Anda di halaman 1dari 10

MAKALAH

MODEL DAN TEKNIK DALAM PENANGANAN KASUS ANAK KORBAN


PERCERAIAN KLIEN “J”

disusun untuk memenuhi tugas individu pada Mata Kuliah Pekerjaan Sosial
Dengan Individu Dan Keluarga

DOSEN PEMBIMBING:
Bambang Indrakenjtana, M.Pd, Ph.D

Oleh:
Aprichintya K. A. D. 16.04.213
Kelas 2H

PROGRAM STUDI D-IV PEKERJAAN SOSIAL

SEKOLAH TINGGI KESEJAHTERAAN SOSIAL


BANDUNG
2018
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Setiap manusia yang hidup bersama dalam suatu ikatan perkawinan pasti
mendambakan agar keluarga yang dibinanya dapat berjalan secara harmonis dan selalu
diridhoi oleh Tuhan Yang Maha Esa. Hal senada sebagaimana ditegaskan Sulistyo
(1998:13), dalam Undang-Undang No.1 Tahun 1974, bahwa: “Perkawinan ialah ikatan
lahir bathin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan
membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa.”
Dalam mencapai keluarga yang bahagia ditempuh upaya menurut kemampuan
masing-masing keluarga. Namun demikian, banyak juga keluarga yang gagal dalam
mengupayakan keharmonisannya, impian buruk akan terjadi yaitu timbulnya suatu
benturan “perceraian” yang tidak pernah mereka harapkan. Dampak perceraian
mengakibatkan timbul berbagai masalah antara lain pecahnya keluarga tersebut dari
ikatan tali perkawinan, hubungan kekeluargaan menjadi renggang dan dampak yang
paling berat yang nyata akan dialami oleh anak yang merupakan buah hati dari
perkawinan itu sendiri. Terdapat beberapa faktor penyebab perceraian orang tua, yaitu:
faktor ekonomi, perbedaan status sosial, perselingkuhan, tidak mendapat restu orang
tua, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), dan menikah diusia dini.
Berdasarkan keterangan dari Panitera Muda Hukum Agama Pengadilan
Agama Karanganyar, Khorirul Anam, data yang masuk di Pengadilan Agama (PA)
Kabupaten Karanganyar pada tahun 2015 ada 1924 kasus dan 1125 diantaranya
merupakan kasus perceraian. Kasus perceraian saat ini memang banyak diajukan oleh
kaum wanita sebagai penggugat dan mayoritas adalah masa usia produktif 30-50
tahun. (sumber: http://beritajateng.net)
BAB II
PERMASALAHAN

2.1 Kronologis Masalah


J adalah seorang remaja laki-laki dari dua bersaudara yang tinggal di
Karanganyar, Jawa Tengah. J adalah anak pertama yang sekarang sedang menempuh
pendidikan di salah satu universitas di Surakarta dan adiknya masih duduk di bangku
kelas 8 SMP. Kedua orang tuanya sudah resmi bercerai pada akhir tahun 2017 yang
lalu karena perbedaan visi dan masalah finansial.
Ibu dari J adalah seorang bidan yang membuka praktik di rumahnya sekaligus
menjadi PNS di salah satu puskesmas di kotanya. Setiap hari Ibu J pergi kerja ke
puskesmas pagi-pagi sekali dan pulang pada sore harinya, apabila ada pasien yang
akan melahirkan atau kontrol kandungan di praktik rumahnya, Ibu J akan langsung
pulang untuk membantu pasiennya. Karena Ibu J sibuk bekerja, maka untuk urusan
sederhana seperti urusan makan pun menjadi terbengkalai. Seringkali keluarga J
sekarang yang terdiri dari J sendiri, Ibu J, dan adiknya membeli makan di luar. Hal ini
menjadi salah satu alasan kecil kenapa orang tua J bercerai karena perilaku boros dan
malas memasak dari Ibu J sendiri.
Sebelum kedua orang tuanya bercerai, Ayah J bekerja mengurus sawah di
belakang rumahnya untuk memanen padi yang nantinya dapat di jual. Keluarga J
memiliki sawah yang cukup luas dan tersebar di beberapa desa. Tetapi karena tidak
setiap waktu padi dapat dipanen, maka Ayah J menganggur dan hanya pergi untuk
“main”. Uang yang digunakannya pun berasal dari gaji istrinya, Ayah J sering meminta
uang tetapi digunakan dengan tidak semestinya. Selain itu, barang-barang berharga
milik Ibu J diambil secara diam-diam untuk kemudian dijual, salah satunya adalah
perhiasan.
Sikap dari masing-masing pasangan inilah yang menjadi penyebab mereka
bercerai. Ibu J merasa bahwa Ayah J tidak mampu memenuhi nafkah keluarga dan
selalu meminta uang kepada dirinya, sedangkan Ayah J beralasan bahwa Ibu J jarang
memasak sehingga mereka sekeluarga harus selalu makan di luar dan hal ini yang
membuat mereka boros. Orang tua J memang hubungannya sudah tidak harmonis
semenjak J masih duduk di bangku kelas 11 SMA, Ayah J sering pulang ke rumah
orang tuanya dan pergi tanpa pamit dan pada puncaknya resmi bercerai secara negara
pada akhir 2017 lalu.
Perpisahan kedua orang tua J ini membuat J berubah. Sebelumnya J adalah
anak yang aktif, memiliki banyak teman dan relasi, serta cukup berprestasi di kelasnya.
Namun, ketika memasuki tahun kedua di bangku SMA-nya dia mulai menunjukkan
perilaku yang tidak biasa. J lebih sering menyendiri dan berpisah dari teman-temannya
tidak mau lagi bergabung dengan teman-temannya dulu. Alasan kuat dari J adalah
karena dia merasa teman-temannya tidak akan mampu membantunya menyelesaikan
masalah yang terjadi sehingga teman-teman J pun banyak yang menghindar darinya
bahkan beramai-ramai membully J.
Pada awalnya bullyan teman-temannya hanya bermaksud bercandaan yang
bertujuan agar J kembali bermain lagi bersama mereka, tetapi J tidak merespon
candaan mereka sama sekali. Teman-teman J berpikiran bahwa J memang benar ingin
menjauh dari mereka, sehingga bullyan yang pada awalnya ingin mencoba
“memersatukan” mereka berubah menjadi bullyan yang membuat psikis J terganggu.
J merasa bahwa teman-temannya tidak memerdulikannya.
Masalah J di rumah juga tidak kalah menambah beban pikirannya, Ibu J hampir
setiap hari marah-marah kepada J tanpa alasan yang jelas. Masalah dan urusan di
kantor sering dikait-kaitkan dengan masalah di rumah. Misalnya saja J lupa untuk
membeli lauk makan malam, Ibu J akan marah-marah dan mengatakan bahwa dia
sudah capek-capek kerja dengan urusan kantor yang sangat banyak tetapi J malah
menambah amarahnya karena lupa membeli lauk. J merasa bahwa dia adalah sumber
masalah di keluarganya karena sering menjadi bahan untuk peluapan emosi ibunya.
BAB III
MODEL DAN TEKNIK

3.1 Model dalam Penanganan Masalah


3.1.1 Model Psikososial
Model yang dapat digunakan untuk memecahkan masalah yang dialami oleh J
dengan menerapkan model psikososial. Teknik model psikososial merupakan salah
satu cara penyembuhan bagi individu yg berkaitan dengan masalah emosinya, individu
yang masalah personalitinya sungguh tertekan dan mendalam. Model ini
menggunakan tiga struktur penting dalam kepribadian manusia, yaitu: id, ego, dan
super ego.
Pada kasus J tersebut, J tidak dapat mengutarakan apa yang menjadi
masalahnya karena dia merasa tertekan dari berbagai pihak, baik dari lingkungan
keluarganya ataupun di sekolahnya. Penggunaan model psikososial didasari oleh
pendapat Hall & Lindzey (1993) yang kaitannya dengan perkembangan kehidupan
manusia dibentuk oleh pengaruh sosial yang berinteraksi dengan yang lain yang akan
menjadikan matang secara fisik dan psikologis. Kepribadian dibentuk ketika seseorang
melewati tahap psikososial sepanjang hidupnya yang pada masing-masing tahap
memiliki tugas perkembangan yang khas, dan mengharuskan individu menyelesaikan
krisis.
Pekerja sosial dapat menggunakan model ini untuk menggali seluruh informasi
permasalahan dan menganalisis setiap kata-kata yang diungkapkan oleh J. Di dalam
penggunaan model ini sangat dibutuhkan sifat dari terapeutik, maksudnya adalah
adanya hubungan interpersonal dan kerja sama yang professional antara pekerja sosial
dan klien. Pekerja sosial harus bisa menjaga hubungan ini agar klien dapat merasakan
kenyamanan, ketenangan dan bisa rileks menceritakan permasalahan serta tujuannya
untuk menemui pekerja sosial.

3.1.2 Model Family Intervention


Pendekatan intervensi mikro tidak hanya mengarahkan proses perubahannya
pada individu saja, tetapi juga pada keluarga. Keluarga merupakan unit terkecil
masyarakat tempat tumbuh dan perkembangannya individu. Keluarga juga merupakan
saluran pendidikan yang paling awal dan berpengaruh terhadap individu. Sehinga
peran keluarga dalam keseruruhan upaya intervensi individu sangat penting. Dengan
melibatkan keluarga, tujuan intervensi mikro untuk meningalkan kemampuan individu
dalam menangani masalahnya akan tercapai.
Pada perkembangannya, metode intervensi ini lebih dikenal dengan istilah
konseling keluarga (family counseling) atau terapi keluarga. Intervensi keluarga
merupakan cara kerja dengan orang-orang yang memandang bahwa interaksi di antara
anggota keluarga sebagai kontribusi kepada dan mengatur disfungsi individu dan
keluarga. Perlakuan salah terhadap anak merupakan salah satu tanda disfungsi pada
keluarga. Perlakuan salah terjadi karena anggota keluarga tidak memiliki kemampuan
untuk mengatur lingkungan diantara dirinya, negosiasi dalam menangani tahap
perkembangan baru atau mengatasi tuntutan dari luar intervensi harus dirancang
dengan melibatkan seluruh anggota keluarga.
Pada model ini, pekerja sosial dapat menggunakan teknik: penguat positif,
insight, parent education, appropriate boundaries, reframe, therapeutic relationship.

3.2 Teknik dalam Penanganan Masalah


Terdapat beberapa teknik yang dapat digunakan oleh pekerja sosial dalam
menangani kasus J, yaitu sebagai berikut:
a. Asosiasi bebas
Asosiasi bebas adalah salah satu teknik yang digunakan dalam model
psikososial. Pekerja sosial dapat menggunakan teknik ini untuk memberikan
kebebasan secara total kepada klien dalam mengungkapkan segala apa yang
terlintas dibenaknya, termasuk mimpi-mimpi, berbagai fantasi, dan hal-hal
konflik dalam dirinya tanpa diagenda, dikomentari, ataupun banyak dipotong,
apalagi disensor. Asosiasi bebas merupakan suatu metode pemanggilan
kembali pengalaman-pengalaman masa lampau dan pelepasan emosi-emosi
yang berkaitan dengan situasi traumatis masa lalu, yang kemudian dikenal
dengan katarsis.
Penerapan teknik ini dilakukan dengan posisi klien berbaring di atas
dipan/sofa sementara pekerja sosial duduk di belakangnya, sehingga
tidak mengalihkan perhatian klien pada saat-saat asosiasinya mengalir dengan
bebas. Dalam hal ini pekerja sosial fokus bertugas untuk mendengarkan,
mencatat, menganalisis bahan yang direpres, memberitahu/membimbing
pasien memperoleh insight (dinamika yang mendasari perilaku yang tidak
disadari).
b. Pekerja sosial sebagai analis dan penafsiran resistensi
Resistensi dianggap sebagai dinamika tak sadar yang digunakan oleh
klien sebagai pertahanan terhadap kecemasan yang tidak bisa dibiarkan, yang
akan meningkat jika klien menjadi sadar atas dorongan atau perasaan yang
direpres tersebut. Analisis dan penafsiran resistensi, ditujukan untuk
membantu klien agar menyadari alasan-alasan yang ada dibalik resistensi
sehingga dia bisa menanganinya, pekerja sosial meminta klien menafsirkan
resistensi. Tujuannya adalah mencegah material-material mengancam yang
akan memasuki kesadaran klien, dengan cara mencegah klien mengungkapkan
hal-hal yang tidak disadarinya.
c. Small Talk
Teknik ini digunakan pada saat pekerja sosial bertemu dengan klien
untuk pertama kalinya. Tujuan utama small talk adalah terciptanya suatu
suasana yang dapat memberikan kepercayaan klien kepada pekerja sosial dan
kemudahan bagi keduanya untuk melakukan pembicaraan sehingga hubungan
selanjutnya dalam proses intervensi akan berjalan sesuai dengan yang
diharapkan. Small talk juga dapat mengurangi blocking yang nantinya dapat
menghambat proses intervensi.
Pekerja sosial dapat melakukan basa-basi seperti menanyakan kabar,
mengucapkan salam, ataupun sapaan agar klien merasa nyaman dan percaya.
d. Ventilation
Teknik ini digunakan oleh pekerja sosial untuk membawa ke
permukaan perasaan-perasaan dan sikap-sikap yang diperlukan. Pekerja sosial
dituntut untuk dapat menyediakan kemudahan bagi klien dalam
mengungkapkan emosinya secara terbuka. Dari kasus klien J, dia tidak dapat
mengutarakan apa yang menjadi pengganjal dan beban pikirannya, sehingga
dengan teknik ini diharapkan J dapat mengutarakan semua masalahnya agar
pekerja sosial mengetahui dan tidak salah dalam memberikan pertolongan.
Tujuan ventilation adalah untuk menjernihkan emosi yang tertekan karena
dapat menjadi penghalang bagi gerakan positif klien.
e. Support
Support merupakan teknik memberikan semangat, menyokong dan
mendorong aspek-aspek dari fungsi klien, seperti kekuatan-kekuatan
internalnya, cara berperilaku dan hubungannya dengan orang lain. Sebaiknya
pekerja sosial menyatakan terlebih dahulu aspek-aspek yang positif sebelum
menyatakan aspek-aspek negatif dari situasi yang dialami klien.
BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil pembahasan, maka dapat ditarik kesimpulan; perceraian


orang tua disebabkan karena lima faktor yaitu faktor ekonomi, perbedaan status sosial,
perselingkuhan, tidak mendapat restu orang tua, kekerasan dalam rumah tangga
(KDRT), dan menikah diusia dini. Anak yang mengalami perceraian orang tua akan
mengalami perubahan besar dalam hidupnya. Perubahan tersebut membawa dampak
yang apabila tidak ditangani dengan baik akan membawa dampak yang negatif.

Pada kasus J, dia mengalami tekanan psikologis yang menyebabkan interaksi


dengan lingkungan sosialnya tergantung. Model dan teknik dalam metode casework
yang dapat digunakan untuk membantu permasalah J adalah sebagai berikut: model
psikososial, model intervensi keluarga, teknik asosiasi bebas, teknik pekerja sosial
sebagai analisis dan penafsiran retensi, small talk, ventilation, dan support.
DAFTAR PUSTAKA

Adi, Isbandi Rukminto. 2004. Ilmu Kesejahteraan Sosialdan Pekerja Sosial. Jakarta:
FISIP UI press.
Aipassa. Social Case Work a Problem Solving Process. 1999. Bandung: Koperasi
Mahasiswa Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial Bandung.

Berita Jateng (April, 2016). Ekonomi, Penyebab Tingginya Perceraian di


Karanganyar. Sumber: http://beritajateng.net/ekonomi-penyebab-tingginya-
perceraian-di-karanganyar/ diakses pada 18 April 2018.
Desmita.2015.Psikologi Perkembangan. Cetakan kesembilan. Bandung: PT
Remaja Rosdakarya.
Matondang, A. 2014. Faktor-faktor yang Mengakibatkan Perceraian di Desa
Harapan Kecamatan Tanah Pinem Kabupaten Dairi. Jurnal Ilmu Pemerintahan
dan Sosial Politik. 2 (2): 141-150.

Anda mungkin juga menyukai