Anda di halaman 1dari 5

Yang Fana Adalah Waktu, Cucian Kotor Abadi

oleh Rizky Deye

Pandemi (dan pemrentah) memaksa kita melakukan hampir


segalanya dari rumah. Dan ternyata, rumah memiliki potensi
menjadi ruang serbaguna untuk beragam kegiatan: bekerja,
belajar, berdagang, sidang skripsi, seminar, berdakwah,
wisuda, konser musik, menggalang dana, membantu sesama,
mengkritik pemerintah, membikin meme, membikin zine,
merancang teori konspirasi, dan hal-hal menakjubkan lainnya.
Di satu sisi segalanya seolah terbatas, dan di sisi lain
segalanya seakan mungkin.
Di samping melimpahnya ragam kegiatan baru yang menarik
dilakukan itu, swakarantina mengharuskan saya melakukan
pekerjaan lama yang sebetulnya tidak saya sukai: beberes
rumah.
Alih-alih menghasilkan karya gemilang seperti Shakespeare
yang menulis sandiwara King Lear semasa karantina akibat
wabah, saya malah menghabiskan waktu di rumah dengan
nyuci piring, nyuci pakaian, nyetrika, nyapu lantai, ngepel,
dan membakar daun kering. Kerja-kerja yang saya tidak sukai
ini sekarang terpaksa menjadi rutin. Dan sialnya, saya mulai
sedikit menikmatinya.
Saya sedikit menikmatinya karena beberes rumah membikin
saya memikirkan apa yang sebelumnya tidak terpikir. Seperti
misalnya saya berpikir bahwa keranjang cucian kotor itu tidak
akan pernah kosong – ia abadi. Ketika semua isinya dicuci,
dengan segera ia akan terisi lagi, menumpuk lagi, dan dicuci
lagi. Bahkan sebetulnya kamu tidak akan pernah bisa mencuci
seluruh pakaian kotor di rumahmu, selalu ada yang tersisa,
yaitu yang sedang kamu pakai.
Seperti Ouroboros, ular yang mencaplok ekornya sendiri,
mencuci pakaian adalah pekerjaan yang tiada ujungnya.
Circulo in Finiendo, berputar-putar tak ada habisnya.
Saya bahkan sampai berpikir bahwa jangan-jangan manusia
dikutuk hidup di dunia hanya untuk mencuci pakaian.
Keranjang cucian adalah batu yang dipikul Sisifus sepanjang
zaman. Tentu saja saya berlebihan. Tapi jika persediaan
pakaianmu terbatas dan kamu enggan menggunakan jasa
binatu, saya yakin keranjang cucian itu tidak akan lepas dari
pikiranmu, ia menjadi bayang-bayang yang terus
mengikutimu sambil sesekali berbisik mengingatkan: kancut
bersihmu tinggal satu.
Situasi absurd semacam tidak saya alami pada saat mencuci
pakaian saja, kegiatan beberes lainnya pun tak kalah banal.
Selama kuliah dan tinggal di kosan, buat saya mencuci piring
bukanlah sesuatu yang menyiksa. Selain karena jumlah
perabot dapur sendiri yang sedikit, juga karena saya meyakini
– yang ternyata valid secara sains – bahwa kegiatan itu bisa
membikin rileks dan mengurangi stres. Namun situasinya
menjadi lain ketika di rumah; saya berhadapan dengan
tumpukan perabot kotor yang tidak hanya bekas makan tiga
orang sekaligus, tapi juga bekas memasak yang ukurannya
besar-besar dan, ini paling nyebelin, berminyak. Wastafel
yang awalnya menjadi ajang meditasi bagi saya kini beralih
menjadi ajang pertempuran.
Kebersihan adalah sebagian dari imun. Swakarantina
membuat beberes rumah harus dilakukan lebih sering demi
kebersihan tetap terjaga. Butuh kegigihan dahsyat untuk bisa
konsisten menjalankan itu semua. Dan harus diakui, seringkali
saya menyerah dan melimpahkan kewajiban saya kepada
mama saya yang sudah lebih dulu mencapai makrifat dengan
pekerjaan beberes rumah. Saya di belakang, sebagai kroco,
memandang takjub mama saya membereskan pekerjan rumah
dengan apik, tanpa cela, dan enteng sekali.
Saya lantas berpikir, bagaimana mungkin seseorang bisa
menyebut pekerjaan yang membutuhkan kegigihan dan
ketangkasan luar biasa ini sebagai pekerjaan berkeahlian
rendah, atau lebih parah, bukan pekerjaan samasekali? Apa
lagi yang mendorong banyak ibu/bapak rumah tangga dan
pekerja domestik sanggup melakukannya secara konsisten
setiap hari kalau bukan disiplin tingkat tinggi?
Tentu kita sama-sama tahu, pekerjaan mengurus rumah
umumnya diserahkan ke perempuan, baik ia sebagai istri, ibu,
atau asisten rumah tangga. Profil Perempuan Indonesia
menyebutkan pada tahun 2019 sebesar 36,7% perempuan
mengurus rumah tangga, jauh lebih tinggi dibandingkan laki-
laki yang hanya sebesar 4%. Di sisi lain, presentase
perempuan bekerja hanya sebesar 49,2%, tertinggal jauh dari
laki-laki yang sebesar 78,2%. Ditambah lagi, riset lain
menunjukkan banyak perempuan yang bekerja masih harus
terikat dengan urusan rumah tangga. Sehingga banyak dari
mereka memilih untuk meninggalkan pekerjaannya akibat
tidak kuat menanggung beban ganda.
Seolah-olah kebebasan yang dimiliki perempuan itu bersyarat:
kamu boleh jadi apa saja, asal tetap nyuci piring, nyapu,
ngepel, nyuci pakaian, masak, nyuapin anak, dan seterusnya.
Perempuan tidak diperbolehkan resign dari pekerjaan rumah
tangga – dan tidak diberi pilihan untuk tidak mengambilnya.
Keluarga saya pun begitu. Sejak menikah, mama saya
mengurus rumah tangga sepenuh waktu. Sisanya, anak-anak
dan suaminya hanya sesekali saja membantu mengerjakan
yang ringan-ringan, seperti nyapu, bakar daun kering, atau
nyuci piring. Setelah bapak saya meninggal barulah
pembagian kerja di keluarga menjadi agak berubah; mama
saya bekerja dan kami anak-anaknya mendapat porsi
pekerjaan rumah lebih besar dari sebelumnya. Meski begitu,
tidak jarang mama mengambil alih seluruh pekerjaan rumah
baik karena anak-anaknya malas ataupun tidak becus.

Pertanyaan saya kemudian, mengapa kita bisa begitu tega


melimpahkan pekerjaan yang berat ini ke salah seorang saja
di dalam keluarga? Mengapa kita tidak menanggung beban
keabsurdan yang diemban tiap orang sejak kelahirannya ini
masing-masing saja, atau lebih baik, ditanggung bersama dan
dibagi secara merata? Mengapa kita tidak dididik seperti itu?

Saya membayangkan jika pekerjaan rumah ini dibagi secara


merata, atau lebih utopis lagi, ada fasilitas publik untuk
mencuci pakaian dan perabotan dengan teknologi modern
yang disediakan negara secara cuma-cuma, barangkali
manusia bisa lebih maksimal lagi mewujudkan potensi-
potensinya. Barangkali masa swakarantina bisa menjadi lebih
menyenangkan dan akan lebih banyak lagi hal-hal
menakjubkan yang bisa dilakukan, khususnya dari para
perempuan.

Yah, namanya juga barangkali.

Anda mungkin juga menyukai