Anda di halaman 1dari 3

1. Apa definisi anak berkebutuhan khusus menurut pendapat anda?

2.  Analisis kasus berikut ini:

NAMANYA Etik Herawati UMUR Dua puluh dua tahun, dia dikaruniai seorang anak laki-laki. Bayi itu
dia beri nama Reza Gusti Erlangga. Angan-angan besar mengiringi pemberian nama itu. Kelak, dia
berharap sang anak bisa menjadi orang sukses. Jadi dokter, misalnya.
Dua tahun berjalan, sang anak baru bisa berjalan. Kata orang tua zaman dulu, perkembangan anak laki-
laki biasanya memang lebih lambat. Tapi, sebagai ibu, Etik merasakan hal lain. Ada yang berbeda dengan
buah hatinya.
Semakin lama, tumbuh kembang Angga, sapaan Reza Gusti Erlangga, semakin menunjukkan perbedaan
dengan anak di sekitarnya. Bahkan, ketika sudah masuk playgroup pun, perilaku Angga tidak berubah.
Dia tidak bisa duduk diam dan mengikuti irama lagu. Juga, tidak bisa bersosialisasi dengan teman-
temannya.
Curiga ada yang tidak beres, Etik mendatangi pemilik playgroup itu yang juga seorang psikiater. Di sana,
Angga menjalani serangkaian tes. Angga terdeteksi menyandang autisme. Tujuh di antara 10 tanda autis
sesuai dengan kriteria Angga.
Etik tidak terima. Dia mencari dokter lain. Namun, dua ahli gangguan emosional yang didatanginya
mengatakan hal sama. ’’Di situ sebenarnya saya mencari ahli yang mengatakan bahwa anak saya tidak
seperti itu. Tapi, ketika tiga orang mengatakan hal sama, saya akhirnya menyerah,’’ ungkapnya.
Berita tersebut seakan meruntuhkan dunianya saat itu juga.
Apa yang telah saya perbuat?
Kenapa Tuhan memberikan cobaan seberat ini?
Apa saya sedang dikutuk?
Pertanyaan demi pertanyaan seakan tiada habis membayangi pikirannya saat itu. Apalagi, pada saat
bersamaan, dia harus menghadapi perpisahan dengan sang suami. Sungguh perempuan tangguh yang bisa
menghadapinya.
Karena itu, Etik tidak boleh terus bersedih. Angga membutuhkan ibunya. Langkah pertama yang
dilakukan Etik adalah mempersiapkan diri. Pertama-tama, yang harus dia ubah adalah mindset. Anaknya
tidak bisa diperlakukan sama dengan anak-anak normal lainnya. Baru setelah itu, dia mempersiapkan
orang-orang terdekatnya. Terutama orang tua dan saudara-saudaranya.
’’Saya akan merasa sangat berdosa jika tidak mempersiapkan anak ini dengan baik karena saya tidak bisa
menemaninya selamanya. Kalau saya tidak ada, setidaknya dia sudah bisa mandiri dan tidak
menyusahkan orang lain,’’ ujar alumnus Jurusan Manajemen Universitas dr Soetomo tersebut.
Sejak saat itu, Etik tidak pernah meninggalkan Angga. Hanya saat bekerja dia menitipkan bocah itu
kepada orang tuanya. Namun, jika sedang tantrum dan tidak bisa dikendalikan orang-orang di sekitarnya,
Angga harus segera dibawa ke ibunya. Meski sedang bekerja, Etik tak berkeberatan. Bagi dia, hidupnya
hanya untuk Angga.
Memasuki kelas I SD, perilaku Angga semakin sulit dikendalikan. Pengobatan dan terapi ke sana kemari
tidak mengubahnya menjadi lebih baik. Tidak banyak perubahan yang terjadi. Keputusan besar pun harus
diambil. Etik memilih berhenti bekerja. Padahal, kala itu karirnya di salah satu perusahaan Jepang
penghasil slipper sedang tinggi-tingginya.
Untung, suami kedua yang menikahinya ketika Angga berusia 5 tahun sangat mendukung keputusan
tersebut. Awalnya Etik sempat takut jika penghasilan dari satu orang saja tidak cukup memenuhi
kebutuhan obat Angga. Namun, sang suami terus meyakinkannya. Hingga akhirnya, keputusan itu
diambil juga.
Lepas dari pekerjaan, Etik mencurahkan sepenuhnya kasih sayang dan perhatian kepada Angga. Bahkan,
dia menunggui Angga di sekolah. Ketika di dalam kelas pun, Etik harus memangku anaknya agar tidak
berlarian.
Meski demikian, Angga belum menunjukkan tanda-tanda perbaikan. Di situ, Etik mengambil keputusan
besar lagi. Yakni, melepas seluruh pengobatan dan terapi. Hanya vitamin tertentu yang masih dia gunakan
untuk Angga.
Ketika itu, hanya satu yang diyakini perempuan kelahiran Makassar, 24 Desember 1970, tersebut. Kasih
sayang orang tua, terutama ibu, adalah modal utama kesembuhan sang anak. Nasib anak tidak ditentukan
dari seberapa banyak terapi dan obat-obatan mahal yang dia terima, tapi ibunya. Ibu harus bisa menerima
keadaan anaknya dulu. ’’Saya bertekad Angga harus sembuh di tangan saya, bukan karena orang lain,’’
tegasnya.
Satu per satu perilaku Angga mulai diperbaiki. Untuk berbicara, misalnya. Angga bukannya tidak bisa,
tapi tidak mau. Kalau ingin sesuatu, dia menggandeng tangan ibunya, lalu menunjuk benda yang dia
inginkan.
Hal tersebut tidak bisa terus dibiarkan. Angga harus bisa berbicara. Salah satu upayanya, Etik mengajak
teman sekelas Angga yang paling bandel untuk menginap di rumah. Ketika bermain, tampak egoisme dua
bocah tersebut. Berebut mainan, pukul-pukulan. Semua dibiarkan jika masih dalam tahap wajar. Dan, saat
emosinya memuncak, suara Angga pun keluar. ’’Punyakuuu…!’’ ucapnya saat merebut mainan yang
diinginkan dari temannya tersebut.
Bukan hanya itu. Orang-orang di sekitarnya juga harus betah berbicara. Semakin sering mendengar kata-
kata, semakin cepat pula perkembangannya untuk bisa berbicara. Etik juga menyekolahkan Angga di
sekolah umum.
Meski begitu, Angga tidak mengalami problem membaca. Sejak umur 3 tahun, dia sudah bisa membaca.
Caranya dengan melihat iklan di televisi. Angga sangat suka benda bergerak. Termasuk running text yang
ada di setiap iklan. Ketika di jalan, dia mencocokkan isi iklan televisi dengan yang ada di poster dan
spanduk.
Namun, problem yang harus dihadapi adalah menulis. Mengajari Angga menulis cukup lama. Sejak kelas
II SD hingga kelas VII SMP, Angga baru bisa menulis dengan benar. Dulu, Angga tidak bisa
menyambung kalimat di baris bawah. Semua kalimat dia sambung lurus ke samping. Kalau batas
kertasnya habis, meja yang jadi korban coretannya.
Karena itu, Etik memberikan frame pada kertasnya. Masalah belum selesai. Kata demi kata dia rangkai
mengikuti alur frame. Persis seperti ular yang terus memanjang hingga seluruh halaman kertas tertutup
tulisan. Akhirnya Etik membuat tanda berupa titik-titik. Angga tinggal mengikuti arah titik-titik itu.
Sampai akhirnya, dia tidak ketergantungan dengan tanda tersebut.
Sejak kecil, Angga tidak bisa mendengar bunyi-bunyi yang keras dan bising. Misalnya, suara kendaraan
di jalan. Dia sering tantrum jika ada suara-suara yang mengganggunya. Sambil menutup telinga, dia
berteriak dan bergerak tak terkendali.
Cara ekstrem pun dilakukan Etik. Dia tidak berusaha menjauhkan anaknya dari bunyi-bunyian yang
membuatnya tidak nyaman. Justru semakin mendekatkannya. Salah satunya mengajak Angga ke Bandara
Juanda dan mendekatkannya dengan area yang paling terdampak suara bising pesawat ketika lepas
landas. Otomatis Angga menjerit sambil berusaha menutup pendengarannya.
Begitu pula ketika di jalan, kaca mobil sengaja dibuka. Tujuannya, sang buah hati terbiasa mendengar
bunyi-bunyian itu. Akhirnya Angga benar-benar bisa menerima suara bising. Salah satunya karena dia
suka bermain ke perusahaan percetakan di dekat sekolah hanya untuk melihat mesin itu menghasilkan
kertas.
’’Itulah kenapa dia harus dipahami, bukan dimaklumi. Kalau kita maklum, dia tidak akan mengerti. Kalau
paham, kita bisa menuntunnya untuk tidak melakukan hal-hal yang tidak boleh,’’ jelas istri Sanuwar
tersebut.

cuplikan dari: https://www.jawapos.com/features/22/03/2017/perjuangan-para-orang-tua-dengan-anak-
anak-berkebutuhan-khusus/

Pertanyaan untuk Kasus No.2

a. Berdasarkan kasus di atas bagaimana dampak munculnya kebutuhan khusus bagi keluarga?
b. Berdasarkan kasus diatas bagaimana pendapat anda tentang cara orang tua dan lingkungan menerima
angga? apakah hal ini sudah sesuai dengan prinsip inklusi?
NAMA : LEVI NOFRIANTI

NIM : 856235112

TUGAS T1 : PDGK 4407 ABK

1. Anak berkebutuhan khusus menurut pendapat saya adalah anak yang ketika dalam menempuh
pendidikan, atau dalam kehidupan sehari-harinya anak tersebut mebutuhkan pelayanan yang
spesifik atau bisa dikatakan pelayanannya berbeda dari anak lainnya. Seorang anak dikatakan
khusus jika ada sesuatu yang kurang atau terlalu berlebih dari anak tersebut.
2. Dari kasus yang diuraiakan diatas
a. dampak munculnya kebutuhan khusus bagi keluarga
 Dampak Sosiologis
Keluarga sebagai suatu unit sosial di masyarakat dengan kehadiran anak berkebutuhan
khusus merupakan musibah, kesedihan, dan beban yang berat. Seperti Kondisi yang di alami
ibu etik di saat awal dia mengetahui bahwa anaknya memiliki kebutuhan khusus saat itu dia
sebagai ibu merasakan kesedihan yang sangat mendalam. termanifestasi dengan reaksi yang
bermacam-macam, seperti : kecewa, shock, marah, depresi, rasa bersalah dan bingung.
 Kesulitan dalam membagi waktu
Dari kasus bu etik diatas dia sulit sekali menentukan prioritas utamanya kala itu karirnya di
salah satu perusahaan Jepang penghasil slipper sedang tinggi-tingginya. Sementara dia
menyadari bahwa anaknya sangat membutuhkan bimbingan dari bu etik. Dan akhirnyapun bu
etik memilih keputusan yang tepat, yaitu berhenti bekerja dan focus mencurahkan kasih
sayang dan perhatian terhadap anaknya.
 Dampak ekonomi
Dengan berhenti bekerja otomatis keadaan ekonominya juga berkurang, dan dia hanya bisa
mengandalkan gaji dari suaminya saja sebagai pemenuhan kebutuhan, dan pengobatan untuk
anaknya.

b. Berdasarkan kasus diatas bagaimana pendapat anda tentang cara orang tua dan lingkungan
menerima angga? apakah hal ini sudah sesuai dengan prinsip inklusi?

Menurut pendapat saya tentang cara orang tua dan lingkungan menerima angga telah sesuai
dengan prinsip inklusi
Sebagaimana pendidikan inklusi itu adalah suatu sistem penyelenggaraan pendidikan yang
memberikan kesempatan kepada semua peserta didik berkelainan dan memiliki potensi
kecerdasan atau bakat istimewa untuk mengikuti pendidikan atau pembelajaran dalam satu
langkah pendidikan secara bersama dengan peserta didik laiinnya.
Prinsip pendidikan inklusi adalah ABK penting mendapat pembelajaran di sekolah reguler,
penolakan anak ABK di sekolah reguler adalah melanggar hak dan hukum.
Nah dari kasus bu etik di atas terlihat bahwa angga penempuh pendidikannya disekolah
umum meskipun didampingi ibunya tetapi dia telah pendapatkan haknya sesuai yang telah
diatur pemerintah. Kemudian bu etik juga tetap berusaha memperbaiki perilaku anaknya hal
pertama yang dilakukan bu etik adalah melatih anaknya berbicara karena ia sadar tidak
selamanya dia bisa menemani anaknya, untuk itu dia melatih kemandirian anaknya, hal
pertama yang dilakukan bu etik adalah melatih agar anaknya mau berbicara.

Anda mungkin juga menyukai