0 penilaian0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
4 tayangan5 halaman
(1) Pandemi memaksa banyak aktivitas dilakukan dari rumah, termasuk pekerjaan rumah tangga seperti mencuci pakaian dan perabotan.
(2) Penulis mulai menikmati pekerjaan rumah meski awalnya tidak disukai, karena membuatnya berpikir tentang siklus pekerjaan yang tak berujung seperti mencuci pakaian.
(3) Pekerjaan rumah tangga umumnya ditanggung perempuan, sement
(1) Pandemi memaksa banyak aktivitas dilakukan dari rumah, termasuk pekerjaan rumah tangga seperti mencuci pakaian dan perabotan.
(2) Penulis mulai menikmati pekerjaan rumah meski awalnya tidak disukai, karena membuatnya berpikir tentang siklus pekerjaan yang tak berujung seperti mencuci pakaian.
(3) Pekerjaan rumah tangga umumnya ditanggung perempuan, sement
(1) Pandemi memaksa banyak aktivitas dilakukan dari rumah, termasuk pekerjaan rumah tangga seperti mencuci pakaian dan perabotan.
(2) Penulis mulai menikmati pekerjaan rumah meski awalnya tidak disukai, karena membuatnya berpikir tentang siklus pekerjaan yang tak berujung seperti mencuci pakaian.
(3) Pekerjaan rumah tangga umumnya ditanggung perempuan, sement
Pandemi (dan pemrentah) memaksa kita melakukan hampir
segalanya dari rumah. Dan ternyata, rumah memiliki potensi menjadi ruang serbaguna untuk beragam kegiatan: bekerja, belajar, berdagang, sidang skripsi, seminar, berdakwah, wisuda, konser musik, menggalang dana, membantu sesama, mengkritik pemerintah, membikin meme, membikin zine, merancang teori konspirasi, dan hal-hal menakjubkan lainnya. Di satu sisi segalanya seolah terbatas, dan di sisi lain segalanya seakan mungkin. Di samping melimpahnya ragam kegiatan baru yang menarik dilakukan itu, swakarantina mengharuskan saya melakukan pekerjaan lama yang sebetulnya tidak saya sukai: beberes rumah. Alih-alih menghasilkan karya gemilang seperti Shakespeare yang menulis sandiwara King Lear semasa karantina akibat wabah, saya malah menghabiskan waktu di rumah dengan nyuci piring, nyuci pakaian, nyetrika, nyapu lantai, ngepel, dan membakar daun kering. Kerja-kerja yang saya tidak sukai ini sekarang terpaksa menjadi rutin. Dan sialnya, saya mulai sedikit menikmatinya. Saya sedikit menikmatinya karena beberes rumah membikin saya memikirkan apa yang sebelumnya tidak terpikir. Seperti misalnya saya berpikir bahwa keranjang cucian kotor itu tidak akan pernah kosong – ia abadi. Ketika semua isinya dicuci, dengan segera ia akan terisi lagi, menumpuk lagi, dan dicuci lagi. Bahkan sebetulnya kamu tidak akan pernah bisa mencuci seluruh pakaian kotor di rumahmu, selalu ada yang tersisa, yaitu yang sedang kamu pakai. Seperti Ouroboros, ular yang mencaplok ekornya sendiri, mencuci pakaian adalah pekerjaan yang tiada ujungnya. Circulo in Finiendo, berputar-putar tak ada habisnya. Saya bahkan sampai berpikir bahwa jangan-jangan manusia dikutuk hidup di dunia hanya untuk mencuci pakaian. Keranjang cucian adalah batu yang dipikul Sisifus sepanjang zaman. Tentu saja saya berlebihan. Tapi jika persediaan pakaianmu terbatas dan kamu enggan menggunakan jasa binatu, saya yakin keranjang cucian itu tidak akan lepas dari pikiranmu, ia menjadi bayang-bayang yang terus mengikutimu sambil sesekali berbisik mengingatkan: kancut bersihmu tinggal satu. Situasi absurd semacam tidak saya alami pada saat mencuci pakaian saja, kegiatan beberes lainnya pun tak kalah banal. Selama kuliah dan tinggal di kosan, buat saya mencuci piring bukanlah sesuatu yang menyiksa. Selain karena jumlah perabot dapur sendiri yang sedikit, juga karena saya meyakini – yang ternyata valid secara sains – bahwa kegiatan itu bisa membikin rileks dan mengurangi stres. Namun situasinya menjadi lain ketika di rumah; saya berhadapan dengan tumpukan perabot kotor yang tidak hanya bekas makan tiga orang sekaligus, tapi juga bekas memasak yang ukurannya besar-besar dan, ini paling nyebelin, berminyak. Wastafel yang awalnya menjadi ajang meditasi bagi saya kini beralih menjadi ajang pertempuran. Kebersihan adalah sebagian dari imun. Swakarantina membuat beberes rumah harus dilakukan lebih sering demi kebersihan tetap terjaga. Butuh kegigihan dahsyat untuk bisa konsisten menjalankan itu semua. Dan harus diakui, seringkali saya menyerah dan melimpahkan kewajiban saya kepada mama saya yang sudah lebih dulu mencapai makrifat dengan pekerjaan beberes rumah. Saya di belakang, sebagai kroco, memandang takjub mama saya membereskan pekerjan rumah dengan apik, tanpa cela, dan enteng sekali. Saya lantas berpikir, bagaimana mungkin seseorang bisa menyebut pekerjaan yang membutuhkan kegigihan dan ketangkasan luar biasa ini sebagai pekerjaan berkeahlian rendah, atau lebih parah, bukan pekerjaan samasekali? Apa lagi yang mendorong banyak ibu/bapak rumah tangga dan pekerja domestik sanggup melakukannya secara konsisten setiap hari kalau bukan disiplin tingkat tinggi? Tentu kita sama-sama tahu, pekerjaan mengurus rumah umumnya diserahkan ke perempuan, baik ia sebagai istri, ibu, atau asisten rumah tangga. Profil Perempuan Indonesia menyebutkan pada tahun 2019 sebesar 36,7% perempuan mengurus rumah tangga, jauh lebih tinggi dibandingkan laki- laki yang hanya sebesar 4%. Di sisi lain, presentase perempuan bekerja hanya sebesar 49,2%, tertinggal jauh dari laki-laki yang sebesar 78,2%. Ditambah lagi, riset lain menunjukkan banyak perempuan yang bekerja masih harus terikat dengan urusan rumah tangga. Sehingga banyak dari mereka memilih untuk meninggalkan pekerjaannya akibat tidak kuat menanggung beban ganda. Seolah-olah kebebasan yang dimiliki perempuan itu bersyarat: kamu boleh jadi apa saja, asal tetap nyuci piring, nyapu, ngepel, nyuci pakaian, masak, nyuapin anak, dan seterusnya. Perempuan tidak diperbolehkan resign dari pekerjaan rumah tangga – dan tidak diberi pilihan untuk tidak mengambilnya. Keluarga saya pun begitu. Sejak menikah, mama saya mengurus rumah tangga sepenuh waktu. Sisanya, anak-anak dan suaminya hanya sesekali saja membantu mengerjakan yang ringan-ringan, seperti nyapu, bakar daun kering, atau nyuci piring. Setelah bapak saya meninggal barulah pembagian kerja di keluarga menjadi agak berubah; mama saya bekerja dan kami anak-anaknya mendapat porsi pekerjaan rumah lebih besar dari sebelumnya. Meski begitu, tidak jarang mama mengambil alih seluruh pekerjaan rumah baik karena anak-anaknya malas ataupun tidak becus.
Pertanyaan saya kemudian, mengapa kita bisa begitu tega
melimpahkan pekerjaan yang berat ini ke salah seorang saja di dalam keluarga? Mengapa kita tidak menanggung beban keabsurdan yang diemban tiap orang sejak kelahirannya ini masing-masing saja, atau lebih baik, ditanggung bersama dan dibagi secara merata? Mengapa kita tidak dididik seperti itu?
Saya membayangkan jika pekerjaan rumah ini dibagi secara
merata, atau lebih utopis lagi, ada fasilitas publik untuk mencuci pakaian dan perabotan dengan teknologi modern yang disediakan negara secara cuma-cuma, barangkali manusia bisa lebih maksimal lagi mewujudkan potensi- potensinya. Barangkali masa swakarantina bisa menjadi lebih menyenangkan dan akan lebih banyak lagi hal-hal menakjubkan yang bisa dilakukan, khususnya dari para perempuan.