Diringkas dari buku : Men, Women, and Mystery of Love, Practical insight from
John Paul II’s Love and Responsibiity
https://luxveritatis7.wordpress.com
Prinsip Personalistik
1
Cinta dan Persahabatan
Begitu pula dengan minat, ketika minat seseorang mengalami perubahan, maka
mereka tidak bisa lagi menghabiskan waktu bersenang-senang bersama. Ketika
pengalam bersenang-senang bersama tidak lagi dirasakan, dengan demikian
persahabatan tersebut akan memudar.
2
Persahabatan jenis ketiga ini juga harus ada dalam pernikahan. Ketika
seseorang hanya memikirkan dirinya saja, maka orang tersebut menghendaki
pasangannya menuruti keinginannya, menjalankan rencananya dan
keinginannya saja tanpa mempedulikan istri dan anak-anak. Contohnya, seorang
ayah ingin semua pekerjaan rumah beres, ingin menonton sepak bola,
membelanjakan uang hal yang penting baginya, dst – tanpa memberi prioritas
terhadap apa yang dibutuhkan istri dan anak-anaknya.
Persahabatan yang saleh ini penting dalam sebuah keluarga. Tujuan bersama
pada persahabatan ini melibatkan persatuan antar suami-istri, masing-masing
saling membantu tumbuh dalam kekudusan, dan prokreasi serta edukasi anak-
anak. Suami dan istri harus bekerja sama dalam mencapai tujuan ini serta
menundukkan preferensi pribadi terhadap tujuan bersama pernikahan ini.
Dengan demikian, seseorang bisa menghindar tidak jatuh dalam prinsip
utilitarianisme dimana orang lain digunakan hanya memperoleh tujuan ataupun
kesenangan semata.
Paus Yohanes Paulus II menunjukkan kesalahan ini :”Ketika seseorang tidak lagi
memberikan keuntungan satu sama lain, tidak ada apapun yang tertinggal dalam
harmoni. Tidak ada lagi cinta diantara mereka”
Seperti Prostitusi
Bayangkan bila ada pebisnis yang tiap minggunya melakukan hubungan seksual
dengan seorang pekerja seks . Pria tersebut menginginkan kesenangan seksual
yang didapat dari sang wanita, sedangkan si wanita menginginkan uang yang
dimiliki oleh pebisnis tersebut. Masing-masing mendapatkan apa yang
diinginkan, dan keinginan tiap orang terpenuhi.
Namun apa yang terjadi bila keduanya tidak lagi memberikan keuntungan satu
sama lain?
Jika si pekerja seks bisa mendapatkan uang lebih banyak dari pria lain, maka ia
akan meninggalkan pebisnis tersebut. Sedangkan bagi si pria, bila ia bisa
mendapatkan kesenangan seksual dari wanita yang lebih muda dan atraktif,
maka ia akan meninggalkan pekerja seks tersebut.
Ini mungkin contoh yang ekstrim, tapi berapa banyak hubungan pria-wanita yang
tidak lebih baik daripada ini? Berapa banyak hubungan yang didasarkan pada
keuntungan atau kesenangan yang bersifat timbal balik daripada hubungan yang
didasarkan cinta yang berkomitmen dan persatuan pribadi yang sejati?
Contohnya, berapa banyak wanita yang memberikan keperawanan mereka dan
tidur dengan pria demi memperoleh rasa aman yang sifatnya emosional, atau
karena rasa takut akan diputus hubungannya oleh si pria? Berapa banyak pria
3
yang tidur dengan wanita hanya memperoleh kesenangan fisik dari hubungan
tersebut? Hal ini bukanlah hubungan cinta yang autentik dalam persatuan antar
pribadi. Melainkan ini adalah bentuk-bentuk pemanfaatan timbal balik yang
secara sosial diterima – mirip seperti prostitusi.
Hubungan utilitarian melahirkan rasa takut dan tidak aman bagi salah satu atau
kedua pihak. Tandanya adalah ketika seseorang mulai kesulitan mengatakan
masalah dalam hubungan mereka kepada orang yang dicintainya.
Satu alasan mengapa pasangan tidak berani berkonfrontasi satu sama lain
adalah bahwa mereka tahu bahwa tidak ada dasar bagi hubungan tersebut agar
tetap bertahan – selain kesenangan atau keuntungan yang bersifat timbal balik.
Seseorang merasa takut bila hubungan menjadi menantang, sulit, menuntut
pihak lain, maka orang lain tersebut akan pergi. Cara mempertahankan hal ini
adalah dengan berpura-pura bahwa apa yang terjadi tidaklah seburuk seperti
yang terlihat.
Dorongan Seksual
Seksualitas adalah area dimana seseorang bisa memanfaatkan orang lain. Disini
akan dibahas tentang dorongan seksual dalam diri manusia.
Nah, karena dorongan seksual ini terutama diarahkan pada manusia, maka,
dorongan seksual bukanlah sesuatu yang buruk. Dorongan seksual bisa
memberikan kerangka bagi cinta yang autentik berkembang.
4
Tapi dorongan seksual ini tidak bisa disamakan dengan cinta. Karena cinta
melibatkan lebih dari reaksi emosional atau sensual secara spontan yang
dihasilkan oleh dorongan seksual; cinta yang autentik mengharuskan tindakan
kehendak diarahkan kepada kebaikan bagi orang lain. Dorongan seksual bisa
memberikan “bahan mentah” yang darinya tindakan cinta dapat muncul – bila ini
dibimbing oleh kesadaran tanggung jawab yang besar bagi orang lain.
Penting diperhatikan bahwa dorongan seksual pada manusia ini tidak sama
dengan insting seksual pada binatang. Insting seksual pada hewan menunjukkan
refleks cara bertindak yang tidak bergantung pada pikiran sadar. Sedangkan
manusia sanggup mengendalikan dorongan seksualnya, ia dapat memilih
bagaimana menggunakan dorongan seksual tersebut.
Budi bertemu Anita di tempat kerja dan dengan cepat tertarik terhadap
kecantikan serta kepribadiannya yang menawan. Budi dapat memilih bereaksi
terhadap ketertarikan seksual ini dan melihatnya lebih dari sekedar tubuhnya
atau feminitasnya. Dengan demikian ia melihat melebihi atribut yang dapat
memberikan kesenangan, sehingga ia dapat melihat Anita sebagai seorang
pribadi dan melakukan tindakan cinta yang tidak egois terhadap dirinya.
Di sisi lain, Budi dapat memilih tetap berdiam pada kualitas fisik dan psikologis
yang memberikan kesenangan baginya. Dengan memusatkan perhatian pada
kecantikan dan kepribadiannya yang menawan, ia tidak bisa mencintai Anita
sebagai seorang pribadi. Ia mungkin bersikap baik padanya, namun sikap
tersebut dilakukan hanya memperoleh kesenangan sensual atau emosional dari
Anita. Pada akhirnya Budi memanfaatkan Anita sebagai sumber memperoleh
kesenangan bagi dirinya.
Jika interaksi antara pria dan wanita hanya berhenti pada tingkat reaksi awal
yang dihasilkan oleh dorongan seksual, maka hubungan tersebut tidak bisa
berkembang menjadi persatuan antar pribadi.
5
Pada momen penting ini, kita bisa memilih fokus pada kesenangan sensual atau
emosional yang kita terima dari tubuh atau maskulinitas atau feminitas pribadi
lain. Dan bila melakukan ini, kita jatuh ke dalam utilitarianisme karena kita
melihat pribadi sebagai objek mencari kesenangan/kenikmatan semata. Atau,
kita bisa berusaha memupuk cinta yang autentik terhadap pribadi dengan
mengarahkan perhatian kita pada seluruh pribadinya. Dengan melihat
melampaui atribut fisik dan psikologis dan melihat pribadi lain sebagai pribadi
yang aktual, kita membuka pintu paling tidak kepada kemungkinan menghendaki
yang baik bagi orang lain, seperti pada persahabatan yang saleh dan dalam
melakukan tindakan kebaikan yang sungguh tidak egois – yang tidak bergantung
pada banyaknya kesenangan yang kita terima dari sebuah hubungan.
Anatomi Ketertarikan
Pada tingkat yang paling dasar, tertarik kepada seseorang berarti dianggap oleh
seseorang sebagai sebuah kebaikan (hal. 74). mengalami ketertarikan pada
orang lain, berarti ia memahami suatu nilai dalam pribadi orang itu (seperti
kecantikan, kepribadian, dst) dan merespon terhadap nilai tersebut. Ketertarikan
tersebut melibatkan indra, pikiran, kehendak, emosi dan keinginan (desire) kita.
6
feminitas mereka. Yohanes Paulus II menyebut kualitas fisik dan psikologis ini
sebagai “nilai seksual” seorang pribadi.
Karenanya, seseorang tertarik dengan lawan jenis dalam 2 cara : secara fisik
dan emosional. Pertama, pria tertarik secara fisik kepada tubuh wanita, dan
sebaliknya. Ketertarikan ini disebut sensualitas tubuh.
Kedua, pria tertarik secara emosional pada feminitas wanita, dan sebaliknya. Hal
ini disebut ketertarikan sentimentalitas emosional. Pada artikel ini, kita akan
fokus pada ketertarikan sensual yang dialami pria dan wanita satu sama lain.
Sensualitas berkaitan dengan nilai seksual yang dihubungkan pada tubuh pribadi
lawan jenis. Ketertarikan ini tidaklah buruk karena dorongan seksual
dimaksudkan menarik kita bukan semata-mata kepada tubuh, tapi kepada tubuh
seorang pribadi. Karenanya reaksi sensual awal diarahkan pada persatuan
personal (bukan sekedar persatuan fisik), dan berperan sebagai bahan dalam
membenuk cinta yang autentik bila di integrasikan dengan aspek-aspek cinta
yang lebih tinggi dan mulia seperti kehendak baik (good will), persahabatan,
kebajikan (virtue), dan komitmen pemberian diri (self-giving commitment) (hal.
108).
Hal yang paling tragis adalah ketika keinginan sensual (sensual desire) yang
diarahkan pada persatuan pribadi dengan orang berbeda jenis kelamin, bisa
mencegah kita dari mencintai pribadi tersebut. Contohnya, pria yang secara aktif
mencari tubuh wanita sebagai sarana memenuhi kepuasan seksnya. Ia hanya
fokus pada nilai seksual – khususnya kesenangan yang didapat dari nilai
tersebut – sampai pada titik dimana ketertariakn sensual ini mencegahnya
merespon pada nilai tersebut sebagai seorang pribadi. Oleh karena itulah,
sensualitas adalah buta bagi tiap pribadi dan “sensualitas memiliki orientasi
consumer – ia diarahkan terutama kepada sebuah ‘tubuh’ : ia menyentuh pribadi
hanya secara tidak langsung, dan cenderung menghindari kontak langsung” (hal.
105)
Mencintai Coklat?
Kedua, sensualitas juga bisa gagal dalam memahami keindahan sejati tubuh.
Keindahan atau kecantikan dialami melalui kontemplasi, bukan keinginan
mengeksploitasi. Kontemplasi pada keindahan mendatangkan kedamaian dan
sukacita, sedangkan “sikap konsumer” yang mengekploitasi objek demi
kesenangan mendatangkan ketidaksabaran, kegelisahan, dan keinginan yang
kuat kepuasan.
7
burung, menara dan bangunan. Semuanya terbuat dari coklat, coklat hitam dan
coklat putih.
Terdapat dua sikap yang bisa kita arahkan terhadap bentuk-bentuk coklat
tersebut. Di satu sisi, seseorang bsia melihatnya sebagai karya seni, mengagumi
keindahan dan membiarkan dirinya dibawa oleh kebesarannya, proporsi coklat
yang sempurna, detailnya yang sulit dimengerti, kemahiran pembuatnya, merasa
kagum dan heran bahwa masterpiece tersebut dibuat dari gula dan coklat.
Di sisi lain, seseorang bisa melihatnya sebagai makanan dilahap – coklat yang
lezat akan memuaskan rasa lapar! Sikap ini mereduksi karya coklat tersebut
sebagai objek semata-mata dieksploitas demi kesenangan individu. Disini,
sensualitas agal memahami tubuh manusia sebagai masterpiece ciptaan Allah
yang indah, karena ia mereduksi tubuh sebagai objek dieksploitasi memuaskan
keinginan sensual individu.
Sensualitas, jika dibiarkan tanpa diperiksa begitu saja, akan menjadi budak bagi
segala hal yang menstimulasi keinginan sensual kita. Contohnya, ketika seorang
pria bertemu wanita yang berpakaian dengan cara tertentu, ia tidak akan bisa
melihatnya tanpa berpikiran kotor terhadapnya. Ketika ia melihat gambar wanita
di TV, ia tidak bisa melawan tidak melihatnya, karena ia sangat mendambakan
nilai seksual wanita itu dan ingin menikmati kesenangan yang didapat dengan
melihatnya.
8
memperoleh kesenangan sensual. Contohnya : Pria bisa menggunakan memori
dan imajinasinya “berhubungan dengan ‘tubuh’ wanita yang tidak hadir secara
fisik, mengalami nilai tubuh itu sejauh ia membetuk ‘objek yang mungkin
memberikan kenikmatan’” (hal. 108-109)
Pria juga sering membenarkan tindakan mereka dengan berkata “tidak ada
salahnya berpikiran kotor /mesum tentang wanita, aku tidak melukai siapapun
ketika melakukannya!” Bahkan pria yang telah menikah juga bisa berpikir “Aku
tidakberzinah ketika melihat wanita dengan cara ini [maksudnya dengan
berpikiran mesum/kotor]. Aku bisa melihat, hanya tidak bisa menyentuhnya”.
Menanggapi hal tersebut, kita harus mengingat perkataan Kristus : “Every one
who looks at a woman lustfully has already committed adultery with her in his
heart” – Setiap orang yang memandang perempuan serta menginginkannya,
sudah berzinah dengan dia di dalam hatinya. (Mat 5 : 28)
Reaksi emosional tersebut terjadi sepanjang waktu dan bisa berkembang secara
bertahap antara pria dan wanita, atau juga bisa terjadi ketika mereka pertama
kali bertemu.
Sentimentalitas bisa menjadi bagian yang menuntun pada cinta yang autentik.
Tapi bila kita tidak hati-hati, kita bisa dengan mudah diperbudak oleh emosi kita
dalam cara yang mencegah kita sungguh mencintai pribadi lain.
9
Kapal yang Tenggelam
Cinta yang sejati, sesungguhnya berbeda dari “cinta Hollywood”. Cinta yang
sejati membutuhkan banyak usaha. Ia adalah kebajikan yang melibatkan
pengorbanan, tanggung jawab, dan komitmen total kepada pribadi lain. “Cinta
Hollywood” adalah emosi. Ia adalah sesuaut yang terjadi kepadamu. Fokusnya
bukanlah komitmen pada pribadi lain, tapi pada apa yang terjadi didalam dirimu –
semakin kuat perasaan baik yang kamu alami ketika kamu bersama dengan
orang lain.
Fenomena film Titanic adalah contoh ilusi “cinta hollywood”. Jutaan orang
Amerika menonton ulang film tersebut hanya mengalami kisah cita yang sangat
emosial diantara dua karakteri film tersebut – kisah cinta yang dikembangkan
dianatar dua orang yang sungguh tidak mengenal satu sama lain dan tidak
memiliki komitmen sejati, namun secara mendalam dirasakan oleh penonton
sebagai jenis cinta yang ideal yang bertahan seumur hidup. Dengan jenis cinta
ini yang ditiru, tidaklah mengherankan bila banyak hubungan cinta dalam
kehidupan nyata berakhir seperti kapal karam.
Bahaya dari menjadikan perasaan sebagai ukuran cinta kita adalah bahwa
perasaan bisa menyesatkan kita. Perasaan itu sendiri “buta”, karena ia tidak
berhubungan dengan mengetahui kebenaran tentang pribadi lain. Perasaan tidak
memiliki pekerjaan mencari kebenaran, melainkan akal budilah yang berperan
dalam mencari kebenaran.
10
“Perasaan muncul secara spontan – ktertarikan yang dirasakan seseorang pada
pribadi lain sering kali muncul tiba-tiba dan tak terduga – tapi reaksi ini “buta”.”
(hal. 77)
Benarkah demikian?
Perasaan juga bisa menutupi apa yang kita pikirkan tentang seorang pribadi.
Sentimentalitas bisa menghalangi kemampuan kita mengenal pribadi sebagai
seseorang yang apa adanya. Oleh karena itulah Wojtyla menekankan pentingnya
pertanyaan tentang kebenaran : Benarkan [ia] demikian?. Kita harus bertanya
pada diri kita “Apakah ia sungguh memiliki kualitas dan kebajikan yang
membuatku tertarik padanya” “Apakah kita sungguh baik dan pantas satu sama
lain seperti yang kita rasakan?” “Apakah ia sungguh pantas memperoleh
kepercayaanku” “Apakaha ada masalah dalam hubungan kita yang tidak
kuperhatikan?”
Hal ini tidak berarti bahwa perasaan itu buruk. Melainkan bahwa perasaan tidak
bisa menjadi kriteria utama dalam membedakan kebenaran yang jujur tentang
pribadi, juga perasaan tidak bisa menjadi kriteria uatam mengevaluasi sebuah
hubungan.
Diluar Proporsi
Karenanya, kita harus memasuki sebuah hubungan dengan mata yang terbuka
lebar. Bila kita dengan naif berkata bahwa kita tidak mengidealkan pribadi itu
11
sama sekali, ini mungkin adalah tanda seberapa jauh kita menyimpang dari
realitas. Pada tahap awal cinta sentimental, bila kita dengan cepat menyadari
tiga atau empat kualitas dalam pribadi orang yang dicintai, kita seharusnya juga
cepat mengakui bahwa kita mungkin jatuh ke dalam kecenderungan melebih-
lebihkan kualitas tersebut. “Berbagai nilai diberikan pada pribadi yang kita cintai
dimana pada kenyataannya, ia sesungguhnya tidak memiliki nilai tersebut. Ini
adalah nilai yang ideal, bukan yang nyata” (hal 112)
Nilai ideal tersebut adalah nilai yang kita rindukan, dengan segenap hati,
ditemukan dalam pribadi orang lain. Nilai tersebut ada pada keinginan,
kerinduan, dan mimpi kita yang terdalam. Ketika kita akhirnya bertemu
seseorang yang dengannya kita memiliki sedikit “chemistry”, emosi kita dengan
cepat cenderung memanggil nilai ideal tersebut dan memproyeksikan pada
pribadi itu.
Pria dan wanita bisa saling memanfaatkan satu sama lain memperoleh
kesenangan emosional. Contohnya, seorang pria yang memperoleh kesenangan
dengan membayangkan hari pernikahan dengan pribadi yang ia cintai dan
berharap bahwa akhirnya mereka akan menjadi “satu”, atau seorang wanita yang
memperoleh rasa aman secara emosional dengan memiliki seorang pacar lelaki.
Idealisasi sentimental ini membuat orang yang kita cintai tidak sungguh menjadi
penerima afeksi kita, melainkan ia adalah kesempatan bagi kita menikmati
reaksi emosional yang muncul dalam hati kita. Disini, kita tidak sungguh
mencintainya melainkan memanfaatkannya memperoleh kesenangan emosional
dengan berada bersamanya.
Kekecewaan
Dampak yang paling tragis dari idealisasi sentimental ini adalah bahwa pada
akhirnya kita sungguh tidak mengenal pribadi yang membuat kita tertarik.
Contohnya, pria dalam cinta sentimental ingin dekat bersama wanitanya,
menghabiskan waktu bersama, mengobrol bersama, bahkan pergi Misa dan
berdoa bersama. Bila ia sudah mengidealkan wanita itu, ia tetaplah jauh darinya
– karena afeksi yang kuat yang ia rasakan tidak bergantung pada nilai pribadi
wanita yang sebenarnya, tapi hanya kepada “nilai ideal” yang ia proyeksikan
kepadanya.
Tak terhindarkan lagi, sentimentalitas yang tidak diperiksa ini akan berakhir
dalam kekecewaan besar. Karena ketika pribadi yang nyata tidak lagi memenuhi
nilai idealnya, perasaan yang kuat akan mulai berkurang sedikit demi sedikit, dan
tidak akan ada lagi yang bisa mempertahankan suatu hubungan. Ia akan kecewa
pada pribadi yang dicintainya. Meskipun pasangan menampilkan kedekatan
emosional satu sama lain, faktanya mereka tetap terpisah satu sama lain.
Mereka tidak sungguh saling mengenal secara personal, dan bahkan mereka
bisa saling memanfaatkan satu sama lain memperoleh kesenangan emosional
yang didapat dari idealisasi nilai-nilai ideal tersebut.
12
5. Hukum Karunia: Memahami Dua Sisi Cinta
Bagaimana seseorang mengetahui bila ia berada dalam hubungan yang autentik,
cinta yang berkomitmen atau sekedar kisah cinta yang mengecewakan yang
tidak akan bertahan bila diuji oleh waktu?
Pertanyaan diatas merupakan topik bahasan dalam salah satu bagian bukunya,
Love and Responsibility, ketika ia membahas dua sisi cinta.
Terdapat dua sisi cinta, dan pemahaman tentang perbedaannya sangat penting
setiap pernikahan, pertunangan, ataupun hubungan berpacaran.
Ketika pria bertemu wanita, ia mengalami sejumlah perasaan yang kuat dan
keinginan didalam hatinya. Ia bisa saja tertarik secara fisik terhadap keindahan
tubuhnya atau secara konstan berpikir tentang wanita itu dalam ketertarikan
emosional. Dinamika keinginan sensual batin ini (sensualitas) dan cinta
emosional (sentimentalitas), sebagian besar membentuk interaksi antara pria
dan wanita, dan inilah yang membuat kisah cinta, khususnya pada tahap awal,
begitu bergelora bagi pasangan yang terlibat. Wojtyla menyebut sisi pertama dari
cinta ini sebagai sisi atau aspek subjektif.
Aspek subjektif ini tidak bisa disamakan dengan cinta dalam pengertian yang
utuh. Kita tahu bahwa kita bisa mengalami emosi yang kuat dan keinginan pada
pribadi lain dalam cara tertentu tanpa percaya padanya ataupunsebaliknya
dalam sebuah hubungan cinta. Oleh karena itulah, seberapa besar sensasi ini
dirasakan, sensasi tersebut bukanlah cinta melainkan sebuah “situasi psikologis.”
Di lain kata, aspek subjektif ini tidak lain adalah pengalaman yang
menyenangkan yang terjadi didalam diri seseorang.
Emosi dan keinginan tidaklah buruk, bahkan bisa berkembang menjadi cinta dan
memperkaya cinta, tapi kita tidak boleh melihat hal tersebut sebagai tanda cinta
yang autentik, tanda yang tidak bisa salah.
“Cinta berkembang atas dasar komitmen total dan sikap bertanggung jawab
penuh dari pribadi kepada pribadi lain”
“Perasaan romantis (romantic feeling) secara spontan lahir dari reaksi sensual
dan emosional. Pertumbuhan yang cepat dan kaya dari sensasi [emosional dan
sensual] bisa menyembunyikan sebuah cinta yang gagal berkembang” (hal. 145)
Terdapat sisi cinta yang lain yang secara absolut penting bagi hubungan pria-
wanita, tidak peduli betapa kuatnya emosi dan keinginan yang ada. Inilah yang
disebut aspek objektif dari cinta.
Aspek ini memiliki sejumlah karakteristik yang melampaui perasaan senang yang
dirasakan pada tingkat subjektif. Cinta yang sejati melibatkan kebajikan (virtue),
persahabatan, dan pengejaran kebaikan bersama. Contohnya, suami istri
menyatukan diri mereka dalam tujuan bersama saling membantu menumbuhkan
kekudusan, memperdalam persatuan mereka, dan membesarkan anak-anak.
Mereka tidak hanya berbagi tujuan bersama ini, melainkan memiliki kebajikan
saling membantu satu sama lain agar tujuan bersama tersebut bisa dicapai.
Inilah alasannya mengapa aspek objektif dari cinta itu lebih dari sekedar melihat
ke dalam emosi dan keinginan kita. Ia lebih dari sekedar kenikmatan yang
13
diterima dalam hubungan. Ketika mempertimbangkan aspek objektif cinta, kita
harus membedakan jenis hubungan apa yang ada antara saya dan kekasihku
dalam realitas, bukan apa makna hubungan ini bagiku dalam perasaanku.
Sekarang kita bisa memahami mengapa Wojtyla berkata bahwa cinta yang sejati
adalah “fakta interpersonal” dan bukan sekedar “situasi psikologis”. Hubungan
yang erat didasarkan pada kebajikan dan persahabatan, bukan pada perasaan
baik yang kita terima dan banyaknya waktu yang dihabiskan bersama.
Tanda utama dari aspek objektif cinta adalah hadiah diri atau pemberian diri (the
gift of self). Menurut Wojtyla, yang membedakan betrothed love dari bentuk cinta
yang lain (ketertarikan, keinginan, persahabatan) adalah bahwa dua pribadi
“memberikan diri mereka” satu sama lain. Mereka tidak hanya tertarik dan
menginginkan kebaikan satu sama lain. Pada betrothed love, tiap pribadi
menyerahkan diri seutuhnya kepada pribadi lain. “Ketika betrothed love masuk
ke dalam hubungan interpersonal, sesuatu yang melebihi persahabatan terjadi :
dua orang memberikan diri satu sama lain” (hal. 96)
Tapi apa maksudnya seorang pribadi memberikan dirinya bagi yang lain?
Bagaimana ini bisa dilakukan? Wojtyla mengajarkan bahwa tiap pribadi unik dan
memiliki pikiran dan kehendak bebasnya sendiri. Tidak ada orang lain yang bisa
berpikir dan memilih ku. Karenanya, tiap pribadi “adalah tuannya sendiri” dan
tidak bisa diberikan pada yang lain. Jadi dalam arti apa seorang pribadi
“memberikan diri” pada kekasihnya?
Pada tingkat natural dan fisik, tidak mungkin seseorang bisa memberikan diri
bagi yang lain, namun dalam keteraturan cinta (the order of love), seorang
pribadi bisa melakukannya dengan memilih membatasi kebebasannya dan
menyatukan kehendaknya kepada pribadi yang ia cintai. Karena cintanya,
seorang pribadi bisa sungguh menyerahkan kehendak bebasnya dan
mengikatknya dengan pribadi lain.
Kebebasan Mencintai
Sebagai contoh, mari kita melihat apa yang terjadi ketika pria single telah
menikah. Sebagai pria single, Budi sanggup memutuskan apa yang ingin
14
dilakukannya, kapan akan melakukannya, bagaimana hal itu dilakukan. Ia
mengatur sendiri jadwalnya. Ia memutuskan dimana ia tinggal. Ia bisa keluar dari
pekerjaannya dan pindah ke bagian negara lain sesuai keinginannya. Ia bisa
menghabiskan uang sesukanya. Intinya, ia bisa melakukan apa saja sesuai
keinginannya.
Pernikahan akan mengubah kehidupan Budi itu. Tidak semua keputusan yang ia
ambil akan disetujui oleh istrinya. Karena ia telah menikah, semua keputusan
yang diambil harus dibuat dalam persatuan dengan istrinya, dengan melihat apa
yang terbaik bagi pernikahan dan keluarga mereka.
Dalam cinta yang memberikan diri, seorang pria mengenali dengan cara yang
mendalam, bahwa hidupnya bukan miliknya saja. Ia telah menyerahkan
kehendaknya kepada kekasihnya. Rencananya, impiannya, dan preferensinya
tidak seluruhnya diabaikan, tapi diletakkan dalam perspektif baru. Semua itu
ditundukkan pada kebaikan istri dan anak-anaknya. Keluarga menjadi alasan
utama semua yang ia lakukan.
Inilah keindahan cinta yang memberikan diri, dimana Budi dengan bebas
memutukskan membatasi kebebasannya, dengan mempercayakan atau
mengkomitmenkan dirinya kepada istri dan kebaikannya.
Banyak pernikahan yang akan menjadi lebih kuat bila kita memahami dan
mengingat cinta yang memberikan diri. Kita harus mengingat ketika kita
mengatakan janji pernikahan, kita dengan bebas memilih menyerahkan – kita,
dengan kasih, ingin menyerahkan – kehendak kita demi kebaikan kekasih dan
anak-anak kita.
Hukum Karunia/Hadiah
Dari sudut pandang Kristen, hidup bukanlah tentang “melakukan apa yang
kuinginkan”. Hidup adalah tentang hubunganku – tentang memenuhi
hubunganku dengan Allah dan dengan orang-orang yang Allah tempatkan dalam
hidupku. Disinilah kita menemukan pemenuhan dalam kehidupan : dalam
menghidupi hubungan kita juga. melakukan ini, kita harus berkorban,
menyerahkan kehendak kita melayani kebaikan bagi orang lain. Inilah alasannya
mengapa kita menemukan kebahagiaan yang mendalam ketika kita memberikan
diri dengan cara ini, karena kita hidup dengan cara seperti Allah sendiri hidup :
dalam pemberian diri yang total, cinta yang berkomitmen.
15
membuka diri pada kebebasan yang lebih besar : kebebasan mencintai, seperti
yang dijelaskan Wojtyla :
Apa itu tanggung jawab? Dan bagaimana tanggung jawab mengubah hubungan
antara kekasih, tunangan, dan “orang-orang penting lainnya?” Hal inilah yang
akan kita pahami lebih lanjut dalam artikel ini.
Tanggung Jawab
Dalam betrothed love, cinta yang penuh melibatkan pria dan wanita yang saling
memberikan dirinya. Pemberian diri ini merupakan tindakan mempercayakan diri
secara total kepada pribadi lain – penyerahan preferensi, kebebasan, dan
kehendak sendiri demi kepentingan orang lain.
Ini berarti dalam betrothed love, kekasihku memberikan diri kepadaku secara
menyeluruh. Ia dengan bebas dan penuh cinta menyerahkan otonominya dan
mengkomitmenkan kehendaknya bagi kebaikan pernikahan kami. Karena ia
mempercayakan kehidupannya kepadaku dalam cara yang unik ini, aku harus
memiliki kesadaran akan tanggung jawab baginya – demi kesejahteraannya,
kebahagiaannya, rasa aman emosionalnya, dan kekudusannya. Seperti yang
dijelaskan Wojtyla,”Di dalam cinta ada tanggung jawab khusus – tanggung jawab
seorang pribadi yang ditarik ke dalam persekutuan yang paling dekat dalam
kehidupan dan aktivitas orang lain, dan menjadi pihak yang memperoleh
keuntungan dari hadiah diri/pemberian diri ini” (hal. 130)
16
cinta yang sejati” (hal. 131). Perhatikan bahwa beliau tidak mengatakan bahwa
semakin kuat emosi yang dirasakan, semakin besar cinta itu. Pengukuran yang
tepat cinta bukan berapa banyak seseorang menikmati kebersamaan dengan
kekasihnya atau seberapa besar kenikmatan yang ia terima dari kekasihnya.
Cinta yang autentik tidak berpusat pada diri, tidak hanya melihat ke dalam emosi
dan keinginanku secara konstan. Cinta yang sejati melihat ke luar dalam
kekaguman, ia melihat kekasihku yang telah mempercayakan dirinya kepadaku,
dan ia memiliki kesadaran akan tanggung jawab yang mendalam bagi
kebaikannya, khususnya dalam fakta ia telah mempercayakan dirinya kepadaku
dalam cara ini.
Menerima Hadiah
lebih memahami peran tanggung jawab dalam sebuah hubungan, mari kita
mempertimbangkan dua aspek dalam cinta yang memberikan diri (self-giving
love). Di satu sisi, ada pemberian diri : kekasihku memberikan dirinya kepadaku,
dan aku memberikan diriku kepadanya. Di sisi lain, ada juga penerimaan pribadi
lain : Aku menerima kekasihku sebagai hadiah yang dipercayakan kepadaku,
dan ia menerima aku sebagai hadiah jga. Wojtyla mencatat bahwa hal ini
merupakan misteri agung reciprocity (timbal balik) dalam pemberian dan
penerimaan diri satu sama lain. “Penerimaan juga berarti memberi, dan memberi
berarti menerima” (hal. 129)
Karena dosa belum masuk ke dunia, Adam tidak berjuang dengan keegoisan.
Karenanya, ia mencintai istrnya bukan apa yang ia dapat dari sebuah hubungan
(rekan kerja di taman, pertemanan, kesenangan emosional, kesenangan
seksual, dst). Namun ia mencintai Hawa seperti ia apa adanya sebagai seorang
pribadi. Ia memiliki kesadaran tanggung jawab yang mendalam bagi hawa, dan
ia selalu mencari apa yang terbaik bagi dirinya, bukan hanya kepentingannya. Ia
tidak pernah melakukan apapun yang akan melukainya.
Coba tempatkan diri anda di posisi Hawa. Bayangkan anda memiliki kekasih
seperti Adam! Bayangkan apa yang Hawa rasakan dengan diterima secara utuh
dalam cara itu. Memang, memiliki suami yang dengan suka cita menerima Hawa
sebagai hadiah dan mencintainya demi dirinya bagi Hawa, merupakan hadiah
yang besar baginya, karena kerinduannya persatuan pribadi bisa dipenuhi.
Penerimaan Adam secara utuh/total terhadap Hawa memberikan baginya
keamanan, merasa cukup aman dalam mempercayakan hatinya, seluruh
hidupnya, secara penuh kepada Adam tanpa rasa takut akan ditinggalkan.
Dengan kata lain, cinta Adam yang berkomitmen dan penerimaannya terhadap
Hawa membantu perkembangan di dalam kepercayaan Hawa yang
memungkinkan keintiman emosional terjadi.[2]
17
Inilah kunci dalam persatuan pribadi dalam pernikahan. Karena Hawa percaya
penuh kepada cinta Adam baginya, ai tidak pernah merasa takut dimanfaatkan
olehnya, disalahpahami olehnya, atau dilukai olehnya. Karenanya, dalam
konteks cinta dan tanggung jawab, ia merasa bebas dalam memebrikan dirinay
secara utuh kepada suaminya – baik secara fisik, emosional, spiritual – tidak
meminta kembali.
Kembali ke Taman
Inilah dinamika yang kita inginkan pernikahan kita : kepercayaan total, yang
memungkinkan keintiman pribadi terjadi. Kekasihku akan bertumbuh
mempercyaaiku – dan karenanya menyingkapkan hatinya kepadaku – sejauh ia
menyadari bahwa aku berkomitmen kepadanya, bahwa aku menerimanya secara
utuh, dan aku merasakan tanggung jawab yang besar demi apa yang terbaik
baginya.
Ini bukan hal yang mudah dicapai. Tidak seperti Adam dan Hawa di taman, kita
telah jatuh. Kita egois, dan kita sering melakukan hal-hal yang melukai orang
lain, yang bisa merusak kepercayaan dan menghambat keintiman. Hal ini terjadi
ketika seseorang mulai memikirkan dirinya saja, bukan memikirkan apa yang
terbaik bagi kekasih kita.
Bagaiman ketika kita pertama kali mengalami kelemahan kekasih kita, dan
merasa dilukai oleh hal yang ia lakukan? Ketika kita terluka, kita digoda menjadi
frustrasi dengan kekasih kita, kita berkata pada dirikita “Mengapa ia selalu
melakukan ini” Ia tidak pernah berubah!”. Kita menjadi defensive (“Ini bukan
salahku! Mengapa ia tidak mau mengerti?”). Kita juga menaruh dinding
penghalang (“Aku tidak akan memberitahu ia apa yang kurasakanKIa sudah
tidak peduli lagi padaku”). Kita bahkan menarik cinta kita (“Bila aku menikahi
orang lain, aku tahu aku tidak akan diperlakukan seperti ini”)
Justru pada saat itulah penerimaan kita dan tanggung jawab bagi pribadi lain
paling diuji. Kita seharusnya “mencintai pribadi lengkap dengan segala kebaikan
dan kesalahannya, dan sampai pada titik yang independen antara kebaikan dan
kesalahan itu” (hal. 135). Ia tidak berkata bahwa kita harus mengabaikan atau
menutupi kelemahan dan dosa kekasih kita. Tapi ia menantang kita menghindari
memandang kekasih kita melalui sudut pandang pengacara yang menuntut ke
muka pengadilan. Walau kita terluka, kita perlu melihat melampaui fakta legal
semata (“Ia melakukan ini ku”) dan melihat pribadi, yang mempertahankan nilai
agungnya bahkan ditengah kekurangan dan dosa. Selagi kita melihat semuanya
sepanjang refleksi ini, cinta yang sejati diarahkan kepada pribadi – bukan hanya
apa yang ia lakukan bagi ku. Jadi ketika kekasih kita sedang tidak memiliki
momen yang indah – momen yang tidak menyenangkan bagiku dan faktanya ia
melakukan sesuatu yang melukaiku – akankah masih ada cinta yang utuh dan
penerimaan baginya?
Itulah pertanyaan yang bisa digunakan dalam mengukur cinta seseorang, seperti
yang rangkum oleh Wojtyla :
18
esensialnya. Emosi yang melekatkan dirinya pada nilai pribadi tetap setiap
kepada manusia” (hal. 135)
Hal ini tentu serupa dengan cara Tuhan mencintai kita. Meskipun kita memiliki
banyak dosa dan kegagalam, Allah tetap percaya pada kita, melihat kita dengan
sabar dan penuh kasih pada kesalahan-kesalahan kita. Ia bertahan bersama kita
bahkan ketika kita melakukan perbuatan yang melukai hubungan kita
dengannya.
Karenanya, bila kita ingin seperti Kristus dalam pernikahan kita, hal pertama dan
terutama adlah kita harus mengembangkan sikap mencinta yang lebih dalam dan
penerimaan apa adanya bagi kekasih, dengan segala ketidaksempurnaannya.
Bukannya mencoba mengubah mereka atau menjadi kesal dengan kesalahan
mereka, kita harus tetap berkomitmen dengan teguh pada mereka sebagai
pribadi yang telah dipercayakan pada kiat sebagai hadiah. Sikap fundamental
kita terhadap kekasih kita ditengah kelemahan mereka bukanlah kebingungan,
sikap bertahan, atau merasa terganggu, melainkan penerimaan yang teguh di
hati kita, yang menerima ia apa adanya, bersabar dengan kesalahannya. Ketika
kita melakukan ini, kita mulai mencintai seperti Allah mencintai kita.
7. Membenci Kemurnian
“Kebajikan adalah sesuatu yang kurang di dunia modern. Ini adalah sesuatu
yang banyak dibenci di dunia modern.”
Itulah inti yang dibuat oleh Yohanes Paulus II ketika memulai pengajarannya
tentang kemurnian di bukunya Cinta dan Tanggung Jawab.
Kebajikan mengingatkan kita akan standar moral yang lebih tinggi yang harus
kita ikuti. Pengingat ini seharusnya menginspirasi kita memberikan lebih dari diri
kita dalam pengejaran kebajikan dan hidup semakin menyerupai Kristus,
daripada menghidupi kehidupan yang diperbudak oleh hasrat kita.
Namun tidak semua orang ingin diingatkan akan hal ini. Karena jiwa-jiwa tidak
ingin menyerahkan kesenangan atau kenyamanan tertentu – jiwa-jiwa tidak ingin
melakukan pekerjaan dan melakukan pengorbanan yang diperlukan bertumbuh
dalam kebajikan – diskusi apapun tentang kebajikan dapat menjadi seperti
cermin yang menunjukkan kemalasan moral mereka.
19
Kebajikan yang Dilanggar
Wojtyla berkata bahwa banyak orang menurunkan nilai kebajikan berdalih dari
keharusan menghidupi standar yang lebih tinggi. Karena mereka tidak mau
berupaya berubah, mereka memperlakukan kebajikan dengan ringan atau
bahkan menyerangnya secara terbuka membenarkan kekurangan karakter
moral mereka. “KebencianKtidak hanya mendistorsi bagian dari kebaikan tapi
menurunkan sesuatu yang dengan tepat pantas mendapatkan rasa hormat
sehingga manusia tidak perlu berjuang mengangkat dirinya kepada tingkat
kebaikan yang benar, tapi bisa ‘dengan gembira’ mengenali yang baik sebagai
apa yang cocok baginya, apa yang mudah dan nyaman baginya” (hal. 144)
Membenci Kemurnian
Yang lain berkata bahwa kemurnian adalah musuh dari cinta. Bila dua orang
saling mencintai, bukankah seharusnya mereka mampu mengungkapkan cinta
mereka melalui hubungan seksual? Kemurnian bisa memainkan peran di area
kehidupan yang lain, tapi ketika dua orang dewasa yang saling menyetujui,
sedang jatuh cinta, pembatasan akan kemurnian merupakan hambatan besar
bagi pasangan yang sedang mengungkapkan cinta mereka melalui seks.
20
Mengapa Kebencian Ini?
Wojtla berkata bahwa alasan utama manusia modern melihat kemurnian sebagai
hambatan mencintai adalah bahwa kita menghubungkan cinta terutama dengan
emosi atau kesenangan seksual yang kita terima dari pribadi berlainan jenis. Kita
cenderung memikirkan cinta hanya dalam aspek subjektif. Bila kita akan
memulihkan kebajikan kemurnian di dunia kita, “pertama-tama kita harus
menghapuskan penambahan subjektivitas dalam gambaran kita tentang cinta
dan kebahagiaan yang bisa dibawa oleh pria dan wanita” (hal. 144)
memahami poin ini lebih baik, mari kita secara singkat mengingat dua sisi cinta,
yang kita pertimbangkan dalam refleksi sebelumnya.[1]. Bagi Wojtyla, aspek
subjektif cinta adalah “pengalaman psikologis” – sesuatu yang terjadi didalam diri
saya. Ketika pria dan wanita bertemu, mereka secara spontan menemukan diri
mereka tertarik secara fisik kepada “penampilan” (ia menyebutnya ketertarikan
sensualitas). Dan mereka juga bisa menemukan diri mereka tertarik secara
emosional kepada kepribadian feminism atau maskulin (ia menyebutnya
sentimentalitas). Hasrat sensual dan tanggapan emosional tidaklah buruk.
Faktanya, mereka dapat berperan sebagai “bahan mentah” yang darinya cinta
autentik dapat berkembang. Namun, tanggapan ini tidak mewakili cinta itu
sendiri. Pada tingkatan ini, mereka tetaplah ketertarikan kepada tubuh pribadi
lain atau maskulitan dan feminitas mereka, bukan cinta bagi pribadi pria atau
wanita.
Aspek objektif cinta lebih dari sekedar pengalaman psikologis yang terjadi
didalam diri saya. Ia merupakan “fakta interpersonal”. Ia mempertimbangkan apa
yang sungguh terjadi dalam sebuah hubungan, bukan sekedar perasaan baik
yang saya alami ketika berada dengan pribadi lain. Aspek objektif cinta
melibatkan komitmen timbal balik dari kehendak kepada apa yang paling baik
bagi pribadi lain dan kebajikan yang mampu menolong pribadi lain mengejar apa
yang paling baik bagi mereka. Terlebih, cinta dalam maknanya yang paling
penuh melibatkan pemberian diri – penyerahan kehendak seseorang, keputusan
membatasi otonomi seseorang melayani orang lain dengan lebih bebas.
Nilai Seksual
Namun dengan aspek subjektif cinta, tidak membutuhkan banyak waktu dan
usaha mengalami hasrat sensual atau kerinduan emosional bagi pribadi
berlawanan jenis. Reaksi tersebut terjadi secara isntan. Lebih lanjut, tanggapan
21
sensual dan emosinal dapat begitu kuatnya sehingga mereka mendominasi
bagaimana mereka memandang pribadi lain. Dalam kodrat manusia yang rapuh
[fallen human nature], kita cenderung melihat pribadi berlawanan jenis terutama
melalui prisma nilai seksual mereka – nilai yang memberikan kita kesenangan
emosional dan seksual. Akibatnya, kita mengaburkan persepsi kita tentang
mereka sebagai pribadi, dan memandang mereka sebagai kesempatan bagi
kenikmatan kita (hal. 159)
Wojtyla berkata bahwa ketika kita bertemu seseorang berlainan jenis, kita tidak
seharusnya mengharapkan sikap kebaikan kristen yang murni tidak egois, yang
mengalir dari hati kita. Karena kita telah jatuh, ketertarikan kita yang kompleks
sering bercampur dengan sikap egois menginginkan bersama pribadi lain bukan
demi komitmen bagi kesejahteraannya, tapi demi perasaan baik atau
kesenangan sensual yang kita terima dari kebersamaan dengan pribadi lain.
Ketika anak lelaki bertemu anak perempuan, mereka tidak secara otomatis jatuh
ke dalam cinta yang autentik, berkomitmen, dan memberikan-diri satu sama lain.
Melainkan, mereka merasa tertarik satu sama lain, mereka tergoda melihat yang
lain sebagai objek memuaskan kebutuhan emosional atau hasrat seksual
mereka.
Reaksi-reaksi terhadap nilai seksual ini tentu tidak buruk di dalam reaksi
tersebut. Namun, bila kita tidak berhati-hati, bahan mentah ini dapat digunakan
sebagai sarana bagi kenikmatan emosional atau sensual kita. Dan selama ini
terjadi, cinta yang tidak egois bagi pribadi lain tidak pernah berkembang. Itulah
alasannya kita membutuhkan kebajikan yang membantu kita mengintegrasikan
ketertarikan sensual dan sentimental kita dengan cinta autentik bagi orang lain
sebagai pribadi. Wojtyla melanjutkan, “Karena sensasi dan tindakan muncul dari
reaksi seksual dan emosi yang terhubung dengan mereka cenderung
mengurangi cinta dari kejelasannya, kebajikan khusus diperlukan melindungi
karakter sebenarnya dan profil yang objektif. Kebajikan khusus ini adalah
kemurnian” (hal. 146)
Sekarang kita bisa memahami mengapa kemurnian diperlukan bagi cinta. Jauh
dari sesuatu yang menghambat cinta kita, kemurnian membuat cinta menjadi
mungkin. Ia melindungi cinta jatuh dari sikap egois, utilitaris dan memampukan
kita mencintai dengan tidak egois – terlepas dari kesenangan emosi dan sensual
yang kuat yang kita terima dari kekasih kita.
Bila kita sungguh mencintai pribadi berlainan jenis, kita harus mampu melihat
lebih dari sekedar nilai seksual seorang pribadi. Kita harus melihat nilai penuh
mereka sebagai pribadi dan menanggapinya dalam cinta yang tidak egois.
Wojtyla berkata bahwa kemurnia memampukan kita melakukan itu. “Esensi
kemurnian terdiri dari kecepatannya dalam menegaskan nilai seorang pribadi
22
dalam setiap situasi dan dalam mengangka semua reaksi kepada nilai “tubuh
dan seks” pada tingkat personal” (hal. 171)
Namun pria tanpa kemurnian duduk dalam situasi yang sangat buruk : Ia tidak
bebas mencintai. Ia bisa memiliki tujuan baik dan hasrat yang tulus peduli pada
kekasihnya, tapi tanpa kemurnian, cintanya tidak akan pernah berkembang,
karena cintanya tidak akan menjadi murni. Cintanya akan bercampur dengan
kecenderungan melihat kekasihnya terutama dalam nilai seksualnya, yang
membuat hatinya bergembira dalam kenikmatan emosional atau membuat
tubuhnya teraduk dalam hasrat sensual. Wojtyla menjelaskan bahwa pria tanpa
kemurnian begitu ter-preokupasi dengan kesenangan emosional dan sensual
yang ia terima dari kekasihanya (hal. 164)
Tapi kemurnian memapukan pria melihat dengan jelas bukan hanya nilai seksual
kekasihnya, tapi bahkan nilai sebagai seorang pribadi. Dibebaskan dari sikap
utilitarian, pria yang murni karenanya bebas mencinta. “Hanya pria dan wanita
yang murni yang sanggup memiliki cinta yang sejati. Kemurnian membebaskan
hubungan mereka, termasuk hubungan seksual, dari kecenderungan saling
memanfaatkanKdan dengan membebaskannya ia memperkenalkan dalam
kehidupan bersama dan hubungan seksual mereka disposisi khusus bagi cinta
kasih” (hal. 171).
Hati kita diciptakan mencintai, namun sejak kejatuhan Adam dan Hawa, hati
telah dinodai oleh hasrat memanfaatkan orang lain. Dampak dosa asal ini
mungkin yang paling dramatis dalam pertemuan kita dengan pribadi berlainan
jenis, dimana hati ktia sering ditarik ke pribadi lain lebih kesenangan emosional
dan sensual yang kita peroleh darinya daripada komitmen sejati terhadap apa
yang paling baik bagi mereka dan nilai mereka yang sebenarnya sebagai
seorang pribadi. Dalam refleksi ini, kita akan memahami bahwa kemurnian jauh
lebih besar daripada sekedar berkata “tidak” tindakan seksual tertentu yang
dapat dilakukan pada tubuh. Akhirnya, kemurnian adalah persoalan hati.
Kata murni secara literal berarti “bersih”, dan orang Kristen telah menggunakan
kata ini menggambarkan kebajikan tertentu yang mengendalikan hasrat seksual
kita. Tapi ini bukan karena hasrat seksual itu sendiri tidak bersih atau kotor.
Kenyataannya, Yohanes Paulus II(Karol Wojtyla) memperingatkan tentang
pandangan negatif akan kemurnian yang membalikkan kebajikan ini menjadi
sebuah penekanan hasrat sensual (“Jangan berhubungan seks sebelum
menikah!”). Dalam terang yang negatif ini, kemurnian semata-mata menjadi
“’tidak’ yang panjang”. Dan penekanan (supresi) jenis ini bisa memiliki
konsekuensi serius bagi pribadi manusia :”Kemurnian sering dipahami sebagai
hambatan sensualitas ‘buta’ dan hambatan dorongan impuls fisik seperti nilai-
nilai ‘tubuh’ dan seks didorong ke dalam alam bawah sadar, dimana mereka
menunggu kesempatan meledak. Ini merupakan pemahaman yang keliru
terhadap kebajikan kemurnian, yang blia dipraktekkan dalam cara ini, memang
menciptakan bahaya akan “peledakan” tersebut” (hal. 170)
23
Kita harus memahami kemurnian sebagai kebajikan positif yang memampukan
kita mencintai, dan melindungi cinta dari ternoda oleh kecenderungan egois
memanfaatkan pribadi lain demi kesenangan kita. Wojtyla berkata kemurnian
bukanlah “‘tidak’ yang panjang”. Melainkan, kemurnian terutama adalah sebuah
“ya” di hati kita pribadi lain, bukan sekedar nilai seksualnya. Kemurnian adalah
“ya” yang mengharuskan “tidak” tertentu melindungi cinta dari kejatuhannya ke
utilitarianisme. “Esensi kemurnian terdiri dari kecepatannya menegaskan nilai
seorang pribadi dalam setiap situasi, dan dalam mengangkat semua reaksi
terhadap nilai ‘tubuh dan seks’ ke tingkat personal” (hal. 171). Konteks cinta yang
positif demi pribadi ini merpuakan kunci memahami “tidak” nya ajaran Gereja
tentang moralitas seksual.
Seperti yang kita pahami melalui refleksi ini, pertemuan kita dengan pribadi
berlainan jenis sering didominasi oleh ketertarikan emosional dan sensual. Kita
dengan cepat ditarik dengan lebih kuat terhadap nilai seksual seorang pribadi
(maskulinitas/feminitas dan tubuh mereka) daripada kita ditarik kepada nilai
mereka sebenarnya sebagai seorang pribadi (kebajikan mereka, kekudusan
mereka, keberadaan mereka sebagai putra atau putrid Allah). Karena dosa asal,
kita tidak secara otomatis mengalami cinta yang memberikan diri yang autentik
bagi pribadi berlainan jenis, melainkan mengalami “perasaan yang bercampur
dengan kerinduan menikmati” (hal. 161)
Wojtyla memetakan dua area dalam pertempuran demi kemurnian. Pertama, kita
harus berperang melawan apa yang ia sebut “egoisme emosional”, yang
merupakan kecenderungan memanfaatkan pribadi lain demi kesenangan
emosional kita. Utilitarianisme jenis ini tidak mudah dideteksi, karena egoisme
emosional mudah menyamarkan dirinya sebagai cinta (“Aku memiliki perasaan
yang kuat ketika aku bersamanya. Ini pasti cinta”). Dan bahkan ketika egoisme
emosional terbuka (“ia sekedar menggoda” atau “ia bermain-main dengan
perasaannya”), kelihatannya tidak parah sebagai sebuah hinaan terhadap cinta
ketika seseorang memanfaatkan pribadi lain sebagai objel kesenangan sensual.
Namun, emosi, walaupun merupakan aspek dari cinta, dapat menjadi “ancaman
bagi cinta”, kata Wojtyla. Kapanpun seseorang menempatkan emosi demi hal itu
sendiri di pusat perhatian seseorang dalam sebuah hubungan, sikap utilitarian
yang egois menyelinap di belakangnya. Dan Wojtyla mencatat bahwa ini masih
merupakan distorsi cinta yang drastic. “Ketika emosi menjadi tujuan akhir dari
dirinya, semata-mata demi kesenangan yang diberkan, pribadi yang
menyebabkan emosi atau yang kepadanya emosi tersebut diarahkan, sekal lagi
24
menjadi “objek” yang memberikan kesempatan memuaskan kebutuhan
emosional dari ego seseorang” (hal. 158)
Area pertempuran kedua dalam pertarungan demi kemurnian adalah apa yang
disebut “Wojtyla”sebagai “egoisme sensual”, yang merupakan kecenderungan
memanfaatkan pribadi lain demi kesenangan sensual. Tentu, berbagai tindakan
seksual yang adalah dosa membentuk egoisme jenis ini. Tapi Wojtyla
menekankan bahwa seseorang dapat jatuh kedalam egoisme sensual tanpa
membuat kontak jasmani apapun dengan pribadi lain. Contohnya, seorang pria
bisa melihat wanita khususnya dalam nilau tubuhnya, dan memanfaatkan
tubuhnya sebagai objek kenikmatan dalam pikirannya ketika ia melihatnya, atau
dalam memorinya dan imajinasi lama setelah ia melihatnya (hal. 108). Sepuluh
Perintah Allah merefleksikan poin ini. Kita memiliki perintah keenam “Jangan
berbuat cabul”, yang ditujukan pada tindakan eksternal fisik di area seks, dan
perintah kesembilan “jangan ingin berbuat cabul”, yang ditujukan tindakan
internal/batin yang pada umumnya dikenal sebagai pikiran bernafsu.
Pikiran Bernafsu?
Wojtyla berkata bahkan dalam tahap kedua dari ketertarikan sensual tidaklah
selalu dosa. Ia merupakan dampak dari konkupisensi (kecenderungan kepada
25
dosa). Karena kodrat manusia kita yang jatuh, tidaklah mudah bagi ktia dengan
cepat mengarahkan perubahan hasrat sensual batin menuju cinta yang tidak
egois bagi pribadi lain. Hasrat ktia kesenangan sensual dapat dirasakan begitu
kuat sehinga kita mengalami hasrat untku memanfaatkan pribadi lain
memperoleh kesenangan tersebut. Tapi inilah kuncinya : Wojtyla bahkan berkata
bahwa perubahan hasrat sensual ini tidaklah dosa didalam dirinya selama
kehendak melawan hasrat memanfaatkan orang lain itu – selama kehendak
tidak setuju padanya. Memang, kita mengalami hasrat sensual yang memuncak
dengan intens dalam diri kita tanpa kehendak kita sesungguhnya setuju
terhadapnya dan bahkan dengan kehendak kita secara langsung menentangnya
(hal 162)
Inilah alasannya Wojtyla mengingatkan kita dengan bijak agar kita tidak berharap
memenangkan pertarungan demi kemurnian di hati kita dengan segera, dengan
berkata “tidak” dengan cukup keras. Ia berkata “sebuah tindakan kehendak
melawan dorongan sensual pada umumnya tidak menghasilkan hasil yang
cepatKTak seorangpun bisa menuntut apakah ia tidak harus mengalami reaksi
sensual sama sekali, atau bahwa mereka seharusnya segera menyerah karena
kehendak tidak setuju terhadapnya, atau bahkan karena kehendak menyatakan
dirinya secara definitif “menentang” [reaksi sensual tersebut]”
Ini adalah nasehat yang sangat membantu bagi mereka yang menginginkan,
namun berjuang, menjadi murni. Seseorang dapat mencoba dengan segala
upaya tetap murni, namun masih mengalami reaksi sensual spontan dan
sederhana dan bahkan perubahan batin dari hasrat konkupisensi. Namun ia
harus ingat bahwa selama kehendak tidak memberikan persetujuan kepada
hasrat utilitarian tersebut, ia tidak jatuh dalam dosa. Seperti yang dikatakan
Wojtyla,”Ada perbedaan diantara ‘tidak ingin’ dan tidan merasakan,’,tidak
mengalami’” (hal. 162)
Dengan kata lain, seseorang bisa merasakan perubahan batin dari hasrat
konkupisensi dalam hati mereka, tapi ini tidak sama dengan kehendak meberikan
persetujuan mengikuti hasrat tersebut dan memperlakukan pribadi lain sebagai
objek potensial untuk kenikmatan. “Reaksi sensual, atau “perubahan” dari hasrat
badaniah yang berakibat darinya, dan yang terjadi tanpa memandang dan bebas
dari kehendak, tidak bisa menjadi dosa didalam dirinya” Wojtyla menjelaskan.
“Tidak, kita harus memberikan beban yang pantas kepada fakta bahwa dalam
pria normal nafsu tubuh memiliki dinamikanya sendiri, darinya reaksi sensual
adalah sebuah perwujudanKNilai seksual terhubung dengan tubuh pribadi
menjadi tidak hanya objek ketertarikan, tapi – dengan mudah – menjadi objek
hasrat sensual. Sumber dari hasrat ini adalah kekuatan konkupisensi – dan
bukan kehendak” (hal. 161)
26
spontan pada indra dan hasrat sensual. Dari sini, ini bukanlah sesuaut yang
semata-mata ‘terjadi’ pada manuysia, tapi sesuatu yang ia lakukan secara aktif”
(hal. 162)
Sekarang ambang batas dosa telah diseberangi. Sebelum titik ini, pria telah
mempertahankan tingkat kemurnian yang penting dalam hatinya karea ia
melawan hasrat konkupisensi utilitarian itu. Tapi sekarang kehendaknya setuju
pada hasrat tersebut, sesuatu yang dramatis berubah : Pria sendiri mengubah
dirinya seperti yang ia kehendaki di dalam hatinya berjalan mengikuti hasrat
utilitarian itu. Ia tidak lagi mengalami hasrat memanfaatkan tubuh wanita; ia
sungguh memanfaatkan tubuh wanita sebagai tempat penyaluran hasrat
badaninya. Ia tidak lagi seorang pria yang berjuang melawan pikiran bernafsu; ia
telah menjadi pria bernafsu yang setuju pada pikiran tersebut yang didalamnya ia
memanfaatkan tubuh wanita dalam imajinasinya demi kesenangannya.
27