Anda di halaman 1dari 19

INTERVENSI PEMBERDAYAAN KELUARGA

DINAMIKA DAN SISTEM PENGASUHAN

Dosen Pengampu: Salma, S.Psi., M.Psi.

Kelompok 6

Eko Jaya Fitrianto 15000117130112


Rahmad Alfianto 15000117130119
Irham Majid Ibrahemi Nugroho 15000117130122

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS DIPONEGORO

SEMARANG

2019
BAB I

DESKRIPSI MASALAH

Data diri subjek

Nama :G Jenis : Laki-laki

Umur : 5 th 6 bln Kelamin

Agama : Hindu Sekolah : TK 0 besar

Anak ke : 1 dari 1

Ayah : Ir. HW, MS Pendidikan : Sarjana S2

Pekerjaan : Konsultan Swasta

Usia : 39 th

Ibu : dr. I Pendidikan : dokter

Pekerjaan : dokter PTT

Usia : 29 th
Status perkawinan orangtua: menikah

Kedatangan I:

G dikeluhkan oleh ibunya kaku (tidak mau mengerjakan perintah ibunya), tidak
bisa disiplin kalau bangun tidur mau sekolah, selalu harus ditarik-tarik dan dimarahi. G
tidak mau mencoba hal baru, sulit bersosialisasi dengan orang baru, sulit makan. Kalau
G sudah bilang tidak, tidak dapat dibujuk. G sangat tergantung pada ayahnya, dan hal
ini karena terlalu dimanja oleh ayahnya. Sebagai contoh G selalu disuapi oleh ayahnya,
dimandikan, dan jika pergi jalan-jalan sering digendong oleh ayahnya turun tangga, atau
kalau naik-turun mainan di Time Zone. Ibu khawatir kalau lama kelamaan G akan
berkembang menjadi anak manja dan tidak mandiri. Apalagi anak, menurut si ibu, bisa
seharian dengan ayahnya karena ayahnya kerja kadang-kadang jam 6 sore. Bapak terlalu
melindungi, tidak pernah diijinkan oleh ayahnya untuk bermain keluar rumah, dengan
alasan kalau ada ayah mengapa harus ke tempat lain. Ayah mau ngehaki sendiri. G
sendiri memang tidak dekat dengan ibu. Si ayah jika pulang kantor tidak melihat anak
langsung marah-marah. G dan ayahnya bermain video-game, nonton video. Tidak
pernah ada kegiatan di luar rumah, karena kanan-kiri rumah masih sawah, di depan
adalah kampung. Anak tidak pernah main keluar rumah, sehingga sosialisasi terputus.

Ibu G berusaha mengambil alih anak, tetapi anak tidak mau dengan ibu karena
merasa jika dengan ibu harus bisa melakukan tugasnya sendiri. Ibu sudah mencoba
selama dua tahun ini, mengatakan sudah mencoba mengingatkan suaminya, tetapi
suaminya merasa yang paling betul, dan berkilah “wong sayang anak kok tidak boleh.”
Ayah juga membela anaknya jika ibu memarahi. G seperti anak yang tidak percaya diri,
masih sering menghisap jari dan tidak mau lepas dari “guling wasiat” saat tidur dan
nonton tv. G juga tidak dekat dengan ibu. Tidak ada masalah dengan sekolah anak,
mengerjakan PR sepulangnya dari sekolah.

Kedatangan II:
Ayah G menjelaskan bahwa dia memang sering menyuapi si anak karena jika G
jika tidak disuapi bisa lupa makan sampai sehari. Si ayah bertanya apakah yang dia
lakukan salah kalau dia memperhatikan G sampai rinci karena jika anak tidak
diperhatikan seperti itu, misalnya hal makan, mandi, bermain, anak tidak mendapat
perhatian dari ibunya. Ayah G mengatakan kegiatan sehari-hari dia, pagi dia mengantar
G sekolah, kemudian mengantar istrinya kerja. Setelah itu nanti dia menjemput G
pulang, dan menyiapkan makan untuk G, termasuk membeli persediaan telur, susu, dan
roti untuk G. Ibu G tidak pernah melakukan hal tersebut. Sebelum ayah G pergi dia akan
membujuk G untuk makan sesuatu. Bahkan pembantu keluarga juga tidak dapat
melakukan hal ini pada G. G sendiri tampak baik-baik saja jika ke sekolah, dia
bersemangat ketika berangkat dan bergabung dengan teman-temannya. Cerita G tentang
sekolah juga positif.

Ayah G mengatakan bahwa dia sampai membuat “statistik” tentang apa yang
telah dilakukannya dan oleh istrinya dalam mengurusi G. Ayah G mengibaratkan jika
dia telah melakukan 16 hal istrinya hanya melakukan tiga hal saja. Jadi kalau ayah G
melakukan tiga kesalahan, masih lebih banyak hal benar yang dilakukan dibanding
istrinya yang melakukan satu saja kesalahan tetapi hanya dari tiga hal.
Ibu G mengatakan bahwa G menjadi manja ketika ada ayahnya, dan nyatanya
jika di tempat eyangnya G sangat mandiri, bisa makan dan mandi sendiri. Ayah G
menegaskan bahwa apa yang dilakukannya adalah karena G tidak akan melakukan
“tugas”nya jika tidak dituntun atau dipaksa. Masalahnya ibu G sangat jarang
menangani G. Menurut ayah G, ibu G jika pulang kantor langsung lepas sepatu, simpan
tas, ambil koran baru dan santai di sofa baca koran. Anak tidak digubris. Ibu G
mengatakan bahwa dia sudah menyapa G dan kalau anak sudah sibuk sendiri mengapa
harus di-“ganggu”. Ayah G juga mengatakan kalau mereka pergi untuk jalan-jalan,
ibu G juga sibuk membaca koran, tidak pernah mengajak G berbincang-bincang.
Alasan ibu G toh anak sudah sibuk sendiri melihat ke luar jendela jadi tidak perlu diajak
omong-omong. Kemudian, menurut ayah G, jika ibu G harus bekerja sampai malam,
tidak pernah menelpon ke rumah memberi tahu, seakan-akan tidak peduli dengan yang
di rumah (cemburu ya? Tukas ibu G). Bukan cemburu, tetapi kuatir kalau ada apa-apa.

Mengenai pengasuhan anak ayah G menginginkan mereka mempunyai


kesempatan melakukan kegiatan bersama-sama, misalnya mancing karena anaknya
ingin memancing. Tetapi menurut ayah G, istrinya tidak mau karena banyak pekerjaan
yang harus diselesaikan di rumah. Ayah G mengeluhkan kalau untuk acara bersama
istrinya tidak punya waktu, tetapi kalau untuk pergi senam, rapat pun akan dikalahkan.
Ibu G ganti mengatakan kalau ayah G diajak berenang bersama malah dia yang
menolak. Ayah G mengatakan sebenarnya dia bersedia, tetapi setiap kali eyang putri G
selalu “ikut-ikutan” sehingga ayah G jengkel dan tidak mau ikut.

Ayah G menceritakan bahwa dia dan I menikah karena dijodohkan. Dia


sebenarnya sudah mempunyai pacar tetapi selalu gagal karena perbedaan agama.
Demikian juga I, meski pun ketika dijodohkan dengan W sedang berpacaran dengan pria
yang berbeda agama pula. Perjodohan terjadi karena paman W mengenal keluarga ibu I
dan kemudian perjodohan terjadi. W dan I menikah ketika I berusia 22 tahun sedang W
31 tahun. I waktu itu masih kuliah, sehingga mereka berdua sepakat untuk tidak
mempunyai anak dulu. Kontrasepsi yang mereka gunakan adalah dengan sistem berkala
(katanya I paling ahli dalam hal ini, kata W). Namun kemudian kesepakatan tersebut
mengendor karena ibu I sangat menginginkan cucu. Ibu I juga bersedia mengasuh si
bayi sementara I menyelesaikan kuliahnya.

W mengeluhkan, karena ada ibu I yang mengurus anaknya, I menjadi jarang


memegang anaknya. Bahkan kegiatannya pun tidak ada bedanya dengan gadis lajang,
belajar bersama malam hari sering dilakukan sementara anaknya tidak diopeni. I
beralasan tugas-tugas praktikum di fakultas Kedokteran sangat banyak jadi mau tidak
mau memang harus seperti itu. Apakah suaminya cemburu. W menolak dikatakan
cemburu, tetapi menggugat kok anaknya tidak diurusi. Kepada ibu G dirangkum
persoalan yang dirasakan suami, bahwa ibu G kurang aktif dalam pengasuhan anak,
kemudian ditanyakan persoalan apa yang dirasakan ibu G.

I merasa, suami lebih memperhatikan anak, dan mengalahkannya dalam banyak


hal. Misalnya, ketika G tidur (masih tidur bersama orangtua), I dilarang untuk
menghidupkan lampu ketika dia butuh berhias. Ketika disarankan meja hias dikeluarkan
saja dari kamar, W tidak mau melakukannya. “Masa saya disuruh dorong-dorong
sendiri.” Ketika ditanya mengenai perbedaan umur yang sembilan tahun, I mengatakan
merasa sulit berkomunikasi dengan suaminya, dan mengatakan bahwa suaminya mau
menang sendiri. Jadi kalau ada masalah lebih baik diam saja.

W, mengatakan bahwa memang dia mengalami kesulitan komunikasi (Apakah


saya terlalu tua ya? Ya memang, kata istrinya). Tetapi yang paling aneh adalah W
pernah pergi ke kota J untuk suatu urusan. Sampai di sana dia ditegur oleh ibunya
sendiri mengenai masalah rumah tangganya. W kaget karena merasa di rumah tidak ada
masalah. Menurut ibu W, ibu W mendapat telpon dari ibu I yang berpesan pada ibu W
untuk menegur W. Rupa-rupanya I jika ada masalah mengadu pada ibunya, dan ibunya
mengadu pada ibu W, demikian kesimpulan W. Pada hal W menginginkan I berterus
terang jika ada masalah.

W menyimpulkan bahwa masalah dalam keluarganya adalah karena campur


tangan ibu I (seorang dosen PTN). Dulu waktu mereka tinggal bersama keluarga I
campur tangan ini sangat terasa, sehingga kemudian W mengajak keluarganya pindah
di rumah sendiri, meski masih satu kota. Walau pun demikian, campur tangan ibu I
masih saja terasa. W menginginkan sebuah keluarga yang solid. Dia mengatakan
apakah lebih baik pindah di Irian sekalian sehingga jauh dari mertuanya.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tahap Perkembangan
Freud membagi perkembangan kepribadian menjadi tiga tahapan, yakni tahap infantil
(0-5 tahun), tahap laten (5-12 tahun), dan tahap genital (>12 tahun). Tahap infantil yang
paling menentukan dalam membentuk kepribadian, terbagi menjadi tiga fase, yakni fase
oral, fase anal, dan fase falis. Perkembangan kepribadian ditentukan terutama oleh
perkembangan biologis, sehingga tahap ini disebut juga tahap seksual infantil.
Perkembangan insting seks berarti perubahan kateksis seks, dan perkembangan biologis
menyiapkan bagian tubuh untuk dipilih menjadi pusat kepuasan seksual (erogenus zone).
1. Fase Oral (Usia 0 – 1 tahun)
Fase oral adalah fase perkembangan yang berlangsung pada tahun pertama dari
kehidupan individu. Pada fase ini, daerah erogen yang paling penting dan peka adalah
mulut, yakni berkaitan dengan pemuasan kebutuhan dasar akan makanan atau air.
Stimulasi atau perangsangan atas mulut seperti mengisap, bagi bayi merupakan tingkah
laku yang menimbulkan kesenangan atau kepuasan.
2. Fase Anal (Usia 1 – 2/3 tahun)
Fase ini dimulai dari tahun kedua sampai tahun ketiga dari kehidupan. Pada fase ini,
fokus dari energi libidal dialihkan dari mulut ke daerah dubur serta kesenangan atau
kepuasan diperoleh dari kaitannya dengan tindakan mempermainkan atau
menahan faeces (kotoran) pada fase ini pulalah anak mulai diperkenalkan kepada aturan-
aturan kebersihan oleh orang tuanya melalui toilet training, yakni latihan mengenai
bagaimana dan dimana seharusnya seorang anak membuang kotorannya.
3. Fase Falis (Usia 2/3 – 5/6 tahun)
Fase falis (phallic) ini berlangsung pada tahun keempat atau kelima, yakni suatu fase
ketika energi libido sasarannya dialihkan dari daerah dubur ke daerah alat kelamin. Pada
fase ini anak mulai tertarik kepada alat kelaminnya sendiri, dan mempermainkannya
dengan maksud memperoleh kepuasan. Pada fase ini masturbasi menimbulkan kenikmatan
yang besar. Pada saat yang sama terjadi peningkatan gairah seksual anak kepada orang
tuanya yang mengawali berbagai pergantian kateksis obyek yang penting. Perkembangan
terpenting pada masa ini adalah timbulnya Oedipus complex, yang diikuti
fenomena castration anxiety (pada laki-laki) dan penis envy (pada perempuan). Oedipus
complex adalah kateksis obyek seksual kepada orang tua yang berlawanan jenis serta
permusuhan terhadap orang tua sejenis. Anak laki-laki ingin memiliki ibunya (ingin
memiliki perhatian lebih dari ibunya) dan menyingkirkan ayahnya, sebaliknya anak
perempuan ingin memiliki ayahnya dan menyingkirkan ibunya.
4. Fase Laten (Usia 5/6 – 12/13 tahun)
Fase ini pada usia 5 atau 6 tahun sampai remaja, anak mengalami periode peredaan
impuls seksual. Menurut Freud, penurunan minat seksual itu akibat dari tidak adanya
daerah erogen baru yang dimunculkan oleh perkembangan biologis. Jadi, fase laten lebih
sebagai fenomena biologis, alih-alih bagian dari perkembangan psikoseksual. Pada fase
ini anak mengembangkan kemampuan sublimasi, yakni mengganti kepuasan libido dengan
kepuasan non seksual, khususnya bidang intelektual, atletik, keterampilan, dan hubungan
teman sebaya. Dan pada fase ini anak menjadi lebih mudah mempelajari sesuatu dan lebih
mudah dididik dibandingkan dengan masa sebelum dan sesudahnya (masa pubertas).
5. Fase Genital
Fase ini dimulai dengan perubahan biokimia dan fisiologi dalam diri remaja. Sistem
endokrin memproduksi hormon-hormon yang memicu pertumbuhan tanda-tanda seksual
sekunder (suara, rambut, buah dada, dll), dan pertumbuhan tanda seksual primer. Pada fase
ini kateksis genital mempunyai sifat narkistik : individu mempunyai kepuasan dari
perangsangan dan manipulasi tubuhnya sendiri, dan orang lain diingkan hanya karena
memberikan bentuk-bentuk tambahan dari kenikmatan jasmaniah. Pada fase ini, impuls
seks itu mulai disalurkan ke obyek diluar, seperti : berpartisipasi dalam kegiatan
kelompok, menyiapkan karir, cinta lain jenis, perkawinan dan keluarga.

B. Pengasuhan

Dalam berkeluarga terdapat istilah parenting, parenting sendiri memiliki arti


pengasuhan. Pengasuhan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia memiliki arti hal (cara
dan perbuatan) mengasuh. Tugas parenting orang tua menurut Kagan (Berns, 2004) berarti
menjalankan serangkaian keputusan sosialisai pada anak dengan tujuan menurut LeVine
(Berns, 2004) meliputi:

1. menjamin kesehatan dan keselamatan fisik;


2. mengembangkan kapasitas perilaku untuk menjaga diri dengan pertimbangan
ekonomi; dan
3. pemenuhan kapasitas perilaku untuk memaksimalkan nilai-nilai budaya, misalnya
moralitas, kemuliaan, prestasi.
C. Kesadaran Pengasuhan

Pengasuhan merupakan tanggung jawab utama orang tua, sehingga sungguh


disayangkan bila pada pada masa kini masih ada orang yang menjalani peran orang tua
tanpa kesadaran pengasuhan. Kehadiran anak sering membangkitkan kita akan impian
masa kanak-kanak dan kemudian mentransferkan impian tersebut menjadi harapan-
harapan yang di konstruksikan dalam diri anak. Selain memunculkan harapan, kelahiran
anak juga memunculkan rasa tanggung jawab yang muncul karena adanya tuntutan sosial
tentang kewajiban orang tua untuk memenuhi kebutuhan fisik maupun emosi anak.

Dalam pemenuhan harapan dan tanggung jawab tersebut, umumnya nilai yang lebih
menonjol adalah kepatuhan anak dan anggapan orang tua lebih tau dari anak. Jika orang
tua merasa dapat memiliki potensi untuk mewujudkan harapan dan tanggung jawab maka,
ia akan cenderung otoriter. Sebaliknya jika orang tua merasa tidak mampu mewujudkan
harapan dan tanggung jawab tersebut, maka ia akan cenderung melakukan pembebasan
atau pembiaran anak. Keterpakuan pada harapan dan tanggung jawab semata dapat
mengakibatkan pengasuhan anak menjadi sumber stres bagi kehidupan berkeluarga serta
kurang berkembangnya potensi anak.

Bila tugas dan peran orang tua dijalankan berdasarkan kesadaran pengasuhan anak,
yaitu suatu kesadaran bahwa pengasuhan anak meupakan sarana untuk mengoptimalkan
potensi anak, mengarahkan anak pada pencapaiaan perkembangannya dalam setiap tahap
kehidupannya dengan baik. Dengan demikian, orang tua memiliki kesadara bahwa dirinya
adalah agen yang pertama dan utama dalam membantu mengembangkan kemampuan anak
bersosialisasi dan melatih untuk menghadapi dan beradaptasi dengan lingkungan.

D. Perspektif Ekologis Pengasuhan

Dalam perspektif ekologis, Bronfenbrenner (2000) memaparkan bahwa pengasuhan


anak tidak dapat dilepaskan dari sistem-sistem yang melingkupinya, yakni:

1. Macrosystem
Macrosystem yang berupa politik, budaya, ekonomi, dan nilai-nilai sosial
memiliki kontribusi terhadap proses sosialisasi dan perkembangan anak.
2. Mesosystem
Sekolah dan komunitas sebagai mesosytem berpengaruh terhadap pola asuh
dan jalinan kerja sama yang terjadi.
3. Microsystem
Efek microsystem terjadi melalui relasi orang tua-anak dalam keluarga yang
berupaya pola asuh orang tua.
4. Chronosystem
Chronosystem berpengaruh melalui terjadinya perubahan trend parenting dari
waktu ke waktu seiring dengan perubahan masyarakat dan tekanannya terhadap
keluarga.

E. Stres Pengasuhan (parenting stress)

Dalam proses pengasuhan terkadang muncul stres pengasuhan (parenting stress).


Menurut Deater-Deckard (2004) stres pengasuhan adalah serangkaian proses yang
membawa pada kondisi psikologis yang tidak disukai dan reaksi psikologis yang muncul
dalam upaya beradaptasi dengan tuntutan peran sebagai orang tua. Bila dilihat dari
penyebab dan akibat stess pengasuhan, terdapat dua pendekatan utama. Kedua
pendekatan tersebut adalah teori P-C-R (parent-child-relation) dan teori daily hassles.

1. Teori P-C-R (Parent – Childrelationship)


Dari sudut pandang teori P-C-R, stres pengasuhan bersumber dari tiga
komponen. Ketiganya adalah ranah orang tua (P, yaitu segala aspek stres pengasuhan
yang muncul dari pihak orang tua); ranah anak (C, yaitu segala aspek stres
pengasuhan yang muncul dari perilaku anak); dan ranah hubungan orang tua-anak
(R, yaitu segala aspek stres pengasuhan yang bersumber dari hubungan orang tua-
anak). Ketiga ranah stres pengasuhan tersebut pada akhirnya akan menyebabkan
kemerosotan kualitas dan efektifitas perilaku pengasuhan.
2. Teori daily hassles
Dari sudut pandang teori daily hassles, stres pengasuhan merupakan tipikal
stres yang terjadi sehari-hari atau mingguan. Teori ini tidak menentang teori P-C-R,
namun memperluas dan melengkapi. Stres pengasuhan yang tipikal ini masih bersifat
normal, belum sampai menimbulkan gangguan psikologis. Orang tua hanya perlu
beradaptasi untuk mengatasi stres yang sedemikian ini.

Faktor-faktor yang dapat mendorong timbulnya stres pengasuhan


1. Individu
Pada tingkat individu, faktor-faktor tersebut dapat bersumber dari pribadi
orang tua maupun anak (cth: kesehatan fisik, mental dan emosi).
2. Keluarga
Pada tingkat keluarga, faktor-faktor tersebut dapat bersumber dari masalah
keuangan dan struktur keluarga.
3. Lingkungan
Pada tingkat lingkungan, faktor-faktor tersebut dapat bersumber dari masalah
lingkungan.

Selain dirasakan oleh orang tua, stres pengasuhan juga dirasakan oleh anak. Hal ini
terjadi bila sumber stres pengasuhan lebih dominan pada karakteristik orang tua yang
mewujudkan pada gaya pengetahuan orang tua. Dampaknya, anak akan merasakan stres
pengasuhan bersifat lebih panjang dampaknya. Kondisi stres dapat berlangsung dalam
jangka pendek, situasional atau aksidental, bila sumber stres pengasuhan lebih dominan
pada situasi lingkungan. Namun, bila tidak segera teratasi atau dikelola dengan baik,
kondisi ini dapat berlangsung dalam jangka panjang juga.

Strategi untuk menghadapi stres dengan memfokuskan pada problem atau emosi
(problem-and emotional-focused coping) dan strategi coping dengan cara mendekati atau
menghindari stres (approach vs. Avoidant coping).

1. Fokus pada problem atau emosi (problem-and emotional-focused coping)


Dengan cara mengubah pengalaman emosi terhadap stres dan bukan
mengubah sumber sumber stres. Mengatur emosi melalui proses berpikir yang
disadari jika sumber stres berada diluar kendali. Menghilangkan sumber stres atau
mengubah dampak yang di timbulakan, bila individu dapat mengontrol sumber stres.
2. Mendekati atau menghindari stres (approach vs. Avoidant coping)
Coping mendekati stres, dilakukan dengan cara merencanakan tindakan
sebagai upaya untuk menghilangkan atau meminimalkan dampak dari stres. Coping
menghindari stres dilakukan dengan menyangkal stres secara kognitif.

Kesadaran pengasuhan yang diikuti oleh kesedian melakukan penerimaan diri


(self-assessment) terhadap gaya pengasuhan akan meningkatkan kemampuan mengelola
stres pengasuhan. Gaya pengasuhan perlu dilakukan secara fleksibel sesuai dengan
keunikan karakter anak, tahap perkembangan, dan situasi yang sedang dihadapi.

F. Gaya Pengasuhan dan Interaksi Orang Tua-Anak

Pada perkembangan yang lebih kontemporer kajian pengasuhan anak terpolarisasi


dalm dua pendekatan, yaitu pendekatan tipologi atau gaya pengasuhan (parenting style)
dan pendekatan interaksi sosial (social interaction) atau parent-child system (Lewis,
2005; O’Keeffe, 2008).

Berdasarkan pendekatan tipologi terdapat dua dimensi pengasuhan, yaitu;

1. Demandingness
Dimensi yang berkaitan dengan tuntuta-tuntutan orang tua mengenai keinginan
menjadikan anak sebagai bagian bagian dari keluarga, harapan tentang perilaku
dewasa, disiplin, penyediaan supervisi, dan upaya menghadapi masalah perilaku.
2. Responsiveness
Dimensi yang berkaitan dengan ketanggapan orang tua dalam membimbing
kepribadian anak, membentuk ketegasan sikap, pengaturan diri, dan pemenuhan
kebutuhan-kebutuhan khusus.

Pendekatan tipologi dipelopori oleh Baumrind (1966,1991) yang mengajukan


empat gaya pengasuhan sebagai kombinasi dari dua faktor tersebut:

1. Authoritative (Otoritatif)
Tuntutan yang masuk akal, penguatan yang konsisten, disertai kepekaan dan
penerimaan pada anak.
2. Authoritarian (Otoriter)
Banyak aturan dan tuntutan, sedikit penjelasan, dan kurang peka terhadap kebutuhan
dan pemahaman anak.
3. Permisive (Permisif)
Sedikit aturan dan tuntutan; anak terlalu dibiarkan bebas menuruti kemauannya.
4. Rejecting-neglecting (Tak peduli)
Sedikit aturan dan tuntutan; orang tua tidak peduli dan peka pada kebutuhan anak.
Berdasarkan kajian etiologis terhadap terjadinya malasuh (child maltreatment),
Belsky (1984) mengembangkan proses dari penentu-penentu pengasuhan (prosess model
of the determinants of parenting) yang menyatakan bahwa pengasuhan secara langsung
dipengaruhi oleh kepribadian orang tua, karakteristik anak, dan kontesk sosial yang
melingkupi hubungan orang tua-anak. Model tersebut mengasumsikan bahwa riwayat
perkembangan orang tua, relasi pasangan, jaringan sosial, dan pekerjaan mempengaruhi
kepribadiaan individu dan kondisi psikologis secara umum, yang pada giliranya
mempengaruhi proses pengasuhan dan akibat-akibat (outcomes) pada anak.
BAB III

RANCANGAN ASESMEN

Asesmen bertujuan agar dapat memiliki informasi yang lengkap terkait pengasuhan
orang tua, mengetahui kepribadian dan dapat mengetahui perilaku keluarga, sehingga
dapat dilakukannya pelaksanaan bimbingan maupun konseling yang tepat. Adapun alat
asesmen yang digunakan adalah:

1. Observasi
Observasi atau pengamatan Menurut Nawawi (2007) observasi diartikan
sebagai “pengamatan dan percatatan secara sistemik terhadap gejala yang tampak pada
objek penelitian”. Dalam observasi, cara pengumpulan data yang dilakukan adalah
melalui pengamatan dan pencatatan gejala-gejala yang tampak pada subjek yang
pelaksanaannya langsung pada tempat dimana suatu peristiwa, keadaan atau situasi
sedang terjadi. Peristiwa, keadaan atau situasi itu dapat dibuat dan dapat pula yang
sebenarnya. Sedangkan pengamatan dapat dilakukan dengan atau tanpa bantuan alat.
Dalam menggunakan teknik ini, dilakukan pengamatan secara langsung terhadap
keluarga yang mengalami permasalahan pengasuhan.
2. Wawancara

Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu. Percakapan itu


dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara (interviewer) yang mengajukan
pertanyaan dan terwawancara (interviewee) yang memberikan jawaban atas pertanyaan
aitu. Wawancara kualitatif dilakukan bila peneliti bermaksud untuk memperoleh
pengetahuan tentang makna subyektif yang dipahami individu berkenaan dengan topik
yang diteliti dan bermaksud melakukan eksplorasi terhadap isu tersebut (Banister dkk,
1994).

3. Tes Grafis (DAP dan HTP)

Tes grafis adalah salah satu teknik proyeksi yang digunakan untuk memahami
kepribadian seseorang dalam bentuk gambar. Ada beberapa tes grafis yang akan dipakai
dalam asesmen kali ini yaitu menggambar orang atau DAP dan menggambar rumah
pohon orang atau HTP. Tes DAP bertujuan untuk mengetahui hubungan antara apa
yang digambar dengan kepribadian orang yang menggambar, ekspresi diri atau body
image seseorang yang dibentuk oleh pengalaman pribadi, menggambarkan kebutuhan
tubuh dan konflik yang dialami, mengetahui emosionalitas, psychosexual maturity,
kecemasan, guilt, tingkat agresi individu, dan untuk menggambarkan bagaimana
individu dalam lingkungan kelompok sosialnya. Sedangkan HTP ketika menggambar
rumah dan pohon dapat memberikan informasi yang relevan mengenai kepribadian
individu dan dapat mewakili karakter pribadinya. HTP dapat menjelaskan simbol
rumah sebagai peran ibu, pohon sebagai peran dari figur ayah dan menggambarkan
secara keseluruhan berarti kehidupan hubungan interpersonal dengan kedua orang
tuanya.
BAB IV

HASIL ASESMEN

Hasil pemeriksaan psikologis:

a. Kemasakan sosial berdasarkan Vineland Social Maturity Scale (VSMS): Usia sosial
setara dengan anak usia 4 th 9 bulan, dengan kelemahan terutama pada kemampuan
menolong diri sendiri di kamar kecil, membantu pekerjaan rumah, bereksplorasi di
luar rumah, dan pergi ke sekolah sendiri. Kelemahan yang disebut paling akhir dapat
dianggap wajar mengingat letak sekolah dari rumah cukup jauh dan masalah
keamanan di jalan perlu dijadikan pertimbangan.

b. Observasi: Anak tidak mudah bersosialisasi dengan orang dan lingkungan baru.
Kontak mata dengan asisten konselor sangat sedikit. Anak menolak untuk
menggambar sehingga tes grafis tidak jadi dilakukan.

Perkembangan “Fase falis (phallic)” Perkembangan terpenting pada masa ini


adalah timbulnya Oedipus complex, yang diikuti fenomena castration anxiety (pada laki-
laki) dan penis envy (pada perempuan). Berdasarkan analisis yang dilakukan dapat
diketahui bahwa terdapat permasalahan pada masa ini yang menyebabkan gangguan pada
perkembangan anak sehingga anak tidak dapat berkembang dengan sempurna. Menurut
teori Freud, umur 5 tahun sudah memasuki masa Phalic, dimana anak akan sudah
mengetahui jenis kelamin dan anak sudah mendekati orang tua yang berjenis kelamin
sama, misal anak laki-laki dengan ayahnya dan anak perempuan dengan ibunya. Namun
dalam kasus ini si G ini tidak begitu dekat dengan ayah maupun ibunya, ini yang menjadi
masalah dalam keluarga itu. Justru G malah dekat dengan keluarga batih misalnya
eyangnya.

Dalam keluarga fokus terpenting adalah bagaimana orang tua mengasuh anak
dengan baik. Hal ini sudah terlihat jelas ketika G di tempat eyangnya sangat mandiri,
sedangkan jika bersama orang tua, terutama ayahnya malah menjadi manja. Pengasuhan
yang terjadi di orang tua adalah pola asuh permisif dimana anak diberi sedikit aturan dan
terlalu dibiarkan bebas menuruti kemaunnya.
G menjadi seperti ini karena orang tuanya terlalu sibuk dan tidak mengurusi
anaknya. Ayahnya pernah mengajak untuk mencari waktu luang tapi ibunya tidak mau.
Jika ditelusuri lagi, ini terjadi karena pernikahan mereka itu dijodohkan, jadi bukan
karena saling cinta. Ayahnya sebenarnya sudah mempunyai pacar namun orang tua
melarang karena beda agama, ibunya pun sama sudah memiliki pacar namun akhirnya
dijodohkan dengan ayah sekarang. Karena lewat perjodohkan bukan atas dasar saling
cinta maka pernikahannya pun tak begitu mulus dan dampak dari itu anaknya jadi korban
pernikahan mereka.
BAB V
RANCANGAN INTERVENSI
1. Tujuan intervensi
a. Untuk mengubah perilaku yang tidak sesuai dalam keluarga
b. Untuk membantu orang tua dalam mengatasi masalah dalam keluarga
c. Memberikan dukungan positif serta edukasi bagaimana cara pengasuhan yang baik
2. Sasaran
Sasaran intervensi yang akan diberikan adalah keluarga yaitu ayah, ibu dan anak.
3. Pihak-pihak yang dilibatkan
Ayah, ibu dan anak.
4. Target Perubahan
 Target perubahan diharapkan adalah orang tua memahami dan mengetahui peran
antar anggota keluarga
 Melakukan pengasuhan yang baik dan memperhatikan kondisi anak sesuai masa
perkembangan yang dijalani
 Mendapatkan struktur dan sistem keluarga yang jelas sehingga campur tangan
orang tua tidak mengganggu dalam kekeluargaan.
5. Metode
Terapi Keluarga
Terapi keluarga adalah model terapi yang bertujuan mengubah pola interaksi
keluarga sehingga bisa membenahi masalah-masalah dalam keluarga. Terapi bertujuan
untuk meningkatkan fungsi anggota keluarga maka sistem dalam keluarga musti
dipengaruhi dengan melibatkan seluruh anggota keluarga bukan individual/perorangan.

Teori Struktural
Pendekatan teori ini mengakui adanya segala keragaman dalam kehidupan sosial yang
kemudian diakomodasi dalam fungsi sesuai dengan posisi seseorang dalam struktur
sebuah sistem (Megawangi, 1999). Tiap-tiap anggota keluarga untuk menjalani
hidupnya sesuai dengan peran dan fungsi yang seharusnya ia jalankan dalam keluarga.
Aplikasi teori ini berkaitan dengan pola kedudukan dan peran dari anggota keluarga
tersebut, hubungan antara orangtua dan anak, ayah dan ibu, ibu dan anak laki-laki,ayah
dan anak laki-laki, ayah dan anak perempuan, dll. Setiap masyarakat mempunyai
peraturan-peraturan dan harapan-harapan yang menggambarkan orang harus
berperilaku. Tipe keluarga terdiri atas keluarga dengan suami istri utuh beserta anak-
anak (intact families), keluarga tunggal dengan suami/istri dan anak-anaknya (single
families), keluarga dengan anggota normal atau keluarga dengan anggota yang cacat,
atau keluarga berdasarkan tahapannya, dan lain-lain. Aspek struktural menciptakan
keseimbangan sebuah sistem sosial yang tertib (social order). Ketertiban keluarga akan
tercipta kalau ada struktur atau strata dalam keluarga, dimana masingmasing
mengetahui peran dan posisinya dan patuh pada nilai yang melandasi struktur tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Banister, P. (1994). Qualitative Methods in Psychology A Research Guide. Buckingham:
Open University Press
Marnath, G. (1981). Handbook of Psychological testing, Resume : Fakultas Psikologi
Universitas Diponegoro
Berns, R. M. (2004). Child, Family, School, Community: Socialization and Support. (Sixth
ed.). Balmont: Wadsworth/Thomson Learning.
Bronfenbrenner, U. (2000). Ecological system theory. In A. E. Kazdin (Ed.), Encyclopedia of
Psychology (Vol. 3, pp. 129-133). New York: Oxford University Press.
Deater-Deckard, K. (2004). Parenting Stress. New Heaven: Yale University Press.
Lestari, S. (2014). Psikologi Keluarga Penanaman Nilai & Penanganan Konflik dalam
Keluarga. Jakarta: Kencana .
Lewis, C. (2005). Parenting and the family. In B. Hopkins (Ed.), The Cambridge
Encyclopedia of Child Development (pp. 340-343). Cambridge: Cambridge University
Press.
Nawawi, Hadari. (2007). Metode Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta: gajah Mada
University Pers
Sanders (2011). Development, Evaluation, and Multinational Dissemination of the Triple P-
Positive Parenting Program, Annual Review of Clinical Psychology.

Tarigan, K. (2019, September 1). Ini Kronologi Siswa SMP Tewas Tertusuk Pisau di
Halaman. (D. O. Purba, Editor) Dipetik September 12, 2019, dari Kompas.com:
https://regional.kompas.com/read/2019/09/01/22490661/siswa-smp-yang-tewas-di-halaman-
rumah-ternyata-dibunuh-ayahnya?page=all

Anda mungkin juga menyukai