Anda di halaman 1dari 27

MEN, WOMEN, AND THE MYSTERY OF LOVE

Diringkas dari buku : Men, Women, and Mystery of Love, Practical insight from
John Paul II’s Love and Responsibiity

https://luxveritatis7.wordpress.com

1. Dasar Sebuah Persahabatan


Tulisan ini merupakan ringkasan dari artikel berseri yang didasarkan pada
buku Men, Women and The Mystery of Love. Penulis aslinya, Edward P. Sri
memberikan berbagai pemahaman yang mendalam tentang hubungan pria-
wanita seperti yang terdapat pada buku Love and Responsibility yang ditulis oleh
beato Yohanes Paulus II. Saya akan merangkum tulisan berseri tersebut dalam
bahasa Indonesia. Artikel aslinya bisa dilihat disini.

Prinsip Personalistik

Menurut Romo Karol Wojtyla, prinsip


mendasar dalam sebuah hubungan
pria dan wanita adalah prinsip
personalistik, dimana seorang pribadi
tidak boleh diperlakukan sebagai
sarana mencapai tujuan akhir kita
sendiri.

Manusia adalah makhluk yang


sanggup menentukan dirinya sendiri.
Tidak seperti binatang yang bertindak
berdasarkan insting, manusia bisa melakukan tindakan dengan bebas. Melalui
refleksi diri, manusia bisa menyatakan “inner self” (diri batin) mereka kepada
dunia luar melalui pilihan mereka. Memperlakukan manusia sebagai sarana
mencapai tujuan akhir kita berarti melanggar martabat manusia sebagai makhluk
yang bisa menentukan diri (self-determining)

Mencintai atau Memanfaatkan?

Tantangan terbesar dalam menghidupi dan melaksanakan prinsip personalistik


adalah adanya semangat utilitarianisme. Utilitarianisme adalah prinsip yang
menjadikan kesenangan (pleasure) sebagai dasar bagi tindakannya, dan
menghindari rasa sakit atau penderitaan. Tindakan manusia baru disebut
berguna bila tindakan tersebut memberikan kesenangan. Maksudnya, sesuatu
yang berguna haruslah memaksimalkan kesenangan yang diperoleh dan sebisa
mungkin menghindari rasa sakit, penderitaan, kerugian, kehilangan dst.

Dalam konteks hubungan pria-wanita, sebuah hubungan dievaluasi berdasarkan


sejauh mana orang lain berguna dalam memberikan kesenangan yang
kubutuhkan. Hal ini menjelaskan mengapa hubungan persahabatan (bahkan
pacaran) sangat rapuh dan mudah rusak, karena bila seseorang tidak
mendapatkan kesenangan dari orang lain, maka ia tidak lagi berguna bagiku.

1
Cinta dan Persahabatan

Terdapat tiga jenis persahabatan menurut Aristoteles :

• Persahabatan karena kegunaan (friendship of utility) : Afeksi berasal


dari keuntungan yang diperoleh dalam sebuah hubungan. Tiap orang
mendapat keuntungan yang diinginkannya dalam sebuah hubungan, dan
apa yang menyatukan hubungan ini adalah keuntungan yang bersifat
timbal balik diantara dua orang atau lebih
• Persahabatan yang menyenangkan (pleasant friendship) : Afeksi
berasal dari teman, dimana teman dipandang sebagai orang yang
memberikan kesenangan tertentu. Persahabatan jenis ini lebih
memfokuskan tentang “bersenang-senang bersama”. Apa yang
menyatukan hubungan ini adalah kesenangan atau “waktu yang baik”
yang mereka rasakan bersama-sama
• Persahabatan yang saleh (virtuous friendship) : Persahabatan antar
dua orang atau lebih disatukan karena adanya pengejaran tujuan
bersama : “kehidupan yang baik”. Persahabatan ini mengejar sesuatu
diluar diri individu yang melampaui minat pribadi, berbeda dengan dua
persahabatan sebelumnya dimana hal yang dikejar atau dijadikan tujuan
adalah sesuatu yang berasal dari dalam diri.Tujuan bersama ini, yang
adalah kebaikan yang lebih tinggi nilainya, adalah hal yang menyatukan
kedua individu. Kalau sebelumnya yang ditekankan adalah apa yang aku
dapat dari sebuah hubungan, maka persahabatan ini menekankan apa
yang terbaik bagi teman kita.

Fondasi yang Rapuh

Persahabatan jenis pertama dan kedua merupakan jenis persahabatan dengan


fondasi yang sangat rapuh dan mudah rusak, karena yang menjadi dasar dari
persahabatan tersebut adalah keuntungan atau kesenangan yang diperoleh,
serta interest atau minat terhadap hal yang sama. Kedua hal ini merupakan
sesuatu yang tidak akan bertahan lama, karena ketika keuntungan atau
kesenangan yang sifatnya timbal balik ini tidak lagi diperoleh salah satu pihak,
maka tidak ada lagi yang menyatukan persahabatan tersebut.

Begitu pula dengan minat, ketika minat seseorang mengalami perubahan, maka
mereka tidak bisa lagi menghabiskan waktu bersenang-senang bersama. Ketika
pengalam bersenang-senang bersama tidak lagi dirasakan, dengan demikian
persahabatan tersebut akan memudar.

Apa yang Merusak Sebuah Hubungan

Cara mencegah rusaknya sebuah hubungan dan menghindari prinsip


utilitarianisme adalah dengan mengejar sebuah tujuan bersama, seperti pada
persahabatan yang saleh (virtuous friendship). Jika orang lain melihat apa yang
baik bagiku dan mengambilnya sebagai sebuah kebaikan bagi dirinya, maka
“sebuah ikatan yang special didirikan antara aku dan orang itu : ikatan kebaikan
bersama dan tujuan bersama” (hal. 28). Tujuan bersama inilah yang menyatukan
seseorang secara internal. Ketika kita tidak menghidupi persahabatan ini, maka
kita akan memperlakukan orang lain hanya sebagai sarana mencapai tujuan
akhir, demi kesenangan atau kegunaan saja.

2
Persahabatan jenis ketiga ini juga harus ada dalam pernikahan. Ketika
seseorang hanya memikirkan dirinya saja, maka orang tersebut menghendaki
pasangannya menuruti keinginannya, menjalankan rencananya dan
keinginannya saja tanpa mempedulikan istri dan anak-anak. Contohnya, seorang
ayah ingin semua pekerjaan rumah beres, ingin menonton sepak bola,
membelanjakan uang hal yang penting baginya, dst – tanpa memberi prioritas
terhadap apa yang dibutuhkan istri dan anak-anaknya.

Persahabatan yang saleh ini penting dalam sebuah keluarga. Tujuan bersama
pada persahabatan ini melibatkan persatuan antar suami-istri, masing-masing
saling membantu tumbuh dalam kekudusan, dan prokreasi serta edukasi anak-
anak. Suami dan istri harus bekerja sama dalam mencapai tujuan ini serta
menundukkan preferensi pribadi terhadap tujuan bersama pernikahan ini.
Dengan demikian, seseorang bisa menghindar tidak jatuh dalam prinsip
utilitarianisme dimana orang lain digunakan hanya memperoleh tujuan ataupun
kesenangan semata.

2. Dibalik Dorongan Seksual


Mereka yang menyetujui prinsip utilitarianisme berargumen bahwa selagi kedua
belah pihak memberikan persetujuan mereka dalam melakukan hubungan
seksual, maka hal tersebut sah-sah saja dilakukan. Tidak ada yang salah dalam
memanfaatkan orang lain bila keduanya sudah saling sepakat dan sama-sama
memperoleh kesenangan dari tindakan tersebut.

Paus Yohanes Paulus II menunjukkan kesalahan ini :”Ketika seseorang tidak lagi
memberikan keuntungan satu sama lain, tidak ada apapun yang tertinggal dalam
harmoni. Tidak ada lagi cinta diantara mereka”

Seperti Prostitusi

Bayangkan bila ada pebisnis yang tiap minggunya melakukan hubungan seksual
dengan seorang pekerja seks . Pria tersebut menginginkan kesenangan seksual
yang didapat dari sang wanita, sedangkan si wanita menginginkan uang yang
dimiliki oleh pebisnis tersebut. Masing-masing mendapatkan apa yang
diinginkan, dan keinginan tiap orang terpenuhi.

Namun apa yang terjadi bila keduanya tidak lagi memberikan keuntungan satu
sama lain?

Jika si pekerja seks bisa mendapatkan uang lebih banyak dari pria lain, maka ia
akan meninggalkan pebisnis tersebut. Sedangkan bagi si pria, bila ia bisa
mendapatkan kesenangan seksual dari wanita yang lebih muda dan atraktif,
maka ia akan meninggalkan pekerja seks tersebut.

Ini mungkin contoh yang ekstrim, tapi berapa banyak hubungan pria-wanita yang
tidak lebih baik daripada ini? Berapa banyak hubungan yang didasarkan pada
keuntungan atau kesenangan yang bersifat timbal balik daripada hubungan yang
didasarkan cinta yang berkomitmen dan persatuan pribadi yang sejati?
Contohnya, berapa banyak wanita yang memberikan keperawanan mereka dan
tidur dengan pria demi memperoleh rasa aman yang sifatnya emosional, atau
karena rasa takut akan diputus hubungannya oleh si pria? Berapa banyak pria

3
yang tidur dengan wanita hanya memperoleh kesenangan fisik dari hubungan
tersebut? Hal ini bukanlah hubungan cinta yang autentik dalam persatuan antar
pribadi. Melainkan ini adalah bentuk-bentuk pemanfaatan timbal balik yang
secara sosial diterima – mirip seperti prostitusi.

Rasa Tidak Aman, Bukan Cinta

Hubungan utilitarian melahirkan rasa takut dan tidak aman bagi salah satu atau
kedua pihak. Tandanya adalah ketika seseorang mulai kesulitan mengatakan
masalah dalam hubungan mereka kepada orang yang dicintainya.

Satu alasan mengapa pasangan tidak berani berkonfrontasi satu sama lain
adalah bahwa mereka tahu bahwa tidak ada dasar bagi hubungan tersebut agar
tetap bertahan – selain kesenangan atau keuntungan yang bersifat timbal balik.
Seseorang merasa takut bila hubungan menjadi menantang, sulit, menuntut
pihak lain, maka orang lain tersebut akan pergi. Cara mempertahankan hal ini
adalah dengan berpura-pura bahwa apa yang terjadi tidaklah seburuk seperti
yang terlihat.

“Karenanya cinta dipahami semata-mata adalah kepura-puraan yang nyata yang


harus ditumbuhkan dengan hati-hati menjaga realitas yang tersembunyi :
realitas egoisme, dan ketamakan dari egoisme itu, mengeksploitasi orang lain
memperoleh bagi dirinya sendiri “kesenagan tertinggi” (hal. 39)

Paus menunjukkan bagaimana hubungan ini kadang mengijinkan diri mereka


digunakan oleh orang lain mendapatkan apa yang mereka inginkan dari sebuah
hubungan :”Tiap orang terutama peduli terhadap memuaskan egoismenya
sendiri, tapi pada saat yang sama setuju melayani egoisme orang lain, karena
hal ini bisa memberikan kesempatan [memperoleh] kepuasan – selama hal ini
dilakukan ”

Dorongan Seksual

Seksualitas adalah area dimana seseorang bisa memanfaatkan orang lain. Disini
akan dibahas tentang dorongan seksual dalam diri manusia.

Dorongan seksual mewujudkan dirinya dalam kecenderungan manusia mencari


manusia lain yang berbeda jenis kelaminnya. Dorongan seksual mengarahkan
manusia kepada karakteristik fisik dan psikologis wanita – tubuhnya,
feminitasnya – yang merupakan atribut yang melengkapi bagi pria, begitu juga
sebaliknya. Oleh karena itu, dorongan seksual dialami sebagai ketertarikan
badani dan emosional kepada orang lain.

Namun dorongan seksual bukanlah ketertarikan terhadap kualitas fisik atau


psikologis dari lawan jenis secara abstrak, karena atribut ini hanya ada dalam
manusia yang konkret. Contohnya, tidak ada pria yang tertarik dengan “rambut
pirang” secara abstrak. Namun ia tertarik kepada wanita yang memiliki rambut
pirang. Wania juga tidak tertarik pada “maskulinitas”sebagai konsep teoritis, tapi
ia tertarik pada pria tertentu yang menunjukkan sifat-sifat maskulin seperti
keberanian, kekuatan, ketegasan dan dan sikap ksatria.

Nah, karena dorongan seksual ini terutama diarahkan pada manusia, maka,
dorongan seksual bukanlah sesuatu yang buruk. Dorongan seksual bisa
memberikan kerangka bagi cinta yang autentik berkembang.

4
Tapi dorongan seksual ini tidak bisa disamakan dengan cinta. Karena cinta
melibatkan lebih dari reaksi emosional atau sensual secara spontan yang
dihasilkan oleh dorongan seksual; cinta yang autentik mengharuskan tindakan
kehendak diarahkan kepada kebaikan bagi orang lain. Dorongan seksual bisa
memberikan “bahan mentah” yang darinya tindakan cinta dapat muncul – bila ini
dibimbing oleh kesadaran tanggung jawab yang besar bagi orang lain.

Lebih Daripada Insting Binatang

Penting diperhatikan bahwa dorongan seksual pada manusia ini tidak sama
dengan insting seksual pada binatang. Insting seksual pada hewan menunjukkan
refleks cara bertindak yang tidak bergantung pada pikiran sadar. Sedangkan
manusia sanggup mengendalikan dorongan seksualnya, ia dapat memilih
bagaimana menggunakan dorongan seksual tersebut.

Seorang pria mungkin mengalami ketertarikan seksual terhadap wanita. Ia


kadang-kadang mengalami ketertarikan ini sebagai sesuatu yang terjadi pada
dirinya – sesuatu yang mulai terjadi dalam kehidupan sensual atau emosional
tanpa inisiatif apapun darinya. Namun, ketertarikan ini bisa dan harus
ditundukkan pada intelek (kemampuan berpikir/nalar) dan kehendaknya.
Sementara ia tidak selalu bertanggung jawab terhadap apa yang terjadi secara
spontan pada dirinya di arena ketertarikan seksual, ia bertanggung jawab
tehadap apa yang dia putuskan lakukan dalam menanggapi ketertarikan seksual
ini.

Mencintai atau Memanfaatkan?

Budi bertemu Anita di tempat kerja dan dengan cepat tertarik terhadap
kecantikan serta kepribadiannya yang menawan. Budi dapat memilih bereaksi
terhadap ketertarikan seksual ini dan melihatnya lebih dari sekedar tubuhnya
atau feminitasnya. Dengan demikian ia melihat melebihi atribut yang dapat
memberikan kesenangan, sehingga ia dapat melihat Anita sebagai seorang
pribadi dan melakukan tindakan cinta yang tidak egois terhadap dirinya.

Di sisi lain, Budi dapat memilih tetap berdiam pada kualitas fisik dan psikologis
yang memberikan kesenangan baginya. Dengan memusatkan perhatian pada
kecantikan dan kepribadiannya yang menawan, ia tidak bisa mencintai Anita
sebagai seorang pribadi. Ia mungkin bersikap baik padanya, namun sikap
tersebut dilakukan hanya memperoleh kesenangan sensual atau emosional dari
Anita. Pada akhirnya Budi memanfaatkan Anita sebagai sumber memperoleh
kesenangan bagi dirinya.

Jika interaksi antara pria dan wanita hanya berhenti pada tingkat reaksi awal
yang dihasilkan oleh dorongan seksual, maka hubungan tersebut tidak bisa
berkembang menjadi persatuan antar pribadi.

Dengan mendasarkan perbuatan kita pada prinsip personalistik, kita seharusnya


bisa menghindari perilaku yang memperlakukan orang lain sebagai objek
mencari kenikmatan sensual atau emosional. Kita juga seharusnya bertanya
pada diri kita : Apa yang akan kita lakukan ketika mengalami ketertarikan seksual
kepada orang tertentu yang berbeda jenis kelamin? Apa yang akan dilakukan
oleh pria bila ia menyadari keindahan fisik seorang wanita? Apa yang akan
dilakukan wanita ketika ia menemukan dirinya tertarik kepada seorang pria?

5
Pada momen penting ini, kita bisa memilih fokus pada kesenangan sensual atau
emosional yang kita terima dari tubuh atau maskulinitas atau feminitas pribadi
lain. Dan bila melakukan ini, kita jatuh ke dalam utilitarianisme karena kita
melihat pribadi sebagai objek mencari kesenangan/kenikmatan semata. Atau,
kita bisa berusaha memupuk cinta yang autentik terhadap pribadi dengan
mengarahkan perhatian kita pada seluruh pribadinya. Dengan melihat
melampaui atribut fisik dan psikologis dan melihat pribadi lain sebagai pribadi
yang aktual, kita membuka pintu paling tidak kepada kemungkinan menghendaki
yang baik bagi orang lain, seperti pada persahabatan yang saleh dan dalam
melakukan tindakan kebaikan yang sungguh tidak egois – yang tidak bergantung
pada banyaknya kesenangan yang kita terima dari sebuah hubungan.

Dengan pemahaman demikian, maka Paus Yohanes Paulus II mengingatkan kita


bahwa interaksi dengan lawan jenis menuntut tanggung jawab besar. “ alasan ini,
perwujudan dorongan seksual dalam diri manusia harus dievaluasi dalam cinta,
dan tiap tindakan apapun yang berasal darinya membentuk mata rantai dalam
rantai tanggung jawab, tanggung jawab cinta” (hal. 50)

Dalam artikel selanjutnya kita akan menjelajahi pemahaman Paus tentang


bagaimana kita bisa mengarahkan perhatian kita kepada pribadi, bukan hanya
kepada artibut seksual, memeluk cinta yang autentik dan tanggung jawab bagi
mereka yang berada di sekitar kita.

3. Menghindari Ketertarikan (Attraction)


yang Fatal
Seorang pria tertarik pada kepribadian yang hangat dari seorang wanita,
senyumnya yang manis dan kebaikannya kepada orang lain. Ketertarikan dasar
seperti ini sering terjadi diantara pria dan wanita, bahkan terjadi cukup cepat :
Seorang wanita melihat seorang pria berdoa di Gereja kemudian memikirkannya
sepanjang hari; Pria dan wanita yang merupakan teman selama beberapa bulan
akan saling mengalami ketertarikan satu sama lain baik itu secara emosional
atau secara fisik.

Dalam buku Love and Responsibility, Yohanes Paulus II menganalisa anatomi


ketertarikan. Apa yang sungguh terjadi ketika pria dan wanita saling tertarik satu
sama lain?

Anatomi Ketertarikan

Pada tingkat yang paling dasar, tertarik kepada seseorang berarti dianggap oleh
seseorang sebagai sebuah kebaikan (hal. 74). mengalami ketertarikan pada
orang lain, berarti ia memahami suatu nilai dalam pribadi orang itu (seperti
kecantikan, kepribadian, dst) dan merespon terhadap nilai tersebut. Ketertarikan
tersebut melibatkan indra, pikiran, kehendak, emosi dan keinginan (desire) kita.

Ketertarikan terjadi begitu mudah karena adanya dorongan seksual, yaitu


kecenderungan mencari seseorang yang berbeda jenis kelamin. Dorongan
seksual mengarahkan seseorang secara khusus pada kualitas fisiologis dan
psikologis dari pribadi yang berbeda jenis kelamin – tubuh dan maskulinitas atau

6
feminitas mereka. Yohanes Paulus II menyebut kualitas fisik dan psikologis ini
sebagai “nilai seksual” seorang pribadi.

Karenanya, seseorang tertarik dengan lawan jenis dalam 2 cara : secara fisik
dan emosional. Pertama, pria tertarik secara fisik kepada tubuh wanita, dan
sebaliknya. Ketertarikan ini disebut sensualitas tubuh.

Kedua, pria tertarik secara emosional pada feminitas wanita, dan sebaliknya. Hal
ini disebut ketertarikan sentimentalitas emosional. Pada artikel ini, kita akan
fokus pada ketertarikan sensual yang dialami pria dan wanita satu sama lain.

Indra dan Sensualitas

Sensualitas berkaitan dengan nilai seksual yang dihubungkan pada tubuh pribadi
lawan jenis. Ketertarikan ini tidaklah buruk karena dorongan seksual
dimaksudkan menarik kita bukan semata-mata kepada tubuh, tapi kepada tubuh
seorang pribadi. Karenanya reaksi sensual awal diarahkan pada persatuan
personal (bukan sekedar persatuan fisik), dan berperan sebagai bahan dalam
membenuk cinta yang autentik bila di integrasikan dengan aspek-aspek cinta
yang lebih tinggi dan mulia seperti kehendak baik (good will), persahabatan,
kebajikan (virtue), dan komitmen pemberian diri (self-giving commitment) (hal.
108).

Ketertarikan sensual ini dapat menuntun pada bahaya besar. Pertama,


“sensualitas sendiri bukanlah cinta dan dapat dengan meudah menjadi yang
bertentangan dengannya” (hal. 108). Alasannya adalah karena sensualitas bisa
dengan mudah jatuh ke dalam utilitarianisme. Hanya ketika sensualitas dialami,
kita mengalami tubuh pribadi lain sebagai “objek yang berpotensi memunculkan
kenikmatan.” Kita mereduksi pribadi hanya pada kualitas fisik – tubuhnya saja.
Dan kita melihatnya sebagai objek yang memberikan kesenangan dari kualitas
tersebut.

Hal yang paling tragis adalah ketika keinginan sensual (sensual desire) yang
diarahkan pada persatuan pribadi dengan orang berbeda jenis kelamin, bisa
mencegah kita dari mencintai pribadi tersebut. Contohnya, pria yang secara aktif
mencari tubuh wanita sebagai sarana memenuhi kepuasan seksnya. Ia hanya
fokus pada nilai seksual – khususnya kesenangan yang didapat dari nilai
tersebut – sampai pada titik dimana ketertariakn sensual ini mencegahnya
merespon pada nilai tersebut sebagai seorang pribadi. Oleh karena itulah,
sensualitas adalah buta bagi tiap pribadi dan “sensualitas memiliki orientasi
consumer – ia diarahkan terutama kepada sebuah ‘tubuh’ : ia menyentuh pribadi
hanya secara tidak langsung, dan cenderung menghindari kontak langsung” (hal.
105)

Mencintai Coklat?

Kedua, sensualitas juga bisa gagal dalam memahami keindahan sejati tubuh.
Keindahan atau kecantikan dialami melalui kontemplasi, bukan keinginan
mengeksploitasi. Kontemplasi pada keindahan mendatangkan kedamaian dan
sukacita, sedangkan “sikap konsumer” yang mengekploitasi objek demi
kesenangan mendatangkan ketidaksabaran, kegelisahan, dan keinginan yang
kuat kepuasan.

Mari kita menggunakan analogi. Seseorang memiliki kesempatan melihat karya


‘seniman coklat’. Ia menampilkan berbagai coklat yang berbentuk kapal, bunga,

7
burung, menara dan bangunan. Semuanya terbuat dari coklat, coklat hitam dan
coklat putih.

Terdapat dua sikap yang bisa kita arahkan terhadap bentuk-bentuk coklat
tersebut. Di satu sisi, seseorang bsia melihatnya sebagai karya seni, mengagumi
keindahan dan membiarkan dirinya dibawa oleh kebesarannya, proporsi coklat
yang sempurna, detailnya yang sulit dimengerti, kemahiran pembuatnya, merasa
kagum dan heran bahwa masterpiece tersebut dibuat dari gula dan coklat.

Di sisi lain, seseorang bisa melihatnya sebagai makanan dilahap – coklat yang
lezat akan memuaskan rasa lapar! Sikap ini mereduksi karya coklat tersebut
sebagai objek semata-mata dieksploitas demi kesenangan individu. Disini,
sensualitas agal memahami tubuh manusia sebagai masterpiece ciptaan Allah
yang indah, karena ia mereduksi tubuh sebagai objek dieksploitasi memuaskan
keinginan sensual individu.

Michelangelo dan Playboy

Pornografi dan karya seni yang mengambarkan tubuh telanjang memiliki


perbedaan. Pornografi pada majalah playboy, tidak menarik perhatian orang
pada keindahan tubuh manusia, melainkan ia menarik perhatian pada tubuh
sebagai objek digunakan dalam memuaskan hasrat seksual seseorang.
Pornografi mereduksi tubuh manusia pada nilai seksual tubuh. Sebaliknya, karya
seni yang menggambarkan tubuh telanjang manusia sebagai sesuatu yang indah
tidak mereduksi pribadi manusia, namun membawa pada kontemplasi misteri
pribadi manusia sebagai masterpiece dalam ciptaan Allah. Karya seni menuntun
individu pada kontemplasi keindahan, kebenaran, dan kebaikan tubuh manusia,
sedangkan pornografi membawa seseorang untku mereduksi tubuh manusia
sebagai objek yang dapat dieksploitasi. Tidak banyak orang akan jatuh dalam
dosa karena melihat lukisan Michelangelo yang menggambarkan Adam dan
Hawa di kapel Sistine, tapi akan ada banyak pria yang jatuh pada dosa karena
pikiran bernafsu ketika melihat gambar-gambar di majalah Playboy!

Diperbudak oleh Sensualitas

Sensualitas, jika dibiarkan tanpa diperiksa begitu saja, akan menjadi budak bagi
segala hal yang menstimulasi keinginan sensual kita. Contohnya, ketika seorang
pria bertemu wanita yang berpakaian dengan cara tertentu, ia tidak akan bisa
melihatnya tanpa berpikiran kotor terhadapnya. Ketika ia melihat gambar wanita
di TV, ia tidak bisa melawan tidak melihatnya, karena ia sangat mendambakan
nilai seksual wanita itu dan ingin menikmati kesenangan yang didapat dengan
melihatnya.

Dengan budaya Amerika yang secara konstan membombardir orang-orang


dengan gambar seksual yang mengeksploitasi sensualitas, orang diajak fokus
pada tubuh saja. Dan dengan mudah orang diperbudak, dibawa dari satu nilai
seksual pada nilai seksual lainnya. Seperti yang dikatakn Yohanes Paulus II,
sensualitas itu sendiri “berubah-ubah, berbalik dimanapun ia menemukan nilai,
kapanpun ‘objek yang berpotensi menimbulkan kenikmatan’ muncul.” (hal. 108)

“Aku Bisa Melihat, Tapi Tidak Bisa Menyentuh”

Paus memperingatkan bahwa seseorang bisa memanfaatkan tubuh pribadi lain


bahkan ketika pribadi tersebut tidak hadir secara fisik. Ia tidak perlu melihat,
mendengar, atau menyentuh mengeksploitasi tubuh seseorang demi

8
memperoleh kesenangan sensual. Contohnya : Pria bisa menggunakan memori
dan imajinasinya “berhubungan dengan ‘tubuh’ wanita yang tidak hadir secara
fisik, mengalami nilai tubuh itu sejauh ia membetuk ‘objek yang mungkin
memberikan kenikmatan’” (hal. 108-109)

Pria juga sering membenarkan tindakan mereka dengan berkata “tidak ada
salahnya berpikiran kotor /mesum tentang wanita, aku tidak melukai siapapun
ketika melakukannya!” Bahkan pria yang telah menikah juga bisa berpikir “Aku
tidakberzinah ketika melihat wanita dengan cara ini [maksudnya dengan
berpikiran mesum/kotor]. Aku bisa melihat, hanya tidak bisa menyentuhnya”.
Menanggapi hal tersebut, kita harus mengingat perkataan Kristus : “Every one
who looks at a woman lustfully has already committed adultery with her in his
heart” – Setiap orang yang memandang perempuan serta menginginkannya,
sudah berzinah dengan dia di dalam hatinya. (Mat 5 : 28)

Singkatnya, Yohanes Paulus II menekankan bahwa sensulitas saja bukanlah


cinta. Ia bisa menjadi “bahan mentah” perkembangan cinta sejati. Tapi
kerinduan pada nilai seksual tubuh harus dilengkapi dengan elemen-elemen
cinta lainnya yang lebih mulia, seperti kehendak baik, persahabatan, kebajikan,
komitmen total, cinta yang memberi diri (self-giving love, tema ini akan
didiskusikan di artikel selanjutnya). Jika sensualitas tidak diintegrasikan dengan
elemen cinta lainnya, keinginan sensual akan merusak sebuah hubungan.
Faktanya ia bisa menghancurkan cinta antara pria dan wanita, dan dapat
mencegah cinta berkembang diantara pria dan wanita.

4. Indra dan Sentimentalitas


Lebih dari Sesuatu yang Bersifat Fisik

Pada artikel sebelumnya, kita membahas aspek ketertarikan yang cukup


berpengaruh antara pria dan wanita : sensualitas. Pada artikel ini, akan dibahas
aspek lain dari ketertarikan, yaitu sentimentalitas. Sentimentalitas menunjuk
pada ketertarikan emosional antara pria dan wanita.

Contohnya, ketika laki-laki bertemu perempuan, ia tidak hanya mengenali


kecantikannya, tapi ia juga akan tertarik kepada feminitasnya, kepribadiannya
yang hangat, kebaikannya – atau yang disebut Wojtyla sebagai “pesona”
feminimnya. Sebaliknya, ketika perempuan bertemu laki-laki, ia tidak sekedar
menyadari bahwa ia tampan, tapi ia juga memiliki perasaan yang kuat dan
kekaguman terhadap maskulinitasnya, kebajikannya, cara ia membawa diri –
Wojtyla menyebut ini sebagai “kekuatan” maskulinnya.

Reaksi emosional tersebut terjadi sepanjang waktu dan bisa berkembang secara
bertahap antara pria dan wanita, atau juga bisa terjadi ketika mereka pertama
kali bertemu.

Sentimentalitas bisa menjadi bagian yang menuntun pada cinta yang autentik.
Tapi bila kita tidak hati-hati, kita bisa dengan mudah diperbudak oleh emosi kita
dalam cara yang mencegah kita sungguh mencintai pribadi lain.

9
Kapal yang Tenggelam

Cinta seharusnya mengintegrasikan emosi kita. Dalam bentuk yang paling


penuh, cinta tidak bisa menjadi sesuaut yang dingin, keputusan yang
diperhitungkan, kekosongan perasaan. Seorang pria berkata “Sayang, aku
mencintaimu. Aku tidak memiliki perasaan apapun kepadamu, tapi ketahuilah
bahwa aku berkomitmen kepadamu”. Ini bukanlah situasi yang ideal. Emosi kita
dimaksudkan ditangkap ke dalam komitmen pada orang yang kita cintai, dan
karenanya memperkaya hubungan dan memberi kita pengalaman persatuan
yang lebih dalam dengan pribadi lain. Seperti yang dijelaskan Wojtyla “Cinta
sentimental membuat dua orang dekat bersama-sama, mengikat mereka –
bahkan bila mereka terpisah secara fisik – bergerak dalam tiap orbit yang lainK
Seorang pribadi dalam kondisi pikiran ini, secara mental selalu dekat dengan
orang yang memiliki ikatan afeksi kepadanya” (hal. 110)

Wojtyla juga mempedulikan bahwa orang jaman sekarang sering memikirkan


tentang cinta hanya sebagai perasaan, seperti yang ditunjukkan dalam budaya
Amerika pada film romance, lagu cinta, dst.

Cinta yang sejati, sesungguhnya berbeda dari “cinta Hollywood”. Cinta yang
sejati membutuhkan banyak usaha. Ia adalah kebajikan yang melibatkan
pengorbanan, tanggung jawab, dan komitmen total kepada pribadi lain. “Cinta
Hollywood” adalah emosi. Ia adalah sesuaut yang terjadi kepadamu. Fokusnya
bukanlah komitmen pada pribadi lain, tapi pada apa yang terjadi didalam dirimu –
semakin kuat perasaan baik yang kamu alami ketika kamu bersama dengan
orang lain.

Fenomena film Titanic adalah contoh ilusi “cinta hollywood”. Jutaan orang
Amerika menonton ulang film tersebut hanya mengalami kisah cita yang sangat
emosial diantara dua karakteri film tersebut – kisah cinta yang dikembangkan
dianatar dua orang yang sungguh tidak mengenal satu sama lain dan tidak
memiliki komitmen sejati, namun secara mendalam dirasakan oleh penonton
sebagai jenis cinta yang ideal yang bertahan seumur hidup. Dengan jenis cinta
ini yang ditiru, tidaklah mengherankan bila banyak hubungan cinta dalam
kehidupan nyata berakhir seperti kapal karam.

Perasaan kita bisa dan seharusnya disatukan ke dalam cinta yang


dikembangkan secara penuh (tema ini akan dibahas pada artikel selanjutnya).
Ketika kita dibawa oleh emosi kita, kita akan menghindari pertanyaan penting
yang krusial dalam stabilitas hubungan jangka panjang : pertanyaan tentang
kebenaran. Pertama-tama, kita harus mempertimbangkan kebenaran tentang
pribadi lain dan kebenaran tentang kualitas hubungan kita dengannya.

Menghindari Pertanyaan Tentang Kebenaran

Bahaya dari menjadikan perasaan sebagai ukuran cinta kita adalah bahwa
perasaan bisa menyesatkan kita. Perasaan itu sendiri “buta”, karena ia tidak
berhubungan dengan mengetahui kebenaran tentang pribadi lain. Perasaan tidak
memiliki pekerjaan mencari kebenaran, melainkan akal budilah yang berperan
dalam mencari kebenaran.

10
“Perasaan muncul secara spontan – ktertarikan yang dirasakan seseorang pada
pribadi lain sering kali muncul tiba-tiba dan tak terduga – tapi reaksi ini “buta”.”
(hal. 77)

Sebelum dosa masuk ke dunia, intelek/akal budi manusia dengan mudah


diarakhkan pada kehendaknya memilih apa yang baik dan membimbing
emosinya agar hasratnya diarahkan terhadap kebaikan.

Setelah kejatuhan, intelek/akal budi tidak melihat kebenaran dengan jelas,


kehendak diperlemah dalam pengejar apa yang baik, dan emosi kita tidak lagi
menjadi teratur dan ditinggalkan dalam banyak arah yang berbeda. Karenanya
kita mengalami ketidakstabilan dalam area emosional dan terjadi kekacauan (
cinta-benci, harapan-takut, sukacita-kesedihan, dst) sepanjang hidup kita.
Pandangan modern tentang cinta memberi tahu kita kembali pada “perasaan” –
melihat ke dalam roller coaster emosional – menemukan ukuran cinta yang tak
dapat salah. Tidak mengherankan bila begitu banyak kebingngan dan
ketidakstabilan dalam sebuah hubungan dewasa ini.

Benarkah demikian?

Perasaan juga bisa menutupi apa yang kita pikirkan tentang seorang pribadi.
Sentimentalitas bisa menghalangi kemampuan kita mengenal pribadi sebagai
seseorang yang apa adanya. Oleh karena itulah Wojtyla menekankan pentingnya
pertanyaan tentang kebenaran : Benarkan [ia] demikian?. Kita harus bertanya
pada diri kita “Apakah ia sungguh memiliki kualitas dan kebajikan yang
membuatku tertarik padanya” “Apakah kita sungguh baik dan pantas satu sama
lain seperti yang kita rasakan?” “Apakah ia sungguh pantas memperoleh
kepercayaanku” “Apakaha ada masalah dalam hubungan kita yang tidak
kuperhatikan?”

Perasaan tidak menanyakan pertanyaan penting tersebut dan sering membuat


kita menghindarinya, dan membiarkan kita memiliki persepsi yang terdistorsi dan
dilebih-lebihkan tentang seorang pribadi

Hal ini tidak berarti bahwa perasaan itu buruk. Melainkan bahwa perasaan tidak
bisa menjadi kriteria utama dalam membedakan kebenaran yang jujur tentang
pribadi, juga perasaan tidak bisa menjadi kriteria uatam mengevaluasi sebuah
hubungan.

Diluar Proporsi

Karakteristik cinta sentimental adalah kecenderungan ditenggelamkan oleh


emosi dan menghindari pertanyaan tentang kebenaran. Kita cenderung melebih-
lebihkan nilai seorang pribadi yang kepadanya kita memiliki perasaan,
mengecilkan kesalahannya, dan mengabaikan masalah apapun yang dalam
sebuah hubungan.

Wojtyla menyatakan bagaimana perasaan bisa mengendalikan persepsi kita


kepada seorang pribadi yang dengannya kita tertarik :”Di mata orang yang
secara sentimental berkomitmen pada pribadi lain, nilai orang yang
dicintaiKbertumbuh dengan sangat besar – sebagai sebuah aturan yang keluar
dari proporsi nilainya yang nyata”.

Karenanya, kita harus memasuki sebuah hubungan dengan mata yang terbuka
lebar. Bila kita dengan naif berkata bahwa kita tidak mengidealkan pribadi itu

11
sama sekali, ini mungkin adalah tanda seberapa jauh kita menyimpang dari
realitas. Pada tahap awal cinta sentimental, bila kita dengan cepat menyadari
tiga atau empat kualitas dalam pribadi orang yang dicintai, kita seharusnya juga
cepat mengakui bahwa kita mungkin jatuh ke dalam kecenderungan melebih-
lebihkan kualitas tersebut. “Berbagai nilai diberikan pada pribadi yang kita cintai
dimana pada kenyataannya, ia sesungguhnya tidak memiliki nilai tersebut. Ini
adalah nilai yang ideal, bukan yang nyata” (hal 112)

Nilai ideal tersebut adalah nilai yang kita rindukan, dengan segenap hati,
ditemukan dalam pribadi orang lain. Nilai tersebut ada pada keinginan,
kerinduan, dan mimpi kita yang terdalam. Ketika kita akhirnya bertemu
seseorang yang dengannya kita memiliki sedikit “chemistry”, emosi kita dengan
cepat cenderung memanggil nilai ideal tersebut dan memproyeksikan pada
pribadi itu.

Memanfaatkan Orang Secara Emosional

Pria dan wanita bisa saling memanfaatkan satu sama lain memperoleh
kesenangan emosional. Contohnya, seorang pria yang memperoleh kesenangan
dengan membayangkan hari pernikahan dengan pribadi yang ia cintai dan
berharap bahwa akhirnya mereka akan menjadi “satu”, atau seorang wanita yang
memperoleh rasa aman secara emosional dengan memiliki seorang pacar lelaki.

Idealisasi sentimental ini membuat orang yang kita cintai tidak sungguh menjadi
penerima afeksi kita, melainkan ia adalah kesempatan bagi kita menikmati
reaksi emosional yang muncul dalam hati kita. Disini, kita tidak sungguh
mencintainya melainkan memanfaatkannya memperoleh kesenangan emosional
dengan berada bersamanya.

Kekecewaan

Dampak yang paling tragis dari idealisasi sentimental ini adalah bahwa pada
akhirnya kita sungguh tidak mengenal pribadi yang membuat kita tertarik.
Contohnya, pria dalam cinta sentimental ingin dekat bersama wanitanya,
menghabiskan waktu bersama, mengobrol bersama, bahkan pergi Misa dan
berdoa bersama. Bila ia sudah mengidealkan wanita itu, ia tetaplah jauh darinya
– karena afeksi yang kuat yang ia rasakan tidak bergantung pada nilai pribadi
wanita yang sebenarnya, tapi hanya kepada “nilai ideal” yang ia proyeksikan
kepadanya.

Tak terhindarkan lagi, sentimentalitas yang tidak diperiksa ini akan berakhir
dalam kekecewaan besar. Karena ketika pribadi yang nyata tidak lagi memenuhi
nilai idealnya, perasaan yang kuat akan mulai berkurang sedikit demi sedikit, dan
tidak akan ada lagi yang bisa mempertahankan suatu hubungan. Ia akan kecewa
pada pribadi yang dicintainya. Meskipun pasangan menampilkan kedekatan
emosional satu sama lain, faktanya mereka tetap terpisah satu sama lain.
Mereka tidak sungguh saling mengenal secara personal, dan bahkan mereka
bisa saling memanfaatkan satu sama lain memperoleh kesenangan emosional
yang didapat dari idealisasi nilai-nilai ideal tersebut.

12
5. Hukum Karunia: Memahami Dua Sisi Cinta
Bagaimana seseorang mengetahui bila ia berada dalam hubungan yang autentik,
cinta yang berkomitmen atau sekedar kisah cinta yang mengecewakan yang
tidak akan bertahan bila diuji oleh waktu?

Pertanyaan diatas merupakan topik bahasan dalam salah satu bagian bukunya,
Love and Responsibility, ketika ia membahas dua sisi cinta.

Terdapat dua sisi cinta, dan pemahaman tentang perbedaannya sangat penting
setiap pernikahan, pertunangan, ataupun hubungan berpacaran.

Ketika pria bertemu wanita, ia mengalami sejumlah perasaan yang kuat dan
keinginan didalam hatinya. Ia bisa saja tertarik secara fisik terhadap keindahan
tubuhnya atau secara konstan berpikir tentang wanita itu dalam ketertarikan
emosional. Dinamika keinginan sensual batin ini (sensualitas) dan cinta
emosional (sentimentalitas), sebagian besar membentuk interaksi antara pria
dan wanita, dan inilah yang membuat kisah cinta, khususnya pada tahap awal,
begitu bergelora bagi pasangan yang terlibat. Wojtyla menyebut sisi pertama dari
cinta ini sebagai sisi atau aspek subjektif.

Aspek subjektif ini tidak bisa disamakan dengan cinta dalam pengertian yang
utuh. Kita tahu bahwa kita bisa mengalami emosi yang kuat dan keinginan pada
pribadi lain dalam cara tertentu tanpa percaya padanya ataupunsebaliknya
dalam sebuah hubungan cinta. Oleh karena itulah, seberapa besar sensasi ini
dirasakan, sensasi tersebut bukanlah cinta melainkan sebuah “situasi psikologis.”
Di lain kata, aspek subjektif ini tidak lain adalah pengalaman yang
menyenangkan yang terjadi didalam diri seseorang.

Emosi dan keinginan tidaklah buruk, bahkan bisa berkembang menjadi cinta dan
memperkaya cinta, tapi kita tidak boleh melihat hal tersebut sebagai tanda cinta
yang autentik, tanda yang tidak bisa salah.

“Cinta berkembang atas dasar komitmen total dan sikap bertanggung jawab
penuh dari pribadi kepada pribadi lain”

“Perasaan romantis (romantic feeling) secara spontan lahir dari reaksi sensual
dan emosional. Pertumbuhan yang cepat dan kaya dari sensasi [emosional dan
sensual] bisa menyembunyikan sebuah cinta yang gagal berkembang” (hal. 145)

Terdapat sisi cinta yang lain yang secara absolut penting bagi hubungan pria-
wanita, tidak peduli betapa kuatnya emosi dan keinginan yang ada. Inilah yang
disebut aspek objektif dari cinta.

Aspek ini memiliki sejumlah karakteristik yang melampaui perasaan senang yang
dirasakan pada tingkat subjektif. Cinta yang sejati melibatkan kebajikan (virtue),
persahabatan, dan pengejaran kebaikan bersama. Contohnya, suami istri
menyatukan diri mereka dalam tujuan bersama saling membantu menumbuhkan
kekudusan, memperdalam persatuan mereka, dan membesarkan anak-anak.
Mereka tidak hanya berbagi tujuan bersama ini, melainkan memiliki kebajikan
saling membantu satu sama lain agar tujuan bersama tersebut bisa dicapai.

Inilah alasannya mengapa aspek objektif dari cinta itu lebih dari sekedar melihat
ke dalam emosi dan keinginan kita. Ia lebih dari sekedar kenikmatan yang

13
diterima dalam hubungan. Ketika mempertimbangkan aspek objektif cinta, kita
harus membedakan jenis hubungan apa yang ada antara saya dan kekasihku
dalam realitas, bukan apa makna hubungan ini bagiku dalam perasaanku.

Apakah ia sungguh mencintaiku apa adanya atau ia mencintaiku karena ia


mendapatkan kenikmatan dari hubungan ini? Apakah suamiku sungguh
memahami apa yang terbaik bagi diriku, dan apakah istriku memiliki kebajikan
membantuku mencapai tujuan bersama? Apakah kami secara mendalam
disatukan oleh tujuan bersama, saling melayani satu sama lain dan berjuang
bersama menuju kebaikan bersama yang lebih tinggi daripada kami? Ataukah
kami hanya hidup berdampingan, saling berbagi waktu bersama sementara tiap
dari kami dengan egois mengejar rencana-rencana dan interest sendiri-sendiri
dalam hidup? Ini adalah pertanyaan tentang aspek objektif cinta.

Sekarang kita bisa memahami mengapa Wojtyla berkata bahwa cinta yang sejati
adalah “fakta interpersonal” dan bukan sekedar “situasi psikologis”. Hubungan
yang erat didasarkan pada kebajikan dan persahabatan, bukan pada perasaan
baik yang kita terima dan banyaknya waktu yang dihabiskan bersama.

“Cinta sebagai pengalaman harus ditundukkan pada cinta sebagai kebajikan –


tanpa cinta sebagai kebajikan, tidak akan ada kepenuhan dalam pengalaman
cinta” (hal. 120)

Cinta yang Memberikan Diri

Tanda utama dari aspek objektif cinta adalah hadiah diri atau pemberian diri (the
gift of self). Menurut Wojtyla, yang membedakan betrothed love dari bentuk cinta
yang lain (ketertarikan, keinginan, persahabatan) adalah bahwa dua pribadi
“memberikan diri mereka” satu sama lain. Mereka tidak hanya tertarik dan
menginginkan kebaikan satu sama lain. Pada betrothed love, tiap pribadi
menyerahkan diri seutuhnya kepada pribadi lain. “Ketika betrothed love masuk
ke dalam hubungan interpersonal, sesuatu yang melebihi persahabatan terjadi :
dua orang memberikan diri satu sama lain” (hal. 96)

Tapi apa maksudnya seorang pribadi memberikan dirinya bagi yang lain?
Bagaimana ini bisa dilakukan? Wojtyla mengajarkan bahwa tiap pribadi unik dan
memiliki pikiran dan kehendak bebasnya sendiri. Tidak ada orang lain yang bisa
berpikir dan memilih ku. Karenanya, tiap pribadi “adalah tuannya sendiri” dan
tidak bisa diberikan pada yang lain. Jadi dalam arti apa seorang pribadi
“memberikan diri” pada kekasihnya?

Pada tingkat natural dan fisik, tidak mungkin seseorang bisa memberikan diri
bagi yang lain, namun dalam keteraturan cinta (the order of love), seorang
pribadi bisa melakukannya dengan memilih membatasi kebebasannya dan
menyatukan kehendaknya kepada pribadi yang ia cintai. Karena cintanya,
seorang pribadi bisa sungguh menyerahkan kehendak bebasnya dan
mengikatknya dengan pribadi lain.

“Cinta membuat seorang pribadi hanya ingin melakukannya – menyerahkan


dirinya bagi yang lain, kepada orang yang ia cintai”

Kebebasan Mencintai

Sebagai contoh, mari kita melihat apa yang terjadi ketika pria single telah
menikah. Sebagai pria single, Budi sanggup memutuskan apa yang ingin

14
dilakukannya, kapan akan melakukannya, bagaimana hal itu dilakukan. Ia
mengatur sendiri jadwalnya. Ia memutuskan dimana ia tinggal. Ia bisa keluar dari
pekerjaannya dan pindah ke bagian negara lain sesuai keinginannya. Ia bisa
menghabiskan uang sesukanya. Intinya, ia bisa melakukan apa saja sesuai
keinginannya.

Pernikahan akan mengubah kehidupan Budi itu. Tidak semua keputusan yang ia
ambil akan disetujui oleh istrinya. Karena ia telah menikah, semua keputusan
yang diambil harus dibuat dalam persatuan dengan istrinya, dengan melihat apa
yang terbaik bagi pernikahan dan keluarga mereka.

Dalam cinta yang memberikan diri, seorang pria mengenali dengan cara yang
mendalam, bahwa hidupnya bukan miliknya saja. Ia telah menyerahkan
kehendaknya kepada kekasihnya. Rencananya, impiannya, dan preferensinya
tidak seluruhnya diabaikan, tapi diletakkan dalam perspektif baru. Semua itu
ditundukkan pada kebaikan istri dan anak-anaknya. Keluarga menjadi alasan
utama semua yang ia lakukan.

Inilah keindahan cinta yang memberikan diri, dimana Budi dengan bebas
memutukskan membatasi kebebasannya, dengan mempercayakan atau
mengkomitmenkan dirinya kepada istri dan kebaikannya.

Banyak pernikahan yang akan menjadi lebih kuat bila kita memahami dan
mengingat cinta yang memberikan diri. Kita harus mengingat ketika kita
mengatakan janji pernikahan, kita dengan bebas memilih menyerahkan – kita,
dengan kasih, ingin menyerahkan – kehendak kita demi kebaikan kekasih dan
anak-anak kita.

Hukum Karunia/Hadiah

Inilah misteri cinta yang memberikan diri : ketika seseorang menyerahkan


otonominya pada kekasihnya,dengan menyatukan dirinya pada kekasihnya,
hidupnya menjadi diperkaya. Inilah yang dimaksud hukum pemberian diri :
“Seseorang keluar dari dirinya menemukan keberadaan yang lebih penuh dalam
pribadi yang lain” (hal 126)

Dari sudut pandang Kristen, hidup bukanlah tentang “melakukan apa yang
kuinginkan”. Hidup adalah tentang hubunganku – tentang memenuhi
hubunganku dengan Allah dan dengan orang-orang yang Allah tempatkan dalam
hidupku. Disinilah kita menemukan pemenuhan dalam kehidupan : dalam
menghidupi hubungan kita juga. melakukan ini, kita harus berkorban,
menyerahkan kehendak kita melayani kebaikan bagi orang lain. Inilah alasannya
mengapa kita menemukan kebahagiaan yang mendalam ketika kita memberikan
diri dengan cara ini, karena kita hidup dengan cara seperti Allah sendiri hidup :
dalam pemberian diri yang total, cinta yang berkomitmen.

“Manusia menemukan diri hanya ketika ia menjadikan dirinya sebagai


hadiah/pemberian yang tulus bagi yang lain” (Gaudium et Spes, no. 24).

Pernyataan diatas sangan tepat ditujukan pernikahan, dimana cinta yang


memberikan diri antara dua pribadi terjadi dengan sangat bermakna.

Kita memang membatasi kebebasan kita “melakukan apapun yang diinginkan”


ketika kita memberi diri kita dalam betrothed love. Tapi pada saat yang sama kita

15
membuka diri pada kebebasan yang lebih besar : kebebasan mencintai, seperti
yang dijelaskan Wojtyla :

“Cinta terdiri dari komitmen yang membatasi kebebasan seseorang – ia adalah


pemberian diri, dan memberikan diri berarti membatasi kebebasan demi
kepentingan yang lain. Batasan terhadap kebebasan seseorang dapat dilihat
sebagai sesuatu yang negatif dan tidak menyenangkan, tapi cinta menjadikannya
hal yang positif, bersukacita dan kreatif. Kebebasan ada demi cinta” (hal. 135)

Jadi, orang Kristen melihat pembatasan kebebasan sebagai sesuatu yang


membebaskan. Apa yang sungguh ingin kulakukan dalam hidup adalah
mencintai Allahku, istriku dan anak-anakku, tetanggaku, dan secara total
berkomitmen atau mendedikasikan diri terhadap mereka – karena dalam
hubungan inilah aku menemukan kebahagiaan. Aku harus bebas dari keinginan
egois yang mengatur hidupku dan rumah tanggaku. Aku harus bebas dari tirani
“melakukan apa yang Aku inginkan”. Dengan demikian aku bebas hidup sesuai
dengan cara Allah yang menciptakanku. Dengan demikian, aku bebas bahagia.
Inilah yang membuatku bebas mencintai.

6. Cinta dan Tanggung Jawab


Hal penting dalam persatuan pribadi dalam kehidupan pernikahan adalah cinta
yang memberikan diri (self-giving love) secara timbal balik dan adanya
kesadaran akan tanggung jawab satu sama lain sebagai sebuah hadiah/karunia.
Tema tentang tanggung jawab ini begitu penting sehingga diletakkan dalam judul
buku ini “Cinta dan Tanggung Jawab”, buku yang berbicara tentang cinta,
pernikahan, dan hubungan pria-wanita.

Apa itu tanggung jawab? Dan bagaimana tanggung jawab mengubah hubungan
antara kekasih, tunangan, dan “orang-orang penting lainnya?” Hal inilah yang
akan kita pahami lebih lanjut dalam artikel ini.

Tanggung Jawab

Dalam betrothed love, cinta yang penuh melibatkan pria dan wanita yang saling
memberikan dirinya. Pemberian diri ini merupakan tindakan mempercayakan diri
secara total kepada pribadi lain – penyerahan preferensi, kebebasan, dan
kehendak sendiri demi kepentingan orang lain.

Ini berarti dalam betrothed love, kekasihku memberikan diri kepadaku secara
menyeluruh. Ia dengan bebas dan penuh cinta menyerahkan otonominya dan
mengkomitmenkan kehendaknya bagi kebaikan pernikahan kami. Karena ia
mempercayakan kehidupannya kepadaku dalam cara yang unik ini, aku harus
memiliki kesadaran akan tanggung jawab baginya – demi kesejahteraannya,
kebahagiaannya, rasa aman emosionalnya, dan kekudusannya. Seperti yang
dijelaskan Wojtyla,”Di dalam cinta ada tanggung jawab khusus – tanggung jawab
seorang pribadi yang ditarik ke dalam persekutuan yang paling dekat dalam
kehidupan dan aktivitas orang lain, dan menjadi pihak yang memperoleh
keuntungan dari hadiah diri/pemberian diri ini” (hal. 130)

Wojtyla juga memberikan standar bagi cinta yang sifatnya counter-cultural


:”Semakin besar rasa tanggung jawab bagi pribadi lain semakin besar adanya

16
cinta yang sejati” (hal. 131). Perhatikan bahwa beliau tidak mengatakan bahwa
semakin kuat emosi yang dirasakan, semakin besar cinta itu. Pengukuran yang
tepat cinta bukan berapa banyak seseorang menikmati kebersamaan dengan
kekasihnya atau seberapa besar kenikmatan yang ia terima dari kekasihnya.
Cinta yang autentik tidak berpusat pada diri, tidak hanya melihat ke dalam emosi
dan keinginanku secara konstan. Cinta yang sejati melihat ke luar dalam
kekaguman, ia melihat kekasihku yang telah mempercayakan dirinya kepadaku,
dan ia memiliki kesadaran akan tanggung jawab yang mendalam bagi
kebaikannya, khususnya dalam fakta ia telah mempercayakan dirinya kepadaku
dalam cara ini.

Menerima Hadiah

lebih memahami peran tanggung jawab dalam sebuah hubungan, mari kita
mempertimbangkan dua aspek dalam cinta yang memberikan diri (self-giving
love). Di satu sisi, ada pemberian diri : kekasihku memberikan dirinya kepadaku,
dan aku memberikan diriku kepadanya. Di sisi lain, ada juga penerimaan pribadi
lain : Aku menerima kekasihku sebagai hadiah yang dipercayakan kepadaku,
dan ia menerima aku sebagai hadiah jga. Wojtyla mencatat bahwa hal ini
merupakan misteri agung reciprocity (timbal balik) dalam pemberian dan
penerimaan diri satu sama lain. “Penerimaan juga berarti memberi, dan memberi
berarti menerima” (hal. 129)

Bagaimana penerimaan berarti memberi? Dalam arti apa penerimaan terhadap


kekasihku menjadi hadiah yang nyata baginya? Pemahaman dari Teologi Tubuh
Yohanes Paulus II membantu menjelaskan hal ini [1]. Ketiak ia mengkomentari
pernikahan Adam dan Hawa, ia menjelaskan bahwa ketika Hawa diberikan
kepada Adam, ia diterima secara penuh oleh Adam, dan dua pribadi menjadi
satu secara intim. “Maka pria berkata,’Inilah tulang dari tulangku dan daging dari
dagingku’Kkarenanya pria akan meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu
dengan istrinya, dan mereka menjadi satu daging” (Kej 2:23-24)

Karena dosa belum masuk ke dunia, Adam tidak berjuang dengan keegoisan.
Karenanya, ia mencintai istrnya bukan apa yang ia dapat dari sebuah hubungan
(rekan kerja di taman, pertemanan, kesenangan emosional, kesenangan
seksual, dst). Namun ia mencintai Hawa seperti ia apa adanya sebagai seorang
pribadi. Ia memiliki kesadaran tanggung jawab yang mendalam bagi hawa, dan
ia selalu mencari apa yang terbaik bagi dirinya, bukan hanya kepentingannya. Ia
tidak pernah melakukan apapun yang akan melukainya.

Kunci dalam Keintiman

Coba tempatkan diri anda di posisi Hawa. Bayangkan anda memiliki kekasih
seperti Adam! Bayangkan apa yang Hawa rasakan dengan diterima secara utuh
dalam cara itu. Memang, memiliki suami yang dengan suka cita menerima Hawa
sebagai hadiah dan mencintainya demi dirinya bagi Hawa, merupakan hadiah
yang besar baginya, karena kerinduannya persatuan pribadi bisa dipenuhi.
Penerimaan Adam secara utuh/total terhadap Hawa memberikan baginya
keamanan, merasa cukup aman dalam mempercayakan hatinya, seluruh
hidupnya, secara penuh kepada Adam tanpa rasa takut akan ditinggalkan.
Dengan kata lain, cinta Adam yang berkomitmen dan penerimaannya terhadap
Hawa membantu perkembangan di dalam kepercayaan Hawa yang
memungkinkan keintiman emosional terjadi.[2]

17
Inilah kunci dalam persatuan pribadi dalam pernikahan. Karena Hawa percaya
penuh kepada cinta Adam baginya, ai tidak pernah merasa takut dimanfaatkan
olehnya, disalahpahami olehnya, atau dilukai olehnya. Karenanya, dalam
konteks cinta dan tanggung jawab, ia merasa bebas dalam memebrikan dirinay
secara utuh kepada suaminya – baik secara fisik, emosional, spiritual – tidak
meminta kembali.

Kembali ke Taman

Inilah dinamika yang kita inginkan pernikahan kita : kepercayaan total, yang
memungkinkan keintiman pribadi terjadi. Kekasihku akan bertumbuh
mempercyaaiku – dan karenanya menyingkapkan hatinya kepadaku – sejauh ia
menyadari bahwa aku berkomitmen kepadanya, bahwa aku menerimanya secara
utuh, dan aku merasakan tanggung jawab yang besar demi apa yang terbaik
baginya.

Ini bukan hal yang mudah dicapai. Tidak seperti Adam dan Hawa di taman, kita
telah jatuh. Kita egois, dan kita sering melakukan hal-hal yang melukai orang
lain, yang bisa merusak kepercayaan dan menghambat keintiman. Hal ini terjadi
ketika seseorang mulai memikirkan dirinya saja, bukan memikirkan apa yang
terbaik bagi kekasih kita.

Bagaiman ketika kita pertama kali mengalami kelemahan kekasih kita, dan
merasa dilukai oleh hal yang ia lakukan? Ketika kita terluka, kita digoda menjadi
frustrasi dengan kekasih kita, kita berkata pada dirikita “Mengapa ia selalu
melakukan ini” Ia tidak pernah berubah!”. Kita menjadi defensive (“Ini bukan
salahku! Mengapa ia tidak mau mengerti?”). Kita juga menaruh dinding
penghalang (“Aku tidak akan memberitahu ia apa yang kurasakanKIa sudah
tidak peduli lagi padaku”). Kita bahkan menarik cinta kita (“Bila aku menikahi
orang lain, aku tahu aku tidak akan diperlakukan seperti ini”)

Justru pada saat itulah penerimaan kita dan tanggung jawab bagi pribadi lain
paling diuji. Kita seharusnya “mencintai pribadi lengkap dengan segala kebaikan
dan kesalahannya, dan sampai pada titik yang independen antara kebaikan dan
kesalahan itu” (hal. 135). Ia tidak berkata bahwa kita harus mengabaikan atau
menutupi kelemahan dan dosa kekasih kita. Tapi ia menantang kita menghindari
memandang kekasih kita melalui sudut pandang pengacara yang menuntut ke
muka pengadilan. Walau kita terluka, kita perlu melihat melampaui fakta legal
semata (“Ia melakukan ini ku”) dan melihat pribadi, yang mempertahankan nilai
agungnya bahkan ditengah kekurangan dan dosa. Selagi kita melihat semuanya
sepanjang refleksi ini, cinta yang sejati diarahkan kepada pribadi – bukan hanya
apa yang ia lakukan bagi ku. Jadi ketika kekasih kita sedang tidak memiliki
momen yang indah – momen yang tidak menyenangkan bagiku dan faktanya ia
melakukan sesuatu yang melukaiku – akankah masih ada cinta yang utuh dan
penerimaan baginya?

Itulah pertanyaan yang bisa digunakan dalam mengukur cinta seseorang, seperti
yang rangkum oleh Wojtyla :

“Kekuatan cinta muncul palingjelas ketika kekasih kita tersandung, ketika


kelemahan dan dosanya menjadi terbuka. Seseorang yang sungguh mencintai
tidak menarik cintanya, tapi semakin mencintainya, mencintai dalam kesadaran
penuh akan kekurangan dan kesalahan yang lain, dan tanpa menyetujui
kesalahan tersebut. Karena seorang pribadi tidka pernah kehilangan nilai

18
esensialnya. Emosi yang melekatkan dirinya pada nilai pribadi tetap setiap
kepada manusia” (hal. 135)

Hal ini tentu serupa dengan cara Tuhan mencintai kita. Meskipun kita memiliki
banyak dosa dan kegagalam, Allah tetap percaya pada kita, melihat kita dengan
sabar dan penuh kasih pada kesalahan-kesalahan kita. Ia bertahan bersama kita
bahkan ketika kita melakukan perbuatan yang melukai hubungan kita
dengannya.

Karenanya, bila kita ingin seperti Kristus dalam pernikahan kita, hal pertama dan
terutama adlah kita harus mengembangkan sikap mencinta yang lebih dalam dan
penerimaan apa adanya bagi kekasih, dengan segala ketidaksempurnaannya.
Bukannya mencoba mengubah mereka atau menjadi kesal dengan kesalahan
mereka, kita harus tetap berkomitmen dengan teguh pada mereka sebagai
pribadi yang telah dipercayakan pada kiat sebagai hadiah. Sikap fundamental
kita terhadap kekasih kita ditengah kelemahan mereka bukanlah kebingungan,
sikap bertahan, atau merasa terganggu, melainkan penerimaan yang teguh di
hati kita, yang menerima ia apa adanya, bersabar dengan kesalahannya. Ketika
kita melakukan ini, kita mulai mencintai seperti Allah mencintai kita.

7. Membenci Kemurnian
“Kebajikan adalah sesuatu yang kurang di dunia modern. Ini adalah sesuatu
yang banyak dibenci di dunia modern.”

Itulah inti yang dibuat oleh Yohanes Paulus II ketika memulai pengajarannya
tentang kemurnian di bukunya Cinta dan Tanggung Jawab.

Mengapa kebajikan dibenci oleh banyak orang sekarang? Pertama, menghidupi


kehidupan yang saleh tidaklah mudah. Hal ini membutuhkan banyak usaha,
latihan, dan penyangkalan diri. Kita terus menerus melawan kejatuhan kita,
kodrat manusia yang egois. Sisi taman Eden ini, lebih mudah untku
menyerahkannya pada emosi dan hasrat kita daripada mengendalikannya.
Contohnya, lebih mudah menuruti nafsu makan kita daripada makan dengan
pengendalian diri. Lebih mudah marah ketika hal tidak berjalan sesuai keinginan
kita daripada mengendalikan amarah kita. Lebih mudah menyerahkannya pada
keputusasaan dan mengeluh daripada dengan bertahan dengan sukacita
menghadapi cobaan bersama keberanian.

Kebajikan mengingatkan kita akan standar moral yang lebih tinggi yang harus
kita ikuti. Pengingat ini seharusnya menginspirasi kita memberikan lebih dari diri
kita dalam pengejaran kebajikan dan hidup semakin menyerupai Kristus,
daripada menghidupi kehidupan yang diperbudak oleh hasrat kita.

Namun tidak semua orang ingin diingatkan akan hal ini. Karena jiwa-jiwa tidak
ingin menyerahkan kesenangan atau kenyamanan tertentu – jiwa-jiwa tidak ingin
melakukan pekerjaan dan melakukan pengorbanan yang diperlukan bertumbuh
dalam kebajikan – diskusi apapun tentang kebajikan dapat menjadi seperti
cermin yang menunjukkan kemalasan moral mereka.

19
Kebajikan yang Dilanggar

Inilah alasannya kenapa orang membenci kebajikan. Bukannya diinspirasi


menjalani hidup yang lebih baik, mereka menghancurkan standar moral
kebajikan dan menariknya turun ke tingkatan mereka. Mereka meminimalkan
makna kebajikan menyelamatkan diri mereka dari upaya dan mencari-cari
alasan kegagalan moral mereka.

Contohnya, bayangkan beberawa wanita yang bekerja di kantor yang bergosip


danmembicarakan orang lain dibelakang mereka. Salah satunya adalah kolega
Kristen, namun, tidak menggunakan bahasa kasar dan tidak ikut dalam gossip
mereka. Bukannya terinspirasi oleh contohnya, rekan kerjanya malah menjelek-
jelekkan dia. Mereka mengejeknya sebagai “orang suci” yang “terlalu baik
diantara kita”. Dengan tidak melakukan apa yang dilakukan semua orang, ia
berdiri sebagai pengingat akan perilaku immoral mereka. Karenanya
kebajikannya tidak dipuji, melainkan dibenci.

Wojtyla berkata bahwa banyak orang menurunkan nilai kebajikan berdalih dari
keharusan menghidupi standar yang lebih tinggi. Karena mereka tidak mau
berupaya berubah, mereka memperlakukan kebajikan dengan ringan atau
bahkan menyerangnya secara terbuka membenarkan kekurangan karakter
moral mereka. “KebencianKtidak hanya mendistorsi bagian dari kebaikan tapi
menurunkan sesuatu yang dengan tepat pantas mendapatkan rasa hormat
sehingga manusia tidak perlu berjuang mengangkat dirinya kepada tingkat
kebaikan yang benar, tapi bisa ‘dengan gembira’ mengenali yang baik sebagai
apa yang cocok baginya, apa yang mudah dan nyaman baginya” (hal. 144)

Membenci Kemurnian

Kebajikan yang mungkin paling dibenci sekarang adalah kemurnian. Kemurnian


tidak lagi dilihat sebagai sesuatu yang baik, sesuatu yang mulia, sesuatu yang
harus dikejar semua orang. Sebaliknya : kemurnian sering digambarkan sebagai
sesuatu yang jahat – sesuatu yang berbahaya bagi pribadi manusia.

Beberapa orang berargumen bahwa kemurnian berbahaya bagi kesejahteraan


psikologis pria dan wanita muda. Hasrat seksual itu alamiah, kata mereka.
Karenanya, tidaklah alami membatasinya dalam cara apapun.

Yang lain berkata bahwa kemurnian adalah musuh dari cinta. Bila dua orang
saling mencintai, bukankah seharusnya mereka mampu mengungkapkan cinta
mereka melalui hubungan seksual? Kemurnian bisa memainkan peran di area
kehidupan yang lain, tapi ketika dua orang dewasa yang saling menyetujui,
sedang jatuh cinta, pembatasan akan kemurnian merupakan hambatan besar
bagi pasangan yang sedang mengungkapkan cinta mereka melalui seks.

Ini dan banyak argument lain menentang kemurnian merefleksikan kebencian


budaya kita terhadap kebajikan ini. Kita menyaksikan kebencian akan kemurnian
ini di kelas perkuliahan, di banyak program “pendidikan seks”, dan khususnya di
media. Ketika film holywood atau prime time sitcom menggambarkan hubungan
romantic, berapa sering kemurnian diangkat sebagai nilai moral? Seberapa
sering kemurnian dihadirkan sebagai sesuatu yang membuat kita bahagia,
sesuatu sesuatu yang dijadikan prioritas oleh para pahlawan dalam kehidupan
mereka?

20
Mengapa Kebencian Ini?

Wojtla berkata bahwa alasan utama manusia modern melihat kemurnian sebagai
hambatan mencintai adalah bahwa kita menghubungkan cinta terutama dengan
emosi atau kesenangan seksual yang kita terima dari pribadi berlainan jenis. Kita
cenderung memikirkan cinta hanya dalam aspek subjektif. Bila kita akan
memulihkan kebajikan kemurnian di dunia kita, “pertama-tama kita harus
menghapuskan penambahan subjektivitas dalam gambaran kita tentang cinta
dan kebahagiaan yang bisa dibawa oleh pria dan wanita” (hal. 144)

memahami poin ini lebih baik, mari kita secara singkat mengingat dua sisi cinta,
yang kita pertimbangkan dalam refleksi sebelumnya.[1]. Bagi Wojtyla, aspek
subjektif cinta adalah “pengalaman psikologis” – sesuatu yang terjadi didalam diri
saya. Ketika pria dan wanita bertemu, mereka secara spontan menemukan diri
mereka tertarik secara fisik kepada “penampilan” (ia menyebutnya ketertarikan
sensualitas). Dan mereka juga bisa menemukan diri mereka tertarik secara
emosional kepada kepribadian feminism atau maskulin (ia menyebutnya
sentimentalitas). Hasrat sensual dan tanggapan emosional tidaklah buruk.
Faktanya, mereka dapat berperan sebagai “bahan mentah” yang darinya cinta
autentik dapat berkembang. Namun, tanggapan ini tidak mewakili cinta itu
sendiri. Pada tingkatan ini, mereka tetaplah ketertarikan kepada tubuh pribadi
lain atau maskulitan dan feminitas mereka, bukan cinta bagi pribadi pria atau
wanita.

Aspek objektif cinta lebih dari sekedar pengalaman psikologis yang terjadi
didalam diri saya. Ia merupakan “fakta interpersonal”. Ia mempertimbangkan apa
yang sungguh terjadi dalam sebuah hubungan, bukan sekedar perasaan baik
yang saya alami ketika berada dengan pribadi lain. Aspek objektif cinta
melibatkan komitmen timbal balik dari kehendak kepada apa yang paling baik
bagi pribadi lain dan kebajikan yang mampu menolong pribadi lain mengejar apa
yang paling baik bagi mereka. Terlebih, cinta dalam maknanya yang paling
penuh melibatkan pemberian diri – penyerahan kehendak seseorang, keputusan
membatasi otonomi seseorang melayani orang lain dengan lebih bebas.

Karenanya, pertanyaan sebenarnya dalam cinta bukanlah pertanyaan subjektif


:”Apakah saya memiliki perasaan dan hasrat yang kuat bagi kekasih saya?
Apakah pria atau wanita memiliki perasaan dan hasrat sensual yang kuat bagi
saya?” Siapapun bisa memiliki perasaan dan hasrat bagi pribadi lain. Tapi tidak
setiap orang memiliki kebajikan dan komitmen membuat cinta yang
memberikan-diri menjadi mungkin.

Nilai Seksual

Sekarang kembali pada masalah kemurnian.Wojtyla menunjukkan bahwa aspek


subjektif cinta berkembang lebih cepat dan lebih dirasakan secara intens
daripada aspek objektif. Di tingkat objektif, membutuhkan banyak waktu dan
upaya menanamkan persahabatan yang saleh. Hubungan yang berpusat pada
cinta yang memberikan-diri yang total dan pada kesadaran akan tanggung jawab
yang mendalam orang lain sebagai hadiah tidak terjadi secara spontan.

Namun dengan aspek subjektif cinta, tidak membutuhkan banyak waktu dan
usaha mengalami hasrat sensual atau kerinduan emosional bagi pribadi
berlawanan jenis. Reaksi tersebut terjadi secara isntan. Lebih lanjut, tanggapan

21
sensual dan emosinal dapat begitu kuatnya sehingga mereka mendominasi
bagaimana mereka memandang pribadi lain. Dalam kodrat manusia yang rapuh
[fallen human nature], kita cenderung melihat pribadi berlawanan jenis terutama
melalui prisma nilai seksual mereka – nilai yang memberikan kita kesenangan
emosional dan seksual. Akibatnya, kita mengaburkan persepsi kita tentang
mereka sebagai pribadi, dan memandang mereka sebagai kesempatan bagi
kenikmatan kita (hal. 159)

Wojtyla menunjukkan bahwa pertemuan ktia dengan pribadi berlainan jenis


sering bercampur dengan sejenis egoisme sensual atau emosional – dengan
hasrat memanfaatkan pribadi demi memperoleh kesenangan emosional atau
kepuasan seksual. “Kebenaran akan dosa asal menjelaskan kejahatan yang
paling dasar dan paling tersebar luas – bahwa manusia yang bertemu pribadi
berlainan jenis tidak secara sederhana dan spontan mengalami ‘cinta’ melainkan
sebuah perasaan yang dilumpuri oleh kerinduan menikmati” (hal 161)

Kecenderungan Kita Memanfaatkan Pribadi Berlainan Jenis

Wojtyla berkata bahwa ketika kita bertemu seseorang berlainan jenis, kita tidak
seharusnya mengharapkan sikap kebaikan kristen yang murni tidak egois, yang
mengalir dari hati kita. Karena kita telah jatuh, ketertarikan kita yang kompleks
sering bercampur dengan sikap egois menginginkan bersama pribadi lain bukan
demi komitmen bagi kesejahteraannya, tapi demi perasaan baik atau
kesenangan sensual yang kita terima dari kebersamaan dengan pribadi lain.
Ketika anak lelaki bertemu anak perempuan, mereka tidak secara otomatis jatuh
ke dalam cinta yang autentik, berkomitmen, dan memberikan-diri satu sama lain.
Melainkan, mereka merasa tertarik satu sama lain, mereka tergoda melihat yang
lain sebagai objek memuaskan kebutuhan emosional atau hasrat seksual
mereka.

Reaksi-reaksi terhadap nilai seksual ini tentu tidak buruk di dalam reaksi
tersebut. Namun, bila kita tidak berhati-hati, bahan mentah ini dapat digunakan
sebagai sarana bagi kenikmatan emosional atau sensual kita. Dan selama ini
terjadi, cinta yang tidak egois bagi pribadi lain tidak pernah berkembang. Itulah
alasannya kita membutuhkan kebajikan yang membantu kita mengintegrasikan
ketertarikan sensual dan sentimental kita dengan cinta autentik bagi orang lain
sebagai pribadi. Wojtyla melanjutkan, “Karena sensasi dan tindakan muncul dari
reaksi seksual dan emosi yang terhubung dengan mereka cenderung
mengurangi cinta dari kejelasannya, kebajikan khusus diperlukan melindungi
karakter sebenarnya dan profil yang objektif. Kebajikan khusus ini adalah
kemurnian” (hal. 146)

Kemurnian : Penjaga Cinta

Sekarang kita bisa memahami mengapa kemurnian diperlukan bagi cinta. Jauh
dari sesuatu yang menghambat cinta kita, kemurnian membuat cinta menjadi
mungkin. Ia melindungi cinta jatuh dari sikap egois, utilitaris dan memampukan
kita mencintai dengan tidak egois – terlepas dari kesenangan emosi dan sensual
yang kuat yang kita terima dari kekasih kita.

Bila kita sungguh mencintai pribadi berlainan jenis, kita harus mampu melihat
lebih dari sekedar nilai seksual seorang pribadi. Kita harus melihat nilai penuh
mereka sebagai pribadi dan menanggapinya dalam cinta yang tidak egois.
Wojtyla berkata bahwa kemurnia memampukan kita melakukan itu. “Esensi
kemurnian terdiri dari kecepatannya dalam menegaskan nilai seorang pribadi

22
dalam setiap situasi dan dalam mengangka semua reaksi kepada nilai “tubuh
dan seks” pada tingkat personal” (hal. 171)

Namun pria tanpa kemurnian duduk dalam situasi yang sangat buruk : Ia tidak
bebas mencintai. Ia bisa memiliki tujuan baik dan hasrat yang tulus peduli pada
kekasihnya, tapi tanpa kemurnian, cintanya tidak akan pernah berkembang,
karena cintanya tidak akan menjadi murni. Cintanya akan bercampur dengan
kecenderungan melihat kekasihnya terutama dalam nilai seksualnya, yang
membuat hatinya bergembira dalam kenikmatan emosional atau membuat
tubuhnya teraduk dalam hasrat sensual. Wojtyla menjelaskan bahwa pria tanpa
kemurnian begitu ter-preokupasi dengan kesenangan emosional dan sensual
yang ia terima dari kekasihanya (hal. 164)

Tapi kemurnian memapukan pria melihat dengan jelas bukan hanya nilai seksual
kekasihnya, tapi bahkan nilai sebagai seorang pribadi. Dibebaskan dari sikap
utilitarian, pria yang murni karenanya bebas mencinta. “Hanya pria dan wanita
yang murni yang sanggup memiliki cinta yang sejati. Kemurnian membebaskan
hubungan mereka, termasuk hubungan seksual, dari kecenderungan saling
memanfaatkanKdan dengan membebaskannya ia memperkenalkan dalam
kehidupan bersama dan hubungan seksual mereka disposisi khusus bagi cinta
kasih” (hal. 171).

8. Pertarungan demi Kemurnian


Pertarungan demi kemurnian pada akhirnya dilakukan di dalam hati manusia

Hati kita diciptakan mencintai, namun sejak kejatuhan Adam dan Hawa, hati
telah dinodai oleh hasrat memanfaatkan orang lain. Dampak dosa asal ini
mungkin yang paling dramatis dalam pertemuan kita dengan pribadi berlainan
jenis, dimana hati ktia sering ditarik ke pribadi lain lebih kesenangan emosional
dan sensual yang kita peroleh darinya daripada komitmen sejati terhadap apa
yang paling baik bagi mereka dan nilai mereka yang sebenarnya sebagai
seorang pribadi. Dalam refleksi ini, kita akan memahami bahwa kemurnian jauh
lebih besar daripada sekedar berkata “tidak” tindakan seksual tertentu yang
dapat dilakukan pada tubuh. Akhirnya, kemurnian adalah persoalan hati.

Kemurnian : Ya dan Tidak

Kata murni secara literal berarti “bersih”, dan orang Kristen telah menggunakan
kata ini menggambarkan kebajikan tertentu yang mengendalikan hasrat seksual
kita. Tapi ini bukan karena hasrat seksual itu sendiri tidak bersih atau kotor.
Kenyataannya, Yohanes Paulus II(Karol Wojtyla) memperingatkan tentang
pandangan negatif akan kemurnian yang membalikkan kebajikan ini menjadi
sebuah penekanan hasrat sensual (“Jangan berhubungan seks sebelum
menikah!”). Dalam terang yang negatif ini, kemurnian semata-mata menjadi
“’tidak’ yang panjang”. Dan penekanan (supresi) jenis ini bisa memiliki
konsekuensi serius bagi pribadi manusia :”Kemurnian sering dipahami sebagai
hambatan sensualitas ‘buta’ dan hambatan dorongan impuls fisik seperti nilai-
nilai ‘tubuh’ dan seks didorong ke dalam alam bawah sadar, dimana mereka
menunggu kesempatan meledak. Ini merupakan pemahaman yang keliru
terhadap kebajikan kemurnian, yang blia dipraktekkan dalam cara ini, memang
menciptakan bahaya akan “peledakan” tersebut” (hal. 170)

23
Kita harus memahami kemurnian sebagai kebajikan positif yang memampukan
kita mencintai, dan melindungi cinta dari ternoda oleh kecenderungan egois
memanfaatkan pribadi lain demi kesenangan kita. Wojtyla berkata kemurnian
bukanlah “‘tidak’ yang panjang”. Melainkan, kemurnian terutama adalah sebuah
“ya” di hati kita pribadi lain, bukan sekedar nilai seksualnya. Kemurnian adalah
“ya” yang mengharuskan “tidak” tertentu melindungi cinta dari kejatuhannya ke
utilitarianisme. “Esensi kemurnian terdiri dari kecepatannya menegaskan nilai
seorang pribadi dalam setiap situasi, dan dalam mengangkat semua reaksi
terhadap nilai ‘tubuh dan seks’ ke tingkat personal” (hal. 171). Konteks cinta yang
positif demi pribadi ini merpuakan kunci memahami “tidak” nya ajaran Gereja
tentang moralitas seksual.

Cinta yang Murni

Seperti yang kita pahami melalui refleksi ini, pertemuan kita dengan pribadi
berlainan jenis sering didominasi oleh ketertarikan emosional dan sensual. Kita
dengan cepat ditarik dengan lebih kuat terhadap nilai seksual seorang pribadi
(maskulinitas/feminitas dan tubuh mereka) daripada kita ditarik kepada nilai
mereka sebenarnya sebagai seorang pribadi (kebajikan mereka, kekudusan
mereka, keberadaan mereka sebagai putra atau putrid Allah). Karena dosa asal,
kita tidak secara otomatis mengalami cinta yang memberikan diri yang autentik
bagi pribadi berlainan jenis, melainkan mengalami “perasaan yang bercampur
dengan kerinduan menikmati” (hal. 161)

Kemurnian, karenanya, mengendalikan hasrat demi kesenangan ini, agar kita


dapat melihat dengan jelas nilai seorang pribadi dengan cinta yang terpusat pada
kebaikannya, bukan pada pencarian kenikmatan demi diri kita. Karenanya,
kebajikan disebut “kemurnian”, karena ia memberikan cinta yang murni dan
bersih bagi pribadi lain. Wojtyla menjelaskan,”Kata murni (‘bersih’)
mengimplikasikan pembebasan dari segala sesuatu yang ‘menjadikan kotor’.
Cinta harus menjadi terang : melaui semua sensasi, semua tindakan yang
berasal darinya kita harus selalu mampu membedakan sikap kepada pribadi
berlainan jenis yang berasal dari penegasan tulus akan kepantasan pribadi
tersebut” (hal. 146)

Dua Medan Pertempuran

Wojtyla memetakan dua area dalam pertempuran demi kemurnian. Pertama, kita
harus berperang melawan apa yang ia sebut “egoisme emosional”, yang
merupakan kecenderungan memanfaatkan pribadi lain demi kesenangan
emosional kita. Utilitarianisme jenis ini tidak mudah dideteksi, karena egoisme
emosional mudah menyamarkan dirinya sebagai cinta (“Aku memiliki perasaan
yang kuat ketika aku bersamanya. Ini pasti cinta”). Dan bahkan ketika egoisme
emosional terbuka (“ia sekedar menggoda” atau “ia bermain-main dengan
perasaannya”), kelihatannya tidak parah sebagai sebuah hinaan terhadap cinta
ketika seseorang memanfaatkan pribadi lain sebagai objel kesenangan sensual.

Namun, emosi, walaupun merupakan aspek dari cinta, dapat menjadi “ancaman
bagi cinta”, kata Wojtyla. Kapanpun seseorang menempatkan emosi demi hal itu
sendiri di pusat perhatian seseorang dalam sebuah hubungan, sikap utilitarian
yang egois menyelinap di belakangnya. Dan Wojtyla mencatat bahwa ini masih
merupakan distorsi cinta yang drastic. “Ketika emosi menjadi tujuan akhir dari
dirinya, semata-mata demi kesenangan yang diberkan, pribadi yang
menyebabkan emosi atau yang kepadanya emosi tersebut diarahkan, sekal lagi

24
menjadi “objek” yang memberikan kesempatan memuaskan kebutuhan
emosional dari ego seseorang” (hal. 158)

Area pertempuran kedua dalam pertarungan demi kemurnian adalah apa yang
disebut “Wojtyla”sebagai “egoisme sensual”, yang merupakan kecenderungan
memanfaatkan pribadi lain demi kesenangan sensual. Tentu, berbagai tindakan
seksual yang adalah dosa membentuk egoisme jenis ini. Tapi Wojtyla
menekankan bahwa seseorang dapat jatuh kedalam egoisme sensual tanpa
membuat kontak jasmani apapun dengan pribadi lain. Contohnya, seorang pria
bisa melihat wanita khususnya dalam nilau tubuhnya, dan memanfaatkan
tubuhnya sebagai objek kenikmatan dalam pikirannya ketika ia melihatnya, atau
dalam memorinya dan imajinasi lama setelah ia melihatnya (hal. 108). Sepuluh
Perintah Allah merefleksikan poin ini. Kita memiliki perintah keenam “Jangan
berbuat cabul”, yang ditujukan pada tindakan eksternal fisik di area seks, dan
perintah kesembilan “jangan ingin berbuat cabul”, yang ditujukan tindakan
internal/batin yang pada umumnya dikenal sebagai pikiran bernafsu.

Tapi dimanakah batasannya terletak antara menyadari nilai seksual seseorang


dan tertarik padanya dalam cara yang berdosa tidaklah selalu mudah
dibedakan. Apa perbedaan antara ketertarikan tanpa dosa dalam penampilan
fisik pribadi dan pikiran bernafsu? Wojtyla memberikan beberapa pemahaman
yang membantu.

Ia mengidentifikasi tiga tahap umum dalam pertarungan melawan egoisme


sensual. Pertama, seseorang dapat mengalami reaksi sensual spontan. Pada
tahap ini, seseorang menyadari nilai dari tubuh pribadi lain dan berekasi
terhadap nilai tersebut secara spontan. Contohnya, pria taman berjalan di pesta
cocktail dan menangkap perhatian wanita yang tidak pernah ia temui, sementara
pria tersebut menyadari karakteristik yang atraktif dari wanita ini dan menemukan
dirinyanya tertarik kepadanya sepanjang sore. Nilai seksual pribadi berlaian jenis
sering hadir secara spontan seperti ini. Kita menyadarinya dan menemukan diri
kita tertarik di dalamnya.Ini bukan nafsu, ini tidak dosa. Ini secara sederhana
berarti kita adalah manusia yang memiliki hasrat sensual. Seperti yang dijelaskan
Wojtyla, sensualitas “hanya mengarahkan seluruh psyche (jiwa) terhadap nilai
seksual, membangunkan ketertarikan didalamnya atau ‘terserap’ di dalamnya”
(hal. 148). Sepreti yang telah kita pahami sebelumnya, hasrat sensual diberikan
Allah menarik pribadi bersama-sama kedalam cinta. Ia dapat berperan sebagai
“bahan mentah” demi cinta autentik bila ketertarikan sensual pada pribadi lain
menuntunnya pada tingkat komitmen bagi pribadi secara lebih mendalam –
bukan hanya pada nilai seksual pria atau wanita.

Pikiran Bernafsu?

Wojtyla memperingatkan kita betapa mudahnya bergerak dari tahap pertama


ketertarikan sederhana dalam nilai seksual pribadi lain menuju tahap kedua yang
mendambakan mereka sebagai potensi objek kesenangan sensual. Wojtyla
menyebut tahap kedua ini konkupisensi sensual. Pada tahap ini, sesuatu dalam
pribadi mulai bergerak : hasrat nilai seksual pribadi sebagai sebuah objek
dinikmati. Sekarang nilai seksual tidak hanya objek ketertarikan, tapi objek aktual
dari hasrat sensual dalam hati kita. Sesuatu dalam diri kita “mulai berjuang
kesana, yang mendambakan nilai itu” dan kita “berhasrat memiliki nilai tersebut”
(hal 148)

Wojtyla berkata bahkan dalam tahap kedua dari ketertarikan sensual tidaklah
selalu dosa. Ia merupakan dampak dari konkupisensi (kecenderungan kepada

25
dosa). Karena kodrat manusia kita yang jatuh, tidaklah mudah bagi ktia dengan
cepat mengarahkan perubahan hasrat sensual batin menuju cinta yang tidak
egois bagi pribadi lain. Hasrat ktia kesenangan sensual dapat dirasakan begitu
kuat sehinga kita mengalami hasrat untku memanfaatkan pribadi lain
memperoleh kesenangan tersebut. Tapi inilah kuncinya : Wojtyla bahkan berkata
bahwa perubahan hasrat sensual ini tidaklah dosa didalam dirinya selama
kehendak melawan hasrat memanfaatkan orang lain itu – selama kehendak
tidak setuju padanya. Memang, kita mengalami hasrat sensual yang memuncak
dengan intens dalam diri kita tanpa kehendak kita sesungguhnya setuju
terhadapnya dan bahkan dengan kehendak kita secara langsung menentangnya
(hal 162)

Inilah alasannya Wojtyla mengingatkan kita dengan bijak agar kita tidak berharap
memenangkan pertarungan demi kemurnian di hati kita dengan segera, dengan
berkata “tidak” dengan cukup keras. Ia berkata “sebuah tindakan kehendak
melawan dorongan sensual pada umumnya tidak menghasilkan hasil yang
cepatKTak seorangpun bisa menuntut apakah ia tidak harus mengalami reaksi
sensual sama sekali, atau bahwa mereka seharusnya segera menyerah karena
kehendak tidak setuju terhadapnya, atau bahkan karena kehendak menyatakan
dirinya secara definitif “menentang” [reaksi sensual tersebut]”

Ini adalah nasehat yang sangat membantu bagi mereka yang menginginkan,
namun berjuang, menjadi murni. Seseorang dapat mencoba dengan segala
upaya tetap murni, namun masih mengalami reaksi sensual spontan dan
sederhana dan bahkan perubahan batin dari hasrat konkupisensi. Namun ia
harus ingat bahwa selama kehendak tidak memberikan persetujuan kepada
hasrat utilitarian tersebut, ia tidak jatuh dalam dosa. Seperti yang dikatakan
Wojtyla,”Ada perbedaan diantara ‘tidak ingin’ dan tidan merasakan,’,tidak
mengalami’” (hal. 162)

Dengan kata lain, seseorang bisa merasakan perubahan batin dari hasrat
konkupisensi dalam hati mereka, tapi ini tidak sama dengan kehendak meberikan
persetujuan mengikuti hasrat tersebut dan memperlakukan pribadi lain sebagai
objek potensial untuk kenikmatan. “Reaksi sensual, atau “perubahan” dari hasrat
badaniah yang berakibat darinya, dan yang terjadi tanpa memandang dan bebas
dari kehendak, tidak bisa menjadi dosa didalam dirinya” Wojtyla menjelaskan.
“Tidak, kita harus memberikan beban yang pantas kepada fakta bahwa dalam
pria normal nafsu tubuh memiliki dinamikanya sendiri, darinya reaksi sensual
adalah sebuah perwujudanKNilai seksual terhubung dengan tubuh pribadi
menjadi tidak hanya objek ketertarikan, tapi – dengan mudah – menjadi objek
hasrat sensual. Sumber dari hasrat ini adalah kekuatan konkupisensi – dan
bukan kehendak” (hal. 161)

Menyebrangi Ambang Batas Dosa

Namun, hasrat sensual konkupisensi ini secara berkelanjutan berusaha


membuat kehendak setuju padanya, karenanya menuntun pribadi menyebrangi
batasan dosa. Memang, bila kehendak tidak melawan perubahan hasrat sensual,
seseorang jatuh dalam tahap ketiga, yang disebut Wojtyla sebagai hasrat
badaniah. Disini, kehendak menyerah dari perlawananKdan setuju mengejar
perasaan menyenangkan yang terjadi di dalamnya. Ia dengan bebas
mempercayakan kehendaknya pada dorongan tubuhnya, walau dorongan ini
mengarhakan ia memperlakukan tubuh wanita sebagai objek kenikmatan di
tindakan atau pikiran, memori, atau imajinasinya. “Segera setelah kehendak
memberikan persetujuan ia mulai dengan aktif mencari apa yang “terjadi” secara

26
spontan pada indra dan hasrat sensual. Dari sini, ini bukanlah sesuaut yang
semata-mata ‘terjadi’ pada manuysia, tapi sesuatu yang ia lakukan secara aktif”
(hal. 162)

Sekarang ambang batas dosa telah diseberangi. Sebelum titik ini, pria telah
mempertahankan tingkat kemurnian yang penting dalam hatinya karea ia
melawan hasrat konkupisensi utilitarian itu. Tapi sekarang kehendaknya setuju
pada hasrat tersebut, sesuatu yang dramatis berubah : Pria sendiri mengubah
dirinya seperti yang ia kehendaki di dalam hatinya berjalan mengikuti hasrat
utilitarian itu. Ia tidak lagi mengalami hasrat memanfaatkan tubuh wanita; ia
sungguh memanfaatkan tubuh wanita sebagai tempat penyaluran hasrat
badaninya. Ia tidak lagi seorang pria yang berjuang melawan pikiran bernafsu; ia
telah menjadi pria bernafsu yang setuju pada pikiran tersebut yang didalamnya ia
memanfaatkan tubuh wanita dalam imajinasinya demi kesenangannya.

Dan persetujuannya pada pikiran bernafsu atau tindakan bernafsu ini


menghalangi cinta yang memberikan-diri dari perkembangan secara penuh di
hatinya. Karena pria bernafsu meliaht wanita terutama sebagai objek
kesenangan, ia tidak mampu menunjukkan cinta kasih yang tidak egois. Ia tidak
mampu dipercayakan pada apa yang paling baik bagi wanitanya, mengorbankan
hasratnya demi kebaikannya, karena ia lebih terpreokupasi oleh kepuasan
sensualnya. “Relasi terhadap pribadi karenanya bersifat utilitarian, seorang
‘konsumen’ mendekat, dan karenanya pribadi diperlakukan sebagai objek
kenikmatan (hal 151)”

Kemurnian adalah kebajikan yang membebaskan manusia dari kondisi


menyedihkan yang dikendalikan oleh dorongan sensualnya. Sebagai manusia
yang jatuh, bahkan pria yang murni masih mengalami hasrat sensual
konkupisensi ini, tapi ia tidak diperbudak olehnya dan dengan cepat bangkit
diatasnya. Karenanya, ia mudah dan segera dapat melihat didalam wanita lebih
dari sekedar nilai seksualnya. Didalam hatinya, ia mampu melihatnya sebagai
pribadi, bukan terutama sebagai kesempatan demi kesenangan. Dan akrenanya
ia mampu mencintainya apa adanya dengan tidak egois, bukan karena
kenikmatan sensual yang mungkin ia peroleh darinya. Dengan cara ini,
kemurnian hati membuat manusia sungguh bebas untuk mencintai.

27

Anda mungkin juga menyukai