Anda di halaman 1dari 5

Orang tua kandung

Engeline lahir pada tanggal 19 Mei 2007 di sebuah klinik di daerah Canggu sebagai puteri dari
seorang ibu bernama Hamidah dan ayah bernama Achmad Rosyidi. Ia adalah puteri kedua dari tiga
bersaudara. Namun para anggota keluarga ini kemudian tinggal terpencar karena orangtuanya
bercerai setelah melahirkan puteri ketiga. Anak sulungnya, Inna (17 tahun), tinggal bersama keluarga
ayahnya di Rogojampi, Banyuwangi. Sementara Aisyah (9 tahun), anak bungsu, tinggal bersama
neneknya di Desa Tulungrejo, Banyuwangi.[15] Sementara itu, Engeline bersama orang tua
angkatnya yang terakhir tinggal di Sanur, Denpasar tepatnya di Jalan Sedap Malam.

Ibu kandung Engeline, Hamidah (33 tahun), adalah wanita kelahiran Banyuwangi namun sejak usia
15 tahun sudah merantau ke Bali untuk bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Di sana pula ia
bertemu dengan suami pertamanya, ayah kandung Engeline yang bernama Achmad Rosyidi (36
tahun), seorang pekerja buruh bangunan, untuk kemudian menikah dan menetap di Bali. Namun kini
mereka sudah bercerai. Hamidah sudah menikah kembali dengan seorang pemuda Bali dan mereka
sudah memiliki satu orang putera. Sekarang Hamidah sudah tidak lagi bekerja sebagai pembantu
rumah tangga.

Proses adopsi

Ketika melahirkan Engeline, Hamidah tidak sanggup melunasi biaya persalinannya ke klinik. Saat
sedang mengalami kesulitan demikian, seseorang mempertemukan dan memperkenalkannya dengan
Margriet Christina Megawe yang menawarkan bantuan untuk melunasi biaya tersebut sekaligus
bermaksud untuk mengadopsi bayinya. Waktu itu, Margriet datang ditemani suaminya yang bernama
Douglas Scarborough. Untuk keperluan tersebut, Margriet mengeluarkan biaya sebesar Rp 1,8 juta,
dengan rincian biaya persalinan Rp 800 ribu dan biaya perawatan Hamidah Rp 1 juta. Maka tiga hari
setelah lahir, Engeline langsung dibawa oleh Margriet dan tidak pernah bertemu lagi dengan kedua
orangtuanya. Saat itu, anak tersebut belum diberi nama oleh Hamidah. Nama "Engeline" diberikan
oleh Margriet, mengikuti nama depan ibunya (nenek angkat Engeline),[16] Engelina Sumilat.[17]
Dalam proses adopsi ini, Douglas ternyata tidak ikut campur. Sehingga pihak yang tercantum dalam
surat perjanjian pengadopsian tersebut hanya Margriet saja.[18][19]

Pengadopsian tersebut sebetulnya belum disahkan melalui pengadilan. Mereka hanya membuat
perjanjian di notaris yang tertulis dalam Akta Pengakuan Pengangkatan Anak Nomor 18 tertanggal 24
Mei 2007 di notaris Anne Wibowo. Proses adopsi yang tidak sesuai dengan prosedur hukum tersebut
membuat Komnas Perlindungan Anak sempat hendak mengembalikan hak asuh Engeline kepada
orang tua kandungnya.[5]

Dalam akta perjanjian yang dibuat di notaris, sebenarnya telah ada klausul yang menyatakan bahwa
Margriet sebagai ibu angkat harus menyayangi Engeline sebagaimana anak kandungnya sendiri.
Namun kenyataan terakhir yang dialami Engeline jauh berbeda, sehingga Rosyidi menyesal telah
membuat perjanjian tersebut.[20]
Bagian lain dari perjanjian tersebut menyatakan bahwa keluarga Margriet Christina Megawe, akan
menjadikan Engeline sebagai ahli warisnya di kemudian hari. Sementara keluarga Hamidah, ibu
kandung Angeline, melepaskan semua hak waris yang melekat pada anak tersebut. Juga disebutkan
jika Engeline meninggal maka hak waris akan menjadi milik ahli waris Margriet.[20] Selain itu, mereka
juga menyepakati agar kedua orang tua kandung Engeline tidak menemui anak kandungnya tersebut
sampai ia berusia 18 tahun.

Pengasuhan orang tua angkat


Sunting
Engeline diterima di keluarga angkatnya dan diperlakukan sebagaimana anak kandung Margriet
lainnya. Ia mempunyai dua kakak angkat yaitu Yvonne Caroline Megawe (44 tahun) dan Christina
Telly Megawe (35 tahun). Engeline tumbuh sebagai anak ceria yang selalu berkomunikasi
menggunakan bahasa Inggris dengan Margriet.[21] Keluarga ini sempat berpindah-pindah tempat
tinggal diantaranya ke Pekanbaru, Bekasi, dan Bali. Ayah angkat Engeline, Douglas, dikabarkan
sangat menyayangi anak angkatnya tersebut.[20] Namun kemudian Douglas meninggal dunia pada
tanggal 17 September 2008.[18] Margriet tampak terpukul dengan kematian suami keduanya
tersebut.

Dalam pengasuhan Margriet sebagai orang tua tunggal, pada tahun-tahun terakhirnya diduga
Engeline mengalami banyak kekerasan baik secara fisik maupun mental.[22] Diketahui bahwa ibu
angkatnya tersebut menjadi seorang yang temperamental. Dari foto-foto yang ada dan kesaksian dari
guru di sekolahnya[23] tampak bahwa pada tahun terakhir kehidupannya ia mengalami penurunan
berat badan. Engeline juga tinggal di rumah yang tidak layak huni, karena dikelilingi oleh kandang
ayam dan berbau tidak sedap walaupun mereka adalah keluarga yang secara ekonomi
berkecukupan.

Setiap hari Engeline diberi tugas untuk mencuci baju, mengepel lantai, membersihkan rumah, serta
memberi makan binatang-binatang peliharaan ibu angkatnya berupa ayam, anjing, dan kucing.[23]
Bila ia lupa melakukannya, maka ia pasti mendapatkan perlakuan kasar dari ibu angkatnya.[24]
Padahal jumlah ayam yang dimiliki ibu angkatnya tersebut mencapai puluhan ekor. Akibat tugas
tersebut, ia sering datang ke sekolah dalam keadaan baju yang lusuh serta badan dan rambut yang
bau.[25] Bahkan pernah ia dilaporkan oleh teman-teman sekelas kepada guru kelasnya di kelas 2B,
Putu Sri Wijayanti, karena baunya. Ternyata saat itu di rambut Angeline banyak gumpalan kotoran
ayam[23] sehingga ia harus dimandikan dan dikeramasi rambutnya oleh Wijayanti.

Di sekolahnya, SD 12 Sanur, Denpasar, khususnya setelah menginjak kelas 2, Engeline terlihat


sebagai anak yang memiliki sifat pendiam, pemurung, lusuh, berwajah sendu, dan sering terlambat.
Dia bersekolah pukul 12.00 WITA dan pulang pukul 17.00 WITA. Ia harus mempersiapkan bekal
sekolahnya sendiri dan pergi ke sekolah dengan berjalan kaki sejauh 2 km bila melaui jalan raya atau
1 km bila melalui pematang sawah. Rutinitas pekerjaan yang tidak sewajarnya bagi seorang anak ini
mengakibatkan Engeline tampak kelelahan, tidak sehat, dan terganggu perkembangannya.[25]
Namun Engeline bersifat tertutup dan tidak mau bercerita tentang penderitaan yang ia alami kepada
gurunya. Hanya setelah didesak akhirnya ia mau mengatakan kepada gurunya bahwa ia sering
pusing di sekolah karena belum makan. Mengenai hal ini, Margriet membela diri bahwa Engeline
memang tidak suka makan dan cuma mau minum susu saja. Padahal ketika diberi makan di sekolah
oleh gurunya, ternyata Engeline bisa sampai menghabiskan dua piring makanan yang disediakan.[26]

Mengetahui keadaan yang dialami Engeline, Kepala Sekolahnya - I Ketut Ruta - sempat berniat untuk
mengadopsi anak tersebut. Ia meminta wali kelas Engeline untuk menyampaikan niatnya kepada
Margriet. Namun Margriet melarangnya dengan alasan Engeline mempunyai tanggung jawab berupa
berbagai tugas dan kewajiban yang harus dilakukannya di rumah.

Walaupun Margriet adalah seorang yang temperamental tetapi ia membantah sangkaan bahwa ia
sebagai ibu angkat tidak mengasuh Engeline dengan baik apalagi sampai melakukan kekerasan. Ia
menyatakan bahwa ia menyayangi Engeline dan anak itu pun menyayangi dia. Ia memberi berbagai
tugas kepada Engeline semata hanya untuk mendidiknya agar mandiri.[27] Ia mengaku tidak mau
dipisahkan dengan Engeline, sehingga ketika mendengar bahwa Komnas Perlindungan Anak akan
mengambil hak asuh anaknya, ia berang dan menyatakan akan membunuh siapapun yang akan
mengambil anak itu dari sisinya.[28] Kasih sayang Margriet kepada Engeline juga diungkapkan oleh
mantan tetangganya di Pekanbaru. Saat mereka berkunjung ke Pekanbaru, ia melihat hubungan
Margriet dengan anak angkatnya itu selayaknya hubungan ibu dengan anak kandungnya.[21]
Pengacara Margriet, Hotma Sitompul, juga menyatakan bahwa salah satu bukti Margriet menyayangi
anak angkatnya itu adalah pemberian nama ibu kandung Margriet kepada anak tersebut.[29]

Hilangnya Engeline

Kasus yang menimpa Engeline pertama kali mengemuka dengan beredarnya kabar tentang
hilangnya anak tersebut. Kabar tersebut tersebar luas antara lain akibat dibuatnya sebuah laman di
jejaring sosial facebook berjudul "Find Angeline-Bali's Missing Child". Laman tersebut dibuat oleh
salah satu kakak angkat Engeline yang sedang kuliah di Amerika Serikat, yaitu Christine, pada
tanggal 16 Mei 2015 sekitar pukul 17.00 WITA.[30] Sementara Yvonne membuat selebaran mengenai
hilangnya Engeline.[30][31]

Keesokan harinya berbagai media massa turut memberitakan kehilangan tersebut.[1][32]


Berdasarkan informasi dari Yvonne, dikabarkan bahwa adiknya hilang saat mereka bermain di depan
rumah sekitar pukul 15.00 WITA.[1] Setelah tidak juga ditemukan sampai pukul 18.00, maka
kemudian Yvonne melaporkannya ke polisi. Tim pencari anak hilang dari kepolisian lantas
mencarinya dari Denpasar sampai ke Banyuwangi, tampat lahir orang tua kandungnya. Berbagai
upaya dilakukan oleh polisi, seperti mengamati CCTV di sekitar lokasi, menganalisis telepon seluler
orang tua kandung dan orang tua angkatnya, serta menggunakan anjing pelacak. Namun anjing
tersebut tidak menemukan jejak Engeline dan hanya berputar-putar di sekitar rumah saja. Keluarga
Engeline yang berasal dari luar Bali pun berdatangan ke kediaman Engeline untuk membantu
mencari anak tersebut.

Kasus kehilangan anak ini juga menarik perhatian Komisi Nasional Perlindungan Anak Indonesia
(KPAI), sehingga ketuanya, Arist Merdeka Sirait, beserta dua anggota timnya datang ke Bali untuk
melakukan dialog dengan Polresta Denpasar dan Polda Bali. Mereka juga kemudian berkunjung dan
menemui Margriet di rumahnya. Saat itu, Margriet memperkenankan mereka untuk melihat kamar dan
ruangan dalam rumah. Dari hasil kunjungan itu, Arist berkesimpulan bahwa selama ini Engeline
tinggal di rumah yang kondisinya sangat buruk dan tidak layak huni dengan halaman dipenuhi
kandang ayam berjumlah sekitar seratus ayam sehingga akan membuat anak tidak bisa berkembang
dengan baik.[4] KPAI juga menyatakan maksudnya akan mengambil alih sementara hak asuh
Margriet atas Engeline, sehingga membuat Margriet menangis histeris. Dia mengaku tidak terima,
bahkan mengancam akan membunuh siapa pun yang akan mengambil anaknya itu karena dia
menyayangi Engeline dan Engeline pun menyayanginya.[28]

Selain oleh KPAI, rumah Margriet juga didatangi oleh dua menteri Kabinet Kerja, yaitu Menteri
Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Yuddy Chrisnandi, dan Menteri
Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Yohana Yembise. Namun Margriet menolak
menemui keduanya dan kedua menteri itu tidak diperbolehkan memasuki rumahnya.

Hilangnya Engeline juga dibantu penanganannya oleh Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan
Perempuan dan Anak (P2TP2A) Kota Denpasar, yang merupakan perpanjangan tangan Pemerintah
Kota Denpasar yang menangani perempuan dan anak. Mereka sudah memiliki kekhawatiran bahwa
hilangnya Angeline bukan karena diculik atau melarikan diri, tapi justru dibunuh. Hal ini dinyatakan
oleh pendamping hukum P2TP2A, Siti Sapurah tanpa mencurigai siapa pun termasuk ibu
angkatnya.[9] Hal tersebut didasari minimnya indikasi yang mereka temukan bahwa Engeline hilang
di sekitar rumah atau diambil seseorang. Sehingga mereka menduga bahwa Engeline dihilangkan,
dikubur atau dibunuh. Apalagi saat polisi melakukan pemeriksaan Margriet tidak koperatif dan ada
ruang di rumah Margriet yang tidak boleh dimasuki orang lain kecuali orang terdekatnya dia.
Ditambah lagi karena mantan pembantu Margriet, yaitu Agus Tay Hamba May, pernah mengatakan
bahwa satu hari sebelum dilaporkan hilang, hidung Engeline berdarah karena dipukul ibunya.
Pencarian Engeline terhenti setelah ia ditemukan dalam keadaan tewas terkubur di halaman
belakang rumahnya pada hari Rabu, 10 Juni 2015. Jasadnya dalam kondisi membusuk di bawah
pohon pisang, ditutup sampah, terkubur bersama bonekanya. Otopsi segera dilakukan di Instalasi
Forensik di RSUP Sanglah pimpinan dr Ida Bagus Putu Alit, DMF, SpF. Dari hasil otopsi, Engeline
diketahui meninggal sejak tiga minggu sebelumnya. Di tubuh jenazah ditemukan luka-luka kekerasan
berupa memar pada wajah, leher, serta anggota gerak atas dan bawah. Di punggung kanan jenazah
ditemukan luka sundutan rokok. Selain itu, ditemukan juga luka lilitan dari tali plastik sebanyak empat
lilitan. Sebab kematiannya dipastikan karena kekerasan benda tumpul pada wajah dan kepala yang
mengakibatkan pendarahan pada otak.[33] Jasad Engeline kemudian dimakamkan di Dusun Wadung
Pal, Desa Tulungrejo, Kecamatan Glenmore, Kabupaten Banyuwangi yang merupakan kampung
halaman dari ibu kandungnya.

Penyidikan

Setelah ditemukannya jasad Engeline pada tanggal 10 Juni 2015, Kepolisian Resor Kota Denpasar
segera mengadakan pemeriksaan terhadap tujuh orang, yaitu Margriet (ibu angkat), Yvonne dan
Christina (kakak angkat), Agus Tay (pembantu), dua penghuni indekos (suami istri Rahmat Handono
dan Susiani), dan petugas keamanan (satpam, Dewa Ketut Raka), yang disewa khusus oleh Margriet
untuk menjaga rumah itu setelah ramainya pemberitaan terkait Angeline.[34] Dari hasil pemeriksaan
awal tersebut, polisi menetapkan Agus Tay Hamba May sebagai tersangka pembunuh Engeline[34]
yang mengakui telah membunuh dan memperkosa Engeline pada tanggal 16 Mei 2015 sekitar pukul
13.00 WITA, tepat pada hari hilangnya anak tersebut, dan kemudian menguburkan jasadnya di
belakang rumah majikannya itu pada pukul 20.00 WITA.

Pada tanggal 14 Juni 2015, Kepolisian Daerah Bali menetapkan ibu angkat Angeline, Margriet
Megawe, sebagai tersangka dalam kasus dugaan pelantaran anak dan menempatkannya di tahanan
Mapolda Bali.

Pada tanggal 28 Juni 2015, Margriet ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus pembunuhan
berdasarkan tiga alat bukti, yaitu pengakuan Agus, bukti-bukti kedokteran forensik RS Sanglah, dan
hasil olah tempat kejadian perkara (TKP) oleh tim forensik Polresta Denpasar, Inafis (Indonesia
Automatic Finger Print Identification System) Polda Bali, dengan bantuan Inafis Mabes Polri. Dari
bukti-bukti tersebut Margriet diduga menjadi otak pembunuhan, dan Agus hanya membantu
menguburkan jasad Engeline.[13] Namun tim pengacara tersangka Margriet mempermasalahkan
penetapan tersangka Margriet terkait kasus pembunuhan Engeline dan mendaftarkan gugatan
praperadilan di Pengadilan Negeri Denpasar pada tanggal 2 Juli 2015.

Pada tanggal 6 Juli 2015, Polresta Denpasar menggelar rekonstruksi pembunuhan Engeline di
Tempat Kejadian Perkara di Jalan Sedap Malam 26 Denpasar dihadiri dua tersangka.

Tanggal 29 Juli 2015, praperadilan yang diajukan Margriet ditolak oleh Pengadilan Negeri Denpasar.
Hakim tunggal Achmad Peten Sili menilai bahwa pihak pemohon, Margriet, melalui kuasa hukumnya,
Hotma Sitompoel & Associates, tidak bisa membuktikan dalil-dalil permohonannya bahwa termohon
(Polda Bali) dalam menetapkan tersangka (Margriet) tidak didasari adanya alat bukti yang sah adalah
argumentasi yang tidak beralasan.

Pada tanggal 7 September 2015, berkas perkara tentang pembunuhan Engeline dinyatakan sudah
lengkap (P21) dan diserahkan ke Kejaksaan Negeri Denpasar bersama dengan dua tersangkanya
untuk segera dilimpahkan ke pengadilan. Dalam berkas tersebut, tertera sejumlah pasal yang
disangkakan kepada Margriet yaitu pasal pembunuhan berencana, pembunuhan, penganiayaan
mengakibatkan korban meninggal, dan penelantaran anak.

Peradilan

Sidang perdana kasus pembuhunan Engeline digelar pada tanggal 22 Oktober 2015, pada sidang
tersebut jaksa menyebutkan jika Margriet menyuruh Agus Tay untuk menguburkan jasad Engeline
dengan iming-iming uang, Margriet pula yang menyuruh Agus untuk menyalakan rokok dan
menyundutkannya ke tubuh Engeline, dan hal tersebut sesuai dengan hasil visum RSUP Sanglah
Denpasar.[42] Dalam persidangan tersebut jaksa mengungkapkan bahwa tanggal 16 Mei 2015,
Margriet memukuli Engeline berkali kali pada bagian wajah dengan tangan kosong hingga hidung dan
telinga Engeline mengeluarkan darah. Pembunuhan Engeline kemudian direncanakan dengan
maksud untuk menghilangkan jejak.[43] Sementara dalam persidangan tersebut Margriet menolak
tuduhan jaksa yang menyatakan bahwa dirinya yang telah membunuh Engeline, Margriet menyatakan
bahwa dirinya menyayangi Engeline sebagaimana layaknya anaknya.

Atas kasus ini, jaksa penuntut umum menuntut Agus Tay dengan vonis 12 tahun penjara dan denda 1
miliar Rupiah (subsider 6 bulan penjara) pada Selasa, 2 Februari 2016. Agustay tidak didakwa
sebagai pembunuh Engeline, tetapi melakukan pembiaran yang menyebabkan meninggalnya
Engeline. Dua hari berselang, Margriet dituntut dengan penjara seumur hidup. Menanggapi tuntutan
ini, kuasa hukum Margriet menyatakan bahwa tuntutan ini adalah "imajinatif".[48] Pada 29 Februari
2016, hakim mengabulkan tuntutan jaksa dengan menjatuhkan vonis seumur hidup kepada Margriet,
Pada hari yang sama, hakim menjatuhkan vonis 10 tahun penjara kepada Agus Tay. Ibu kandung
Engeline, Hamidah menyatakan ketidakpuasannya dengan menyatakan bahwa seharusnya Margriet
dijatuhi hukuman mati.

Baik Margriet dan Agus Tay mengajukan banding atas vonis majelis hakim PN Denpasar. Dalam
memori banding, Margriet menyatakan dalam video bahwa Agus Tay merupakan pelaku pembunuhan
Engeline. Namun demikian, pada Mei 2016, hakim PT Bali menguatkan vonis yang dijatuhkan oleh
PN Denpasar. Kembali tidak puas atas vonis hakim, keduanya mengajukan kasasi ke Mahkamah
Agung. Namun demikian, vonis tetap tidak berubah setelah hakim agung menguatkan putusan
sebelumnya pada Februari 2017.

Anda mungkin juga menyukai