Kelompok 6
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2019
BAB I
DESKRIPSI MASALAH
Anak ke : 1 dari 1
Usia : 39 th
Usia : 29 th
Status perkawinan orangtua: menikah
Kedatangan I:
G dikeluhkan oleh ibunya kaku (tidak mau mengerjakan perintah ibunya), tidak
bisa disiplin kalau bangun tidur mau sekolah, selalu harus ditarik-tarik dan dimarahi. G
tidak mau mencoba hal baru, sulit bersosialisasi dengan orang baru, sulit makan. Kalau
G sudah bilang tidak, tidak dapat dibujuk. G sangat tergantung pada ayahnya, dan hal
ini karena terlalu dimanja oleh ayahnya. Sebagai contoh G selalu disuapi oleh ayahnya,
dimandikan, dan jika pergi jalan-jalan sering digendong oleh ayahnya turun tangga, atau
kalau naik-turun mainan di Time Zone. Ibu khawatir kalau lama kelamaan G akan
berkembang menjadi anak manja dan tidak mandiri. Apalagi anak, menurut si ibu, bisa
seharian dengan ayahnya karena ayahnya kerja kadang-kadang jam 6 sore. Bapak terlalu
melindungi, tidak pernah diijinkan oleh ayahnya untuk bermain keluar rumah, dengan
alasan kalau ada ayah mengapa harus ke tempat lain. Ayah mau ngehaki sendiri. G
sendiri memang tidak dekat dengan ibu. Si ayah jika pulang kantor tidak melihat anak
langsung marah-marah. G dan ayahnya bermain video-game, nonton video. Tidak
pernah ada kegiatan di luar rumah, karena kanan-kiri rumah masih sawah, di depan
adalah kampung. Anak tidak pernah main keluar rumah, sehingga sosialisasi terputus.
Ibu G berusaha mengambil alih anak, tetapi anak tidak mau dengan ibu karena
merasa jika dengan ibu harus bisa melakukan tugasnya sendiri. Ibu sudah mencoba
selama dua tahun ini, mengatakan sudah mencoba mengingatkan suaminya, tetapi
suaminya merasa yang paling betul, dan berkilah “wong sayang anak kok tidak boleh.”
Ayah juga membela anaknya jika ibu memarahi. G seperti anak yang tidak percaya diri,
masih sering menghisap jari dan tidak mau lepas dari “guling wasiat” saat tidur dan
nonton tv. G juga tidak dekat dengan ibu. Tidak ada masalah dengan sekolah anak,
mengerjakan PR sepulangnya dari sekolah.
Kedatangan II:
Ayah G menjelaskan bahwa dia memang sering menyuapi si anak karena jika G
jika tidak disuapi bisa lupa makan sampai sehari. Si ayah bertanya apakah yang dia
lakukan salah kalau dia memperhatikan G sampai rinci karena jika anak tidak
diperhatikan seperti itu, misalnya hal makan, mandi, bermain, anak tidak mendapat
perhatian dari ibunya. Ayah G mengatakan kegiatan sehari-hari dia, pagi dia mengantar
G sekolah, kemudian mengantar istrinya kerja. Setelah itu nanti dia menjemput G
pulang, dan menyiapkan makan untuk G, termasuk membeli persediaan telur, susu, dan
roti untuk G. Ibu G tidak pernah melakukan hal tersebut. Sebelum ayah G pergi dia akan
membujuk G untuk makan sesuatu. Bahkan pembantu keluarga juga tidak dapat
melakukan hal ini pada G. G sendiri tampak baik-baik saja jika ke sekolah, dia
bersemangat ketika berangkat dan bergabung dengan teman-temannya. Cerita G tentang
sekolah juga positif.
Ayah G mengatakan bahwa dia sampai membuat “statistik” tentang apa yang
telah dilakukannya dan oleh istrinya dalam mengurusi G. Ayah G mengibaratkan jika
dia telah melakukan 16 hal istrinya hanya melakukan tiga hal saja. Jadi kalau ayah G
melakukan tiga kesalahan, masih lebih banyak hal benar yang dilakukan dibanding
istrinya yang melakukan satu saja kesalahan tetapi hanya dari tiga hal.
Ibu G mengatakan bahwa G menjadi manja ketika ada ayahnya, dan nyatanya
jika di tempat eyangnya G sangat mandiri, bisa makan dan mandi sendiri. Ayah G
menegaskan bahwa apa yang dilakukannya adalah karena G tidak akan melakukan
“tugas”nya jika tidak dituntun atau dipaksa. Masalahnya ibu G sangat jarang
menangani G. Menurut ayah G, ibu G jika pulang kantor langsung lepas sepatu, simpan
tas, ambil koran baru dan santai di sofa baca koran. Anak tidak digubris. Ibu G
mengatakan bahwa dia sudah menyapa G dan kalau anak sudah sibuk sendiri mengapa
harus di-“ganggu”. Ayah G juga mengatakan kalau mereka pergi untuk jalan-jalan,
ibu G juga sibuk membaca koran, tidak pernah mengajak G berbincang-bincang.
Alasan ibu G toh anak sudah sibuk sendiri melihat ke luar jendela jadi tidak perlu diajak
omong-omong. Kemudian, menurut ayah G, jika ibu G harus bekerja sampai malam,
tidak pernah menelpon ke rumah memberi tahu, seakan-akan tidak peduli dengan yang
di rumah (cemburu ya? Tukas ibu G). Bukan cemburu, tetapi kuatir kalau ada apa-apa.
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tahap Perkembangan
Freud membagi perkembangan kepribadian menjadi tiga tahapan, yakni tahap infantil
(0-5 tahun), tahap laten (5-12 tahun), dan tahap genital (>12 tahun). Tahap infantil yang
paling menentukan dalam membentuk kepribadian, terbagi menjadi tiga fase, yakni fase
oral, fase anal, dan fase falis. Perkembangan kepribadian ditentukan terutama oleh
perkembangan biologis, sehingga tahap ini disebut juga tahap seksual infantil.
Perkembangan insting seks berarti perubahan kateksis seks, dan perkembangan biologis
menyiapkan bagian tubuh untuk dipilih menjadi pusat kepuasan seksual (erogenus zone).
1. Fase Oral (Usia 0 – 1 tahun)
Fase oral adalah fase perkembangan yang berlangsung pada tahun pertama dari
kehidupan individu. Pada fase ini, daerah erogen yang paling penting dan peka adalah
mulut, yakni berkaitan dengan pemuasan kebutuhan dasar akan makanan atau air.
Stimulasi atau perangsangan atas mulut seperti mengisap, bagi bayi merupakan tingkah
laku yang menimbulkan kesenangan atau kepuasan.
2. Fase Anal (Usia 1 – 2/3 tahun)
Fase ini dimulai dari tahun kedua sampai tahun ketiga dari kehidupan. Pada fase ini,
fokus dari energi libidal dialihkan dari mulut ke daerah dubur serta kesenangan atau
kepuasan diperoleh dari kaitannya dengan tindakan mempermainkan atau
menahan faeces (kotoran) pada fase ini pulalah anak mulai diperkenalkan kepada aturan-
aturan kebersihan oleh orang tuanya melalui toilet training, yakni latihan mengenai
bagaimana dan dimana seharusnya seorang anak membuang kotorannya.
3. Fase Falis (Usia 2/3 – 5/6 tahun)
Fase falis (phallic) ini berlangsung pada tahun keempat atau kelima, yakni suatu fase
ketika energi libido sasarannya dialihkan dari daerah dubur ke daerah alat kelamin. Pada
fase ini anak mulai tertarik kepada alat kelaminnya sendiri, dan mempermainkannya
dengan maksud memperoleh kepuasan. Pada fase ini masturbasi menimbulkan kenikmatan
yang besar. Pada saat yang sama terjadi peningkatan gairah seksual anak kepada orang
tuanya yang mengawali berbagai pergantian kateksis obyek yang penting. Perkembangan
terpenting pada masa ini adalah timbulnya Oedipus complex, yang diikuti
fenomena castration anxiety (pada laki-laki) dan penis envy (pada perempuan). Oedipus
complex adalah kateksis obyek seksual kepada orang tua yang berlawanan jenis serta
permusuhan terhadap orang tua sejenis. Anak laki-laki ingin memiliki ibunya (ingin
memiliki perhatian lebih dari ibunya) dan menyingkirkan ayahnya, sebaliknya anak
perempuan ingin memiliki ayahnya dan menyingkirkan ibunya.
4. Fase Laten (Usia 5/6 – 12/13 tahun)
Fase ini pada usia 5 atau 6 tahun sampai remaja, anak mengalami periode peredaan
impuls seksual. Menurut Freud, penurunan minat seksual itu akibat dari tidak adanya
daerah erogen baru yang dimunculkan oleh perkembangan biologis. Jadi, fase laten lebih
sebagai fenomena biologis, alih-alih bagian dari perkembangan psikoseksual. Pada fase
ini anak mengembangkan kemampuan sublimasi, yakni mengganti kepuasan libido dengan
kepuasan non seksual, khususnya bidang intelektual, atletik, keterampilan, dan hubungan
teman sebaya. Dan pada fase ini anak menjadi lebih mudah mempelajari sesuatu dan lebih
mudah dididik dibandingkan dengan masa sebelum dan sesudahnya (masa pubertas).
5. Fase Genital
Fase ini dimulai dengan perubahan biokimia dan fisiologi dalam diri remaja. Sistem
endokrin memproduksi hormon-hormon yang memicu pertumbuhan tanda-tanda seksual
sekunder (suara, rambut, buah dada, dll), dan pertumbuhan tanda seksual primer. Pada fase
ini kateksis genital mempunyai sifat narkistik : individu mempunyai kepuasan dari
perangsangan dan manipulasi tubuhnya sendiri, dan orang lain diingkan hanya karena
memberikan bentuk-bentuk tambahan dari kenikmatan jasmaniah. Pada fase ini, impuls
seks itu mulai disalurkan ke obyek diluar, seperti : berpartisipasi dalam kegiatan
kelompok, menyiapkan karir, cinta lain jenis, perkawinan dan keluarga.
B. Pengasuhan
Dalam pemenuhan harapan dan tanggung jawab tersebut, umumnya nilai yang lebih
menonjol adalah kepatuhan anak dan anggapan orang tua lebih tau dari anak. Jika orang
tua merasa dapat memiliki potensi untuk mewujudkan harapan dan tanggung jawab maka,
ia akan cenderung otoriter. Sebaliknya jika orang tua merasa tidak mampu mewujudkan
harapan dan tanggung jawab tersebut, maka ia akan cenderung melakukan pembebasan
atau pembiaran anak. Keterpakuan pada harapan dan tanggung jawab semata dapat
mengakibatkan pengasuhan anak menjadi sumber stres bagi kehidupan berkeluarga serta
kurang berkembangnya potensi anak.
Bila tugas dan peran orang tua dijalankan berdasarkan kesadaran pengasuhan anak,
yaitu suatu kesadaran bahwa pengasuhan anak meupakan sarana untuk mengoptimalkan
potensi anak, mengarahkan anak pada pencapaiaan perkembangannya dalam setiap tahap
kehidupannya dengan baik. Dengan demikian, orang tua memiliki kesadara bahwa dirinya
adalah agen yang pertama dan utama dalam membantu mengembangkan kemampuan anak
bersosialisasi dan melatih untuk menghadapi dan beradaptasi dengan lingkungan.
1. Macrosystem
Macrosystem yang berupa politik, budaya, ekonomi, dan nilai-nilai sosial
memiliki kontribusi terhadap proses sosialisasi dan perkembangan anak.
2. Mesosystem
Sekolah dan komunitas sebagai mesosytem berpengaruh terhadap pola asuh
dan jalinan kerja sama yang terjadi.
3. Microsystem
Efek microsystem terjadi melalui relasi orang tua-anak dalam keluarga yang
berupaya pola asuh orang tua.
4. Chronosystem
Chronosystem berpengaruh melalui terjadinya perubahan trend parenting dari
waktu ke waktu seiring dengan perubahan masyarakat dan tekanannya terhadap
keluarga.
Selain dirasakan oleh orang tua, stres pengasuhan juga dirasakan oleh anak. Hal ini
terjadi bila sumber stres pengasuhan lebih dominan pada karakteristik orang tua yang
mewujudkan pada gaya pengetahuan orang tua. Dampaknya, anak akan merasakan stres
pengasuhan bersifat lebih panjang dampaknya. Kondisi stres dapat berlangsung dalam
jangka pendek, situasional atau aksidental, bila sumber stres pengasuhan lebih dominan
pada situasi lingkungan. Namun, bila tidak segera teratasi atau dikelola dengan baik,
kondisi ini dapat berlangsung dalam jangka panjang juga.
Strategi untuk menghadapi stres dengan memfokuskan pada problem atau emosi
(problem-and emotional-focused coping) dan strategi coping dengan cara mendekati atau
menghindari stres (approach vs. Avoidant coping).
1. Demandingness
Dimensi yang berkaitan dengan tuntuta-tuntutan orang tua mengenai keinginan
menjadikan anak sebagai bagian bagian dari keluarga, harapan tentang perilaku
dewasa, disiplin, penyediaan supervisi, dan upaya menghadapi masalah perilaku.
2. Responsiveness
Dimensi yang berkaitan dengan ketanggapan orang tua dalam membimbing
kepribadian anak, membentuk ketegasan sikap, pengaturan diri, dan pemenuhan
kebutuhan-kebutuhan khusus.
1. Authoritative (Otoritatif)
Tuntutan yang masuk akal, penguatan yang konsisten, disertai kepekaan dan
penerimaan pada anak.
2. Authoritarian (Otoriter)
Banyak aturan dan tuntutan, sedikit penjelasan, dan kurang peka terhadap kebutuhan
dan pemahaman anak.
3. Permisive (Permisif)
Sedikit aturan dan tuntutan; anak terlalu dibiarkan bebas menuruti kemauannya.
4. Rejecting-neglecting (Tak peduli)
Sedikit aturan dan tuntutan; orang tua tidak peduli dan peka pada kebutuhan anak.
Berdasarkan kajian etiologis terhadap terjadinya malasuh (child maltreatment),
Belsky (1984) mengembangkan proses dari penentu-penentu pengasuhan (prosess model
of the determinants of parenting) yang menyatakan bahwa pengasuhan secara langsung
dipengaruhi oleh kepribadian orang tua, karakteristik anak, dan kontesk sosial yang
melingkupi hubungan orang tua-anak. Model tersebut mengasumsikan bahwa riwayat
perkembangan orang tua, relasi pasangan, jaringan sosial, dan pekerjaan mempengaruhi
kepribadiaan individu dan kondisi psikologis secara umum, yang pada giliranya
mempengaruhi proses pengasuhan dan akibat-akibat (outcomes) pada anak.
BAB III
RANCANGAN ASESMEN
Asesmen bertujuan agar dapat memiliki informasi yang lengkap terkait pengasuhan
orang tua, mengetahui kepribadian dan dapat mengetahui perilaku keluarga, sehingga
dapat dilakukannya pelaksanaan bimbingan maupun konseling yang tepat. Adapun alat
asesmen yang digunakan adalah:
1. Observasi
Observasi atau pengamatan Menurut Nawawi (2007) observasi diartikan
sebagai “pengamatan dan percatatan secara sistemik terhadap gejala yang tampak pada
objek penelitian”. Dalam observasi, cara pengumpulan data yang dilakukan adalah
melalui pengamatan dan pencatatan gejala-gejala yang tampak pada subjek yang
pelaksanaannya langsung pada tempat dimana suatu peristiwa, keadaan atau situasi
sedang terjadi. Peristiwa, keadaan atau situasi itu dapat dibuat dan dapat pula yang
sebenarnya. Sedangkan pengamatan dapat dilakukan dengan atau tanpa bantuan alat.
Dalam menggunakan teknik ini, dilakukan pengamatan secara langsung terhadap
keluarga yang mengalami permasalahan pengasuhan.
2. Wawancara
Tes grafis adalah salah satu teknik proyeksi yang digunakan untuk memahami
kepribadian seseorang dalam bentuk gambar. Ada beberapa tes grafis yang akan dipakai
dalam asesmen kali ini yaitu menggambar orang atau DAP dan menggambar rumah
pohon orang atau HTP. Tes DAP bertujuan untuk mengetahui hubungan antara apa
yang digambar dengan kepribadian orang yang menggambar, ekspresi diri atau body
image seseorang yang dibentuk oleh pengalaman pribadi, menggambarkan kebutuhan
tubuh dan konflik yang dialami, mengetahui emosionalitas, psychosexual maturity,
kecemasan, guilt, tingkat agresi individu, dan untuk menggambarkan bagaimana
individu dalam lingkungan kelompok sosialnya. Sedangkan HTP ketika menggambar
rumah dan pohon dapat memberikan informasi yang relevan mengenai kepribadian
individu dan dapat mewakili karakter pribadinya. HTP dapat menjelaskan simbol
rumah sebagai peran ibu, pohon sebagai peran dari figur ayah dan menggambarkan
secara keseluruhan berarti kehidupan hubungan interpersonal dengan kedua orang
tuanya.
BAB IV
HASIL ASESMEN
a. Kemasakan sosial berdasarkan Vineland Social Maturity Scale (VSMS): Usia sosial
setara dengan anak usia 4 th 9 bulan, dengan kelemahan terutama pada kemampuan
menolong diri sendiri di kamar kecil, membantu pekerjaan rumah, bereksplorasi di
luar rumah, dan pergi ke sekolah sendiri. Kelemahan yang disebut paling akhir dapat
dianggap wajar mengingat letak sekolah dari rumah cukup jauh dan masalah
keamanan di jalan perlu dijadikan pertimbangan.
b. Observasi: Anak tidak mudah bersosialisasi dengan orang dan lingkungan baru.
Kontak mata dengan asisten konselor sangat sedikit. Anak menolak untuk
menggambar sehingga tes grafis tidak jadi dilakukan.
Dalam keluarga fokus terpenting adalah bagaimana orang tua mengasuh anak
dengan baik. Hal ini sudah terlihat jelas ketika G di tempat eyangnya sangat mandiri,
sedangkan jika bersama orang tua, terutama ayahnya malah menjadi manja. Pengasuhan
yang terjadi di orang tua adalah pola asuh permisif dimana anak diberi sedikit aturan dan
terlalu dibiarkan bebas menuruti kemaunnya.
G menjadi seperti ini karena orang tuanya terlalu sibuk dan tidak mengurusi
anaknya. Ayahnya pernah mengajak untuk mencari waktu luang tapi ibunya tidak mau.
Jika ditelusuri lagi, ini terjadi karena pernikahan mereka itu dijodohkan, jadi bukan
karena saling cinta. Ayahnya sebenarnya sudah mempunyai pacar namun orang tua
melarang karena beda agama, ibunya pun sama sudah memiliki pacar namun akhirnya
dijodohkan dengan ayah sekarang. Karena lewat perjodohkan bukan atas dasar saling
cinta maka pernikahannya pun tak begitu mulus dan dampak dari itu anaknya jadi korban
pernikahan mereka.
BAB V
RANCANGAN INTERVENSI
1. Tujuan intervensi
a. Untuk mengubah perilaku yang tidak sesuai dalam keluarga
b. Untuk membantu orang tua dalam mengatasi masalah dalam keluarga
c. Memberikan dukungan positif serta edukasi bagaimana cara pengasuhan yang baik
2. Sasaran
Sasaran intervensi yang akan diberikan adalah keluarga yaitu ayah, ibu dan anak.
3. Pihak-pihak yang dilibatkan
Ayah, ibu dan anak.
4. Target Perubahan
Target perubahan diharapkan adalah orang tua memahami dan mengetahui peran
antar anggota keluarga
Melakukan pengasuhan yang baik dan memperhatikan kondisi anak sesuai masa
perkembangan yang dijalani
Mendapatkan struktur dan sistem keluarga yang jelas sehingga campur tangan
orang tua tidak mengganggu dalam kekeluargaan.
5. Metode
Terapi Keluarga
Terapi keluarga adalah model terapi yang bertujuan mengubah pola interaksi
keluarga sehingga bisa membenahi masalah-masalah dalam keluarga. Terapi bertujuan
untuk meningkatkan fungsi anggota keluarga maka sistem dalam keluarga musti
dipengaruhi dengan melibatkan seluruh anggota keluarga bukan individual/perorangan.
Teori Struktural
Pendekatan teori ini mengakui adanya segala keragaman dalam kehidupan sosial yang
kemudian diakomodasi dalam fungsi sesuai dengan posisi seseorang dalam struktur
sebuah sistem (Megawangi, 1999). Tiap-tiap anggota keluarga untuk menjalani
hidupnya sesuai dengan peran dan fungsi yang seharusnya ia jalankan dalam keluarga.
Aplikasi teori ini berkaitan dengan pola kedudukan dan peran dari anggota keluarga
tersebut, hubungan antara orangtua dan anak, ayah dan ibu, ibu dan anak laki-laki,ayah
dan anak laki-laki, ayah dan anak perempuan, dll. Setiap masyarakat mempunyai
peraturan-peraturan dan harapan-harapan yang menggambarkan orang harus
berperilaku. Tipe keluarga terdiri atas keluarga dengan suami istri utuh beserta anak-
anak (intact families), keluarga tunggal dengan suami/istri dan anak-anaknya (single
families), keluarga dengan anggota normal atau keluarga dengan anggota yang cacat,
atau keluarga berdasarkan tahapannya, dan lain-lain. Aspek struktural menciptakan
keseimbangan sebuah sistem sosial yang tertib (social order). Ketertiban keluarga akan
tercipta kalau ada struktur atau strata dalam keluarga, dimana masingmasing
mengetahui peran dan posisinya dan patuh pada nilai yang melandasi struktur tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Banister, P. (1994). Qualitative Methods in Psychology A Research Guide. Buckingham:
Open University Press
Marnath, G. (1981). Handbook of Psychological testing, Resume : Fakultas Psikologi
Universitas Diponegoro
Berns, R. M. (2004). Child, Family, School, Community: Socialization and Support. (Sixth
ed.). Balmont: Wadsworth/Thomson Learning.
Bronfenbrenner, U. (2000). Ecological system theory. In A. E. Kazdin (Ed.), Encyclopedia of
Psychology (Vol. 3, pp. 129-133). New York: Oxford University Press.
Deater-Deckard, K. (2004). Parenting Stress. New Heaven: Yale University Press.
Lestari, S. (2014). Psikologi Keluarga Penanaman Nilai & Penanganan Konflik dalam
Keluarga. Jakarta: Kencana .
Lewis, C. (2005). Parenting and the family. In B. Hopkins (Ed.), The Cambridge
Encyclopedia of Child Development (pp. 340-343). Cambridge: Cambridge University
Press.
Nawawi, Hadari. (2007). Metode Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta: gajah Mada
University Pers
Sanders (2011). Development, Evaluation, and Multinational Dissemination of the Triple P-
Positive Parenting Program, Annual Review of Clinical Psychology.
Tarigan, K. (2019, September 1). Ini Kronologi Siswa SMP Tewas Tertusuk Pisau di
Halaman. (D. O. Purba, Editor) Dipetik September 12, 2019, dari Kompas.com:
https://regional.kompas.com/read/2019/09/01/22490661/siswa-smp-yang-tewas-di-halaman-
rumah-ternyata-dibunuh-ayahnya?page=all