SIFILIS
DISUSUN OLEH :
Della Yuliantizar (PO.71.34.1.20.008)
DOSEN PEMBIMBING :
1. Hamril Dani, AMAK, S.Pd, M.Kes
2. Drs.Refai, M.Kes
3. Yusneli, AMAK, S.Pd, M.Kes
4. Sri Sulpha Siregar, S.St, M.Biomed
Della yuliantizar
(PO.71.34.1.20.008)
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..................................................................................................i
DAFTAR ISI................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN............................................................................................1
1.3. Tujuan................................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN.............................................................................................3
2.1. Defenisi..............................................................................................................3
2.2. Epidemiologi......................................................................................................3
2.3. Etiologi...............................................................................................................4
2.4. Pathogenesis......................................................................................................4
2.7. Diagnosis..........................................................................................................15
2.8. Komplikasi......................................................................................................15
ii
2.9. Pencegahan......................................................................................................16
2.10. Pengobatan..................................................................................................17
3.1. Kesimpulan......................................................................................................22
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................23
iii
BAB I PENDAHULUAN
1.3. Tujuan
1. Untuk mengetahui defenisi dari sifilis
2. Untuk mengetahui epidemiologi dari sifilis
3. Untuk mengetahui etiologi dari sifilis
4. Untuk mengetahui pathogenesis dari sifilis
5. Untuk mengetahui apa sajakah gejala dan tanda-tanda dari sifilis
6. Untuk mengetahui pathogenesis dari sifilis
7. Untuk mengetahui diagnosis dari sifilis
8. Untuk mengetahui komplikasi dari sifilis
9. Untuk mengetahui bagaimana cara pencegahan dari sifilis
10. Untuk mengetahui bagaimana pengobatan dari sifilis
11. Untuk mengetahui apa saja pemeriksaan sifilis
2
BAB II PEMBAHASAN
2.1. Defenisi
Penyakit sifilis adalah infeksi sistemik yang disebabkan oleh
Treponemapallidum (T.pallidum), yang terutama ditularkan melalui hubungan
seksual. Sifilis secara khas ditandai dengan periode aktif yang disela oleh
periode infeksi laten. Tidak seperti penyakit infeksi lainnya, sifilis jarang
didiagnosis berdasarkan penemuan kuman penyebab dari pemeriksaan
langsung. Diagnosis sifilis terutama didasarkan pada reaksi serologis terhadap
treponema.
2.2. Epidemiologi
Diseluruh belahan dunia hingga saat ini sifilis tetap merupakan
masalah kesehatan utama. Angka kejadian infeksi baru (insiden) diperkirakan
112 juta per tahun di seluruh dunia, terutama di Afrika, Amerika Selatan,
China, dan Asia Tenggara. Di Asia Tenggara diperkirakan terjadi 4 juta
infeksi baru per tahun. Kejadiannya akhir-akhir ini meningkat di negara-
negara Eropa terutama pada kelompok Lelaki Suka sama Lelaki (LSL).
Penularan sifilis dari ibu hamil ke bayinya menyebabkan sifilis kongenital
yang merupakan 50% penyebab bayi lahir mati. Tiap tahun diperkirakan
terjadi 500 ribu dan 1,5 juta sifilis kongenital3,4. Survey Terpadu Biologi dan
Perilaku (STBP) tahun 2011 di Indonesia juga melaporkan prevalensi sifilis
masih cukup tinggi. Pada populasi waria, prevalensi sifilis sebesar 25%,
WPSL (wanita penjaja seks langsung) 10%, LSL (lelaki yang berhubungan
seks dengan lelaki) 9%, warga binaan lembaga pemasyarakatan 5%, pria
berisiko tinggi 4%, WPSTL (wanita penjaja seks tidak langsung) 3% dan
penasun (pengguna narkoba suntik) 3%.
3
2.3. Etiologi
T.pallidum merupakan anggota genus Spirochaetasmemiliki 4 spesies
yang pathogen terhadap manusia dan hewan. Spesies Leptospira
menyebabkan leptospirosis. Spesies Borella menyebabkan relapsingfever dan
lymedisease. Spesies Brachyspira yang menyebabkan infeksi usus, serta
spesies Treponema yang secara umum menyebabkan segolongan penyakit
yang dsebuttreponematoses. Spesies Treponema terdiri lagi dari beberapa sub-
spesies yang dapat menyebabkan penyakit pada manusia, diantaranya :
1. T.pallidum sub sp.pallidum yang menyebabkan sifilis;
2. T.pallidum sub sp.pertenue yang menyebakanyaws;
3. T.pallidum sub sp.endemicum yang menyebabkan endemicsyphilis (bejel)
4. T.pallidum sub sp.carateum yang menyebabkan penyakit pinta.
Dari keempat sub species Treponema di atas, hanya sifilis yang
merupakan peyakit kelamin.
T.pallidumsubspeciespallidum berbentuk spiral tipis, mempunyai sel
yang dibungkus membranetrilaminarcytoplasmi, yang terdiri dari lapisan
peptidoglikan serta lipidrichoutermembrane yang hanya memiliki sedikit
protein sehingga berguna untuk menghindari deteksi sistem imun. Untuk
mobilisasi organisme ini memiliki endoflagella.
T.pallidum tidak dapat dikultur secara invitro. Memiliki beberapa gen
yang bertanggung jawab pada transport asam amino, karbohidrat dan
elektrolit. Organisme ini memiliki singlecirculargeome yang stabil tanpa
elemen yang mudah berpindah-pindah seperti bakteri lain. Hal ini
menyebabkan organisme ini sulit bermutasi dan mungkin dapat menjelaskan
rendahnya kejadian resistensi antibiotika pada sifilis.
2.4. Pathogenesis
Sifilis terutama menular melalui kontak seksual baik melalui vaginal,
anal, atau oral. Metode penularan lainnya yang lebih jarang adalah berciuman,
4
berbagi jarum suntik yang tidak aman, transfusi darah, needlestickinjury, dan
cangkok organ. Secara klasiksifilis menyebabkan penyakit yang terbagi dalam
beberapa stadium :
1. masa inkubasi tanpa gejala.
2. sifilis primer yaitu timbulnya lesi primer pada tempat inokulasi pertama.
3. sifilis sekunder yang terjadi akibat penyebaran kuman ke seluruh tubuh
dengan berbagai manifestasi klinik.
4. Stadium klinis atau laten yang dapat berlangsung hingga bertahun-tahun
dan hanya dapat dideteksi melalui pemeriksaan serologis.
5. sifilis tersier, stadium akhir dari sifilis berupa penyakit progresif yang
melibatkan susunan saraf pusat, pembuluh darah besar, dana atau
pembentukan gumma yang dapat terjadi pada semua organ.
5
gejala infeksi sistemik dan fokus metastatik sebelum timbulnya lesi
primer. T.pallidum membelah diri setiap 30 hingga 33 jam. Darah dari
penderita dalam masa inkubasi dan sifilis stadium awal sangat menular.
Lamanya masa inkubasi berbanding terbalik dengan jumlah
inoculumTreponema. Semakin banyak jumlah Treponema yang
terinokulasi, maka semakin pendek masa inkubasinya. Masa inkubasi rata-
rata berlangsung 3 minggu sejak inokulasi pertama dan jarang berlangsung
sampai lebih dari 6 minggu.
Menandai stadium sifilis primer, muncul lesi primer pada tempat
inokulasi yang disebut canchre. Canchre biasanya bertahan dalam waktu
4-6 minggu dan kemudian sembuh sendiri. Pemeriksaan histopatologis
pada Canchre menemukan infiltrasi masif perivaskular terutama oleh sel
limfosit CD4 dan CD8, sel plasma, serta makrofag. Ditemukan juga
proliferasi endotel kapiler dan obliterasi pembuluh-pembuluh darah kecil.
Gejala-gejala konstitusi dan mukokutan sifilis sekunder muncul antara 6-8
minggu setelah lesi primer menyembuh. Lima belas persen penderita
mengalami sifilis sekunder pada saat lesi primer masih ada. Tetapi pada
beberapa penderita paska lesi primer, sifilis sekunder tidak ditemukan dan
penderita langsung masuk dalam stadium sifilis laten. Gambaran
histopatologis lesi sifilis sekunder meliputi hiperkeratosis epidermis,
proliferasi kapiler disertai dengan pembengkakkan endotel dan infiltrasi
perivaskular oleh limfosit CD4 dan CD8, sel plasma, serta makrofag.
Treponema dapat ditemukan pada jaringan termasuk cairan serebrospinal
dan humor aquespada mata. Invasi Treponema pada susunan saraf pusat
(SSP) terjadi pada minggu pertama infeksi dan kelainan pada SSP
ditemukan pada 40% penderita sifilis sekunder.
Hepatitis dan glomerulonephritis dapat terjadi pada sifilis sekunder
walaupun jarang. Gangguan fungsi hati ditemukan hingga 25% pada
penderita sifilis primer. Pembesaran kelenjar getah bening (KGB)
6
generalisata terjadi pada 85% penderita sifilis sekunder. Lesi sifilis
sekunder biasanya hilang sendiri dalam 2-6 minggu dan sifilis memasuki
stadium laten yang hanya dapat dikenali dengan menggunakan tes
serologis. Stadium laten dapat diselang-seling oleh beberapa episode
kekambuhanmukokutan pada tahun-tahun pertama. Sekitar satu dari tiga
penderita sifilis yang tidak diobati dan melewati masa laten akan
memasuki stadium sifilis tersier. Pada stadium akhir ini manifestasi yang
sering ditemukan adalah gumma, sifilis pada sistem kardiovaskular, dan
neorosifilis lanjut. Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya sifilis
tersier hingga saat ini belum banyak diketahui. Kematian akibat sifilis
terutama terjadi sifilis tersier.
7
tangan dan telapak kaki, lesi kulit
papuloskuamosa dan mukosa, demam,
malaise, limfa denopati generalisata,
kondiloma lata, patchyalopecia, meningitis,
uveitis, retinitis
Lanjut > 1
tahun
9
2.6.2. Sifilis Stadium Sekunder
Manifestasi akan timbul pada beberapa minggu atau bulan,
muncul gejala sistemik berupa demam yang tidak terlalu tinggi, malaise,
sakit kepala, adenopati, dan lesi kulit atau mukosa. Lesi sekunder yang
terjadi merupakan manifestasi penyebaran Treponema pallidum secara
hematogen dan limfogen. Manifestasi klinis sifilis sekunder dapat
berupa berbagai ruam pada kulit, selaput lendir, dan organ tubuh. Lesi
kulit biasanya simetris, dapat berupa makula, papula, folikulitis,
papuloskuamosa, dan pustul, jarang disertai keluhan gatal. Lesi dapat
ditemukan di trunkus dan ekstermitas, termasuk telapak tangan dan
kaki. Papul biasanya merah atau coklat kemerahan, diskret, diameter 0,5
– 2 cm, umumnya berskuama tetapi kadang licin. Lesi vesikobulosa
dapat ditemukan pada sifilis kongenital.
10
Pada daerah lipatan kulit yang lembab dan hangat seperti daerah
perianal, vulva dan skrotum, papula dapat membesar hingga
berbentukpapula lebar yang lembab berwarna merah muda atau putih
keabu-abuan yang disebut condyloma lata. Condyloma lata sangat
menular dan terjadi pada 10% penderita sifilis sekunder. Erosi mukosa
superfisial atau mucouspatches terjadi pada 10-15% kasus dan terutama
terjadi pada mukosa oral dan genital. Mucouspatches berwarna abu-abu
dan pinggir yang kemerahan dan tidak terasa nyeri.
11
Bercak kemerahan di kaki dan tagan, sifilis sekunder
13
irregular), sensorium (delusi, ilusi, halusinasi), intelektual
(penurunan memori dan kapasitas untuk orientasi, kalkulasi,
judgement dan insight), dan kemampuan berbicara. Tobesdorsalis
adalah maifestasi lanjut akibat demielinisasikoluma posterior,
dorsal root dan ganglia dorsal root.
Gejalanya berupa gait lebar dan foot drop, paresthesia,
gangguan miksi, impotensi, areflexia dan kehilangan sensasi posisi,
nyeri dalam dan suhu. Degenerasi sendi (Charcoat’sjoint) dan
ulkus pada tungkai dapat terjadi akibat kehilangan sensasi nyeri.
2. Sifilis kardiovaskular
Sifilis kardiovaskular disebabkan terutama karena nekrosis
aorta yang berlanjut ke katup. Tanda-tanda sifilis kardiovaskuler
adalah insufisiensi aorta atau aneurisma, berbentuk kantong pada
aorta torakal. Bila komplikasi ini telah lanjut, akan sangat mudah
dikenal. Sifilis kardiovaskular yang terjadi 10-40 tahun setelah
infeksi, diakibatkan oleh endarteresisobliterans pada vasavasorum
yang memberi aliran darah pada pembuluh darah besar.
Keterlibatan kardiovaskular dapat berbentuk aortitis,
aorticregurgitation, saccularaneurisma pada aorta ascendens atau
stenosis arteri coroner.
2.7. Diagnosis
Diagnosis sifilis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik,
pemeriksaan laboratorium dan juga radiologi. Pemeriksaan laboratorium yang
tersedia adalah pemeriksaan sediaan langsung (misalnya mikroskop lapangan
gelap, direct fluorescent antibody test dan nucleic acid amplification test),
serologi (treponemal dan non treponemal test) dan pemeriksaan cairan
serebrospinal. Yang termasuk kelompok resiko tinggi adalah:
1. Kontak seksual dengan penderita sifilis, termasuk kelompok risiko tinggi
(LSL, PSK, waria) yang termasuk juga diantaranya gelandangan dan
pengguna narkoba suntik (penasun).
2. Penderita dengan partner seksual multiple.
3. Penderita dengan infeksi HIV, dan penyakit menular seksual lainnya.
2.8. Komplikasi
Selain berbagai manifestasi yang muncul akibat kerusakan pada
seluruh organ tubuh, terutama pada sifilis tersier, sifilis juga menyebabkan
peningkatan kemungkinan penularan HIV hingga 2-5 kali. Lesi siflis mudah
berdarah sehingga memudahkan penularan virus HIV saat melakukan
hubungan seksual2 Penularan sifilis dari ibu ke bayi pada saat kehamilan juga
15
akan meningkatkan risiko keguguran dan kematian bayi beberapa hari setelah
melahirkan.
2.9. Pencegahan
Tidak ada vaksin untuk sifilis. Segala jenis aktivitas seksual
merupakan faktor resiko penularan sifilis. Walaupun kontak langsung dengan
lesi aktif merupakan faktor resiko utama, tidak selalu lesi dapat terlihat
sehingga semua penderita sifilis dianggap mempunyai potensi menularkan
sifilis dan harus menggunakan hubungan seksual yang aman. Penderita
asimtomatik yang memerluka kontrasepsi harus diberikan pengertian
mengenai efikasibarrier untuk mencegah transmisi nfeksi menular seksual dan
juga HIV. Pasien ini juga harus diberikan konseling tentang pengurangan
perilaku beresiko. Konseling ini juga memberi pengetahuan tentang perlunya
abstinensia seksual, pengurangan jumlah partner seksusal, dan hubungan
seksual aman.
Pada penderita sifilis stadium primer, sekunder atau laten awal;
abstinensia seksual pada penderita dan partner seksualnya dianjurkan hingga
terapi pada keduanya selesai dan respons serologis yang memuaskan dicapai
setelah pengobatan. Sifilis dapat menular dari ibu hamil ke anaknya sehingga
tes rutin skrining sifilis merupakan hal penting yang harus dilakukan pada
setiap kehamilan.
Partner notification yang bertujuan mnemukan kontak seksual
penderita sifilis dan memberikan pengobatan dini harus dilakukan oleh
petugas terlatih. Pengobatan dini pada semua kontak seksual sifilis dini
dengan 2,4 juta unit Benzatine Penisilin dapat dilakukan walaupun kontak
seksual tidak mempunyai kelainan serologis pada saat pemeriksaan karena
sifilis dapat terjadi pad 30% kontak seksual yang tes serolgisnya negatif.
Pengobatan kontak dianjurkan dilakukan pada semua kasus yang kontak
seksual dengan penderita sfilis dini dalam 90 hari terakhir.
16
2.10. Pengobatan
Pengobatan pada sifilis primer dan sekunder memberikan hasil yang
sangat baik. Kegagalan terapi hanya masih ditemukan pada penderita HIV.
Penderitatabesdorsalis tidak akan membaik tetapi progresivitas penyakit akan
berkurang dengan pengobatan sifilis. Sifilis kardiovaskular juga memberikan
respon yang baik dengan pengobatan sifilis walaupun infark iskemik masih
dapat ditemukan.
17
Pengobatan ulang sifilis dilakukan sesuai dengan rejimen yang telah
ditetapkan untuk sifilis yang telah berlangsung lebih dari dua tahun.
Umumnya hanya satu pengobatan ulang diperlukan karena pengobatan yang
diberikan secara adekuat akan menunjukkan kemajuan bila dipantau dengan
tes nontreponema yang tetap menunjukkan titer rendah.
19
ini harganya mahal sehingga tidak dapat digunakan sebagai alat
skrining masal dan memiliki nilai positif semu yang rendah, sehingga
tes ini berguna untuk tes konfirmasi pada penderita dengan tes non-
treponemal yang positif. Tes spesifik positif akan berlangsug seumur
hidup, tetapi 10% dapat menjadi negative setelah mendapat terapi
dini.
Tes lain untuk mendiagnosa sifilis adalah tes PCR yang
menggunakan antigen sifilis dan isolasi bakteri. PCR spesifik tetapi
tidak dapat membedakan Trepnema mati dan yang hidup, sedangkan
isolasi T.pallidum hanya dapat dilakukan pada hewan percobaan
karena T.pallidum tidak dapat tumbuh pada media buatan.
Keterlibatan SSP dapat didiagnosis dengan pleositosis (>5 sel darah
putih/uL), peningkatan protein (>45mg/dl) dan VDRL positif. Semua
penderita sifilis dengan gejala neurologi harus menjalani
pemeriksaan cairan SSP tanpa melihat stadium sifilisnya. Karena
penderita sifilis mempunyai risiko tinggi untuk terkena HIV dan juga
sebaliknya. Penderita HIV dan sifilis harus dievaluasi untuk
kemungkinan adanya neurosifilis.
20
terhadap berbagai spesies treponema (tidak selalu T pallidum),
sehingga tidak dapat digunakan membedakan infeksi aktif dari
infeksi yang telah diterapi dengan baik. TP Rapid hanya
menunjukkan bahwa seseorang pernah terinfeksi treponema,namun
tidak dapat menunjukkan seseorang sedang mengalami infeksi aktif.
TP Rapid dapat digunakan hanya sebagai pengganti pemeriksaan
TPHA,dalam rangkaian pemeriksaan bersama dengan RPR.
Penggunaan TP Rapidtetap harus didahului dengan pemeriksaan
RPR. Jika hasil tes positif, harus dilanjutkan dengan memeriksa titer
RPR, untuk diagnosis dan menentukan pengobatan. Pemakaian TP
Rapid dapat menghemat waktu, namun harganya jauh lebih mahal
dibandingkan dengan TPHA. Bagi daerah yang masih mempunyai
TPHA konvensional/bukan rapid masih bisa digunakan.
21
BAB III PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Hubungan seksual dapat menularkan berbagai macam penyakit, salah
satunya yaitu sifilis. Selain itu sifilis dapat ditularkan secara vertikal dari ibu
ke janin, melalui transfusi darah, alat kesehatan yang terkontaminasi dan
lainnya. Sifilis memiliki tiga stadium yaitu stadium primer, skunder dan
tersier. Diantara ketiga stadium tersebut terdapat stadium laten dimana tidak
menimbulkan gejala klinis namun pada pemeriksaan laboratorium
menunjukan hasil positif. Penegakan diagnosis sifilis dengan anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan penunjang pada
sifilis berupa pemeriksaan mikroskopis dan uji serologis. Pemberian antibiotik
untuk pengobatan berdasarkan stadium sifilis. Antibiotik yang digunakan
adalah antibiotik golongan penisilin, namun pada pasien dengan alergi
penisilin dapat menggunakan antibiotik golongan lain sebagai alternatif.
22
DAFTAR PUSTAKA
Daili SF, dkk, Pedoman Tata LaksanaSifilisUntukPengendalianSifilis Di
LayananKesehatanDasar, Kementerian KesehatanRepublik Indonesia
DirektoratJenderalPengendalianPenyakitdanPenyehatanLingkungan, Tahun 2013
Wicaksana R, Sifilis, dalamSetiati S (editor), Buku Ajar IlmuPenyakitDalam,
Edisi VI, Internal Publishing, Jakarta 2014, 803-811
Peterman TA, Collins DE, Aral SO. Responding to the epidemics of syphilis
among men who have sex with men. Introduction to the special issue. Sex Transm
Dis 2005; 32: S1-3
Peterman TA, Heffelfinger JD, Swint EB, Groseclose SL. The changing
epidemiology of syphilis. Sex Transm Dis 2005: 32: S4-10
WHO Guidelines For The Treatment of Treponema pallidum (syphilis), 2016
MAKALAH IMUNOSEROLOGI II
HIV
DISUSUN OLEH :
Della Yuliantizar (PO.71.34.1.20.008)
DOSEN PEMBIMBING :
1. Hamril Dani, AMAK, S.Pd, M.Kes
2. Drs.Refai, M.Kes
3. Yusneli, AMAK, S.Pd, M.Kes
4. Sri Sulpha Siregar, S.St, M.Biomed
Dengan puji syukur atas kehdirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat
dan karuniamya sehingga penulis dapat menyalesaikan makalah ini dengan baik.
Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah Imunoserologi II dengan
bahan kajian HIV.
Tidak lupa penulis memohon maaf apabila terdapat kesalahan dalam
pembuatan makalah ini, baik yang disengaja maupun tidak disengaja. Penulis
mengucapkan terimakasih kepada pihak-pihak yang telah membimbing penulis untuk
menyelesaikan makalah ini.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata kesempurnaan dan
masih membutuhkan perbaikan, oleh sebab itu penulis sangat membutuhkan saran
dan kritik dari dosen dan teman-teman untuk melengkapi makalah ini demi untuk
menambah pengetahuan kita bersama tentang HIV.
Della yuliantizar
(PO.71.34.1.20.008)
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..................................................................................................i
DAFTAR ISI................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN............................................................................................1
1.3. Tujuan................................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN.............................................................................................3
2.1. Defenisi..............................................................................................................3
2.2. Etiologi...............................................................................................................4
2.3. Klasifikasi..........................................................................................................5
2.4. Patogenesis........................................................................................................6
2.7. Komplikasi......................................................................................................11
2.10. Pengobatan..................................................................................................15
2.11. Diagnosis......................................................................................................15
ii
BAB III PENUTUP...................................................................................................17
3.1. KESIMPULAN...............................................................................................17
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................
iii
BAB I PENDAHULUAN
1
2. Apa yang dimaksud dari etiologi HIV?
3. Bagaimana klasifikasi HIV?
4. Bagaimana patogenesis HIV?
5. Apa saja kelompok resiko terkena HIV?
6. Bagaimana manifestasi klinis HIV?
7. Apa saja komplikasi yang disebabkan HIV?
8. Bagaimanakah cara penularan dari HIV?
9. Bagaimanakah cara pencegahan penularan HIV?
10. Apa sajakah pengobatan HIV?
11. Bagaimana diagnosis HIV?
1.3. Tujuan
1. Untuk mengetahui defenisi dari HIV
2. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dari etiologi HIV
3. Untuk mengetahui bagaimana klasifikasi HIV
4. Untuk mengetahui bagaimana patogenesis HIV
5. Untuk mengetahui apa saja kelompok resiko terkena HIV
6. Untuk mengetahui bagaimana manifestasi klinis HIV
7. Untuk mengetahui apa saja komplikasi yang disebabkan HIV
8. Untuk mengetahui bagaimanakah cara penularan dari HIV
9. Untuk mengetahui bagaimanakah cara pencegahan penularan HIV
10. Untuk mengetahui apa sajakah pengobatan HIV
11. Untuk mengetahui bagaimana diagnosis HIV
2
BAB II PEMBAHASAN
2.1. Defenisi
HIV (Human Immunodeficiency Virus) merupakan pathogen yang
menyerang sistem imun manusia, terutama semua sel yang memiliki penenda
CD 4+ dipermukaannya seperti makrofag dan limfosit T. AIDS (acquired
Immunodeficiency Syndrome) merupakan suatu kondisi immunosupresif yang
berkaitan erat dengan berbagai infeksi oportunistik, neoplasma sekunder, serta
manifestasi neurologic tertentu akibat infeksi HIV (Kapita Selekta, 2014).
HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah suatu retrovirus yang berarti
terdiri atas untai tunggal RNA virus yang masuk ke dalam inti sel pejamu dan
ditranskripkan kedalam DNA pejamu ketika menginfeksi pejamu. AIDS
(Acquired Immunodeficiency Syndrome) adalah suatu penyakit virus yang
menyebabkan kolapsnya sistem imun disebabkan oleh infeksi
immunodefisiensi manusia (HIV), dan bagi kebanyakan penderita kematian
dalam 10 tahun setelah diagnosis (Corwin, 2009). AIDS (Acquired
Immunodeficiency Syndrome) atau kumpulan berbagai gejala penyakit akibat
turunnya kekebalan tubuh individu akibat HIv (Hasdianah dkk, 2014).
2.2. Etiologi
Human Immunodeficiency Virus pertama kali ditemukan oleh
Montagnier (Institute Pasteur, Paris 1983), seorang ilmuwan asal Perancis,
yang mengisolasi virus ini dari seorang pasien dengan gejala limfadenopati.
Pada saat itu virus ini masih dinamakan Lymphadenopathy Associated Virus
(LAV).
Gallo (National Institute of Health, USA 1984) menemukan Human T
Lymphotropic Virus (HTL-III) yang juga adalah penyebab AIDS. Penelitian
3
selanjutnya membuktikan bahwa LAV dan HTL-III merupakan virus yang
sama, sehingga pada pertemuan International Committee on Taxonomy of
Viruses (1986), WHO memberikan nama resmi HIV.
Pada tahun 1986 di Afrika ditemukan virus lain yang dapat pula
menyebabkan AIDS, disebut HIV-2 dan berbeda dengan HIV-1 secara genetik
maupun antigenik. Untuk memudahkan kedua virus itu disebut sebagai HIV
saja. Bukti yang ada mengindikasikan bahwa shimpanse Pan troglodytes
trogolodytes sebagai sumber infeksi HIV-1 dan monyet Cercocebus atys asal
Afrika Barat sebagai sumber infeksi HIV-2 pada populasi manusia.
Penyebab adalah golongan virus retro yang disebut Human
Immunodeficiency Virus (HIV). Transmisi infeksi HIV dan AIDS terdiri dari
lima fase yaitu:
1. Periode jendela: lamanya 4 minggu sampai 6 bulan setelah infeksi. Tidak
ada gejala
2. Fase infeksi HIV primer akut: lamanya 1 – 2 minggu dengan gejala flu
like illness
3. Infeksi asimtomatik: lamanya 1 – 15 atau lebih tahun dengan gejala tidk
ada
4. Supresi imun simtomatik: diatas 3 tahun dengan gejala demam, keringat
malam hari, berat badan menurun, diare, neuropati, lemah, rash,
limfadenopati, lesi mulut
5. AIDS: lamanya bervariasi antara 1 – 5 tahun dari kondisi AIDS pertama
kali ditegakkan. Didapatkan infeksi oportunis berat dan tumor pada
berbagai sistem tubuh, dan manifestasi neurologis
2.3. Klasifikasi
a. Fase 1
Umur infeksi 1 – 6 bulan (sejak terinfeksi HIV) individu sudah
terpapar dan terinfeksi. Tetapi ciri – ciri terinfeksi belum terlihat meskipun
4
ia melakukan tes darah. Pada fase ini antibody terhadap HIV belum
terbentuk. Bisa saja terlihat/mengalami gejala – gejala ringan, seperti flu
(biasanya 2 – 3 hari dan sembuh sendiri).
b. Fase 2
Umur infeksi: 2 – 10 tahun setelah terinfeksi HIV. Pada fase kedua
ini individu sudah positif HIV dan belum menampakkan gejala sakit.
Sudah dapat menularkan pada orang lain. Bisa saja terlihat/mengalami
gejala – gejala ringan, seperti flu (biasanya 2 – 3 hari dan sembuh sendiri).
c. Fase 3
Mulai muncul gejala – gejala awal penyakit. Belum disebut gejala
AIDS. Gejala – gejala yang berkaitan antara lain keringat yang berlebihan
pada waktu malam, diare terus menerus, pembengkakan kelenjar getah
bening, flu yang tidak sembuh – sembuh, nafsu makan berkurang dan
badan menjadi lemah, serta berat badan terus berkurang. Pada fase ketiga
ini sistem kekebalan tubuh mulai berkurang.
d. Fase 4
Sudah masuk fase AIDS. AIDS baru dapat terdiagnosa setelah
kekebalan tubuh sangat berkurang dilihat dari jumlah sel T nya. Timbul
penyakit tertentu yang disebut dengan infeksi oportunistik yaitu TBC,
infeksi paru – paru yang menyebabkan radang paru – paru dan kesulitan
bernafas, kanker, khususnya sariawan, kanker kulit atau sarcoma kaposi,
infeksi usus yang menyebabkan diare parah berminggu – minggu, dan
infeksi otak yang menyebabkan kekacauan mental dan sakit kepala
(Hasdianah & Dewi, 2014).
5
2.4. Patogenesis
Virus masuk ke dalam tubuh melalui perantara darah, semen dan
sekret vagina. Sebagian besar (75%) penularan terjadi melalui hubungan
seksual. Cara seksual melalui heteroseksual maupun homoseksual sedangkan
non seksual melalui transfusi darah, pemakaian jarum suntik bersama atau
secara vertikal dari ibu positif HIV kepada bayinya baik saat hamil,
melahirkan atau saat laktasi
Human Immunodeficiency Virus cenderung untuk menyerang jenis sel
tertentu, terutama sekali limfosit T4 (CD4) yang memegang peranan penting
dalam mengatur dan mempertahankan sistem kekebalan tubuh. Selain limfosit
T4 virus juga dapat menginfeksi sel monosit, makrofag dan langerhans pada
kulit, sel dendritik folikuler pada kelenjar limfe, sel makrofag pada alveoli
paru, sel retina, sel serviks uteri, sel mikroglia otak. Virus yang masuk ke
dalam limfosit T4 selanjutnya mengadakan replikasi sehingga akhirnya
menjadi banyak dan akhirnya menghancurkan sel limfosit itu sendiri.
Human Immunodeficiency Virus tergolong retrovirus yang
mempunyai materi generik RNA. Bilamana virus masuk ke dalam tubuh
penderita (sel hospes), maka RNA virus diubah menjadi Deoxyribonucleic
acid (DNA) oleh ensim reverse transcryptase yang dimiliki oleh HIV, DNA
pro-virus tersebut selanjutnya diintegrasikan ke dalam sel hospes dan
selanjutnya diprogramkan untuk membentuk gen virus.
Proses infeksi dimulai dengan pengikatan (attachment and binding)
gp120 dengan molekul reseptor pada pemukaan sel target (kemokin CCR5 /
CXCR4 pada CD4).16 Selanjutnya inti virus masuk ke dalam sel dan terjadi
fusi membran sel dengan envelope virus. RNA virus mengalami transkripsi
balik menjadi DNA oleh ensim RTase, disebut complimentary DNA (DNA
untai tunggal), berlanjut menjadi DNA untai ganda (double stranded DNA /
dsDNA) kemudian dsDNA dibawa ke inti sel. Di inti akan terjadi integrasi
dsDNA virus dengan kromosom DNA sel, dimediasi ensim integrase.
6
DNA integrasi akan mencetak mRNA dengan bantuan ensim
polymerase. Selanjutnya mRNA akan ditranslasi menjadi komponen virus
baru di dalam sitoplasma sel yang terinfeksi virus. Komponen-komponen
virus akan ditransportasi ke membran plasma dan disinilah akan terjadi
perakitan menjadi virus HIV baru yang masih immature, budding dan
selanjutnya mengalami proteolisis oleh protease menjadi virus HIV matur.
Human Immunodeficiency Virus juga mempunyai sejumlah gen yang
dapat mengatur replikasi maupun pertumbuhan virus yang baru. Salah satu
gen tersebut ialah tat yang dapat mempercepat replikasi virus sedemikian
hebatnya sehingga terjadi penghancuran limfosit T4 secara besar-besaran
yang akhirnya menyebabkan sistem kekebalan tubuh menjadi lumpuh.
Kelumpuhan sistem kekebalan tubuh ini mengakibatkan timbulnya berbagai
infeksi oportunistik dan keganasan yang merupakan gejala-gejala klinis AIDS.
7
AIDS dapat menyerang semua golongan umur, termasuk bayi, pria
maupun wanita. Yang termasuk kelompok resiko tinggi adalah
1. Lelaki homoseksual atau biseks
2. Bayi dari ibu/bapak terinfeksi
3. Orang yang ketagihan obat intravena
4. Partner seks dari penderita AIDS
5. Penerima darah atau produk (transfusi) (Susanto & Made Ari, 2013).
8
b. Stadium 2 (ringan)
1. Penurunan berat badan < 10%
2. Manifestasi mukokutaneus minor: dermatitis seboroik, prurigo,
onikomikosis, ulkus oral rekurens, keilitis angularis, erupsi popular
pruritik
3. Infeksi herpers zoster dalam 5 tahun terakhir
4. Infeksi saluran napas atas berulang: sinusitis, tonsillitis, faringitis,
otitis media
c. Stadium 3 (lanjut)
1. Penurunan berat badan >10% tanpa sebab jelas
2. Diare tanpa sebab jelas > 1 bulan
3. Demam berkepanjangan (suhu >36,7°C, intermiten/konstan) > 1
bulan
4. Kandidiasis oral persisten
5. Oral hairy leukoplakia
6. Tuberculosis paru
7. Infeksi bakteri berat: pneumonia, piomiositis, empiema, infeksi
tulang/sendi, meningitis, bakteremia
8. Stomatitis/gingivitis/periodonitis ulseratif nekrotik akut
9. Anemia (Hb < 8 g/dL) tanpa sebab jelas, neutropenia (< 0,5×109 /L)
tanpa sebab jelas, atau trombositopenia kronis (< 50×109 /L) tanpa
sebab yang jelas
d. Stadium 4 (berat)
1. HIV wasting syndrome
2. Pneumonia akibat pneumocystis carinii
3. Pneumonia bakterial berat rekuren
9
4. Toksoplasmosis serebral
5. Kriptosporodiosis dengan diare > 1 bulan
6. Sitomegalovirus pada orang selain hati, limpa atau kelenjar getah
bening
7. Infeksi herpes simpleks mukokutan (> 1 bulan) atau visceral
8. Leukoensefalopati multifocal progresif
9. Mikosis endemic diseminata
10. Kandidiasis esofagus, trakea, atau bronkus
11. Mikobakteriosis atripik, diseminata atau paru
12. Septicemia Salmonella non-tifoid yang bersifat rekuren
13. Tuberculosis ekstrapulmonal
14. Limfoma atau tumor padat terkait HIV: Sarkoma Kaposi,
ensefalopati HIV, kriptokokosis ekstrapulmoner termasuk
meningitis, isosporiasis kronik, karsinoma serviks invasive,
leismaniasis atipik diseminata
15. Nefropati terkait HIV simtomatis atau kardiomiopati terkait HIV
simtomatis (Kapita Selekta, 2014).
2.7. Komplikasi
a. Oral Lesi
Karena kandidia, herpes simplek, sarcoma Kaposi, HPV oral,
gingivitis, peridonitis Human Immunodeficiency Virus (HIV), leukoplakia
oral, nutrisi, dehidrasi, penurunan berat badan, keletihan dan cacat.
b. Neurologik
1. Kompleks dimensia AIDS karena serangan langsung Human
Immunodeficiency Virus (HIV) pada sel saraf, berefek perubahan
kepribadian, kerusakan kemampuan motorik, kelemahan, disfasia, dan
isolasi sosial.
10
2. Ensefalophaty akut, karena reaksi terapeutik, hipoksia,
hipoglikemia,ketidakseimbangan elektrolit, meningitis atau
ensefalitis. Dengan efek: sakit kepala, malaise, demam, paralise
total/parsial
3. Infark serebral kornea sifilis menin govaskuler, hipotensi sistemik,
dan maranik endokarditis.
4. Neuropati karena inflamasi diemilinasi oleh serangan HIV
c. Gastrointertinal
1. Diare karena bakteri dan virus, pertumbuhan cepat flora normal,
limpoma, dan sarcoma Kaposi. Dengan efek, penurunan berat badan,
anoreksia, demam, malabsorbsi, dan dehidrasi.
2. Hepatitis karena bakteri dan virus, limpoma, sarcoma Kaposi, obat
illegal, alkoholik. Dengan anoreksia, mual muntah, nyeri abdomen,
ikterik, demam atritis.
3. Penyakit anorektal karena abses dan fistula, ulkus dan inflamasi
perianal yang sebagai akibat infeksi, dengan efek inflamasi sulit dan
sakit, nyeri rectal, gatal-gatal dan siare.
d. Respirasi
Infeksi karena Pneumocystic Carinii, cytomegalovirus, virus
influenza, pneumococcus dan strongyloides dengan efek sesak nafas
pendek, batuk, nyeri, hipoksia, keletihan, gagal nafas.
e. Dermatologik
Lesi kulit stafilokokus: virus herpes simpleks dan zoster, dermatitis
karena xerosis, reaksi otot, lesi scabies/tuma, dan dekubitus dengan efek
nyeri, gatal, rasa terbakar, infeksi sekunder dan sepsis.
11
f. Sensorik
1. Pandangan: sarcoma Kaposi pada konjungtiva berefek kebutaan
b. Jarum Suntik
1. Prevalensi 5-10%
2. Penularan HIV pada anak dan remaja biasanya melalui jarum suntik
karena penyalahgunaan obat
3. Di antara tahanan (tersangka atau terdakwa tindak pidana) dewasa,
pengguna obat suntik di Jakarta sebanyak 40% terinfeksi HIV, di
Bogor 25% dan di Bali 53%.
c. Transfusi Darah
1. Risiko penularan sebesar 90%
2. Prevalensi 3-5%
d. Hubungan Seksual
1. Prevalensi 70-80%
2. Kemungkinan tertular adalah 1 dalam 200 kali hubungan intim
3. Model penularan ini adalah yang tersering didunia. Akhir-akhir ini
dengan semakin meningkatnya kesadaran masyarakat untuk
menggunakan kondom, maka penularan melalui jalur ini cenderung
menurun dan digantikan oleh penularan melalui jalur penasun
(pengguna narkoba suntik) (Widoyono, 2011).
13
2.9. Pencegahan Penularan
1. Secara umum Lima cara pokok untuk mencegah penularan HIV (A, B,
C, D, E) yaitu:
A: Abstinence – memilih untuk tidak melakukan hubungan seks berisiko
tinggi, terutama seks pranikah
B: Be faithful – saling setia
C: Condom – menggunakan kondom secara konsisten dan benar
D: Drugs – menolak penggunaan NAPZA
E: Equipment – jangan pakai jarum suntik bersama
3. Untuk remaja
Tidak melakukan hubungan seks sebelum menikah, menghindari
penggunaan obat-obatan terlarang dan jarum suntik, tato dan tindik, tidak
melakukan kontak langsung percampuran darah dengan orang yang
sudah terpapar HIV, menghindari perilaku yang dapat mengarah pada
perilaku yang tidak sehat dan tidak bertanggung jawab (Hasdianah &
Dewi, 2014).
2.10. Pengobatan
Untuk menahan lajunya tahap perkembangan virus beberapa obat yang
ada adalah antiretroviral dan infeksi oportunistik. Obat antiretroviral adalah
obat yang dipergunakan untuk retrovirus seperti HIV guna menghambat
perkembangbiakan virus. Obat-obatan yang termasuk antiretroviral yaitu
AZT, Didanoisne, Zaecitabine, Stavudine. Obat infeksi oportunistik adalah
14
obat yang digunakan untuk penyakit yang muncul sebagai efek samping
rusaknya kekebalan tubuh. Yang penting untuk pengobatan oportunistik yaitu
menggunakan obat-obat sesuai jenis penyakitnya, contoh: obat-obat anti TBC,
dll (Hasdianah dkk, 2014).
2.11. Diagnosis
Metode yang umum untuk menegakkan diagnosis HIV meliputi:
1. ELISA (Enzyme-Linked ImmunoSorbent Assay)
Sensitivitasnya tinggi yaitu sebesar 98,1-100%. Biasanya tes ini
memberikan hasil positif 2-3 bulan setelah infeksi.
2. Western Blot
Spesifikasinya tinggi yaitu sebesar 99,6-100%. Pemeriksaannya
cukup sulit, mahal, dan membutuhkan waktu sekitar 24 jam.
15
BAB III PENUTUP
3.1. KESIMPULAN
Human Immunodeficiency virus merupakan retrovirus yang
menurunkan sistem kekebalan tubuh dan menyebabkan AIDS. Perkembangan
epidemi HIV / AIDS di dunia telah menjadi masalah global termasuk di
Indonesia. Penelitian di Asia Tenggara tahun 2010 menunjukkan tren
menurun jumlah infeksi kasus baru HIV dan kematian terkait penyakit AIDS,
terkecuali di Indonesia yang menunjukkan tren meningkat Dikenal dua tipe
HIV sebagai penyebab AIDS, yaitu HIV-1 dan HIV-2. Bila orang
menyebutkan HIV umumnya yang dimaksud adalah HIV-1, bertanggung
jawab terhadap epidemi HIV di seluruh dunia. Pengetahuan tentang distribusi
subtipe HIV dapat membantu penelusuran epidemi dan memberikan informasi
pencegahan HIV dan dalam pembuatan vaksin. Virus ini menular 75%
melalui cara seksual dan masuk ke dalam tubuh melalui perantara darah,
semen dan sekret vagina, serta air susu ibu.
Virus terutama menyerang sel limfosit CD4 yang berperan penting
dalam mengatur dan mempertahankan sistem kekebalan tubuh. Infeksi HIV
memberikan gambaran klinis tidak spesifik mulai dari asimptomatik sampai
gejala yang berat pada stadium lanjut. Kebanyakan dari mereka yang berisiko
tertular HIV tidak mengetahui akan status HIV mereka, apakah sudah
terinfeksi atau belum. Apabila terdapat kecurigaan suatu infeksi HIV
sebaiknya dilakukan kounseling dan pemeriksaan skrining HIV dengan tes
cepat. Tujuannya adalah sedini mungkin mendiagnosis status HIV dan
memberi layanan perawatan, pengobatan dan pencegahan transmisi HIV.
Penentuan stadium HIV juga penting bagi klinisi untuk penanganan penyakit
serta memonitor epidemi HIV. Klasifikasi umumnya berdasarkan WHO
karena hanya membutuhkan penilaian keadaan klinis tanpa pemeriksaan
laboratorium khusus.
16
Tanpa pengobatan, hampir semua orang dengan AIDS akan
meninggal. Panduan penatalaksaan HIV / AIDS terbaru mendukung
pemberian ART sedini mungkin sebagai cara terbaik untuk mempertahankan
kesehatan orang yang hidup dengan HIV dan mencegah transmisi HIV. Selain
itu pemberian terapi ARV profilaksis sebelum terpajan HIV dapat membantu
pencegahan infeksi HIV pada populasi yang berisiko
17
DAFTAR PUSTAKA