Anda di halaman 1dari 27

RESUME PBL BLOK 4.

SKENARIO I

NAMA : NISRINA HAMID

KELOMPOK : 6B

NPM : 118170130

BLOK : 4.3

NAMA TUTOR : dr. Vivi

UNIVERSITAS SWADAYA GUNUNG JATI

FAKULTAS KEDOKTERAN

CIREBON

2020
SKENARIO 1

Lenting pada Kulit

Seorang pria berusia 41 tahun, datang ke klinik dokter umum dengan keluhan
timbul lenting di punggung dengan dasar merah sejak 2 hari ynag lalu. Keluahan
tersebut disertai rasa nyeri terutama bila tersentuh dan tubuh terasa pegal. Keluhan
gatal dan demam diasangka. Terdapat riwayat cacar air waktu kecil. Riwayat
konsumsi obat obatan tidak ada. Riwayat hipertensi dan DM tidak ada. Pada
pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran CM, hemodinamik stabil, suhu afebris,
status dematologikus tampak lesi dermatomal sesuai T4-T5 berupa vesikel
multiple berkelompok dengan dasar eritematosa. Keluhan nyeri diukur dengan
Visual Analog Scale dengan skor 2. Dokter lalu melakukan tatalaksana lebih
lanjut pada pasien.

STEP I

1. Lesi dermatomal: bentuk kelainan kulit yang distribusinya sesuai dengan


dermatom
2. Vesikel : gelembung berisi cairan serosa yang berbatas tegas yang
berukuran < 0,5 cm yang tersebar diseluruh tubuh
3. Eritematosa : bercak kemerahan pada kulit yang disebaabkan oleh dilatasi
pembuluh darah
4. Visual Analog Scale: suatu instrumen yang digunakan untuk menilai
inensitas nyeri dengan menggunakan sebuah tabel garis 10 cm dengan
pembacaan skala 0-100 mm

STEP II

1. Mengapa pasien mengeluhkan timbul lenting dengan dasar merah disertai


dengan rasa nyeri terutama bila tersentuh dan tubuh terasa pegal?
2. Apa hubungannya antara keluhan penyakit dengann riwayat cacar air
padawaktu kecil?
3. Mengapa bisa terjadi lesi dermatomal berupa lesi vesikel?
4. Bagaimana cara penilaian dari visual analog scale?
5. Bagaimana tatalaksana pada pasien?
6. Bagaimana etiologi dari keluhan pasien?
7. Bagaimana factor risiko pada kasus tersebut?

STEP III

1. Mengapa pasien mengeluhkan timbul lenting dengan dasar merah disertai


dengan rasa nyeri terutama bila tersentuh dan tubuh terasa pegal?
 Rasa pegal virus masuk  mengaktivasi system imun  TNF
alfa, IL1 IL 6 menyabakan rasa pegal dan nyeri
2. Apa hubungannya antara keluhan penyakit dengann riwayat cacar air
padawaktu kecil?
 Pada varisela disebabkan oleh virus VZV  Infeksi primer virus
varisela zoster, partikel virus dapat tetap tinggal didalam ganglion
sensoris saraf spinalis, kranialis, atau otonom selama bertahun-
tahun terjadi reaktivasi infeksi laten (dimana virus tersebut tidak
lagi menular dan tidak bermultiplikasi, tetapi tetap mempunyai
kemampuan untuk berubah menjadi infeksius apabila terjadi
reaktivasi virus)
3. Mengapa bisa terjadi lesi dermatomal berupa lesi vesikel?
 Virus varisela zoster yang laten yang mengalami reaktifasi yang
akan menimbulkan ruam kulit yang terlokalisata di dermatom
 terjadi karena proses degenerasi yang dimulai dengan terjadi nya
edema intraseluller biasanya karena adanya suatu proses infeksi
 Adanya pelepasan mediator inflamasi sehingga menyebabkan
peningkatan permeabilitas vaskuler lalu kebocaran cairan dan
protein ke pembuluh darah  jaringan  vesikel
4. Bagaimana cara penilaian dari visual analog scale?
 Cara menilai menggunakan angka 1-10
5. Bagaimana tatalaksana pada pasien?
 Farmako dan nonfarmako
 Strategi 6 A (attact patient early, asses patient fully, antiviral
therapy, analgetik, antidepresan atau antikonvulsant, allay anxietas
counselling )
6. Bagaimana etiologi dari keluhan pasien?
 Virus varisela zoster
7. Bagaimana factor risiko pada kasus tersebut?
 Padaa orang dewasa / orang tua
 Imunodefiseinsi ( HIV, transplatasi organ, stress psikologis,
pengguna kortikosteroid jangka panjang )
 Pasien terkena pajanan VVZ sebelumnya ( cacar air atau pasien
telah vaksinasi )

STEP IV

1. Mengapa pasien mengeluhkan timbul lenting dengan dasar merah disertai


dengan rasa nyeri terutama bila tersentuh dan tubuh terasa pegal?
 Infeksi sekunder  virus tidak mati tetapi ada diganglion
menyebar ke seluruh tubuh  penurunan imun  mengkatifkan
TNF, IL1 dan 6  virus reaktifasi  muncul manifestasi berupa
ruam kulit yang nyeri
2. Apa hubungannya antara keluhan penyakit dengann riwayat cacar air pada
waktu kecil?
 Sesudah infeksi primer VZV, selain VZV akan menetap laten di
ganglion saraf dorsalis, infeksi ini akan menimbulkan kekebalan
seluler spesifik VZV yang akan menghambat kemampuan virus
laten untuk reaktivasi. kekebalan ini turun bertahap sejalan usia
namun secara berkala juga di-booster oleh infeksi subklinis akibat
paparan VZV. Selama infeksi primer varicella, virus akan
menginfeksi ganglia sensoris, sehingga virus varicella zoster akan
menetap pada fase laten dalam ganglia, sehingga ketika sistem
imen menurun , virus akan mengalam reaktivasi dalam ganglia
sensoris, sehingga akan menyebabar melalu saraf sensoris dan
bereplikasi di kulit
 Sesudah infeksi primer VZV, selain VZV akan menetap laten di
ganglion saraf dorsalis, infeksi ini akan menimbulkan kekebalan
seluler spesifik VZV yang akan menghambat kemampuan virus
laten untuk reaktivasi. kekebalan ini turun bertahap sejalan usia
namun secara berkala juga di-booster oleh infeksi subklinis akibat
paparan VZV.
3. Mengapa bisa terjadi lesi dermatomal berupa lesi vesikel?
Lesi dimulai dengan makula eritroskuamosa, kemudian terbentuk papul--
papul dan dalam waktu 12-24 jam lesi berkembang menjadi vesikel. Pada
hari ketiga berubah menjadi pustul yang akan meng ering menjadi krusta
dalam 7-10 hari. Krusta dapat bertahan sampai 23 minggu kemudian
mengelupas. Pada saat ini biasanya nyeri segmental juga menghilang.
4. Bagaimana cara penilaian dari visual analog scale?
 Skor 2 nyeri bersifat ringan
5. Bagaimana tatalaksana pada pasien?
 Strategi 6 A (attact patient early, asses patient fully, antiviral
therapy  oral ketika stadium pesikel bisa diberikan bedak
salisil , analgetik, antidepresan atau antikonvulsant, allay anxietas
counselling )
MIND MAP

ujud kelainan kulit

primer dan faktor penegakan


etiologi patogenesis tatalaksana
sekunder resiko diagnosis

farmako

nonfarmako

STEP V

1. Pendekatan klinis dengan kasus lenting pada kulit


2. Macam macam UKK dengan patofisologinya
3. Etiologi dan factor resiko UKK
4. Penegakan diagnosis dan diagnosis banding
5. Tatalaksana farmako dan nonfarmako
6. Komplikasi

REFLEKSI DIRI

Alhamduilah PBL Pertemuan pertama skenario pertama berjalan dengan


lancar saya dapat memahami mengenai jenis kelainan ujud kulit dan bagaimana
pemeriksaan analog visual scale. Saya harus belajar lebih banyak mengenai ujud
kelainan kulit melalui jurnal dan buku buku. Semoga ilmu ini dapat berguna
sampai nanti.
STEP VI

Belajar Mandiri

STEP VII

1. Pendekatan klinis dengan kasus lenting pada kulit


- Varicella

Varicella adalah suatu penyakit infeksi akut primer menular, disebabkan


oleh Varicella Zooster Virus (VZV), yang menyerang kulit dan mukosa, dan
ditandai dengan adanya vesikel-vesikel. Varicella terutama menyerang anak-anak
dengan usia dibawah 10 tahun terbanyak pada usia 5-9 tahun. Varisela menular
melalui sekret saluran pernapasan, dan kontak dengan lesi cairan vesikel, pustula,
dan secara transplasental. Masa inkubasi 11-21 hari. Manifestasi klinis yang bisa
terjadi yaitu gejala yang dikeluhkan pasien cacar air (varicella) bergantung pada
usia pasien, status imun, dan stadium penyakit. Pada stadium prodromal, kira-kira
setelah 14-15 hari masa inkubasi, gejala prodormal seperti demam yang tidak
begitu tinggi, mual, nyeri sendi, malaise, dan sakit kepala umumnya timbul.
Namun gejala prodormal ini jarang dikeluhkan pasien anak. Pada anak, biasanya
gejala awal dimulai dengan ruam kemerahan (eksantema) yang bisa dengan atau
tanpa demam yang tidak begitu tinggi dan malaise. Gejala prodormal umumnya
berlangsung 1-2 hari sebelum munculnya ruam, dan pada fase ini beberapa
penderita sudah dapat menularkan virus varicella.1

- Herpes Zooster

Herpes Zoster (HZ) merupakan salah satu penyakit kulit akibat infeksi virus,
yaitu akibat reaktivasi virus Varicella-zoster(VZV) yang laten. Setelah seseorang
menderita cacar air, VZV akan menetap dalam kondisi dorman terutama dalam sel
neuronal dan terkadang didalam sel satelit ganglion radiks d orsalis dan ganglion
sensorik saraf kranial dan kemudian menyebar ke dermatom atau jaringan saraf
yang sesuai dengan segmen yang dipersarafinya. Gejala awal herpes zoster yang
tidak spesifik meliputi sakit kepala, demam, dan malaise. Gejala-gejala tersebut
lalu diikuti oleh sensasi nyeri terbakar, gatal, hyperesthesia atau paresthesia pada
dermatum yang terkena. Gejala yang timbul ini bisa berkembang menjadi ringan
maupun berat. Gejala herpes zoster pada anakanak lebih sering tidak
menimbulkan rasa nyeri, sedangkan pada usia lanjut cenderung lebih nyeri dan
berkembang menjadi lebih parah. Sensasi yang sering dirasakan pada dermatom
dapat berupa rasa tersengat, tertusuk, nyeri, mati rasa, maupun rasa seperti
tertimpa beban berat.2

- Herpes Simplex
Herpes simplex adalah penyakit yang diakibatkan oleh virus yang menyerang
bagian kulit, mulut, dan alat kelamin. Virus herpes simplex dikategorikan dalam 2
tipe: tipe 1 (HSV-1 atau herpes oral) dan tipe 2 (HSV-2 atau herpes genital).
HSV-1 menyebabkan luka (kadang-kadang disebut demam lepuh atau luka
dingin) di sekitar mulut dan bibir. HSV-1 dapat menyebabkan herpes genital,
namun sebagian besar kasus herpes genital disebabkan oleh HSV-2. Sementara
itu, HSV-2 menyebabkan orang yang terinfeksi mungkin memiliki luka di sekitar
alat kelamin atau dubur.2
Gejala umum Herpes simplek adalah bentol berisi cairan yang terasa perih dan
panas. Bentolan ini akan berlangsung beberapa hari. Bintil kecil ini bisa meluas
tidak hanya di wajah tapi bisa di seluruh tubuh. Bisa juga terlihat seperti jerawat,
dan pada wanita timbul keputihan. Rasa sakit dan panas di seluruh tubuh yang
membuat tidak nyaman ini bisa berlangsung sampai beberapa hari disertai sakit
saat menelan makanan, karena kelenjar getah bening sudah terganggu. Gejala ini
datang dan pergi untuk beberapa waktu. Bisa saja setelah sembuh, gejala ini
“tidur” untuk sementara waktu sampai satu tahun lamanya. Namun akan tiba-tiba
kambuh dalam beberapa minggu. Sering terasa gatal yang tidak jelas di sebelah
mana, kulit seperti terbakar di bagian tubuh tertentu disertai nyeri di daerah
selangkangan atau sampai menjalar ke kaki bagian bawah.Gejala herpes dapat
melukai daerah penis, buah pelir, anus, paha, pantat- vagina, dan saluran kandung
kemih.2

- Dermatitis
Dermatitis merupakan penyakit kulit yang bersifat akut, sub-akut, atau kronis
yang disebabkan adanya peradangan pada kulit. Penyakit ini terjadi karena adanya
faktor eksogen dan endogen. Tanda adanya kelainan klinis berupa polimorfik dan
keluhan gatal pada kulit.Terdapat dua macam dermatitis, diantaranya adalah
dermatitis kontak dan dermatitis atopik.2
Gejala dermatitis kontak sangat bervariasi, mulai dari kemerahan yang ringan
dan hanya berlangsung sekejap sampai kepada pembengkakan hebat dan kulit
melepuh. Adanya ruam yang terdiri dari lepukan kecil yang terasa gatal (vesikel).
Awalnya ruam hanya pada bagian kulit yang kontak langsung dengan alergen (zat
yang menyebabkan reaksi alergi), tetapi selanjutnya ruam bisa menyebar.
- HFMD3

Hand, foot and mouth disease (HFMD) atau penyakit tangan, kaki dan mulut
adalah penyakit yang umum terjadi pada anak-anak dan disebabkan oleh
enterovirus seperti coxsackieviruses dan enterovirus 71 (EV71). Manifestasi
klinisnya HFMD umumnya diawali dengan demam, nyeri tenggorokan/menelan,
nafsu makan yang menurun, dan nyeri/tidak enak badan. Setelah demam satu
sampai dua hari, timbul bintik-bintik merah di rongga mulut (umumnya berawal
di bagian belakang langit-langit mulut) yang kemudian pecah menjadi sariawan.
Kemudian, 1-2 hari timbul juga ruam-ruam kulit dan bintik-bintik merah di
telapak tangan dan kaki. Meskipun kelainan selaput lendir dan kulit pada HFMD
terutama melibatkan rongga mulut, telapak tangan dan kaki, namun ruam dapat
juga timbul di tungkai, lengan, bokong dan kulit sekitar kemaluan. Orang dewasa
dan orang dengan sistem kekebalan tubuh baik mungkin saja terinfeksi virus
HFMD namun tidak menunjukkan gejala sama sekali (asimtomatik). Kelompok
ini bukanlah kelompok penderita namun potensial sebagai pembawa (carrier)
virus HFMD dan menyebarkan virus ini.3

Untuk Nomor 2 sampai dengan Nomor 6


Macam macam UKK dengan patofisologinya, Etiologi dan factor resiko
UKK , Penegakan diagnosis dan diagnosis banding, Tatalaksana farmako
dan nonfarmako, Komplikasi

Ujud Kelainan Kulit di bagi menjadi primer dan sekunder yaitu di bagi menjadi :

Primer : makula, papul, plakat, nodul, tumor, urtika, vesikel, bula, pustula, kista
Sekunder : skuama, krusta, erosi, eskoriasi, ulkus, likenfikasi, skar, atropi

A. Ujud Kelainan Kulit Primer


a. Makula
- Tinea Vesikolor

Etiologi dan faktor resiko

Pitiriasis versikolor adalah infeksi jamur superfisial kronik ringan yang


disebabkan oleh jamur malassezia dengan ciri klinis discrete atau Confluent.
Memiliki ciri-ciri bersisik, tidak berwarna atau tidak berpigmen dan tanpa
peradangan. Dari pemeriksaan mikroskopis sisik jamur pitiriasis versikolor
hampir selalu berdinding tebal, bentuk bulat dan tunas dari dasarnya berbentuk
sempit sesuai gambaran M. globosa dan mycelium bersepta dan tersusun atas
filamenfilamen tipis. Di daerah tropis mycelium muncul bersama jamur berbentuk
oval yang bertunas dari dasarnya secara morfologi mirip dengan M. furfur atau M.
obtusa.4

Faktor predesposisi yang mempengaruhi perkembangan pitiriasis


versikolor bervariasi, yang perlu diperhatikan adalah faktor lingkungan dan faktor
host tersebut. Pada lingkungan beriklim hangat ditemukan hifa yang berhubugan
dengan jamur malassezia pada kulit normal. Jenis kelamin adalah faktor yang 10
tidak berpengaruh tetapi terdapat perbedaan pada usia yang berbeda. Di zona
dengan temperatur hangat sangat jarang pada anak-anak, tetapi paling sering pada
remaja dan dewasa muda. Pitiriasis versikolor diklaim sebagai penyakit yang
serius, sangat rentan terjadi pada orang yang malnutrisi. Kehamilan dan
kontrasepsi oral juga salah satu faktor dari timbulnya Pitiriasis versikolor.4
Patofisiologi
Pityriasis versicolor timbul bila Malassezia furfur berubah bentuk menjadi
bentuk miselia karena adanya faktor predisposisi, baik eksogen maupun endogen.
1. Faktor eksogen meliputi suhu, kelembaban udara dan keringat. Hal ini
merupakan penyebab sehingga Pityriasis versicolor banyak di jumpai di
daerah tropis dan pada musim panas daerah subtropis. Faktor eksogen
lain adalah penutupan kulit oleh pakaian atau kosmetik dimana akan
mengakibatkan peningkatan konsentrasi CO2, mikroflora dan pH. 3
2. Sedangkan faktor endogen meliputi malnutrisi, dermatitis seboroik,
sindrom cushing, terapi imunosupresan, hiperhidrosis, dan riwayat
keluarga yang positif. Disamping itu bias juga karena Diabetes Melitus,
pemakaian steroid jangka panjang, kehamilan, dan penyakit – penyakit
berat lainnya yang dapat mempermudah timbulnya Pityriasis versicolor.3

Patogenesis dari makula hipopigmentasi oleh terhambatnya sinar matahari


yang masuk ke dalam lapisan kulit akan mengganggu proses pembentukan
melanin, adanya toksin yang langsung menghambat pembentukan melanin, dan
adanya asam azeleat yang dihasilkan oleh Pityrosporum dari asam lemak dalam
serum yang merupakan inhibitor kompetitf dari tirosinase.3

Anamnesis

Pasien tinea versicolor umumnya datang dengan keluhan bercak pada kulit
yang disertai pruritus. Lesi umumnya muncul di dada dan punggung, namun juga
bisa melibatkan wajah, leher, dan lengan atas. Pada pasien dengan warna kulit
yang cerah, lesi depigmentasi dapat berwana putih hingga merah-kecoklatan. Pada
pasien berkulit gelap, area yang terkena bisa mengalami hipopigmentasi atau
hiperpigmentasi. Pasien akan mengeluhkan lesi yang bertambah banyak seiring
waktu. Lesi juga akan dirasakan lebih gatal ketika pasien berkeringat atau berada
di tempat yang panas dan lembap.5

Pemeriksaan fisik
Pada pasien dengan tinea versicolor dapat dijumpai makula
hipopigmentasi atau hiperpigmentasi, disertai skuama halus. Dengan
melakukan Zireli’s propedeutic maneuver, suatu manuver dengan cara
meregangkan kulit yang terinfeksi dengan kedua ibu jari tangan membuat
pelepasan pada sisik korneum, membuat tinea versicolor lebih mudah
diidentifikasi.5

Pemeriksaan penunjang
Selain mengenal kelainan-kelainan yang khas yang disebabkan oleh
Malassezia fulfur diagnosa Pityriasis versicolor harus dibantu dengan pemeriksaan-
pemeriksaan sebagai berikut:
1. Pemeriksaan langsung dengan KOH 10%. Pemeriksaan ini
memperlihatkan kelompokan sel ragi bulat berdinding tebal dengan
miselium kasar, sering terputus-putus (pendek-pendek), yang akan lebih
mudah dilihat dengan penambahan zat warna tinta Parker blue-black atau
biru laktafenol. Gambaran ragi dan miselium tersebut sering dilukiskan
sebagai “meat ball and spaghetti”. Bahan-bahan kerokan kulit diambil
dengan cara mengerok bagian kulit yang mengalami lesi. Sebelumnya kulit
dibersihkan dengan kapas alkohol 70%, lalu dikerok dengan skalpel steril
dan jatuhannya ditampung dalam lempenglempeng steril pula. Sebagian
dari bahan tersebut diperiksa langsung dengan KOH% yang diberi tinta
Parker Biru Hitam, Dipanaskan sebentar, ditutup dengan gelas penutup
dan diperiksa di bawah mikroskop. Bila penyebabnya memang jamur,
maka kelihatan garis yang memiliki indeks bias lain dari sekitarnya dan
jarak - jarak tertentu dipisahkan oleh sekat-sekat atau seperti butir-butir
yang bersambung seperti kalung. Pada Pityriasis versicolor hifa tampak
pendekpendek, bercabang, terpotong-potong, lurus atau bengkok dengan
spora yang berkelompok.1
2. Pemeriksaan dengan Sinar Wood Pemeriksaan dengan Sinar Wood,dapat
memberikan perubahan warna pada seluruh daerah lesi sehingga batas lesi
lebih mudah dilihat. Daerah yang terkena infeksi akan memperlihatkan
fluoresensi warna kuning keemasan sampai orange.2
Tatalaksana
Pengobatan Pityriasis versicolor dapat diterapi secara topikal maupun
sistemik. Tingginya angka kekambuhan merupakan masalah, dimana mencapai
60% pada tahun pertama dan 80% setelah tahun kedua. Oleh sebab itu diperlukan
terapi, profilaksis untuk mencegah rekurensi:
1. Pengobatan Topikal
2. Pengobatan harus dilakukan secara menyeluruh, tekun dan konsisten. Obat
yang dapat digunakan ialah : a. Selenium sulfida 1,8% dalam bentuk shampoo
2-3 kali seminggu. Obat digosokkan pada lesi dan didiamkan selama 15-30
menit sebelum mandi b. Salisil spiritus 10% c. Turunan azol, misalnya :
mikozanol, klotrimazol, isokonazol dan ekonazol dalam bentuk topikal d.
Sulfur presipitatum dalam bedak kocok 4-20% e. Larutan Natrium Tiosulfas
25%, dioleskan 2 kali sehari sehabis mandi selama 2 minggu.2
3. Pengobatan Sistemik Pengobatan sistemik diberikan pada kasus Pityriasis
versicolor yang luas atau jika pemakaian obat topikal tidak berhasil. Obat yang
dapat diberikan adalah : a. Ketoconazole Dosis: 200 mg per hari selama 10 hari
b. Fluconazole Dosis: dosis tunggal 150-300 mg setiap minggu c. Itraconazole
Dosis: 100 mg per hari selama 2 minggu. 3
4. Terapi hipopigmentasi (Leukoderma) a. Liquor carbonas detergent 5%, salep
pagi/malam b. Krim kortikosteroid menengah pagi dan malam c. Jemur di
matahari ±10 menit antara jam 10.00-15.00. Pityriasis versicolor cenderung
untuk kambuh, sehingga pengobatan harus diulangi. Daerah hipopigmentasi
perlu Waktu yang lama untuk repigmentasi, dan keadaan yang bertahan lama
ini janganlah dianggap sebagai suatu kegagalan pengobatan.
Komplikasi4

Meski tinea versicolor mudah untuk diobati, namun kekambuhan sering


terjadi. 35% pasien yang menerima terapi adekuat dilaporkan mengalami rekuren.
Lesi kulit yang telah diobati dengan antifungal dapat meninggalkan bekas yang
menetap selama beberapa bulan hingga tahunan (28-47% kasus). Komplikasi lain
yang pernah dilaporkan adalah atrofi kulit yang ekstensif yang disebabkan oleh
tinea versicolor pada pasien dengan sindrom Sjorgen.4 

b. Papula dan nodul


- Veruka Vulgaris

Etiologi dan faktor resiko


Veruka vulgaris adalah infeksi HPV pada epidermis dengan gambaran
klinis berupa papul, nodul berbentuk kubah sewarna dengan kulit, permukaan
kasar dan berbatas tegas, dapat tunggal maupun berkelompok. Predileksi terutama
di daerah tangan, siku, lutut, kaki dan jari-jari.  Faktor risiko lain terjadinya kutil
(veruka vulgaris) adalah sering terpapar dengan air, seperti pada penjual
ikan/daging. Veruka menular melalui kontak langsung dengan penderita, tetapi
tidak semua yang terpapar HPV mengalami gejala veruka.2
Patofisiologi3
Human papiloma virus ditularkan secara kontak langsung antara orang
dengan orang (kulit dengan kulit) atau secara tidak langsung dari benda-benda
yang dapat menjadi sumber penularan. Virus dapat bertahan pada lingkungan
hangat dan lembab, misalnya lantai kamar ganti kolam renang, lantai pinggir
kolam renang, lantai tempat mandi pancuran dan sebagainya. Autoinokulasi juga
merupakan cara penularan yang penting dimana Massing dan Epstain menemukan
peningkatan insiden dan resiko infeksi berulang pada orang yang telah mendapat
veruka vulgaris sebelumnya. Transmisi virus biasanya terjadi pada tempat trauma
atau bagian kulit yang terdapat abrasi, maserasi atau fisura. Virus akan
mengadakan inokulasi pada epidermis melalui defek pada epitelium. Agar dapat
menyebabkan infeksi, virus tampaknya harus memasuki sel punca atau merubah
sel yang terinfeksi menjadi menyerupai sel punca. Setelah masuk, sebuah salinan
atau beberapa salinan dari genom viral berperan sebagai plasmid ekstrakromosom
atau episom di dalam nukleus sel basal epitel yang terinfeksi. Ketika sel ini
membelah viral genom juga bereplikasi dan mengambil tempat pada sel anakan,
yang akan mengantarkan infeksi virus ke lapisan-lapisan epitelium berikutnya.
Masa inkubasi dari inokulasi hingga menimbulkan veruka bervariasi dari 1-6
bulan atau lebih. 1
Anamnesis
Penderita veruka vulgaris biasanya datang dengan keluhan benjolan
berupa papul yang muncul pada permukaan kulit. Benjolan bisa semakin
membesar dan persisten dengan permukaan yang kasar. Pada beberapa kasus,
jumlah benjolan dapat bertambah banyak pada lokasi yang berdekatan atau
disebut sebagai autoinokulasi.4

Pemeriksaan fisik
Hasil tanda patognomonis papul berwarna kulit sampai keabuan dengan
permukaan verukosa. Papul bisa dijumpai pada kulit, mukosa dan kuku. Apabila
digores akan timbul autoinokulasi sepanjang goresan (fenomena koebner).

Pemeriksaan penunjang4
Histopatologi Veruka vulgaris memberikan gambaran histopatologi berupa
epidermal akantosis dengan papilomatosis, hiperkeratosis dan parakeratosis.
Terdapat pemanjangan rete ridge pada bagian tengah veruka. Pembuluh darah
kapiler dermis menonjol dan dapat terjadi trombosis.
Selain histopatologi, jika diagnosis veruka vulgaris meragukan, dapat
dilakukan pemotongan sedikit permukaan lesi veruka vulgaris dengan mata pisau
bedah nomor 15 dan dilihat karakteristik berupa bintik hitam yang merupakan
gambaran dari trombosis kapiler.1

Tatalaksana
Pengobatan yang ideal sebaiknya dapat mengeliminasi lesi veruka tanpa
rasa nyeri, terapi dapat diselesaikan dalam 1-3 kali pengobatan, tidak
menimbulkan parut, dapat mencegah timbulnya kekambuhan dan dapat
diaplikasikan pada seluruh pasien. Kebanyakan pengobatan veruka vulgaris secara
dekstruksi fisik sel yang terinfeksi. Ada beberapa modalitas pengobatan veruka di
kulit yang dapat dipilih, mulai dari terapi topikal, terapi bedah, terapi sistemik,
hipnoterapi dan terapi dengan agen imunosupresif.
Komplikasi 3

Kerusakan lapisan kulit yang localized, Perubahan menjadi ganas, Transmisi


ke janin atau pasangan seksual, Kekambuhan.

c. Pustula
- Folikulitis

Etiologi dan faktor resiko


Folikulitis adalah peradangan bagian distal folikel rambut yang biasanya
hanya mengenai ostium, tapi dapat meluas sedikit ke bawah. Sebenarnya
folikulitis merupakan keadaan yang sering ditemui dan umunya diabaikan oleh
penderita. Folikulitis bisa mengenai anak-anak, remaja, dan orang dewasa,
terutama penderita jerawat atau yang cenderung sebore. Folikulitis terdiri dari dua
tipe yaitu superfisialis dan profunda. Sering kedua tipe ini terjadi secara
bersamaan. Penyakit ini dapat menyerang semua umur, tapi lebih sering dijumpai
pada anak-anak. Folikulitis disebabkan oleh stafilokokus koagulase positif.
Faktor risiko yang bisa terjadi pada penyakit folikulitis yaitu :
- Banyak berkeringat karena tinggal di daerah tropis yang panas
- Hygiene buruk2
- Penyakit DM, kelelahan dan kurang gizi dapat memperberat penyakit -
Kebersihan lingkungan yang buruk.1

Patofisiologi
Patofisiologi folikulitis dimulai dari masuknya organisme penyebab ke
dalam folikel rambut sehingga menyebabkan peradangan. Patogen yang paling
sering terjadinya folikulitis yang paling tersering diantarnya
adalah Staphylococcus aureus, Streptococcuspyogenes, Pseudomonas aeruginosa,
tetapi dapat pula disebabkan oleh autoimun, infeksi virus, ataupun infeksi jamur.
Jika terjadi infeksi, neutrofil akan menginfiltrasi folikel rambut. Pada
infeksi yang superfisial, neutrofil akan ditemukan terbatas pada infundibulum.
Pada infeksi yang lebih dalam, neutrofil dapat ditemukan hingga lapisan dermis di
sekeliling folikel rambut.3

Anamnesis4
Pasien datang ke dokter dengan keluhan rasa gatal dan terbakar pada
daerah kulit yang berambut. Pertumbuhan rambut tidak terganggu.

Pemeriksaan fisik 4
 Lokalisasi : daerah kulit berambut, paling sering pada kulit kepala dan
ekstremitas.
 Efloresensi : makula eritematosa, papula, pustula, dan miliar sampai
lentikular, regional sesuai dengan pertumbuhan rambut. Terlihat pustula
folikuker kecil dan berbentuk kubah, sering ditembus oleh rambut halus.
Krusta tipis dapat menutupi muara folikel yang menyembul. Biasanya lesi
banyak, meskipun lesi tunggal dapat terjadi. Masing-masing lesi saling
terpisah, yang diantarai kulit normal, tanpa ada kecenderungan untuk
bergabung.4

Pemeriksaan penunjang
 Gambaran histopatologi : Khas, terdapat pustula subkorneal di muara folikel
rambut. Folikel rambut tampak edematosa dengan sebukan sel-sel radang
akut. Infiltrate peradangan terdiri dari netrofil yang mengelilingi bagian atas
folikel. Pada bentuk kronik, terdapat abses folikuler yang segera berubah
menjadi nekrosis.
 Pemeriksaan bakteriologis dari sekret lesi dengan pewarnaan Gram.

Tatalaksana
- Sistemik : diberikan jika luas
 Eritromisin 3 x 250 mg selama 7-14 hari, atau
 Penisilin 600.000-1,5 juta IU im selama 7-14 hari - Topikal
 Kemicetin 2%
 Jika terjadi eksudasi kompres dengan PK 1/5.000
- Konseling dan edukasi
 Menjaga kebersihan diri dan lingkungan
 Makan tinggi protein dan tinggi kalori 5
- Kriteria rujukan : Pasien dirujuk apabila terjadi:
 Komplikasi mulai dari selulitis.
 Tidak sembuh dengan pengobatan selama 5-7 hari.
 Terdapat penyakit sistemik (gangguan metabolik endokrin dan
imunodefisiensi).

Komplikasi

Folikulitis bisa sembuh dengan sendirinya, dan jarang menyebabkan gangguan


yang lebih parah. Meski demikian, beberapa komplikasi yang mungkin terjadi
adalah:

 Infeksi yang menyebar atau berulang


 Terbentuk bisul
 Kerusakan kulit permanen, bisa berupa bekas luka atau kulit menghitam
 Kebotakan permanen dan kerusakan folikel.

B. Ujud Kelainan Kulit Sekunder


a. Ulkus
- Ektima

Etiologi dan faktor resiko


Ektima adalah pioderma ulseratif kulit yang umumnya disebabkan oleh
Streptococcus β-hemolyticus. Penyebab lainnya bisa Staphylococcus aureus atau
kombinasi dari keduanya. Menyerang epidermis dan dermis membentuk ulkus
dangkal yang ditutupi oleh krusta berlapis, biasanya terdapat pada tungkai bawah.
Faktor resiko terjadinya ektima yaitu Penyakit ektima ini sering dijumpai pada
anak – anak dengan hiegenitas yang kurang baik sehingga sangat mudah terinfeksi
bakteri.3
Patogenesis
Streptococcus merupakan organisme yang biasanya menyebabkan infeksi
2 pada ektima. Infeksi diawali dengan adanya vesikel atau pustul di atas kulit
sekitar yang mengalami inflamasi, membesar yang kemudian berlanjut pada
pecahnya pustule mengakibatkan kulit mengalami ulserasi dengan ditutupi oleh
krusta. Bila krusta terlepas, tertinggal ulkus superfisial dengan gambaran punched
out appearance atau berbentuk cawan dengan dasar merah dan tepi meninggi. Lesi
umumnya ditemukan pada daerah ekstremitas bawah, tetapi bisa juga didapatkan
pada ekstremitas atas. Lesi yang terjadi pada ektima biasanya disebabkan karena
trauma pada kulit, misalnya, ekskoriasi, varicella atau gigitan serangga. Biasanya
pasien datang dengan keluhan dengan bengkak disertai krusta berwarna coklat
kehitaman, yang awalnya hanya dirasakan gatal lalu digaruk sampai timbul luka.
Anamnesis
Keluhan adanya luka yang menjadi bengkak membesar sejak 4 hari yang
lalu. Awalnya kira – kira 2 minggu yang lalu pasien mengeluh adanya gatal-gatal
setelah digigit nyamuk, lalu karena gatal-gatal tersebut pasien sering menggaruk-
garuk pada daerah kaki kiri tersebut. Sehingga akhirnya timbul luka, luka ini
semakin lama semakin membesar semenjak 4 hari yang lalu. Panas badan dan
sakit disangkal oleh pasien. Orang tua pasien mengatakan bahwa anaknya sangat
senang bermain di tanah.2
Pemeriksaan Fisik
Dari pemeriksaan fisik didapatkan status present dan status general secara
keseluruhan dalam batas normal. Status dermatologi didapatkan pada regio tibia
sinistra ditemukan effloresensi ulkus dangkal multipel tertutup krusta coklat
kehitaman, bentuk bulat-lonjong, uk. 0,5x0,5x0,1cm, batas tegas, tepi meninggi,
dinding landai, dasarnya jaringan granulasi, disertai Krusta tebal warna coklat
kehitaman diatasnya serta kulit yang eritema disekelilingnya.
Pemeriksaan penunjang
Pada pemeriksaan penunjang berupa pengecatan gram, ditemukan adanya
bakteri gram positif Streptococcus yang berbentuk seperti rantai bergerombol.
Pada kasus didapatkan adanya lesi ulkus dangkal multipel tertutup krusta coklat
kehitaman, bentuk bulat-lonjong, uk. 0,5x0,5x0,1cm, batas tegas, tepi meninggi,
dinding landai, dasarnya jaringan granulasi, disertai Krusta tebal warna coklat
kehitaman diatasnya serta kulit yang eritema disekelilingnya. Gambaran yang
didapatkan pada pasien tersebut memang sesuai dengan gambaran klinis pada
penyakit ektima. Pada pasien ini tidak dilakukan pemeriksaan laboratorium
berupa pengecatan Gram, oleh karena dari hasil anamnesis dan pemeriksaan
dermatologis sudah memberikan gambaran yang khas untuk penyakit ektima,
Oleh karena itu pasien pada kasus ini akhirnya didiagnosis dengan ektima. Pada
pemeriksaan pengecatan gram penyakit ektima, akan ditemukan berupa gambaran
bakteri gram positif berupa kokus-kokus yang berbentuk seperti rantai. Dimana
hal tersebut sesuai dengan gambaran dari bakteri Streptococcus
Tatalaksana 2
Pada pasien ini penatalaksanaan yang dilakukan adalah topikal dan sistemik,
obat topikal yang diberikan adalah Mupirocin cream 2% dioleskan tipis 3-4x/hari
pada lesi. Selain diberikan obat topikal pasien juga diberikan obat sistemik, karena
terdapat lesi yang banyak atau multipel. Sesuai yang telah disebutkan pada tinjuan
pustaka. Pasien diberikan antibiotik oral berupa sefadroksil sirup dengan dosis 2
kali sehari sebanyak 1 ½ sendok teh.
Meskipun obat antibiotik pilihan pertama untuk penyakit ektima ini adalah
Dikloksasilin, oleh karena obat tersebut tidak beredar di Indonesia maka dapat
diberikan sefadroksil yang merupakan antibiotik golongan sefalosporin generasi I
dimana secara empiris digunakan sebagai antibiotic spectrum luas dan efektif
untuk infeksi bakteri Gram positif. Selain terapi obat, KIE juga sangat penting
untuk kesembuhan pasien karena penyakit ini dapat diperparah oleh beberapa
faktor, seperti menggaruk lesi hingga pecah dan luka, menurunnya kondisi tubuh
penderita, serta tidak melakukan pengobatan sesuai anjuran dokter. KIE yang
diberikan kepada pasien ini yaitu menjaga kebersihan agar tidak mudah terinfeksi
oleh bakteri, menginformasikan orang tua mengenai penyakit dan
penatalaksanaannya.

b. Skar 5
- Scar hipertrofik dan keloid

Etiologi dan faktor resiko

Angka penderita scar pasca-luka terus meningkat baik karena luka penyembuhan
operasi elektif maupun luka karena luka bakar, laserasi, tato, akne, abses, dan
injeksi. Karena sering disertai gatal hingga nyeri juga kontraktur, scar sering
menurunkan kualitas hidup. Secara umum scar dibedakan menjadi dua bentuk,
yaitu scar hipertrofik dan scar keloid. Gambaran klinis kedua jenis ini dapat sulit
dibedakan, salah identifikasi dapat menyebabkan manajemen yang tidak tepat dan
sering menghasilkan keputusan operasi yang salah.

Patofisiologi

Ada 3 fase penyembuhan luka, yaitu fase inflamasi, fase proliferasi, dan fase
remodelling.

Fase Inflamasi

Fase ini dimulai saat terjadi luka dan berlangsung selama 2 hingga 3 hari.
Diawali dengan vasokonstriksi untuk mencapai hemostasis. Pada fase ini keping
darah melepaskan growth factor seperti platelet-derived growth factor (PDGF)
dan transforming growth factor β (TGF-β). Neutrofil mencapai area luka dan
memenuhi rongga perlukaan. Neutrofil akan memfagosit jaringan mati dan
mencegah infeksi. Selanjutnya monosit akan memasuki area luka. Makrofag
memfagosit debris dan bakteri serta berperan pada produksi growth factor yang
dibutuhkan untuk pembuatan matriks ekstraseluler oleh fibroblas dan pembuluh
darah baru untuk penyembuhan luka. Oleh karena itu, ketidakhadiran monosit
atau makrofag akan menghambat fase penyembuhan luka. Terakhir, sel limfosit
dan sel mast akan berdatangan ke area luka, tetapi peranannya masih belum
diketahui pasti.5

Fase Proliferasi

Fase ini dimulai pada hari ke-4 hingga minggu ke-3 setelah luka.
Makrofag terus memproduksi growth factor seperti PDGF dan TNF-β1 yang
membuat fibroblas dapat terus berproliferasi dan migrasi membentuk jaringan
matriks ekstraseluler. Selain itu, juga menstimulasi sel endotel untuk membentuk
pembuluh darah baru. Kolagen tipe III juga mulai terbentuk yang nantinya akan
digantikan oleh kolagen tipe I pada fase remodelling. Yang penting pada fase ini
adalah saat mulai terjadi pengisian rongga luka dengan kolagen maka fibroblas
harus sudah berkurang dan proses angiogenesis juga harus mulai melambat agar
didapatkan scar normal.5

Fase Remodelling

Fase terpanjang dalam fase penyembuhan luka, berlangsung mulai minggu


ke-3 hingga 1 tahun. Fase ini ditandai dengan kontraksi luka dan remodelling
kolagen. Kolagen tipe I mulai menggantikan kolagen tipe III. Kekuatan luka terus
meningkat sejalan dengan reorganisasi kolagen. Fase inflamasi yang memanjang
diduga merupakan salah satu penyebab timbulnya scar hipertrofik atau keloid.
Meningkatnya jumlah sel-sel imun pada keloid meningkatkan aktivitas fibroblas
dan terus terjadi pembentukan matriks ekstraseluler. Hal ini juga yang diduga
menyebabkan scar timbul melebihi margin atau batas luka pada keloid.Pada scar
hipertrofik, infiltrasi sel imun akan menurun sehingga mungkin terjadi regresi.
Teori lain menyatakan bahwa TGF-β memainkan peranan sangat penting dalam
terjadinya kelainan jaringan fibrotik ini. TGF-β1 dan TGF-β2 merupakan stimulan
penting sintesis kolagen dan proteoglikan serta mempengaruhi matriks
ekstraseluler yang tidak hanya meningkatkan sintesis kolagen tetapi juga
menghambat pemecahannya. Sedangkan TGF-β3 yang ditemukan lebih dominan
pada fase akhir penyembuhan luka memiliki fungsi sebaliknya. Decorin
merupakan proteoglikan yang memiliki kemampuan mengikat dan menetralisir
TGF-β serta menurunkan protein matriks ekstraseluler. Kadar decorin yang
rendah dapat memicu terjadinya kelainan fibrotik. Akhir-akhir ini dinyatakan
bahwa apoptosis juga menjadi penyebab kelainan fibrosis. Pada fase awal
terbentuknya scar hipertrofik, terjadi hiperseluler, dan pada fase remodelling sel
fibroblas berkurang dan perlahan-lahan menjadi scar normal melalui proses
apoptosis. Proses ini mulai terjadi sejak hari ke-12 pasca-luka. Penelitian pada
scar hipertrofik akibat luka bakar derajat tinggi menemukan keterlambatan proses
apoptosis, yaitu pada bulan ke-19-30 pasca-luka.

Anamnesis 3

Pasien dengan parut hipertrofik biasanya mengeluhkan pertumbuhan


massa pada bekas luka, dirasakan gatal, nyeri, dan eritema. Bila dibandingkan
dengan kasus keloid, maka pada parut hipertrofik keluhan gatal dan nyeri lebih
jarang ditemukan. Awitan parut hipertrofik juga lebih dini, yaitu 4-8 minggu
setelah awitan luka. Selain itu, parut hipertrofik biasanya berkembang selama 6
bulan kemudian dapat mengalami regresi spontan dalam 1 tahun.

Pemeriksaan fisik3

Lokasi munculnya

Skar hipertrofi bisa muncul di bagian tubuh mana pun yang mengalami
luka. Sementara keloid adalah bekas luka yang biasanya muncul di bagian tubuh
tertentu seperti bahu dan lengan bagian atas, belakang telinga, serta pipi.

Pertumbuhan

Skar hipertrofi termasuk bekas luka yang bisa hilang dengan sendirinya
seiring dengan berjalannya waktu. Biasanya skar hipertrofi akan muncul di kulit
dalam waku satu bulan setelah luka mulai mengering.
Sementara keloid adalah bekas luka yang tidak bisa membaik sendiri dan butuh
penanganan dokter jika ingin dihilangkan. Keloid juga masih bisa terus tumbuh
dan membesar. Biasanya keloid muncul setelah tiga bulan pascaluka sembuh.

Ukuran

Skar hipertrofik biasanya muncul dengan ukuran tak lebih dari 4 milimeter
di atas kulit. Sementara keloid adalah bekas luka ukuran tonjolannya lebih dari
lebih dari 4 milimeter di atas permukaan kulit. Oleh karena itu, keloid biasanya
tumbuh lebih besar dari luka yang Anda miliki.

Warna

Skar hipertrofik biasanya muncul dengan warna merah atau pink.


Sementara itu, keloid biasanya tumbuh dengan rentang warna pink hingga
keunguan. Mudahnya,  keloid biasanya berwarna lebih gelap dari skar hipertrofik..

Pemeriksaan penunjang

Pada pemeriksaan histologi, kolagen yang terdapat pada dermis kulit


normal atau jaringan parut normal terlihat tidak menegang dan tersusun secara
acak. Sedangkan pada keloid, terlihat kolagen yang menegang dan tersusun sejajar
dengan epidermis. Kolagen ini juga terlihat lebih tebal dibandingkan dengan
kolagen pada jaringan normal

Tata laksana

Menghindari terjadinya luka berlebihan tetap merupakan solusi terbaik.


Semua terapi dapat dilakukan pada scar hipertrofik ataupun keloid. Walaupun
demikian, pembedaan klinis antara keduanya tetap perlu terutama sebelum
tindakan pembedahan dan laser. Angka keberhasilan lebih tinggi bila dilakukan
terapi kombinasi. Keterlambatan proses epitelisasi hingga 10-14 hari
meningkatkan angka kejadian scar hipertrofik/keloid. Lokasi, ukuran, kedalaman
luka, usia pasien, dan keberhasilan terapi sebelumnya merupakan pertimbangan
klinisi untuk menentukan terapi.
1. Terapi Tekan. Efektivitasnya masih kontroversial. Mekanisme kerja yang
diharapkan adalah dengan pemberian tekanan, maka sintesis kolagen
menurun karena terbatasnya suplai darah dan oksigen, serta nutrisi ke
jaringan scar dan apoptosis diharapkan meningkat. Tekanan kontinu (15-40
mmHg) diberikan minimal 23 jam dan/atau 1 hari selama minimal 6 bulan
atau selama scar masih aktif. Terapi ini terbatas karena sering menyebabkan
maserasi, eksema, ataupun bau tidak sedap karena penggunaan bahan kain.
Terapi tekan biasanya berhasil lebih baik pada anak-anak.1

2. Injeksi Kortikosteroid. Kortikosteroid bekerja mensupresi proses


inflamasi luka. Selain itu, kortikosteroid mampu mengurangi sintesis kolagen
dan glikosaminoglikan, menghambat pertumbuhan fibroblas, dan
meningkatkan degradasi kolagen dan fibroblas. Injeksi intralesi menggunakan
triamcinolon acetonide (TAC) 10-40 mg/mL diulang setiap 3-4 minggu dapat
dilakukan hingga 6 bulan memberikan hasil yang cukup baik, pada kasus
tertentu terkadang dibutuhkan tambahan sesi.7 Pada terapi tunggal, hasil
maksimal hingga rata sepenuhnya didapatkan pada scar yang masih baru.
Untuk scar lama, hasil yang dicapai hanya lesi menjadi lebih kecil dan
membantu mengurangi gejala.1 Efek samping yang sering muncul adalah
atrofi kulit, telangiektasis, dan rasa nyeri di area penyuntikan.

3. Revisi Scar. Sebelum tindakan bedah, harus dipastikan perbedaan antara


scar hipertrofi dan keloid. Pada penanganan scar hipertrofi, scar <1 tahun
masih dapat menunjukkan perbaikan tanpa manipulasi. Kemungkinan rekuren
setelah tindakan bedah lebih kecil pada scar hipertrofik. Keloid memiliki
angka rekuren 45-100% pasca-tindakan bedah. Tindakan eksisi sering
menyebabkan scar yang lebih besar. Tindakan bedah sebaiknya dikombinasi
dengan injeksi triamcinolone acetonide dan terapi tekan di area tindakan
untuk hasil yang lebih baik.2

4. Radioterapi. Superficial x-rays, electron-beam therapy, dan brachytherapy


dosis rendah atau tinggi memberikan hasil yang cukup baik.1 Radioterapi
menghambat neovaskular dan proliferasi fibroblas, sehingga produksi
kolagen menurun. Terapi sebaiknya dimulai sejak 24-48 jam pasca-tindakan
eksisi dengan dosis total 40 Gy untuk mencegah efek samping seperti hipo-
atau hiperpigmentasi, eritema, telangiektasis, dan atrofi. 4
DAFTAR PUSTAKA

1. AP Putra. Varicella pada wanita dewasa usia 28 tahun. Vol 1 no 3. FK


UNILA; Oktober 2015
2. Adiguna S M, Wardhana M, Praharsini. Buku Panduan Koas, ilmu kesehatan
kulit dan kelamin.Halm 5-35. FK Udayana ; Denpassar. 2017
3. Sudoyo W A, Setitohadi B, Alwi I. Buku ajar ilmu penyakit dalam edisi V.
Hlm 1612-1578.Interna Publishing;Jakarta Pusat. 2014
4. Kemenkes RI. Panduan Praktik Klinis bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan
Kesehtan Primer. Jakarta; Pengurus besar IDI. 2016
5. Nilasari H, Rosita C. Panduan praktik klinis bagi dokter spesialis kulit dan
kelamin di Indonesia. Hlm 191, 202, 354. PERDOSKI; Jakarta. 2017

Anda mungkin juga menyukai