Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN

SEBUAH. LATAR BELAKANG

Dalam persoalan Akhlak, manusia sebagai makhluk berakhlak berkewajiban menunaikan dan
menjaga akhlak yang baik serta menjauhi dan meninggalkan akhlak yang buruk. Akhlak merupakan
dimensi nilai dari Syariat Islam. Kualitas keragaman justru ditentukan oleh nilai akhlak. Jika syariat
berbicara tentang syarat rukun, sah atau tidak sah, maka akhlak tertekan pada kualitas dari
perbuatan, misalnya beramal dilihat dari keikhlasannya, shalat dilihat dari kekhusu’annya, berjuang
dilihat dari kesabarannya, haji dari kemabrurannya, ilmu dilihat dari kesedihannya dengan
perbuatan, harta dilihat dari aspek mana dari mana dan untuk apa, postingan dilihat dari ukuran apa
yang telah diberikan, bukan apa yang diterima.

Dengan demikian, dikarenakan akhlak merupakan dimensi nilai dari Syariat Islam, maka Islam
sebagai agama yang dapat dilihat dari berbagai dimensi, sebagai keyakinan, sebagai ajaran dan
sebagai kaidah. Agama Islam sebagai aturan atau sebagai hukum dimaksudkan untuk mengatur tata
kehidupan manusia. Sebagai aturan, agama atau sebagai hukum dimaksudkan untuk mengatur tata
kehidupan manusia. Sebagai aturan, agama berisi perintah dan larangan, ada perintah keras (wajib)
dan larangn keras (haram), ada juga perintah saran (sunat) dan larangan saran (makruh).

Dalam kehidupan bertetangga, bermasyarakat, berbangsa maupun bernegara kita sebagai umat
yang senantiasa bersosialisasi, berinteraksi dengan yang lainnya, khususnya umat muslim, sudah
sepantasnya kita menmpilkan akhlak mulia yang telah dicontohkan oleh Rasulullah saw dan para
sahabat beliau yang diridloi oleh Allah swt. Berperilaku/berakhlak mulia di dalam bertetangga sangat
perlu untuk direalisasikan dalam kehidupan sehari-hari.

Sebagai sesama umat yang seakidah kita perlu menjaga keharmonisan persaudaraan yang
didasarkan atas kesamaan di dalam berkeyakinan. Islam mengajarkan agar kita selalu menampilkan
kemuliaan akhlak dalam tetangga. Di samping itu kita juga harus menampilkan akhlak yang mulia di
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

B. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan uraian yang terdapat pada latar belakang, maka rumusan masalah yang terdapat dalam
penulisan makalah ini yaitu:

1. Apa yang dimaksud dengan akhlak?

2. Bagaimana akhlak dalam bermasyarakat?

3. Bagaimana akhlak dalam berbangsa?


C. TUJUAN

Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui:

1. Pengertian akhlak.

2. Akhlak dalam bermasyarakat.

3. Akhlak dalam berbangsa.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. PENGERTIAN AKHLAK

Secara etimologis (lugbatan) akhlaq (Bahasa Arab) adalah bentuk jamak dari khuluq yang berarti
budi pekerti, perangai tingkah laku atau tabiat. Berakar dari kata khalaqa yang berarti menciptakan.
Seakar dengan kata Khaliq ”Pencipta”, makhluk (yang diciptakan) dan khalq(pnciptaan). Dengan asal
tersebut maka definisi akhlaq adalah tata perilaku seseoang terhadap orang lain dan lingkungannya.

Akhlak secara terminologi berarti tingkah laku seseorang yang didorong oleh suatu keinginan secara
sadar untuk melakukan suatu perbuatan yang baik. Kesamaan akar kata diatas mengisyaratkan
bahwa dalam akhlaq tercakup pengertian terciptanya keperpaduan antara kehendak Khaliq(Tuhan)
dengan perilaku makhluq (manusia). Dari pengertian seperti ini, akhlaq bukan saja aturan/ norma
perilaku yang mengatur hubungan antara sesama manusia, tetapi juga norma yang mengatur
hubungan manusia dengan Tuhan dan bahkan dengan alam sekalipun.

B. AKHLAK BERMASYARAKAT

Akhlaq kepada masarakat adalah sifat yang tertanam dalam jiwa manusia yang dilakukan secara
spontan tanpa pertimbangan terlebih dahulu dalam lingkungan atau kehidupaan.

Akhlak kepada masyarakat mempelajari tentang bagaimana cara kita bertingkah laku di masyarakat.
Tujuan dari kehidupan bermasyarakat diantaranya ialah menumbuhkan rasa cinta, perdamaian,
tolong-menolong, yang merupakan fondasi dasar dalam masyarakat Islam.

Kita harus memperhatikan saudara (kaum muslim semuanya) dan juga tetangga kita. Tetangga selalu
ada ketika kita membutuhkan bantuan. Seperti yang diriwayatkan dari Anas ra bahwa Rasulullah
SAW bersabda:

“Tidaklah beriman seoarang dari kalian hingga ia menyukai saudaranya sebagaimana ia menyukai
dirinya sendiri.” (H.R. Bukhari)

Dari hadits shahih bahwasannya Rasulullah SAW bersabda:

“Tidak masuk sorga orang yang tetangganya tidak aman dari keburukannya” (H.R Muslim).

Bisa disebutkan bahwa apabila salah satu tetangga kita sedang tertimpa suatu masalah dan sangat
membutuhkan bantuan hendaklah membantu jangan hanya berdiam diri padahal kita tidak sadar
sedang melakukan kesalahan-kesalahan. Pastilah Allah SWT sangat tidak suka terhadap orang yang
seperti itu, maka masuklah ke neraka (tidak masuk sorga).

Kehidupan di masyarakat pastilah akan menjumpai kegiatan silaturahim. Orang yang berakhlak baik
biasanya senang dengan bertamu atau silaturahim karena ini dapat menguatkan hubungan sesama
muslim. Beberapa hal kegiatan dalam masyarakat yaitu:
1. Bertamu dan menerima tamu

a. Bertamu

Sebelum memasuki rumah, yang bertamu hendaklah meminta izin kepada penghuni rumah dan
setelah itu mengucapkan salam.

Dengan Firman ALLAH SWT:

“Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu memasuki rumah yang bukan rumahmu sebelum
meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya. Yang demikian itu lebih baik bagimu, agar
kamu (selalu) ingat.” (QS. An-Nur 24: 27)

Rasulullah SAW bersabda:

“Jika seorang di antara kamu telah meminta izin tiga kali, lalu tidak diizinkan, maka hendaklan dia
kembali.” (HR. Bukhari Muslim)

Meminta izin kepada pemilik rumah dilakukan maksimal tiga kali itu memiliki sebab, diantaranya:

1) Ketukan pertama sebagai isyarat kepada pemilik rumah bahwa telah kedatangan tamu.

2) Ketukan kedua memberikan waktu untuk membereskan barang-barang yang mungkin


berantakan dan menyiapkan segala sesuatu yang piperlukan.

3) Ketukan ketiga biasanya pemilik rumah sudah siap membukakan pintu. Akan tetapi bisa saja
pada waktu ketukan kedua pemilik rumah sudah membukakan pintu, tergantung situasi dan kondisi
pemilik rumah.

Namun bila pada ketukan ketingga tetap tidak dibukakan pintu, kemungkinan pemilik rumah tidak
bersedia menerima tamu atau sedang tidak berada di rumah. Merujuk firman Allah SWT:

“Jika kamu tidak menemui seseorang di dalamnya, maka janganlah kamu masuk sebelum kamu
mendapat izin. Dan jika dikatakan kepadamu: “Kembali (saja) lah ”, maka hendaklah kamu kembali.
Itu lebih bersiih bagimu dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. An-Nur 24:28)
[10]

Etika dalam bertamu yaitu sebagai berikut:

1) Dilarang untuk Mengintip di Jendela.

Mengintip di jendela ketika hendak bertamu bukanlah etika yang baik dan ini menunjukkan sikap
yang kurang sopan, jadi hendaknya kita menghindarinya agar si pemilik rumah tidak merasa
terganggu.

2) Sopan saat bertamu.

Berlaku sopan/ baik itu merupakan akhlak seorang muslim. Apabila bertamu maka hendaklah
mengucapkan hal-hal yang baik, berperilaku yang sopan dan ramah agar si tuan sumah tetap merasa
nyaman.

3) Pilihlah waktu yang tepat dan jangan terlalu lama.

Usahakan bertamu di waktu yang tepat, misalnya di waktu sore, hindari bertamu di waktu orang lain
sedang istirahat, misalnya tengah malam dan jangan terlalu lama, hal ini dianjurkan karena
dikhawatir justru akan mengganggu aktivitas tuan rumah.
4) Tidak merepotkan.

Berbuat baik kepada tamu termasuk perkara penting yang diwajibkan oleh Rasulullah S.a.w kepada
kita. Perbuatan ini termasuk hak muslim atas muslim lainnya. Termasuk ahklak yang mulia,
Rasulullah S.a.w bersabda:

Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari Akhir, endaklah ia memuliakan tamu-tamunya dengan
memberinya hadiah. Apa hadihanya itu ya Rasulullah? Beliau menjawab (menjamunya sehari
semalam, jamuan untuk tamu ialah 3 hari dan selebihnya adalah sedekah).

b. Menerima tamu

Salah satu akhlak yang terpuji dalam Islam adalah menerima dan memuliakan tamu tanpa
membedakan status sosial. Rasulullah SAW bersabda:

“Barang siapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, hendaklah ia berkata yang baik atau diam.
Barang siapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir hendaklah ia memuliakan tetangganya. Dan
barang siapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, maka hendaklah ia memuliakan tamunya.”
(HR. Bukhari dan Muslim)

Jika tamu datang dari tempat yang jauh dan ingin menginap, maka pemilikan rumah atau tuan
rumah wajib menerima dan menjamunya dengan batasan maksimal tiga hari. Apabila tamu mau
menginap lebih dari tiga hari, terserah tuan rumah tetap menjamunya atau tidak. Rasulullah SAW
bersabda:

“Menjamu tamu itu hanya tiga hari. Jizahnya sehari semalam. Apa yang dibelajakan untuk tamu
diatas tiga hari adalah sedekah. Dan tidak bolaeh bagi tamu tetapmenginap (lebih dari tiga hari).
Karena hal itu akan memberatkan tuan rumah.” (HR. Tirmidzi)

Menurut Rasulullah SAW, menjamu tamu lebih dari tiga hari nilainya sedekah, bukan lagi kewajiban.

2. Hubungan Baik Dengan Tetangga

Memuliakan dan berbuat baik kepada tetangga adalah perkara yang sangat ditentukan dalam syariat
islam, hal ini juga telah diperintahkan Allah dalam Firman-Nya

“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat
baiklah kepada dua orang ibu-bapak, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga
yang dekat dan tetangga yang jauh[1], dan teman sejawat, Ibnu sabil[2] dan hamba sahayamu.
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan
diri.”(QS. An-Nisa:36)

Sebagai seorang muslim yang baik maka hendaklah kita senantiasa memperlakukan tetangga kita
dengan senantiasa memperhatikan dan memuliakan haknya. Hak seorang tetangga ini dapat
diklasifikasikan menjadi 4, yaitu :

1) Berbuat Baik (Ihsan) Kepada Tetangga

Diantar ihsab kepada tetangga adalah ta’ziah ketika mereka mendapatkan musibah, mengucapkan
salam ketika mendapatkan kebahagiaan, menjenguknya ketika sakit, dan bermuka manis ketika
bertemu dengannya serta membantu membimbingnya kepada hal-hal yang bermanfaat dunia
akhirat. Sebagian ulama berkata, kesempurnaan berbuat baik kepada tetangga ada 4 hal, yaitu :

a) Senang dan bahagia dengan apa yang dimilikinya


b) Tidak tamak untuk memiliki apa yang dimilikinya

c) Mencegah gangguan dengannya

d) Bersabar dari gangguangnya

e) Sabar menghadapi gangguan tetangga

2) Menjaga dan Memelihara Tetangga

Imam Ibnu Abi Jamroh berkata, menjaga tetangga termasuk kesempurnaan iman orang jahiliyah
dahulu sangat menjaga hal ini melaksanakan wasiat berbuat baik ini dengan memberikan beraneka
ragam sesuai kemampuan, seperti salam, bermuka manis ketika bertemu, menahan sebab-sebab
yang mengganggu mereka dengan segala macam nya, baik jasmani dan rohani.

2) Tidak Mengganggu Tetangga

Telah dijelaskan diatas kedudukan tetatngga yang tinggi dan hak-haknya yang terjaga di dalam islam.
Rasulullah Saw memperingatkan dengan keras upaya mengganggu tetangga, sebagaimana dalam
sabdanya yaitu:

“Tidak masuk surga orang yang tetangganya tidakaman dari kejahatannya” (HR.Muslim).

3. Adab Pergaulan Dengan Lawan Jenis

Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam bergaul dengan lawan jenis, diantaranya yaitu :

a. Senantiasa menundukkan pandangan.

Menundukkan pandangan adalah suatu hal yang sangat dianjurkan oleh Rasulullah saw karena
sesungguhnya dengan menundukkan pandangan, akan menjadi sebab Allah ridha kepadanya, dan
akan senantiasa membuat qalbunya tentram. Sebab mata adalah cerminan qalbu. “Katakan kepaa
orang laki-laki yang beriman hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara
kemaluannya, yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka” (An-Nur : 30)

Syaikhul islam Ibnu Tamuan berkata mengenai ayat ini, Allah Swt menjadikan sikap menundukkan
pandangan dan menjaga kemaluan sebagai upaya paling kuat untuk membersihkan jiwa itu
mencakup hilangnya segala keburukan berupa perbuatan keji, kezaliman, kesirikan, kedustaan, dsb.

“Wahai Ali, janganlah engkau turutkan pandangan (pertama) dengan pandangan (ke-2) karena
engkau berhak (yakin tidak berdosa) pada pandangan (pertama) tetapi tidak hak pada pandangan ke
dua” (HR. Abu Daud, Tirmizi).

b. Menjaga hijab/ tidak berkhalwat

Hal yang kedua yang harus kita perhatikan dalam bergaul dengan lawan jenis adalah agar kita
senantiasa menjaga hijab, tidak terlalu bercampur baur dengan lawan jenis agar kita senantiasa
menjaga dijauhkan dari fitnah. Selain itu, kita dilarang untuk berkhalwat atau berduan dengan lawan
jenis.

“Janganlah laki-laki berkhalwat dengan seorang perempuan kecuali bersama mahrom” (HR. Muslim).

Selain itu, di hadits lain yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Hakim, Rasulullah Saw bersabda
“Ketahuilah tidaklah seorang laki-laki menyendiri dengan seorang wanita kecuali yang ke tiga adalah
syaitan.” Dan di hadits lainpun dikatakan bahwa “Siapa saja yang beriman kepada Allah dan hari
akhir, maka jangnlah sekali-kali menyendiri dengan perempuan lain yang tidak disertai mahramnya.
Karena ditempat yang sepi itu ada setan yang senantiasa mengajak berbuat zina” (al-hadits).

Kita juga dilarang untuk bersentuhan dengan lawan jenis karena itulah kita harus senantiasa
memberi batasan dalam bergaul dengan mereka, hindari hal-hal yang bisa membuat kita saling
bercampur baur dan bersentuhan dengan lawan jenis. Dari Aisyah ra, “Rasulullah S.a.w tidak pernah
menyentuh tangan seorang wanita kecuali yang dimiliki” (HR. Bukhari).

Dan suatu kecelakaan besar, apabila menyepelekan hal seperti ini sesungguhnya ditusukkan kepada
salah seorang diantara kamu dengan jarum besi itu lebih baik daripada ia menyentuh wanita yang
tidak halal baginya (HR. Baihaqi, Ath-Tabrani)

Rasulullah pun mengabarkan kepada umat manusia agar senantiasa berhati-hati dalam bergaul
dengan lawan jenis karena dapat membuka pintu fitnah. “Tidaklah ku tinggalkan setelahku suatu
fitnah yang lebih berbahaya laki-laki melainkan fitnah yang datang dari wanita”. (HR. Muttafaqun
Alaih)

c. Berkomunikasi untuk hal yang penting saja.

Untuk menghindari timbulnya perasaan saling mengagumi maka dianjurkan untuk membatasi
pergaulan dengan lawan jenis. Cukuplah berkomunikasi untuk hal-hal yang penting dan hindari
kebiasaan bercanda dengan lawan jenis karena ini bisa menimbulkan rasa kagum yang akan
berujung pada rasa cinta. Dan kemungkinan terbesar, cinta ini adalah cinta yang hanya berlandas
pada nafsu dan akan menodai kesucian cinta itu. Oleh sebab itu, kita harus senantiasa bersikap wara’
dalam bergaul dengan lawan jenis.

4. Ukhuwah Islamiyah

Ukhuwah Islamiyah bisa diartikan sebagai persaudaraan di antara umat islam, dimana persaudaraan
diantara seorang muslim diibaratkan sebagai bangunan yang kokoh yang sedang menguatkan.
Sebagai umat islam, ada hal-hal yang harus ditunaikan anatar sesama umat islam sebagaimana yang
dijelaskan Rasulullah dalam sabdanya:

“Apabila engkau berjumpa dengannya, ucapkanlah salam, apabila ia mengundangmu, penuhilah,


apabila dia meminta nasehat kepadamu berilah nasehat, apabila dia bersin dan mengucapkan
Alhamdulillah, ucapkanlah Yarhamukallah, apabila dia sakit, jenguklah dan apabila dia meninggal
dunia, antarkanlah jenazahnya” (HR. Bukhari Muslim)

Jadi, ada 6 hak seorang muslim sebagaimana yang disebutkan dalam hadits diatas, yaitu:

a. Apabila engakau berjumpa dengannya, ucapkanlah salam

Dari Abu Hurairah r.a., ia berkata bahwa Rasulullah saw bersabda,

“Kalian tidak akan masuk surga, kecuali dengan beriman. Kalian tidak akan beriman, kecuali dengan
saling mencintai. Maukah kalian aku tunjukkan kepada sesuatu yang jika kalian lakukan, maka kalian
akan saling mencintai? Sebarkanlah salam di antara kalian!” (HR. Muslim)

Selain itu, kita dianjurkan untuk saling memberi salam tidak hanya kepada orang-orang yang kita
kenal saja tetapi begitupun dengan orang yang belum kita kenal. Dari Abdullah ibn Amr r.a.,
“Seorang pemuda bertanya kepada Rasulullah saw, ‘Apa yang terbaik dalam islam?’ Rasulullah
menjawab, ‘Memberi makan (orang miskin) dan mengucapkan salam kepada yang engkau kenal atau
yang tidak engkau kenal.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Salam merupakan salah satu dari nama-nama Allah, menyebarkan salam berarti banyak menyebut
Allah, sebagaimana difirmankan oleh Allah, sebagaimana difirmankan oleh Allah,

“Laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk
mereka ampunan dan pahala yang besar.”(QS. AL-Ahzab: 35)

b. Apabila ia mengundangmu penuhilah

Dari Ibnu Umar Ibnu Umar ra., Rasulullah saw bersabda “Penuhilah undangan jika kalian diundang
(HR. Muslim) dan di hadits lain yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra., Rasulullah bersabda “Jika
seorang diantara kamu diundang maka hendaklah ia menghadirinya jika dia sedang berpuasa maka
doakanlah dan kalau tidak berpuasa hendaklah dia makan.” (HR. Muslim No.78)

Dari Jabir Abdullah ra, ia berkata “Rasulullah saw bersabda:

“Bila salah seorang di antara kamu diundang ke suatu jamuan makan, maka hendaklah ia
memenuhinya. Bila ia menghendaki dapat memakannya, dan bila menghendaki apat
membiarkannya”

c. Apabila dia minta nasehat maka nasehatilah

Menurut istilah syar’i, Ibnu al-Atsir menyebutkan, “Nasehat adalah sebuah kata yang
mengungkapkan suatu kalimat yang sempurna, yaitu keinginan (memberikan) kebaikan kepada
orang yang dinasehati. Makna tersebut tidak bisa diungkapkan hanya dengan satu kata, sehingga
harus bergabung dengannya kata yang lain” (An-Nihayah (V/62). Ini semakna dengan defenisi yang
disampaikan oleh Imam Khaththabi. Beliau berkata, “Nasehat adalah sebuah kata yang jami‘ (luas
maknanya) yang berarti mengerahkan segala yang dimiliki demi (kebaikan) orang yang dinasihati. Ia
merupakan sebuah kata yang ringkas (namun luas maknanya). Tidak ada satu kata pun dalam bahasa
Arab yang bisa mengungkapkan makna dari kata (nasehat) ini, kecuali bila digabung dengan kata
lain.” (I’lamul-Hadits (I/189-190) danSyarah Shahih Muslim (II/32-33), lihat Fathul Bari (I/167)).

Suatu keharusan bagi setiap umat manusia untuk selagi menasehati dalam kebaikan, selagi
mengajak kepada yang ma’ruf dan selalu mengingatkn ketika saudaranya khilaf. Firman Allah dalam
al-qur’an:

“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah[8] dan pelajaran yang baik dan
bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui
tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang
mendapat petunjuk. (QS. An-Nahl:125)

Didalam hadits Rasulullah, di jelaskan beberapa tahap dalam menasehati dan hendaklah kita
mengikuti agar bisa mendapat kemuliaannya, sabda Rasulullah “Barangsiapa yang melihat perkara
mungkar, maka hendaklah ia mencegahnya dengan tangannya. Jika tidak mampu, maka dengan
hatinya, maka hal yang terakhir ini sebagai pertinda selemah-lemahnya iman.”(HR. Muslim, Ahmad,
Abu Daud, At-Tirmidzi).

Dan sungguh mulia kedudukan orang yang menunjukkan jalan kebaikan, maka dari itu hendaklah
kita selalu mengingatkan. Karena orang yang mengingatkan akan mendapat pahala sebagaimana
hadit Rasulullah “Barangsiapa yang menunjukkan jalan kebaikan, ia akan memperoleh pahala seperti
pahala orang yang melakukannya.” (HR.Muslim).

d. Apabila dia bersin dan mengucapkan Alhamdulillah maka ucapkanlah Yarhamukallah


Dari Ali ra. Bahwa Rasulullah saw. Bersabda: “Apabila salah seorang di antara kalian bersin,
hendaklah mengucapkan alhamdulillah, dan hendaknya saudaranya mengucapkan untuknya
yarhamukallah. Apabila ia mengucapkan kepadanya yarhamukallah, hendaklah ia (orang yang bersin)
mengucapkan yahdii kumullah wa yushlihu balaakum (artinya = Mudah-mudahan Allah memberikan
petunjuk dan memperbaiki hatimu).” (HR.Bukhari)[10]

e. Apabila dia sakit, jenguklah

Ada pahala yang besar dalam perbuatan ini dan menjenguk orang yang sakit sangat dinjurkan.
Rasulullah bersabda,

“Barangsiapa menjenguk orang yang sakit, maka ia akan selalu berada dalam kebun surga.” Orang-
orang bertanya, “Wahai Rasulullah, apa yang dimaksud dengan kebun surga itu?” Rasulullah
menjawab, “Buah-buahnya.” (HR.Muslim)

f. Apabila dia meninggal dunia antarkanlah jenazahnya

“Barangsiapa yang mengantarkan jenazah seorang islam dengan rasa Iman dan karena Allah
sematadia menghadirinya sampai di shalati dan sampai selesai penguburannya, maka ia telah
kembali dengan mendapat dua qirath tiap-tiap qirat itu semisal besarnya gunung uhud.” (HR.
Bukhari)

Nafi’ berkata, “Diceritakan kepada Ibnu Umar bahwa Abu Hurairah berkata, “Barangsiapa yang
mengiringkan jenazah, maka ia mendapatkan satu qirath.’ Ibnu Umar berkata, ‘Abu Hurairah terlalu
banyak mengatakannya kepada kami.’ Lalu Aisyah membenarkan Abu Hurairah seraya berkata, ‘Aku
mendengar Rasulullah bersabda begitu.’ Kemudian Ibnu Umar berkata, ‘Sungguh kami telah
mengabaikan banyak qirath.”

C. AKHLAK BERBANGSA

Modernisasi zaman yang semakin berkembang dari waktu ke waktu menuntut manusia untuk
memahami akhlak secara esensial, dalam arti bahwa manusia memahami akhlak bukan hanya
sebagai sikap/perilaku saja. Melainkan, akhlak tersebut di implementasikan dalam kehidupan sehari-
hari.

Akhlak dalam berbangsa perlu untuk disadari oleh kita agar kita dapat menjadi semakin sensitif
terhadap persoalan yang terjadi pada bangsa dan negara kita. Bukan hanya Hal ini didorong dengan
kekhawatiran akan bobroknya generasi kita, apabila tidak dibekali dengan pengetahuan tentang
akhlak yang cukup, untuk menjalani kehidupan kedepannyaberikut merupakan akhlak dalam
berbangsa:

1. Musyawarah.

Kata ( ‫ ) شورى‬Syûrâ terambil dari kata ( ‫ إستشاورة‬-‫ مشاورة‬-‫ )شاورة‬menjadi ( ‫ ) شورى‬Syûrâ. Kata Syûrâ
bermakna mengambil dan mengeluarkan pendapat yang terbaik dengan menghadapkan satu
pendapat dengan pendapat yang lain.Dalam Lisanul ‘Arab berarti memetik dari serbuknya dan
wadahnya. Kata ini terambil dari kalimat (‫ )شرت العسل‬saya mengeluarkan madu dari wadahnya.

Berarti mempersamakan pendapat yang terbaik dengan madu, dan bermusyawarah adalah upaya
meraih madu itu dimanapun ia ditemukan, atau dengan kata lain, pendapat siapapun yang dinilai
benar tanpa mempertimbangkan siapa yang menyampaikannya. Musyawarah dapat berarti
mengatakan atau mengajukan sesuatu.
Adapun salah satu ayat dalam Al – Qur’an yang membahas mengenai Musyawarah adalah surah Al-
Syura ayat 38:

َ‫َوالَّ ِذينَ ا ْستَ َجابُوا ِل َربِّ ِه ْم َوَأقَا ُموا الصَّالةَ َوَأ ْم ُرهُ ْم ُشو َرى بَ ْينَهُ ْم َو ِم َّما َر َز ْقنَاهُ ْم يُ ْنفِقُون‬
Artinya: “Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan
shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka; dan mereka
menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka.” (QS. Asy-Syura: 38)

Musyawarah sangat diperlukan untuk dapat mengambil keputusan yang paling baik disamping untuk
memperkokoh rasa persatuan dan rasa tanggung jawab bersama . Ali Bin Abi Thalib menyebutkan
bahwa dalam musyawarah terdapat tujuh hal penting yaitu, mengambil kesimpulan yang benar,
mencari pendapat, menjaga kekeliruan, menghindari celaan, menciptakan stabilitas emosi,
keterpaduan hati, mengikuti atsar.

a. Hal-hal yang boleh di musyawarahkan

Islam memberikan batasan hal apa saja yang boleh dimusyawarahkan . Karena musyawarah adalah
pendapat orang, maka apa-apa yang sudah ditetapkan oleh nash (Al – Qur’an dan As-Sunnah) tidak
boleh dimusyawarahkan , sebab pendapat orang tidak boleh mengungguli wahyu.

Jadi musyawarah hanyalah terbatas pada hal – hal yang bersifat Ijtihadiyah . Para sahabat pun kalau
dimintai pendapat mengenai suatu hal, terlebih dahulu mereka bertanya kepada Rasulullah SAW.
Apakah masalah yang dibicarakan telah diwahyukan oleh Allah atau merupakan Ijtihad Nabi. Jika
pada kenyataannya adalah ijtihad Nabi, maka mereka mengemukakan pendapat .

Masalah-masalah ijtihadiyah diungkapkan dalam Al Qur’an dengan kata Al-Amr . Istilah amruhum
disini berarti masalah bersama atau ‘common problems’, yaitu masalah-masalah yang menyangkut
kepentingan nasib atau anggota masyarakat yang bersangkutan.

b. Tata Cara Musyawarah. Rasulullah mempunyai tata cara bermusyawarah yang sangat bervariasi
; (1) Kadang kala seseorang memberikan pertimbangan kepada beliau, lalu beliau melihat pendapat
itu benar, maka beliau mengamalkannya (2) Kadang-kadang beliau bermusyawarah dengan dua atau
tiga orang saja (3) Kadang kala beliau juga bermusyawarah dengan seluruh massa melalui cara
perwaklian. Dari beberapa tata cara bermusyawarah Rasulullah diatas kita dapat menyimpulkan
bahwa tata cara musyawarah , anggota musyawarah bisa selalu berkembang sesuai dengan
kebutuhan dan perkembangan zaman, tetapi hakekat musyawarah harus selalu tegak ditengah
masyarakat dan negara .

c. Sikap Bermusyawarah. Supaya musyawarah dapat berjalan dengan lancar dan penuh
persahabatan, firman Allah dalm surat Ali Imran ayat 159 : Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah
kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar,
tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma’afkanlah mereka, mohonkanlah
ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu . Kemudian apabila
kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai
orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya. (Ali Imran : 159). Dapat kita lihat Allah SWT
mengisyaratkan ada beberapa sikap yang harus dilakukan dalam bermusyawarah yaitu:

1) Lemah Lembut

Seseorang yang melakukan musyawarah , apalagi sebagai pimpinan harus menghindari tutur kata
yang kasar serta sikap keras kepala , karena jika tidak , mitra musyawarah akan tidak menghormati
pemimpin musyawarah.
3) Pemaaf

Setiap orang yang bermusyawarah harus menyiapkan mental untuk selalu bersedia member maaf .
Karena mungkin saja ketika musyawarah terjadi perbedaan pendapat , atau keluar kalimat-kalimat
yang menyinggung pihak lain . Dan bila itu masuk kedalam hati , akan mengeruhkan pikiran , bahkan
boleh jadi musyawarah berubah menjadi pertengkaran .

4) Mohon Ampunan Allah SWT

Untuk mencapai hasil yang terbaik ketika musyawarah , hubungan dengan Tuhan pun harus
harmonis . Oleh sebab itu , semua anggota musyawarah harus senantiasa membersihkan diri dengan
cara memohon ampun kepada Allah SWT baik untuk diri sendiri , maupun anggota musyawarah
lainnya.

2. Menegakkan Keadilan

Istilah keadilan berasal dari kata ‘adl (Bahasa Arab), yang mempunyai arti antara lain sama dan
seimbang. Dalam pengertian pertama, keadilan dapat diartikan sebagai membagi sama banyak, atau
memberikan hak yang sama kepada orang-orang atau kelompok. Dengan status yang sama.

Dalam pengertian kedua, keadilan dapat diartikan dengan memberikan hak seimbang dengan
kewajiban, atau memberi seseorang sesuai dengan kebutuhannya.

a. Perintah Berlaku Adil

Di dalam Al-Qur’an terdapat beberapa ayat yang memerintahkan supaya manusia berlaku adil dan
menegakkan keadilan. Perintah itu ada yang bersifat umum dan ada yang khusus dalam bidang-
bidang tertentu. Yang bersifat umum misalnya yang terdapat dalam Quran surah An-Nahl ayat 90
yaitu:

“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum
kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi
pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.”. (QS. An-Nahl 16:90)

Sedangkan yang bersifat khusus misalnya bersikap adil dalam menegakkan hukum (QS. An-Nisa’ 4:
58); adil dalam mendamaikan konflik (QS. Al-Hujurat 49:9); adil terhadap musuh (QS. Al-Maidah : 8)
adil dalam rumah tangga (QS. An-Nisa’ 4:3 dan 129); dan adil dalam berkata (QS. Al-An’am 6:152).

b. Keadilan Hukum

Islam mengajarkan bahwa semua orang mendapat perlakuan yang sama dan sederajat dalam
hukum, tidak ada diskriminasi hukum karena perbedaan kulit, status sosial, ekonomi, politik dan lain
sebagainya. Allah menegaskan:

“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya,
dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan
dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu.
Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. An-Nisa’4:58).

c. Keadilan dalam Segala Hal

Disamping keadilan hukum, islam memerintahkan kepada umat manusia, terutama orang-orang
yang beriman untuk bersikap adil dalam segala aspek kehidupan, baik terhadap diri dan keluarganya
sendiri, apalagi kepada orang lain. Bahkan kepada musuh sekalipun setiap mukmin harus dapat
berlaku adil. Mari kita perhatikan beberapa nash berikut ini :

1) Adil terhadap diri sendiri

2) Adil terhadap isteri dan anak-anak

3) Adil dalam mendamaikan perselisihan

4) Adil dalam berkata

5) Adil terhadap musuh sekalipun

3. Amar Ma’ruf Nahi Mungkar

Secara harfiah amar ma’ruf nahi munkar (al-amru bi ‘l-ma’ruf wa ‘n-nahyu ‘an ‘l-munkar) berarti
menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar.

Ma’ruf secara etimologis berarti yang dikenal, sebaliknya munkar adalah sesuatu yang tidak dikenal.
Yang menjadi ukuran ma’ruf atau munkarnya sesuatu ada dua, yaitu agama dan akal sehat atau hati
nurani. Bisa kedua-duanya sekaligus atau salah satunya. Semua yang diperintahkan oleh agama
adalah ma’ruf, begitu juga sebaliknya, semua yang dilarang oleh agama adalah munkar. Dalam hal ini
Allah menjelaskan:

“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong
bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar,
mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan mereka ta’at kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu
akan diberi rahmat oleh Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. At-
Taubah 9:71)

Dalam ayat diatas juga dapat kita lihat bahwa kewajiban amar ma’ruf nahi munkar tidak hanya
dipikulkan kepada kaum laki-laki tapi juga kepada kaum perempuan, walaupun dalam
pelaksanaannya disesuaikan dengan kodrat dan fungsi masing-masing.

Jika umat Islam ingin mendapatkan kedudukan yang kokoh di atas permukaan bumi, disamping
mendirikan shalat dan membayar zakat mereka harus melakukan amar ma’ruf nahi munkar. Allah
SWT berfirman:

“(yaitu) orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi, niscaya mereka
mendirikan shalat, menunaikan zakat, menyuruh berbuat yang ma’ruf dan mencegah dari perbuatan
yang munkar; dan kepada Allah-lah kembali segala urusan.”(QS. Al-Haji 22:41)

3. Hubungan Pemimpin dan yang dipimpin

Al-Qur’an menjelaskan bahwa Allah SWT adalah pemimpin orang-orang yang beriman :

“Allah Pemimpin orang-orang yang beriman; Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan kepada
cahaya. Dan orang-orang yang kafir, pemimpin-pemimpin mereka adalah thaghut, yang
mengeluarkan mereka dari cahaya kepada kegelapan. Mereka itu adalah penghuni neraka. Mereka
kekal di dalamnya.” (QS. Al-Baqarah 2:257)

Azh-zhulumat (kegelapan) dalam ayat diatas adalah simbol dari segala bentuk kekufuran,
kemusyrikan, kefasikan dan kemaksiatan. Atau dalam bahasa sekarang azh-zhulumat adalah
bermacam-macam ideologi dan isme-isme yang bertentangan dengan ajaran Islam seperti
komunisme, sosialisme, kapitalisme, liberalisme, materialisme, hedonisme dan lain sebagainya.
Sedangkan an-Nur adalah simbol dari ketauhidan, keimanan, ketaatan dan segala kebaikan lainnya.

At-thaghut adalah segala sesuatu yang disembah (dipertuhan) selain dari Allah SWT dan dia suka
diperlakukan sebagai Tuhan tersebut. Menurut Sayyid Qutub, Thaghut adalah segala sesuatu yang
menentang kebenaran dan melanggar batas yang telah digariskan oleh Allah SWT untuk hamba-Nya.
Dia bisa berbentuk pandangan hidup, peradaban dan lain-lain yang tidak berlandaskan ajaran Allah
SWT.

a. Kriteria Pemimpin dalam Islam

Pemimpin umat atau dalam ayat diatas di istilahkan dengan waliy dan dalam ayat lain (Q.S An-Nisa
4:59) disebut dengan Ulil Amri adalah penerus kepemimpinan Rasulullah SAW setelah beliau
meninggal dunia .

Orang – orang yang dapat dipilih menggantikan beliau sebagai pemimpin minimal harus memenuhi
empat kriteria sebagaimana dijelaskan dalam surat Al – Maidah ayat 55 .

1) Beriman kepada Allah SWT. Karena Ulil Amri adalah penerus kepemimpinan Rasulullah SAW,
sedangkan Rasulullah sendiri adalah pelaksana kepemimpinan Allah SWT, maka tentu saja yang
pertama kali harus dimiliki penerus beliau adalah Keimanan. Tanpa Keimanan kepada Allah dan
Rasul-Nya bagaimana mungkin pemimpin dapat diharapkan memimpin umat menempuh jalan Allah
diatas permukaan bumi ini .

2) Mendirikan Shalat. Shalat adalah ibadah Vertikal langsung kepada Allah SWT. Seorang pemimpin
yang mendirikan shalat diharapkan memiliki hubungan vertical yang baik dengan Allah SWT .
Diharapkan nilai – nilai kemuliaan dan kebaikan yang terdapat dalam shalat dapat tercermin dalam
kepemimpinannya.

3) Membayarkan Zakat. Zakat adalah ibadah madhdhah yang merupakan simbol kesucian dan
kepedulian sosial. Seorang pemimpin yang berzakat diharapkan selalu berusaha mensucikan hati dan
hartanya. Dia tidak mencari dan menikmati harta dengan cara yang tidak halal (Korupsi, Kolusi, dan
Nepotisme ). Dan lebih dari pada itu dia memiliki kepedulian social yang tinggi terhadap kaum
dhu’afa dan mustadh’afin . Dia akan menjadi pembela orang-orang yang lemah .

4) Selalu Tunduk Patuh kepada Allah SWT. Dalam ayat diatas disebutkan pemimpin itu haruslah
orang selalu ruku’. Ruku’ adalah simbol kepatuhan secara mutlak kepada Allah SWT dan Rasul-Nya
yang secara konkret dimanifestasikan dengan menjadi seorang muslim yang kaffah , baik dalam
aspek aqidah , ibadah , akhlaq maupun muamalat . Aqidahnya benar , ibadahnya tertib , dan sesuai
tuntutan Nabi , akhlaknya terpuji , dan muamalatnya tidak bertentangan dengan syariat.

BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Akhlak adalah nilai pemikiran yang telah menjadi sikap mental yang mengakar dalam jiwa, lalu
tampak dalam bentuk tindakan dan perilaku yang bersifat tetap, natural, dan refleks. Jadi, jika nilai
islam mencakup semua sektor kehidupan manusia, maka perintah beramal shalih pun mencakup
semua sektor kehidupan manusia.\

Akhlak dalam bermasyarakat yaitu bertamu dan menerima tamu, menjaga hubungan baik dengan
tetangga, adab dalam bergaul dengan lawan jenis dan ukhuwah Islamiyah. Sedangkan akhlak dalam
berbangsa yaitu musyawarah, menegakkan keadilan, amar ma`ruf nahui munkar serta hubungan
pemimpin dengan yang dipimpin.

B. SARAN

Agar hubungan kita dengan orang lain terkhususnya kepada masyarakat dan bangsa
dapat terjalin dengan baik maka sebaiknya kita perlu menjaga akhlak dalam masyarakat
dan berbangsa. Sehingga tercipta suasana rukun, tentram dan damai tanpa ada
perselisihan antar warga negara.

DAFTAR PUSTAKA

Abarokah Nazzhao. 2012. Akhlak Kepada Masyarakat, (Online). (http://abarokah51.blogspot.com,


diakses 17 Maret 2014)

Rahmat. 2012. Akhlak Bernegara, (Online). (http://rahmatzoom.blogspot.com, diakses 17 Maret


2014)

Sanrawijaya. 2013. Akhlak Dalam Masyarakat, (Online). (http://sanrawijaya.wordpress.com, diakses


17 Maret 2014)

Turrahmi Fauziah. 2013. Akhlak Terhadapa Masyarakat, (Online). (http://fauziahturr.blogspot.com,


diakses 17 Maret 2014)

Wikipedia. 2014. Akhlak, (Online). (http://wikipedia.org, diakses 17 Maret 2014)

Anda mungkin juga menyukai