Anda di halaman 1dari 22

ETIKA DAN TATA KELOLA PELAPORAN KEUANGAN

Tugas Pelaporan Korporat

Dosen: Dr. Debbie Christine, S.E., M.Si., Ak., C.A.

Disusun oleh:

Kelompok 2

- Agil Krisna Rivanda


- Hengki Setiawan
- Intan Mauludina
- Winna Pratiwi

Kelas: VCR0064

Program Magister Akuntansi

Universitas Widyatama

2022
1. KODE ETIK AKUNTAN PROFESSIONAL
Mekanisme pelaksanaan good governance dalam suatu perusahaan, diharapkan mampu
mempublikasikan laporan keuangan dengan transparan serta aktual. Akuntan public diharapkan
mampu dalam melakukan pengawasan terhadap good governance. Dalam melaksanakan tugasnya,
akuntan public kerap kali didera oleh dilema dalam beretika. Etika merupakan suatu sarana bagi
profesi akuntan dalam mengendalikan diri agar tetap menjaga profesionalisme yang dimiliki.
Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) merupakan suatu lembaga atau organisasi yang menaungi seluruh
akuntan di Indonesia. IAI merupakan sebuah organisasi profesional yang berdiri dan bertanggung
jawab untuk dalam hal mengembangkan nilai-nilai etika akuntan profesional. Selain itu, IAI pun
mewajibkan para akuntan profesional agar dapat melakukan segala tindakan dengan cara
bertanggung jawab penuh saat terlibat dalam layanan akuntansi dan meninjau keseluruhan
informasi yang berkaitan dengan keuangan. Dalam melakukan suatu tindakan yang dilakukan
untuk kepentingan public, seorang akuntan public harus memerhatikan serta mematuhi ketentuan
Kode Etik yang berlaku. Akuntan public diharuskan mematuhi kode etik yang berlaku. Prinsip
kode etik yang diterapkan pada akuntan public memiliki lima prinsip Menurut IAI (Ikatan
Akuntansi Indonesia) :
1. Integritas
Integritas mewajibkan setiap akuntan public untuk memiliki sikap yang lugas dan
juju dalam semua hal yang berhubungan dengan profesionalisme serta hubungan
bisnis. Integritas berarti terbuka, terus terang, serta selalu mengatakan sesuai dengan
fakta. Akuntan public tidak boleh ada keterkaitan dengan laporan, pernytaan resmi,
komunikasi atau informasi lain ketika akuntans public meyakini bahwa informasi
tersebut terdapat :
a. Kesalahan yang material atau pernyataan yang dapat menyesatkan.
b. Pernyataan dan informasi yang dilengkapi secara sembarangan.
c. Adanya penghilangan informasi yang seharusnya diungkapkan sehingga akan
menyesatkan.
Ketika seorang akuntan public menyadari hal tersebut, maka akuntan public
diharuskan mengambil langkah – langkah yang diperlukan agar tidak dikaitkan
dengan informasi yang menyesatkan.
2. Objektivitas
Prinsip objektivitas mengharuskan praktisi untuk tidak bias, tidak berbenturan
dengan kepentingan, atau suatu pengaruh yang tidak sepantasnya dari pihak lain
yang dapat mengurangi keprofesionalannya. Dalam melakukan pekerjaanya setiap
akuntan public harus dapat mempertimbangkan ada tidaknya ancaman terhadap
kepatuhan serta prinsip objektivitas yang dimiliki. Akuntan public mungkin saja
dihadapkan pada situasi yang sulit, sehingga dapat menggoyahkan obejektivitas

1
yang dimilikinya. Namun, akuntan public tidak akan memberikan layanan terhadap
public jika terdapat suatu keadaaan atau hubungan yang menyebabkan terjadinya
bias atau bias memberikan pengaruh yang berlebihan terhdap pertimbaga yang
menyangkut profesinalime yang dimiliki akuntan public. Akuntan public harus
dapat mengevaluasi secara signifikan setiap ancaman yang datang. Sehingga
akuntan public dapat melakukan pencegahan sebelum terjadi sesuatu. Pencegahan
tersebut mencakup :
a. Mengundurkan diri dari tim perikatan.
b. Menerapkan prosedur pengawasan yang memadai.
c. Menghentikan hubungan keuangan atau hubungan bisnis yang dapat
menimbulkan ancaman.
d. Mendiskusikan ancaman tersebut dengan manajemen senior KAP.
e. Mendiskusikan ancaman tersebut dengan pihak lain yang bertanggungjawab
atas tata kelola perusahaan.
3. Kompetensi dan Kehati – Hatian Profesional
Prinsip kompetensi dan kehati – hatian mewajibkan akuntan public dapat :
a. Menjaga pengetahuan serta keahlian profesi pada tingkat yang dibutuhkan untuk
menjamin klien atau pemberi kerja dalam menerima pelayanan professional yang
kompeten dibidangnya.
b. Berlaku cermat serta tekun sesuai dengan teknis dan profesionalisme yang berlaku
ketika melakukan jasa professional.
Kompetensi profesional dibagi menjadi dua tahap :
a. Pencapaian kompetensi profesional – akuntan diharapkan mampu untuk terus
melakukan pembelajaran mengenai bidang yang dijalankan. Dengan terus
mengupgrade kompetensi, seorang akuntan akan siap dan cermat dalam
mengahadapi kasus – kasus yang ada di lapangan.
b. Pemeliharaan kompetensi profesional – dibutuhkan kesadaran yang berkelanjutan
serta pemahaman dalam hal perkembangan teknis, profesional, serta bisnis yang
relevan.
Pengembangan yang dilakukan akuntan public secara berkelanjutan membuat
akuntan public dapat mengembangkan dan memelihara kemampuannya dalam hal
bertindak secara kompeten dalam lingkup profesionalisme.
4. Kerahasiaan
Prinsip kerahasiaan mewajibkan akuntan pulic untuk tidak membocorkan rahasia.
Akuntan public diharapkan tidak mengungkap informasi yang bersifat rahasia yang
berasal dari hubungan bisnis kepada pihak di luar kantor akuntan atau organisasi
tempatnya bekerja tanpa adanya kewengangan yang memadai dan spesifik, kecuali

2
jika terdapat hak dan kewajiban secara hokum untuk mengungkapkannya. Selain itu,
akuntan public diharapkan tidak menyalahgunakan informasi yang diperoleh
terutama informasi yang bersifat rahasia. Menggunakan infromasi rahasia yang
diperoleh dari hubungan bisnis dengan semata – mata untuk kepentingan pribadi
atau pihak lain. Kewajiban untuk memenuhi prinsip kerahasiaan yang dimiliki harus
terus dipertahankan, bahkan setelah berakhirnya hubungan akuntan public dengan
klien. Akuntan public tidak diperbolehkan menggunakan infromasi rahasia baik
yang diperoleh atau diterima dari hubungan profesional atau bisnis sebelumnya.
5. Perilaku Profesional
Prinsip perilaku profesional mewajibkan setiap Akuntan Profesional untuk
mematuhi ketentuan hukum dan peraturan yang berlaku serta menghindari setiap
perilaku yang Akuntan Profesional tahu atau seharusnya tahu yang dapat
mengurangi kepercayaan pada profesi.
Hal ini termasuk perilaku, yang menurut pihak ketiga yang rasional dan memiliki
informasi yang cukup, setelah menimbang semua fakta dan keadaan tertentu yang
tersedia bagi Akuntan Profesional pada waktu itu, akan menyimpulkan, yang
mengakibatkan pengaruh negatif terhadap reputasi baik dari profesi.
Dalam memasarkan dan mempromosikan diri dan pekerjaannya, Akuntan
Profesional dilarang mencemarkan nama baik profesi. Akuntan Profesional bersikap
jujur dan dapat dipercaya, serta tidak:
a. Mengakui secara berlebihan mengenai jasa yang ditawarkan, kualifikasi yang
dimiliki, atau pengalaman yang diperoleh; atau
b. Membuat referensi yang meremehkan atau membuat perbandingan tanpa bukti
terhadap pekerjaan pihak lain.

2. ETIKA DALAM PELAPORAN KORPORAT


Kode etik untuk Akuntan Profesional diterapkan pada seluruh aktivitas Akuntan Profesional.
Salah satu aktivitas utama Akuntan Profesional adalah terkait dengan pelaporan korporat, baik
Akuntan Profesional di Praktik Publik (Kantor Akuntan), maupun Akuntan Profesional di Bisnis
(Perusahaan). Oleh sebab itu terdapat etika Akuntan Profesional dalam pelaporan korporat yang
harus ditaati. Akuntan harus mematuhi Kode Etik. Prinsip perilaku profesional mensyaratkan
Akuntan untuk mematuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Prinsip dasar etika profesional bagi Akuntan Profesional dan memberikan kerangka
konseptual yang akan diterapkan Akuntan Profesional dalam:
a. Mengidentifikasi ancaman terhadap kepatuhan pada prinsip dasar etika;
b. Mengevaluasi signifikansi ancaman tersebut; dan

3
c. Menerapkan perlindungan yang tepat untuk menghilangkan atau mengurangi ancaman
tersebut sampai ke tingkat yang dapat diterima.

Perlindungan diperlukan ketika Akuntan Profesional menentukan bahwa ancaman itu tidak
berada pada tingkat yang mana pihak ketiga yang rasional dan memiliki informasi yang cukup,
berdasarkan semua fakta dan keadaan tertentu yang tersedia bagi Akuntan Profesional pada saat
itu, akan menyimpulkan bahwa kepatuhan pada prinsip dasar etika tidak berkurang. Akuntan
Profesional menggunakan pertimbangan profesionalnya dalam menerapkan kerangka konseptual
ini. Akuntan Profesional mematuhi prinsip dasar etika berikut ini:
a. Integritas, yaitu bersikap lugas dan jujur dalam semua hubungan profesional dan bisnis.
b. Objektivitas, yaitu tidak membiarkan bias, benturan kepentingan, atau pengaruh yang tidak
semestinya dari pihak lain, yang dapat mengesampingkan pertimbangan profesional atau
bisnis.
c. Kompetensi dan kehati-hatian profesional, yaitu menjaga pengetahuan dan keahlian
profesional pada tingkat yang dibutuhkan untuk memastikan bahwa klien atau pemberi kerja
akan menerima jasa profesional yang kompeten berdasarkan perkembangan praktik,
peraturan, dan teknik mutakhir, serta bertindak sungguh-sungguh dan sesuai dengan teknik
dan standar profesional yang berlaku.
d. Kerahasiaan, yaitu menghormati kerahasiaan informasi yang diperoleh dari hasil hubungan
profesional dan bisnis dengan tidak mengungkapkan informasi tersebut kepada pihak ketiga
tanpa ada kewenangan yang jelas dan memadai, kecuali terdapat suatu hak atau kewajiban
hukum atau profesional untuk mengungkapkannya, serta tidak menggunakan informasi
tersebut untuk keuntungan pribadi Akuntan Profesional atau pihak ketiga.
e. Perilaku Profesional, yaitu mematuhi hukum dan peraturan yang berlaku dan menghindari
perilaku apa pun yang mengurangi kepercayaan kepada profesi Akuntan Profesional.

Laporan korporat adalah salah satu hasil pekerjaan Akuntan Profesional yang Bekerja di
Bisnis. Laporan korporat tersebut dijadikan acuan oleh berbagai pemangku kepentingan, seperti
investor, kreditur, pemilik, pemerintah, dan pemangku kepentingan lainnya. Laporan korporat
dapat menyajikan informasi keuangan atau informasi manajemen, seperti laporan keuangan,
diskusi dan analisis manajemen, laporan keberlanjutan, laporan tata kelola, proyeksi, dan
lainnya.

Menurut Kode Etik Akuntan Indonesia, seksi 200.2, Akuntan Profesional yang Bekerja di
Bisnis bertanggung jawab baik sendiri maupun bersama dengan pihak lain dalam menyusun dan
melaporkan informasi keuangan dan informasi lain, yang dijadikan acuan oleh organisasi
tempatnya bekerja dan pihak ketiga. Akuntan Profesional yang bekerja di bisnis mungkin
bertanggung jawab dalam manajemen keuangan yang efektif dan memberi advis yang kompeten

4
dalam berbagai perihal terkait bisnis. Akuntan Profesional di Bisnis dapat menghadapi ancaman
yang memengaruhi kepatuhannya pada prinsip dasar etika. Seperti telah dijelaskan di sub-bab
sebelumnya, ancaman tersebut dapat dikategorikan sebagai berikut:

1. Ancaman kepentingan pribadi. Sebagai contoh, bonus kinerja akuntan yang dikaitkan
dengan kinerja keuangan perusahaan dapat menjadi ancaman kepentingan pribadi
karena keadaan tersebut dapat mempengaruhi akuntan untuk melaporkan kinerja
keuangan yang tinggi agar kepentingan pribadinya untuk memperoleh bonus terpenuhi,
walaupun kinerja keuangan yang dilaporkan tersebut tidak sesuai dengan kenyataan.
2. Ancaman telaah pribadi. Sebagai contoh, penggabungan fungsi penyusunan
pengendalian internal untuk pelaporan keuangan dengan audit internal dapat menjadi
ancaman telaah pribadi karena pada saat auditor internal melakukan audit atas
kecukupan pengendalian internal untuk pelaporan keuangan, auditor internal melakukan
reviu atas pekerjaan yang dilakukan oleh rekannya di unit yang sama.
3. Ancaman advokasi. Sebagai contoh, ketika laporan korporat menjadi komponen penting
dari rencana aksi korporasi maka keadaan tersebut dapat menjadi ancaman advokasi
karena akuntan mungkin berupaya menyajikan informasi positif dan menyembunyikan
informasi negatif dalam laporan korporat tersebut.
4. Ancaman kedekatan. Sebagai contoh, hubungan keluarga/kekerabatan antara akuntan
yang me reviu dan menyusun laporan dapat menjadi ancaman karena akuntan yang
mereviu dapat terlalu mudah menerima hasil pekerjaan penyusun laporan.
5. Ancaman intimidasi. Sebagai contoh, jika kepala divisi pelaporan keuangan perusahaan
mendapat ancaman pemecatan dari direktur keuangan jika menampilkan informasi yang
sesungguhnya.

3. PENGERTIAN TATA KELOLA


Suatu perusahaan didirikan tentu mempunyai tujuan yang ingin dicapai. Untuk mewujudkan
tujuan tersebut tentunya harus ada kerja sama dari pihak -pihak yang berkepentingan. Tata Kelola
perusahaan merupakan salah satu cara atau prinsip yang dibentuk untuk bisa mencapai tujuan
tersebut. Tata kelola perusahaan yang baik memiliki prinsip-prinsip yang bisa mengarahkan dan
mengendalikan perusahaan agar mencapai keseimbangan antara kewenangan perusahaan dalam
memberikan pertanggungjawaban kepada stakeholders.
Tata Kelola perusahaan di Indonesia baru mulai dikembangakan kurang lebih tahun 1990
sesaat setelah krisis pada tahun 1998 yang juga menyebakan terjadinya krisis kepercayaan dari
masyarakat. Tata Kelola perusahaan atau lebih dikenal dengan good governance mulai di
perkenalkan saat itu untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat dan para stakeholders.

5
Pengertian tata Kelola perusahaan menurut para ahli good corporate governance adaIah
sistem yang dibuat oIeh perusahaan daIam mengatur hubungan antara para pemegang saham yang
memiIiki hak dan kewajiban terhadap perusahaan (Cadbury Commitee, 1992). Good corporate
governance adaIah suatu struktur yang mengatur poIa hubungan tentang dewan komisaris, dewan
direksi, dan para pemegang saham. Good corporate governance iaIah suatu proses yang transparan
terhadap penentuan tujuan perusahaan daIam pencapaian nya maupun kinerjanya (Andira, 2012).
Good corporate governance adalah seperangkat peraturan dan upaya perbaikan sistem dan
proses dalam pengelolaan organisasi dengan mengatur dan memperjelas hubungan, wewenang,
hak dan kewajiban seluruh pemangku kepentingan, baik Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS),
Dewan Komisaris maupun Dewan Direksi (Hendro. 2017:98). Good Corporate Governance adaIah
suatu sistem yang dapat mengatur, mengeIoIa serta mengawasi proses pengendaIian bisnis yang
berjaIan secara 9 berkeIanjutan untuk meningkatkan niIai perusahaan (Mohammad Hamim,
Ahmad Azmy, 2019).
Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa tata kelola perusahaan merupakan
suatu sistem atau prinsip yang digunakan dalam perusahaan untuk mengatur dan mengelola
perusahaan dengan baik dengan memperjelas hak – hak dan kewajiban para pemangku
kepentingan dimulai dari dewan komisaris, dewan direksi, pemegang saham, pihak yang memiliki
kepentingan internal maupun eksternal juga para stakeholderss agar bisa mencapai tujuan
perusahaan. Tata kelola perusahaan yang baik mendorong perusahaan untuk :
a. Menciptakan nilai melalui sikap dan perilaku kewirausahaan.
b. Memberikan pelayanan yang bernilai tinggi, inovatif, ramah, efisien dan efektif.
c. Menyelenggarakan riset/penelitian dan pengembangan yang tepat guna.
d. Menyediakan sistem pengendalian yang dapat menjamin akuntabilitas yang sepadan dengan
risiko usaha yang dihadapi.
e. Menciptakan iklim persaingan yang sehat.
f. Menjaga kelangsungan usaha perusahaan.

Sehingga didapatkan manfaat yang akan dirasakan apabila tata kelola perusahaan
dilaksanakan dengan baik. Manfaat pelaksanaan good corporate governance menurut Hery
(2010:5) adalah sebagi berikut:

a. Good corporate governance secara tidak langsung dapat mendorong pemanfaatan sumber
daya perusahaan ke arah yang efektif dan efisien, yang pada gilirannya kan turut membantu
terciptanya pertumbuhan atau perkembngan ekonomi nasional.
b. Good corporate governance dapat membantu perusahaan dan perekonomian nasional dalam
hal menarik investor dengan biaya yang lebih rendah melalui perbaikan kepercyaan investor
dan kreditor baik domestik maupun internasional.

6
c. Membantu pengelolaan perusahaan dalam memastikan atau menjamin bahwa perusahaan
telah taat pada ketentuan hukum dan perusahaan.
d. Membantu manjemen dan corporate board dalam pemantauan penggunaan aset perusahaan
e. Mengurangi korupsi
4. PRINSIP TATA KELOLA
United Nation Development Programme (UNDP) dalam Sedarmayanti (2009)
mengemukakan bahwa ada beberapa karakteristik atau prinsip-prinsip yang harus dianut dan
dikembangkan dalam praktek penyelenggaraan kepemerintahan yang baik, meliputi :
a. Partisipasi: Setiap warga masyarakat harus memiliki hak suara yang sama dalam proses
pengambilan keputusan, baik secara langsung maupun melalui Lembaga perwakilan,
sesuai dengan kepentingan dan aspirasinya masing-masing
b. Aturan hukum: Kerangka aturan hukum dan perundang-undangan haruslah berkeadilan,
ditegakkan, dan dipatuhi secara utuh terutama aturan hukum tentang hak-hak asasi
manusia.
c. Transparansi: Harus dibangun dalam kerangka kebebasan aliran informasi. Berbagai
proses, kelembagaan, dan informasi harus dapat diakses secara bebas oleh mereka yang
membutuhkannya.
d. Daya tanggap: Setiap institusi dan prosesnya harus di arahkan pada upaya untuk
melayani berbagai pihak yang berkepentingan (stakeholderss).
e. Berorientasi consensus: Bertindak sebagai penengah (mediator) bagi berbagai
kepentingan yang berbeda untuk mencapai consensus atau dimungkinkan juga dapat
diberlakukan terhadap berbagai kebijakan dan prosedur yang akan ditetapkan
pemerintah.
f. Berkeadilan: Pemerintahan yang baik akan memberikan kesempatan yang sama baik
terhadap laki-laki maupun perempuan dalam upaya mereka untuk meningkatkan dan
memelihara kualitas hidupnya.
g. Efektivitas dan Efesiensi: Setiap proses kegiatan dan kelembagaan diarahkan untuk
menghasilkan sesuatu yang benar-benar sesuai dengan kebutuhan melalui pemanfaatan
yang sebaik-baiknya berbagai sumber yang tersedia.
h. Akuntabilitas: Para pengambil keputusan dalam organisasi sektor public (Pemerintah),
swasta, dan masyarakat madani memiliki pertanggungjawaban (akuntabilitas) kepada
publik, sebagaimana halnya kepada para pemilik (stakeholderss).
i. Bervisi strategis: Para pemimpin dan masyarakat memiliki perspektif yang luas dan
jangka panjang tentang penyelenggaraan pemerintahan yang baik dan pembangunan
manusia (Human Development).

7
Sedangkan menurut (Sanim, 2011: 37-38) setidaknya 5 (lima) prinsip yang perlu ditetapkan
untuk mewujudkan tata kelola perusahaan yang baik yaitu Transparency, AccountabiIity,
ResponsibiIity, Independency, dan Fairness.
1. Transparansi (Transparency)
Prinsipnya adaIah untuk menjaga obyektivitas daIam menjaIankan bisnis perusahaan
harus menyediakan informasi dan materiaI yang reIevan dengan cara yang mudah
diakses dan dipahami oIeh pemangku kepentingan. Perusahaan harus mengambiI
inisiatif untuk mengungkapkan tidak hanya masaIah yang disyaratkan oIeh paraturan
perundang-undangan, tetapi juga haI yang penting untuk pengambiIan keputusan oIeh
pemegang saham, kreditur dan pemangku kepentingan Iainnya.
2. AkuntabiIitas (AccountabiIity)
Perusahaan harus dapat mempertanggung jawabkan kinerjanya secara transparan dan
wajar. Untuk itu perusahaan harus di keIoIa secara benar, terukur dan sesuai dengan
kepentingan perusahaan dengan tetap memperhitungkan kepentingan pemegang saham
dan pemangku kepentingan Iain. AkuntabiIitas merupakan prasyarat yang diperIukan
untuk mencapai kinerja yang berkesinambungan.
3. ResponsibiIitas (ResponsibiIity)
Perusahaan harus mematuhi peraturan perundang-undangan serta meIaksanakan
tanggung jawab terhadap masyarakat dan Iingkungan sehingga dapat terpeIihara
kesinambungan usaha daIam jangka panjang dan mendapat pengakuan sebagai good
corporate citizen.
4. Independensi (Independency)
Untuk meIancarkan peIaksanaan asas GCG, perusahaan harus di keIoIa secara
independen sehingga masing-masing organ perusahaan tidak saIing mendominasi dan
tidak dapat diintervensi oIeh pihak Iain.
5. Kewajaran dan kesetaraan (Fairness)
DaIam meIaksanakan kegiatannya, perusahaan harus senantiasa memperhatikan
kepentingan pemegang saham dan pemangku kepentingan Iainnya berdasarkan asas
kewajaran dan kesetaraan.

5. TANGGUNG JAWAB DEWAN


Peran dewan merupakan salah satu prinsip GCG OECD. Peran dewan juga disebutkan dalam
Pedoman Umum GCG Indonesia. Di negara-negara yang menganut sistem one-tier board, istilah
“dewan” merujuk pada board of director yang berperan sebagai oversight board (dewan
pengawas). Sementara di negara-negara yang menganut sistem two-tier board, seperti Indonesia,
peran dewan pengawas dijalankan oleh dewan komisaris dan organ pendukungnya. Beberapa sub-

8
prinsip dari prinsip keenam GCG OECD menyebutkan dengan jelas peran-peran dewan dalam tata
kelola perusahaan, yaitu sebagai berikut :
1. Seluruh anggota dewan wajib menjalankan duty of care dan duty of loyalty dalam
menjalankan tugas fidusianya. Duty of care mengandung makna tindakan/keputusan dewan
senantiasa didasarkan pada informasi yang memadai, berlandaskan itikad baik, serta dilakukan
dengan penuh pertimbangan dan kehati-hatian. Dewan perlu memastikan terdapat sistem
dalam perusahaan yang dapat memberikan informasi yang memadai, relevan, akurat, dan tepat
waktu. Pertimbangan dan kehati-hatian memerlukan kompetensi serta pengetahuan dan
kepatuhan terhadap regulasi, standar, dan praktik-praktik terbaik. Sementara itu, duty of
loyalty mengingatkan bahwa loyalitas dewan adalah kepada perusahaan dan seluruh
pemegang saham, bukan kepada kelompok pemegang saham tertentu yang menjadi
pengendali perusahaan.
2. Dewan memperlakukan seluruh kelompok pemegang saham secara adil, terutama ketika
keputusan dewan mungkin memberikan dampak yang berbeda kepada kelompok pemegang
saham yang berbeda.
3. Dewan menjadi teladan penerapan standar etika yang tinggi dan senantiasa menunjukkan
perhatiannya terhadap kepentingan pemangku kepentingan.
4. Dewan menjalankan beberapa fungsi utama terkait aspek-aspek strategis perusahaan, tata
kelola, manajemen sumber daya manusia manajemen kunci/puncak, termasuk aspek kinerja
dan remunerasinya, organisasi dewan, konflik kepentingan, integritas pelaporan keuangan,
serta pengungkapan dan komunikasi perusahaan.
5. Dewan mampu melakukan penilaian independen yang obyektif. Untuk itu dewan
mempertimbangkan independensi dewan dan kebutuhan organ pendukung. Dewan juga wajib
memiliki komitmen yang tinggi. Dewan juga perlu melakukan penilaian kinerja dewan secara
reguler.
Pedoman pokok pelaksanaan organ dewan komisaris dan direksi menguraikan tanggung
jawab organ ini dalam menjaga kelangsungan usaha perusahaan dalam jangka panjang, serta peran
mereka dalam menyepakati hal-hal terkait aspek strategis, kepatuhan (compliance), penilaian
kinerja, dan struktur organsiasi. Sementara itu, pedoman pokok pelaksanaan organ dewan
komisaris mengatur tentang komposisi, pengangkatan, dan pemberhentian anggota, kemampuan
dan integritas anggota, fungsi pengawasan, komite-komite penunjang, serta pertanggung jawaban
dewan komisaris. Selengkapnya dapat dilihat di Pedoman Umum GCG Indonesia.
Untuk perusahaan terbuka, selain prinsip GCG OECD dan Pedoman Umum GCG Indonesia,
peran direksi dan dewan pengawas (dewan komisaris) dalam tata kelola perusahaan juga diatur
dalam Peratutran OJK (POJK) Nomor 33/POJK.04/2014 tentang Direksi dan Dewan Komisaris
Emiten atau Perusahaan Publik.

9
Tugas dan tanggung jawab direksi diatur di bab II, Bagian Ketiga, pasal 12 dan pasal 13 yang
dapat diikhtisarkan sebagai berikut :
1. Direksi bertugas menjalankan dan bertanggung jawab atas pengurusan perusahaan untuk
kepentingan perusahaan sesuai dengan maksud dan tujuan perusahaan yang ditetapkan
dalam anggaran dasar.
2. Salah satu kewajiban dari pelaksanaan tugas dan tanggung jawab tersebut adalah direksi
wajib menyelenggarakan RUPS tahunan dan RUPS lainnya.
3. Tugas dan tanggung jawab tersebut wajib dilaksanakan dengan itikad baik, penuh
tanggung jawab, dan kehati-hatian.
4. Direksi dapat membentuk komite untuk mendukung efektivitas pelaksanaan tugas dan
tanggung jawab, dan direksi wajib mengevaluasi kinerja komite tersebut.
5. Setiap anggota direksi bertanggung jawab secara tanggung renteng atas kerugian
perusahaan yang disebabkan oleh kesalahan atau kelalaian anggota direksi dalam
menjalankan tugasnya, kecuali direksi dapat membuktikan bahwa:
a. kerugian tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaiannya;
b. telah melakukan pengurusan dengan itikad baik, penuh tanggung jawab, dan
kehati-hatian untuk kepentingan dan sesuai dengan maksud dan tujuan
perusahaan;
c. tidak mempunyai benturan kepentingan baik langsung maupun tidak langsung
atas tindakan perusahaan yang mengakibatkan kerugian; dan
d. telah mengambil tindakann untuk mencegah timbul atau berlanjutnya kerugian
tersebut.
Dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya tersebut, direksi memiliki kewenangan
menjalan kan pengurusan sesuai dengan kebijakan yang dipandang tepat, sesuai dengan maksud
dan tujuan yang ditetapkan dalam anggaran dasar (pasal 14). Direksi juga memiliki kewenangan
mewakili perusahaan di dalam dan di luar pengadilan, kecuali direksi tersebut berperkara dengan
perusahaan dan mempunyai benturan kepentingan dengan perusahaan (pasal 15).
Sementara itu, untuk dewan komisaris, tugas, tanggung jawab, dan wewenangnya diatur di
bab III, Bagian Kedua, pasal 28 sampai dengan pasal 30, yaitu sebagai berikut:
1. Tugas
a. Melakukan pengawasan dan bertanggung jawab atas pengawasan terhadap kebijakan
pengurusan, jalannya perusahaan pada umumnya, dan memberi nasihat kepada
direksi.
b. Dalam kondisi tertentu, wajib menyelenggarakan RUPS tahunan dan RUPS lainnya
sesuai dengan kewenangannya sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-
undangan dan anggaran dasar.

10
c. Anggota wajib melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya dengan itikad baik,
penuh tanggung jawab, dan kehati-hatian.
d. Wajib membentuk komite audit dan dapat membentuk komite lainnya dalam rangka
mendukung efektivitas pelaksanaan tugas dan tanggung jawabnya.
e. Wajib mengevaluasi kinerja komite yang membantu pelaksnaan tugas dan tanggung
jawabnya setiap akhir tahun buku.
2. Tanggung jawab
a. Setiap anggota bertanggung jawab secara tanggung renteng atas kerugian perusahaan
yang disebabkan oleh kelalaian anggota dalam menjalankan tugasnya.
b. Anggota tidak dapat dipertanggungjawabkan atas kerugian perusahaan apabila dapat
membuktikan:
• kerugian tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaiannya;
• telah melakukan pengurusan dengan itikad baik, penuh tanggung jawab, dan
kehati- hatian untuk kepentingan dan sesuai dengan maksud dan tujuan
perusahaan;
• tidak mempunyai benturan kepentingan baik langsung maupun tidak
langsung atas tindakan pengurusan yang mengakibatkan kerugian; dan
• telah mengambil tindakan untuk mencegah timbul atau berlanjutnya
kerugian tersebut.
3. Kewenangan
a. Berwenang memberhentikan sementara anggota Direksi dengan menyebutkan
alasannya.
b. Dapat melakukan tindakkan pengurusan perusahaan dalam keadaan tertentu untuk
jangka waktu tertentu, dan ditetapkan berdasarkan anggaran dasar atau keputusan
RUPS.
Peran dewan dalam tata kelola perusahaan di atas tentunya mencakup perannya dalam tata
kelola pelaporan korporat, khususnya pelaporan keuangan. Dalam prinsip keenam GCG OECD
disebutkan bahwa salah satu fungsi kunci dewan adalah memastikan integritas sistem akuntansi
dan pelaporan keuangan perusahaan, termasuk audit independen, dan bahwa sistem pengendalian
yang sesuai sudah ada, khususnya, sistem untuk manajemen risiko, pengendalian keuangan dan
operasional, serta kepatuhan terhadap hukum dan standar yang relevan.
Menurut OECD, pelaksanaan prinsip keenam, sub-prinsip (d), angka (vii), di antaranya
diwujudkan dalam hal berikut ini.
1. Dewan memastikan terdapat pembagian tanggung jawab dan kewenangan yang jelas
terkait pe laporan keuangan.
2. Dewan memastikan bahwa manajemen telah memiliki sistem/mekanisme pengawasan
yang memadai.

11
3. Dewan memastikan terdapat jalur komunikasi langsung antara audit internal dengan
dewan atau organ pendukung dewan seperti komite audit.
4. Dewan dibantu organ pendukung (komite audit) melakukan reviu atas kebijakan
akuntansi perusahaan yang menjadi dasar pelaporan keuangan.
5. Dewan memastikan bahwa perusahaan telah memiliki dan melaksanakan pengendalian
internal, kode etik, serta program kepatuhan secara efektif.
Selanjutnya prinsip keenam GCG OECD juga menegaskan peran dewan dalam mengawasi
proses terkait pengungkapan informasi dan komunikasi perusahaan. Fungsi dan tanggung jawab
dewan dalam kaitannya dengan pengungkapan dan komunikasi tersebut perlu ditetapkan secara
jelas.

6. PENGUNGKAPAN DAN TRANSPARANSI


Secara teoritis menurut IAI global, pengungkapan dan transparansi bermanfaat untuk
menurunkan informasi asimetris antara pengurus perusahaan dan pemangku kepentingan lainnya.
Penurunan informasi asimetris tersebut terjadi karena pengungkapan dan transparansi mendorong
informasi yang tadinya hanya dimiliki dan diketahui oleh pengurus (manajemen) perusahaan
menjadi diketahui oleh publik. Penurunan informasi asimetris ini sangat penting untuk menekan
risiko investasi sehingga dapat meningkatkan efisiensi dan likuiditas pasar. Bagi perusahaan
penurunan risiko investasi, biaya transaksi, dan likuditas pasar dapat menurunkan biaya modal atas
pendanaan yang diperolehnya.
Uraian teoritis dan hasil studi empiris di atas menjelaskan mengapa prinsip pengungkapan
dan transparansi menjadi salah satu prinsip tata kelola perusahaan yang sangat penting dan terkait
erat dengan pelaporan korporat. Prinsip pengungkapan dan transparansi menurut OECD yang
mencakup aspek jenis informasi yang diungkapkan, kualitas informasi, dan sarana penyampaian
informasi.
Pada aspek jenis informasi, prinsip OECD menyebutkan informasi minimum yang perlu
diungkapkan. Informasi yang diungkapkan tidak hanya sebatas pada informasi yang bersifat wajib
dan keuangan. Pengungkapan informasi yang bersifat sukarela dan non-keuangan, seperti
informasi tata kelola, juga termasuk penerapan prinsip pengungkapan dan transparansi. Pada aspek
kualitas informasi, prinsip OECD menekankan pada akurasi, ketepatan waktu, dan ke andalan.
Untuk mencapai kualitas informasi tersebut diperlukan standar/acuan pelaporan yang tinggi.
Keandalan informasi diyakinkan dengan kehadiran auditor yang kompeten dan independen, serta
standar audit yang berkualitas. Sementara itu, pada aspek sarana penyampaian informasi, prinsip
GCG OECD menekankan pada kemudahan akses, kecepatan, kesetaraan, dengan biaya yang
efisien.

12
Prinsip transparansi pada Pedoman Umum GCG Indonesia kurang lebih mengandung makna
yang sama dengan prinsip pengungkapan dan transparansi GCG OECD di atas. Pedoman Umum
GCG Indonesia menjelaskan pedoman pokok pelaksanaan azas transparansi sebagai berikut:
1. Penyediaan informasi secara tepat waktu, memadai, jelas, akurat, dan dapat
diperbandingkan, serta mudah diakses oleh pemangku kepentingan sesuai dengan haknya.
2. Informasi yang harus diungkapkan, tetapi tidak terbatas pada, visi, misi, sasaran usaha
dan strategi perusahaan, kondisi keuangan, susunan dan komposisi pengurus, pemegang
saham pe ngendali, kepemilikan saham oleh anggota Direksi dan anggota Dewan
Komisaris beserta anggota keluarganya dalam perusahaan dan perusahaan lainnya, sistem
manajemen risiko, sistem pengawasan dan pengendalian internal, sistem dan pelaksanaan
GCG serta tingkat kepatuhannya, dan kejadian penting yang dapat mempengaruhi kondisi
perusahaan.
3. Prinsip keterbukaan tidak mengurangi kewajiban untuk memenuhi ketentuan kerahasiaan
per usahaan sesuai dengan peraturan perundang-undangan, rahasia jabatan, dan hak-hak
pribadi.
4. Kebijakan perusahaan harus tertulis dan secara proporsional dikomunikasikan kepada
pemangku kepentingan.
Hal serupa juga terkandung dalam Pedoman Tata Kelola Perusahaan Terbuka. Prinsip dasar
kedelapan, terkait keterbukaan informasi, adalah meningkatkan pelaksanaan keterbukaan
informasi. Keterbukaan informasi harus dilakukan secara akurat dan tepat waktu mengenai semua
informasi penting perusahaan, termasuk kondisi keuangan, kinerja, kepemilikan dan pengendalian,
dan tata kelola perusahaan. Rekomendasi terkait penerapan prinsip kedelapan ini adalah:
1. Perusahaan Terbuka memanfaatkan penggunaan teknologi informasi secara lebih luasn
selain situs web sebagai media keterbukaan informasi.
2. Laporan Tahunan Perusahaan terbuka mengungkapkan kepemilikan manfaat akhir dalam
kepemilikan saham Perusahaan Terbuka paling sedikit 5%, selain pengungkapan
kepemilikan manfaat akhir dalam kepemilikan saham Perusahaan Terbuka melalui
pemegang saham utama dan pengendali.
Prinsip-prinsip pengungkapan dan transpransi tersebut di atas telah diakomodasi dalam
berbagai regulasi di Indonesia. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2007
tentang Perseroan Terbatas (UU PT), Bagian Kedua, Pasal 66 ayat (1), mewajibkan direksi untuk
menyampaikan laporan tahunan kepada RUPS setelah ditelaah oleh dewan komisaris, dalam
jangka waktu paling lambat 6 (enam) bulan setelah tahun buku Perseroan berakhir. Ayat(2)-nya
menyebutkan bahwa laporan tahunan tersebut harus memuat sekurang-kurangnya:
1. laporan keuangan;
2. laporan mengenai kegiatan Perseroan;
3. laporan pelaksanaan tanggung jawab sosial dan lingkungan;

13
4. rincian masalah yang timbul selama tahun buku yang mempengaruhi kegiatan usaha
Perseroan;
5. laporan mengenai tugas pengawasan yang telah dilaksanakan oleh dewan komisaris
selama tahun buku yang baru lampau;
6. nama anggota direksi dan anggota dewan komisaris; serta
7. gaji dan tunjangan bagi anggota direksi dan gaji atau honorarium dan tunjangan bagi
anggota dewan komisaris Perseroan untuk tahun yang baru lampau.
Selain UU PT, beberapa peraturan OJK banyak mengatur tentang kewajiban pengungkapan
dan transparansi emiten dan perusahaan publik, yaitu:
1. Peraturan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (BAPEPAM dan LK)
Nomor: KEP-35/PM/2003 tentang Saham Bonus, yaitu terkait kewajiban keterbukaan
informasi tentang saham bonus.
2. Keputusan Ketua BAPEPAM dan LK Nomor: KEP-412/BL/2009 tentang Transaksi
Afiliasi dan Benturan Kepentingan Transaksi Tertentu, yaitu kewajiban mengungkapkan
keterbukaan informasi atas setiap Transaksi Afiliasi.
3. Keputusan Ketua BAPEPAM dan LK Nomor: KEP-614/BL/2011 tentang Transaksi
Material dan Perubahan Kegiatan Usaha Utama, yaitu kewajiban mengumumkan
transaksi material dan perubahan kegiatan usaha utama.
4. POJK Nomor 2/POJK.04/2013 tentang Pembelian Kembali Saham yang Dikeuarkan oleh
Emiten atau Perusahaan Publik dalam Kondisi Pasar yang Berfluktuasi secara Signifikan,
yaitu kewajiban mengumumkan kepada masyarakat tentang penjualan saham hasil
pembelian kembali.
5. POJK Nomor 32/POJK.04/2014 tentang Rencana dan Penyelenggaraan RUPS
Perusahaan Terbuka, yang diubah dengan POJK Nomor 10/POJK.04/2017 tentang
Perubahan atas POJK Nomor 32/POJK.04/2014, yaitu pada aspek kewajiban
pengungkapan risalah RUPS kepada masyarakat.
6. POJK Nomor 33/POJK.04/2014 tentang Direksi dan Dewan Komisaris Emiten atau
Perusahaan Publik, yaitu terkait kewajiban penyampaian informasi pengunduran diri dan
pemberhentian sementara Direksi.
7. POJK Nomor 38/POJK.04/2014 tentang Penambahan Modal Perusahaan Terbuka Tanpa
Memberi kan Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu, terkait kewajiban mengumumkan
pelaksanaan penambahan modal dan hasilnya.
8. POJK Nomor 31/POJK.04/2015 tentang Keterbukaan atas Informasi atau Fakta Material
oleh Emitan atau Perusahaan Publik, yaitu terkait kewajiban mengungkapkan informasi
atau fakta material kepada masyarakat.
9. POJK Nomor 29/POJK.04/2\016 tentang Laporan Tahunan Emiten atau Perusahaan
Publik.

14
10. POJK Nomor 51/POJK.03/2017 tentang Penerapan Keuangan Berkelanjutan bagi
Lembaga Jasa Keuangan, Emiten, dan Perusahaan Publik, yaitu terkait kewajiban
publikasi laporan keberlanjutan.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa dalam kerangka tata kelola pelaporan
korporat, perusahaan harus memperhatikan prinsip pengungkapan dan transparansi dengan
menaati kewajiban pengungkapan sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku, serta
mempertimbangkan untuk mengungkapkan informasi lain yang dinilai relevan bagi para
pemangku kepentingan. Peng ungkapan dan transparansi tersebut harus disertai dengan keandalan,
keakuratan, ketepatan waktu, serta kemudahan akses yang efisien oleh para pemangku
kepentingan.

7. EVALUASI MEKANISME TATA KELOLA


Tata kelola mengandung unsur struktur dan mekanisme. Struktur dan mekanisme dapat
berubah karena ada perubahan pada proses bisnis internal dan/atau perubahan pada faktor ekternal
organisasi. Struktur dan mekanisme juga sangat mungkin didesain secara bertahap sehingga
memerlukan perbaikan berkelanjutan. Oleh sebab itu tata kelola peru dievaluasi secara periodik.
Urgensi evaluasi mekanisme tata kelola ini ditunjukkan secara eksplisit oleh reviu prinsip
GCG OECD yang telah dilakukan beberapa kali. Dalam dokumen prinsip GCG, OECD juga
menyebutkan perlunya reviu terhadap kerangka kerja tata kelola perusahaan dan mungkin perlu
penyesuaian jika diperlukan. Hal ini disebabkan karena adanya akumulasi pengalaman dan
perubahan lingkungan bisnis.
Kebutuhan untuk melakukan evaluasi mekanisme tata kelola perusahaan juga disebutkan
dalam Pedoman Umum GCG Indonesia. Salah satu tahapan yang perlu dilakukan agar
pelaksanaan GCG dapat berjalan efektif adalah melakukan penilaian sendiri atau dengan
menggunakan jasa pihak eksternal yang independen untuk memastikan penerapan GCG secara
berkesinambungan. Hasil penilaian tersebut diungkapkan dalam laporan tahunan dan dilaporkan
dalam RUPS tahunan. POJK Nomor 21/POJK.04/2015 juga mewajibkan. Perusahaan Terbuka
untuk mengungkapkan tingkat penerapan Pedoman Tata Kelola Perusahaan Terbuka pada laporan
tahunan perusahaan. Hal ini berarti setiap tahun perlu dilakukan evaluasi tingkat penerapannya.
Untuk perusahaan yang termasuk kategori Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Peraturan
Menteri Negara BUMN Nomor: PER-01/MBU/2011, mewajibkan setiap BUMN melakukan
penggukuran penerapan GCG dalam bentuk penilaian dan evaluasi secara periodik. Penilaian
adalah program untuk mengidentifikasi pelaksanaan GCG di BUMN melalui pengukuran
pelaksanaan dan penerapan GCG di BUMN yang dilaksanakan secara berkala setiap 2 (dua) tahun.
Sementara itu, evaluasi adalah program untuk mendeskripsikan tindak lanjut pelaksanaan dan
penerapan GCG di BUMN yang dilakukan pada tahun berikutnya setelah penilaian, yang meliputi

15
evaluasi terhadap hasil penilaian dan tindak lanjut atas rekomendasi penilaian. Metode evaluasi
mekanisme tata kelola tersebut dapat dilakukan dengan berbagai cara.
Evaluasi dapat dilakukan oleh perusahaan sendiri atau menggunakan pihak independen.
Evaluasi dapat dilakukan secara self-assessment oleh masing-masing organ atau dilakukan oleh
organ lain. Evaluasi juga dapat dilakukan dengan menggabungkan beberapa metode. Instrumen
penilaian yang digunakan juga dapat beragam misalnya menggunakan review dokumen (dokumen
publik dan/atau internal perusahaan), checklist self-assessment, kueisioner, observasi dan/atau
wawancara. Sangat dianjurkan menggunakan gabungan beberapa instrumen, dengan tetap
memperhatikan unsur waktu dan biaya. Salah satu instrumen penilaian pratik GCG yang saat ini
banyak digunakan dan menjadi acuan, terutama di wilayan Asia Tenggara, adalah Association of
South East Asia Nations (ASEAN) Corporate Governance Scorecard. Instrumen penilaian ini
dibangun dengan merujuk pada prinsip-prinsip GCG menurut OECD dan merupakan inisiatif
bersama kementerian keuangan negara-negara ASEAN. Penilaian ASEAN CG Scorecard ini
melibatkan beberapa ahli tata kelola perusahaan yang mewakili negara-negara ASEAN. Selain itu
melibatkan lembaga di masing-masing negara yang berperan sebagai pemeringkat. Indonesia
dalam hal ini diwakili oleh Indonesian Institute for Corporate Dicretorship (IICD).
8.

16
KASUS JIWA SRAYA

Kurangnya kesadaran mengenai etika akuntan dapat menimbulkan manipulasi dalam


pembuatan laporan keuangan yang membuat kepercayaan para pemakai laporan keuangan auditan
mulai menurun, sehingga para pemakai laporan keuangan seperti investor dan kreditur
mempertanyakan eksistensi akuntan publik sebagai pihak independen.
Sebagai subjek pembahasan dalam makalah ini adalah kasus windowdressing Laporan
Keuangan PT Asuransi Jiwasraya (Persero). Ketika akuntan melakukan pelanggaran terhadap kode
etik, bisa saja akuntan tersebut mendapat keuntungan yang lebih dari biasanya. Namun ketika
pelanggaran tersebut terendus publik dan memepengaruhi cara pandang masyarakat terhadap
profesi akuntan, maka hal tersebut dapat mencoreng nama baik dirinya serta banyak pihak lain
termasuk instansi tempat akuntan bekerja dan asosiasi profesi akuntan, dalam hal ini Ikatan
Akuntan Indonesia (IAI). Untuk itu tujuan penting bagi akuntan dalam mempertahankan
keobjektifitasan, integritas, dan keindependensian dalam memberikan laporan keuangan yang
wajar.
Kasus yang melibatkan PT Asuransi Jiwasraya (Persero) dapat digolongkan menjadi kasus
korupsi skala besar yang berakibat pada tidak mampunya perusahaan dalam membayarkan polis
asuransi. Penyelesaian kasus ini pun tengah ditunggu oleh banyak pihak khususnya korban yang
dirugikan, dengan perkiraan kerugian yang mencapai Rp 13,7 Triliun
Pada tanggal 08 Januari 2020
Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) akhirnya menjabarkan secara rinci terkait
kronologi kasus ini. BPK memaparkan telah melakukan 2 kali investigasi sepanjang tahun 2010
sampai 2019 dan dari hasil pemeriksaan BPK, menunjukkan bahwa Jiwasraya pernah melakukan
modifikasi laporan keuangan pada tahun 2006 yang seharusnya rugi namun dibukukan laba, hal ini
kerap disebut dengan rekayasa akuntansi (windowdressing).
Kasus Jiwasraya disebut sebut bermula pada tahun 2002. Ketika BUMN Asuransi dikabarkan
terus mengalami kesulitan, di sisi lain berdasarkan catatan BPK, Jiwasraya telah membukukan
laba semu. Namun alih alih memperbaiki kinerja perusahaan dengan mempertimbangkan saham
berkualitas, Jiwasraya justru menggelontorkan dana sponsor untuk klub sepakbola dunia
Manchaster City, 2014.
BPK kembali menilai adanya ketidakwajaran pembukuan pada tahun 2017. Laba bersih
dibukukann sebesar Rp 360,3 Miliar, sedangkan oleh BPK dinilai ada kekurangan cadangan
sebesar Rp 7,7 Triliun. Berlanjut pada tahun 2018, Jiwasraya akhirnya membukukan kerugian
unaudited sebesar Rp 15,3 Triliun. Pada September 2019 kerugian turun menjadi Rp 13,7 Triliun
kemudian pada November 2019, Jiwasraya mengalami negative equity sebesar Rp 27,2 Triliun.
Penyebab utama dari gagal bayar Jiwasraya adalah kesalahan dalam mengelola investasi dalam
perusahaan. Jiwasraya kerap menaruh dana di saham-saham berkinerja buruk.

17
Selain itu Jiwasraya kerap berinvestasi pada saham gorengan dengan tidak mengkaji usulan
penempatan saham yang memadai ditambah lagi Jiwasraya kurang optimal dalam mengawasi
reksadana yang dimiliki. Adanya indikasi fraud dalam mengelola saving plan dan investasi yang
disebabkan oleh aktivitas jual beli saham dalam waktu yang berdekatan untuk menghindari
pencataran unrealized loss. Kemudian pembelian dilakukan dengan negosiasi bersama pihak pihak
tertentu agar bisa memperoleh harga yang diinginkan.
Mantan Direktur Keuangan Jiwasraya periode 2008 – 2018 yang juga merupakan terdakwa
kasus manipulasi laporan keuangan Jiwasraya menyampaikan bahwa, kondisi yang membuat
Direktur Keuangan bersama dengan Direktur Utama Jiwasraya melakukan contigency plan serta
memanipulasi laporan keuangan dengan menampilkan laporan keuangan yang selalu sehat kepada
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Kementrian Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
PRINSIP ETIKA DAN TATA KELOLA YANG DILANGGAR
Prinsip pertama yang dilanggar adalah prinsip bertanggung jawab, dapat dilihat dari
kegagalan PT Jiwasraya untuk mempertanggungjawabkan laporan keuangan yang dipublikasikan
kepada masyarakat.
Selanjutnya adalah prinsip kejujuran yang kondisi keuangannya sengaja ditutupi agar kinerja
perusahaan terlihat baik-baik saja. Terakhir adalah prinsip bertindak baik yang dapat dilihat dari
kerugian besar yang diterima masyarakat dan para nasabah yang tidak dapat mencairkan
asuransinya. Hal ini tentunya sangat merugikan bagi nasabah.
Selain melanggar prinsip etika bisnis, kasus rekayasa laporan keuangan yang dilakukan oleh
PT Jiwasraya ini tentunya juga sudah melanggar berbagai prinsip good corporate governance
diantaranya; transparency, accountability, responsibility, independency dan fairness.
 Transparansi, PT Jiwasraya melakukan window dressing pada laporan keuangannya sejak
tahun 2006. Tetapi audit laporan keuangan PT Jiwasraya baru dilakukan pada tahun 2017 dan
hasil audit membuktikan bahwa tidak terlaksananya prinsip transparansi.
 Accountability atau akuntabilitas, perusahaan ini menggunakan uang yang didapatkan dari
produk JS Saving Plan untuk diinvestasikan di saham saham yang tidak memiliki
akuntabilitas, tidak memiliki fundamental yang baik, serta memiliki resiko yang sangat tinggi
bagi PT Jiwasraya.
 Responsibility atau tanggung jawab, PT Jiwasraya mengalami gagal bayar kepada nasabah JS
Saving Plan yang dijanjikan dengan total Rp 802 miliar. Ini berarti mereka sudah
mengabaikan tanggung jawab ke nasabah.
 Independensi atau kemandirian, pada kasus PT Jiwasraya terlihat jelas bahwa perusahaan ini
juga mengabaikan prinsip independensi karena dari 13 perusahaan manajer investasi yang
terlibat diduga didalamnya terdapat kepentingan pribadi baik dari pihak manajemen PT
Jiwasraya maupun dari pihak lainnya.

18
 Fairness atau keadilan, PT Jiwasraya tidak berperilaku adil untuk memenuhi hak para
stakeholder berdasarkan kesepakatan yang telah disetujui kedua belah pihak dan peraturan
undang-undang.
Dengan adanya kasus gagal bayar tersebut, dampak internal perusahaan PT Jiwasraya
diharuskan untuk melakukan restrukturisasi karena keadaan keuangan PT Jiwasraya yang dinilai
sudah tidak mendukung lagi apabila dipaksakan untuk tetap beroperasi dan mempertanggung
jawabkan klaim nasabah. Setelah proses restrukturisasi selesai, PT Jiwasraya akan digantikan
sepenuhnya oleh IFG Life. Beberapa karyawan dari PT Jiwasraya juga terpaksa untuk
diberhentikan secara sepihak tanpa adanya sosialisasi terlebih dahulu dan terdapat karyawan yang
dimutasi tanpa melalui prosedur yang baik.

19
PSAK No. 1
Tujuan laporan keuangan yaitu untuk Memberikan informasi mengenai posisi keuangan, kinerja
keuangan, dan arus kas entitas yang bermanfaat bagi sebagian besar kalangan pengguna laporan
keuangan dalam pembuatan keputusan ekonomi. Disini yang bertugas memberikan informasi
adalah Perusahaan kepada Para Pemangku Kepentingan (stakeholders). Adapun uraian
karakteristiknya, yaitu:
1. Dapat dipahami
2. Relevan
3. Materialitas
4. Keandalan
5. Penyajian Jujur
6. Substansi Mengungguli Bentuk
7. Netralitas
8. Pertimbangan
9. Kelengkapan
10. Dapat Dibandingkan
OPINI
Berdasarkan pernyataan PSAK 1 bahwa dalam penyajian laporan keuangan harus memiliki
karakteristik yang jujur, relevan,materialistas,keandalan,kelengkapan hingga dapat dibandingkan.
Kasus PT Jiwasraya ini menunjukan bahwa penyajian laporan keuangannya melanggar ketentuan
tersebut.
Yang pertama tidak jujur karena laporan keungan tersebut disusun tidak sesuai dengan
kenyataannya. Kedua tidak relevan yang diakibatkan oleh tidak jujurnya penyampaian laporan
keuangan karena ingin tetap menarik investor padahal justru bisa merugikan investor karena
kondisi aslinya tidak seperti yang digambarkan di laporan keuangan. Kemudian tidak andalnya
penyajian karena hasil akhir laporan keuangan tersebut justru menyesatkan bagi para investor yang
mengira bahwa PT Jiwasraya baik- baik saja namun pada kenyataannya banyak dana yang
diselewengkan untuk kepentingan pribadi.
Berdasarkan identifikasi tersebut sudah seharusnya PT Jiwasraya memperbaiki kualitas pelaporan
keuangannya dengan benar – benar memperhatikan aturan yang sudah dibuat. Tertangkapnya para
pejabat dan orang – orang yang bekerjasama melakukan kecurangan itu tentunya menjadi
tantangan tersendiri untuk dapat memulihkan kepercayaan investor dan nasabah kepada PT
Jiwasraya. Perbaikan kualitas laporan keuangan oleh orang – orang kompeten juga jujur dan bisa

20
dengan benar – benar mengikuti aturan PSAK adalah salah satu cara agar dapat menarik kembali
kepercayaan investor.

DAFTAR PUSTAKA

1. BYARS, S. M., & STANBERRY, K. (2018). Business Ethics. Open Stax.


2. Kaen, F. R. (2005). Risk Management, Corporate Governance and the Public
Corpporation.
3. Nurvita, T. (2020). FRAUD DITINJAU DARI FALSAFAH SAINS DAN ETIKA
BISNIS KASUS MEGA KORUPSI PT ASURANSI JIWASRAYA. Jurnal Manajemen
Bisnis, Vol. 23 No. 1, 30-41.
4. Burcea, N., & Croitoru, I. (2014). BUSINESS ETHICS. Journal of Public Administration,
Finance and Law, 139-143.
5. Makki, S. (2020, Januari 8). Kronologi Kasus Jiwasraya, Gagal Bayar Hingga Dugaan
Korupsi. Retrieved from CNN Indonesia:
6. Modul Etika Profesi dan Tata Kelola Korporat, Penerbit IAI
7. Modul Pelaporan Korporat, Penerbit IAI

21

Anda mungkin juga menyukai