Anda di halaman 1dari 8

KOMENTAR TERHADAP KARYA

REAKTUALISASI TRADISI ILMIAH ISLAM


MULYADHI KARTANEGARA

MOCHAMAD FATHONI
NIM :

PROGRAM DOKTOR PERBANKAN SYARIAH


UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

Oktober
2022
Sebagaimana telah dikemukakan oleh filsuf penulis tentang SISTEM PENDIDIKAN
pada Bab IV bahwa motivasi menuntut ilmu yang dilakukan seseorang akan menentukan kualitas
ilmu yang dituntutnya. Ini berarti seberapa dalam dan luas pengkajian terhadap suatu ilmu
ditentukan oleh motivasi atau niat awal orang tersebut. Pernyataan bahwa motivasi seseorang
menuntut ilmu yang hanya diperuntukkan demi mencari ijazah guna mendapatkan pekerjaan atau
mungkin kenaikan jenjang karir jabatan tertentu mengindikasikan akan lemahnya intensitas
kedalaman dan keluasan dalam pencarian ilmu. Hal demikian berdampak terhadap kelambanan –
bila bukan ketertetinggalan- dalam pengembangan keilmuan baru dan orisinil dikarenakan orang
tersebut hanya sanggup memproduksi pengetahuan sampah yang pada akhirnya menjadi sampah
pengetahuan.

Sungguh pun, bertambah bahaya bila pengetahuan sampah yang diproduksi tersebut
kemudian di reproduksi lagi oleh para penuntut ilmu setelahnya karena dapat mengakibatkan
kerancuan bahkan kesesatan pemikiran yang merupakan deviasi atau penyimpangan dari
pencarian kebenaran sebagai hakikat menuntut ilmu. Dus, sebagaimana dikatakan oleh penulis
pada bagian KEGIATAN-KEGIATAN ILMIAH di Bab V bahwa kemajuan ilmu pengetahuan
dalam tradisi Islam diperoleh dari hasil mengkritisi pelbagai konsep dan teori yang telah ada,
baik oleh pemikiran muslim sendiri seperti kritik hadits sebagaimana dilakukan oleh para sahabat
dan tabi’in, kritik tradisi Islam sebagaimana dilakukan oleh Hassan Hanafi dan Fazlur Rahman
yang menghasilkan pemikiran oksidental dan pemikiran pembaruan Islam atas realitas umat
Islam di masanya maupun kritik terhadap pemikiran dari non-muslim. Kritik yang dilakukan
terhadap satu teori, pemikiran melalui pengujian kesolidan dan koherensinya dari masa ke masa
terhadap ilmu itu sendiri sehingga terpisahkanlah antara teori yang solid dan koheren sebagai
teori yang tahan uji sehingga mampu terus dipakai dari teori yang tidak tahan uji sehingga patut
dan layak ditinggalkan karena tidak sesuai perkembangan masa. Hal ini merupakan suatu upaya
destruksi atau penghancuran terhadap pengetahuan sampah secara kreatif, menjadikan
pengetahuan tersebut dapat mengalami perbaikan, revisi, bantahan dan sebagainya, sebagai suatu
proses pencucian dan purifikasi teori sehingga menghasilkan penemuan pondasi baru yang solid.

Alasan mendasar mengapa pengujian teori dalam pengembangan ilmu pengetahuan harus
terus dilakukan dari masa ke masa mengacu kepada karya Generation and Corruption buku I
dari Aristoteles. Sekalipun Aristoteles berbicara mengenai sifat dari benda-benda dalam buku ini,
terdapat konteks masa dimana teori maupun pemikiran terlahir dengan subur, lantas dalam
perjalanannya sebagian teori mengalami proses korupsi karena tidak mampu bertahan terhadap
perkembangan masa itu sendiri layaknya benda-benda, dimana alasan utamanya sudah tentu
karena ketidakmampuan dalam menjelaskan fenomena baru, Dus tidak mampu memberikan
solusinya. Hal ini menandakan adanya suatu kebutuhan akan alterasi atau perubahan terhadap
teori-teori lama. Ketika teori lama tidak lagi bisa menjelaskan, untuk apa dipertahankan dan
diajarkan kepada para penuntut ilmu, kecuali dalam rangka melakukan revisi atasnya, bukan
untuk tetap melestarikannya. Semangat dalam melakukan revisi ini menandakan tibanya masa
growth atau pertumbuhan teori-teori baru sebagai revisi, perbaikan atas teori lama yang sudah
korup.

Upaya untuk merevisi teori dan pemikiran lama yang korup ini sudah tentu menjadi
tantangan umat Islam di Indonesia sebagaimana dikemukakan penulis tentang TANTANGAN
UMAT pada Bab I dan juga FAKTOR PENDORONG ILMU pada Bab II. Sudah menjadi
rahasia sejarah umat manusia bahwa suatu bangsa yang mendorong perkembangan ilmu
pengetahuan berkorelasi positif terhadap kemajuan bangsanya. Adapun kemajuan ilmu
pengetahuan juga berkorelasi positif terhadap perkembangan apresiasi masyarakat terhadap ilmu
pengetahuan, yang mendorong semakin giatnya anak-anak generasi penerus bangsa untuk mau
menuntut ilmu. Disebutkan oleh penulis bahwa sekalipun Indonesia merupakan negara dengan
mayoritas muslim terbesar di dunia, namun ternyata memegang rekor terendah pada aspek-aspek
fundamental, termasuk dalam hal ilmu pengetahuan. Tentu, tidak bisa menyalahkan Islam
sebagai penyebab kemunduran ilmu pengetahuan sebagaimana dituduhkan oleh sebagian
kelompok. Karena semangat Islam sendiri sudah jelas terus mendorong umat Islam dari lahir
hingga matinya utuk melakukan pengembangan ilmu pengetahuan.

Pembahas mengalamatkan kritik atas kemunduran pengembangan ilmu pengetahuan di


Indonesia kepada kebijakan pemerintah dari era Orde Baru yang mendorong motivasi menuntut
ilmu sebatas pada pemenuhan tenaga kerja terampil bagi indutri melalui pelbagai tingkatan
lembaga pendidikan dalam pengembangan sumber daya manusia di Indonesia. Sudah tentu ini
merupakan kontradiksi utama dalam sistem pendidikan di Indonesia dalam kaitannya dengan
motivasi menuntut ilmu dan hubungannya dengan kualitas keilmuan lulusan apabila hanya
diarahkan pada mendapatkan ijazah guna mencari kerja sebagaimana sudah disampaikan
pembahas pada komentar awal.

Penulis secara tepat mengemukakan peran LEMBAGA PENDIDIKAN di Bab III dalam
melihat bagaimana kemajuan ilmu pengetahuan di masa kejayaan Islam ditopang oleh
keberadaan sejumlah lembaga pendidikan yang menopang perkembangan umat Islam sebagai
umat yang haus akan ilmu. Mulai dari madrasah, akademi, perpustakaan, observatorium, rumah
sakit hingga zawiyah. Keberadaan aneka lembaga pendidikan tersebut di masa kejayaan Islam
menunjukkan esensi mengenai tujuan dari olah pembentukan manusia melalui pendidikan di
masa itu. Madrasah ditujukan kepada olah pembentukan manusia berupa penguasaan ilmu-ilmu
dasar seperti agama yang kemudian dikaitkan dengan fiqh, kalam dan logika supaya menjadi
manusia yang beriman kepada Allah dengan keyakinan yang tinggi berbasis keilmuan, agar tidak
menjadi keimanan yang dogmatis.

Akademi ditujukan kepada olah pembentukan manusia untuk pengembangan keilmuan


lanjutan. Adakalanya sebagian orang cenderung sudah merasa paling pintar ketika
menyelesaikan madrasah, lantas menemukan kenyataan bahwa ketika ia memasuki akademi
ternyata ada banyak orang yang tidak kalah pintar dengan dirinya. Dengan demikian seorang
penuntut ilmu di masa itu dihadapkan pada proses adopsi berbagai perkembangan hal baru yang
ditemukannya di akademi, tapi tidak ditemukan di madrasah. Di akademi inilah terjadi proses uji
teori dan pemikiran, termasuk pemikiran si penuntut ilmu sendiri melalui pelbagai riset,
penerjemahan, diskusi dengan sesama kolega penuntut ilmu. Hal ihwal demikian memproses
setiap penuntut ilmu dari kegelapan berupa kebanggan terhadap pemikirannya sendiri menuju
pencerahan (minaz zulumat ila an-nur) berupa konsensus-konsensus pemikiran bersama, bahwa
kebenaran ilmu bukanlah milik sendiri melainkan milik bersama dan tugas besar bersama.

Adapun perpustakaan merupakan cerminan hasil kerja bersama para penuntut ilmu
tersebut di atas guna memudahkan para penuntut ilmu berikutnya. Dalam pandangan pembahas,
perpustakaan adalah tempat mengabadikan karya agung pikiran manusia yang tidak terlihat ke
dalam bentuk material berupa manuskrip, buku dan sebagainya yang dapat dilihat untuk dapat
diakses banyak orang. Suatu wadah untuk berlangsungnya pengaliran amal jariyah berupa ilmu
yang bermanfaat bagi sesama penuntut ilmu. Sebagian orang ada yang kemudian membangun
perpustakaan pribadi untuk koleksi manuskrip yang dinilainya berharga. Dengan demikian,
seseorang juga dapat menilai keilmuan orang lain melalui keberadaan perpustakaan di rumahnya.

Pembahas mengaku cukup terkejut ketika penulis mengemukakan bahwa observatorium


merupakan lembaga pendidikan, suatu hal yang tak terbayangkan sebelumnya. Memang, diakui
bahwa observatorium yang dipahami selama ini adalah untuk keperluan observasi benda langit
sebagaimana dalam ilmu astronomi, namun bukan berarti bidang ilmu lainnya tidak dapat
membangun observatorium. Pembahas lupa bahwa ide besar observatorium adalah mendekatkan
obyek pengamatan yang jauh sehingga lebih mudah dilakukan penoropongan guna observasi,
sebagaimana kisah Omar Khayyam. Dalam hal ini, pembahas berterimakasih kepada penulis
yang telah mengingatkan kembali bahwa setiap bidang ilmu hendaknya memiliki fasilitas
observatorium besar sendiri, utamanya ilmu sosial seperti ekonomi guna memudahkan para
penuntut ilmu selanjutnya yang mengalami kesulitan dalam melakukan observasi karena
ketiadaan sarana.

Pembahas juga tidak kalah terkejut ketika penulis juga mengemukakan bahwa rumah
sakit ternyata adalah juga lembaga pendidikan. Dikarenakan imajinasi pembahas mengenai
rumah sakit sebatas tempat profesi para dokter dan perawat melakukan pekerjaannya, mengingat
pembahas sendiri pernah beberapa kali masuk rumah sakit sebagai pasien. Pembahas baru
menyadari bahwa khusus untuk penuntut ilmu bidang kedokteran dan kesehatan, rumah sakit
adalah tempat observasi mereka terhadap kesehatan fisik dan juga mental manusia yang menjadi
pasiennya beserta pengembangan metode pengobatan maupun penyembuhannya. Dengan
demikian, pembahas sekali lagi berterimakasih kepada penulis yang telah membuka pandangan
pembahas mengenai peran sesungguhnya dari rumah sakit.

Berkaitan dengan keberadaan zawiyah atau pusat pelatihan lahir (eksoteris) dan batin
(esoteris) sebagai lembaga pendidikan, tidak banyak hal yang dapat pembahas sampaikan
dikarenakan kekurangan informasi. Terkecuali bahwa dibandingkan empat lembaga pendidikan
lainnya, keberadaan zawiyah di Indonesia termasuk kepada kategori lembaga yang diawasi
pemerintah dengan hati-hati. Hal ini merupakan dampak dari pemikiran Snouck Hurgronye yang
mengusulkan kepada pemerintah Belanda dalam memenangkan perang di Aceh agar
membiarkan aktifitas keislaman yang bersifat ibadah namun mengawasi aktifitas keislaman yang
mengarah kepada tujuan politis. Lantas pandangan ini pun tetap dipakai oleh pemerintah
Indonesia setelah merdeka.

Pembicaraan tentang lembaga pendidikan dan konstruk pemikiran tentang apa yang
dihasilkan dan yang seharusnya dihasilkan manusia melalui pelembagaan pendidikan tersebut
mengingatkan pembahas pada bagian II dari Poetica karya Aristoteles yang membicarakan
tentang obyek imitasi dalam suatu drama maupun tragedi kehidupan. Yaitu tindakan manusia itu
sendiri, yang baik maupun yang buruk terhadap pembentukan norma atau laku hidup selanjutnya
untuk ditiru para penerusnya, terutama di masa sekarang. Hal ini berkaitan dengan topik
pembicaraan yang disampaikan penulis tentang PENELITIAN ILMIAH pada Bab VI.

Subset pemikiran yang terbentuk dan dibentuk oleh lembaga pendidikan kepada penuntut
ilmu dalam penelitian ilmiah adalah proses replikasi atau meniru, sebagai suatu hal yang serupa
dengan proses imitasi. Pembahas tidak bermaksud mengatakan bahwa pelbagai cabang penelitian
ilmiah sebagaimana yang sudah disampaikan penulis akan menghasilkan pengetahuan serupa
pada bidang ilmu tersebut, semisal penelitian bidang matematika akan menghasilkan penelitian
berkaitan dengan matematika. Melainkan bahwa dalam upaya melakukan penelitian ilmiah,
seorang penuntut ilmu sedikit banyak akan meniru pendahulunya melalui karya yang dibacanya.
Ini merupakan suatu praktik implant pengetahuan yang tidak disadari namun secara insting
dilakukan penuntut ilmu, layaknya seorang balita yang meniru hal-hal yang dilihat dan
didengarnya dari sekitar. Tanpa mengetahui bahwa yang ditirunya itu adalah karya atau tindakan
yang baik atau yang buruk mampu menjadikan penuntut ilmu itu berjalan di jalan lurus atau
malah ikut menyimpang.

Kenyataan dan ketakutan akan penyimpangan perilaku atau korup akibat meniru yang
salah namun tidak disadari inilah yang dilihat dan dirasakan oleh Foucault ketika ia
membicarakan tentang relasi antara kekuasaan dan pengetahuan dalam karyanya yang berjduul
Knowledge/Power. Sungguh pun seorang penuntut ilmu sejati berupaya menemukan kebenaran
(to seek the truth), ia tidak bisa lepas dari bias pengaruh kekuasaan yang melingkupi karya
pemikiran yang dibacanya, maupun bias pengaruh kekuasaan di masa penuntut ilmu tersebut
hidup. Sehingga seorang penuntut ilmu harus terus menerus memohon perlindungan kepada
Allah dari pengaruh tersebut dalam upaya menemukan kebenaran. Boleh jadi di masa lalu tidak
ada penyimpangan pemikiran pada karya-karya yang dibaca si penuntut ilmu, tapi justru si
penuntut ilmu itu sendiri yang kemudian menyimpang di masa nya melalui karya pendapat yang
dibuatnya dikarenakan adanya tekanan politik tertentu, yang pada gilirannya membuat sejarah
berubah akibat penyimpangan yang dilakukannya di masa kini ternyata diteruskan oleh penuntut
ilmu selanjutnya.

Upaya perlindungan dari bias pengaruh kekuasaan tersebut membawa pembahas masuk
kepada METODE PENELITIAN pada bab VII. Penggunaan metode ilmiah yang absah dapat
melindungi penuntut ilmu dari bias imitasi itu sendiri. Tradisi ilmiah Islam yang mencakup
penggunaan indera (tajribi), akal (burhani) dan hati atau intuisi (irfani) merupakan satu kesatuan
metode menemukan kebenaran yang tidak terpisahkan, meskipun setiap metode memiliki
keterbatasan sehubungan dengan sifat dari obyek yang diamati. Sebagaimana iman yang diyakini
dalam hati, diucapkan dengan lisan dan dibuktikan dengan perbuatan. Maka kebenaran ilmu
yang diperoleh melalui metode penelitian yang absah akan bersifat final, karena sampainya
kebenaran pada tingkatan keyakinan di dalam hati. Apabila kebenaran ilmu hanya sampai pada
tataran indera dan akal, maka masih dapat diperdebatkan. Hal inilah yang membedakan antara
metode ilmiah yang dipakai di Barat yang mengandalkan indera atau akal saja dengan metode
ilmiah Islam yang memadukan ketiga metode ilmiah dengan masuknya qalb sebagai metode final
mengkritisi ilmu guna menemukan kebenaran dalam ilmu pengetahuan.

Penulis menyimpulkan pemikirannya mengenai tradisi ilmiah Islam melalui pentingnya


melakukan REAKTUALISASI pada Bab VIII. Pesan utama yang disampaikan penulis adalah
kegemilangan umat Islam di masa lalu merupakan buah dari motivasi yang luhur dari para
penuntut ilmu diserta dukungan terhadap pengembangan ilmu pengetahuan secara masif di masa
itu. Penulis mengandaikan bila suatu saat mrmiliki perhatian, semangat dan pengabdian yang
sama besar seperti para sarjana muslim tempo dulu, maka bangsa Indonesia akan menjadi bangsa
yang tercerahkan.

Khusus bagian ini, pembahas teringat pada pandangan almarhum guru dari pembahas
tentang sistem pendidikan di Indonesia, yaitu Yahya A Muhaimin yang pernah menjadi menteri
pendidikan nasional di masa pemerintahan Abdurrahman Wahid di era reformasi. Sebagian
gagasan dan pemikiran beliau tentang sistem pendidikan nasional di Indonesia yang sudah
sempat dirancang namun belum sempat dilaksanakan akibat perubahan politik pada masa itu –
yang mana ruh atau semangatnya dapat masuk dalam UU Sisdiknas tahun 2003- tertuang di salah
satu buku biografinya yang berjudul 3 Kota 1 Pengabdian. Pada buku tersebut, ada tiga
pemikiran utama yang menjadi kunci pembaruan sistem pendidikan di Indonesia, yaitu (1).
Manajemen pendidikan, mencakup upaya menghidupkan kembali skema patron mandiri dalam
pembiayaan pendidikan melalui apa yang sekarang dikenal sebagai BOP (2) isi (substansi)
pendidikan yang mencakup pengembangan pendidikan yang berkarakter berbasiskan akhlak
Islami yang kelak melahirkan model baru sekolah-sekolah Islam terpadu dan (3) Paradigma baru
pendidikan Indonesia yang berlandaskan nilai-nilai agama. Di akhir hayat beliau, pembahas turut
terlibat aktif mewujudkan gagasannya melalui institusi pendidikan tinggi yang beliau dirikan
setelah pensiun di Bumiayu, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah. Substansi pemikiran atas
pembaruan sistem pendidikan Indonesia tersebut dapat melengkapi pembicaraan pada sisi
REAKTUALISASI yang telah disampaikan penulis.

Wallahu a’lam bisshowab

Bogor, 24 Oktober 2022

Anda mungkin juga menyukai