Anda di halaman 1dari 4

Topik 3 : Prinsip-prinsip Perlindungan Konsumen

Ada beberap prinsip tentang kedudukan konsumen dalam hubungan hukum dengan

pelaku usaha, yaitu :

1. Let the buyer beware.

Pelaku usaha dan konsumen adalah dua pihak yang sangat seimbang sehingga tidak

perlu ada proteksi apapun bagi si konsumen. Namun konsumen tidak mendapatkan akses

informasi yang sama terhadap barang atau jasa yang dikonsumsikannya. Ketidakmampuan

itu bisa karena keterbatasan pengetahuan konsumen, bahkan terlebih lagi banyak

disebabkan oleh ketidakterbukaan pelaku usaha terhadap produk yang ditawarkannya.

Akhirnya, konsumen pun didikte oleh pelaku usaha. Jika konsumen mengalami kerugian,

pelaku usaha dengan ringan berdalih, semua itu karena kelalaian konsumen sendiri.

Prinsip ini ditentang oleh pendukung gerakan perlindungan konsumen, yang

berpendapat bahwa dalam suatu hubungan jual beli keperdataan, yang wajib berhati-hati

adalah pembeli. Kesalahan pembeli (konsumen) jika ia sampai membeli dan mengkonsumsi

barang-barang yang tidak layak..

2. The Due Care Theory.

Pelaku usaha mempunyai kewajiban untuk berhati-hati dalam memasyarakatkan

produk, baik barang maupun jasa. Selama berhati-hati dengan produknya, ia tidak dapat

dipermasalahkan. Jika ditafsirkan secara a-contrario, maka untuk mempermasalahkan si

pelaku usaha, seseorang harus dapat membuktikan, pelaku usaha itu melanggar prinsip

kehati-hatian.

Pasal 1865 KUHPerdata, menyatakan :


“barang siapa yang mendalilkan mempunyai suatu hak atau untuk meneguhkan

haknya atau membantah hak orang lain, atau menunjuk pada suatu peristiwa, maka

ia diwajibkan membuktikan adanya hak atau peristiwa tersebut”.

Pasal ini berlaku dalam lapangan hukum perdata, baik terhadap konsumen yang

menggugat secara wanprestasi maupun atas dasar perbuatan melawan hukum.

3. The Privity of Contract.

Pelaku usaha mempunyai kewajiban untuk melindungi konsumen, tetapi hal itu baru

dapat dilakukan jika diantara mereka telah terjalin suatu hubungan kontraktua. Pelaku usaha

tidak dapat disalahkan atas hal-hal di luar yang diperjanjikan, artinya konsumen boleh

menggugat berdasarkan wanprestasi.

Prinsip-prinsip Tanggung Jawab Dalam Hukum Perlindungan Konsumen, yaitu :

1. Prinsip Tanggung Jawab Berdasarkan Unsur Kesalahan.( Fault Liability atau Liability

Based on Fault).

Prinsip ini menyatakan, seseorang baru dapat dimintakan pertanggungjawabannya secara

hukum jika ada unsur kesalahan yang dilakukannya.

Prinsip ini diatur dalam Pasal 1365 KUHPerdata tentang perbuatan melawan hukum

harus memenuhi empat unsur, yaitu :

a. adanya perbuatan;

b. adanya unsur kesalahan;

c. adanya kerugian yang diderita;

d. adanya hubungan kausalitas antara kesalahan dan kerugian.


2. Prinsip Praduga Untuk Selalu Bertanggungjawab.

Prinsip ini menyatakan, tergugat selalu dianggap bertanggungjawab (Presumption of

Liability Principle), sampai ia dapat membuktikan, ia tidak bersalah. Jadi beban

pembuktian ada pada si tergugat. Jika diterapkan dalam kasus hukum perlindungan

konsumen, maka yang berkewajiban untuk membuktikan kesalahan itu ada di pihak

pelaku usahayang digugat. Tergugat ini yang harus menghadirkan bukti-bukti, dirinya

tidak bersalah. Tentu saja konsumen tidak lalu berarti dapat sekehendak hati mengajukan

gugatan. Posisi konsumen sebagai penggugat selalu terbuka untuk digugat balik oleh

pelaku usaha, jika ia gagal menunjukkan kesalahan si tergugat.

3. Prinsip Praduga Untuk Tidak Selalu Bertanggunga jawab (Presumption of Nonliability

Principle).

Prinsip ini hanya dikenal dalam lingkup transaksi konsumen yang sangat terbatas, dan

pembatasan demikian biasanya secara akal sehat dapat dibenarkan. Pelaku usaha dapat

dimintakan pertanggungjawaban sepanjang bukti kesalahan ada pada pihak pelaku

usaha dapat ditunjukkan. Pihak yang dimintakan untuk membuktikan kesalahan itu

ada pada si konsumen.

4. Prinsip Tanggung Jawab Mutlak (Strict Liability).

Prinsip tanggung jawab yang menetapkan kesalahan tidak sebagai faktor yang

menentukan. Namun ada pengecualian-pengecualian yang memungkinkan untuk

dibebaskan dari tanggung jawab, misalnya Force Majeure seperti bencana alam.

Menurut R.C. Hoeber et al., biasanya prinsip tanggung jawab mutlak ini diterapkan

karena konsumen tidak dalam posisi menguntungkan untuk membuktikan adanya

kesalahan dalam suatu proses produksi dan distribusi yang kompleks, diasumsikan

produsen lebih dapat mengantisipasi jika sewaktu–waktu ada gugatanatas


kesalahannya, misalnya dengan asuransi atau menambah komponen baiaya tertentu

pada harga produknya, asas ini dapat memaksa produsen lebih hati-hati.

Prinsip tanggung jawab mutlak dalam hukum perlindungan konsumen dapat dikenakan

pada produsen atau pelaku usaha yang memasarkan produknya yang merugikan

konsumen. Asas tanggung jawab ini dikenal dengan nama “Product Liability” artinya

produsen wajib bertanggunga jawab atas kerugian yang diderita konsumen atas

penggunaan produk yang dipasarkannya. Gugatan ini dapat dilakukan berdasarkan 3

(tiga) hal, yaitu : melanggar jaminan (misalnya khasiat yang timbul tidak sesuai dengan

janji yang tertera dalam kemasan produk); ada unsur kelalaian(produsen lalai

memenuhi standar pembuatan obat yang baik, dan menerapkan tanggung jawab mutlak.

5. Prinsip Tanggung Jawab Dengan Pembatasan (Limitation Liability).

Prinsip ini sangat disenangi oleh pelaku usaha untuk dicantumkan sebagai klausula

eksonerasi atau pengecualian dalam perjanjian standar yang dibuatnya. Prinsip ini

sangat merugikan konsumen bila ditetapkan secara sepihak oleh pelaku usaha.

Seharusnya pelaku usaha tidak boleh secara sepihak menentukan klausula yang

merugikan konsumen, termasuk membatasi maksimal tanggung jawabnya. Jika ada

pembatasan, mutlak harus berdasarkan peraturan perundang-undangan yang jelas.

Anda mungkin juga menyukai