Anda di halaman 1dari 7

Kelompok3

Nama:1.fanya Prisilia Agustin


2.gunawan Pamungkas
3.hana lintang fajarwati
4.hilda iga meida
5.hilmi Allam syihab
Pembunuhan Engeline Megawe merupakan peristiwa kekerasan terhadap
anakperempuan berusia delapan tahun yang terjadi di Kota Denpasar, Bali pada
tanggal 16 Mei 2015. Peristiwa ini menjadi populer dalam berbagai media di
Indonesia diawali dengan pengumuman[1] kehilangan anak tersebut (semula disebut
Angeline)[2] dari keluarga angkatnya melalui sebuah laman di facebookberjudul "Find
Angeline-Bali's Missing Child".[3]

Pembunuhan Engeline Megawe

16 Mei 2015
Tanggal

Lokasi Jalan Sedap Malam


26 Denpasar, Bali, Indonesia

Koordinat 8°40′04″S 115°15′04″E / 8.667903°S


115.250979°E

Nama lain Rumah Margriet

Penyebab Kekerasan terhadap anak

Tewas 1 orang

Koroner Ida Bagus Putu Alit

Tersangka 2 orang

Besarnya perhatian dari berbagai pihak membuat terungkapnya kenyataan bahwa


Engeline selama ini tinggal di rumah yang tidak layak huni[4] dan mendapat
pengasuhan yang kurang baik dari orang tua angkatnya[5]bahkan mendapatkan
penyiksaan baik fisik maupun mental.[6] Akibat sikap yang sangat tertutup dan tidak
kooperatif dari ibu angkatnya, Margriet Christina Megawe (64 tahun)[7],
memunculkan dugaan bahwa Engeline hilang bukan karena diculik melainkan
karena dibunuh.[8][9] bahkan sebelum jenazahnya ditemukan.
Jasad Engeline kemudian ditemukan terkubur di halaman belakang rumahnya di
Jalan Sedap Malam, Denpasar, Bali, pada hari Rabu tanggal 10 Juni 2015[10] dalam
keadaan membusuk tertutup sampah di bawah pohon pisang[11] setelah polisi
mencium bau menyengat dan melihat ada gundukan tanah di sana. [12] Selanjutnya
polisi menyelidiki lebih mendalam dan menetapkan dua orang tersangka pembunuh,
yaitu Agus Tay Hamba May, pembantu rumah tangga, dan Margriet Christina
Megawe[13], ibu angkatnya.
Kasus tersebut diangkat pada sebuah film berjudul Untuk Angeline.
Orang tua kandungSunting
Engeline lahir pada tanggal 19 Mei 2007[14] di sebuah klinik di
daerah Canggu sebagai puteri dari seorang ibu bernama Hamidah dan ayah
bernama Achmad Rosyidi. Ia adalah puteri kedua dari tiga bersaudara. Tetapi para
anggota keluarga ini kemudian tinggal terpencar karena orangtuanya bercerai
setelah melahirkan puteri ketiga. Anak sulungnya, Inna (14 tahun), tinggal bersama
keluarga ayahnya di Rogojampi, Banyuwangi. Sedangkan Aisyah (6 tahun), anak
bungsu, tinggal bersama neneknya di Desa Tulungrejo, Banyuwangi.[15] Sementara
itu, Engeline bersama orang tua angkatnya yang terakhir tinggal di Sanur,
Denpasar tepatnya di Jalan Sedap Malam.
Ibu kandung Engeline, Hamidah (30 tahun), adalah wanita kelahiran Banyuwangi
namun sejak usia 15 tahun sudah merantau ke Bali untuk bekerja sebagai pembantu
rumah tangga. Di sana pula ia bertemu dengan suami pertamanya, ayah kandung
Engeline yang bernama Achmad Rosyidi (33 tahun), seorang pekerja buruh
bangunan, untuk kemudian menikah dan menetap di Bali. Namun kini mereka sudah
bercerai. Hamidah sudah menikah kembali dengan seorang pemuda Bali dan
mereka sudah memiliki satu orang putera. Sekarang Hamidah sudah tidak lagi
bekerja sebagai pembantu rumah tangga.

Proses adopsiSunting
Ketika melahirkan Engeline, Hamidah tidak sanggup melunasi biaya persalinannya
ke klinik. Saat sedang mengalami kesulitan demikian, seseorang mempertemukan
dan memperkenalkannya dengan Margriet Christina Megawe yang menawarkan
bantuan untuk melunasi biaya tersebut sekaligus bermaksud untuk
mengadopsi bayinya. Waktu itu, Margriet datang ditemani suaminya yang bernama
Douglas Scarborough. Untuk keperluan tersebut, Margriet mengeluarkan biaya
sebesar Rp 1,8 juta, dengan rincian biaya persalinan Rp 800 ribu dan biaya
perawatan Hamidah Rp 1 juta. Maka tiga hari setelah lahir, Engeline langsung
dibawa oleh Margriet dan tidak pernah bertemu lagi dengan kedua orangtuanya.
Saat itu, anak tersebut belum diberi nama oleh Hamidah. Nama "Engeline" diberikan
oleh Margriet, mengikuti nama depan ibunya (nenek angkat Engeline), [16] Engelina
Sumilat.[17] Dalam proses adopsi ini, Douglas ternyata tidak ikut campur. Sehingga
pihak yang tercantum dalam surat perjanjian pengadopsian tersebut hanya Margriet
saja.[18][19]
Pengadopsian tersebut sebetulnya belum disahkan melalui pengadilan. Mereka
hanya membuat perjanjian di notaris yang tertulis dalam Akta Pengakuan
Pengangkatan Anak Nomor 18 tertanggal 24 Mei 2007 di notaris Anne Wibowo.
Proses adopsi yang tidak sesuai dengan prosedur hukum tersebut membuat Komnas
Perlindungan Anak sempat hendak mengembalikan hak asuh Engeline kepada orang
tua kandungnya.[5]
Dalam akta perjanjian yang dibuat di notaris, sebenarnya telah ada klausul yang
menyatakan bahwa Margriet sebagai ibu angkat harus menyayangi Engeline
sebagaimana anak kandungnya sendiri. Namun kenyataan terakhir yang dialami
Engeline jauh berbeda, sehingga Rosyidi menyesal telah membuat perjanjian
tersebut.[20]
Bagian lain dari perjanjian tersebut menyatakan bahwa keluarga Margriet Christina
Megawe, akan menjadikan Engeline sebagai ahli warisnya di kemudian hari.
Sementara keluarga Hamidah, ibu kandung Angeline, melepaskan semua hak waris
yang melekat pada anak tersebut. Juga disebutkan jika Engeline meninggal maka
hak waris akan menjadi milik ahli waris Margriet.[20] Selain itu, mereka juga
menyepakati agar kedua orang tua kandung Engeline tidak menemui anak
kandungnya tersebut sampai ia berusia 18 tahun.
Pengasuhan orang tua angkatSunting
Engeline diterima di keluarga angkatnya dan diperlakukan sebagaimana anak
kandung Margriet lainnya.[21] Ia mempunyai dua kakak angkat yaitu Yvonne Caroline
Megawe (41 tahun) dan Christina Telly Megawe (32 tahun). Engeline tumbuh
sebagai anak ceria yang selalu berkomunikasi menggunakan bahasa Inggris dengan
Margriet.[21] Keluarga ini sempat berpindah-pindah tempat tinggal diantaranya
ke Pekanbaru, Bekasi, dan Bali. Ayah angkat Engeline, Douglas, dikabarkan sangat
menyayangi anak angkatnya tersebut.[20] Namun kemudian Douglas meninggal
dunia pada tanggal 17 September2008.[18] Margriet tampak terpukul dengan
kematian suami keduanya tersebut.
Dalam pengasuhan Margriet sebagai orang tua tunggal, pada tahun-tahun
terakhirnya diduga Engeline mengalami banyak kekerasan baik secara fisik maupun
mental.[22] Diketahui bahwa ibu angkatnya tersebut menjadi seorang yang
temperamental. Dari foto-foto yang ada dan kesaksian dari guru di
sekolahnya[23] tampak bahwa pada tahun terakhir kehidupannya ia mengalami
penurunan berat badan. Engeline juga tinggal di rumah yang tidak layak huni,
karena dikelilingi oleh kandang ayam dan berbau tidak sedap walaupun mereka
adalah keluarga yang secara ekonomi berkecukupan.
Setiap hari Engeline diberi tugas untuk mencuci baju, mengepel lantai,
membersihkan rumah, serta memberi makan binatang-binatang peliharaan ibu
angkatnya berupa ayam, anjing, dan kucing.[23] Bila ia lupa melakukannya, maka ia
pasti mendapatkan perlakuan kasar dari ibu angkatnya.[24] Padahal jumlah ayam
yang dimiliki ibu angkatnya tersebut mencapai puluhan ekor. Akibat tugas tersebut,
ia sering datang ke sekolah dalam keadaan baju yang lusuh serta badan dan rambut
yang bau.[25]Bahkan pernah ia dilaporkan oleh teman-teman sekelas kepada guru
kelasnya di kelas 2B, Putu Sri Wijayanti, karena baunya. Ternyata saat itu di rambut
Angeline banyak gumpalan kotoran ayam[23] sehingga ia harus dimandikan dan
dikeramasi rambutnya oleh Wijayanti.
Di sekolahnya, SD 12 Sanur, Denpasar, khususnya setelah menginjak kelas 2,
Engeline terlihat sebagai anak yang memiliki sifat pendiam, pemurung, lusuh,
berwajah sendu, dan sering terlambat. Dia bersekolah pukul 12.00 WITA dan pulang
pukul 17.00 WITA. Ia harus mempersiapkan bekal sekolahnya sendiri dan pergi ke
sekolah dengan berjalan kaki sejauh 2 km bila melaui jalan raya atau 1 km bila
melalui pematang sawah. Rutinitas pekerjaan yang tidak sewajarnya bagi seorang
anak ini mengakibatkan Engeline tampak kelelahan, tidak sehat, dan terganggu
perkembangannya.[25] Namun Engeline bersifat tertutup dan tidak mau bercerita
tentang penderitaan yang ia alami kepada gurunya. Hanya setelah didesak akhirnya
ia mau mengatakan kepada gurunya bahwa ia sering pusing di sekolah karena
belum makan. Mengenai hal ini, Margriet membela diri bahwa Engeline memang
tidak suka makan dan cuma mau minum susu saja. Padahal ketika diberi makan di
sekolah oleh gurunya, ternyata Engeline bisa sampai menghabiskan dua piring
makanan yang disediakan.[26]
Mengetahui keadaan yang dialami Engeline, Kepala Sekolahnya - I Ketut Ruta -
sempat berniat untuk mengadopsi anak tersebut. Ia meminta wali kelas Engeline
untuk menyampaikan niatnya kepada Margriet. Namun Margriet melarangnya
dengan alasan Engeline mempunyai tanggung jawab berupa berbagai tugas dan
kewajiban yang harus dilakukannya di rumah.

Walaupun Margriet adalah seorang yang temperamental tetapi ia membantah


sangkaan bahwa ia sebagai ibu angkat tidak mengasuh Engeline dengan baik
apalagi sampai melakukan kekerasan. Ia menyatakan bahwa ia menyayangi
Engeline dan anak itu pun menyayangi dia. Ia memberi berbagai tugas kepada
Engeline semata hanya untuk mendidiknya agar mandiri.[27] Ia mengaku tidak mau
dipisahkan dengan Engeline, sehingga ketika mendengar bahwa Komnas
Perlindungan Anak akan mengambil hak asuh anaknya, ia berang dan menyatakan
akan membunuh siapapun yang akan mengambil anak itu dari sisinya. [28] Kasih
sayang Margriet kepada Engeline juga diungkapkan oleh mantan tetangganya
di Pekanbaru. Saat mereka berkunjung ke Pekanbaru, ia melihat hubungan Margriet
dengan anak angkatnya itu selayaknya hubungan ibu dengan anak
kandungnya.[21] Pengacara Margriet, Hotma Sitompul, juga menyatakan bahwa
salah satu bukti Margriet menyayangi anak angkatnya itu adalah pemberian nama
ibu kandung Margriet kepada anak tersebut.[29]
Hilangnya EngelineSunting

Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Yohana Yembise.

Kasus yang menimpa Engeline pertama kali mengemuka dengan beredarnya kabar
tentang hilangnya anak tersebut. Kabar tersebut tersebar luas antara lain akibat
dibuatnya sebuah laman di jejaring sosialfacebook berjudul "Find Angeline-Bali's
Missing Child". Laman tersebut dibuat oleh salah satu kakak angkat Engeline yang
sedang kuliah di Amerika Serikat, yaitu Christine, pada tanggal 16 Mei 2015 sekitar
pukul 17.00 WITA.[30] Sementara Yvonne membuat selebaran mengenai hilangnya
Engeline.[30][31]
Keesokan harinya berbagai media massa turut memberitakan kehilangan
tersebut.[1][32]Berdasarkan informasi dari Yvonne, dikabarkan bahwa adiknya hilang
saat mereka bermain di depan rumah sekitar pukul 15.00 WITA. [1] Setelah tidak juga
ditemukan sampai pukul 18.00, maka kemudian Yvonne melaporkannya ke polisi.
Tim pencari anak hilang dari kepolisian lantas mencarinya dari Denpasar sampai ke
Banyuwangi, tampat lahir orang tua kandungnya. Berbagai upaya dilakukan oleh
polisi, seperti mengamati CCTV di sekitar lokasi, menganalisis telepon seluler orang
tua kandung dan orang tua angkatnya, serta menggunakan anjing pelacak. Namun
anjing tersebut tidak menemukan jejak Engeline dan hanya berputar-putar di sekitar
rumah saja. Keluarga Engeline yang berasal dari luar Bali pun berdatangan ke
kediaman Engeline untuk membantu mencari anak tersebut.
Kasus kehilangan anak ini juga menarik perhatian Komisi Nasional Perlindungan
Anak Indonesia (KPAI), sehingga ketuanya, Arist Merdeka Sirait, beserta dua
anggota timnya datang ke Bali untuk melakukan dialog dengan Polresta Denpasar
dan Polda Bali. Mereka juga kemudian berkunjung dan menemui Margriet di
rumahnya. Saat itu, Margriet memperkenankan mereka untuk melihat kamar dan
ruangan dalam rumah. Dari hasil kunjungan itu, Arist berkesimpulan bahwa selama
ini Engeline tinggal di rumah yang kondisinya sangat buruk dan tidak layak huni
dengan halaman dipenuhi kandang ayam berjumlah sekitar seratus ayam sehingga
akan membuat anak tidak bisa berkembang dengan baik.[4] KPAI juga menyatakan
maksudnya akan mengambil alih sementara hak asuh Margriet atas Engeline,
sehingga membuat Margriet menangis histeris. Dia mengaku tidak terima, bahkan
mengancam akan membunuh siapa pun yang akan mengambil anaknya itu karena
dia menyayangi Engeline dan Engeline pun menyayanginya. [28]
Selain oleh KPAI, rumah Margriet juga didatangi oleh dua menteri Kabinet Kerja,
yaitu Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Yuddy
Chrisnandi, dan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Yohana
Yembise. Namun Margriet menolak menemui keduanya dan kedua menteri itu tidak
diperbolehkan memasuki rumahnya.
Hilangnya Engeline juga dibantu penanganannya oleh Pusat Pelayanan Terpadu
Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Kota Denpasar, yang merupakan
perpanjangan tangan Pemerintah Kota Denpasar yang menangani perempuan dan
anak. Mereka sudah memiliki kekhawatiran bahwa hilangnya Angeline bukan karena
diculik atau melarikan diri, tapi justru dibunuh. Hal ini dinyatakan oleh pendamping
hukum P2TP2A, Siti Sapurah tanpa mencurigai siapa pun termasuk ibu
angkatnya.[9] Hal tersebut didasari minimnya indikasi yang mereka temukan bahwa
Engeline hilang di sekitar rumah atau diambil seseorang. Sehingga mereka
menduga bahwa Engeline dihilangkan, dikubur atau dibunuh. Apalagi saat polisi
melakukan pemeriksaan Margriet tidak koperatif dan ada ruang di rumah Margriet
yang tidak boleh dimasuki orang lain kecuali orang terdekatnya dia. Ditambah lagi
karena mantan pembantu Margriet, yaitu Agus Tay Hamba May, pernah
mengatakan bahwa satu hari sebelum dilaporkan hilang, hidung Engeline berdarah
karena dipukul ibunya.
Pencarian Engeline terhenti setelah ia ditemukan dalam keadaan tewas terkubur di
halaman belakang rumahnya pada hari Rabu, 10 Juni 2015. Jasadnya dalam kondisi
membusuk di bawah pohon pisang, ditutup sampah, terkubur bersama bonekanya.
Otopsi segera dilakukan di Instalasi Forensik di RSUP Sanglah pimpinan dr Ida Bagus
Putu Alit, DMF, SpF. Dari hasil otopsi, Engeline diketahui meninggal sejak tiga
minggu sebelumnya. Di tubuh jenazah ditemukan luka-luka kekerasan berupa
memar pada wajah, leher, serta anggota gerak atas dan bawah. Di punggung kanan
jenazah ditemukan luka sundutan rokok. Selain itu, ditemukan juga luka lilitan dari
tali plastik sebanyak empat lilitan. Sebab kematiannya dipastikan karena kekerasan
benda tumpul pada wajah dan kepala yang mengakibatkan pendarahan pada
otak.[33]Jasad Engeline kemudian dimakamkan di Dusun Wadung Pal, Desa
Tulungrejo, Kecamatan Glenmore, Kabupaten Banyuwangi yang merupakan kampung
halaman dari ibu kandungnya.
PenyidikanSunting
Setelah ditemukannya jasad Engeline pada tanggal 10 Juni 2015, Kepolisian
Resor Kota Denpasar segera mengadakan pemeriksaan terhadap tujuh orang, yaitu
Margriet (ibu angkat), Yvonne dan Christina (kakak angkat), Agus Tay (pembantu),
dua penghuni indekos (suami istri Rahmat Handono dan Susiani), dan petugas
keamanan (satpam, Dewa Ketut Raka), yang disewa khusus oleh Margriet untuk
menjaga rumah itu setelah ramainya pemberitaan terkait Angeline. [34] Dari hasil
pemeriksaan awal tersebut, polisi menetapkan Agus Tay Hamba May sebagai
tersangka pembunuh Engeline[34] yang mengakui telah membunuh dan
memperkosa Engeline pada tanggal 16 Mei 2015 sekitar pukul 13.00 WITA, tepat
pada hari hilangnya anak tersebut, dan kemudian menguburkan jasadnya di
belakang rumah majikannya itu pada pukul 20.00 WITA.[35]
Pada tanggal 14 Juni 2015, Kepolisian DaerahBali menetapkan ibu angkat Angeline,
Margriet Megawe, sebagai tersangka dalam kasus dugaan pelantaran anak [36] dan
menempatkannya di tahanan Mapolda Bali.
Pada tanggal 28 Juni 2015, Margriet ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus
pembunuhan berdasarkan tiga alat bukti, yaitu pengakuan Agus, bukti-bukti
kedokteran forensik RS Sanglah, dan hasil olah tempat kejadian perkara (TKP) oleh
tim forensik Polresta Denpasar, Inafis (Indonesia Automatic Finger Print Identification
System) Polda Bali, dengan bantuan Inafis Mabes Polri. Dari bukti-bukti tersebut
Margriet diduga menjadi otak pembunuhan, dan Agus hanya membantu
menguburkan jasad Engeline.[13]Namun tim pengacara tersangka Margriet
mempermasalahkan penetapan tersangka Margriet terkait kasus pembunuhan
Engeline dan mendaftarkan gugatan praperadilan di Pengadilan Negeri Denpasar
pada tanggal 2 Juli 2015.[37]
Pada tanggal 6 Juli 2015, Polresta Denpasar menggelar rekonstruksi pembunuhan
Engeline di Tempat Kejadian Perkara di Jalan Sedap Malam 26 Denpasar dihadiri
dua tersangka.[38]
Tanggal 29 Juli 2015, praperadilan yang diajukan Margriet ditolak oleh Pengadilan
Negeri Denpasar. Hakim tunggal Achmad Peten Sili menilai bahwa pihak pemohon,
Margriet, melalui kuasa hukumnya, Hotma Sitompoel & Associates, tidak bisa
membuktikan dalil-dalil permohonannya bahwa termohon (Polda Bali) dalam
menetapkan tersangka (Margriet) tidak didasari adanya alat bukti yang sah adalah
argumentasi yang tidak beralasan.[39]
Pada tanggal 7 September 2015, berkas perkara tentang pembunuhan Engeline
dinyatakan sudah lengkap (P21) dan diserahkan ke Kejaksaan Negeri Denpasar
bersama dengan dua tersangkanya untuk segera dilimpahkan
ke pengadilan.[40] Dalam berkas tersebut, tertera sejumlah pasal yang disangkakan
kepada Margriet yaitu pasal pembunuhan berencana, pembunuhan, penganiayaan
mengakibatkan korban meninggal, dan penelantaran anak.[41]
PeradilanSunting
Sidang perdana kasus pembuhunan Engeline digelar pada tanggal 22 Oktober 2015,
pada sidang tersebut jaksa menyebutkan jika Margriet menyuruh Agus Tay untuk
menguburkan jasad Engeline dengan iming-iming uang, Margriet pula yang
menyuruh Agus untuk menyalakan rokok dan menyundutkannya ke tubuh Engeline,
dan hal tersebut sesuai dengan hasil visum RSUP Sanglah Denpasar.[42] Dalam
persidangan tersebut jaksa mengungkapkan bahwa tanggal 16 Mei 2015, Margriet
memukuli Engeline berkali kali pada bagian wajah dengan tangan kosong hingga
hidung dan telinga Engeline mengeluarkan darah. Pembunuhan Engeline kemudian
direncanakan dengan maksud untuk menghilangkan jejak.[43] Sementara dalam
persidangan tersebut Margriet menolak tuduhan jaksa yang menyatakan bahwa
dirinya yang telah membunuh Engeline, Margriet menyatakan bahwa dirinya
menyayangi Engeline sebagaimana layaknya anaknya.[44]
Atas kasus ini, jaksa penuntut umum menuntut Agus Tay dengan vonis 12 tahun
penjara dan denda 1 miliar Rupiah (subsider 6 bulan penjara) pada Selasa, 2
Februari 2016,[45]. Agustay tidak didakwa sebagai pembunuh Engeline, namun
melakukan pembiaran yang menyebabkan meninggalnya Engeline. Dua hari
berselang, Margriet dituntut dengan penjara seumur hidup. [46][47]Menanggapi
tuntutan ini, kuasa hukum Margriet menyatakan bahwa tuntutan ini adalah
"imajinatif".[48] Pada 29 Februari 2016, hakim mengabulkan tuntutan jaksa dengan
menjatuhkan vonis seumur hidup kepada Margriet, Pada hari yang sama, hakim
menjatuhkan vonis 10 tahun penjara kepada Agus Tay.[49][50] Ibu kandung Engeline,
Hamidah menyatakan ketidakpusannya dengan menyatakan bahwa seharusnya
Margriet dijatuhi hukuman mati.
Baik Margriet dan Agus Tay mengajukan banding atas vonis majelis hakim PN
Denpasar. Dalam memori banding, Margriet menyatakan dalam video bahwa Agus
Tay merupakan pelaku pembunuhan Engeline. Namun demikian, pada Mei 2016,
hakim PT Bali menguatkan vonis yang dijatuhkan oleh PN
Denpasar.[51][52][53] Kembali tidak puas atas vonis hakim, keduanya
mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Namun demikian, vonis tetap tidak berubah
setelah hakim agung menguatkan putusan sebelumnya pada Februari 2017.[54]

Anda mungkin juga menyukai