Anda di halaman 1dari 11

LAPORAN PENDAHULUAN

MOBILISASI

A. Definisi
Mobilitas atau mobilisasi merupakan kemampuan individu untuk bergerak dan
melakukan kegiatan secara mudah, bebas dan teratur guna memenuhi kebutuhan hidupnya
sehari-hari, baik secara mandiri, dengan bantuan orang lain, maupun hanya dengan bantuan
alat (Wulandari, 2018).
Gangguan mobilitas atau imobilitas merupakan keadaan di mana seseorang tidak dapat
bergerak secara bebas karena kondisi yang mengganggu pergerakan (aktivitas), misalnya
trauma tulang belakang, cedera otak berat disertai fraktur pada ekstremitas, dan sebagainya
(Wulandari, 2018). Menurut Nurarif dan Kusuma (2015), gangguan mobilitas adalah
keterbatasan fisik tubuh atau satu atau lebih ekstremitas secara mandiri dan terarah.
B. Etiologi
Menurut Tim Pokja DPP PPNI (2017), faktor-faktor yang dapat menyebabkan terjadinya
gangguan mobilitas fisik, adalah sebagai berikut:
1. Penurunan kendali otot
2. Penurunan kekuatan otot
3. Kekakuan sendi
4. Kontraktur
5. Gangguan muskoloskeletal
6. Gangguan neuromuscular
Keengganan melakukan pergerakan
C. Manifestasi klinis
Respon fisiologis dari perubahan mobilisasi yang mungkin muncul, diantaranya:
1. Muskuloskeletal sepeeti kehilangan daya tahan, penurunan massa otot, atropi dan
abnormalnya sendi (kontraktur) dan gangguan metabolisme kalsium
2. Kardiovaskuler seperti hipotensi ortostatik, peningkatan beban kerja jantung, dan
pembentukan thrombus.
3. Pernafasan seperti atelektasis dan pneumonia hipostatik, dispnea setelah beraktifitas.
4. Metabolisme dan nutrisi antara lain laju metabolic; metabolisme karbohidrat, lemak dan
protein; ketidakseimbangan cairan dan elektrolit; ketidakseimbangan kalsium; dan
gangguan pencernaan (seperti konstipasi).
5. Eliminasi urin seperti stasis urin meningkatkan risiko infeksi saluran perkemihan dan
batu ginjal.
6. Integument seperti ulkus dekubitus adalah akibat iskhemia dan anoksia jaringan.
7. Neurosensori: sensori deprivation (Wulandari, 2018).
D. Patofisiologi
Mobilisasi sangat dipengaruhi oleh sistem neuromuskular, meliputi sistem otot, skeletal,
sendi, ligament, tendon, kartilago, dan saraf. Otot Skeletal mengatur gerakan tulang karena
adanya kemampuan otot berkontraksi dan relaksasi yang bekerja sebagai sistem pengungkit.
Ada dua tipe kontraksi otot: isotonik dan isometrik. Pada kontraksi isotonik, peningkatan
tekanan otot menyebabkan otot memendek. Kontraksi isometrik menyebabkan peningkatan
tekanan otot atau kerja otot tetapi tidak ada pemendekan atau gerakan aktif dari otot,
misalnya, menganjurkan klien untuk latihan kuadrisep. Gerakan volunter adalah kombinasi
dari kontraksi isotonik dan isometrik. Meskipun kontraksi isometrik tidak menyebabkan otot
memendek, namun pemakaian energi meningkat. Perawat harus mengenal adanya
peningkatan energi (peningkatan kecepatan pernafasan, fluktuasi irama jantung, tekanan
darah) karena latihan isometrik. Hal ini menjadi kontra indikasi pada klien yang sakit (infark
miokard atau penyakit obstruksi paru kronik). Postur dan Gerakan Otot merefleksikan
kepribadian dan suasana hati seseorang dan tergantung pada ukuran skeletal dan
perkembangan otot skeletal. Koordinasi dan pengaturan dari kelompok otot tergantung dari
tonus otot dan aktifitas dari otot yang berlawanan, sinergis, dan otot yang melawan gravitasi.
Tonus otot adalah suatu keadaan tegangan otot yang seimbang.
Ketegangan dapat dipertahankan dengan adanya kontraksi dan relaksasi yang bergantian
melalui kerja otot. Tonus otot mempertahankan posisi fungsional tubuh dan mendukung
kembalinya aliran darah ke jantung.
Immobilisasi menyebabkan aktifitas dan tonus otot menjadi berkurang. Skeletal adalah
rangka pendukung tubuh dan terdiri dari empat tipe tulang: panjang, pendek, pipih, dan
ireguler (tidak beraturan). Sistem skeletal berfungsi dalam pergerakan, melindungi organ
vital, membantu mengatur keseimbangan kalsium, berperan dalam pembentukan sel darah
merah..
E. Pathway
Mobilisasi

Tidak mampu beraktifitas

Tirah baring yang lama

Kehilangan Gangguan fungsi Jaringan kulit Gastrointestinal


daya otot paru paru yang tertekan

Gangguam
Penurunan otot Perubahan sistem katabolisme
Penumpukan
sekret intragumen kulit

Perubahan Anoeksia
sistem Sulit batuk Kontriksi
muskuluskeletal pembuluh darah Nitrogen
Ketidakefektifan tidak efektif

Hambatan bersihan jalan Sel kulit mati


mobilitas fisik nafas Kemunduran
infekdefekasi
Dekubitus

Konstipasi
Kerusakan
integritas kulit

F. Pemeriksaan penunjang
a. Sinar –X tulang menggambarkan kepadatan tulang, tekstur, dan perubahan hubungan
tulang.
b. CT scan (Computed Tomography)
c. MRI (Magnetik Resonance Imaging) adalah tehnik pencitraan khusus, noninvasive, yang
menggunakan medan magnet, gelombang radio, dan computer untuk memperlihatkan
abnormalitas.
d. Pemeriksaan Laboratorium
e. Hb ↓pada trauma, Ca↓ pada imobilisasi lama, Alkali Fospat ↑, kreatinin dan SGOT ↑
pada kerusakan otot.
G. Penatalaksanaan medis
1. Membantu pasien duduk di tempat tidur
2. Mengatur posisi pasien di tempat tidur
3. Memindahkan pasien ke tempat tidur/ke kursi roda
4. Membantu pasien berjalan
H. Penatalaksanaan keperawatan
Menurut Saputra (2013) dalam Adha (2017), ada beberapa penatalaksanaan gangguan
mobilisasi secara umum diantaranya, yaitu:
1. Pengaturan Posisi Tubuh sesuai Kebutuhan Pasien
Pengaturan posisi dalam mengatasi masalah kebutuhan mobilitas dapat disesuaikan
dengan tingkat gangguan, seperti posisi fowler, sim, trendelenburg, dorsal recumbent,
lithotomi, dan genu pectoral.
a. Posisi Fowler
Posisi fowler adalah posisi setengah duduk atau duduk, di mana bagian kepala
tempat tidur lebih tinggi atau dinaikkan. Posisi ini dilakukan untuk
mempertahankan kenyamanan dan memfasilitasi fungsi pernapasan pasien.
b. Posisi Sim
Posisi sim adalah posisi miring ke kanan atau ke kiri. Posisi ini dilakukan untuk
memberi kenyamanan dan memberikan obat per anus (supositoria).
c. Posisi Trendelenburg
Pada posisi ini pasien berbaring di tempat tidur dengan bagian kepala lebih rendah
daripada bagian kaki. Posisi ini dilakukan untuk melancarkan peredaran darah ke
otak.
d. Posisi Dorsal Recumbent
Pada posisi ini pasien berbaring telentang dengan kedua lutut fleksi (ditarik atau
direnggangkan) di atas tempat tidur. Posisi ini dilakukan untuk merawat dan
memeriksa genitalia serta pada proses persalinan.
e. Posisi Lithotomi
Pada posisi ini pasien berbaring telentang dengan mengangkat kedua kaki dan
menariknya ke atas bagian perut. Posisi ini dilakukan untuk memeriksa genitalia
pada proses persalinan, dan memasang alat kontrasepsi.
f. Posisi Genu Pectoral
Pada posisi ini pasien menungging dengan kedua kaki ditekuk dan dada menempel
pada bagian alas tempat tidur. Posisi ini dilakukan untuk memeriksa daerah rektum
dan sigmoid.
2. Latihan ROM Pasif dan Aktif
Pasien yang mobilitas sendinya terbatas karena penyakit, diabilitas, atau trauma
memerlukan latihan sendi untuk mengurangi bahaya imobilitas. Menurut Junaidi (2011)
dalam Adha (2017) setelah keadaan pasien membaik dan kondisinya telah stabil baru
diperbolehkan dilakukannya mobilisasi.
Berikut beberapa gerakan latihan ROM yang dilakukan untuk memelihara dan
mempertahankan kekuatan otot serta memelihara mobilitas persendian :
1. Fleksi dan Ekstensi Pergelangan Tangan
2. Fleksi dan Ekstensi Siku
3. Pronasi dan Supinasi Lengan
4. Pronasi Fleksi Bahue. Abduksi dan Adduksi
5. Rotasi Bahu
6. Fleksi dan Ekstensi Jari – jari
7. Infersi dan Efersi Kaki
8. Fleksi dan Ekstensi Pergelangan Kaki
9. Fleksi dan Ekstensi Lutut
10. Rotasi Pangkal Paha
11. Abduksi dan Adduksi Pangkal Paha
3. Latihan Ambulasi
a. Duduk diatas tempat tidur
b. Turun dari tempat tidur, berdiri, kemudian duduk di kursi roda
c. Membantu berjalan
I. Komplikasi
Menurut Garrison (dalam Bakara D.M & Warsito S, 2016) gangguan mobilitas fisik
dapat menimbulkan komplikasi, yaitu abnormalitas tonus, orthostatic hypotension, deep vein
thrombosis, serta kontraktur. Selain itu, komplikasi yang dapat terjadi adalah pembekuan
darah yang mudah terbentuk pada kaki yang lumpuh menyebabkan penimbunan cairan daan
pembengkaan. Kemudian, juga menyebabkan embolisme paru yaitu sebuah bekuan yang
terbentuk dalam satu arteri yang mengalir ke paru. Selanjutnya yaitu dekubitus. Bagian yang
biasa mengalami memar adalah pinggul, pantat, sendi kaki dan tumit. Bila memar ini tidak
dirawat akan menjadi infeksi. Atrofi dan kekakuan sendi juga menjadi salah satu komplikasi
dari gangguan mobilitas fisik. Hal itu disebabkan karena kurang gerak dan mobilisasi.
Komplikasi lainnya, seperti disritmia, peningkatan tekanan intra cranial, kontraktur, gagal
nafas, dan kematian (Andra, Wijaya, Putri , 2013).
J. Konsep asuhan keperawatan mobilisasi
1. Pengkajian
a. Identitas
b. Riwayat Kesehatan
1) Keluhan utama
2) Riwayat kesehatan (sekarang dan dahulu)
3) Riwayat kesehatan keluarga
c. Pola pengkajian ADL
1) Pola nutrisi
2) Pola aktivitas dan latihan
Biasanya pasien tidak akan mampu melakukan aktivitas dan perawatan diri secara
mandiri karena kelemahan anggota gerak, kekuatan otot berkurang, mengalami
gangguan koordinasi, gangguan keseimbangan mudah lelah. Aktivitas fisik yang
kurang dapat mempengaruhi frekuensi denyut jantung menjadi lebih tinggi
sehingga otot jantung harus bekerja lebih keras pada setiap kontraksi. Otot jantung
yang bekerja semakin keras dan sering memompa, maka makin besar tekanan yang
dibebankan pada arteri sehingga dapat menyebabkan tekanan darah meningkat
(Adha, 2017).
3) Pola tidur dan istirahat
Biasanya pasien lebih banyak tidur dan istirahan karena semua sistem tubuhnya
akan mengalami penurunan kerja dan penurunan kesadaran sehingga lebih banyak
diam (Adha, 2017).
4) Pola eliminasi
Kemungkinan terjadi retensi urin dan inkontinensia akibat kurang aktivitas dan
pengontrolan urinasi menurun, dan terjadi konstipasi dan diare akibat impaksi fekal
(Adha, 2017).
d. Pemeriksaan Fisik
Pengkajian pada mobilisaasi berfokus pada ROM, gaya berjalan, latihan dan
toleransi aktivitas, serta keseimbangan tubuh. Pemeriksaan fisik pada pasien dengan
ganguan mobilisasi bertujuan untuk menilai adanya fraktur terbuka/tertutup, dislokasi
sendi, paralisis/paresis motorik: hemiplegia/hemiperesis, kelemahan otot wajah,
tangan, gangguan sensorik: kehilangan sensasi pada wajah, lengan, dan ektermitas
bawah, disphagia: kesulitan mengunyah, menelan, paralisis lidah, dan laring,
gangguan visual: pandangan ganda, lapang padang menyempit, kesulitan
berkomunikasi: kesulitan menulis, kesulitan membaca, disatria ( kesulitan
mengucapkan artikulasi/pelo, cadel), kelemahan, otot wajah, lidah, langitlangit atas,
pharing, dan bibir, kemampuan emosi: perasaan, ekspresi 15 wajah, penerimaan
terhadap kondisi dirinya, memori: pengenalan terhadap lingkungan, orang, tempat,
waktu, tingkat kesadaran, fungsi bladder dan fungsi bowel.
e. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang yaitu CT Scan mengidentifikasi jika adanya area perdarahan
(biasanya untuk pemakaian darurat) dan MRI (Magnetik Resonance Imaging)
mengidentifikasi lokasi iskemik (Basuki, 2018).
2. Diagnosa keperawatan
a. Hambatan mobiitas fisik berhubungan dengan intoleransi aktivitas ditandai dengan
keterbatasan kemampuan melakukan keterampilan motorik kasar dan keterbatasan
rentang gerak sendi
b. Defisit perawatan diri : mandi berhubungan dengan gangguan neuromuskular
ditandai dengan ketidakmampuan untuk meakukan pembersihan tubuh.
c. Risiko kerusakan integritas kulit dengan faktor risiko tonjolan tulang ditandai dengan
imobilisasi fisik

No Diagnosa Keperawatan Tujuan dan Kriteria Intervensi


Hasil

1 Hambatan Mobilitas Fisik Setelah dilakukan asuhan NIC Label Exercise


berhubungan dengan keperawatan ...x24jam Therapy: Joint Mobility
intoleransi aktivitas ditandai diharapkan pasien dapat
dengan keterbatasan tetap mempertahankan
kemampuan melakukan pergerakannya, dengan o Kaji keterbatasan gerak
keterampilan motorik kasar criteria: sendi

NOC Label : Body


o Kaji motivasi klien
Mechanics Performance
untuk mempertahankan
 Menggunakan pergerakan sendi
posisi duduk yang o Jelaskan alasan/rasional
benar pemberian latihan
 Mempertahankan kepada pasien/ keluarga
kekuatan otot
 Mempertahankan o Monitor lokasi
fleksibilitas sendi ketidaknyamanan atau
nyeri selama aktivitas
o Lindungi pasien dari
cedera selama latihan

o Bantu klien ke posisi


yang optimal untuk
latihan rentang gerak
o Anjurkan klien untuk
melakukan latihan range
of motion secara aktif
jika memungkinkan
o Anjurkan untuk
melakukan range of
motion pasif jika
diindikasikan

o Beri reinforcement
positif setiap kemajuan
klien

3. Intervensi

4. Implementasi
Implementasi merupakan salah satu bagian dari asuhan keperawatan yang
merupakan tindakan kegiatan yang bertujuan untuk mengatasi masalah yang dikeluhkan
oleh pasien, biasanya implementasi mengikuti perencanaan yang sudah ditetapkan agar
dapat tercapainya tujuan dan hasil yang diperkirakan tetapi banyak terdapat dilingkungan
kesehatan biasanya implementasi dilakukan setelah melakukan pengkajian
(Potter&Perry,2010).
5. Evaluasi
Evaluasi merupakan proses asuhan keperawatan yang dapat menentukan apakah
intervensi yang dilakukan oleh perawat sudah dapat meningkatkan kondisi pasien
menjadi lebih baik (Potter&Perry,2010). Evaluasi dibagi atas dua bentuk yaitu evaluasi
formatif dan evaluasi sumatif.
Evaluasi formatif adalah evaluasi yang berfokus pada aktivitas proses
keperawatan dan hasil dari proses tindakan keperawatan, evaluasi ini yaitu dilakukan
setelah perawat melakukan tindakan yang berfungsi untuk mengetahui keoptimalan
pemberian asuhan keperawatan. Adapaun perumusan evaluasi ini terdiri dari empat
komponen yaitu lebih dikenal Dengan istilah SOAP, yakni subjektif yang berisi data
tentang keluhan pasien, objektif yang berisi data tentang hasil pemeriksaan, analisa data
yang berisi tentang perbandingan data dengan teori dan perencanaan yang berisi tentang
tindakan keperawatan selanjutnya. Evaluasi sumatif adalah evaluasi yang dilakukan
diakhir atau setelah semua aktivitas proses keperawatan dilakukan, evaluasi ini bertujuan
untuk menilai dan memonitor kualiatas dari asuhan keperawatan yang dilakukan, respon
ini biasanya dilakukan 19 dengan wawancara menanyakan respon klien terhadap
pelayanan yang diberikan.
Ada tiga kemungkinan yang dicapai dalam evaluasi sumatif ini yaitu :
a. tujuan tercapai jika klien menunjukan perubahan sesuai dengan standar yang
diharapkan
b. tujuan tercapai sebagian jika klien masih dalam proses mencapai tujuan dan klien
menunjukan perubahan sebagian dalam kriteria yang diharapkan
c. tujuan tidak tercapai jika hanya menunjukan sedikit perubahan dan tidak ada
kemajuan sama sekali serta berkemungkinan timbulnya masalah baru (Asmadi,
2008).
DAFTAR PUSTAKA
Adha, S.A. (2017). Asuhan Keperawatan Gangguan Mobilitas Fisik Pada Pasien Stroke Non
Hemoragik Di IRNA C RSSN Bukittinggi. Karya Tulis Ilmiah. Politeknik Kesehatan
Kemenkes Padang.
Basuki, L. penerapan ROM (Range of Motion) Pada Asuhan Keperawatan Pasien Stroke
Dengan Gangguan Mobilitas Fisik Di RSUD Wates Kulon Progo. Karya Tulis Ilmiah.
Politeknik Kesehatan Kementrian Kesehatan Yogyakarta.
Nurarif, A.H. dan Kusuma, H. (2015). Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa
Medis & NANDA NIC_NOC. Yogyakarta; MediAction.
Purwanto, H. (2016). Modul Bahan Ajar Cetak Keperawatan : Keperawatan Medikal Bedah
II. Jakarta Selatan; Pusdik SDM Kesehatan Kementrian Kesehatan Republik
Indonesia.
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. (2017). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia: Definisi
dan Indikator Diagnostik. Jakarta; Dewan Pengurus Pusat PPNI.
Tim Pokja SIKI DPP PPNI. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia : Definisi dan
Tindakan Keperaatan. Jakarta; Dewan Pengurus Pusat PPNI
Tim Pokja SLKI DPP PPNI. (2019). Standar Luaran Keperawatan Indonesia : Definis dan
Kriteria Hasil Keperawatan. Jakarta; Dewan Pengurus Pusat PPNI
Widuri, H. (2010). Kebutuhan Dasar Manusia (Aspek Mobilitas dan Istirahat Tidur). (Riyadi,
S, Ed.) Yogyakarta; Gosyen Publishing.
Wulandari, N.K.V. gambaran Asuhan Keperawatan Pada Pasien Pasca Stroke Non
Hemoragik Dengan Gangguan Pemenuhan Mobilitas Fisik (Di Wilayah Keja UPT
Kesmas Sukawati I) Tahun 2018. Karya Tulis Ilmiah. Politeknik Kesehatan
Kementrian Kesehatan Denpasar.

Anda mungkin juga menyukai