https://bpsdm.sulselprov.go.id/informasi/detail/integritas-dan-profesionalisme-asn-di-
era-milenial
26102022
ABSTRACT
ABSTRAK
Profesionalisme ASN di Era Milenial. Pada era industri 0.4 berbasis digital
memerlukan regulasi yang tepat dalam melayani konsumen lebih cepat, lebih
mudah dan lebih murah. Sebagai ASN milenial, sangat terikat dengan sumpah
dan janji yang diucapkan ketika diangkat menjadi ASN atau pada saat disumpah
untuk memegang jabatan tertentu. Seorang ASN juga terikat dengan Kode Etik
yang diberlakukan di mana ia bekerja, ketika seorang ASN melanggar kode etik,
maka integritasnya di pertanyakan. Integritas ASN sangat erat hubungannya
dengan ahlak kerja pegawai. Ahlak pegawai maksudnya setiap tingkah laku,
tindakan yang dilakukan oleh PNS
atau tidak melakukan sesuatu yang seharusnya dilakukan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan. ASN wajib memiliki tujuh ciri-ciri
public life principles, yaitu tidak berpikir untuk sendiri (selflessness), integritas
(integrity), obyektif (objectivity), akuntabel (accountability), terbuka
(openness), kejujuran (honesty), dan kepemimpinan (leadership).
PENDAHULUAN
Aparatur Sipil Negara (ASN) merupakan komponen penting dalam tata laksana kegiatan
pemerintahan. Diantara komponen terpenting yang harus dimiliki adalah integritas dan
profesionalisme ASN. Karena dua hal tersebut seringkali dipertanyakan masyarakat. Gambaran
ASN identik dengan “suka- suka”, tapi anehnya membuat banyak di antara masyarakat berambisi
untuk diterima sebagai ASN, bahkan untuk itu terdapat mempergunakan lika-liku cara. diatas
sebagai jawabannya, maka pemerintah Republik Indonesia saat ini sedang fokus membangun
Sumber Daya Manusia (SDM) yang memiliki integritas untuk mengisi era revolusi industri 4.0
(Sunaryo & Cicellia, 2014). Demikian, juga dibidang penataan manajemen kepegawaian
menyiapkan ASN milenial yang mempunyai integritas, etika dan profesional di era industri 4.0
ini. Strategi mendapatkan ASN berintegritas melakukan rekruitmen Calon Pegawai Negeri Sipil
[CPNS] berbasis Computer Assisted Test [CAT]. Pada era industri 0.4 berbasis digital
memerlukan regulasi yang tepat dalam melayani konsumen lebih cepat, lebih mudah dan lebih
murah. Karena itulah, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi
Birokrasi (Kemenpan RB) menargetkan separuh dari Aparatur Sipil Negara (ASN) adalah
generasi milenial pada 2024 yang diharapkan mempunyai kompetensi memadai (Ramadhon,
2014). Upaya untuk mewujudkannya beberapa sistem diberlakukan untuk meningkatkan minat
generasi milenial menjadi pelaksana memberikan pelayanan prima kepada masyarakat. Sebagai
ASN milenial, sangat terikat dengan sumpah dan janji yang diucapkan ketika diangkat menjadi
ASN atau pada saat disumpah untuk memegang jabatan tertentu. Seorang ASN juga terikat
dengan Kode Etik yang diberlakukan di mana ia bekerja, ketika seorang ASN melanggar kode
etik, maka integritasnya di pertanyakan. Tidak hanya itu seorang ASN juga terikat dengan PP
Noomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin PNS, ketika melanggar aturan ini maka seorang
ASNbisa dianggap tidak berintegritas dan kena sanksi.
Integritas ASN sangat erat hubungannya dengan ahlak kerja pegawai. Ahlak pegawai
maksudnya setiap tingkah laku, tindakan yang dilakukan oleh PNS atau tidak melakukan
sesuatu yang seharusnya dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Secara tegas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara [UU
ASN], menyebutkan bahwa Pegawai ASN diserahi tugas untuk melaksanakan tugas pelayanan
publik, tugas pemerintahan, dan tugas pembangunan tertentu, maka perlu dibangun Aparatur
Sipil Negara yang memiliki integritas, profesional, netral dan bebas dari intervensi politik,
bersih dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme, serta mampu menyelenggarakan pelayanan
publik bagi masyarakat dan mampu menjalankan peran sebagai unsur perekat persatuan dan
kesatuan bangsa berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 (Komara, 2019).
Integritas ASN milenial merupakan ciri sebagai pelayan masyarakat yang profesional,
sebagaimana disampaikan Menteri LHK, Siti Nurbaya, ASN wajib memiliki tujuh ciri-ciri
public life principles, yaitu tidak berpikir untuk sendiri (selflessness), integritas (integrity),
obyektif (objectivity), akuntabel (accountability), terbuka (openness), kejujuran (honesty), dan
kepemimpinan (leadership). “Tidak berpikir untuk sendiri artinya mengutamakan kepentingan
publik, dan tidak berbuat dalam rangka memperoleh keuntungan material untuk dirinya
sendiri, keluarga atau teman-temannya. Sedangkan integritas yaitu tidak terikat pada ikatan
diluar kantor dalam bentuk ikatan finansial, ataupun kewajiban lainnya yang dapat
mempengaruhi didalam menjalankan kewajibannya”,
Kenapa pentingnya integritas bagi ASN milenial khususnya dan setiap ASN umumnya ?
Karena integritas merupakan salah satu atribut terpenting/kunci yang harus dimiliki seorang
pemimpin. Integritas adalah suatu konsep berkaitan dengan konsistensi dalam tindakan-
tindakan, nilai-nilai, metode-metode, ukuran- ukuran, prinsip-prinsip, ekspektasi-ekspektasi
dan berbagai hal yang dihasilkan. Orang berintegritas berarti memiliki pribadi yang jujur dan
memiliki karakter kuat. Integritas itu sendiri berasal dari kata Latin “integer”, yang berarti
[Iriawan]:
1. Sikap yang teguh mempertahankan prinsip , tidak mau korupsi, dan menjadi dasar yang
melekat pada diri sendiri sebagai nilai-nilai moral;
2. Mutu, sifat, atau keadaan yang menunjukkan kesatuan yang utuh sehingga memiliki potensi
dan kemampuan yang memancarkan kewibawaan dan kejujuran.
ASN PROFESIONAL
ASN bukan lagi sebuah pekerjaan tetapi merupakan sebuah profesi. Untuk itu ASN diharapkan
untuk menjadi diharapkan untuk menjadi ASN yang profesional. Apa itu profesional?
Profesional adalah orang yang mempunyai kompetensi-kompetensi tertentu yang menjadi
dasar kinerjanya. Dalam Undang- Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil
Negara (ASN) disebutkan bahwa ASN harus mempunyai kompetensi. Pertama,
Kompetensi teknis yang diukur dari tingkat dan spesialisasi pendidikan, pelatihan teknis
fungsional, dan pengalaman bekerja secara teknis. Kedua, Kompotensi manajerial yang diukur
dari tingkat pendidikan, pelatihan struktural atau manajemen, dan pengalaman kepemimpinan
kompetensi manajerial yang diukur dari tingkat pendidikan, pelatihan struktural atau
manajemen, dan pengalaman kepemimpinan. Dan terakhir, kompetensi sosial kultural yang
diukur dari pengalaman kerja berkaitan dengan masyarakat majemuk dalam hal agama, suku,
dan budaya sehingga memiliki wawasan kebangsaan (Agung Kurniawan & Suswanta, 2021).
Ada beberapa teknik menurut pengalaman saya untuk bisa menjadi ASN profesional. Pertama,
pola pikir. Apa itu pola pikir ? Pola pikir adalah cara berpikir atau perspektif tertentu terhadap
sesuatu. Sebagai seorang ASN saya rasa pola pikir menjadi sangat penting. Cara pandang kita
dalam menyelesaikan pekerjaan dan tugas sehari-hari, atau dalam menghadapi suatu masalah
menjadi kunci keberhasilan .
Pola pikir ini dapat kita asah secara terus untuk meningkatkan diri. Keinginan untuk terus mau
belajar. Berpola pikir kreatif, tidak hanya menunggu perintah atasan, tetapi bekerja sesuai
dengan target yang telah ditetapkan. Berpola pikir untuk menemukan cara guna meningkatkan
kualitas diri, salah satunya dengan mengikuti pelatihan-pelatihan baik untuk keahlian yang
telah dikuasai ataupun untuk hal-hal baru (Agung Kurniawan & Suswanta, 2021).
Pola pikir terbuka adalah pola pikir yang maju. Salah satu contohnya adalah ketika
menghadapi masalah. Saat menghadapi masalah tidak melihatnya sebagai masalah tetapi
sebagai sebuah tantangan. Hal ini dapat dikatakan seperti sebuah gelas. Jangan pernah berpikir
gelas kita penuh tetapi berpikirlah untuk memindahkan air kedalam gelas atau botol yang lebih
besar. Gelas atau botol yang lebih besar akan menyisakan ruang untuk lebih banyak
pengetahuan. Pola pikir yang maju menjadikan kita profesional dalam pekerjaan.
Kedua, observasi. Dalam dunia kerja sangat diperlukan observasi untuk bisa memahami situasi
di sekitar yang sedang terjadi. Dengan melakukan observasi akan lebih peka untuk melihat
sesuatu yang mungkin akan berpotensi menjadi suatu masalah. Observasi dapat dikatakan
sebagai suatu tindakan untuk pencegahan risiko dan perbaikannya.
Ketiga, berani mencoba. Saat mendapat penugasan baru, Bidang baru tentu saja mempunyai
tantangan tersendiri. Proses untuk cepat belajar dan cepat beradaptasi sangat diperlukan. Sejak
awal ASN harus siap untuk ditempatkan di mana saja, menjadikan motivasi dalam bekerja di
tempat baru.
Keempat, bertanya dan belajar dari senior. Pengalaman dari para senior dapat kita jadikan
pelajaran dan pengetahuan yang mungkin tidak bisa kita dapatkan di bangku kuliah. Pelajaran
dibangku kuliah biasanya hanya bersifat teori-teori yang adakalanya pada saat di dunia kerja
akan berbeda jauh. Dengan bertanya dan belajar dari senior kita akan dengan cepat menguasai
bidang pekerjaan kita. Selain itu transformasi pengetahuan juga berguna untuk regenerasi
sumber daya manusia di lembaga atau instansi.
Kelima, tekad yang kuat. Ketika kita mempunyai keinginan yang kuat, di situlah ada jalan.
Tekniknya adalah menempatkan keinginan itu ke arah yang benar akan membantu
mempercepat mencapai tujuan. Kita hanya memerlukan untuk menemukan cara yang sesuai
untuk kita.
Keenam, evaluasi diri. Evaluasi diri ini sangat diperlukan. Saya dapat mengukur apa saja
yang telah saya capai dalam pekerjaan saya sebagai ASN dan apa saja kekurangan saya selama
bekerja. Syukuri apa saja prestasi-prestasi yang telah berhasil diraih serta tentukan target
selanjutnya yang ingin dicapai.
MENGHASILAKAN ASN PROFESIONAL, BERINTEGRITAS DAN MELAYANI
Aparatur Sipil Negara (ASN) merupakan komponen penting dalam tata laksana kegiatan
pemerintahan. Sebagai salah satu komponen terpenting, profesionalisme ASN seringkali
dipertanyakan. Gambaran ASN identik dengan suka-suka membuat banyak di antara masyarakat
berambisi untuk diterima sebagai ASN, bahkan untuk itu banyak yang mempergunakan lika liku
cara. Gaji teratur, waktu bebas, hari tua jelas merupakan sebagian daya tarik menjadi ASN. Tapi
apakah kondisi seperti itu yang diharapkan masyarakat dari ASN ? Maka jawabanya
adalah tidak. Masyarakat senantiasa butuh pelayanan maksimal dalam segala hal menyangkut
kegiatan kemasyarakatan. Harapan ini tidak akan terwujud apabila tidak ada keteraturan dan
disiplin dalam kegiatan kerja ASN (Kalangi, 2015).
Sesungguhnya, ketika ditanya kepada ASN mengapa bisa terjadi demikian dalam hal disiplin
dan kinerja, maka ASN bisa saja beralasan tentang kesejahteraan dan sejenisnya yang menurut
mereka juga belum mampu mencukupi akomodasi kehidupan mereka. Tentunya pemerintah
juga harus memberikan perhatian khusus terkait hal tersebut, agar ASN dapat melakukan
segala pekerjaannya dengan baik sesuai dengan harapan masyarakat.
Ada banyak faktor yang mempengaruhi profesionalisme ASN (baik PNS maupun pegawai
pemerintah dengan perjanjian kerja). Berbagai faktor ini saling bekelindan dan berkait.
Seringkali dikatakan faktor penyebab rendahnya profesionalisme PNS adalah rendahnya gaji,
sehingga para pegawai berusaha untuk mendapatkan penghasilan tambahan melalui pekerjaan
yang dilakukannya (Raharjo Jati, 2014).
Berbagai perubahan secara menyeluruh sesungguhnya telah diatur. Salah satu perubahan
pokok diletakkan di dalam UU No 5 Tahun 2014 yang isinya memperbaiki sistem pengajian
dan sistem jaminan sosial pegawai ASN. Selain itu UU No 5 Tahun 2014 tentang ASN
menempatkan pegawai ASN (PNS dan PPPK) sebagai aset negara, bukan beban negara.
Jika mengacu kepada UU No 5 Tahun 2014, maka gaji ASN akan diberikan berdasarkan beban
kerja, risiko pekerjaan, tanggung jawab jabatan dan capaian kinerja yang disepakati.
Kemudian, jaminan sosial ASN akan diberikan untuk mencapai dua tujuan utama yaitu
menjamin produktivitas ASN semasa aktif menjabat dan menjalankan tugas pelayanan,
pembangunan dan pemerintahan; tetapi juga sebagai hak, penghargaan dan perlindungan
jaminan pengasilan pada saat tidak lagi menjadi ASN atau sudah pensiun.
Salah satu komponen yang bisa menjadi pemicu meningkatnya produktivitas kinerja ASN yakni
pemberian sistem jaminan sosial nasional. UU No. 5 tahun 2014 tentang ASN juga mengatur hal
tersebut, di mana disebutkan PNS mendapatkan jaminan sosial berupa jaminan pensiun (JP),
jaminan hari tua (JHT), jaminan kecelakaan kerja (JKK), jaminan kematian (JKM) dan jaminan
kesehatan (Jamkes). ASN (PNS dan PPPK) adalah pejabat publik yang memiliki kewenangan
untuk mengatur dan melaksanakan tujuan konstitusional. Dengan kewenangan publik yang
dimilikinya, pegawai ASN memberikan pelayanan publik dan atas dasar itu juga memiliki
privilese publik. Secara filosofis pekerjaanpegawai ASN juga berbeda dengan profesi pekerjaan
lainnya (Kalangi, 2015).
Karenanya dengan adanya pemberian sistem jaminan sosial nasional diharapkan akan mampu
untuk mendongkrak kinerja para ASN untuk lebih baik dan maksimal. Tentunya pemerintah
juga harus bijaksana terkait besaran yang diberikan. Harus ada aturan yang adil terkait jaminan
ini, agar tidak menimbulkan efek keirian antara sesama ASN.
Kita harus belajar dari dunia internasional, dimana negara-negara tersebut sangat memikirkan
tentang jaminan sosial bagi para ASN nya. Jerman, Australia, Belgia, Finlandia, Korea,
Amerika Serikat, Belanda, Jepang, Spanyol, dan Inggris. Negara-negara ini begitu terkenal
dengan profesionalisme pelayanan para ASN- nya. Semuanya itu bisa terjadi berkat jaminan
sosial yang mereka berikan terkait masa depan maupun hari tua para ASN itu maupun
keluarganya. Indonesia tentunya juga harus demikian. Secara eksplisit kita memang melihat
Presiden Joko Widodo (Jokowi) sudah mulai mengarah kepada peningkatan kesejahteraan
para ASN. Terbukti dengan dinaikkannya UMR di beberapa daerah yang diikuti juga dengan
kenaikan UMR ASN yang bekerja di pemerintahan. Tentunya kegiatan positif ini harus terus di
programkan dan terus ditingkatkan demi peningkatan kinerja para ASN untuk membenahi
pemerintahan sesuai dengan bidang kerjanya masing- masing.
Kondisi negara saat ini memang mengharuskan semua komponen yang ada di dalam sistem
aparatur pemerintahan harus terus meningkatkan produktivitas dan kualitas kerajanya. Hal
tersebut dikarenakan masyarakat yang senantiasa ingin mendapatkan pelayanan dan kualitas
hidup yang juga baik. Disetiap komponen pemerintah yang bergerak di bidang pelayanan
terhadap masyarakat kita sudah dimulai melihat ada perbaikan sistem kerja yang memang bisa
dikatakan mulai berkualitas. Tentunya hal tersebut harus terus dipacu agar pelayanan
dapat semakin berkualitas lagi. UU No 5 Tahun 2014 tentang ASN dalam kaitannya dengan
sistem penggajian dan jaminan sosial pegawai ASN yang menyatakan bahwa, gaji pegawai
ASN akan diberikan berdasarkan pada beban kerja, risiko pekerjaan, tanggung jawab jabatan,
dan capaian kinerja yang disepakati. Ini dapat menjadi salah satu acuan pemicu produktivitas
kerja para ASN untuk terus meningkatkan produktivitasnya, karena segala hal yang mereka
lakukan sudah disesuaikan dengan kesejahteraan yang akan mereka terima. Karenanya
semuanya harus seimbang, antara kinerja dan pendapatan. Kesemuanya itu akan
mengembalikan juga ‘Image’ ASN yang selama ini dinilai suka lalai dan berlaku tidak
profesional (Sudrajat, 2014).
Tentunya untuk melakukan evaluasi terhadap kinerja ini dilapangan, pemerintah harus
membentuk tim pengawas yang dapat memonitoring setiap hal yang dilakukan. Setiap saat bisa
dilakukan evaluasi sehingga kinerja yang didapati semakin baik dari waktu ke waktu. Dengan
demikian program nawa cita yang didengungkan Presiden Jikowi di masa-masa kampanyenya
benar-benar bisa terwujud. Masyarakat akan semakin dipulihkan kepercayaannya terhadap
pemerintah. Tata laksana kinerja pemerintahan juga akan semakin baik. Pelayanan kita akan
semakin diakui dan dipandang baik oleh negara-negara disekitar kita.
Seperti pepatah “walk the talk” yang memiliki makna komitmen untuk dimulai dari kata dan
dijalankan dalam praktiknya, menjadikan nilai integritas menjadi sangat penting dalam
bekerja. Baik pemimpin maupun yang dipimpin perlu memiliki komitmen yang kuat satu sama
lain dalam menjalankan roda organisasi untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Disanalah
terbentuk sikap profesionalisme yang menuntun pada sikap yang tidak bias, kosisten dalam
menjalankan pekerjaannya, penuh tanggung jawab dengan kinerja yang terjaga mutu dan
kualiatasnya (Arens dkk, 2009). Contoh yang paling dekat dunia pengawasan adalah seorang
auditor internal yang profesional akan tercermin dalam laporan hasil auditnya yang objektif,
tidak bias, isi laporannya melaporkan apa yang terjadi apa adanya, bukan berdasarkan
keinginan eksekusif atau kepentingan pihak-pihak tertentu sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku lalu faktor- faktor apa sajakan yang mempengaruhi komitmen pegawai
dan membentuk sikap profesionalisme.
Sudah barang tentu setiap pegawai memiliki komitmen yang berbeda-beda dalam bekerja. Hal
ini dapat terlihat dari minat pegawai dalam bekerja, kesabaran dan kemampuan dalam
menghadapi penugasan, kedisiplinan, ketelitian yang semuanya mengarah pada
profesionalisme dalam bekerja. Faktor-faktor yang mempengaruhi perjalanan tersebut antara
lain kompetensi/keahlian, pengalaman kerja dan lingkungan seperti penerapan reward and
punisment (Wardhani dkk, 2014). Kompetensi mencerminkan sikap kecermatan dan kehati-
hatian profesional seorang pegawai dalam menjalankan pekerjaannya, sedangkan pengalaman
kerja akan memperluas wawasan pegawai dalam mengatasi permasalahan- permasalahan yang
ada secara praktik profesional. Dua hal tersebut akan terjaga dalam lingkungan kerja yang
menerapkan sistem reward and punishment karena berperan serta dalam menumbuhkan
motivasi pegawai melaksanakan pekerjaanya. Contoh sederhana apabila dikaitkan dengan
dunia pengawasan dapat terlihat dari semakin tinggi motivasi seorang auditor internal dalam
melaksanakan tugasnya maka semakin besar pula komitmennya dalam organisasi tersebut
(Rosyadi, 2014).
Memasuki Era Digital, tuntutan pelayanan publik yang berkualitas dan responsif semakin
tinggi. Dalam kondisi perkembangan masyarakat yang dinamis, Negara diharapkan
memberikan pelayanan publik yang lebih profesional, efektif, transparan, dan tepat waktu.
PNS sebagai Aparatur Sipil Negara dituntut untuk mampu memaksimalkan kapasitas yang
dimiliki, kemudian mengaplikasikan ke dalam tugas pokok dan fungsi sebagai sosok pelayan
yang responsif terhadap keinginan dan kebutuhan masyarakat. Singkatnya, kualitas pelayanan
publik di era digital ini pengaruhi oleh kompetensi yang dimiliki oleh PNS.
PNS milenial merupakan kelompok generasi kelahiran antara tahun 1980 hingga 2000an yang
menjadi abdi negara saat ini. Ciri khas dari generasi milenial ini adalah memiliki kepribadian
yang terbuka, rasa ingin tahu yang tinggi, multitasking, sangat kreatif, serba praktis, serta
bergantung pada kemajuan teknologi dan informasi. Generasi milenial adalah generasi yang
tumbuh beriringan dengan hadirnya sebagai produk teknologi. Generasi milenial tumbuh
seiring dengan pesatnya pertumbuhan digital sehingga generasi milenial kerap disebut juga
dengan Digital Nitizen yakni pengguna internet yang aktif berkomunikasi, mencari informasi
dan hiburan dalam dunia virtual. Hal tersebut menunjukkan eratnya hubungan generasi
milenial dengan digital, sehingga bukanlah suatu ekspektasi berlebihan jika PNS Milenial
dituntut untuk mampu menguasai teknologi untuk mendukung peningkatan pelayanan publik.
Tuntutan ini sejalan dengan Perpres No. 95 Tahun 2018 tentang Sistem Pemerintahan Berbasis
Elektronik (SPBE) yang menyatakan bahwa untuk mewujudkan tata kelola pemerintahan yang
bersih, efektif, transparan, dan akuntabel serta pelayanan publik yang berkualitas dan
terpercaya diperlukan sistem pemerintahan berbasis elektronik. Untuk mendorong percepatan
SPBE tersebut, kompetensi PNS khususnya dari generasi milenial menjadi salah satu
kunci keberhasilan dalam melaksanakan pemerintahan berbasis elektronik (Prasodjo & Rudita,
2014).
Dalam pidatonya di acara Precidential Lecture pada tanggal 25 Juli 2019, Mantan Menteri
Perencanaan Pembangunan Nasional Indonesia Kabinet Kerja, Bambang Brodjonegoro
menyampaikan PNS harus dapat memenuhi empat tuntutan masyarakat dalam penerapan
SPBE atau e-goverment. Pertama, menerapkan smart goverment melalui optimalisasi
penggunaan teknologi informasi dan digitalisasi. Kedua, penerapan open goverment dimana
output PNS dapat diketahui publik dan dampaknya dirasakan langsung oleh masyarakat luas.
Ketiga, big data driven policy dimana media sosial menjadi refleksi tuntutan publik kepada
pemerintah. Keempat, cultural shifting atau pergeseran budaya karena tuntutan zaman yang
mana PNS harus memposisikan diri sebagaimana pekerja di sektor swasta. Jika anda tidak
memberikan yang terbaik, Anda bisa bangkrut atau anda bisa dipecat, artinya culture shifting
menunjuk anda untuk selalu memberikan yang terbaik dalam berbagai hal (Nurprojo, 2014).
PNS Milenial harus menjadi “mesin” birokrasi yang menggerakkan berbagai sumber daya
yang tersedia untuk mewujudkan tujuan dan sasaran pemerintahan. Sebagai PNS Milenial yang
hidup di era digital diharapkan mampu menerapkan dan beradaptasi dengan tuntutan zaman
modern.
PENUTUP
Terdapatnya tantangan dan hambatan yang dihadapi ASN harus dijadikan sebagai kekuatan dan
peluang untuk mendorong visi Indonesia 2045, dengan berfondasi pada transformasi digitalisasi
birokrasi yang lebih memudahkan akses pelayanan kepada masyarakat. Praktik birokrasi yang
berbelit dan lamban harus dipangkas, kinerja birokrasi lebih efisien, fleksibel dan adaptif, serta
meluaskan semangat perubahan kerja yang kreatif, inovatif dan berdaya siang. Era milenial yang
mengharuskan seluruh ASN untuk mengerti IT dan teknologi menjadi tantangan tersendiri
dalam mengimbangi pengetahuan dan meningkatkan pelayanan publik.
ASN millenial sangat erat kaitannya dengan Revolusi Industri 4.0, dimana revolusi ini
menitikberatkan pola digitalisasi dan otomasi disemua aspek kehidupan manusia. Banyak
pihak yang belum menyadari akan adanya perubahan tersebut, padahal semua itu adalah
tantangan ASN millenial saat ini. Jadi dengan demikian dalam menghadapi tantangan ASN
milenial, harus memiliki kepribadian yang berintegritas sebagai suatu sikap yang harus
dimiliki seseorang untuk melaksanakan tugasnya sesuai dengan kode etik aturan ASN dan
moral tinggi. Setiap ASN harus memiliki integritas agar tertanam keteguhan hati dan konsisten
dalam menjunjung tnggi nilai luhur keyakinan. Ketika seseorang ASN memiliki integritas
maka, akan dapat memberikan kesan yang baik di hadapan masyarakat dan terutama di
hadapan Allah Subhanallah Wata’ala. Sebaliknya, ketika seorang ASN tidak memiliki
integritas yang baik maka akan berpengaruh bagi diri sendiri dan keluarga (Nurprojo, 2014).
Saat ini birokrasi terus dihadapkan pada tantangan-tantangan besar. Era kompetisi dengan
negara-negara lain kian meningkat, dimana negara yang bergerak cepat akan mampu bersaing
dengan negara-negara lain yang lebih lambat. Menyikapi hal tersebut, birokrasi perlu sentuhan
inovasi dan terobosan baru ASN yang memiliki kualitas, karakter dan mentalitas serta
kemampuan melakukan perubahan secara cepat . Untuk menghadapi tantangan dalam persaingan
global tersebut, ASN dituntut tidak sekedar menjalankan tugas rutin semata atau business as
usual, ASN milenial dituntut menggunakan cara-cara cerdas (smart power) dalam pelaksanaan
tugas di birokrasi. cara-cara cerdas tersebut dengan pemanfaatan teknologi dalam upaya
meningkatkan kompetensi, baik pengetahuan, keterampilan maupun sikap dan perilaku, sehingga
mampu memperbaiki birokrasi ke arah yang lebih baik
“Birokrasi kita saat ini diuntungkan dengan kedatangan generasi-generasi baru, yag digadang-
gadang mampu menjadi ASN baru yang memiliki karakter baru, inovasi dan terobosan baru
untuk mendorong perubahan birokrasi yang mumpuni.” Hal ini sejalan dengan misi dalam
upaya mewujudkan birokrasi berkelas dunia (World Class Bureaucracy) pada tahun 2024 nanti
yang hanya dapat diwujudkan jika birokrasi memiliki ASN yang juga berkelas dunia. Untuk
itu, maka dibutuhkan kreatifitas, inovasi, terobosan, perubahan bisnis proses, cara kita
melayani, cara bekerja harus disesuaikan dengan tantangan-tantangan jaman kekinian.
Agung Kurniawan, & Suswanta. (2021). Manajemen Aparatur Sipil Negara Dalam
Mewujudkan Tata Kelola Pemerintahan Yang Baik. KEMUDI?: Jurnal Ilmu
Pemerintahan, 5(01), 134–148. https://doi.org/10.31629/kemudi.v5i01.2305
Hayat. (2014). Peningkatan Kualitas Sumber Daya Manusia Aparatur Pelayanan Publik dalam
Kerangka Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara. Civil Servive:
Jurnal Kebijakan Dan Manajemen PNS, 8(1), 31–44.
http://www.bkn.go.id/wp-content/uploads/2014/06/Artikel-1.indd-New-18-8-14.pdf
Kalangi, R. (2015). Pengembangan Sumber Daya Manusia dan Kinerja. Jurnal LPPM
Bidang EkoSosBudKum, 2(1), 1–18.
Nurprojo, I. S. (2014). Merit System dan Politik Birokrasi di Era Otonomi Daerah. Jurnal
Kebijakan Dan Manajemen PNS, 8(1), 45–52.
Prasodjo, E., & Rudita, L. (2014). Undang-Undang Aparatur Sipil Negara?: Membangun
Profesionalisme Aparatur Sipil Negara Civil State Apparatuslaw?: Building the
Professionalism of Civil State Apparatus. Kebijakan Dan Manajemen PNS, 8(1), 13–31.
Raharjo Jati, W. (2014). Energizing Bureaucracy Sebagai Model Pengembangan Karir
Aparatur Berbasis Meritokrasi Di Era Uu Asn: Tawaran Perspektif Alternatif. Jurnal
Kebijakan Dan Manajemen, 8(1), 73–85. https://jurnal.bkn.go.id/index.php/asn/article/view/74
Ramadhon, S. (2014). Penerapan Model Empat Level Kirkpatrick dalam Evaluasi Program
Pendidikan dan Pelatihan Aparatur di Pusdiklat Migas. Forum Diklat. Rosyadi, S. (2014).
Prospek Pengembangan Aparatur Sipil Negara Berbasis Merit:
Peluang Dan Tantangan Untuk Membangun Birokrasi Profesional Dan Berintegritas. Civil
Servive: Jurnal Kebijakan Dan Manajemen PNS, 8(1), 53–60. http://www.bkn.go.id/wp-
content/uploads/2014/06/Artikel-1.indd-New-18-8-14.pdf
Sunaryo, B., & Cicellia, C. (2014). Nilai Penting Konsep Affirmative Action Policy dalam
Pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM) Aparatur Berbasis Merit. Jurnal Kebijakan
Dan Manajemen PNS, 8(1), 1–11.
file:///C:/Users/ASUS/Downloads/Hayat_PeningkatanKualitasSumberDaya_BKN.p df