penanaman

tanaman pangan dan perkebunan juga dimanfaatkan sebagai

lahan penanaman hijauan seperti rumput gajah dan jenis rumput

lainnya. Kepemilikan lahan hijauan merata pada semua

peternak. Seperti yang diungkapkan oleh bapak Gito Triyono;

“Saat ini peternak yang mampu bertahan ya peternakan rakyat.

Karena memang berternak kalau tidak bertani memang tidak

bisa bertahan lama”.

Diperkuat oleh pernyataan bapak Widarsono;

“Golek rumpute teng tegale kiambak. …khusus


rumput ngoten. Luase niku enggeh 3000-an m2.
…Enggeh tanahe kiambak” (cari rumputnya di
lahan pekarangan sendiri. …Khusus rumput
begitu. Luasnya itu ya 3000-an m2. Iya tanahnya
commit to user
milik sendiri).
perpustakaan.uns.ac.id 123
digilib.uns.ac.id

Ditambahkan oleh ibu Sri Nuryati;

“Boten usah tuku, nandur tegale dewe. Enggih


nek musim ngeneki turah-turah, tapi lek musim
kemarau tetep beli. …Perkembanganne rumput
kalau tidak ada air kan lama. Lek ngeten misal
bar diriti la wis langsung duwur”. (tidak perlu
beli rumput, cukup menanam di lahan pekarangan
sendiri. Iya kalau musim penghujan persediaan
banyak dan melimpah, tetapi kalau musim
kemarau tetap beli rumput. …Perkembangan
rumput jika tidak ada air itu lama. Kalau sekarang
saat musim penghujan misalkan setelah dipotong
bisa langsung tumbuh tinggi).

7) Pandangan Masyarakat Terhadap Usaha Ternak Sapi Perah

Pandangan masyarakat saat ini pesimis terhadap

kemajuan usaha peterternakan sapi perah di Kecamatan Cepogo.

Seperti yang disampaikan oleh bapak Gito Triyono;

“Posisi sekarang memang sapi perah itu bisa


dikata agak mundur. Mundurnya ya ini, untuk
biaya budidaya dan hasil yang didapatkan,
sementara diitung-itung kurang sebanding,
kurang menguntungkan. Peternak cenderung
beralih ke sapi potong, padahal kan sapi perah
pun juga afkirannya itu kadang dijual akhirnya
sebagai komoditas bisnis juga. …cenderung
kemunduran ini juga pengaruh dari para pelaku
itu sendiri bahwa sekarang anak muda tidak mau
berternak sapi (sapi perah) karena beternak sapi
itu kan kesannya kotor. …Karena anak muda
kadang yang rutin itu kan gak mau, seperti
pengen bebas dan sebagainya. Kesannya
sekarang memang para pemuda untuk berternak
ini cenderung lesu”.

Pandangan generasi muda yang pesimis terhadap

peternakan sapi perah ini merupakan masalah serius terhadap

perkembangan commit
peternakan sapi perah kedepannya. Generasi
to user
perpustakaan.uns.ac.id 124
digilib.uns.ac.id

muda seharusnya mengupayakan berbagai cara demi kemajuan

peternakan sapi perah terutama terkait dengan produktifitas susu

dalam negeri, bukan malah meninggalkannya.

Sesuai dengan pernyataan bapak Hari Purnomo;

“Kalau generasi muda disini hanya sebagain


kecil, kurang dari 30 % yang mau melanajutkan
usaha dibidang sapi perah. Disini yang mau
bergerak tekun hanya beberapa, yang lainnya
lebih memilih bekerja di pabrik, kerja kantoran,
dan lain-lain”.

Diperkuat oleh informasi dari bapak Sugiarto;

“Mereka sudah terkooptasi oleh kejadian-


kejadian masa lalu. Istilahnya sudah dihantui
oleh hal-hal yang kemarin-kemarin, ini bukan
hanya di sektor peternakan, tapi di sektor
pertanian secara umum”.

Tambahan dari bapak Gito Triyono;

“Image masyarakat idep-idep nyelengi


(pandangan masyarakat hanya untuk menabung),
intinya kita memelihara sapi dan bertani, kita
bisa makan, bisa nyandang, bisa menyekolahkan
anak, kita punya sapi dan sapinya masih ya
berarti kita untung. Kalau secara teknis kita
berapa untungnya ya kita tidak tahu”.

8) Jumlah Ketersediaan Tenaga Kerja

Ketersediaan tenaga kerja yang bersedia untuk bekerja di

peternakan sapi perah termasuk dalam keberlanjutan rendah

karena tenaga kerja yang ada lebih memilih untuk bekerja diluar

sektor peternakan. Upah yang diterima tidak sebanding dengan

tanggung jawab yang harus dikerjakan seperti mencarikan


commit to user
rumput, membersihkan tempat kandang, dan melakukan
perpustakaan.uns.ac.id 125
digilib.uns.ac.id

pemerahan yang kesannya berada di lingkungan yang kotor.

Rata-rata gaji yang diterima pegawai/karyawan yaitu di angka

Rp.1 juta-an. Seperti yang disampaikan oleh bapak Sukirno; “Yo

sekitar satu juta perbulan” (ya sekitar Rp.1.000.000 per bulan).

9) Partisipasi Keluarga dalam Usaha Ternak

Kegiatan usaha peternakan karena pada dasarnya

merupakan usaha rumahan, bantuan tenaga dari para anggota

keluarga sudah menjadi kebiasaan. Para peternak dalam satu

keluarga sering bantu-membatu atau kerjasama tergantung

dengan beberapa pekerjaan yang bisa dilakukan oleh anggota

keluarga. Seperti yang dialami oleh bapak Tiyoso Ngatemen jika

dalam proses perawatan dan pengadan pakan ternak beliau

lakukan sendiri, namun untuk urusan pemerahan dilakukan oleh

anak beliau. “Kulo biasane nyombor kok mas, …seng merah

anak e kulo” (saya biasanya memberi makan, …yang merah

anak saya) ucap bapak Tiyoso Ngatemen.

Beberapa peternak yang menggunakan karyawan pun

juga tetap terjalin hubungan kerjasama. Seperti yang dialami

informan, bapak Sukirno yang merupakan karyawan di salah

satu peternak;

“Kalau merah itu juga ikut merah dia. Misalkan


baru merah lima kalau pagi itu saya merah tiga,
bapaknya merah dua. Terkadang juga ikut bantu
cari rumput, kerjasama, meskipun saya sudah
commit
digaji tapi to user
dia tetap ikut bantu-bantu. Begitupun
perpustakaan.uns.ac.id 126
digilib.uns.ac.id

kalau saya ada kesibukan ya saya tinggal, dia


yang melakukan gitu”.

Diperkuat oleh pernyataan ibu Sri Nuryati;

“Bapak e enggih bantu, ngasih makan yo bapak e


bantu, bapak e gak bisa nongkrong-nongkrong
lihat-lihat…, dulu sebelum punya karyawan ya
saya yang bantu” (bapak Trimadi iya bantu,
seperti yang memberi makan buat ternak, bapak
Trimadi tidak bisa hanya nongkrong-nongkrong
melihat-lihat, dahulu sebelum memiliki karyawan
saya yang bantu).

10) Tingkat Penyerapan Tenaga Kerja Usaha Ternak

Tingkat penyerapan tenaga kerja masuk dalam kategori

sedang karena sebagian peternak saja yang memperkerjakan

karyawan dalam mengelola usahnya, sedangkan yang lainnya

dikerjakan sendiri dalam ruang lingkup usaha keluarga dengan

bantuan dari anggota keluarganya. Peternak lebih memilih

dikerjakan sendiri karena pertimbangan besaran pendapatan

penjulan susu yang dirasa semakin mengecil jika menggukan

karyawan karena adanya biaya gaji/upah kepada

karyawan/pegawai. Penyerapan tenaga kerja lebih kedalam

penyerapan tenaga kerja yang terjadi dalam ruang lingkup

keluarga.

11) Pemberdayaan Masyarakat dalam Kegiatan Peternakan

Pemberdayaan masyarakat juga masuk dalam kategori

keberlanjutan sedang karena usaha peternakan umumnya


commit to user
diakukan sendiri dalam ruang lingkup keluarga. Selain itu, usaha
perpustakaan.uns.ac.id 127
digilib.uns.ac.id

peternakan tidak terfokus pada penghasil susu segar yang

berdasarkan pada suatu target penghasilan tertentu, namun

hanya sebagai tabungan kekayaan dalam bentuk binatang hidup.

Operasional usaha peternakan sapi perah dilakukan secara

alakadarnya. Susu yang dihasilkan oleh peternak pun hanyalah

sebagai bahan baku bagi kegiatan industri di daerah lain.

Alangkah baiknya jika susu segar yang dihasilkan dapat dikelola

sendiri menjadi barang akhir yang tentunya akan banyak

penyerapan atau pemberdayaan masyarakat lingkungan sekitar.

12) Peranan Modal Sosial dalam Kegiatan Peternakan

Kegiatan peternakan sapi perah, khususnya dalam hal

proses produksi yaitu pemerahan susu merupakan kegiatan yang

dilakukan setiap hari dengan intensitas dua kali dalam sehari.

Setelah proses pemerahan susu selesai dilakukan, pihak pembeli

yaitu seperti pembeli perorangan maupun pengurus koperasi

melalui tim kerjanya harus segera melakukan proses

pengumpulan susu dengan mendatangi rumah-rumah peternak

untuk dibawa menuju kantor KUD Cepogo dan segera dilakukan

proses pendinginan, karena jika terlambat hingga beberapa jam,

bisa menyebabkan kondisi susu segar menjadi buruk dan lebih

parahnya bisa tercemar oleh mikroba/bakteri yang dapat

merusak kualitas susu.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 128
digilib.uns.ac.id

Rasa percaya sebagai unsur modal sosial yang begitu

kental antara peternak (anggota koperasi) dengan pengurus

koperasi. Peternak (anggota) percaya bahwa pihak koperasi akan

mengambil susunya pada jam-jam tertentu, sedangkan tim

koperasi juga percaya jika peternak akan melakukan proses

pemerahan pada jam-jam yang biasa dilaksanakannya

pemerahan. Modal sosial yang lain seperti rasa saling

membutuhkan juga sangat terlihat melalui deskripsi diatas serta

dukungan berbagai peristiwa, aktivitas, dan prilaku yang terjadi

di lokasi penelitian. Modal sosial besar pengarunya dalam

menunjang keberhasilan usaha seorang peternak karena sangat

bergantung pada pihak pengepul, pedagang atau pembeli susu.

13) Pola Hubungan Masyarakat dalam Kegiatan Peternakan

Hubungan masyarakat dalam kegiatan peternakan masuk

dalam kategori keberlanjutan tinggi karena selama observasi

peneliti di lapangan bahwa didapatkan hubungan kerjasama

antara peternak dengan peternak, antara peternak dengan

pemerintah daerah, dan kerjasama antara peternak dengan

karyawannya. Kerjasama terlihat pada kegiatan usaha

peternakan yang terwadahi dalam kelembagaan kelompok

tani/ternak, kelembagaan koperasi dan lain-lain.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 129
digilib.uns.ac.id

c. Dimensi Ekonomi

Dimensi Ekonomi yang menjadi keunggulan atau bisa

dikatakan masuk dalam kategori keberlanjutan tinggi yaitu berada

pada indikator keuntungan usaha ternak secara yang dipandang

secara umum, kemudahan penjualan hasil pemerahan, dan

ketersediaan tempat menjual/ memasarkan hewan ternak. Sedangkan

indikator lain yang perlu mandapat perhatian lebih yaitu pada

indikator produktivitas susu hewan ternak dan daya saing komoditas

usaha peternakan sapi perah dibandingkan dengan usaha-usaha yang

lain. Selengkapnya dapat dilihat pada tabel 4.13.

Tabel 4.13
Indikator Keberlanjutan Usaha Peternakan Sapi Perah dalam
Dimensi Ekonomi.
Kategori Keberlanjutan
No. Indikator
Rendah Sedang Tinggi
1 Biaya budidaya ternak +
2 Keuntungan usaha ternak +
3 Produktivitas susu hewan ternak +
Hasil usaha ternak bagi komoditas
4 +
lain
Kemudahan penjualan hasil
5 +
pemerahan
Ketersediaan tempat
6 +
menjual/memasarkan ternak
7 Daya Saing Komoditas +
Sumber: Data diolah 2016.

1) Biaya Budidaya Ternak

Biaya budidaya ternak masuk dalam kategori

keberlanjutan sedang karena usaha peternakan yang ada di

Kecamatan Cepogo dipengaruhi oleh musim. Ketika musim


commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 130
digilib.uns.ac.id

kemarau melanda maka peternak mengalami kekurangan pakan

utama yaitu hijuan sehingga diharuskan bagi peternak untuk

membeli hijauan yang berada di luar daerah. Pembelian pakan

hijuan tentunya akan menambah pengeluaran bagi peternak

sehingga pendapatan usaha akan semakin kecil.

Rendahnya pendapatan yang diterima peternak dari hasil

penjulan susu karena lemahnya pengelolaan pakan dan harga

jual susu segar di KUD Cepogo yang relaitif lebih murah.

Berikut pernyataan informan penelitian, bapak Sugiarto;

“Rendahnya pendapatan karena lemahnya


manajemen pengelolaan pakan karena memang
pengeluaran berternak paling banyak di
pakannya sebesar 70%. Disana (Cepogo) itu juga
harga susu masih relatif rendah, kalau mau
menjual ke luar ya bisa lebih mahal, seperti ke
perorangan atau ke KUD Boyolali”.
“Yang namanya budidaya ternak itu investasi
paling besar di pakan, 70% di pakan, lainnya itu
investasinya kecil. Jadi kalau kita analisa,
bagaimana kita betul-betul memanajemen
pakannya karena semuanya tergantung di
pakannya untuk produksi. …yang namanya
berternak itu udah seperti industri, semua uang
mainnya, enggak ada yang tidak dinilai uang.
Seperti pakan juga duit, kandang juga perlu duit.
Kalau kita nantinya tidak bisa untuk menutup
atau mengganti yang telah kita keluarkan kan pie
(bagaimana), harus dirubah itu” imbuh bapak
Sugiarto.

2) Keuntungan Usaha Ternak

Keuntungan usaha ternak masuk dalam kategori

keberlanjutan tinggi karena selain mengusahakan susu sebagai


commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 131
digilib.uns.ac.id

produk unggulan yang bisa menghasilkan pendapatan, juga dari

hewan ternak itu sendiri, seperti kelahiran anak sapi dan hasil

penjualannya untuk sapi yang sudah besar. Selain itu,

pemanfaatan limbah atau kotoran ternak yang bisa bernilai

ekonomis yaitu dengan cara dipergunakan sebagai biogas dan

sebagai pupuk kandang.

Penjualan susu di Kecamatan Cepogo yang masuk dalam

kategori susu berkualitas baik yaitu pada angka Rp.4.500 jika

dijual ke perorangan atau ke KUD Boyolali. Namun harga yang

ditawarkan oleh KUD Cepogo yaitu hanya Rp.3.800. hal ini

berdasarkan informasi yang disampaikan oleh bapak Sugiarto;

“Susu sekarang sudah Rp. 4.500 tapi di Cepogo


itu masih Rp. 3.800”. Diperkuat dengan informasi
dari bapak Mujiono; “neng KUD rien niku tigo
wolu, tapi sakniki teng pak Bakiri meriki regone
Rp.4.500” (di KUD Cepogo harganya Rp.3.800,
tapi sekarang di perorangan seperti pak Bakiri itu
harganya Rp.4.500).

Harga sapi perah jantan dewasa di lokasi penelitian

termasuk tinggi, yaitu pada kisaran harga Rp.14.000.000 hingga

Rp.18.000.000 sedangkan sapi jantan dewasa bisa sampai pada

angka Rp.25.000.000. seperti yang disampaikan oleh bapak

Tiyoso Ngatemen;

“Paling murah enggeh empat belas. Paling


larang enggeh wolulas. lak lanang iku teko
selawe” (paling murah ya Rp.14.000.000. paling
mahal ya Rp.18.000.000. kalau sapi jantan itu
bisa sampai Rp.25.000.000).

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 132
digilib.uns.ac.id

Bapak Gito Triyono sebagai informan penelitian

menambahkan;

“Disamping hasil susu, sapi kan juga dari induk


sapi itu sendiri termasuk keturunannya juga
hasilnya. …sapi perah juga disetor ke luar kota,
sehingga disamping ada ternak sapi yang diperah
juga ada sapi perah yang diperdagangkan”.

Peternak penghasil susu telah diberikan kebebasan dan

kemudahan demi meningkatkan penghasilannya yaitu dengan

cara memotong mata rantai pemasaran seperti dengan cara

menjulanya langsung kapada industri pengolahan susu, berikut

yang disampaikan oleh informan penelitian, bapak Sugiarto;

“Dengan adanya harga susu yang sekian, yang


diterima petani kok masih segitu-segitu aja, ini
pemerintah Boyolali pun juga punya ide pie
carane (bagaimana caranya) supaya memotong
mata rantai pemasaran susu, mulai dari peternak
ke loper, loper ke KUD, KUD ke IPS (industri
pengolahan susu). …tahun 1998 itu sudah kami
fasilitasi berani gak langsung dengan IPS”.

Diharapkan peternak bisa langsung menjual susu segar

ke IPS (Industri Pengolahan Susu) agar pendapatan yang

diperoleh semakin tinggi karena pada dasarnya harga jual susu

ke IPS lebih tinggi dibanding harga jual ke perorangan maupun

KUD. Menurut pernyataan bapak Sugiarto;

“Jadi selama ini di IPS itu kan ada fee. Fee dari
kita setor susu satu liter itu ada berapa sen, lah
itu harus kembali kepada petani. Tapi nyatanya
kan enggak, dikelola oleh KUD, dikelola oleh
GKSI (Gabungan Koperasi Susu Indonesia)
wilayah jawa tengah itu tidak sampai ke petani,
mestinya itu kembali ke petani seperti harga
pakan yang disubsidi”.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 133
digilib.uns.ac.id

Bapak Sugiarto juga menambahkan jika peternak ingin

mendapatkan penghasilan lebih seharusnya susu segar dapat

dikelola sendiri mulai dari awal hingga sampai akhir seperti

dengan membuat final produk;

“Seharusnya disitu punya lahan, dibikin kandang,


diperas sendiri, diolah sendiri, trus dijual sendiri,
jadi tidak perlu ke KUD karena kita dari
pemerintah pun tidak bisa mengharuskan untuk
menjual ke KUD sana, mana yang
menguntungkan bagi peternak itu untuk lebih
sejahtera” ucap bapak Sugiarto.

3) Produktivitas Susu Hewan Ternak

Ternak-ternak yang dipelihara mampu meghasilkan susu

berkualitas baik hingga pada usia lima kali hingga tujuh kali

masa laktasi, artinya mampu melahirkan anakan dan

menghasilkan susu dengan maksimal. Sapi yang sudah tua dapat

dijual di pasar hewan, kemudian dapat pula melakukan

pembelian bibit sapi perah di lokasi pasar tersebut dengan

mudah. Produksi susu sapi perah rata-rata yang baru melahirkan

yaitu antara 10 liter hingga 15 liter per hari, seperti yang

disampaikan oleh ibu Sri Nuryati; “Kalau sapi satu sekitar 10-

an liter, berarti sekitar 30-an liter”. Karena sapi perah produksi

penghasil susu yang dimilikinya yaitu berjumlah 3 ekor.

Kemudian menurut pernyataan bapak Sukirno;

“Kalau sapi yang super gitu aja, itu bisa nyampai


15 liter, itu kondisi baru melahirkan. Normal-
normalnyacommit
susuto itu
userkalau sudah satu bulan
sampai dua bulan setelah beranak, itu bagus-
perpustakaan.uns.ac.id 134
digilib.uns.ac.id

bagusnya. Nanti setelah itu kan pasti turun-turun.


Kalau yang paling jelek itu ya yang paling minim
juga sekitar 10 liter”.

Informan lain, bapak Sumyani juga sependapat bahwa

usaha petenakan sapi perah yang digelutinya mampu

menghasilkan susu segar tertinggi sebesar 15 liter per ekor pada

sapi terbaiknya. Produksi susu pada sapi terbaik yang dimiliki

oleh Ibu Suratmi/ bapak Sutarto yaitu 12 liter per hari. Berbeda

dengan produktivitas sapi terbaik yang dimiliki oleh bapak

Tiyoso Ngatemen yaitu 22 liter per hari. Sedangkan

produktivitas sapi perah terbaik juga ada yang sampai produksi

sangat tinggi dengan kisaran angka 23 – 26 liter per hari yaitu

pada usaha peternakan yang digeluti oleh bapak Hari Purnomo/

bapak Hadi Martono.

Kondisi yang terjadi di Kecamatan Cepogo bahwa

peternak yang melakukan pemerahan atau menghasilkan susu

untuk diperjual belikan hanyalah sebagian kecil, sehingga angka

yang tercatat sebagai produksi susu menunjukan kecendrungan

yang semakin menurun, hal ini juga terbukti bahwa jumlah

peternak mengalami penuruan dari waktu ke waktu. Lesunya

peternak dalam upaya menghasilkan susu secara maksimal serta

kecendrungan susu yang dihasilkan hanya disusukan ke ternak

anakan untuk menunjang tumbuh kembang anak sapi (pedet),

serta banyaknya peternak yang beralih untuk lebih fokus

budidaya ternakcommit to user


sapi perah jantan atau sapi pedaging/potong.
perpustakaan.uns.ac.id 135
digilib.uns.ac.id

Hal ini sependapat dengan pernyataan informan

penelitian, bapak Sugiarto sebagai berikut;

“Harga susunya disitu kan rendah, penjualan


semua produknya itu kan ke KUD, sedangkan
pengelolaan KUD sekarang ini sudah banyak
yang berkepentingan sendiri, terjadi
pertentangan-pertentangan akhirnya anggota-
anggota kan banyak yang keluar. Tidak resmi
keluar cuma tidak aktif lagi, itu yang pertama.
Yang kedua seperti sapi perah yang meteng
(bunting) trus dijual, tidak fokus menghasilkan
susu lagi. Misal keluar pedet, susunya cuma buat
disusukan. Yang ketiganya banyak yang beralih
ke sapi potong”.

Secara umum, produksi susu di Kecamatan Cepogo saat

ini hanya menghasilkan susu pada kisaran 11.000 liter per hari,

atau hanya menghasilkan 4 juta liter per tahun, tidak sebanding

dengan jumlah banyaknya sapi perah di Kecamatan Cepogo

yang berjumlah 18.173 ekor.

Menurut bapak Sumyani;

“Sekarang ini produksinya kan tinggal 11 – 12”


(sekarang ini produksinya hanya 11.000 sampai
12.000 liter per hari)”.

Didukung informasi dari bapak Sugiarto;


“Di Cepogo itu jumlah ternaknya banyak, cuma
yang diperah itu rendah. …Ternaknya hanya
untuk sambilan, untuk memproduksi kotorannya
saja”.

4) Hasil Usaha Ternak Bagi Komoditas Lain

Hasil usaha ternak bagi komoditas lain yaitu masuk

dalam kategori keberlanjutan sedang karena kegiatan usaha


commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 136
digilib.uns.ac.id

ternak tidak sepenuhnya bermanfaat bagi komoditas lain, hanya

saja pemanfaatan limbah/kotoran ternak dipergunakan sebagai

pupuk kandang. Terjadinya substitusi atau pertukaran

pemanfaatan antara peternakan dengan pertanian tanaman

pangan dan perkebunan.

Berikut pernyataan bapak Gito Triyono;

“Antara sapi dengan lahan pertanian kan


substitusi, limbahnya tani untuk pakan ternak,
limbahnya ternak untuk pupuk/untuk
menyuburkan tanah kan gitu. Jadi biasanya yang
bisa bertenak itu yang sudah mempunyai lahan
pertanian yang memadai untuk ternak. Kalau
punya lahan tapi tidak punya ternak kan nanti
limbahnya tidak terpakai ya minimal untuk pakan
ternak, kebalikannya kalau misalnya limbah sapi
tidak punya lahan pertanian ya bakalan
pupuknya hanya dibuang. Padahal kan pupuknya
kalau dijual ya bisa cuma harganya kan tidak
begitu mahal, belum lagi dengan sumber daya
tenaga katakanlah petani kan katakanlah
berangkat bawa pupuk dan pulangnya bawa
rumput, katakanlah sambil menyelam minum air.
Jadi kan dua pekerjaan yang bisa dilakukan
sekali tindakan, disanakan ada efisiensi”.

5) Kemudahan Penjualan Hasil Pemerahan

Penjualan hasil pemerahan yang masih dalam bentuk

susu segar sangat mudah dilakukan sehingga hasil analisis

masuk dalam kategori keberlanjutan yang tinggi. Penjualan susu

segar bisa dilakukan ke pedagang perorangan/tengkulak,

koperasi KUD Cepogo, Koperasi KUD Boyolali, KUD

Mojosongo dan bisa langsung dijual ke IPS (Industri


commit to user
Pengolahan Susu).
perpustakaan.uns.ac.id 137
digilib.uns.ac.id

Harga susu segar di perorangan yaitu pada kisaran antara

Rp.4.500 sampai Rp.4.800, di KUD Cepogo Rp.3.800, di KUD

Boyolali dan KUD Mojosongo dengan harga Rp.4.500 (hasil

wawancara selama masa penelitian). Sedangkan jika langsung

ke IPS bisa lebih dari itu semua. Ketersediaan lokasi penjualan

sangat bermanfaat bagi kemudahan pemasan susu segar. Kondisi

demikan menjadi kekuatan sekaligus peluang bagi

perkembangan usaha peternakan sapi perah dalam menunjang

tercapainya swasembada susu nasional.

Harga jual susu di KUD Cepogo termasuk paling rendah

karena di KUD Cepogo pengecekan produknya tidak seketat

yang dilakukan pada tempat penjulan lain seperti di KUD

Mojosongo dan KUD Boyolali. Berikut pernyataan bapak

Sugiarto; “Karena memang pengecekan kualitas susu di Cepogo

itu tidak seketat yang di daerah lain, seperti Mojosongo,

Boyolali Kota”.

6) Ketersediaan Tempat Menjual/Memasarkan Ternak

Penjualan ternak sapi perah masuk dalam kategori

keberlanjutan tinggi karena di Kecamatan Cepogo kegiatan jual

beli ternak bisa dilakukan antar para peternak maupun dengan

pedagang dengan sangat mudah. Selain itu penjualan sapi perah

juga bisa dilakukan di tempat yang khusus untuk kegiatan jual

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 138
digilib.uns.ac.id

beli hewan ternak, yaitu di Pasar Sunggingan yang berada di

Kecamatan Boyolali.

7) Daya Saing Komoditas

Daya saing komoditas peternakan sapi perah dalam

menghasilkan susu masih kalah dengan komoditas pertanian

yang lainnya sehingga menghasilkan analisis bahwa kategori

keberlanjutannya masuk dalam kategori rendah. Daya saing

komoditas peternakan sapi perah dirasa telah tergeser oleh

komoditas yang lain seperti pertanian tanaman tembakau dan

cengkeh. Seperti yang disampaikan oleh bapak Sugiarto;

“Ini semua karena memang dari tipologi atau


dipengaruhi oleh daya jualnya yang kalah
dengan yang lain, mudah sekali mereka
mengganti komoditas, beralih profesi. Bukannya
beralih kok enggak berternak, berternak tetap,
nanging ini enggak menjadi andalannya,
beberapa petani lebih memilih menanam
tembakau, menanam cengkeh” (ini semua karena
memang dari tipologinya atau dipengaruhi oleh
daya jualnya yang kalah dengan yang lain, mudah
sekali mereka mengganti komoditas, beralih
profesi. Bukan berarti beralih itu tidak berternak,
berternak pun tetap dilakukan hanya saja tidak
menjadi andalannya. Beberapa petani/peternak
lebih memilih menanam tembakau, menanam
cengkeh).

d. Dimensi Infrastruktur dan Teknologi

Dalam dimensi Infrastruktur dan tenologi telah diketahui dari

ketujuh indikator, tiga diantaranya masuk dalam kategori

commit
keberlanjutan sedang, to user
dan dua masuk dalam kategori keberlanjutan
perpustakaan.uns.ac.id 139
digilib.uns.ac.id

rendah sedangkan dua indikator masuk dalam kategori keberlanjutan

tinggi. Ditemukan indikator keberlanjutan rendah dan tinggi yang

sama besar, sedangkan yang masuk dalam keberlanjutan sedang

lebih mendominasi, artinya pada indikator tersebut perlu adanya

perubahan/inovasi infrastruktur dan teknologi terbarukan agar dapat

menunjang tercipta keberlanjutan usaha peternakan sapi perah yang

lebih tinggi yaitu agar dapat menghasilkan susu yang melimpah demi

terciptanya swasembada susu nasional. Komposisi indikator yang

masuk dalam kategori rendah hingga tinggi dapat diperhatikan pada

tabel 4.14.

Tabel 4.14
Indikator Keberlanjutan Usaha Peternakan Sapi Perah dalam
Dimensi Infrastruktur dan Teknologi.
Kategori Keberlanjutan
No. Indikator
Rendah Sedang Tinggi
1 Dukungan sarana dan prasarana +
2 Pedoman teknologi usaha ternak +
3 Partisipasi penyuluhan +
Tingkat penguasaan dan penerapan
4 +
teknologi
5 Standarisasi mutu produk ternak +
Ketersediaan industri pengolahan
6 +
susu
7 Pemasaran produk pengolahan susu +
Sumber: Data diolah 2016.

1) Dukungan Sarana dan Prasarana

Dukungan sarana dan prasarana dari pemerintah sudah

banyak diberikan kepada para peternak, seperti yang

disampaikan oleh bapak Sugiarto;

“Dukungan atautofasilitas
commit user dari pemerintah sama,
kita berikan sama, misal pembinaan, pelatihan,
perpustakaan.uns.ac.id 140
digilib.uns.ac.id

penyuluhan dan sebagainya disini kita berikan


sama kepada kelompok-kelompok ternak sapi
perah itu. Gak ada pengecualian”.

Selain itu, di Kecamatan Cepogo juga sedang dalam

proses pembenahan peternakan sapi perah seperti yang terjadi di

Desa Sumbung dengan cara bekerjasama dengan pihak asing

yaitu dengan negara New Zealand. Hal ini disampaikan oleh

bapak Sugiarto;

“Saya dukung kerjasama dari New Zealand


dengan Koperasi Serba Usahanya itu, itu sudah
taken kontrak untuk 6 (enam) tahun kedepan. Itu
ada pembinaan mulai dari pola pemerahan -
sampai ke tingkat produksi sampai ke
pengolahannya”.

2) Pedoman Teknologi Usaha Ternak

Pedoman teknologi usaha ternak sapi perah masuk dalam

keberlanjutan sedang karena walaupun adanya sosialisasi

teknologi seperti pengolahan pakan ternak dan lain sebagainya,

namun dalam pelaksanaannya tidak maksimal dan tidak merata

di semua tempat. Hal ini dibenarkan oleh bapak Sugiarto;

“Teknologi itu dari segi pemerahan, pemberian


pakan, bagaimana dia reproduksinya.
Penguasaan teknologi seperti pengolahan
makanan itu semua sudah dilatih”.

3) Partisipasi Penyuluhan

Partisipasi peternak dalam kegiatan penyuluhan

pertanian masuk dalam kategori keberlanjutan rendah karena

sebagian peternak mengaku malas dalam mengikuti kegiatan-


commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 141
digilib.uns.ac.id

kegiatan penyuluhan pertanian. Peternak mengaku tidak mau

datang ke lokasi dimana penyuluhan itu dilaksanakan karena di

rumah ada pekerjaan yang tidak bisa ditinggalkan. Kebanyakan

peternak hanya mengikutsertakan salah satu anggota keluarga

untuk menghadiri kegiatan penyuluhan.

Berikut pernyataan informan penelitian, bapak Gito

Triyono;

“Kalau mung dikumpal-kumpolke iku misale sak


omah wong papat, sing dikumpolke anake, sing
ngaret mbok ne trus seng meres pakne, lah iki rak
nyantol karena anak e ora dongeng. Apa yang ia
dapatkan di pelatihan/penyuluhan enggak
disampaikan ke orang tuanya”. (kalau hanya
dikumpulkan itu misalnya satu rumah 4 orang,
yang dikumpulkan untuk menghadiri penyuluhan
hanya anaknya, sedangkan yang bekerja mencari
rumput itu ibunya, yang memeras sapi itu
bapaknya. Kondisi demikian tidak bermanfaat
karena anaknya tidak bercerita. Apa yang
didapatkan di pelatihan/penyuluhan tidak
disampaikan kepada orang tuanya).

4) Tingkat Penguasaan dan Penerapan Teknologi

Tingkat penguasaan dan penerapan teknologi di

Kecamatan Cepogo sudah cukup mumpuni, hal ini terlihat pada

penerapan teknologi fermentasi pakan, teknologi

kompos/biogas, namun dalam pelaksanaannya tidak merata di

semua tempat dan penggunaan teknologi mesin yang masih

sangat minim. Penggunaan mesin seperti misalnya mesin

pemerahan tidak ditemukan sama sekali. Sesuai dengan


commit to user
pernyataan yang disampaikan oleh bapak Sukirno;
perpustakaan.uns.ac.id 142
digilib.uns.ac.id

“Kalau mesin pemerah boten enten, tapi kalau


fermentasi makanan sudah ada, penyuluhan
makanan ternak ben rodok awet” (kalau mesin
pemerahan tidak ada, tetapi kalau fermentasi
makanan sudah ada, penyuluhan makanan ternak
agar lebih awet).

Ditambahkan pernyataan oleh informan penelitian, bapak

Sumyani;

“Teknologinya untuk saat ini kompos, sama


biogas. Jadi sudah banyak ini yang buat biogas.
Empat ekor sapi itu sudah bisa untuk buat
biogas”.

5) Standarisasi Mutu Produk Ternak

Kualitas produk susu yang dihasilkan peternak dalam

kegiatan transaksi penjualan langsung ke IPS seperti yang

diharapkan oleh pemerintah daerah terkendala pada kualitas dan

kuantitas serta kesiapan peternak itu sendiri. Produk susu yang

bisa dijual langsung ke IPS (Industri Pengolahn Susu) adalah

produk susu yang kuantitasnya stabil dan kualitasnya pun harus

bagus serta sudah dalam kondisi dingin/setengah beku agar

kualitas susu tetap terjaga baik. Pembekuan susu sendiri harus

meggunakan alat cooling unit yang cukup mahal. Berikut

pernyataan informan penelitian, bapak Sugiarto;

“Kelompok kita juga belum berani, karena masuk


ke IPS itu harus kontinuitas produksi,
keterjaminan produk. …Suatu kelompok
selayaknya mempunyai pendinginan, …Kalau
kita langsung ke IPS, produk kita harus dingin
karena sebelum diproses kan kalau misal sudah
dingin kan bisa tahan lama untuk mengurangi
commit
kerusakan susu”.to user
perpustakaan.uns.ac.id 143
digilib.uns.ac.id

Solusi yang bisa dilakukan peternak agar hasil susunya

tetap bisa dijual dengan harga seadanya yaitu dengan

menjualnya ke pihak perorangan maupun dijual ke lembaga

koperasi yang ada. Penjualan ini tentunya tidak semahal

penjulan langsung ke IPS, namun hal itu akan tetap memberikan

keuntungan bagi peternak karena tidak diperlukan modal besar

untuk membeli mesin cooling unit. Susu segar yang dihasilkan

peternak pun sangat berkualitas karena di tempat penjualan

seperti di KUD telah ada alat pendingin/cooling unit sehingga

kualitas susu telah memenuhi standar produk bahan baku Susu

Segar Dalam Negeri (SSND).

6) Ketersediaan Industri Pengolahan Susu

Di lokasi penelitian yaitu di Kecamatan Cepogo tidak

ditemukan industri pengolah susu. Industri pengolahan susu

yang ada hanya berada di luar Kecamatan Cepogo yaitu industri

pengolahan susu yang berada di kota kabupaten. Kegiatan

peternakan sapi perah di Kecamatan Cepogo dominan hanya

sebagai penghasil bahan baku susu segar untuk industri daerah

lain.

Berikut pernyataan bapak Sugiarto;

“Sejauh ini se-Boyolali IPS ada Susu Bendera,


Indolakto (Milk Group), So Good So Nice, Sari
Husada, Susu Nusantara. Di Cepogo enggak ada
IPS sama sekali. Peternak Cepogo kalaupun ada
yang ke commit
IPS, itutobanyak
user yang lari ke Indolakto.
Kebanyakan IPS-IPS disitu cuma sebagai
perpustakaan.uns.ac.id 144
digilib.uns.ac.id

penampungan, kalau yang di Teras yang


Indolakto itu sudah sampai setengah jadi itu
dibuat disini (Boyolali kota). Tapi untuk yang
Susu Bendera yang di belakang KUD Mojosongo
itu hanya untuk pendinginan tok (saja), trus
(kemudian) dikirim ke Jakarta”.

7) Pemasaran Produk Pengolahan Susu

Usaha peternakan sapi perah akan memberikan

keuntungan lebih bagi para peternak jika susu yang dihasilkan

mampu dikelola mejadi produk baru atau barang jadi yang siap

konsumsi untuk umum. Kemampuan peternak dalam hal ini pun

dari segi sumber daya manusianya sudah cukup mumpuni dalam

menciptakan produk jadi. Namun, kendala yang menjadi

ancaman keberlanjutannya adalah dalam sisi pemasarannya.

Pemasaran produk susu hasil akhir mengalami banyak

kendala, seperti kurangnya promosi produk sehingga tidak

diketahui oleh para calon konsumen, kurangnya minat dan

kepercayaan konsumen karena produk tersebut pada umumnya

belum memiliki izin resmi pemerintah. Mengingat, pembuatan

izin dalam industri pengolahan susu memerlukan pemenuhan

persyaratan yang sangat ketat dan tidak memungkinkan

terpenuhi bagi peternak/kelompok ternak.

Melihat pada prospek pasar dan harga susu yang bagus,

besarnya permintaan susu, dan tingginya daya beli masyarakat

tidak serta merta memberikan


commit to user kemudahan bagi para peternak
perpustakaan.uns.ac.id 145
digilib.uns.ac.id

untuk membangun bisnis pengolahan susu. Setiap kali peternak

melakukan produksi/pengolahan susu untuk menjadikan barang

baku yang siap konsumsi selalu terbentur pada pemasarannya.

Seperti yang diungkapkan oleh informan, bapak Sutarto;

“Dulu ada, namun disini masalah pemasarane,


pemasarane angel. Susu mau dibuat apa disini,
mending jadi bahan baku bisa langsung jadi duit”
(dahulu ada, namun disini masalah
pemasarannya, pemasarannya susah. Susunya
juga mau dibuat apa disini, lebih baik jadi bahan
baku bisa langsung menghasilkan uang).

Ditambah pernyataan dari informan penelitian, bapak

Sugiarto;

“Rendahnya kemampuan peternak dalam


mengembangkan inovasi produk, ini muaranya ke
penjualannya yang kesulitan dalam pemasaran,
sehingga dia akan males (malas) dalam
berinovasi. Tapi kalau untuk skala kecil misal
dibuat es itu ya mampu. Tapi apa ya semua akan
buat yang seperti itu, kan enggak mungkin”.

e. Dimensi Hukum dan Kelembagaan

Cerminan hukum yang mengatur terhadap sektor peternakan

dapat terlihat dari upaya perlindungan pemerintah yang diantaranya

tertuang dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18

Tahun 2009 tentang peternakan dan kesehatan hewan, yang secara

khusus dijelaskan pada Bab II tentang asas dan tujuan dalam pasal 2

dan pasal 3, sebagai berikut.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 146
digilib.uns.ac.id

Pasal 2

1) Peternakan dan kesehatan hewan dapat diselenggarakan di

seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang

dilaksanakan secara tersendiri dan/atau melalui integrasi dengan

budidaya tanaman pangan, holtikultura, perkebunan.

2) Penyelenggaraan peternakan dan kesehatan hewan berasaskan

kemanfaatan dan keberlanjutan, keamanan dan kesehatan,

kerakyatan dan keadilan, keterbukaan dan keterpaduan,

kemandirian, kemitraan, dan keprofesionalan.

Pasal 3

Pengaturan penyelenggaraan peternakan dan kesehatan hewan

bertujuan untuk :

1) Mengelola sumber daya hewan secara bermartabat,

bertanggungjawab, dan berkelanjutan untuk sebesar-besarnya

kemakmuran rakyat;

2) Mencukupi kebutuhan pangan, barang dan jasa asal hewan

secara mandiri, berdaya saing, dan berkelanjutan bagi

peningkatan kesejahteraan peternak dan masyarakat menuju

pencapaian ketahanan pangan nasional;

3) Melindungi, mengamankan, dan/atau menjamin wilayah Negara

Kesatuan Republik Indonesia dari ancaman yang dapat

mengganggu kesehatan atau kehidupan manusia, hewan,


commit to user
tumbuhan, dan lingkungan;
perpustakaan.uns.ac.id 147
digilib.uns.ac.id

4) Mengembangkan sumber daya hewan bagi kesejahteraan

peternak dan masyarakat; dan

5) Memberi kepastian hukum dan kepastian berusaha dalam bidang

peternakan dan kesehatan hewan.

Selain itu, beberapa kebijakan yang terkait dengan

pengembangan persusuan nasional dan implementasinya tertuang

dalam beberapa peraturan, seperti; Peraturan Presiden RI No. 28

Tahun 2008 Tentang Kebijakan Industri Nasional, Peraturan Menteri

Keuangan No. 131/PMK.05/2009 Tentang Kredit Usaha Pembibitan

Sapi dan Peraturan Menteri Pertanian No. 40/Permentan/PD-

400/9/2009 Tentang Pedoman Pelaksanaan Kredit Usaha Pembibitan

Sapi.

Tabel 4.15
Indikator Keberlanjutan Usaha Peternakan Sapi Perah dalam
Dimensi Hukum dan Kelembagaan.
Kategori Keberlanjutan
No. Indikator
Rendah Sedang Tinggi
1 Tingkat keamanan ternak +
Pengembangan industri pengolahan
2 +
susu lokal
Keberadaan dan peran lembaga
3 +
penyuluhan
Keberadaan lembaga/organisasi
4 +
koperasi
5 Keberadaan lembaga keuangan +
Keberadaan kelompok ternak sapi
6 +
perah
Keikutsertaan peternak dalam
7 +
kelompok
Sumber: Data diolah 2016.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 148
digilib.uns.ac.id

1) Tingkat Keamanan Ternak

Lokasi penelitian yang bertempat di Kecamatan Cepogo

memiliki tingkat keamanan yang tinggi. Hal ini diperjelas oleh

informan penelitian, bapak Tiyoso Ngatemen; “Dijamin aman”

dan informasi dari bapak bapak Sutarto; “Ya aman, kalau disini

enggak ada masalah”. Serta informasi dari bapak Purno

Wiyono;

“Teng mriki lak neng omah, daerah mriki lak


neng jobo enggeh aman-aman wae boten
dipageri boten diganggu” (disini lokasi ternak
yaitu dirumah, daerah sini kalaupun diluar juga
aman-aman saja tidak dipagar pun tidak diganggu
pencuri).

Kemudian didukung oleh informasi yang disampaikan

oleh ibu Sri Nuryati; “Kalau disini aman kok mas, sapi itu kalau

ada orang yang belum dikenal pasti bunyi, jadi kan yang punya

rumah pasti bangun”.

2) Pengembangan Industri Pengolahan Susu Lokal

Kemapuan peternak dalam menghasilkan susu

hendaknya tidak hanya sampai pada produk susu segar mentah,

namun sebisa mungkin meningkatkan mutu produk dengan cara

pengolahan susu secara lokal yang bisa berdampak pada

peningkatan keuntungan peternak. Namun yang terjadi di

lapangan bahwa perizinan yang harus dipenuhi oleh

pengembang bisa dikata sangat susah karena terkendala pada


commit to user
persyaratannya yang kompleks. Serta sumber daya manusia
perpustakaan.uns.ac.id 149
digilib.uns.ac.id

yang dirasa belum mampu mengelola kegiatan pengolahan

secara keseluruhan. Berikut pernyataan bapak Sugiarto;

“Butuh investasi, sebenernya enggak banyak, tapi


melihat kemampuan kelompok apa ya mampu,
enggak mampu. Saya jamin enggak akan mampu.
Di Boyolali (termasuk Cepogo) itu sekarang pro-
investasi, siapapun bisa mendirikan perusahaan
disini, perizinan itu sangat mudah, dijamin oleh
pemerintah. Perizinan itu bukan halangan”.

Perizinan pendirian usaha pengolahan susu sangat

mudah. Hanya saja kendala yang menjadi hambatan yaitu

pemenuhan persyaratan itu tidak mungkin mampu dipenuhi oleh

peternak. Seperti keterbatasan penyediaan tempat yang higienis

dan lain sebagainya. Seperti yang diungkapkan oleh bapak

Sugiarto;

“Sebenernya izin itu enggak sulit, cuma produk


olahan itu persyaratannya sangat ketat karena
berhubungan langsung dengan kesehatan
manusia. Kita produksi tanpa izin pun bisa mas,
tapi cara menjualnya bagaimana bisa masuk ke
ritel itu kan harus ada B-POMnya, Depkesnya”.

Ditambahkan oleh bapak Sugiarto;

“Sebenarnya perizinan itu enggak sulit, cuma


untuk memenuhi standar olahan makanan sangat
ketat, syaratnya itu sangat ketat karena
berhubungan dengan kesehatan manusia, seperti
B-POM itu sangat ketat sekali, kalau masalah
halalnya gampang, tapi Depkesnya itu yang sulit.
Semua peralatan harus memenuhi standar karena
susu itu sangat rawan sekali dengan bakteri.
Namanya usaha yang final produk itu kan ada
beberapa legalitas yang harus dipenuhi. Selain
itu ya kita sadar betul kalau SDMnya yang masih
kurang, dan selama ini sekelas KUD untuk bisa
membuat produk itu juga tidak mampu secara
keseluruhan”.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 150
digilib.uns.ac.id

3) Keberadaan dan Peran Lembaga Penyuluhan

Usaha peternakan sapi perah di Kecamatan Cepogo

adalah usaha peternakan rakyat, sebagian besar kegiatan

usahanya dilakukan oleh masyarakat sekitar dan bukanlah suatu

perusahaan-perusahaan. Peternakan rakyat dalam

perkembangannya selalu membutuhkan tambahan ilmu

pengetahuan dan pengarahan dari pihak pemerintah maupun

pihak-pihak terkait. Peranan lembaga penyuluhan sangat

diharapkan demi perbaikan struktur kerja peternakan yang lebih

efisien dan ekonomis.

Sejauh ini keberadaan dan peranan lembaga penyuluhan

masuk melalui kelompok-kelompok tani, seperti kegiatan

penyuluhan serta menjalin hubungan kerjasama dengan BPPT

Jawa Tengah untuk membina kelompok-kelompok tani. Berikut

pernyataan dari bapak Marsono selaku Petugas Disnakkan dan

Pengelola Pelayanan Kesehatan Hewan untuk wilayah

Kecamatan Cepogo;

“Kalau dari dinas itu membina kelompok-


kelompok seperti kegiatan penyuluhan untuk
bikin amoniase, silase, ada fermentasi.
Disamping itu kita juga bekerjasama dengan
BPPT Jawa Tengah untuk membina kelompok-
kelompok tani itu tujuannya biar petani itu pas
musim paceklik ada persediaan pakan agar
sapinya itu tidak dijual, tapi dipelihara dengan
pakan yang murah dan tidak mengurangi
kualitas seperti pas musim penghujan” (kalau
dari dinas itu membina kelompok-kelompok
seperti commit
kegiatanto user
penyuluhan untuk membuat
perpustakaan.uns.ac.id 151
digilib.uns.ac.id

amoniase, silase, serta fermentasi. Disamping itu,


kita juga bekerjasama dengan BPPT Jawa Tengah
untuk membina kelompok-kelompok tani itu
dengan tujuan agar petani/peternak itu ketika
musim krisi pakan hijauan tetap ada persediaan
pakan agar sapinya itu tidak dijual, tetapi
dipelihara dengan pakan yang murah dan tidak
mengurangi kualitas seperti ketika musim
penghujan).

Bapak Marsono juga menambahakan jika dalam

pelaksanaannya dalam waktu dua bulan sekali dilakukan

kegiatan pelayanan kesehatan berupa pemberian obat cacing,

vitamin, serta pengobatan intensif bagi hewan ternak yang

sedang sakit, berikut pernyataannya;

“Kalau dari pelayanan terpadu hewan itu setiap


2 bulan sekali itu pelayanan kesehatan seperti
obat cacing, vitamin, kalau ada yang sakit ya kita
obatin. Diluar itu, petani ada yang manggil
petugas dari kita, kita ada dokter hewan atau
para medis. Ada juga peternak yang manggil
swasta juga masih ada. Pelayanan terpadu
hewan itu dilakukan selama 2 bulan sekali kita
yang mendatangi kelompok”.

4) Keberadaan Lembaga/organisasi Koperasi

KUD adalah badan usaha swasta binaan dari kementrian

koperasi, Syarat mendirikan koperasi yaitu; minimal terdiri dari

20 orang anggota/calon anggota, kesamaan tujuan dan

kepentingan, menyelesaikan perizinan, dan adanya sistem

manajerial. Lembaga koperasi yang berada di Kecamatan

Cepogo sebagai salah satu koperasi yang memegang tanggung

jawab dan peranan paling tinggi yaitu pada Koperasi Unit


commit to user
Desa/KUD Cepogo yang berlokasi di Desa Mliwis.
perpustakaan.uns.ac.id 152
digilib.uns.ac.id

Dalam Sejarahnya, KUD Cepogo pernah mendapatkan

prestasi yang membanggakan. Prestasi yang pernah diraihnya

seperti juara lomba Peningkatan Keanggotaan KUD se-

Kabupaten Boyolali tahun 1989, menerima surat keputusan

sebagai KUD Mandiri dengan Surat Keputusan Nomor :

185.3/Kpts/M/IX/89, prestasi sebagai koperasi terbaik jenis

KUD Tingkat Nasional tahun 1990, dan prestasi sebagai KUD

Mandiri Teladan Nasional pada tahun 1991 hingga tahun 1996

secara berturut-turut (dokumentasi data perkembangan KUD

Cepogo).

KUD Cepogo merupakan satu-satunya lembaga koperasi

di Cepogo yang mempunyai mesin cool storing (pendingin)

guna menjaga kualitas susu tetap dalam kondisi terbaik. Alat

tersebut yaitu 4 unit cooling dan 1 unit cheeling. Cooling

berfungsi sebagai penampung dalam kondisi dingin, sedangkan

cheeling berfungsi sebagai mesin pendingin. Cheeling mampu

mendinginkan susu hingga 20.000 liter per hari, dengan

kemampuan pendinginan selama 1 jam dari suhu normal 27o C

hingga mendekati suhu beku 10 – 0o C.

Mesin cooling storing sangat bermanfaat untuk

menunjang kegiatan usaha persusuan. Penting sekali sebagai

bagian dari usaha persusuan demi menjaga kualitas susu dalam

kondisi baik karena koperasi itu berperan sebagai


commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 153
digilib.uns.ac.id

pengepul/penampung dari para peternak untuk kemudian

disalurkan ke industri pengolahan susu. Selain dari warga

Kecamatan Cepogo, susu yang berhasil dikumulkan di KUD

Cepogo juga berasal dari kecamatan lain, seperti dari Kecamatan

Ampel rata-rata 1000 liter per hari, dan dari Kecamatan Selo

rata-rata 500 sampai 700 liter per hari. Peternak di kedua

kecamatan ini memilih untuk menyetorkan susu ke KUD

Cepogo karena di KUD kecamatan tersebut khususnya dalam

hal persusuan telah berhenti beroperasi.

KUD Cepogo memiliki 3 armada tangki khusus sebagai

alat pendistribusian atau pengiriman ke lokasi pasar seperti pada

CV Cita Nasional, Salatiga. Armada tersebut merupakan cooling

berjalan dengan kemampuan mampu mempertahankan suhu

susu selama 48 jam.

Keberadaan Koperasi KUD Cepogo dirasa oleh sejumlah

informan bahwa banyak memberikan kemudahan, diantaranya

seperti; penyedia pinjaman sapi perah, tempat penjualan susu,

penyedia pinjaman dana keuangan, pemberi bantuan sosial,

pemberi bantuan dana pembangunan, serta jaminan keamanan

dalam pembayaran dari transaksi jual-beli susu segar antara

peternak dengan koperasi. Seperti yang disampaikan oleh

informan penelitian berikut ini.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 154
digilib.uns.ac.id

Menurut pernyataan bapak Tiyoso Ngatemen;

“Kulo rong tahun jimok peng pitu, utang duet


kulo saor susu. Kulo jileh maleh kanggo tumbas
lembu” (saya selama dua tahun mengambil
pinjaman dana tujuh kali, hutang uang saya bayar
dengan susu. Saya pinjam lagi untuk membeli
sapi).

Ditambahkan oleh pernyataan bapak Sutarto;

“Keuntungane banyak, waktu itu ada kreditan


sapi pas dulu, simpan pinjam ada, terus bantuan
sentrat” (keuntungannya banyak, waktu itu ada
kredit sapi waktu lampau, ada simpan pinjam,
kemudian bantuan konsentrat sebagai pakan
ternak).

Bapak Gito Triyono yang berperan sebagai Ketua

Pengurus Organisasi KUD Cepogo pun memberikan pernyataan

sebagai berikut;

“Koperasi ini kan punya kewajiban-kewajiban


belum lagi ada biaya-biaya seperti dana sosial,
dana pembangunan dan sebagainya. Ini kadang-
kadang anggota yang tidak berfikir secara
kedepan/makro ya apa yang diterima hanya
sesaat, namun tidak sadar kalau dengan masuk
ke KUD ada beberapa hal yang mereka tidak
punyai kalau mereka jual ke perorangan, belum
lagi soal keamanan. Sampai saat ini kan tidak
ada ceritanya kalau KUD tidak membayar,
namun kalau ke perorangan ya banyak, terus
terang faktanya banyak yang dibawa lari. KUD
kan berbadan hukum, kantor jelas, yang ngurusin
jelas, meskipun misalnya ada pergantian personil
itu kan kantornya jelas. Otomatis pengurus yang
baru pun akan bertanggunga jawab”.

Kelembagaan koperasi memiliki peranan besar dalam

berbagai hal, termasuk mendukung perkembangan usaha

peternakan sapi perah di Kecamatan Cepogo. KUD Cepogo


commit to user
dalam kesehariannya melaksanakan kegiatan ekonomi seperti
perpustakaan.uns.ac.id 155
digilib.uns.ac.id

unit usaha peternakan, persusuan, kelistrikan, perkreditan, dan

unit usaha waserda (warung serba ada). Sesuai dengan garis

pedoman yang tertuang dalam Rencana Kerja dan RAPB Tahun

2015 dan kebijaksanaan strategis yang ditetapkan pengurus

(Laporan Pertanggungjawaban Pengurus Tahun Anggaran

2015), maka kebijaksanaan difokuskan pada beberapa kegiatan,

diantaranya yang dapat menunjang terlaksananya swasembada

susu yaitu pada kegiatan unit usaha peternakan, unit usaha

persusuan, dan unit usaha perkreditan sebagai berikut.

a) Unit Usaha Peternakan

Sesuai dengan rencana kerja tahun 2015, maka

selama tahun tersebut dilaksanakan kegiatan-kegiatan yang

bertujuan untuk meningkatkan usaha peternakan sapi perah

rakyat secara profesional. Adapun rangkaian kegiatan yang

dilakukan adalah sebagai berikut; (1) peningkatan sistem

manajemen usaha peternakan secara profesional, (2)

peningkatan aktivitas petugas pelayanan keswan dan IB, (3)

peningkatan penggunaan bibit unggul, (4) membuka

layanan konsultasi usaha sapi perah.

b) Unit Usaha Persusuan

KUD Cepogo membuka kerjasama pemasaran susu

segar kepada perusahaan CV Cita Nasional Salatiga,


commit to user
perorangan, dan juga pihak lain. KUD berkeinginan
perpustakaan.uns.ac.id 156
digilib.uns.ac.id

membuka jalur pemasaran yang lain guna memasarkan

produk susu dari anggota, dan saat ini talah ada beberapa

pihak yang bersedia menerima produk susu dari KUD

Cepogo. Adapun kegiatan yang dilakukan oleh KUD dalam

rangka meningkatkan kualitas dan kuantitas produksi susu

diantaranya adalah sebagai berikut; (1) mengadakan

pembinaan tentang cara pemeliharaan sapi perah yang baik

dan profesional, (2) peningkatan uji kualitas susu dari

penyetor, (3) pembayaran susu disesuaikan dengan

kualitasnya masing-masing, (4) mempermudah pelayanan

dari penyetoran dengan mengoprasionalkan beberpa mobil

keliling, dan (5) melakukan penjajagan untuk menjalin

kerjasama dalam hal pemasaran produk susu.

c) Unit Usaha Perkreditan

Usaha perkreditan di KUD Cepogo mengelola

beberapa unit usaha diantaranya adalah unit simpan pinjam,

unit kredit umum, dan unit kredit ternak. Semua jenis unit

usaha perkreditan tersebut dapat digunakan oleh anggota

koperasi, namun ada satu pengecualian, yaitu pada unit

usaha simpan pinjam yang hanya khusus diberikan kepada

anggota koperasi penyetor susu.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 157
digilib.uns.ac.id

5) Keberadaan Lembaga Keuangan

Keberadaan lembaga keuangan di Kecamatan Cepogo

masuk dalam kategori keberlanjutan tinggi karena di Kecamatan

Cepogo ditemukannya perbankan dan banyaknya koperasi

berbadan hukum yang mengelola tentang pembiayaan/keuangan.

Keberadaan lembaga keuangan diluar Kecamatan Cepogo juga

banyak ditemui dan banyak memberikan kemudahan karena

pada dasarnya dalam mengakses keuangan tidak dipengaruhi

oleh tempat tinggal selagi mereka masih dalam kawasan yang

sama dan bersedia melengkapi segala persyaratan yang

ditentukan. Komposisi banyaknya lembaga keuangan dapat

dilihat pada tabel 4.16 sebagi berikut.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 158
digilib.uns.ac.id

Tabel 4.16
Lembaga Keuangan di Kecamatan Cepogo, Tahun 2015.
Koperasi
No. Desa BRI BPR BKK Berbadan
Hukum
1 Wonodoyo - - - 1
2 Jombong - - - 2
3 Gedangan - - - 3
4 Sumbung - - - 1
5 Paras - - - 1
6 Jelok - - - 2
7 Bakulan - - - -
8 Mliwis 2 - 1 6
9 Sukabumi 1 1 - 9
10 Genting - - - 3
11 Cepogo - - - 1
12 Kembangkuning - - - 12
13 Cabeankunti - - - 1
14 Candigatak - - - 1
15 Gubug - - - 1
Jumlah 3 1 1 44
Sumber: Kecamatan Cepogo Dalam Angka 2016.
BRI = Bank Rakyat Indonesia
BPR = Bank Perkreditan Rakyat
BKK = Badan Kredit Kecamatan.

Peranan lembaga keuangan di Kecamatan Cepogo

berpengaruh besar dalam menunjang pengembangan usaha

peternakan sapi perah. Hal itu disampaikan oleh bapak Purno

Wiyono yang mengaku jika beliau pernah meminjam sejumlah

uang ke Bank dengan mudah. “Enggih teng bank, lancar. Disek

nyileh 50 juta enggih lancar” (iya ke Bank, lancar. Dahulu

pinjam Rp.50.000.000 iya lancar), tutur bapak Purno Wiyono.

Peranan lembaga keuangan juga dirasakan oleh bapak

Bakiri, bapak Purno Wiyono, bapak Trimadi, bapak Widarsono,

yang mengaku commit to user


meminjam sejumlah dana sebagai tambahan
perpustakaan.uns.ac.id 159
digilib.uns.ac.id

untuk membangun dan mengembangkan usaha peternakan sapi

perahnya. Selain itu, informan lain menyatakan peranan

lembaga kelompok tani juga ambil peran dalam pembiayaan.

Bapak Sutarto menyatakan;

“Kelompok juga, kan ada penguruse. Nabung


nganggo susu, simpan-pinjam, trus nyarutan
bayare tiap sepuluhan hari” (kelompok juga, ada
pengurusnya, menabung menggunakan susu,
simpan-pinjam, kemudian membayarnya setiap
sepuluh hari sekali).

6) Keberadaan Kelompok Ternak Sapi Perah

Indikator keberadaan kelompok ternak di Kecamatan

Cepogo masuk dalam kategori keberlanjutan yang sedang

karena jumlah kelompok ternak yang khusus mengelola tentang

sapi perah hanya berapa saja. Menurut bapak Sukirno;

“Teng mriki entene kelompok tani namung bidang


pertanian, sapi perah malah jarang, padahal
paling banyak sapi perah” (disini ada kelompok
tani namun dalam bidang pertanian, kelompok
sapi perah hanya sedikit, padahal paling banyak
sapi perah).

Kelompok ternak sapi di Kecamatan Cepogo berjumlah

20 kelompok, namun kelompok ternak sapi yang khusus pada

ternak sapi perah hanya berjumlah 8 (delapan) kelompok.

Nama-nama kelompok ternak sapi perah dapat dilihat pada tabel

4.17 berikut ini.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 160
digilib.uns.ac.id

Tabel 4.17
Kelompok Ternak Sapi Perah di Kecamatan Cepogo, Tahun
2014.
Kelas
Nama Nama Ketua Alamat
No. Kelompok
Kelompok Kelompok Kelompok
Saat Ini
1 KT. Cepogo I Saidi AM Desa Paras Pemula
Desa
2 KT. Sejahtera Agus Irawan Pemula
Candigatak
KT. Tani Desa
3 Slamet Pemula
Mulyo I Gedangan
KT. Tata Desa
4 Sumar Pemula
Buana Genting
Hari Desa
5 Madyo Luhur Pemula
Purnomo Sumbung
Ngudi Desa
6 Marsi Pemula
Makmur Genting
Desa
7 Ngudi Rahayu Miftahudin Pemula
Mliwis
Desa
8 Ngudi Utomo Sutopo Pemula
Gedangan
Sumber: Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Boyolali.

Pada tabel 4.17 dapat diketahui bahwa jumlah kelompok

ternak sapi perah di Kecamatan Cepogo yaitu hanya berjumlah

delapan kelompok. Diantaranya, Dua kelompok di desa

Gedangan dan Desa Genting, sddangkan masing-masing satu

kelompok di Desa Paras, Desa Candigatak, Desa Sumbung, dan

Desa Mliwis.

f. Temuan Penting dan Unik pada Keberlanjutan Usaha

Peternakan Sapi Perah di Kecamatan Cepogo

Hasil analisis keberlanjutan usaha peternakan sapi perah di

Kecamatan Cepogo dengan melihat pada berbagai dimensi seperti

dimensi ekologi dan pembibitan, dimensi sosial budaya, dimensi

ekonomi, dimensi infrastruktur dan teknologi serta dimensi hukum


commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 161
digilib.uns.ac.id

dan kelembagaan telah ditemukan hal penting dan unik yaitu berupa

indikator-indikator yang masuk dalam kategori keberlanjutan randah,

sedang dan tinggi. Pembagain kategori tersebut disajikan secara

sistematis dalam tabel 4.18 berikut ini.

Tabel 4.18
Rangkuman Analisis Keberlanjutan dari Berbagai Dimensi.
Kategori Kategori Kategori
Keberlanjutan Keberlanjutan Keberlanjutan
Rendah Sedang Tinggi
Jarak lahan
luas lahan
peternakan Kesesuaian
pekarangan dan
dengan tempat agroklimat
kandang ternak
tinggal
Luas lahan untuk
Tingat serangan
hijauan pakan
penyakit
ternak
Rata-rata jumlah
Pengelolaan
produksi hijauan
kandang
pakan ternak
Usia ternak
Dimensi berproduksi hingga
Ekologi dan tak berproduksi
Pembibitan Pengadaan bibit
ternak/ beranak
Tingkat kematian
ternak
Tingkat
penanganan hama
dan penyakit
Tindakan
konservasi untuk
lahan hijauan
Tingkat pengolahan
kotoran ternak
Pandangan
masyarakat Tingkat Alokasi waktu
terhadap usaha pendidikan formal untuk usaha ternak
ternak sapi perah
Jumlah Akses masyarakat
Rata-rata usia
ketersediaan dalam kegiatan
peternak
tenaga kerja peternakan
Dimensi
Tingkat
Sosial Budaya
penyerapan Kepemilikan ternak
tenaga kerja usaha milik sendiri
ternak
Pemberdayaan
Kepemilikan lahan
masyarakat dalam
hijauan milik
kegiatan
commit to user
peternakan
sendiri
perpustakaan.uns.ac.id 162
digilib.uns.ac.id

Lanjutan Tabel 4.18


Rangkuman Analisis Keberlanjutan dari Berbagai Dimensi.
Kategori Kategori Kategori
Keberlanjutan Keberlanjutan Keberlanjutan
Rendah Sedang Tinggi
Partisipasi keluarga
dalam usaha ternak
Peranan modal
Dimensi sosial dalam
Sosial Budaya kegiatan peternakan
Pola hubungan
masyarakat dalam
kegiatan peternakan
Produktivitas susu Biaya budidaya Keuntungan usaha
hewan ternak ternak ternak
Hasil usaha ternak Kemudahan
Daya Saing
bagi komoditas penjualan hasil
Dimensi Komoditas
lain pemerahan
Ekonomi
Ketersediaan
tempat
menjual/memasark-
an ternak
Pedoman
Partisipasi Dukungan sarana
teknologi usaha
penyuluhan dan prasarana
ternak
Tingkat
Dimensi
Pemasaran produk penguasaan dan Standarisasi mutu
Infrastruktur
pengolahan susu penerapan produk ternak
dan Teknologi
teknologi
Ketersediaan
industri
pengolahan susu
Pengembangan
Keberadaan
industri Tingkat keamanan
kelompok ternak
pengolahan susu ternak
sapi perah
lokal
Keikutsertaan Keberadaan dan
Dimensi
peternak dalam peran lembaga
Hukum dan
kelompok penyuluhan
Kelembagaan
Keberadaan
lembaga/organisasi
koperasi
Keberadaan
lembaga keuangan
Sumber: Data diolah 2016.

commit to user

Anda mungkin juga menyukai