AMBLIOPIA
Pembimbing :
Disusun Oleh :
Ajeng Salsabilla
121810021
Cirebon
2022
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT, karena dengan rahmat dan karunia-Nya
penulis dapat menyelesaikan Referat yang berjudul “Ambliopia”. Referat ini ditulis
untuk menambahkan pengetahuan dan wawasan mengenai Ambliopia yang
merupakan salah satu syarat dalam mengikuti Kepaniteraan Klinik di Bagian Ilmu
Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran UGJ Cirebon.
Penulis
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI................................................................................. …..……….
BAB I PENDAHULUAN................................................................................. 1
BAB II PEMBAHASAN................................................................................... 2
2.1 Definisi......................................................................................................... 3
2.2 Epidemiologi................................................................................................ 3
2.4 Etiologi......................................................................................................... 4
2.6 Klasifikasi..................................................................................................... 4
2.5 Patofisiologi.................................................................................................. 5
2.8 Tatalaksana.................................................................................................. 8
2.9 Pencegahan.................................................................................................. 10
2.10 Prognosis................................................................................................... 11
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................13
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Ambliopia adalah suatu kondisi mata yang ditandai dengan penurunan visus
unilateral atau bilateral yang telah dikoreksi maksimal, tanpa adanya kelainan
pada struktur bola mata maupun pada jalur visual.1 Prevalensi kejadian ambliopia
pada beberapa penelitian global hasilnya bervariasi dari 0,2 hingga 6,2% pada
anak-anak dan 1,44 - 5,6% pada orang dewasa. Prevalensi ambliopia meningkat
hingga empat kali lipat pada kelahiran prematur, kecil menurut usia kehamilan,
perkembangan terhambat, dan adanya riwayat keluarga dengan ambliopia.2
Ambliopia dapat terjadi juga karena adanya faktor risiko dari ibu selama
hamil diantaranya ialahusia ibu saat hamil (≥ 35 tahun), riwayat merokok atau
bekerja di lingkungan mengandung zat toksik saat hamil, dan indeks massa tubuh
ibu kurang dari 18 sebelum masa konsepsi. Klasifikasi ambliopia dibagi ke dalam
beberapa kategori dengan nama yang sesuai dengan penyebabnya yaitu ambliopia
strabismik, ambliopia anisometropik, ambliopia isometropia dan ambliopia
deprivasi.2
Keluhan yang dirasakan penderita ambliopia diantaranya, berkurangnya
penglihatan pada salah satu mata, menurunnya tajam penglihatan terutama pada
fenomena crowding, adanya anisokoria, tidak mempengaruhi penglihatan warna
dan biasanya daya akomodasi menurun.3 Pada pemeriksaan tajam penglihatan,
fenomena crowding merupakan tanda khas ambliopia, yaitu kesulitan
mengidentifikasi huruf jika huruf tersebut ditampilkan dalam satu barisan linear
bersama huruf-huruf lain seperti pada bagan Snellen, dibandingkan jika
huruf ditampilkan secara individual.2
Tingkat kesuksesan terapi ambliopia meningkat jika dilakukan intervensi dini
terutama pada masa sensitif perkembangan sistem penglihatan anak. Tujuan terapi
adalah mendapatkan penglihatan jelas dan mencapai tajam penglihatan yang
1
2
seimbang antara kedua mata, walaupun pada beberapa kasus mungkin tidak dapat
tercapai.2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Ambliopia adalah kondisi dimana terjadinya penurunan tajam penglihatan
yang terjadi unilateral atau bilateral, walaupun dengan koreksi tajam penglihatan
terbaik yang tidak berhubungan dengan kelainan struktural anatomi mata ataupun
jaras penglihatan. Ambliopia biasanya melibatkan tajam penglihatan sentral,
sedangkan penglihatan perifer biasanya tidak terganggu atau normal. Ambliopia
merupakan penyebab penurunan tajam penglihatan yang paling sering ditemukan
pada anak.2
2.2 Epidemiologi
Prevalensi ambliopia secara global diperkiran sekitar 0,2%-6,2%. The Avon
Longitudinal Study of Parents and Children (ALSPAC) dari inggris mengatakn
bahwa satu dari 30 anak yang berusia 7 tahun menderita ambliopia. Dari
penelitian dengan jumlah sampel 1231 anak-anak didapatkan hasil penelitian ialah
35 sampel atau 2,8% mengalami ambliopia dengan 18 sampel 51.4% di diagnosis
megalami unilateral ambliopia.4 Di Indonesia sendiri didapatkan prevalensi
ambliopia pada siswa kelas 1 sekolah dasar (SD) di Kotamadya Bandung pada
tahun 1989 sebesar 1,56%. Penelitian mengenai ambliopia pada 2268 siswa SD
usia 7-13 tahun di Yogyakarta pada tahun 2008 mendapatkan hasil ambliopia
1,5%. Prevalensi ambliopia lebih tinggi terjadi pada negara berkembang.5
2.3 Faktor Risiko
Faktor risiko ambliopia antara lain:2,4
Kelahiran prematur
Kecil menurut usia kehamilan
Skor APGAR kurang dari 7
Perkembangan terhambat, dan
3
4
(binocular single vision) karena salah satu bayangannya lebih kabur. Mata
dengan status kelainan refraksi lebih tinggi membutuhkan usaha fokus lebih
besar untuk membentuk bayangan yang jelas pada retina, sehingga sering
dibiarkan dalam keadaan tidak fokus. Penglihatan kabur ini apabila kronis
akan menimbulkan ambliopia.2
4) Ambliopia Isoametropik
Ambliopia isoametropik atau disebut juga ambliopia ametropik bilateral
merupakan jenis ambliopia yang jarang; terjadi pada anak-anak dengan
kelainan refraksi hampir sama besar pada kedua mata walaupun sudah
dikoreksi maksimal. Penurunan penglihatan terjadi pada kedua mata karena
akomodasi sering tidak adekuat untuk membentuk gambaran yang jelas pada
retina, menyebabkan perkembangan subnormal korteks visual.2
5) Ambliopia Deprivasi
Kejadian ambliopia deprivasi sangat jarang; terjadi apabila terdapat hambatan
atau obstruksi sepanjang aksis penglihatan seperti kekeruhan media refrakta
(kornea keruh, katarak, perdarahan vitreus), blefaroptosis, atau tumor palpebra
pada masa kritis perkembangan korteks visual. Walaupun kasus kejadian
ambliopia akibat deprivasi kurang dari 3%, jenis ambliopia ini merupakan
yang terberat dan sulit diterapi dibandingkan jenis ambliopia lain.2
2.6 Patofisiologi
Pada saat lahir, sistem penglihatan belum terbentuk sempurna. Tajam
penglihatan akan membaik dan stereopsis terbentuk pada beberapa bulan pertama
masa kehidupan. Mielinasi saraf optik, perkembangan korteks visual, dan
pertumbuhan nucleus genikulatum lateral terjadi dalam 2 tahun pertama.
Sedangkan fovea, bagian retina yang sensitif terhadap rangsangan visual akan
mencapai perkembangan sempurna pada usia sekitar 4 tahun. Masa kehidupan 7
sampai 8 tahun pertama merupakan masa yang sensitif untuk perkembangan
sistem visual; disebut juga sebagai masa kritis.2
6
Adanya anisokoria
Tidak mempengaruhi penglihatan warna
Biasanya daya akomodasi menurun
Pemeriksaan Ambliopia
1) Uji Crowding Phenomena3
Penderita diminta membaca huruf pada Snellen Chart sampai huruf
terkecil yang dibuka satu persatu atau diisolasi.
Kemudian isolasi huruf dibuka dan pasien disuruh melihat sebaris
huruf yang sama.
Bila terjadi penurunan tajam penglihatan dari huruf isolasi ke huruf
dalam baris maka ini disebut adanya fenomena “crowding” pada mata
tersebut.
2) Uji Denisti Filter Netral3
Dasar uji adalah diketahui bahwa pada mata yang ambliopia secara
fisiologik berada dalam keadaan beradaptasi gelap, sehingga bila mata
ambliopia dilakukan uji penglihatan dengan intensitas sinar yang
direndahkan tidak akan terjadi penurunan tajam penglihatan.
Dilakukan dengan memakai filter yang perlahan-lahan digelapkan
sehingga tajam penglihatan pada mata normal turun 50% namun pada
8
2.8 Tatalaksana
Tingkat kesuksesan terapi ambliopia meningkat jika dilakukan intervensi dini
terutama pada masa sensitif perkembangan sistem penglihatan anak. Tujuan terapi
adalah mendapatkan penglihatan jelas dan mencapai tajam penglihatan yang
seimbang antara kedua mata, walaupun pada beberapa kasus mungkin tidak dapat
tercapai. Terapi ambliopia pada anak-anak mencakup langkah-langkah sebagai
berikut:2
Menghilangkan penyebab terhalangnya aksis penglihatan
Mengoreksi setiap kelainan refraksi
9
1) Terapi Oklusi
Teapi oklusi merupakan terapi utama yang diterapkan pada penderita
ambliopia. Mata yang normal ditutup untuk merangsang mata yang
mengalami ambliopia. Dikenal dua stadium terapi ambliopia yang berhasil:
perbaikan awal dan pemeliharaan ketajaman penglihatan yang telah
membaik.6 Selama dioklusi, mata harus tetap dirangsang dengan membaca.
Visus kedua mata juga harus selalu dipantau, karena mungkin terjadi
ambliopia pada mata yang dioklusi.2
a. Stadium Awal
Penutupan terus-menerus telah menjadi terapi awal tradisional
meskipun Amblyopia Treatment Study menunjukkan bahwa penutupan
terus-menerus mungkin tidak diperlukan untuk mendapatkan terapi yang
efektif. Pada beberapa kasus hanya diterapkan penutupan paruh-waktu bila
usia anak terlalu muda dan ambliopia tidak parah. Sebagai pedoman,
penutupan terus-menerus dapat dilakukan sampai beberapa minggu-setara
dengan usia anak dalam tahun-tanpa resiko penurunan penglihatan pada
mata yang baik. Terapi oklusi dilanjutkan selama ketajaman penglihatan
membaik. Selama lebih dari 4 bulan tidak perlu dilanjutkan bila tidak ada
perbaikan.6
b. Stadium Pemeliharaan
Terdiri atas penutupan paruh-waktu yang dilanjutkan setelah fase
perbaikan untuk mempertahankan penglihatan terbaik yang mungkin,
melewati usia yang kemungkinan kekambuhan ambliopinya besar.6
10
2.10 Prognisis
Prognosis ambliopia adalah dubia karena pengembalian penglihatan normal
pada mata ambliopia tergantung beberapa faktor antara lain usia pertama kali
terjadi ambliopia, penyebab, tingkat keparahan, durasi ambliopia, riwayat dan
respons terhadap terapi sebelumnya, dan kepatuhan dalam menjalankan terapi.
Terapi pada masa kritis perkembangan korteks visual akan memberi prognosis
yang lebih baik. Prognosis lebih buruk apabila terdapat faktor yang berkaitan
dengan risiko tinggi kegagalan terapi seperti ketidakpatuhan dalam melakukan
oklusi.2
BAB III
KESIMPULAN
12
DAFTAR PUSTAKA
13