DISUSUN OLEH :
KELOMPOK 7
BAB II
PEMBAHASAN
A. AKHLAK
Akhlak secara terminologi berarti tingkah laku seseorang yang didorong oleh suatu
keinginan secara sadar untuk melakukan suatu perbuatan yang baik.
Akhlak merupakan bentuk jamak dari kata khuluk, berasal dari bahasa Arab yang berarti
perangai, tingkah laku, atau tabiat. cara membedakan akhlak, moral dan etika yaitu Dalam
etika, untuk menentukan nilai perbuatan manusia baik atau buruk menggunakan tolok ukur
akal pikiran atau rasio, sedangkan dalam moral dan susila menggunakan tolok ukur norma-
norma yang tumbuh dan berkembang dan berlangsung dalam masyarakat (adat istiadat), dan
dalam akhlaq menggunakan ukuran Al Qur’an dan Al Hadis untuk menentukan baik-
buruknya.
Akhlak adalah suatu sifat yang tertanam dalam jiwa yang timbul perbuatan-perbuatan
dengan mudah, dengan tidak memerlukan pertimbangan pikiran (lebih dulu).
Jika sifat tersebut timbul dari perbuatan-perbuatan yang baik dan terpuji secara akli dan
syar’i, maka dinamakanlah akhlak yang baik dan jika ia timbul dari perbuatan-perbuatan
yang jelek, maka dinamakanlah akhlak yang buruk. Namun, akhlak bukan ungkapan dari
perbuatan sebab adakalanya seseorang yang pada dasarnya dermawan, tetapi dia tidak
buktikan dengan perbuatan dikarenakan dia sendiri adalah orang miskin.
Dapat pula dikatakan, perbuatan yang sudah menjadi kebiasaan. Orang yang dermawan
sudah biasa memberi tanpa banyak pertimbangan lagi karena sifat tersebut sudah biasa dia
lakukan setiap saat. Akhlak itu haruslah bersifat konstan, spontan, tidak temporer, dan tidak
memerlukan pemikiran dan pertimbangan serta dorongan dari luar.
Dari definisi yang disebutkan di atas dapat ditemukan ciri-ciri akhlak antara lain bahwa
akhlak merupakan perbuatan yang telah tertanam kuat dalam jiwa seseorang, sehingga
menjadi kepribadiannya. Selanjutnya, karena perbuatan yang dilakukannya sudah mendarah
daging, maka pada saat akan mengerjakannya sudah tidak lagi memerlukan pertimbangan
atau pemikiran. Demikian pula bahwa perbuatan akhlak adalah perbuatan yang timbul dari
dalam diri orang yang mengerjakannya, tanpa ada paksaan atau tekanan dari luar yaitu
dilakukan atas dasar kemauan, pilihan dan keputusan yang bersangkutan.
Disamping meminta izin dan mengucapkan salam, masih ada beberapa hal yang harus
diperhatikan oleh setiap orang yang hendak bertamu, diantaranya:
1. Jangan bertamu sembarang waktu. Bertamulah pada saat yang kiranya tuan rumah
tidak akan terganggu
2. Jangan terlalu lama bertamu sehingga merepotkan tuan rumah. Segeralah pulang jika
urusan sudah selesai.
3. Jangan melakukan kegiatan yang menyebabkan tuan rumah terganggu. Diizinkan
masuk rumah bukan berarti diizinkan segala-galanya.
4. Kalau disuguhi minuman atau makanan, hormatilah jamuan itu. Bahkan Rasulullah
saw menganjurkan kepada orang yang berpuasa sunah sebaiknya membukai puasanya
untuk jamuan (HR. Baihaqi).
5. Hendaklah pamit ketika akan pulang.
3. MENERIMA TAMU
Rasulullah saw mengaitkan sifat memuliakan tamu itu dengan keimanan terhadap
Allah SWT dan Hari Akhir. Beliau bersabda:
“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, hendaklah ia berkata
yang baik atau diam. Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir
hendaklah ia memuliakan tetangganya. Dan barangsiapa yang beriman kepada Allah
dan Hari Akhir, maka hendaklah ia memuliakan tamunya.” (HR. Bukhari dan
Muslim).
Memuliakan tamu dilakukan antara lain dengan menyambut kedatangannya
dengan muka manis dan tutur kata yang lemah lembut, mempersilakan duduk di
tempat yang baik. Kalau perlu disediakan ruangan khusus menerima tamu yang dijaga
kerapihannya.
Kalau tamu dating dari tempat yang jauh dan ingin menginap, tuan rumah wajib
menerima dan menjamunya maksimal tiga hari tiga malam. Lebih dari itu terserah tuan
rumah tetap menjamunya atau tidak. Menurut Rasulullah saw, menjamu tamu lebih
dari tiga hari nilainya sedekah, bukan lagi kewajiban. Rasulullah saw bersabda:
“Menjamu tamu itu hanya tiga hari. Jaizahnya sehari semalam. Apa yang
dibelanjakan untuk tamu diatas tiga hari adalah sedekah. Dan tidak boleh bagi tamu
tetap menginap (lebih dari tiga hari) Karen ahal itu akan memberatkan tuan rumah.”
(HR. Tirmidzi)
Menurut Imam Malik, yang dimaksud dengan jaizah sehari semalam adalah
memuliakan dan menjamu tamu pada hari pertama dengan hidangan yang istimewa
dari hidangan yang biasa dimakan tuan rumah sehari-hari. Sedangkan hari kedua dan
ketiga dijamu dengan hidangan biasa sehari-hari.
Sedangkan menurut Ibn al-Atsir, yang dimaksud dengan jaizah sehari semalam
adalah memberi bekal kepada tamu untuk perjalanan sehari-semalam. Namun
bagaimanapun bentuknya, substansinya tetap sama yaitu anjuran untuk memuliakan
tamu sedemikian rupa
4. HUBUNGAN BAIK DENGAN TETANGGA
Sesudah anggota keluarga sendiri, orang yang paling dekat dengan kita adalah tetangga.
Merekalah yang diharapkan paling dahulu memberikan bantuan jika kita membutuhkannya.
Jika kita tiba-tiba ditimpa musibah kematian misalnya, tetanggalah yang paling dahulu
datang takziah. Begitu juga apabila kita mengadakan suatu acara maka tetanggalah yang
pertama datang membantu dibandingkan family kita yang rumahnya lebih jauh. Kepada
tetangga pulalah kita menitipkan rumah kita disaat kita sedang bepergian jauh ke luar kota.
Rasulullah saw juga mengatakan bahwa tetangga yang baik adalah salah satu dari tiga hal
yang membahagiakan hidup:
“Di antara yang membuat bahagia seorang Muslim adalah tetangga yang baik, rumah
yang lapang, dan kendaraan yang nyaman.” (HR. Hakim)
baik buruknya sikap tetangga kepada kita tentu tergantung juga bagaimana sikap kita
terhadap mereka. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT:
“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nyadengan sesuatupun. Dan
berbuat baiklah kepada dua orang ibu bapak, karib kerabat, anak-anak yatim, orang-orang
miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil dan hamba
sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan
membanggakan diri.” (QS An-Nisa’:36)
dengan varian agama dan hubungan kekeluargaan, tetangga dapat diklasifikasikan menjadi
tiga. Pertama, tetangga yang punya satu hak, yaitu hak sebagai tetangga. Mereka adalah
tetangga yang bukan famili dan bukan pula seagama. Kedua, tetangga yang punya dua hak,
yaitu hak tetangga dan hak seagama. Mereka adalah tetangga yang seagama. Ketiga, tetangga
yang punya tiga hak, yaitu hak tetangga, seagama dan famili. Mereka adalah tetangga yang
seagama dan punya hubungan kekeluargaan. Tetangga yang punya hak lebih banyak, lebih
berhak mendapatkan kebaikan dari kita.
Pentingnya hubungan baik dengan tetangga
Rasulullah saw menjadikan sikap baik dengan tetangga sebagai ukuran keimanan seseorang
kepada Allah SWT dan Hari Akhir. Beliau bersabda:
“Demi Allah, dia tidak beriman!” “Demi Allah, dia tidak beriman!” “Demi Allah, dia tidak
beriman!” Seorang sahabat bertanya: “Siapa dia (yang tidak beriman itu) ya Rasulullah?”
Beliau menjawab: “Orang yang tetangganya tidak aman dari keburukannya.” (H. Mutafaqun
‘Alaih)
“Tidak masuk sorga orang yang tetangganya tidak aman dari keburukannya.” (HR. Muslim)
Semakin kuat iman seseorang, semakin baik dia dengan tetangganya, begitu pula
sebaliknya.
Bentuk-bentuk hubungan baik dengan tetangga
Minimal hubungan baik dengan tetangga diwujudkan dalam bentuk tidak mengganggu atau
menyusahkan mereka. Yang lebih baik lagi tidak hanya sekedar menjaga jangan sampai
tetangga terganggu, tapi secara aktif berbuat baik kepada mereka. Misalnya dapat dengan
bertegur sapa, memberikan pertolongan disaat tetangga butuh pertolongan dan lain
sebagainya.
Rasulullah saw bersabda:
“Hak tetangga itu ialah, apabila ia sakit kamu menjenguknya, apabila ia meninggal, kamu
mengiringi jenazahnya, apabila ia membutuhkan sesuatu, kamu meminjaminya, apabila ia tidak
memiliki pakaian kamu memberinya pakaian, apabila dia mendapat kebajikan kamu
mengucapkan selamat kepadanya, apabila ia mendapat musibah, kamu bertakziah kepadanya,
jangan engkau meninggikan rumahmu atas rumahnya sehingga angin terhalang masuk
rumahnya, dan janganlah kamu menyakitinya dengan bau periukmu kecuali kamu memberikan
sebagian dari masakan itu.” (HR. Thabrani)
Seorang muslim harus peduli dan memperhatikan tetangganya. Jangan sampai terjadi
seseorang dapat tidur nyenyak sementara tetangganya menangis kelaparan, sebagaimana yang
dinyatakan oleh Rasulullah saw dalam sebuah hadits:
“Tidaklah beriman kepadaku orang yang dapat tidur dengan perut kenyang sementara
tetangganya kelaparan, padahal dia mengetahui.” (HR. Bazzar)
5. HUBUNGAN BAIK DENGAN MASYARAKAT
Selain hubungan baik dengan tetangga dan tamu, orang Islam harus dapat berhubungan
baik dengan masyarakat umum yang berada pada lini lini kehidupan, baik orang itu berbeda
agama sekali pun. Hubungan baik dengan masyarakat diperlukan, karena manusia
merupakan makhluk sosial dan menjadi fitrah manusia untuk saling kenal diantara sesama.
Hal ini Allah menjelaskan dalam Al-Qur'an surat Al-Hujurat ayat 13 Allah berfirman:
وجعلناكم يا أيها الناس إنا خلقناكم من ذكر وأنثى شعوبا وقبائل لتعارفوا إن أكرمكم عند هللا أتقاكم إن هللا عليم خبير
13 :(الحجرات
Artinya:" Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan
seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu
saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang [11.56, 31/10/2022] ʀɪsᴍᴀ ᴅᴇᴀɴᴏᴠᴀ:
paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu.
Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal." (QS. Al-Hujurat: 13).
Dalam Islam sudah diatur mengenai hak dan kewajiban masing-masing anggota masyarakat,
seperti menjawab salam, mengunjungi orang sakit, mengiringi janazah, memenuhi undangan
dan menjawab orang yang sedang bersin. Hal ini ditegaskan oleh Nabi Muhammad SAW
dalam salah satu haditsnya sebagai berikut: "Kewajiban seorang muslim itu atas muslim
lainnya ada lima: Menjawab salam, mengunjungi orang sakit, mengiringkan janazah,
memenuhi undangan, dan menjawab salam." (HR. Khamsah).
Tujuan Islam adalah membangun individu dan masyarakat agamis, yaitu masyarakat yang
hubungan sosialnya dibangun berdasarkan tujuan dan hukum agama. Masyarakat ideal
adalah masyarakat yang di antara tanggung jawab sosial dan iman memiliki hubungan yang
kuat dan tidak dapat dipisahkan.
Keistimewaan yang penting dan prinsip dari umat Islam adalah hendaknya menjadi teladan
bagi manusia dan masyarakat yang lain. Dari sini, umat Islam harus mampu memenej
masyarakatnya sedemikian rupa, sehingga menjadi teladan hakiki dari sebuah masyarakat
ideal dan sempurna.
Untuk menciptakan masyarakat agamis harus dibangun berdasarkan keamanan,
kesejahteraan, keadilan sehingga dapat terwujud ketenangan dan kesejahteraan baik material
dan spiritual. Masyarakat yang berusaha mencapai tujuan ini harus memiliki keistimewaan
itu. Dengan mencermati ayat-ayat al-Quran, kita dapat menyebut beberapa keistimewaan itu
seperti mencari kebenaran, iman kepada Allah, bersikap adil dan persatuan.
6. PERGAULAN MUDA MUDI
Manusia adalah makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri dan senantiasa
membutuhkan kehadiran orang lain Istilah pergaulan berarti kegiatan manusia untuk
membaur bersama manusia lainnya dan berinteraksi satu sama lain. Dalam islam
pergaulan diatur sedemikian mungkin sehingga menghindari hal-hal yang tidak
diinginkan seperti halnya konflik dan lain sebagainya. Seperti yang kita ketahui bahwa
Allah menciptakan manusia dengan berbagai macam perbedaan dan berasal dari berbagai
suku dan Allah menghendaki manusia untuk saling mengenal satu sama lain.
Islam adalah agama yang mulia dan mengatur segala aspek kehidupan termasuk
pergaulan. Dalam islam ada beberapa
etika yang harus dipenuhi dan hal ini disebut dengan etika islam. Secara bahasa kata etika
berasal dari kata ethokos (Yunani) atau ethos yang memiliki arti karakter, kebiasaan,
kecenderungan dan penggunaan Kata etika itu sendiri juga cenderung identik dengan kata
dalam bahasa latin mos yang artinya adat atau tata cara kehidupan. Dengan kata lain etika
islami adalah sistem atau tata cara yang mengatur tingkah laku seseorang terutama dalam
masyarakat. Etika islam adalah etika yang dilandasi oleh hukum istam dan mutlak
mengikat semua umat muslim terutama
dalam pergaulan
Gambaran maraknya budaya permisifisme dan hedonisme ini dapat kita lihat dari hasil
penelitian Synovate di empat kota; Jakarta, Bandung, Medan dan Surabaya (Republika,
edisi 11 Maret 2006).
Dari 450 responden putra-putri usia 15-24 tahun kita menemukan kenyataan yang sangat
mencengangkan. Fenomena seks bebas di kalangan remaja akan data berikut ini:
1. Sekitar 16% remaja di empat kota itu mengaku sudah berhubungan intim saat berusia
antara 13-15 tahun.
2. 44% responden lainnya mengaku mulai 'mencicipi' seks sejak usia 16-18 tahun.
Sampai disini kita dapat menghitung bahwa 50% responden mengaku telah
berhubungan seks saat mereka belum lagi lepas akil baligh.
3. Sekitar 35% responden mengaku mengenal seks pertama kali dari film porno.
Sisanya mengaku mengetahui seks dari pengalaman sesama teman.
4. 40% responden mengaku pertama kali melakukan hubungan seks di rumah mereka;
26 % mengaku senang melakukannya di tempat kos; 26% lainnya senang
melakukannya di kamar hotel.
Sangat memprihatinkan. Inilah yang terjadi pada sebagian remaja. Kita tidak tahu
persis fakta sesungguhnya; mungkin jumlahnya lebih sedikit, mungkin juga lebih
besar.
Pertanyaannya adalah, apa yang mesti kita lakukan? Menurut penulis, tidak ada
pilihan lain, kecuali dengan berusaha menegakkan dan menjungjung tinggi akhlak
islami. Dan untuk itu setiap kita hendaknya merasa bertanggung jawab untuk
mewujudkannya.
Islam adalah agama yang syamil (menyeluruh) dan mutakamil (sempurna).
Agama mulia ini diturunkan dari Allah Sang Maha Pencipta, Yang Maha Mengetahui
tentang seluk beluk ciptaan Nya. Dia turunkan ketetapan syariat agar manusia hidup
tenteram dan teratur. Diantara aturan yang ditetapkan Allah SWT bagi manusia
adalah aturan mengenai tata cara pergaulan antara pria dan wanita. Berikut rambu
rambu yang harus diperhatikan oleh setiap muslim agar mereka terhindar dari
perbuatan zina yang tercela (Miftah Farid, 2000: 65).
Awal dorongan syahwat adalah dengan melihat. Maka jagalah kedua biji mata ini
agar terhindar dari tipu daya syaithan. Tentang hal ini Rasulullah bersabda, "Wahai
Ali, janganlah engkau iringkan satu pandangan (kepada wanita yang bukan mahram)
dengan pandangan lain, karena pandangan yang pertama itu (halal) bagimu, tetapi
tidak yang kedua!" (HR. Abu Daud).
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
B. SARAN