Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH

FISISOLOGI DEFEKASI

DOSEN PEMBIMBING
MATILDA MARTHA PASENO Ns,.M.Kep

DISUSUN OLEH
KELOMPOK 5

BASILA BATMAN LUSI : C2214201015


FRENKLIN DEVAN ROE : C2214201045
REDEMPTA FENNY MELINDA : C2214201085

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN STELLA MARIS MAKASSAR
TAHUN AJARAN 2022/2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat-Nya sehingga
makalah “Fisiolgi Defekasi” ini dapat tersusun hingga selesai. Tidak lupa kami mengucapkan
terimakasih terhadap Ibu Matilda Martha Paseno Ns,.M.Kep selaku dosen pengampu mata
kuliah Pemenuhan Kebutuhan Dasar Manusia serta bantuan - bantuan dari berbagai pihak
yang telah berkontribusi dengan memberikan baik ide pikiran maupun materinya.

Kami berharap semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman
untuk para pembaca. Bahkan kami berharap lebih jauh lagi agar makalah ini bisa pembaca
praktekkan dalam kehidupan sehari-hari, khususnya dalam mencegah dan menjauhi faktor –
faktor yang dapat mendekatkan pembaca pada gangguan pada saluran fekal.

Kami yakin masih banyak kekurangan dalam penyusunan makalah ini karena
keterbatasan pengetahuan dan pengalaman kami. Untuk itu kami sangat mengharapkan kritik
dan saran yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.

Makassar,19 September 2022

Kelompok 5
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...................................................................................................................................
DAFTAR ISI...............................................................................................................................................
BAB I........................................................................................................................................................
A. Latar Belakang.............................................................................................................................
B. Rumusan Masalah.......................................................................................................................
C. Tujuan..........................................................................................................................................
BAB II.......................................................................................................................................................
A. Pengertian...................................................................................................................................
B. Faktor yang mempengaruhi defekasi...........................................................................................
C. Masalah eliminasi fekal................................................................................................................
D. Ostomy diversi usus.....................................................................................................................
BAB III......................................................................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Defekasi adalah proses pengosongan usus yang sering disebut dengan buang air
besar. Terdapat dua pusat yang menguasai refleks untuk defekasi, yaitu terletak di medula
dan sumsum tulang belakang. Apabila terjadi rangsangan parasimpatis, sfingter anus
bagian dalam akan mengendur dan usus besar menguncup. Refleks defekasi dirangsang
untuk buang air besar kemudian sfingter anus bagian luar diawasi oleh sistem saraf
parasimpatis, setiap waktu menguncup atau mengendur. Selama defekasi, berbagai otot
lain membantu proses tersebut, seperti otot-otot dinding perut, diafragma, dan otot-otot
dasar pelvis.
Feses terdiri atas sisa makanan seperti selulose yang tidak direncanakan dan zat
makanan lain yang seluruhnya tidak dipakai oleh tubuh, berbagai macam mikroorganisme,
sekresi kelenjar usus, pigmen empedu, dan cairan tubuh. Feses yang normal terdiri atas
masa padat dan berwarna cokelat karena disebabkan oleh mobilitas sebagai hasil reduksi
pigmen empedu dan usus kecil.
Secara umum, terdapat dua macam refleks dalam membantu proses defekasi,
yaitu refleks defekasi intrinsik yang dimulai dari adanya zat sisa makanan (feses) dalam
rektum sehingga terjadi distensi, kemudian flexus mesenterikus merangsang gerakan
peristaltik, dan akhirnya feses sampai di anus, proses defekasi terjadi saat sfingter interna
berelaksasi; refleks defekasi parasimpatis yang dimulai dari adanya feses dalam rektum
yang merangsang saraf rektum, kemudian ke spinal cord, merangsang ke kolon desenden,
ke sigmoid, lalu rektum dengan gerakan peristaltik, dan akhirnya terjadi proses defekasi
saat sfingter interna berelaksasi.

B. Rumusan Masalah
a) Apa saja faktor yang mempengaruhi defekasi ?
b) Masalah apa saja yang terdapat pada eliminasi fekal ?
c) Apa yang dimaksud dengan Ostomy diversi usus ?

C. Tujuan
Tujuan yang dicapai pada makalah ini ialah sebagai berikut :
a) Mengetahui faktor-faktoryang mepengaruhi defekasi,
b) Mengetahui masalah eliminasi fekal,
c) Mendeskripsikan ostomy diversi usus.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian
Defekasi diartikan sebagai pembuangan tinja dari rectum. Seperti halnya usus
halus, pergerakan usus besar juga terdiri dari gerakan segmentasi dan peristaltik. Pada
dasarnya gerakan segmentasi pada usus besar sama dengan yang terjadi pada usus halus.
Setiap kontraksi otot sirkular, disertai dengan kontraksi otot longitudinal menimbulkan
terjadinya kontraksi haustral. Kontraksi haustral akan menyebabkan feses terpapar dengan
permukaan absorbsi usus besar, sehingga terjadilah absorbsi air sampai mencapai eighty-
two hundred ml/hari.
Gerakan peristaltik yang terjadi pada setiap segmen usus besar agak berbeda,
sesuai dengan karakteristik massa feses. Pada caecum dan kolon ascenden, gerakan
peristaltik terjadi akibat kontraksi haustral yang lambat tetapi berlangsung terus-menerus,
sehingga dibutuhkan waktu 8-15 jam untuk menggerakkan makanan dari katup ileocaecal
melewati kolon transversum. Proses defekasi diawali oleh terjadinya refleks defekasi
sebagai berikut : Saluran dari kanalis anal terdiri dari ujung-ujung saraf sensoris yang
sensitif terhadap taktil, suhu dan rangsangan nyeri. Ujung serabut saraf sensoris dalam
kanalis anal inilah yang mengidentifikasi apabila lumen anus terisi, baik itu solid atau fuel.
Ketika rangsangan berupa massa feses masuk ke dalam rektum (mass movement) yang
menyebabkan peningkatan tekanan diatas 18 mmHg, serabut saraf sensoris akan
terangsang dengan regangan tersebut dan mengirimkan impuls aferen melalui nervus
pelvikus dihantarkan ke segmen sakral 2,3, four medulla spinalis sebagai pusat defekasi.
Impuls eferen secara refleks kembali ke kolon desenden, sigmoid, rektum dan
anus melalui serabut saraf parasimpatis dalam nervi erigentes. Isyarat parasimpatis ini
mengirim sinyal yang menyebar ke pleksus mienterikus untuk memulai terjadinya
gelombang peristaltik yang kuat yang kadang-kadang bermanfaat dalam pengosongan usus
besar dari fleksura lienalis, kolon descenden, pemendekan lapisan otot longitudinal dalam
kolon sigmoid dan kontraksi rektum, diikuti oleh kontraksi kuat dari lapisan otot sirkuler
mendorong feses ke distal hingga anus. Spinkter interna juga mengalami relaksasi. Impuls
aferen dari rektum juga memberi efek aktivasi jalur ascending ke korteks sensorik, untuk
membedakan isilumen antara solid dan gasoline. Jika distensi rektum tersebut berupa fuel,
spinkter akan relaksasi dan flatus dapat keluar. Jika solid, impuls eferen melewati korda
spinal untuk memperkuat kontraksi dari spinkter externa dan mempertahankannya. Pada
saat itu, kontraksi volunter dari spinkter externa dan otot puborektalis mencegah
pengeluaran.
B. Faktor yang mempengaruhi defekasi
1.) Perkembangan
Bayi baru lahir dan bayi, batita, anak-anak, dan lansia adalah kelompok yang
anggotanya memiliki kesamaan dalam pola eliminasi.
2.) Bayi Baru Lahir dan Bayi
Mekonium adalah materi feses pertama yang dikeluarkan oleh bayi baru lahir,
normalnya terjadi dalam 24 jam pertama setelah lahir. Mekonium berwarna hitam, tidak
berbau, dan lengket. Feses transisional, yang dik luarkan sekitar satu minggu setelah lahir,
umumnya berwarna kuning kehijauan; mengandung lendir dan encer.
Bayi sering mengeluarkan feses, sering kali setiap sesudah makan. Karena usus
belum matur, air tidak di serap dengan baik dan feses menjadi lunak, cair, dan sering
dikeluarkan. Apabila usus telah matur, flora bakteri meningkat. Setelah makanan padat
diperkenalkan, feses menjadi lebih keras dan frekuensi defekasi berkurang.
Bayi yang diberi ASI memiliki feses berwarna kuning terang sampai kuning
keemasan dan bayi yang meminum formula susu sapi akan memiliki feses berwarna
kuning gelap atau berwarna cokelat yang lebih terbentuk.
3.) Batita
Sedikit kontrol defekasi telah mulai dimiliki pada usia 1½ sampai 2 tahun. Pada saat
ini, anak-anak telah belajar berjalan dan sistem saraf dan sistem otot telah terbentuk cukup
baik untuk memungkinkan kontrol defekasi. Keinginan untuk mengontrol defekasi di
siang hari dan untuk menggunakan toilet secara umum dimulai saat anak menyadari (a)
ketidaknyamanan yang disebabkan oleh popok yang kotor dan (b) sensasi yang
menunjukkan kebutuhan untuk defekasi. Kontrol di siang hari umumnya diperoleh pada
usia 2½ tahun, setelah sebuah proses pelatihan eliminasi.
4.) Anak Usia Sekolah dan Remaja
Anak usia sekolah dan remaja memiliki kebiasaan defekasi yang sama dengan
kebiasaan mereka saat dewasa. Pola defekasi beragam dalam hal frekuensi, kuantitas, dan
konsistensi. Beberapa anak usia sekolah dapat menunda defekasi karena aktivitas seperti
bermain.
5.) Lansia
Konstipasi adalah masalah umum pada populasi lansia. Ini, sebagian, akibat
pengurangan tingkat aktivitas, ketidakcukupan jumlah asupan cairan dan serat, serta
kelemahan otot. Banyak lansia percaya bahwa "keteraturan" berarti melakukan defekasi
setiap hari. Mereka yang tidak memenuhi kriteria ini sering kali mencari obat yang dijual
bebas untuk meredakan kondisi yang mereka yakini sebagai konstipasi. Lansia harus
dijelaskan bahwa pola normal eliminasi fekal sangat beragam. Bagi beberapa orang, pola
normal dapat setiap dua hari sekali; bagi orang lain, dua kali dalam satu hari. Kecukupan
serat dalam diet, kecukupan latihan, dan asupan cairan 6 sampai 8 gelas sehari merupakan
upaya pencegahan yang esensial terhadap konstipasi. Secangkir air atau teh panas pada
waktu teratur di pagi hari sangat membantu bagi beberapa orang. Berespons terhadap
refleks gastrokolik (peningkatan peristalsis kolon setelah makanan memasuki lambung)
juga merupakan pertimbangan yang sangat penting.
Individu paruh baya harus diperingatkan bahwa penggunaan laksatif secara
konsisten akan menghambat refleks defekasi alamiah dan diduga menyebabkan konstipasi
dan bukan menyembuhkannya. Individu yang biasa menggunakan laksatif pada akhirnya
membutuhkan dosis yang lebih besar atau lebih kuat karena efek obat menurun secara
proresif jika digunakan secara kontinu. Laksatif juga dapat mengganggu keseimbangan
elektrolit tubuh dan menurunkan penyerapan vitamin tertentu. Alasan konstipasi dapat
beragam berkisar dari kebiasaan gaya hidup (mis., kurang olah raga) sampai gangguan
keganasan yang serius. Perawat harus mengevaluasi setiap keluhan konstipasi secara
cermat pada setiap individu. Perubahan kebiasaan defekasi setelah beberapa minggu
dengan atau tanpa penurunan berat badan, nyeri, atau demam harus dirujuk ke dokter
untuk evaluasi medis yang komplet.

Karakteristik Normal Abnormal Kemunkinan


penyabab
Warna Orang dewasa: Seperti tanah liat Tidak pigmen
cokelat atau putih empedu (abstruksi
empedu); studi
diagnostik
menggunakan
barium

Bayi; kuning Hitam atau seperti Obat (mis., zat besi);


ter peredaran darah dari
saluran pencernaan
atas(mis., lambung,
usus); diet tinggi
danging merah dan
sayur hijau tua( mis.,
bayam)
Merah
Perdarahan dari
saluran pencernaan
bawah (mis.,
Pucat rektum); beberapa
makanan (mis., bit)
Malapsorpsi lemak;
Jingga atau hijau diet tinggi susu serta
Keras, kering rendah danging.
Infeks usus.

Dehidrasi penurunan
motilitas usus yang
terjadi akibat
kekurangan serat
Memiliki bentuk, dalam diet kurang
Konsistensi lunak, olah raga, kesedihan
Diare
semipadat,berair emosional,
penyalahgunaan
laksatif.
Peningkatan
Sindris (kontur Feses berdiameter motilitas usus (mis.
rektum) dengan kecil. seperti pensil, karena iritasi kalan
Bentuk diameter sekitar 2.5 oleh bakteria)
atau. menyerupal
cm pada orang benang. Kondisi obstruksi
dewasa. pada rektum.

Beragam sesuai
Jumlah
dengan diet [seditor
100-400 g per hari.
Bau
Aroma: dipengaruhi
Infeksi darah.
oleh makan an yang
dimakan dan fora Berbau tajam.
bakteri yang dimiliki
Infeksi bakteria
oleh orang itu
Kondisi peradangan
sendiri.
Kandungan
Nanah
Sejumlah kecil dan Perdarahan
boglan kasar Lendir gastrointesinal
makanan yang tidak Parasit Malabsorpsi
tercera, bakteri mati Darah Tidak sengaja
dan sel epitel yang Lemak dalam tertelan
meluruh, lemak, jumlah banyak
protein, unsur kering Benda asing
dari asam lambung
(mis.. pigmen
empedu zat
inorganik).

6.) Diet
Bagian massa (selulosa, serat) yang besar di dalam diet dibutuhkan untuk
memberikan volume fekal. Diet lunak dan diet rendah serat kurang memiliki massa dan
oleh karena itu kurang menghasilkan sisa dalam produk buangan untuk menstimulasi
refleks defekasi. Makanan rendah sisa, seperti nasi, telur, dan daging tanpa lemak,
bergerak lebih lambat di dalam saluran usus. Meningkatkan asupan cairan dengan
makanan seperti itu dapat meningkatkan kecepatan pergerakannya.
Makanan tertentu sulit atau tidak mungkin untuk dicerna oleh beberapa orang.
Ketidakmampuan ini menyebabkan masalah pencernaan dan, dalam beberapa ke adaan,
dapat menghasilkan feses yang encer. Pola makan yang tidak teratur juga dapat
mengganggu keteraturan pola defekasi. Individu yang jadwal makannya sama setiap hari
biasanya memiliki respons fisiologis yang waktunya teratur terhadap asupan makanan dan
memiliki pola aktivitas peristaltik yang teratur di dalam kolon.
Makanan pedas dapat menyebabkan diare dan flatus pada beberapa individu. Gula
berlebih juga dapat menyebabkan diare. Makanan lain yang dapat memengaruhi eliminasi
fekal meliputi:

 Makanan penghasil gas, seperti kubis, bawang merah, kembang kol, pisang, dan apel.
 Makanan penghasil laksatif, seperti kulit gandum,
 buah prem, ara, cokelat, dan alkohol. Makanan penghasil konstipasi, seperti keju,
pasta, telur, dan daging tanpa lemak.

7.) Cairan
Bahkan jika asupan cairan memadai atau haluaran (misalnya urine atau muntah)
cairan berlebihan karena alasan tertentu, tubuh terus menyerap kembali cairan dari kime
saat bergerak di sepanjang kolon. Kime menjadi lebih kering dibandingkan normal,
menghasilkan feses yang keras. Selain itu, pengurangan asupan cairan memperlambat
perjalanan kime di sepanjang usus, makin meningkatkan penyerapan kembali cairan dari
kime. Eliminasi fekal yang sehat biasanya memerlukan asupan cairan harian sebanyak
2.000 sampai 3.000 mL. Namun apabila kime bergerak dengan cepat secara tidak normal
di sepanjang usus besar, waktu penyerapan kembali cairan ke dalam darah menjadi lebih
singkat; akibatnya, feses menjadi lunak dan bahkan berair/encer.
8.) Aktivitas
Aktivitas menstimulasi peristalsis, sehingga memfasilitasi pergerakan kime di
sepanjang kolon. Otot abdomen dan panggul yang lemah sering kali tidak efektif dalam
meningkatkan tekanan intra abdomen selama defekasi atau dalam mengontrol defekasi.
Otot yang lemah dapat terjadi akibat kurangnya latihan, imobilitas, atau gangguan fungsi
neurologi. Klien yang tirah baring sering mengalami konstipasi.
9.) Faktor Psikologi
Beberapa orang yang merasa cemas atau marah mengalami peningkatan aktivitas
peristaltik dan selanjutnya mual atau diare. Sebaliknya, beberapa orang yang mengalami
depresi dapat mengalami perlambatan motilitas usus, yang menyebabkan konstipasi.
Bagaimana seseorang berespons terhadap keadaan emosional ini adalah hasil dari
perbedaan individu dalam respons sistem saraf enterik terhadap stimulasi vagal dari otak.
10.) Kebiasaan Defekasi
Pelatihan defekasi sejak dini dapat membentuk kebiasaan defekasi pada waktu
teratur. Banyak orang melakukan defekasi setelah sarapan, saat refleks gastrokolik
menyebabkan gelombang peristaltik massa di usus besar. Apabila seseorang mengabaikan
desakan untuk melakukan defekasi ini, air terus menerus direabsorpsi, menjadikan feses
mengeras dan sulit dikeluarkan. Apa bila refleks defekasi normal dihambat atau diabaikan,
refleks terkondisi ini cenderung melemah secara progresif. Apabila terbiasa diabaikan,
keinginan defekasi pada akhirnya akan menghilang. Orang dewasa dapat mengabaikan
refleks ini karena tekanan waktu atau kerja. Klien yang di rawat inap dapat menekan
keinginan defekasi karena rasa malu menggunakan pispot, kurang privasi, atau karena
defekasi sangat tidak nyaman.
11.) Obat-obatan
Beberapa obat memiliki efek samping yang dapat mengganggu eliminasi normal.
Beberapa obat menyebabkan diare; obat lain, seperti obat penenang tertentu dalam dosis
besar dan pemberian morfin dan kodein secara berulang, menyebabkan konstipasi karena
obat tersebut menurunkan aktivitas gastrointestinal melalui kerjanya pada sistem saraf
pusat. Tablet zat besi, yang memiliki efek kontraksi (astringent), bekerja lebih lokal di
mukosa usus sehingga menyebabkan konstipasi.
Beberapa obat secara langsung memengaruhi eliminasi. Laksatif adalah obat yang
menstimulasi aktivitas usus dan dengan demikian membantu eliminasi fekal. Obat lain
melunakkan feses, yang memfasilitasi defekasi. Obat tertentu menekan aktivitas peristaltik
dan dapat digunakan untuk mengobati diare.
Obat-obatan juga memengaruhi tampilan feses. Setiap obat yang menyebabkan
perdarahan pencernaan (mis., produk aspirin) dapat menyebabkan feses berwarna merah
atau hitam. Garam zat besi menyebabkan feses berwarna hitam karena oksidasi zat besi;
antibiotik dapat menyebabkan warna abu-abu hijau; dan antasid dapat menyebabkan wama
keputihan atau bercak putih di dalam feses. Pepto-Bismol, sebuah obat yang biasa di jual
bebas, menyebabkan feses berwarna hitam.
12.) Prosedur Diagnostik
Sebelum prosedur diagnostik tertentu, seperti visualisasi kolon (kolonoskopi atau
sigmoidoskopi), klien dilarang mengonsumsi makanan atau minuman. Bilas enema dapat
juga dilakukan pada klien sebelum pemeriksaan. Dalam kondisi ini, defekasi normal
biasanya tidak akan terjadi sampai klien mengonsumsi makanan kembali.
13.) Anestesia dan Pembedahan
Anestesi umum menyebabkan pergerakan kolon normal berhenti atau melambat
dengan menghambat stimulasi saraf parasimpatis ke otot kolon. Klien yang mendapatkan
anestesia regional atau spinal kemungkinan lebih jarang mengalami masalah ini.
Pembedahan yang melibatkan penanganan usus secara langsung dapat menyebabkan
penghentian pergerakan usus secara sementara. Kondisi ini, yang disebut ileus, biasanya
berlangsung selama 24 sampai 48 jam. Mendengarkan bising usus yang merefleksikan
motilitas usus merupakan pengkajian keperawatan yang penting setelah pembedahan.
14.) Kondisi Patologi
Cedera medula spinalis dan cedera kepala dapat mnurunkan stimulasi sensorik untuk
defekasi. Hambatan mobilitas dapat membatasi kemampuan klien untuk berespons
terhadap desakan defekasi dan klien dapat mengalami konstipasi, atau seorang klien dapat
mengalami inkontinensia fekal karena buruknya fungsi sfing teranal.
15.) Nyeri
Klien yang mengalami ketidaknyamanan saat defekasi (misalnya setelah
pembedahan hemoroid) sering kali menekan keinginan defekasinya untuk menghindari
nyeri. Akibatnya, klien tersebut dapat mengalami konstipasi. Klien yang meminum
analgesik narkotik untuk mengatasi nyeri dapat juga mengalami konstipasi sebagai efek
samping obat tersebut.

C. Masalah eliminasi fekal


1.) Konstipasi
Konstipasi dapat didefinisikan sebagai defekasi kurang dari tiga kali per minggu. Ini
menunjukkan pengeluaran feses yang kering, keras atau tanpa pengeluaran feses.
Konstipasi terjadi jika pergerakan feses di usus besar berjalan lambat, sehingga
memungkinkan bertambahnya waktu reabsorpsi cairan di usus besar. Konstipasi
mengakibatkan sulitnya pengeluaran feses dan bertambahnya upaya atau penekanan otot-
otot volunter defekasi. Seseorang juga dapat merasa bahwa fesesnya tidak keluar secara
komplet setelah defekasi. Namun, sangat penting untuk mendefinisikan konstipasi terkait
dengan pola eliminasi regular seseorang. Beberapa orang secara normal melakukan
defekasi hanya beberapa kali seminggu; sementara orang lain melakukan defekasi lebih
dari satu kali seminggu; sementara orang lain melakukan defekasi lebih dari satu kali
sehari. Pengkajian cermat mengenai kebiasaan seseorang dibutuhkan sebelum diagnosis
konstipasi dibuat.Banyak penyebab dan faktor-faktor yang menyebabkan konstipasi.
Diantaranya adalah sebagai berikut:

 Ketidakcukupan asupan serat.


 Ketidakcukupan asupan cairan.
 Ketidakcukupan aktivitas atau imobilitas.
 Kebiasaan defekasi yang tidak teratur.
 Perubahan rutinitas harian.
 Kurang privasi.
 Penggunaan laksatif atau enema kronis.
 Gangguan emosional seperti depresi atau kebingungan mental.
 Medikasi seperti opiat atau garam zat besi.

Konstipasi dapat berbahaya bagi beberapa klien. Mengejan akibat konstipasi sering
kali disertai dengan menahan napas. Manuver Valsava ini dapat menyebabkan, masalah
serius pada penderita penyakit jantung, cedera otak, atau penyakit pernapasan. Menahan
napas meningkatkan tekanan intratoraks dan intrakranial.
2.) Impaksi fekal
Impaksi fekal adalah suatu massa atau pengumpulan feses yang keras didalam
lipatan rektum. Impaksi terjadi akibat retensi dan akumulasi materi fekal yang ber
kepanjangan. Pada impaksi berat, feses terakumulasi dan meluas sampai ke kolon sigmoid
dan sekitarnya. Impaksi fekal dapat dikenali dengan keluarnya rembesan cairan fekal
(diare) dan tidak ada feses normal. Cairan feses merembes sampai keluar dari massa yang
terimpaksi. Impaksi dapat juga dikaji dengan pemeriksaan rektum menggunakan jari
tangan, yang sering kali dapat mempalpasi massa yang mengeras.
Seiring dengan perembesan cairan feses dan konstipasi, gejala meliputi keinginan
yang sering namun bukan keinginan yang produktif untuk melakukan defekasi dan sering
mengalami nyeri rektal. Muncul perasaan umum mengalami suatu penyakit; klien menjadi
anoreksik, abdomen menjadi terdistensi, dan dapat terjadi mual dan muntah.
Penyebab impaksi fekal biasanya adalah kebiasaan defekasi yang buruk dan
konstipasi. Penggunaan barium dalam pemeriksaan radiologi pada saluran pencernaan atas
dan bawah dapat juga menjadi sebuah faktor penyebab. Oleh karena itu, setelah
pemeriksaan ini, laksatif atau enema biasanya digunakan untuk memastikan pengeluaran
barium.
Pemeriksaan impaksi menggunakan jari di rektum harus dilakukan secara lembut
dan hati-hati. Walaupun pemeriksaan digital (jari tangan) berada dalam ruang lingkup
praktik keperawatan, beberapa kebijakan lembaga memerlukan instruksi dokter untuk
memanipulasi dan mengeluarkan impaksi fekal secara digital.
Walaupun impaksi fekal secara umum dapat di cegah, kadang kala dibutuhkan terapi
untuk feses yang mengalami impaksi. Jika dicurigai adanya impaksi fekal, klien sering
kali diberikan suatu minyak sebagai enema retensi, lalu diberikan enema pembersih pada 2
sampai 4 jam kemudian, dan enema pembersih tambahan setiap hari, supositoria, atau
pelunak feses setiap hari. Jika upaya ini gagal, sering kali dibutuhkan pengeluaran feses
secara manual.
3.) Diare
Diare merujuk pada pengeluaran feses encer dan peningkatan frekuensi defekasi.
Diare merupakan kondisi yang berlawanan dengan konstipasi dan terjadi akibat cepatnya
pergerakan isi fekal di usus besar. Cepatnya pergerakan kime mengurangi waktu usus
besar untuk menyerap kembali air dan elektrolit. Beberapa orang mengeluarkan feses
dengan frekuensi sering, tetapi diare tidak terjadi kecuali feses relatif tidak terbentuk dan
mengandung cairan yang berlebihan. Seseorang yang mengalami diare sering kali merasa
sulit atau tidak mungkin mengendalikan keinginan defekasi dalam waktu yang sangat
lama. Diare dan ancaman inkontinen sia merupakan sumber kekhawatiran dan rasa malu.
Sering kali kram spasmodik dikaitkan dengan diare. Bising usus meningkat. Dengan diare
persisten, biasanya terjadi iritasi di daerah anus yang meluas ke perineum dan bokong.
Keletihan, kelemahan, lelah, dan emasiasi (kurus dan lemah) merupakan akibat dari diare
yang ber kepanjangan.
Apabila penyebab diare adalah karena adanya iritan di saluran usus, diare diduga
sebagai suatu mekanisme pembilasan pelindung. Namun, diare dapat mengakibat kan
kehilangan cairan dan elektrolit berat di dalam tubuh, yang dapat terjadi dalam periode
waktu singkat yang menakutkan, terutama pada bayi, anak kecil, dan lansia.
Feses bersifat asam dan mengandung enzim pencernaan yang sangat mengiritasi
kulit. Oleh karena itu, area di sekitar area anus harus dijaga tetap bersih dan kering dan
dilindungi dengan zink oksida atau salep lain.
4.) Inkontinensia Alvi
Inkontinensia alvi (bowel), atau disebut juga inkon tinensia fekal, adalah hilangnya
kemampuan volun teruntuk mengontrol pengeluaran fekal dan gas dari spingter anal.
Inkontinensia dapat terjadi pada waktu waktu tertentu, seperti setelah makan, atau dapat
terjadi secara tidak teratur. Dua tipe inkontinensia alvi di gambarkan: parsial dan mayor.
Inkontinensia parsial adalah ketidakmampuan untuk mengontrol flatus atau mencegah
pengotoran minor. Inkontinensia mayor adalah ketidakmampuan untuk mengontrol feses
pada konsistensi normal.
Inkontinensia fekal secara umum dihubungkan dengan gangguan fungsi sfingter anal
atau suplai sarafnya, seperti dalam beberapa penyakit neuromuskular, trauma medula
spinalis, dan tumor pada otot sfingter anal eksternal.
Inkontinensia fekal adalah masalah yang membuat distres emosional yang pada
akhirnya dapat menyebabkan isolasi sosial. Penderita dapat menarik diri ke dalam
rumahnya, atau jika di rumah sakit, mereka tetap berada di kamar mereka untuk
meminimalkan rasa malu akibat pengotoran oleh fekal. Beberapa prosedur bedah
digunakan untuk penatalaksanaan inkontinensia fekal. Penatalaksanaan ini meliputi
perbaikan sfingter dan diversi fekal atau kolostomi.
5.) Flatulens
Terdapat tiga sumber utama flatus: (a) kerja bakteria dalam kime di usus besar, (b)
udara yang tertelan, dan (c) gas yang berdifusi di antara aliran darah dan usus. Sebagian
besar gas yang tertelan dikeluarkan melalui mulut dengan sendawa. Namun, sejumlah
besar gas dapat terkumpul di perut, yang menyebabkan distensi lambung. Gas yang
terbentuk di usus besar terutama diabsorbsi melalui kapiler usus ke sirkulasi. Flatulens
adalah keberadaan flatus yang berlebihan di usus dan menyebabkan peregangan dan inflasi
usus (distensi usus), Flatulens dapat terjadi di kolon akibat beragam penyebab, seperti
makanan (mis., kol, bawang merah), bedah abdomen, atau narkotik. Apabila gas
dikeluarkan dengan meningkatkan aktivitas kolon sebelum gas tersebut dapat diabsorbsi,
gas dapat dikeluarkan melalui anus. Apabila gas yang berlebihan tidak dapat dikeluarkan
melalui anus, mungkin perlu memasukkan slang rektal untuk mengeluarkannya.

D. Ostomy diversi usus


Ostomi adalah pembuatan lubang pada kulit yang menuju saluran pencernaan,
perkemihan, atau pernapasan. Terdapat beberapa tipe ostomi usus. Gastrostomi ada lah
sebuah lubang pada dinding abdomen yang menuju lambung. Yeyunostomi adalah lubang
dinding abdomen yang menuju yeyunum, ileostomi adalah lubang yang menuju ileum
(usus halus), dan kolostomi adalah lubang yang menuju kolon (usus besar). Gastrostomi
dan. yeyunostomi secara umum berfungsi untuk memberi kan alternatif rute pemberian
makan. Tujuan ostomi usus adalah untuk mengalihkan dan mengalirkan materi fekal.
Ostomi diversi usus sering kali diklasifikasikan sesuai dengan (a) statusnya, permanen
atau temporer, (b) lokasi anatominya, dan (c) pembuatan stoma, lubang yang di buat di
dinding abdomen dengan ostomi.
1.) Permanen
Kolostomi dapat bersifat temporer atau permanen. Kolostomi temporer secara umum
dilakukan untuk kondisi cedera traumatik atau inflamasi pada usus. Kolostomi
memungkinkan bagian distal usus yang terkena penyakit untuk beristirahat dan pulih.
Kolostomi permanen dilakukan untuk memberikan suatu cara eliminasi saat rektum atau
anus tidak berfungsi akibat defek saat lahir atau penyakit seperti kanker usus.
2.) Letak Anatomik
Ileostomi umumnya mengeluarkan feses dari ujung distal usus halus. Sekostomi
mengeluarkan feses dari bagian sekum (bagian pertama kolon asendens). Kolostomi
asendens mengeluarkan feses dari bagian kolon asendens, kolostomi transverse dari kolon
transversal, kolostomi desendens dari kolon desendens, dan sigmoidostomi dari kolon
sigmoid.
Letak ostomi memengaruhi karakter dan penatalaksanaan drainase fekal. Semakin
panjang usus, feses semakin terbentuk (karena usus besar menyerap kembali air dari massa
fekal) dan semakin besar pengendalian frekuensi pengeluaran stomal yang dapat dibentuk.
Misal nya:

 Ileostomi menghasilkan drainase fekal cair. Drainase konstan dan tidak dapat diatur.
Drainase ileostomi
 Seseorang yang mengalami gangguan kognitif, seperti penyakit Alzheimer, dapat
tidak menyadari tentang apa dan kapan mereka makan atau minum atau bagaimana
kebiasaan defekasi mereka. Ini harus dipantau oleh pemberi perawatan, baik individu
dirawat di rumah atau di suatu institusi, untuk mengetahui suatu kebutuhan atau pun
masalah khusus.
 Seseorang yang mengalami gangguan mobilitas dapat mengalami kesulitan untuk
pergi ke kamar mandi atau menggunakan toilet umum. Tempat duduk toilet yang dapat
ditinggikan dan peralatan lain, seperti pegangan untuk membantu ambulasi, mungkin sangat
bermanfaat. Penurunan aktivitas juga dapat menyebabkan konstipasi.
 mengandung beberapa enzim pencernaan, yang merusak kulit. Karena alasan ini,
klien ileostomi harus menggunakan perlengkapan secara terus menerus dan melakukan
tindakan pencegahan khusus untuk mencegah kerusakan kulit. Namun jika dibandingkan
dengan kolostomi, bau dari ileostomi minimal karena lebih sedikit mengandung bakteria.
 Kolostomi asendens serupa dengan ileostomi dalam hal drainase yang cair dan tidak
dapat diatur, serta mengandung enzim pencernaan. Namun, bau meru pakan suatu masalah
yang memerlukan pengendali an.
 Kolostomi transversal menghasilkan drainase yang berbau dan berbentuk seperti
bubur karena sedikit cairan telah diserap kembali. Biasanya tidak dapat dikontrol.
 Kolostomi desendens menghasilkan drainase fekal yang semakin padat. Feses dari
sigmoidostomi adalah feses normal atau memiliki konsistensi yang telah memiliki bentuk,
dan frekuensi pengeluaran dapat diatur. Klien sigmoidostomi mungkin tidak harus memakai
perlengkapan ostomi di setiap saat, dan bau biasanya dapat dikontrol.
Lama waktu pemakaian ostomi juga membantu menentukan konsistensi feses,
terutama pada kolostomi transversal dan desendens. Seiring dengan waktu, feses menjadi
lebih terbentuk karena bagian kolon yang masih berfungsi cenderung mengompensasi
dengan meningkat kan reabsorpsi air.
3.) Pembuatan Stoma
Pembuatan stoma dibagi menjadi stoma tunggal, lengkung, terbagi atau kolostomi
bersilinder ganda. Stoma tunggal dibuat jika salah satu ujung usus dikeluarkan ke lubang di
dinding abdomen anterior. Ini disebut sebagai kolostomi akhir atau terminal; stoma ini
bersifat permanen.
Pada kolostomi lengkung, lengkung usus dikeluarkan kedinding abdomen dan
disangga oleh sebuah batang plastik, sebuah batang transparan (kaca), atau sepotong slang
karet. Lengkung stoma memiliki dua lubang; ujung proksimal atau aferen, yang aktif, dan
ujung distal atau eferen, yang tidak aktif. Kolostomi lengkung biasanya dilakukan dalam
sebuah prosedur kedaruratan dan sering kali terletak di kolon transversal kanan. Stoma ini
adalah stoma yang besar yang lebih sulit ditangani dibandingkan stoma tunggal.
Kolostomi terbagi terdiri dari dua ujung usus yang di bawa ke abdomen tetapi terpisah
satu sama lain. Lubang dari ujung digestif atau proksimal adalah kolostomi. Ujung distal
dalam situasi ini sering kali disebut sebagai fistula lendir, karena bagian usus ini sering kali
mensekresikan lendir. Kolostomi terbagi sering kali digunakan dalam situasi yang perlu
menghindari kebo coran feses ke ujung distal usus,
Kolostomi bersilinder ganda menyerupai senapan bersilinder ganda Pada tipe
kolostomi ini, lengkung proksimal dan distal dijahit menyatu kira kira sepanjang 10 cm dan
kedua ujung ini di bawa ke dinding abdomen.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Defekasi diartikan sebagai pembuangan tinja dari rectum. Sepertihalnya usus halus,
pergerakan usus besar jua terdiri dari gerakan segmentasi dan peristaltik. pada caecum
serta kolonas cenden, gerakan peristaltik terjadi akibat kontraksi haustral yg lambat tetapi
berlangsung terus-menerus, sehingga dibutuhkan waktu 8-15 jam untuk menggerakkan
makanan dari katup ileocaecal melewati kolon transversum. Isyarat para simpatis ini
mengirim sinyal yang menyebar kepleksusmienterikus untuk memulai terjadinya
gelombang peristaltik yang bertenaga yang kadang-kadang bermanfaat dalam
pengosongan usus besar dari fleksuralienalis, kolondescenden, pemendekan lapisan otot
longitudinal dalam kolon sigmoid serta kontrak sirektum, diikuti oleh kontraksi kuat dari
lapisan otot sirkuler mendorong feses kedistal hingga anus.

B. Saran
Berdasarkan uraian pembahasan sebelumnya serta kesimpulan diatas maka kami
berharap bahwa pembaca dapat lebih memperhatikan mengenai masalah apa saja yang
mungkin dapat menimpa pembaca atau keluarga di sekitarnya. Maka ada baiknya kita
menjauhi hal – hal yang menyebabkan terjadinya gangguan – gangguan pada masalah
defekasi.
DAFTAR PUSTAKA

Kozier, Erb Dkk, Fundamental keperawatan


Oleh Musrifatul Uliyah Dkk, 2021 Modul kuliah keperawatan dasar
https://www.google.co.id/books/edition/Modul_kuliah_keperawatan_dasar_1/
Krp_EAAAQBAJ?
hl=id&gbpv=1&dq=defekasi+adalah&pg=PA77&printsec=frontcover (2/10/2022)

Anda mungkin juga menyukai