Hadis diatas tersebut telah disepakati kasahihannya oleh Imam Bukhari dan Imam
Muslim, yang diriwayatkan melalui Sahih Ibnu Sa’id, Abu Sa’id dan Abu
Hurairah. Imam Bukhari meriwayatkannya melalui jalur Anas pula. Oleh karena
1
Muh}ammad bin Isma’i>l, S}ah}i>h Bukhari, vol.9, cet.1 (ttp: Darr T}auqi an-Najah.
1422), 119.
3
4
itu, ketika menafsirkan firman Allah yang berbunyi: َﻣ ْﻤﺪُﻭ ٍﺩ ﻅ ﱟﻞ
ِ “ َﻭdalam naungan
yang terbentang luas” (QS alwaqi’ah: 30), Ibn Katsir menyebutkan bahwa hadis
itu benarbenar berasal dari Rasulullah SAW dan bahkan termasuk hadis
mutawatir yang dipastikan keshahihannya menurut penilaian para pakar hadis atau
Ulama Hadis.2
Secara lahiriyah, makna hadis tersebut menunjukkan masa atau waktu seratus
tahun seperti ukuran masa atau waktu yang ada di dunia. Oleh karena itu di dalam
riwayat Abu Sa’id disebutkan bahwa, yang dimaksud dengan pengerndara yakni
pengendara kuda balap yang laarinya cepat. Namun mengenai zaman kita dengan
zaman yang dimaksud disisi Allah SWT, tidak ada seorangpun yang dapat
mengetahuinya, kecuali Allah SWT itu sendiri. Dalam AlQuran juga disebutkan
dalam FirmanNya:
Apabila hadis tersebut shahih, kita hanya dapat berkata dengan penuh keyakinan,
“kami percaya dan membenarkannya” sambil meyakini bahwa di akhirat ada
aturan tersendiri yang berbeda dengan tatanan di dunia dan membenarkannya
dengan hati yang tenang dan tentram. Hal itu merupakan suatu cara dalam
menanggapi halhal ghaib yang memang sudah dinyatakan dalam agama atau
sudah dinashkan dalam AlQuran, hal itu juga sama seperti halnya dalam
menerima perintah agama yang bersifat ta’abbud (ibadah). Sehinnga Abu Abbas
pernah berkata bahwasanya “tidak ada sesuatu pun dari dunia yang ada didalam
Surga, melainkan hanya namanama belaka.”4
Hal lain yang serupa yakni tentang suatu perkara atau peristiwa mengenai azab
2
Yusuf Qardhawi, Studi Kritis AsSunnah Kaifa Nata’amalu Ma’as Sunnatin Nabawiyah, terj,
Bahrun Abubar. (Bandung: Trigenda Karya, tth), 215.
3
AlQuran AlQuddus, vol. 17 (Kudus: CV.Mubarokatan Thoyyibah, tth), 337.
4
Yusuf Qardhawi, Studi Kritis AsSunnah Kaifa Nata’amalu Ma’as Sunnatin Nabawiyah, terj,
Bahrun Abubar. Op.,Cit, 216.
5
orangorang kafir di Neraka, misalnya berkenaan dengan gigi orang kafir itu
sangat besar, kedua sisi bahunya sangat lebar dan kulitnya sngat tebal.5 Dengan
adanya hal atau cerita tersebut kita dapat mempercayainya, karna dengan
mempercayai hal tersebut merupakan suatu cara yang paling selamat, adapun jika
kita berusaha untuk membuktikan tentang kebenarannya, maka hal tersebut
tidaklah akan membawa manfaat atau faedah apapun. Tindakan terpenting bagi
seorang Muslim adalah menyibukkan dirinya dengan memohon ampunan dan
Surga kepada Allah SWT serta mengerjakan segala amal perbuatan yang dapat
mendekatkan diri kita kepada Allah SWT, baik itu berupa ucapan maupun
perbuatan. Hendaknya sebagai seorang muslim untuk memohon kepada Allah
SWT agar mendapatkan perlindungan dari siksa api Neraka dan kelak diakhirat
mendapatkan naunganNya. Sbagai seorang muslim kita memang beriman kepada
semua yang disampaikan oleh Nas AlQuran tanpa harus menanyakannya
kembali. Hal itu dikarenakan Allah SWT menciptakan manusia tanpa dibekali
sarana untuk dapat mengetahui halhal yang ghaib, mengingat bahwa sarana
tersebut tidak diperlukan dalam menunaikan tugsanya sebagai khalifah di muka
bumi ini.
Seandainya aliran rasional seperti Mu’tazilah menyadari keberadaan hakikat ini
dan mengakuinya, tentu mereka tidak perlu mengingkari hadishadis sahih yang
menetapkan orangorang mu’min dapat melihat Allah SWT kelak diakhirat,
sebagaimana mereka melihat rembulan dibulan purnama. Ungkapan tasybih atau
penyerupaan ini berkaitan dengan kejelasannya, bukan subjek yang dilihatnya.
Terlebih lagi takwil mereka yang jauh menyimpang dari makna lahiriyah atau
aslinya,6 seperti dalam firman Allah SWT:
7
(۲۳) ٌﻅ َﺮﺓ
ِ ( ﺍِﻟَﻰ َﺭﺑﱢﻬَﺎ ﻧَﺎ۲۲) ٌﺿ َﺮﺓ
ِ ُﻭ ُﺟ ْﻮﻩٌ ﻳَ ْﻮ َﻣﺌِ ٍﺬ ﻧﱠﺎ
Wajahwajah (orangorang mukmin) pada hari itu berseriseri. Menghadap TuhanNya.
(Surah., AlQiyamah : 2223).
5
Ibid., 216.
6
Ibid., 217.
7
AlQuran AlQuddus, vol. 29 (Kudus: CV.Mubarokatan Thoyyibah, tth), 577.
6
8
Ibid., 218.
7
memaknai suatu hadis. Terutama tentang metode memahami hadis dengan cara
membedakan antara hal yang ghaib (eskatologis) dengan yang nyata (empiris)
yang telah dijelaskan dalam makalah ini.
Metode dengan cara membedakan antara hal yang ghaib dengan yang
nyata ini menjadi penting, karena dengan mengetahui metodemetode tersebut,
seseorang tidak akan mendapati kesalah pahaman dalam mengartikan atau
menganalogikan isi dari kandungan hadis dan dapat mengembangkan pemahaman
hadis baik secara kontekstual maupun secara progresif.9
9
Abdul Mustaqim, Ilmu Ma’anil Hadis “ Paradigma Interkoneksi” , (Yogyakarta: Idea Press
Yogyakarta, 2016), 13.