Anda di halaman 1dari 50

MAKALAH IMUNOSEROLOGI II

SIFILIS

DISUSUN OLEH :
Della Yuliantizar (PO.71.34.1.20.008)

DOSEN PEMBIMBING :
1. Hamril Dani, AMAK, S.Pd, M.Kes
2. Drs.Refai, M.Kes
3. Yusneli, AMAK, S.Pd, M.Kes
4. Sri Sulpha Siregar, S.St, M.Biomed

POLTEKKES KEMENKES PALEMBANG


JURUSAN TEKNOLOGI LABORATORIUM MEDIS
PRODI D-III TEKNOLOGI LABORATORIUM MEDIS
TAHUN AKADEMIK 2022/2023
KATA PENGANTAR
Dengan puji syukur atas kehdirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat
dan karuniamya sehingga penulis dapat menyalesaikan makalah ini dengan baik.
Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah Imunoserologi II dengan
bahan kajian Sifilis.
Tidak lupa penulis memohon maaf apabila terdapat kesalahan dalam
pembuatan makalah ini, baik yang disengaja maupun tidak disengaja. Penulis
mengucapkan terimakasih kepada pihak-pihak yang telah membimbing penulis untuk
menyelesaikan makalah ini.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata kesempurnaan dan
masih membutuhkan perbaikan, oleh sebab itu penulis sangat membutuhkan saran
dan kritik dari dosen dan teman-teman untuk melengkapi makalah ini demi untuk
menambah pengetahuan kita bersama tentang sifilis.

Palembang, 27 Oktober 2022


Penyusun

Della yuliantizar
(PO.71.34.1.20.008)

i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..................................................................................................i

DAFTAR ISI................................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN............................................................................................1

1.1. Landasan Teori.................................................................................................1

1.2. Rumusan Masalah............................................................................................1

1.3. Tujuan................................................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN.............................................................................................3

2.1. Defenisi..............................................................................................................3

2.2. Epidemiologi......................................................................................................3

2.3. Etiologi...............................................................................................................4

2.4. Pathogenesis......................................................................................................4

2.5. Gejala Dan Tanda-Tanda Sifilis......................................................................7

2.6. Stadium Sifilis...................................................................................................8

2.6.1. Sifilis Stadium Primer...............................................................................9

2.6.2. Sifilis Stadium Sekunder........................................................................10

2.6.3. Sifilis Laten..............................................................................................12

2.6.4. Sifilis Stadium Tersier............................................................................12

2.7. Diagnosis..........................................................................................................15

2.8. Komplikasi......................................................................................................15

ii
2.9. Pencegahan......................................................................................................16

2.10. Pengobatan..................................................................................................17

2.11. Tindak Lanjut Pengobatan Sifilis..............................................................17

2.12. Pemeriksaan Sifilis......................................................................................18

2.12.1. Pemeriksaan Sediaan Langsung.........................................................18

2.12.2. Uji Serologis Sifilis...............................................................................18

2.12.3. Tes Diagnostic Cepat (Rapid Diagnostic Test)..................................20

BAB III PENUTUP...................................................................................................22

3.1. Kesimpulan......................................................................................................22

DAFTAR PUSTAKA................................................................................................23

iii
BAB I PENDAHULUAN

1.1. Landasan Teori


Sifilis merupakan salah satu IMS (infeksi menular seksual) yang
menimbulkan kondisi cukup parah misalnya infeksi otak (neurosifilis),
kecacatan tubuh (gumma). Pada populasi ibu hamil yang terinfeksi sifilis, bila
tidak diobati dengan adekuat, akan menyebabkan 67% kehamilan berakhir
dengan abortus, lahir mati, atau infeksi neonatus (sifilis kongenital).1 Sifilis
dapat bermanifestasi lokal dan sistemikberbetuk bermacam-macam dan dapat
menyerupai banyak penyakit sehingga sering disebut sebagai “thegreat
imitator” atau “thegreatimpostor”. Dalam perjalanannya, sifilis kadang dapat
dikenali karena pada sebagain besar infeksi berlangsung silent, dapat diselingi
dengan periode laten tanpa gejala, dan dapat hilang sendiri walau tidak
mendapat pengobatan.2 Walaupun telah tersedia teknologi yang relatif
sederhana dan terapi efektif dengan biaya yang sangat terjangkau, sifilis masih
merupakan masalah kesehatan masyarakat yang meluas di berbagai negara di
dunia. Bahkan sifilis masih merupakan penyebab utama morbiditas dan
mortalitas perinatal di banyak negara.

1.2. Rumusan Masalah


1. Apakah defenisi dari sifilis?
2. Apa epidemiologi dari sifilis?
3. Apakah etiologi dari sifilis?
4. Apakah Pathogenesis dari sifilis?
5. Apa sajakah Gejala dan tanda-tanda dari sifilis?
6. Apakah Pathogenesis dari sifilis?
7. Apakah diagnosis dari sifilis?
8. Bagaimana komplikasi dari sifilis?
9. Bagaimana cara pencegahan dari sifilis?
1
10. Bagaimana pengobatan dari sifilis?
11. Apa saja pemeriksaan sifilis?

1.3. Tujuan
1. Untuk mengetahui defenisi dari sifilis
2. Untuk mengetahui epidemiologi dari sifilis
3. Untuk mengetahui etiologi dari sifilis
4. Untuk mengetahui pathogenesis dari sifilis
5. Untuk mengetahui apa sajakah gejala dan tanda-tanda dari sifilis
6. Untuk mengetahui pathogenesis dari sifilis
7. Untuk mengetahui diagnosis dari sifilis
8. Untuk mengetahui komplikasi dari sifilis
9. Untuk mengetahui bagaimana cara pencegahan dari sifilis
10. Untuk mengetahui bagaimana pengobatan dari sifilis
11. Untuk mengetahui apa saja pemeriksaan sifilis

2
BAB II PEMBAHASAN

2.1. Defenisi
Penyakit sifilis adalah infeksi sistemik yang disebabkan oleh
Treponemapallidum (T.pallidum), yang terutama ditularkan melalui hubungan
seksual. Sifilis secara khas ditandai dengan periode aktif yang disela oleh
periode infeksi laten. Tidak seperti penyakit infeksi lainnya, sifilis jarang
didiagnosis berdasarkan penemuan kuman penyebab dari pemeriksaan
langsung. Diagnosis sifilis terutama didasarkan pada reaksi serologis terhadap
treponema.

2.2. Epidemiologi
Diseluruh belahan dunia hingga saat ini sifilis tetap merupakan
masalah kesehatan utama. Angka kejadian infeksi baru (insiden) diperkirakan
112 juta per tahun di seluruh dunia, terutama di Afrika, Amerika Selatan,
China, dan Asia Tenggara. Di Asia Tenggara diperkirakan terjadi 4 juta
infeksi baru per tahun. Kejadiannya akhir-akhir ini meningkat di negara-
negara Eropa terutama pada kelompok Lelaki Suka sama Lelaki (LSL).
Penularan sifilis dari ibu hamil ke bayinya menyebabkan sifilis kongenital
yang merupakan 50% penyebab bayi lahir mati. Tiap tahun diperkirakan
terjadi 500 ribu dan 1,5 juta sifilis kongenital3,4. Survey Terpadu Biologi dan
Perilaku (STBP) tahun 2011 di Indonesia juga melaporkan prevalensi sifilis
masih cukup tinggi. Pada populasi waria, prevalensi sifilis sebesar 25%,
WPSL (wanita penjaja seks langsung) 10%, LSL (lelaki yang berhubungan
seks dengan lelaki) 9%, warga binaan lembaga pemasyarakatan 5%, pria
berisiko tinggi 4%, WPSTL (wanita penjaja seks tidak langsung) 3% dan
penasun (pengguna narkoba suntik) 3%.

3
2.3. Etiologi
T.pallidum merupakan anggota genus Spirochaetasmemiliki 4 spesies
yang pathogen terhadap manusia dan hewan. Spesies Leptospira
menyebabkan leptospirosis. Spesies Borella menyebabkan relapsingfever dan
lymedisease. Spesies Brachyspira yang menyebabkan infeksi usus, serta
spesies Treponema yang secara umum menyebabkan segolongan penyakit
yang dsebuttreponematoses. Spesies Treponema terdiri lagi dari beberapa sub-
spesies yang dapat menyebabkan penyakit pada manusia, diantaranya :
1. T.pallidum sub sp.pallidum yang menyebabkan sifilis;
2. T.pallidum sub sp.pertenue yang menyebakanyaws;
3. T.pallidum sub sp.endemicum yang menyebabkan endemicsyphilis (bejel)
4. T.pallidum sub sp.carateum yang menyebabkan penyakit pinta.
Dari keempat sub species Treponema di atas, hanya sifilis yang
merupakan peyakit kelamin.
T.pallidumsubspeciespallidum berbentuk spiral tipis, mempunyai sel
yang dibungkus membranetrilaminarcytoplasmi, yang terdiri dari lapisan
peptidoglikan serta lipidrichoutermembrane yang hanya memiliki sedikit
protein sehingga berguna untuk menghindari deteksi sistem imun. Untuk
mobilisasi organisme ini memiliki endoflagella.
T.pallidum tidak dapat dikultur secara invitro. Memiliki beberapa gen
yang bertanggung jawab pada transport asam amino, karbohidrat dan
elektrolit. Organisme ini memiliki singlecirculargeome yang stabil tanpa
elemen yang mudah berpindah-pindah seperti bakteri lain. Hal ini
menyebabkan organisme ini sulit bermutasi dan mungkin dapat menjelaskan
rendahnya kejadian resistensi antibiotika pada sifilis.

2.4. Pathogenesis
Sifilis terutama menular melalui kontak seksual baik melalui vaginal,
anal, atau oral. Metode penularan lainnya yang lebih jarang adalah berciuman,
4
berbagi jarum suntik yang tidak aman, transfusi darah, needlestickinjury, dan
cangkok organ. Secara klasiksifilis menyebabkan penyakit yang terbagi dalam
beberapa stadium :
1. masa inkubasi tanpa gejala.
2. sifilis primer yaitu timbulnya lesi primer pada tempat inokulasi pertama.
3. sifilis sekunder yang terjadi akibat penyebaran kuman ke seluruh tubuh
dengan berbagai manifestasi klinik.
4. Stadium klinis atau laten yang dapat berlangsung hingga bertahun-tahun
dan hanya dapat dideteksi melalui pemeriksaan serologis.
5. sifilis tersier, stadium akhir dari sifilis berupa penyakit progresif yang
melibatkan susunan saraf pusat, pembuluh darah besar, dana atau
pembentukan gumma yang dapat terjadi pada semua organ.

Sifilis primer, sekunder, dan laten awal merupakan stadium yang


sangat menular, dengan resiko penularan sebesar 60%. Kontak langung
dengan lesi kulit sifilis primer atau sekunder merupakan penularan
terbanyak. Pada stadium laten awal, kemungkinan penularan menurun
hingga sekitar 25%. Bayi baru lahir tertular sifilis akibat infeksi dalam
rahim, tetapi bayi dapat juga tertular akibat kontak dengan lesi genital ibu
pada saat persalinan. Risiko penularan dari wanita dengan sifilis primer
atau sekunder yang tidak mendapat pengobatan adalah sekitar 70- 100%.
Risiko ini menurun hingga 40% bila ibu hamil berada pada stadium laten
awal dan 10% pada stadium laten lanjut atau sifilis tersier. Empat puluh
persen kehamilan pada wanita dengan sifilis menyebabkan kematian janin.
Secara teoritis, sifilis dapat menular melalui air susu ibu (ASI) dari ibu
dengan sifilis primer atau sekunder walaupun hal ini jarang ditemukan.
Saat penularan T.pallidum dapat menembus membran mukosa
mukosa utuh atau kulit dengan mikroabrasi. Dalam beberapa jam pertama
akan memasuki jaringan limfatik dan aliran darah yang akan menimbulkan

5
gejala infeksi sistemik dan fokus metastatik sebelum timbulnya lesi
primer. T.pallidum membelah diri setiap 30 hingga 33 jam. Darah dari
penderita dalam masa inkubasi dan sifilis stadium awal sangat menular.
Lamanya masa inkubasi berbanding terbalik dengan jumlah
inoculumTreponema. Semakin banyak jumlah Treponema yang
terinokulasi, maka semakin pendek masa inkubasinya. Masa inkubasi rata-
rata berlangsung 3 minggu sejak inokulasi pertama dan jarang berlangsung
sampai lebih dari 6 minggu.
Menandai stadium sifilis primer, muncul lesi primer pada tempat
inokulasi yang disebut canchre. Canchre biasanya bertahan dalam waktu
4-6 minggu dan kemudian sembuh sendiri. Pemeriksaan histopatologis
pada Canchre menemukan infiltrasi masif perivaskular terutama oleh sel
limfosit CD4 dan CD8, sel plasma, serta makrofag. Ditemukan juga
proliferasi endotel kapiler dan obliterasi pembuluh-pembuluh darah kecil.
Gejala-gejala konstitusi dan mukokutan sifilis sekunder muncul antara 6-8
minggu setelah lesi primer menyembuh. Lima belas persen penderita
mengalami sifilis sekunder pada saat lesi primer masih ada. Tetapi pada
beberapa penderita paska lesi primer, sifilis sekunder tidak ditemukan dan
penderita langsung masuk dalam stadium sifilis laten. Gambaran
histopatologis lesi sifilis sekunder meliputi hiperkeratosis epidermis,
proliferasi kapiler disertai dengan pembengkakkan endotel dan infiltrasi
perivaskular oleh limfosit CD4 dan CD8, sel plasma, serta makrofag.
Treponema dapat ditemukan pada jaringan termasuk cairan serebrospinal
dan humor aquespada mata. Invasi Treponema pada susunan saraf pusat
(SSP) terjadi pada minggu pertama infeksi dan kelainan pada SSP
ditemukan pada 40% penderita sifilis sekunder.
Hepatitis dan glomerulonephritis dapat terjadi pada sifilis sekunder
walaupun jarang. Gangguan fungsi hati ditemukan hingga 25% pada
penderita sifilis primer. Pembesaran kelenjar getah bening (KGB)

6
generalisata terjadi pada 85% penderita sifilis sekunder. Lesi sifilis
sekunder biasanya hilang sendiri dalam 2-6 minggu dan sifilis memasuki
stadium laten yang hanya dapat dikenali dengan menggunakan tes
serologis. Stadium laten dapat diselang-seling oleh beberapa episode
kekambuhanmukokutan pada tahun-tahun pertama. Sekitar satu dari tiga
penderita sifilis yang tidak diobati dan melewati masa laten akan
memasuki stadium sifilis tersier. Pada stadium akhir ini manifestasi yang
sering ditemukan adalah gumma, sifilis pada sistem kardiovaskular, dan
neorosifilis lanjut. Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya sifilis
tersier hingga saat ini belum banyak diketahui. Kematian akibat sifilis
terutama terjadi sifilis tersier.

2.5. Gejala Dan Tanda-Tanda Sifilis


Setelah masa inkubasi antara 2-6 minggu lesi primer muncul, sering
disertai dengan limfadenopati regional. Pada sifilis sekunder, dapat ditemukan
lesi mukokutan dan limfadenopatigeneralisata yang diikuti dengan periode
laten infeksi subklinis yang berlangsung bertahun-tahun. Keterlibatan SSP
dapat terjadi pada saat awal dan dapat asimtomatik atau simtomatik. Pada
kurang lebih 1/3 kasus yang tidak diobati, berlanjut menjadi stadium 3, yang
ditandai dengan gejala destruktif mukokutan, musculoskeletal atau lesi
parenkimal, aortitis atau manifestasi SSP lanjut. Pada penderita HIV, gejala
dan tanda-tanda di bawah ini menjadi tidak jelas.

Standar Manifestasi klinis Durasi

Primer Ulkus/luka/tukak, biasanya soliter, tidak 3 minggu


nyeri, batasnya tegas, ada indurasi dengan
pembesaran KGB regional (limfadenopati)

Sekunder Bercak merah polimorfik biasanya di telapak 2-12 minggu

7
tangan dan telapak kaki, lesi kulit
papuloskuamosa dan mukosa, demam,
malaise, limfa denopati generalisata,
kondiloma lata, patchyalopecia, meningitis,
uveitis, retinitis

Laten Asimtomatik  Dini < 1 tahun

 Lanjut > 1
tahun

Tersier  Gumma Sifilis kardiovaskular : Destruksi  1-46 tahun 10-


jaringan di organ dan lokasi yang 30 tahun
terinfeksi Aneurisma aorta, regurgitasi
aorta, stenosisosteum
 >2 tahun-20
 Neurosifilis : Bervariasi dari asimtomatis
tahun
sampai nyeri kepala, vertigo, perubahan
kepribadian, demensia, ataksia, pupil
Argyll Robertson

2.6. Stadium Sifilis


Sifilis dalam perjalanannya dibagi menjadi tiga stadium yaitu sifilis
stadium primer, sekunder dan tersier yang terpisah oleh fase laten dimana
waktu bervariasi, tanpa tanda klinis infeksi. Interval antara stadium primer dan
sekunder berkisar dari beberapa minggu sampai beberapa bulan. Interval
antara stadium sekunder dan tersier biasanya lebih dari satu tahun.

2.6.1. Sifilis Stadium Primer


Lesi awal sifilis berupa papul yang muncul di daerah genitalia
kisaran tiga minggu setelah kontak seksual. Papul membesar dengan
8
ukuran 0,5 – 1,5 cm kemudian mengalami ulserasi, membentuk ulkus.
Ulkus sifilis yang khas berupa bulat, diameter 1-2 cm , tidak nyeri,
dasar ulkus bersih tidak ada eksudat, teraba indurasi, soliter tetapi
dapat juga multipel. Hampir sebagian besar disertai pembesaran
kelenjar getah bening inguinal medial unilateral atau bilateral.
Munculnya chancre menandai stadium sifilis primer. Chancre
timbul pada tempat inokulasi pertama T.pallidum. Pada pria LSL,
chancredapat ditemukan pada penis, rectum atau mulut. Pada wanita
chancre bisa ditemukan pada labia dan serviks. Hal ini menyebabkan
sifilis primer pada wanita dan pria LSL lebih sulit ditemukan daripada
pada pria heteroseksual. Chancre biasanya berupa papula tunggal yang
tidak nyeri, cepat terkikis dan berindurasi. Dasar chancrebiasanya
halus, pinggirnya lebih tinggi dan teraba kenyal. Tanpa infeksi
sekunder, chancre tampak bersih tanpa eksudat.
Variasi bentuk lesi tergantung dari status imunologis penderita
terhadap Treponema dan jumlah Treponema yang berinokulasi.
Inokulum berjumlah besar akan menyebabkan lesi ulseratif pada
pederita yang nonimun, tetapi dapat menyebabkan lesi
papulaasimtomatik pada penderita yang telah berada pada stadium laten
sifilis. Inokulum kecil dapat hanya menimbulkan lesi berbentuk papula
pada penderita yang nonimun. Oleh karena itu, sifilis tetap harus
dipertimbangkan pada lesi genital yang tidak khas. Diagnosis banding
lesi primer sifilis meliputi lesi yang disebabkan infeksi virus herpes
simpleks, chancroid, regional (inguinal) biasa terjadi dalam 1 minggu
pertama timbulnya chancre. Chancre hilang sendiri dalam waktu 4-6
minggu (rentang 2-12 minggu) tetapi limfadenopati dapat bertahan
hingga beberapa bulan.

9
2.6.2. Sifilis Stadium Sekunder
Manifestasi akan timbul pada beberapa minggu atau bulan,
muncul gejala sistemik berupa demam yang tidak terlalu tinggi, malaise,
sakit kepala, adenopati, dan lesi kulit atau mukosa. Lesi sekunder yang
terjadi merupakan manifestasi penyebaran Treponema pallidum secara
hematogen dan limfogen. Manifestasi klinis sifilis sekunder dapat
berupa berbagai ruam pada kulit, selaput lendir, dan organ tubuh. Lesi
kulit biasanya simetris, dapat berupa makula, papula, folikulitis,
papuloskuamosa, dan pustul, jarang disertai keluhan gatal. Lesi dapat
ditemukan di trunkus dan ekstermitas, termasuk telapak tangan dan
kaki. Papul biasanya merah atau coklat kemerahan, diskret, diameter 0,5
– 2 cm, umumnya berskuama tetapi kadang licin. Lesi vesikobulosa
dapat ditemukan pada sifilis kongenital.

Maifestasi sifilis sekunder adalah lesi mukokutan dan


limfadenopatigeneralisata yang tidak terasa nyeri. Pada 15% kasus,
kejadian sifilis sekunder overlapping dengan sifilis primer, terutama
pada penderita HIV. Lesi mukokutaneus dapat berupa ruam yang
berbentuk makula, papula, papulaskuamosa atau pustularsyphilides.
Beberapa bentuk dapat terjadi bersamaan. Ruam yang ringan kadang
tidak disadari penderita dapat ditemukan hingga 25%. Makula muncul
pertama kali pada tubuh dan ekstremitas proksimal, berwarna merah
atau merah muda yang tidak terasa gatal. Makula ini kemudian berubah
menjadi papula yang tersebar keseluruh tubuh termasuk telapak tangan
dan kaki. Lesi nekrotik yang dikenal sebagai lues maligna sering juga
ditemukan pada penderita HIV. Penyebaran lesi sekunder pada folikel
rambut menyebabkan kebotakan pada rambut, alis ataupun jenggot pada
5% kasus.

10
Pada daerah lipatan kulit yang lembab dan hangat seperti daerah
perianal, vulva dan skrotum, papula dapat membesar hingga
berbentukpapula lebar yang lembab berwarna merah muda atau putih
keabu-abuan yang disebut condyloma lata. Condyloma lata sangat
menular dan terjadi pada 10% penderita sifilis sekunder. Erosi mukosa
superfisial atau mucouspatches terjadi pada 10-15% kasus dan terutama
terjadi pada mukosa oral dan genital. Mucouspatches berwarna abu-abu
dan pinggir yang kemerahan dan tidak terasa nyeri.

Gejala-gejala konstitusional dapat mendahului atau menyertai


sifilis sekunder, diantaranya adalah nyeri menelan (15-30%), demam (5-
8%), penurunan berat badan (2-20%), lemah badan (25%), anoreksia (2-
10%), nyeri kepala (10%), dan meningismus (5%). Meningitis akut
ditemukan pada 1-2% kasus, tetapi kelainan cairan SSP dapat
ditemukan hingga 40%. T.pallidum dapat ditemukan pada cairan SSP
penderita sifilis primer dan sekunder hingga 30%. Gejala dan tanda
yang lebih jarang ditemukan pada sifilis sekunder meliputi hepatitis,
nefropati, keterlibatan gastrointestinal, artritis, dan periostitis. Gangguan
mata yang dapat ditemukan adalah kelainan pupil dan neuritis optic
selain iritis dan uveitis. Uveitis anterior ditemukan pada 5-10% kasus
dengan sifilis sekunder dan T.pallidum dapat ditemukan pada cairan
aqueos. Hepatitis biasanya asimtomatik, glomerulonephritis terjadi
akibat deposit kompleks imun dan menyebabkan proteinuria yang dapat
berujung pada sindromanefrotik. Seperti juga sifilis primer, manifestasi
sifilis sekunder menghilang sendiri dalam waktu 1-6 bulan.

11
Bercak kemerahan di kaki dan tagan, sifilis sekunder

2.6.3. Sifilis Laten


Sifilis laten yaitu apabila pasien dengan riwayat sifilis dan
pemeriksaan serologis reaktif yang belum mendapat terapi sifilis dan
tanpa gejala atau tanda klinis. Sifilis laten terbagi menjadi dini dan
lanjut, dengan batasan waktu kisaran satu tahun. Dalam perjalanan
penyakit sifilis akan melalui tingkat laten, selama bertahun-tahun atau
seumur hidup. Tetapi bukan bearti penyakit akan berhenti pada tingkat
ini, sebab dapat berjalan menjadi sifilis tersier.

2.6.4. Sifilis Stadium Tersier


Sifilis tersier terdiri dari tiga grup sindrom yang utama yaitu
neurosifilis, sifilis kardiovaskular, dan sifilis benigna lanjut. Pada
12
perjalanan penyakit neurosifilis dapat asimptomatik dan sangat jarang
terjadi dalam bentuk murni. Pada semua jenis neurosifilis, terjadi
perubahan berupa endarteritis obliterans pada ujung pembuluh darah
disertai degenerasi parenkimatosa yang mungkin sudah atau belum
menunjukkan gejala saat pemeriksaan.
1. Neurosifilis
Neurosifilis mempunyai 3 bentuk simtomatik yaitu
meningeal, meningovaskular dan sifilis parenkimal. Paraplegia
(Erb’sparalysis) dan tabesdorsalis termasuk kelompok yang
terakhir. Sifilis meningovaskular terjadi setelah 10 tahun, dan
tabesdorsalis terjadi setelah 25 tahun. Dengan kemajuan
pengobatan, gambaran neurosifilis tidak lagi khas.2 Sifilis
meningeal mempunyai manifestasi sakit kepala, mual, dan muntah,
kaku kuduk, kelumpuhan syaraf kranial, kejang dan perubahan
status mental. Sifilis meningeal dapat terjadi berbarengan dengan
sifilis sekunder.
Penderita sifilis dengan uveitis, iritis atau gangguan
pendengaran sering juga mengalami sifilis meningeal. Sifilis
meningovaskular adalah meningitis yang disertai vaskulitis pada
pembuluh darah otak kecil sampai besar. Gambaran klinis yang
paling sering ditemukan adalah stroke yang melibatkan pembuluh
darah otak pada dewasa muda. Berbeda dengan stroke akibat
trombus atau emboli yang berlangsung mendadak, stroke akibat
sifilis meningovaskular sering didahului oleh keluhan sakit kepala,
vertigo, insomnia dan gangguan psikologis yang diikuti oleh gejala
vaskular yang progresif. Kerusakan parenkim yang luas akibat
neurosifilis lanjut akan menyebabkan gejala kelumpuhan umum
dan termasuk di dalamnya adalah paresismneumonik perilaku,
afektif, reflex hiperaktif, mata (ArgyllRobertsonpupils, pupil kecil

13
irregular), sensorium (delusi, ilusi, halusinasi), intelektual
(penurunan memori dan kapasitas untuk orientasi, kalkulasi,
judgement dan insight), dan kemampuan berbicara. Tobesdorsalis
adalah maifestasi lanjut akibat demielinisasikoluma posterior,
dorsal root dan ganglia dorsal root.
Gejalanya berupa gait lebar dan foot drop, paresthesia,
gangguan miksi, impotensi, areflexia dan kehilangan sensasi posisi,
nyeri dalam dan suhu. Degenerasi sendi (Charcoat’sjoint) dan
ulkus pada tungkai dapat terjadi akibat kehilangan sensasi nyeri.
2. Sifilis kardiovaskular
Sifilis kardiovaskular disebabkan terutama karena nekrosis
aorta yang berlanjut ke katup. Tanda-tanda sifilis kardiovaskuler
adalah insufisiensi aorta atau aneurisma, berbentuk kantong pada
aorta torakal. Bila komplikasi ini telah lanjut, akan sangat mudah
dikenal. Sifilis kardiovaskular yang terjadi 10-40 tahun setelah
infeksi, diakibatkan oleh endarteresisobliterans pada vasavasorum
yang memberi aliran darah pada pembuluh darah besar.
Keterlibatan kardiovaskular dapat berbentuk aortitis,
aorticregurgitation, saccularaneurisma pada aorta ascendens atau
stenosis arteri coroner.

3. Sifilis benigna lanjut atau gumma


Sifilis benigna lanjut atau gumma merupakan proses
inflamasi proliferasi granulomatosa yang dapat menyebabkan
destruksi pada jaringan yang terkena. Disebut benigna sebab jarang
menyebabkan kematian kecuali bila menyerang jaringan otak.
Gumma mungkin terjadi akibat reaksi hipersensitivitas infeksi
Treponema palidum. Lesi sebagian besar terjadi di kulit dan tulang.
Lesi pada kulit biasanya soliter atau multipel, membentuk
14
lingkaran atau setengah lingkaran, destruktif dan bersifat kronis,
penyembuhan di bagian sentral dan meluas ke perifer. Lesi pada
tulang biasanya berupa periostitis disertai pembentukan tulang atau
osteitis gummatosa disertai kerusakan tulang. Gejala khas ialah
pembengkakan dan sakit. Lokasi terutama pada tulang kepala,
tibia, dan klavikula. Pemeriksaan serologis biasanya reaktif dengan
titer tinggi.

2.7. Diagnosis
Diagnosis sifilis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik,
pemeriksaan laboratorium dan juga radiologi. Pemeriksaan laboratorium yang
tersedia adalah pemeriksaan sediaan langsung (misalnya mikroskop lapangan
gelap, direct fluorescent antibody test dan nucleic acid amplification test),
serologi (treponemal dan non treponemal test) dan pemeriksaan cairan
serebrospinal. Yang termasuk kelompok resiko tinggi adalah:
1. Kontak seksual dengan penderita sifilis, termasuk kelompok risiko tinggi
(LSL, PSK, waria) yang termasuk juga diantaranya gelandangan dan
pengguna narkoba suntik (penasun).
2. Penderita dengan partner seksual multiple.
3. Penderita dengan infeksi HIV, dan penyakit menular seksual lainnya.

2.8. Komplikasi
Selain berbagai manifestasi yang muncul akibat kerusakan pada
seluruh organ tubuh, terutama pada sifilis tersier, sifilis juga menyebabkan
peningkatan kemungkinan penularan HIV hingga 2-5 kali. Lesi siflis mudah
berdarah sehingga memudahkan penularan virus HIV saat melakukan
hubungan seksual2 Penularan sifilis dari ibu ke bayi pada saat kehamilan juga

15
akan meningkatkan risiko keguguran dan kematian bayi beberapa hari setelah
melahirkan.

2.9. Pencegahan
Tidak ada vaksin untuk sifilis. Segala jenis aktivitas seksual
merupakan faktor resiko penularan sifilis. Walaupun kontak langsung dengan
lesi aktif merupakan faktor resiko utama, tidak selalu lesi dapat terlihat
sehingga semua penderita sifilis dianggap mempunyai potensi menularkan
sifilis dan harus menggunakan hubungan seksual yang aman. Penderita
asimtomatik yang memerluka kontrasepsi harus diberikan pengertian
mengenai efikasibarrier untuk mencegah transmisi nfeksi menular seksual dan
juga HIV. Pasien ini juga harus diberikan konseling tentang pengurangan
perilaku beresiko. Konseling ini juga memberi pengetahuan tentang perlunya
abstinensia seksual, pengurangan jumlah partner seksusal, dan hubungan
seksual aman.
Pada penderita sifilis stadium primer, sekunder atau laten awal;
abstinensia seksual pada penderita dan partner seksualnya dianjurkan hingga
terapi pada keduanya selesai dan respons serologis yang memuaskan dicapai
setelah pengobatan. Sifilis dapat menular dari ibu hamil ke anaknya sehingga
tes rutin skrining sifilis merupakan hal penting yang harus dilakukan pada
setiap kehamilan.
Partner notification yang bertujuan mnemukan kontak seksual
penderita sifilis dan memberikan pengobatan dini harus dilakukan oleh
petugas terlatih. Pengobatan dini pada semua kontak seksual sifilis dini
dengan 2,4 juta unit Benzatine Penisilin dapat dilakukan walaupun kontak
seksual tidak mempunyai kelainan serologis pada saat pemeriksaan karena
sifilis dapat terjadi pad 30% kontak seksual yang tes serolgisnya negatif.
Pengobatan kontak dianjurkan dilakukan pada semua kasus yang kontak
seksual dengan penderita sfilis dini dalam 90 hari terakhir.

16
2.10. Pengobatan
Pengobatan pada sifilis primer dan sekunder memberikan hasil yang
sangat baik. Kegagalan terapi hanya masih ditemukan pada penderita HIV.
Penderitatabesdorsalis tidak akan membaik tetapi progresivitas penyakit akan
berkurang dengan pengobatan sifilis. Sifilis kardiovaskular juga memberikan
respon yang baik dengan pengobatan sifilis walaupun infark iskemik masih
dapat ditemukan.

2.11. Tindak Lanjut Pengobatan Sifilis


Kondisi klinis pasien perlu dinilai kembali dan diupayakan untuk
mendeteksi kemungkinan terjadinya reinfeksi dalam periode tahun pertama
sesudah pengobatan. Pasien sifilis dini yang telah mendapat pengobatan
benzatin benzilpenisilin dengan dosis dan cara adekuat, harus dievaluasi
kembali secara klinis dan serologis sesudah tiga bulan pengobatan dengan
menggunakan uji VDRL. Evaluasi kedua dilakukan sesudah enam bulan, dan
bila ada indikasi berdasarkan hasil pemeriksaan pada bulan ke enam tersebut,
dapat dievaluasi kembali sesudah bulan ke-12 untuk dilakukan penilaian
kembali kondisi pasien dan mendeteksi kemungkinan adanya reinfeksi.
Semua pasien dengan sifilis kardiovaskular dan neurosifilis dipantau
selama beberapa tahun. Tindak lanjut yang dilaksanakan meliputi hasil
penilaian klinis penyakit, serologis, cairan serebrospinal, dan radiologis.
Pengobatan ulang pasien pada semua stadium penyakit perlu
dipertimbangkan jika tanda-tanda atau gejala klinis sifilis aktif tetap ada atau
kambuh kembali, terdapat peningkatan titer nontreponema atau VDRL tes
sampai empat kali pengenceran dan titer tes VDRL awal yang tinggi (VDRL
1:8 atau lebih) dan menetap dalam setahun. Pemeriksaan cairan serebrospinal
dilakukan sebelum pengobatan ulang dilakukan, kecuali pada kasus reinfeksi
dan diagnosis sifilis stadium awal dapat dipastikan.

17
Pengobatan ulang sifilis dilakukan sesuai dengan rejimen yang telah
ditetapkan untuk sifilis yang telah berlangsung lebih dari dua tahun.
Umumnya hanya satu pengobatan ulang diperlukan karena pengobatan yang
diberikan secara adekuat akan menunjukkan kemajuan bila dipantau dengan
tes nontreponema yang tetap menunjukkan titer rendah.

2.12. Pemeriksaan Sifilis


2.12.1. Pemeriksaan Sediaan Langsung
Pada sifilis primer, sekunder, dan tersier; pemeriksaan
langsung apusan dari lesi mukokutan dengan menggunakan
mikroskop lapangan gelap atau pewarnaan immunofleresensi adalah
pemeriksaan yang tercepat untuk dapat menegakkan diagnosis.
Pemeriksaan pada chancre, condyloma lata dan mucouspatches
memberikan angka positif yang tinggi karena lesilesi ini mengandung
banyak trepoema. Walaupun demikian pemeriksaan langsung dari
kulit kering ataupun aspirasi KGB juga dapat memeberikan hasil
positif. Tidak dianjurkan membersihkan lesi dengan menggunakan
larutan antiseptic, sabun atau larutan bakterisidal sebelum
pengambilan bahan pemeriksaan, karena Treponema yang mati sulit
diidentifikasi; kecuali bila menggunakan pewarnaan
immunofluoreensi.

2.12.2. Uji Serologis Sifilis


Ada 2 macam pemeriksaan serologi pada sifilis, yaitu
pemeriksaan terhadap antibodi reaginic nonspesifik non treponemal
dan antibodi spesifik anti-treponemal. Pemeriksaan pertama lebih
murah, cepat dan mudah bila digunakan sebagai alat skrining pada
jumlah sampel yang besar, misalnya pada donor darah. Selain itu, tes
18
non-treponemal dapat digunakan untuk memantau aktivitas
pengobatan. Tes spesifik dapat memastikan adanya infeksi sifilis saat
ini atau pada masa lalu. Kedua tes ini biasanya digunakan bersama-
sama.
Tes serologis sifilis jarang memberikan hasil negatif palsu
kecuali pada orang tua. Tes non-treponemal, seperti VDRL
(venerreal disease research laboratory), memeriksa antibodi terhadap
komplek cardiolipin-lecithin-cholesterol yang dihasilkan oleh
interaksi antara T.pallidum dengan jaringan host. Tes ini mempunyai
positif semu yang tinggi sehigga hasil positif harus dilanjutkan
dengan tes treponema. VDRL merupakan tes standar untuk
pemeriksaan cairan serebrospinalis. Selain VDRL, yang termasuk
dalam tes non-treponemal adalah : rapid plasma reagin (RPR),
automated reagin test (ART) dan toluidine red unheated syphilis test
(TRUST). Tes non-treponemal dianggap positif bila titernya lebih
dari 1:4, mencapai nilai titer tertinggi pada sifilis sekunder dan late
awal, kemudian menurun sesudahnya. Seiring perjalanan waktu, 25%
penderita sifilis yang tidak mendapat pengobatan, tets non-
reponemalnya menjadi negative.
Fenomena prozone, yaitu reaksi serologis yang negative
walaupun kadar antibody tinggi, dapat terjadi pada 2% kasus
terutama pada sifilis sekunder dan wanita hamil. Pengenceran
bertahap pada baha pemeriksaan yang sama dapat menunjukkan
peninggian titer 4 kali.
Tes spesifik treponemal seperti FTA-abs (Flouresence
treponemal antibody-absobed) dan TPHA (Treponema pallidum
hemaglutination test) mendeteksi antibody terhadap antigen spesifik
T.pallidum. tes ini memerlukan standarisasi dalam pengerjaannya,
sehingga lebih sulit dan interpetasinya dapat bersifat subjektif. Test

19
ini harganya mahal sehingga tidak dapat digunakan sebagai alat
skrining masal dan memiliki nilai positif semu yang rendah, sehingga
tes ini berguna untuk tes konfirmasi pada penderita dengan tes non-
treponemal yang positif. Tes spesifik positif akan berlangsug seumur
hidup, tetapi 10% dapat menjadi negative setelah mendapat terapi
dini.
Tes lain untuk mendiagnosa sifilis adalah tes PCR yang
menggunakan antigen sifilis dan isolasi bakteri. PCR spesifik tetapi
tidak dapat membedakan Trepnema mati dan yang hidup, sedangkan
isolasi T.pallidum hanya dapat dilakukan pada hewan percobaan
karena T.pallidum tidak dapat tumbuh pada media buatan.
Keterlibatan SSP dapat didiagnosis dengan pleositosis (>5 sel darah
putih/uL), peningkatan protein (>45mg/dl) dan VDRL positif. Semua
penderita sifilis dengan gejala neurologi harus menjalani
pemeriksaan cairan SSP tanpa melihat stadium sifilisnya. Karena
penderita sifilis mempunyai risiko tinggi untuk terkena HIV dan juga
sebaliknya. Penderita HIV dan sifilis harus dievaluasi untuk
kemungkinan adanya neurosifilis.

2.12.3. Tes Diagnostic Cepat (Rapid Diagnostic Test)


Akhir-akhir ini, telah tersedia rapidtestuntuk sifilis yaitu
(TreponemaPallidum Rapid (TP Rapid)), menyediakan hasil antibodi
treponemal dalam 10-15 menit dan dapat dilakukan dalam
settingapapun karena tidak memerlukan penyimpanan berpendingin
atau peralatan laboratorium. Sensitivitas RDT berkisar antara 85% -
98% dan spesifisitas 93% sampai 98%, dibandingkan dengan TPHA
atau TPPA sebagai standar acuan.
Rapid testsifilis yang tersedia saat ini TP Rapid termasuk
kategori tes spesifik treponemayang mendeteksi antibodi spesifik

20
terhadap berbagai spesies treponema (tidak selalu T pallidum),
sehingga tidak dapat digunakan membedakan infeksi aktif dari
infeksi yang telah diterapi dengan baik. TP Rapid hanya
menunjukkan bahwa seseorang pernah terinfeksi treponema,namun
tidak dapat menunjukkan seseorang sedang mengalami infeksi aktif.
TP Rapid dapat digunakan hanya sebagai pengganti pemeriksaan
TPHA,dalam rangkaian pemeriksaan bersama dengan RPR.
Penggunaan TP Rapidtetap harus didahului dengan pemeriksaan
RPR. Jika hasil tes positif, harus dilanjutkan dengan memeriksa titer
RPR, untuk diagnosis dan menentukan pengobatan. Pemakaian TP
Rapid dapat menghemat waktu, namun harganya jauh lebih mahal
dibandingkan dengan TPHA. Bagi daerah yang masih mempunyai
TPHA konvensional/bukan rapid masih bisa digunakan.

21
BAB III PENUTUP

3.1. Kesimpulan
Hubungan seksual dapat menularkan berbagai macam penyakit, salah
satunya yaitu sifilis. Selain itu sifilis dapat ditularkan secara vertikal dari ibu
ke janin, melalui transfusi darah, alat kesehatan yang terkontaminasi dan
lainnya. Sifilis memiliki tiga stadium yaitu stadium primer, skunder dan
tersier. Diantara ketiga stadium tersebut terdapat stadium laten dimana tidak
menimbulkan gejala klinis namun pada pemeriksaan laboratorium
menunjukan hasil positif. Penegakan diagnosis sifilis dengan anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan penunjang pada
sifilis berupa pemeriksaan mikroskopis dan uji serologis. Pemberian antibiotik
untuk pengobatan berdasarkan stadium sifilis. Antibiotik yang digunakan
adalah antibiotik golongan penisilin, namun pada pasien dengan alergi
penisilin dapat menggunakan antibiotik golongan lain sebagai alternatif.

22
DAFTAR PUSTAKA
 Daili SF, dkk, Pedoman Tata LaksanaSifilisUntukPengendalianSifilis Di
LayananKesehatanDasar, Kementerian KesehatanRepublik Indonesia
DirektoratJenderalPengendalianPenyakitdanPenyehatanLingkungan, Tahun 2013
 Wicaksana R, Sifilis, dalamSetiati S (editor), Buku Ajar IlmuPenyakitDalam,
Edisi VI, Internal Publishing, Jakarta 2014, 803-811
 Peterman TA, Collins DE, Aral SO. Responding to the epidemics of syphilis
among men who have sex with men. Introduction to the special issue. Sex Transm
Dis 2005; 32: S1-3
 Peterman TA, Heffelfinger JD, Swint EB, Groseclose SL. The changing
epidemiology of syphilis. Sex Transm Dis 2005: 32: S4-10
 WHO Guidelines For The Treatment of Treponema pallidum (syphilis), 2016
MAKALAH IMUNOSEROLOGI II
HIV

DISUSUN OLEH :
Della Yuliantizar (PO.71.34.1.20.008)

DOSEN PEMBIMBING :
1. Hamril Dani, AMAK, S.Pd, M.Kes
2. Drs.Refai, M.Kes
3. Yusneli, AMAK, S.Pd, M.Kes
4. Sri Sulpha Siregar, S.St, M.Biomed

POLTEKKES KEMENKES PALEMBANG


JURUSAN TEKNOLOGI LABORATORIUM MEDIS
PRODI D-III TEKNOLOGI LABORATORIUM MEDIS
TAHUN AKADEMIK 2022/2023
KATA PENGANTAR

Dengan puji syukur atas kehdirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat
dan karuniamya sehingga penulis dapat menyalesaikan makalah ini dengan baik.
Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah Imunoserologi II dengan
bahan kajian HIV.
Tidak lupa penulis memohon maaf apabila terdapat kesalahan dalam
pembuatan makalah ini, baik yang disengaja maupun tidak disengaja. Penulis
mengucapkan terimakasih kepada pihak-pihak yang telah membimbing penulis untuk
menyelesaikan makalah ini.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata kesempurnaan dan
masih membutuhkan perbaikan, oleh sebab itu penulis sangat membutuhkan saran
dan kritik dari dosen dan teman-teman untuk melengkapi makalah ini demi untuk
menambah pengetahuan kita bersama tentang HIV.

Palembang, 27 Oktober 2022


Penyusun

Della yuliantizar
(PO.71.34.1.20.008)

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..................................................................................................i

DAFTAR ISI................................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN............................................................................................1

1.1. Landasan Teori.................................................................................................1

1.2. Rumusan Masalah............................................................................................1

1.3. Tujuan................................................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN.............................................................................................3

2.1. Defenisi..............................................................................................................3

2.2. Etiologi...............................................................................................................4

2.3. Klasifikasi..........................................................................................................5

2.4. Patogenesis........................................................................................................6

2.5. Kelompok Risiko...............................................................................................8

2.6. Manifestasi Klinis.............................................................................................8

2.7. Komplikasi......................................................................................................11

2.8. Cara Penularan...............................................................................................13

2.9. Pencegahan Penularan...................................................................................14

2.10. Pengobatan..................................................................................................15

2.11. Diagnosis......................................................................................................15
ii
BAB III PENUTUP...................................................................................................17

3.1. KESIMPULAN...............................................................................................17

DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................

iii
BAB I PENDAHULUAN

1.1. Landasan Teori


Virus imunodefisiensi manusia (bahasa Inggris : human
immunodeficiency virus; sering disingkat HIV) adalah dua
spesies lentivirus penyebab AIDS. Virus ini menyerang manusia dan
menyerang sistem kekebalan tubuh, sehingga tubuh menjadi lemah dalam
melawan infeksi. Jika virus ini terus menyerang tubuh, sistem pertahanan
tubuh kita akan semakin lemah. Tanpa pengobatan, seorang dengan HIV bisa
bertahan hidup selama 9-11 tahun setelah terinfeksi, tergantung tipenya.
Dengan kata lain, kehadiran virus ini dalam tubuh akan menyebabkan
penurunan sistem imun.  Penyaluran virus HIV bisa melalui
penyaluran Semen (reproduksi), Darah, cairan vagina, dan ASI. HIV bekerja
dengan membunuh sel-sel penting yang dibutuhkan oleh manusia, salah
satunya adalah Sel T pembantu, Makrofaga, Sel dendritik.
Pada tahun 2014, the Joint United Nation Program on HIV/AIDS
(UNAIDS) memberikan rapor merah kepada Indonesia sehubungan
penanggulangan HIV/AIDS. Pasien baru meningkat 47 persen sejak 2005.
Kematian akibat AIDS di Indonesia masih tinggi, karena hanya 8 persen
Orang Dengan HIV AIDS (ODHA) yang mendapatkan pengobatan obat
antiretroviral (ARV). Indonesia adalah negara ketiga di dunia yang memiliki
penderita HIV terbanyak yaitu sebanyak 640.000 orang, setelah China dan
India, karena ketiga negara ini memiliki jumlah penduduk yang banyak.
Hanya saja prevalensi di Indonesia hanya 0,43 persen atau masih di bawah
tingkat epidemi sebesar satu persen.

1.2. Rumusan Masalah


1. Apakah defenisi dari HIV?

1
2. Apa yang dimaksud dari etiologi HIV?
3. Bagaimana klasifikasi HIV?
4. Bagaimana patogenesis HIV?
5. Apa saja kelompok resiko terkena HIV?
6. Bagaimana manifestasi klinis HIV?
7. Apa saja komplikasi yang disebabkan HIV?
8. Bagaimanakah cara penularan dari HIV?
9. Bagaimanakah cara pencegahan penularan HIV?
10. Apa sajakah pengobatan HIV?
11. Bagaimana diagnosis HIV?

1.3. Tujuan
1. Untuk mengetahui defenisi dari HIV
2. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dari etiologi HIV
3. Untuk mengetahui bagaimana klasifikasi HIV
4. Untuk mengetahui bagaimana patogenesis HIV
5. Untuk mengetahui apa saja kelompok resiko terkena HIV
6. Untuk mengetahui bagaimana manifestasi klinis HIV
7. Untuk mengetahui apa saja komplikasi yang disebabkan HIV
8. Untuk mengetahui bagaimanakah cara penularan dari HIV
9. Untuk mengetahui bagaimanakah cara pencegahan penularan HIV
10. Untuk mengetahui apa sajakah pengobatan HIV
11. Untuk mengetahui bagaimana diagnosis HIV

2
BAB II PEMBAHASAN

2.1. Defenisi
HIV (Human Immunodeficiency Virus) merupakan pathogen yang
menyerang sistem imun manusia, terutama semua sel yang memiliki penenda
CD 4+ dipermukaannya seperti makrofag dan limfosit T. AIDS (acquired
Immunodeficiency Syndrome) merupakan suatu kondisi immunosupresif yang
berkaitan erat dengan berbagai infeksi oportunistik, neoplasma sekunder, serta
manifestasi neurologic tertentu akibat infeksi HIV (Kapita Selekta, 2014).
HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah suatu retrovirus yang berarti
terdiri atas untai tunggal RNA virus yang masuk ke dalam inti sel pejamu dan
ditranskripkan kedalam DNA pejamu ketika menginfeksi pejamu. AIDS
(Acquired Immunodeficiency Syndrome) adalah suatu penyakit virus yang
menyebabkan kolapsnya sistem imun disebabkan oleh infeksi
immunodefisiensi manusia (HIV), dan bagi kebanyakan penderita kematian
dalam 10 tahun setelah diagnosis (Corwin, 2009). AIDS (Acquired
Immunodeficiency Syndrome) atau kumpulan berbagai gejala penyakit akibat
turunnya kekebalan tubuh individu akibat HIv (Hasdianah dkk, 2014).

2.2. Etiologi
Human Immunodeficiency Virus pertama kali ditemukan oleh
Montagnier (Institute Pasteur, Paris 1983), seorang ilmuwan asal Perancis,
yang mengisolasi virus ini dari seorang pasien dengan gejala limfadenopati.
Pada saat itu virus ini masih dinamakan Lymphadenopathy Associated Virus
(LAV).
Gallo (National Institute of Health, USA 1984) menemukan Human T
Lymphotropic Virus (HTL-III) yang juga adalah penyebab AIDS. Penelitian
3
selanjutnya membuktikan bahwa LAV dan HTL-III merupakan virus yang
sama, sehingga pada pertemuan International Committee on Taxonomy of
Viruses (1986), WHO memberikan nama resmi HIV.
Pada tahun 1986 di Afrika ditemukan virus lain yang dapat pula
menyebabkan AIDS, disebut HIV-2 dan berbeda dengan HIV-1 secara genetik
maupun antigenik. Untuk memudahkan kedua virus itu disebut sebagai HIV
saja. Bukti yang ada mengindikasikan bahwa shimpanse Pan troglodytes
trogolodytes sebagai sumber infeksi HIV-1 dan monyet Cercocebus atys asal
Afrika Barat sebagai sumber infeksi HIV-2 pada populasi manusia.
Penyebab adalah golongan virus retro yang disebut Human
Immunodeficiency Virus (HIV). Transmisi infeksi HIV dan AIDS terdiri dari
lima fase yaitu:
1. Periode jendela: lamanya 4 minggu sampai 6 bulan setelah infeksi. Tidak
ada gejala
2. Fase infeksi HIV primer akut: lamanya 1 – 2 minggu dengan gejala flu
like illness
3. Infeksi asimtomatik: lamanya 1 – 15 atau lebih tahun dengan gejala tidk
ada
4. Supresi imun simtomatik: diatas 3 tahun dengan gejala demam, keringat
malam hari, berat badan menurun, diare, neuropati, lemah, rash,
limfadenopati, lesi mulut
5. AIDS: lamanya bervariasi antara 1 – 5 tahun dari kondisi AIDS pertama
kali ditegakkan. Didapatkan infeksi oportunis berat dan tumor pada
berbagai sistem tubuh, dan manifestasi neurologis

2.3. Klasifikasi
a. Fase 1
Umur infeksi 1 – 6 bulan (sejak terinfeksi HIV) individu sudah
terpapar dan terinfeksi. Tetapi ciri – ciri terinfeksi belum terlihat meskipun

4
ia melakukan tes darah. Pada fase ini antibody terhadap HIV belum
terbentuk. Bisa saja terlihat/mengalami gejala – gejala ringan, seperti flu
(biasanya 2 – 3 hari dan sembuh sendiri).

b. Fase 2
Umur infeksi: 2 – 10 tahun setelah terinfeksi HIV. Pada fase kedua
ini individu sudah positif HIV dan belum menampakkan gejala sakit.
Sudah dapat menularkan pada orang lain. Bisa saja terlihat/mengalami
gejala – gejala ringan, seperti flu (biasanya 2 – 3 hari dan sembuh sendiri).

c. Fase 3
Mulai muncul gejala – gejala awal penyakit. Belum disebut gejala
AIDS. Gejala – gejala yang berkaitan antara lain keringat yang berlebihan
pada waktu malam, diare terus menerus, pembengkakan kelenjar getah
bening, flu yang tidak sembuh – sembuh, nafsu makan berkurang dan
badan menjadi lemah, serta berat badan terus berkurang. Pada fase ketiga
ini sistem kekebalan tubuh mulai berkurang.

d. Fase 4
Sudah masuk fase AIDS. AIDS baru dapat terdiagnosa setelah
kekebalan tubuh sangat berkurang dilihat dari jumlah sel T nya. Timbul
penyakit tertentu yang disebut dengan infeksi oportunistik yaitu TBC,
infeksi paru – paru yang menyebabkan radang paru – paru dan kesulitan
bernafas, kanker, khususnya sariawan, kanker kulit atau sarcoma kaposi,
infeksi usus yang menyebabkan diare parah berminggu – minggu, dan
infeksi otak yang menyebabkan kekacauan mental dan sakit kepala
(Hasdianah & Dewi, 2014).

5
2.4. Patogenesis
Virus masuk ke dalam tubuh melalui perantara darah, semen dan
sekret vagina. Sebagian besar (75%) penularan terjadi melalui hubungan
seksual. Cara seksual melalui heteroseksual maupun homoseksual sedangkan
non seksual melalui transfusi darah, pemakaian jarum suntik bersama atau
secara vertikal dari ibu positif HIV kepada bayinya baik saat hamil,
melahirkan atau saat laktasi
Human Immunodeficiency Virus cenderung untuk menyerang jenis sel
tertentu, terutama sekali limfosit T4 (CD4) yang memegang peranan penting
dalam mengatur dan mempertahankan sistem kekebalan tubuh. Selain limfosit
T4 virus juga dapat menginfeksi sel monosit, makrofag dan langerhans pada
kulit, sel dendritik folikuler pada kelenjar limfe, sel makrofag pada alveoli
paru, sel retina, sel serviks uteri, sel mikroglia otak. Virus yang masuk ke
dalam limfosit T4 selanjutnya mengadakan replikasi sehingga akhirnya
menjadi banyak dan akhirnya menghancurkan sel limfosit itu sendiri.
Human Immunodeficiency Virus tergolong retrovirus yang
mempunyai materi generik RNA. Bilamana virus masuk ke dalam tubuh
penderita (sel hospes), maka RNA virus diubah menjadi Deoxyribonucleic
acid (DNA) oleh ensim reverse transcryptase yang dimiliki oleh HIV, DNA
pro-virus tersebut selanjutnya diintegrasikan ke dalam sel hospes dan
selanjutnya diprogramkan untuk membentuk gen virus.
Proses infeksi dimulai dengan pengikatan (attachment and binding)
gp120 dengan molekul reseptor pada pemukaan sel target (kemokin CCR5 /
CXCR4 pada CD4).16 Selanjutnya inti virus masuk ke dalam sel dan terjadi
fusi membran sel dengan envelope virus. RNA virus mengalami transkripsi
balik menjadi DNA oleh ensim RTase, disebut complimentary DNA (DNA
untai tunggal), berlanjut menjadi DNA untai ganda (double stranded DNA /
dsDNA) kemudian dsDNA dibawa ke inti sel. Di inti akan terjadi integrasi
dsDNA virus dengan kromosom DNA sel, dimediasi ensim integrase.

6
DNA integrasi akan mencetak mRNA dengan bantuan ensim
polymerase. Selanjutnya mRNA akan ditranslasi menjadi komponen virus
baru di dalam sitoplasma sel yang terinfeksi virus. Komponen-komponen
virus akan ditransportasi ke membran plasma dan disinilah akan terjadi
perakitan menjadi virus HIV baru yang masih immature, budding dan
selanjutnya mengalami proteolisis oleh protease menjadi virus HIV matur.
Human Immunodeficiency Virus juga mempunyai sejumlah gen yang
dapat mengatur replikasi maupun pertumbuhan virus yang baru. Salah satu
gen tersebut ialah tat yang dapat mempercepat replikasi virus sedemikian
hebatnya sehingga terjadi penghancuran limfosit T4 secara besar-besaran
yang akhirnya menyebabkan sistem kekebalan tubuh menjadi lumpuh.
Kelumpuhan sistem kekebalan tubuh ini mengakibatkan timbulnya berbagai
infeksi oportunistik dan keganasan yang merupakan gejala-gejala klinis AIDS.

2.5. Kelompok Risiko


Menurut UNAIDS (2017), kelompok risiko tertular HIV/AIDS sebagai
berikut:
1. Pengguna napza suntik: menggunakan jarum secara bergantian
2. Pekerja seks dan pelanggan mereka: keterbatasan pendidikan dan peluang
untuk kehidupan yang layak memaksa mereka menjadi pekerja seks
3. Lelaki yang berhubungan seks dengan lelaki
4. Narapidana
5. Pelaut dan pekerja di sektor transportasi
6. Pekerja boro (migrant worker): melakukan hubungan seksual berisiko
seperti kekerasan seksual, hubungan seksual dengan orang yang terinfeksi
HIV tanpa pelindung, mendatangi lokalisasi/komplek PSK dan membeli
seks (Ernawati, 2016).

7
AIDS dapat menyerang semua golongan umur, termasuk bayi, pria
maupun wanita. Yang termasuk kelompok resiko tinggi adalah
1. Lelaki homoseksual atau biseks
2. Bayi dari ibu/bapak terinfeksi
3. Orang yang ketagihan obat intravena
4. Partner seks dari penderita AIDS
5. Penerima darah atau produk (transfusi) (Susanto & Made Ari, 2013).

2.6. Manifestasi Klinis


Penderita yang terinfeksi HIV dapat dikelompokkan menjadi 4
golongan, yaitu:
1. Penderita asimtomatik tanpa gejala yang terjadi pada masa inkubasi yang
berlangsung antara 7 bulan sampai 7 tahun lamanya
2. Persistent generalized lymphadenophaty (PGL) dengan gejala
limfadenopati umum
3. AIDS Related Complex (ARC) dengan gejala lelah, demam, dan
gangguan sistem imun atau kekebalan
4. Full Blown AIDS merupakan fase akhir AIDS dengan gejala klinis yang
berat berupa diare kronis, pneumonitis interstisial, hepatomegali,
splenomegali, dan kandidiasis oral yang disebabkan oleh infeksi
oportunistik dan neoplasia misalnya sarcoma kaposi. Penderita akhirnya
meninggal dunia akibat komplikasi penyakit infeksi sekunder (Soedarto,
2009).

Stadium klinis HIV/AIDS untuk remaja dan dewasa dengan infeksi


HIV terkonfirmasi menurut WHO:
a. Stadium 1 (asimtomatis)
1. Asimtomatis
2. Limfadenopati generalisata

8
b. Stadium 2 (ringan)
1. Penurunan berat badan < 10%
2. Manifestasi mukokutaneus minor: dermatitis seboroik, prurigo,
onikomikosis, ulkus oral rekurens, keilitis angularis, erupsi popular
pruritik
3. Infeksi herpers zoster dalam 5 tahun terakhir
4. Infeksi saluran napas atas berulang: sinusitis, tonsillitis, faringitis,
otitis media

c. Stadium 3 (lanjut)
1. Penurunan berat badan >10% tanpa sebab jelas
2. Diare tanpa sebab jelas > 1 bulan
3. Demam berkepanjangan (suhu >36,7°C, intermiten/konstan) > 1
bulan
4. Kandidiasis oral persisten
5. Oral hairy leukoplakia
6. Tuberculosis paru
7. Infeksi bakteri berat: pneumonia, piomiositis, empiema, infeksi
tulang/sendi, meningitis, bakteremia
8. Stomatitis/gingivitis/periodonitis ulseratif nekrotik akut
9. Anemia (Hb < 8 g/dL) tanpa sebab jelas, neutropenia (< 0,5×109 /L)
tanpa sebab jelas, atau trombositopenia kronis (< 50×109 /L) tanpa
sebab yang jelas

d. Stadium 4 (berat)
1. HIV wasting syndrome
2. Pneumonia akibat pneumocystis carinii
3. Pneumonia bakterial berat rekuren
9
4. Toksoplasmosis serebral
5. Kriptosporodiosis dengan diare > 1 bulan
6. Sitomegalovirus pada orang selain hati, limpa atau kelenjar getah
bening
7. Infeksi herpes simpleks mukokutan (> 1 bulan) atau visceral
8. Leukoensefalopati multifocal progresif
9. Mikosis endemic diseminata
10. Kandidiasis esofagus, trakea, atau bronkus
11. Mikobakteriosis atripik, diseminata atau paru
12. Septicemia Salmonella non-tifoid yang bersifat rekuren
13. Tuberculosis ekstrapulmonal
14. Limfoma atau tumor padat terkait HIV: Sarkoma Kaposi,
ensefalopati HIV, kriptokokosis ekstrapulmoner termasuk
meningitis, isosporiasis kronik, karsinoma serviks invasive,
leismaniasis atipik diseminata
15. Nefropati terkait HIV simtomatis atau kardiomiopati terkait HIV
simtomatis (Kapita Selekta, 2014).

2.7. Komplikasi
a. Oral Lesi
Karena kandidia, herpes simplek, sarcoma Kaposi, HPV oral,
gingivitis, peridonitis Human Immunodeficiency Virus (HIV), leukoplakia
oral, nutrisi, dehidrasi, penurunan berat badan, keletihan dan cacat.

b. Neurologik
1. Kompleks dimensia AIDS karena serangan langsung Human
Immunodeficiency Virus (HIV) pada sel saraf, berefek perubahan
kepribadian, kerusakan kemampuan motorik, kelemahan, disfasia, dan
isolasi sosial.

10
2. Ensefalophaty akut, karena reaksi terapeutik, hipoksia,
hipoglikemia,ketidakseimbangan elektrolit, meningitis atau
ensefalitis. Dengan efek: sakit kepala, malaise, demam, paralise
total/parsial
3. Infark serebral kornea sifilis menin govaskuler, hipotensi sistemik,
dan maranik endokarditis.
4. Neuropati karena inflamasi diemilinasi oleh serangan HIV

c. Gastrointertinal
1. Diare karena bakteri dan virus, pertumbuhan cepat flora normal,
limpoma, dan sarcoma Kaposi. Dengan efek, penurunan berat badan,
anoreksia, demam, malabsorbsi, dan dehidrasi.
2. Hepatitis karena bakteri dan virus, limpoma, sarcoma Kaposi, obat
illegal, alkoholik. Dengan anoreksia, mual muntah, nyeri abdomen,
ikterik, demam atritis.
3. Penyakit anorektal karena abses dan fistula, ulkus dan inflamasi
perianal yang sebagai akibat infeksi, dengan efek inflamasi sulit dan
sakit, nyeri rectal, gatal-gatal dan siare.

d. Respirasi
Infeksi karena Pneumocystic Carinii, cytomegalovirus, virus
influenza, pneumococcus dan strongyloides dengan efek sesak nafas
pendek, batuk, nyeri, hipoksia, keletihan, gagal nafas.

e. Dermatologik
Lesi kulit stafilokokus: virus herpes simpleks dan zoster, dermatitis
karena xerosis, reaksi otot, lesi scabies/tuma, dan dekubitus dengan efek
nyeri, gatal, rasa terbakar, infeksi sekunder dan sepsis.

11
f. Sensorik
1. Pandangan: sarcoma Kaposi pada konjungtiva berefek kebutaan

2. Pendengaran: otitis eksternal akut dan otitis media, kehilangan


pendengaran dengan efek nyeri (Susanto & Made Ari, 2013).

2.8. Cara Penularan


HIV ditularkan dari orang ke orang melalui pertukaran cairan tubuh
seperti darah, semen, cairan vagina, dan ASI. Terinfeksi tidaknya seseorang
tergantung pada status imunitas, gizi, kesehatan umum dan usia serta jenis
kelamin merupakan faktor risiko. Seseorang akan berisiko tinggi terinfeksi
HIV bila bertukar darah dengan orang yang terinfeksi, pemakaian jarum
suntik yang bergantian terutama pada pengguna narkoba, hubungan seksual
(Corwin, 2009).
Penyakit ini menular melalui berbagai cara, antara lain melalui cairan
tubuh seperti darah, cairan genitalia, dan ASI. Virus juga terdapat dalam
saliva, air mata, dan urin (sangat rendah). HIV tidak dilaporkan terdapat
didalam air mata dan keringat. Pria yang sudah disunat memiliki risiko HIV
yang lebih kecil dibandingkan dengan pria yang tidak disunat. Selain melalui
cairan tubuh, HIV juga ditularkan melalui:
a. Ibu Hamil
1. Secara intrauterine, intrapartum, dan postpartum (ASI)
2. Angka transmisi mencapai 20-50%
3. Angka transmisi melalui ASI dilaporkan lebih dari sepertiga
4. Laporan lain menyatakan risiko penularan malalui ASI adalah 11-
29%
5. Sebuah studi meta-analisis prospektif yang melibatkan penelitian pada
duakelompok ibu, yaitu kelompok ibu yang menyusui sejak awal
12
kelahiran bayi dan kelompok ibu yang menyusui setelah beberapa
waktu usia bayinya, melaporkan bahwa angka penularan HIV pada
bayi yang belum disusui adalah 14% (yang diperoleh dari penularan
melalui mekanisme kehamilan dan persalinan), dan angka penularan
HIV meningkat menjadi 29% setelah bayinya disusui. Bayi normal
dengan ibu HIV bisa memperoleh antibodi HIV dari ibunya selama 6-
15 bulan.

b. Jarum Suntik
1. Prevalensi 5-10%
2. Penularan HIV pada anak dan remaja biasanya melalui jarum suntik
karena penyalahgunaan obat
3. Di antara tahanan (tersangka atau terdakwa tindak pidana) dewasa,
pengguna obat suntik di Jakarta sebanyak 40% terinfeksi HIV, di
Bogor 25% dan di Bali 53%.

c. Transfusi Darah
1. Risiko penularan sebesar 90%
2. Prevalensi 3-5%

d. Hubungan Seksual
1. Prevalensi 70-80%
2. Kemungkinan tertular adalah 1 dalam 200 kali hubungan intim
3. Model penularan ini adalah yang tersering didunia. Akhir-akhir ini
dengan semakin meningkatnya kesadaran masyarakat untuk
menggunakan kondom, maka penularan melalui jalur ini cenderung
menurun dan digantikan oleh penularan melalui jalur penasun
(pengguna narkoba suntik) (Widoyono, 2011).

13
2.9. Pencegahan Penularan
1. Secara umum Lima cara pokok untuk mencegah penularan HIV (A, B,
C, D, E) yaitu:
A: Abstinence – memilih untuk tidak melakukan hubungan seks berisiko
tinggi, terutama seks pranikah
B: Be faithful – saling setia
C: Condom – menggunakan kondom secara konsisten dan benar
D: Drugs – menolak penggunaan NAPZA
E: Equipment – jangan pakai jarum suntik bersama

2. Untuk pengguna Napza


Pecandu yang IDU dapat terbebas dari penularan HIV/AIDS jika:
mulai berhenti menggunakan Napza sebelum terinfeksi, tidak memakai
jarum suntik bersama.

3. Untuk remaja
Tidak melakukan hubungan seks sebelum menikah, menghindari
penggunaan obat-obatan terlarang dan jarum suntik, tato dan tindik, tidak
melakukan kontak langsung percampuran darah dengan orang yang
sudah terpapar HIV, menghindari perilaku yang dapat mengarah pada
perilaku yang tidak sehat dan tidak bertanggung jawab (Hasdianah &
Dewi, 2014).

2.10. Pengobatan
Untuk menahan lajunya tahap perkembangan virus beberapa obat yang
ada adalah antiretroviral dan infeksi oportunistik. Obat antiretroviral adalah
obat yang dipergunakan untuk retrovirus seperti HIV guna menghambat
perkembangbiakan virus. Obat-obatan yang termasuk antiretroviral yaitu
AZT, Didanoisne, Zaecitabine, Stavudine. Obat infeksi oportunistik adalah

14
obat yang digunakan untuk penyakit yang muncul sebagai efek samping
rusaknya kekebalan tubuh. Yang penting untuk pengobatan oportunistik yaitu
menggunakan obat-obat sesuai jenis penyakitnya, contoh: obat-obat anti TBC,
dll (Hasdianah dkk, 2014).

2.11. Diagnosis
Metode yang umum untuk menegakkan diagnosis HIV meliputi:
1. ELISA (Enzyme-Linked ImmunoSorbent Assay)
Sensitivitasnya tinggi yaitu sebesar 98,1-100%. Biasanya tes ini
memberikan hasil positif 2-3 bulan setelah infeksi.

2. Western Blot
Spesifikasinya tinggi yaitu sebesar 99,6-100%. Pemeriksaannya
cukup sulit, mahal, dan membutuhkan waktu sekitar 24 jam.

3. PCR (Polymerase Chain Reaction)


a. Tes ini digunakan untuk:
b. Tes HIV pada bayi, karena zat antimaternal masih ada padabayi
yang dapat menghambat pemeriksaan secara serologis.
c. Menetapkan status infeksi individu yang seronegatif pada kelompok
berisiko tinggi
d. Tes pada kelompok tinggi sebelum terjadi serokonversi.
e. Tes konfirmasi untuk HIV-2, sebab ELISA mempunyai sensitivitas
rendah untuk HIV-2 (Widoyono, 2014).

15
BAB III PENUTUP

3.1. KESIMPULAN
Human Immunodeficiency virus merupakan retrovirus yang
menurunkan sistem kekebalan tubuh dan menyebabkan AIDS. Perkembangan
epidemi HIV / AIDS di dunia telah menjadi masalah global termasuk di
Indonesia. Penelitian di Asia Tenggara tahun 2010 menunjukkan tren
menurun jumlah infeksi kasus baru HIV dan kematian terkait penyakit AIDS,
terkecuali di Indonesia yang menunjukkan tren meningkat Dikenal dua tipe
HIV sebagai penyebab AIDS, yaitu HIV-1 dan HIV-2. Bila orang
menyebutkan HIV umumnya yang dimaksud adalah HIV-1, bertanggung
jawab terhadap epidemi HIV di seluruh dunia. Pengetahuan tentang distribusi
subtipe HIV dapat membantu penelusuran epidemi dan memberikan informasi
pencegahan HIV dan dalam pembuatan vaksin. Virus ini menular 75%
melalui cara seksual dan masuk ke dalam tubuh melalui perantara darah,
semen dan sekret vagina, serta air susu ibu.
Virus terutama menyerang sel limfosit CD4 yang berperan penting
dalam mengatur dan mempertahankan sistem kekebalan tubuh. Infeksi HIV
memberikan gambaran klinis tidak spesifik mulai dari asimptomatik sampai
gejala yang berat pada stadium lanjut. Kebanyakan dari mereka yang berisiko
tertular HIV tidak mengetahui akan status HIV mereka, apakah sudah
terinfeksi atau belum. Apabila terdapat kecurigaan suatu infeksi HIV
sebaiknya dilakukan kounseling dan pemeriksaan skrining HIV dengan tes
cepat. Tujuannya adalah sedini mungkin mendiagnosis status HIV dan
memberi layanan perawatan, pengobatan dan pencegahan transmisi HIV.
Penentuan stadium HIV juga penting bagi klinisi untuk penanganan penyakit
serta memonitor epidemi HIV. Klasifikasi umumnya berdasarkan WHO
karena hanya membutuhkan penilaian keadaan klinis tanpa pemeriksaan
laboratorium khusus.

16
Tanpa pengobatan, hampir semua orang dengan AIDS akan
meninggal. Panduan penatalaksaan HIV / AIDS terbaru mendukung
pemberian ART sedini mungkin sebagai cara terbaik untuk mempertahankan
kesehatan orang yang hidup dengan HIV dan mencegah transmisi HIV. Selain
itu pemberian terapi ARV profilaksis sebelum terpajan HIV dapat membantu
pencegahan infeksi HIV pada populasi yang berisiko

17
DAFTAR PUSTAKA

 Anonim. Sejarah HIV di Indonesia. Yayasan Spiritia Indonesia. 2014. Available


at:http://spiritia.or.id/art/bacaart.php?artno=1040.
 Hessol, N. A., Gandhi, M., Greenblatt, R. M. Epidemiology and Natural History
of HIV Infection in Women. In: Anderson, J. R., eds. A Guide To The Clinical
Care of Women With HIV. 1rst ed. Rockville: Parklawn Building; 2005; 1: p. 1-
35.
 Wang, H. B., Mo, Q. H., Yang, Z. HIV Vaccine Research: The Challenge and the
Way Forward. Journal of Immunology Reasearch. 2015.
 Idele, P., Gillespie, A., Epidemiologi HIV and AIDS Among Adolescent: Current
Status, Inequities, and Data Gaps. J Acquir Immune Defic Syndr. 2014. 1 July
2014. p.1-10.
 Varughese, J. K., Rosenberg, M. G., Kim, K. HIV in the Tropics: Staging in the
Resource-limited Setting. In: Vinetz, J. M., eds. Current Opinion in Infectious
Diseases. 5th ed. Lippincott Williams & Wilkins, Inc; 2012; 25: p. 477-483.
 Merati, K.T.P. HIV sebagai Penyebab AIDS dalam Buku Disertasi Subtipe HIV-1
di Beberapa Daerah di Indonesia dan Perannya sebagai Petunjuk Dinamika
Epidemi HIV. 2008. P.14-16.
 Duarsa, N. W. Infeksi HIV dan AIDS. Dalam: Daili, S. F., Makes, W. I. B.,
Zubier, F., editor. Infeksi Menular Seksual. Edisi ke-4. Jakarta: Balai Penerbit
FKUI; 2009; 4: hal. 146-159.
 Norris, S. HIV/AIDS – Past, Present and Future. Canada: Library of Parliament.
2011; p. 1-5.
 Kunanusont, C., Foy, H. M., Kreiss, J. K., Rerks-Ngarm, S., Phanukphak. P.,
Raktham, S., et al. HIV-1 Subtypes and Male to Female Transmission in
Thailand. The Lancet. 1995; 345(8957): 1078-1083.
 Worlh Health Organization. HIV/AIDS in the South-East Asia Region: Progress
Report. 2011.
 Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Estimasi dan Proyeksi HIV/AIDS di
Indonesia Tahun 2011-2016. Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia; 2013. p. 1-19.

Anda mungkin juga menyukai