Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

“MASLAH-MASALAH DALAM ILMU KALAM”

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas

Mata Kuliah Materi MTs/MA

Dosen Pembimbing :

Mamik Zumiati, M.Ag.

Disusun Oleh :

1. Achmad Nur Amin A


2. Insa Ansori

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


SEKOLAH TINGGI ILMU TARBIYAH “AL-MUSLIHUN”
TAHUN AJARAN 2020/2021
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..........................................................................................................................3
BAB I....................................................................................................................................................4
PENDAHULUAN.................................................................................................................................4
A. Latar Belakang Masalah.........................................................................................................4
B. Tujuan....................................................................................................................................4
C. Rumusan Masalah..................................................................................................................4
BAB II...................................................................................................................................................5
PEMBAHASAN....................................................................................................................................5
A.Pengertian Ilmu Kalam..............................................................................................................5
B.Asal Usul Sebutan Ilmu Kalam..................................................................................................5
C.Masalah-Masalah Dalam Ilmu Kalam........................................................................................6
BAB III................................................................................................................................................13
KESIMPULAN...................................................................................................................................13
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................................................14
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh


Bismillahirrahmanirrahim

Segala puji dan syukur kita panjatkan kehadirat ALLAH SWT yang telah
membimbing manusia melalui petunjuk-petunjukNya sebagaimana yang terkandung dalam
Al Qur’an dan suunah,petunjuk menuju ke jalan yang lurus dan jalan yang di
ridhoiNya.syukur Alhamdulillah kami dapat menyelesaikam makalah ini sesuai dengan
rencana. Makalah ini kami susun dengan judul ” MASLAH-MASALAH DALAM ILMU
KALAM”

Sholawat serta salam senantiasa terlimpah kepada junjungan kita nabi agung
Muhammad SAW, keluarga, sahabat, tabi’in dan kita semua sebagai umat yang taat dan turut
terhadap risalah yang dibawanya sampai pada hari kiamat. Selanjutnya kami ucapkan banyak
tearima kasih kepada MAMIK ZUMIYATI M.Ag. Selaku dosen pengampu mata kuliah
Mareti MTS/MA yang telah membimbing kami.

Kami menyadari makalah ini jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kami
mengharapkan kritik dan saran dari pembaca demi kesempurnaan makalah selanjutnya.
Terlepas dari kekurangan makalah ini,kami berharab semoga makalah ini dapat bermanfaat
bagi kami khususnya dan para pembaca umumnya. Aamin

Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Blitar, 07 September 2020

Penulis
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Dalam perkembangan agama islam banyak dipelajari berbagai ilmu-ilmu keagamaan,
misalnya ilmu fiqih, ilmu aqidah, dan ilmu tauhid. Ilmu-ilmu tersebut mempunyai peranan
tersendiri dalam mempelajari ilmu-ilmu tentang agama islam. Ilmu fiqih mempelajari tentang
hukum-hukum dalam agama islam. Ilmu aqidah mempelajari tentang tingkah laku baik buruk
manusia menurut agama islam. Dan ilmu tauhid mempelajari tentang keesaan Tuhan.
Ilmu tauhid juga disebut ilmu kalam, ilmu kalam adalah ilmu yang membicarakan tentang
wujudnya Tuhan (Allah), sifat-sifat yang mesti ada padaNya, sifat-sifat yang tidak ada
padaNya, dan sifat-sifat yang mungkin ada padaNya. Dan membicarakan tentang rasul-rasul
Tuhan, untuk menetapkan kerasulannya dan sifat-sifat yang mesti ada padanya, sifat-sifat
yang mungkin ada padanya dan sifat-sifat yang tidak mungkin terdapat pada dirinya.
Dalam sejarah perkembangannya, dalam mempelajari ilmu tauhid, Masalah-masalah dalam
ilmu kalam sangat menarik untuk dibahas, oleh sebab itu dalam makalah ini kami membahas
tentang “Masalah-masalah dalam ilmu kalam”.

B. Tujuan
Tujuan penulis membuat makalah ini adalah untuk menambah pengetahuan penulis dan
pembaca tentang pengertian, Masalah-masalah dalam ilmu kalam, dan asal usul sebutan ilmu
kalam.

C. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian ilmu kalam ?
2. Bagaimana asal usul sebutan ilmu kalam ?
4. Apa saja Masalah-masalah dalam ilmu kalam?
BAB II

PEMBAHASAN

A.Pengertian Ilmu Kalam


Kalam menurut bahasa ialah ilmu yang membicarakan/membahas tentang masalah
ketuhanan/ketauhidan (mengesakan tuhan), atau kalam menurut loghatnya ialah omongan
atau perkataan, Menurut pengertian secara global yaitu Ilmu yang membahas tentang masalah
ketuhanan serta berbagai masalah yang berkaitan dengannya berdasarkan dalil-dalil yang
meyakinkan. Tetapi Ulama beragam mendefenisikan tentang ilmu kalam diantaranya yaitu:
a. Ibnu Khaldun
Sebagaimana dikutip oleh Ahmad Hanafi, Ilmu kalam ialah ilmu berisi alasan-alasan yang
mempertahankan kepercayaan-kepercayaan iman dengan menggunakan dalil-dalil pikiran
dan berisi bantahan terhadap orang-orang yang menyeleweng dari kepercayaan-kepercayaan
golongan salaf dan ahli sunah.
b. Muhammad abduh
Beliau berpendapat bahwa Ilmu kalam ialah Ilmu yang membicarakan tentang wujud tuhan
(ALLAH SWT.), sifat-sifat yang wajib baginya, sifat mustahil baginya, Serta sifat yang jaiz
baginya, Dan membicarakan pula tentang rasulnya, untuk menetapkan kerasulannya dan
mengetahui sifat-sifat yang wajib, mustahil dan jaiz baginya.
c. Husain Bin Muhamad Al-Jassar
Beliau mengatakan bahwa Ilmu kalam ialah Ilmu yang membicarakan bagaimana
menetapkan kepercayaan-keperayaan keagamaan bukti-bukti yang meyakinkan.
d. Musthafa Abdul Razak
Ilmu Kalam ialah ilmu yang berkaitan dengan akidah imani yang di bangun dengan
argumentasi-argumentasi rasional.

B.Asal Usul Sebutan Ilmu Kalam


Ilmu ini di namakan Ilmu Kalam karena:
a. Persoalan terpenting yang menjadi pembicaraan abad-abad permulaan hijrah ialah firman
tuhan (Kalam Allah) dan non-azalinya Qur’an (Khalq Al-Qur’an).
b. Dasar Ilmu Kalam ialah dalil-dalil pikiran dan pengaruh dalil-dalil ini nampak jelas
dalam pembicaraan-pembicaraan mutakallimin. Mereka jarang-jarang kembali kepada dalil
naql (Quran dan Hadits), kecuali sesudah menetapkan benarnya pokok persoalan lebih
dahulu.
c. Karena cara pembuktian kepercayaan-kepercayaan agama menyerupai logika dalam
fisafat, maka pembuktian dalam soal-soal agama ini di namai ilmu kalam untuk membedakan
dengan logika dalam fisafat.
Ilmu Kalam juga dinamakan Ilmu Tauhid, tauhid ialah percaya kepada tuhan yang maha ssa,
tidak ada sekutu baginya. Ilmu kalam dinamakan ilmu tauhid, karena tujuannya ialah
menetapkan keesaan allah dalam zat dan perbuatannya dalam menjadikan alam semesta dan
hanya allah yang menjadi tempat tujuan terakhir alam ini.
Ilmu Kalam juga dinamakan ilmu aqaid atau ilmu ushuludin, karena persoalan kepercayaan
yang menjadi pokok ajaran agama itulah yang menjadi pokok pembicaraannya.
Ilmu kalam menyerupai Ilmu Theologi, terdiri dari dua kata yaitu “Theo” artinya “Tuhan”
dan “Logos” artinya “Ilmu” jadi theologi bermakna ilmu tentang ketuhanan.

C.Masalah-Masalah Dalam Ilmu Kalam


1.    Akal dan Wahyu
Persoalan kemampuan akal dan fungsi wahyu ini dihubungkan dengan dua masalah
pokok di atas, masing masing bercabang dua. Pertama, masalah mengetahui Tuhan;
melahirkan dua masalah, . yaitu mengetahui Tuhan dan kewajiban mengetahui Tuhan. Kedua,
masalah baik dan jahat; melahirkan dua masalah, yaitu mengetahui baik dan jahat dan
kewajiban mengetahui baik dan jahat.
Menurut Mu’tazilah, sebagaimana dikemukakan para tokoh-nya, segala pengetahuan
dapat diperoleh dengan perantaraan akal, kewajiban-kewajiban dapat diketahui dengan
pemikiran yang mendalam. Dengan demikian, berterima kasih kepada Tuhan sebelum turun
wahyu adalah wajib. Baik dan jahat diketahui oleh akal, demikian pula mengerjakan yang
baik dan menjauhi yang buruk wajib pula.
Dalam hal ini Abu Al-Hudzail menegaskan bahwa sebelum turun wahyu, orang telah
berkewajiban mengetahui Tuhan; dan jika tidak berterima kasih kepada-Nya, ia akan
mendapat siksa. Baik dan jahat, menurutnya, juga dapat diketahui akal; demikian pula orang
wajib mengerjakan yang baik, misalnya bersifat adil; dan wajib menjauhi yang buruk, seperti
berdusta dan berlaku zalim.
Menurut Al-Syahrastani, kaum Mu’tazilah sependapat bahwa kewajiban mengetahui
Tuhan dan berterima kasih kepada-Nya, kewajiban mengerjakan yang baik dan menjauhi
yang buruk dapat diketahui akal. Sebelum mengetahui bahwa sesuatu itu wajib, tentu orang
harus terlebih dahulu mengetahui hakikat hal itu. Tegasnya, sebelum mengetahui kewajiban
berterima kasih kepada Tuhan dan berkewajiban berbuat baik dan menjauhi perbuatan buruk,
orang harus terlebih dahulu mengetahui Tuhan dan mengetahui baik dan buruk. Sebelum
mengetahui hal-hal itu, orang temu tidak dapat menentukan sikap terhadapnya.
Menurut Mu’tazilah, jika keempat masalah itu dapat diketahui dengan akal, maka apa
fungsi wahyu bagi keempat masalah itu? Menurut Abu Hasyim, untuk mengetahui Tuhan dan
sifat-sifat-Nya, wahyu tidak mempunyai fungsi apa-apa; untuk mengetahui cara beribadah
kepada Tuhan wahyu diperlukan. “Akal,” lanjutnya, “betul dapat mengetahui kewajiban
berterima kasih kepada Tuhan, tetapi wahyulah yang menerangkan kepada manusia cara yang
tepat mengaodi kepada Tuhan.”
Selanjutnya, wahyu bagi Mu’tazilah, berfungsi memberi penjelasan tentang perincian
pahala dan siksa di akhirat. Abd Al-Jabbar mengatakan, akal tidak dapat mengetahui bahwa
pahala untuk suatu perbuatan baik lebih besar dari upah yang ditentukan untuk suatu
perbuatan baik yang lain. Demikian pula akal tidak mengetahui bahwa siksa bagi suatu
perbuatan buruk lebih besar daripada siksa untuk suatu perbuatan buruk yang lain. Semua ini
hanya dapat diketahui melalui wahyu. Menurut Al-Jubbai, wahyulah yang menjelaskan
perincian pahala dan siksa yang akan diperoleh manusia di akhirat. Al-Khayyath
menainbalikan, “Fungsi wahyu (dikirim melalui para rasul) berfungsi untuk menguji
manusia, apakah ia patuh kepada Tuhannya atau menentang kepada-Nya.
Jadi, menurut Mu’tazilah, wahyu berfungsi sebagai konfirmasi dan informasi.
Maksudnya, wahyu memperkuat apa-apa yang telah diketahui akal dan menerangkan apa-apa
yang belum diketahui akal. Dengan demikian, wahyu menyempurnakan pengetahuan yang
diperoleh akal.
Menurut Asy’ariah, sebagaimana dikatakan Al-Asy’ari sendiri, segala kewajiban
hanya dapat diketahui melalui wahyu. Akal tidak dapat membuat sesuatu menjadi wajib dan
tidak dapat mengetahui bahwa mengerjakan yang baik dan menjauhi yang buruk itu wajib
bagi manusia. Menurutnya, memang betul akal dapat mengetahui Tuhan, tetapi wahyulah
yang mewajibkan orang mengetahui Tuhan dan berterima kasih kepada-Nya. Dengan wahyu
pulalah, dapat diketahui bahwa yang patuh kepada Tuhan akan memperoleh pahala dan yang
tidak patuh akan mendapat siksa. Dengan demikian, akal, menurut Al-Asy’ari, dapat
mengetahui Tuhan tetapi tidak mampu untuk mengetahui kewajiban-kewajiban manusia dan,
karena itulah, diperlukan wahyu.
Dalam pandangan Maturidiah, sebagaimana dikemukakan Al-Maturidi, akal manusia
mampu mengetahui adanya Tuhan dan mampu mengetahui kewajiban berterima kasih
kepada-Nya, Mengetahui (percaya) kepada Tuhan dan berterima kasih kepada-Nya, sebelum
adanya wahyu, wajib pula seperti yang dikatakan Mu’tazilah..
Menurut Abduh, Maturidiah dan Mu’tazilah sependapat bahwa perintah dan larangan erat
kaitannya dengan sifat dasar suatu perbuatan. Dengan kata lain, pahala dan siksa bergantung
pada sifat yang terdapat dalam perbuatan itu sendiri. Kata Al-Maturidi, akal mengetahui sifat
baik yang ada dalam perbuatan baik dan sifat buruk yang ada dalam perbuatan buruk;
pengetahuan inilah yang menyebabkan akal berpendapat, mesti ada perintah dan larangan
Tuhan. Adanya perintah dan larangan Tuhan itu wajib menurut akal. Adapun mengenai
kewajiban manusia mengerjakan perbuatan baik dan menjauhi perbuatan buruk sebelum
datangnya wahyu, tidak dijumpai dalam pendapat Al-Maturidi.
2.    Konsep Iman
Konsep iman yang dimaksud di sini adalah sesuatu yang pokok yang mendasari
keseluruhan pemikiran tentang keyakman dan kepercayaan dalam hal-hal keagamaan,
Konsep iman yang dikemukakan oleh aliran-aliran dalam Ilmu Kalam tidak sama. Hal ini
juga karena dipengaruhi oleh teori mengenai kekuatan akal dan fungsi wahyu.
Asy’ariah, misalnya, mengatakan bahwa akal manusia tidak bisa sampai kepada
kewajiban mengetahui Tuhan, kecuali melalui wahyu. Wahyulah yang mengatakan dan
menerangkan kepada manusia bahwa ia berkewajiban mengetahui Tuhan; dan manusia harus
menerima kebenaran itu. Oleh karena itu, dalam pandangan Asy’ariah, iman berarti tashdiq
(membenarkan). Sebagaimana dikatakan Al-Asy’ari, iman itu al-tashdiq bi Allah,
membenarkan kabar tentang adanya Allah. Selanjutnya, ia mengatakan, iman adalah
pengakuan dalam hati tentang keesaan Tuhan dan kebenaran para rasul serta segala apa yang
mereka bawa dari Allah. Mengucapkannya dengan lisan dan mengerjakan rukun-rukun Islam
merupakan cabang dari iman. Selanjutnya, fasiq (berdosa besar), jika meninggal dunia tanpa
tobat, nasibnya terletak di tangan Allah. Ada kemungkinan Tuhan akan mengampuni dosa-
dosanya, ada pula kemungkinan Tuhan tidak mengampuninya dan menyiksanya sesuai
dengan dosa-dosa yang dibuatnya; baru kemudian ia dimasukkan ke dalam surga karena ia
tak mungkin kekal di dalam neraka.
Al-Baghdadi juga memberikan batasan iman yang hampir sama dengan Al-Asy’ari:
“Iman adalah tashdiq (membenarkan) tentang adanya Tuhan, para rasul, dan berita-berita
yang mereka bawa. Tashdiq tidak sempurna jika tidak disertai pengetahuan.” Jadi, iman itu
hanyalah tashdiq; dan pengetahuan tidak timbul kecuali setelah datangnya kabar yang dibawa
wahyu bersangkutan.
Dalam pandangan Mu’tazilah – yang beranggapan bahwa akal manusia bisa sampai
kepada kewajiban mengetahui Tuhan – iman tidak bisa mempunyai arti tashdiq (iman dalam
arti pasif). Menurut mereka, iman mesti mempunyai arti aktif, sebab manusia, melalui
akalnya, mesti dapat sampai kepada kewajiban mengetahui Tuhan. Jadi, iman dalam arti
mengetahui itu belum cukup.
Abd Al-Jabbar menambahkan, “Orang yang mengetahui Tuhan tetapi melawan
kepada-Nya, berarti bukan orang mukmin.” Iman bukanlah tashdiq, tetapi amal yang timbul
sebagai akibat dari mengetahui Tuhan. Iman itu pengimplementasian perintah-perintah
Tuhan. Perintah-perintah Tuhan itu, menurut Abu Al-Huzail, bukan yang wajib saja, tetapi
juga yang sunat. Sedangkan menurut Al-Jubba’i, yang dimaksud dengan itu hanyalah
perintah yang bersifat wajib. Lain halnya dengan Al-Nazham yang beranggapan bahwa iman
itu menjauhi dosa-dosa besar.
Pendapat Maturidiah Bukhara, dalam masalah iman, sama dengan Asy’ariah. Iman itu
harus merupakan tashdiq, bukan ma’rifah (amal). Sebagaimana dikemukakan Al-Bazdawi,
iman adalah kepercayaan dalam hati yang dinyatakan dengan lisan bahwa tidak ada Tuhan
selain Dia dan tidak ada yang serupa dengan-Nya. Kepatuhan kepada perintah-perintah
Tuhan merupakan akibat dari iman. Orang yang meninggalkan kepatuhan kepada Tuhan
bukanlah kafir. Mukmin yang melakukan dosa besar tidak akan kekal di dalam neraka,
meskipun ia meninggal dunia sebelum sempat bertobat dari dosa-dosanya. Nasibnya di
akhirat terletak pada kehendak Allah. Orang seperti ini mungkin memperoleh ampunan Allah
dan masuk surga, mungkin pula dosanya diampuni, dan karenanya ia dimasukkan ke dalam
neraka sesuai kehendak Allah, kemudian baru dimasukkan ke dalam surga. Adapun mukmin
yang melakukan dosa kecil, dosa-dosa kecilnya dihapus-kan oleh kebaikan, seperti salat dan
kewajiban-kewajiban lain yang dilakukannya. Dengan demikian, dosa besar – apalagi  dosa
kecil – tidak  menyebabkan seseorang keluar dari iman.
Adapun iman, menurut Maturidiah Samarkand, mesti lebih dari tashdiq, karena akal,
sebagaimana Mu’tazilah, dapat sampai kepada mengetahui Tuhan. Al-Maturidi sendiri
berpendapat, iman itu mengetahui Tuhan dalam ketuhanan-Nya, ma’rifah adalah mengetahui
Tuhan dengan segala sifat-Nya, dan tauhid adalah mengenal Tuhan dalam keesaan-Nya. Jadi,
menurutnya, iman tidak hanya tashdiq, tetapi ma’rifah (amal).
3.    Kebebasan dan Keterikatan Manusia
Sebagai kelanjutan dari pemahaman aliran-aliran tentang keduduk-an akal dan wahyu,
mereka juga berbeda pendapat dalam masalah perbuatan manusia. Apakah manusia
mempunyai kebebasan dalam mewujudkan perbuatannya atau tidak?
Bagi Mu’tazilah, yang berpaham qadariah (free will dan free act) manusia dipandang
mempunyai daya yag besar dan bebas. Menurut Al-Jubba’i, manusia sendirilah yang
menciptakan perbuat-an-perbuatannya. Manusia berbuat baik atau buruk, patuh dan tidak
patuh kepada Tuhan atas kehendak dan kemauannya sendiri. Daya (istithd’ah) untuk
mewujudkan kehendak itu telah terdapat dalam diri manusia sebelum adanya perbuatan.
Pendapat yang sama dikemukakan Abd Al-Jabbar. Ia mengemu-kakan bahwa
perbuatan manusia bukanlah diciptakan oleh Tuhan pada diri manusia, tetapi manusia
sendirilah yang mewujud-kannya. Dengan demikian, Mu’tazilah beranggapan bahwa Tuhan
tidak mempunyai bagian dalam perwujudan perbuatan-perbuatan manusia.
Pendapat Mu’tazilah tersebut dipertahankan oleh Abd Al-Jabbar dengan
mengemukakan alasan-alasan rasional dan ayat-ayat Al-Qur’an. Sebagaimana yang
dikatakannya, manusia, dalam berterima kasih atas kebaikan-kebaikan yang diterima dari
manusia lain atau melahirkan rasa tidak senang atas perbuatan-perbuatan tidak baik lainnya,
menunjukkannya kepada manusia. Sekiranya perbuatan baik dan buruk itu perbuatan Tuhan,
tentu rasa terima kasih itu akan ditujukan kepada Tuhan bukan kepada manusia.
Pendapat Mu’tazilah di atas hampir sama dengan pendapat Maturidiah Samarkand.
Menurut Maturidiah Samarkand, perbuatan manusia itu ciptaan Tuhan. Disebutkannya dua
perbuatan, yaitu perbuatan Tuhan dan perbuatan manusia. Perbuatan Tuhan mengambil
bentuk penciptaan daya dalam diri manusia, dan pemakaian daya itu sendiri itu adalah
perbuatan manusia. Namun, bagi Maturidiah Samarkand, daya itu diciptakan bersama-sama
dengan perbuatan. Berbeda dengan Mu’tazilah yang beranggapan bahwa daya diciptakan
lebih dahulu dari perbuatan. Perbuatan marmsia, menurut Samarkand, merupakan perbuatan
manusia yang sebenarnya, sehingga apa yang disebut pemberian pahala dan siksa didasarkan
atas pemakaian daya yang diciptakan.
Aliran Asy’ariah justru memandang manusia lemah. Karena kelemahannya, manusia
banyak bergantung kepada kehendak dan kekuasaan Tuhan. Dalam perbuatannya, manusia,
menurut mereka, mempunyai keterbatasan. Dalam hal ini Asy’ariah mengemukakan teori
kasb (acquisition/perolehan).
Iktisab, menurut Asy’ariah, adalah terjadinya sesuatu dengan perantara daya yang diciptakan.
Dengan demikian, menjadi kasb bagi orang yang menggunakan daya itu dan terciptalah
perbuatan. Jadi, kasb adalah sesuatu yang timbul dari al-muktasib (yang memperoleh) dengan
perantaraan daya yang diciptakan. Dengan teori kasb ini, Asy’ariah ingin memperlihatkan
bahwa manusia mempunyai aktivitas dalam hubungannya dengan terciptanya perbuatan.
Namun, dengan dikemukakannya bahwa kasb itu diciptakan Tuhan, itu menunjukkan bahwa
manusia memiliki keterikatan-keterikatan. Ayat yang dijadikan landasannya adalah surat Al-
Shaffat ayat 96 dan Al-Insan ayat 30. Jadi, kasb sebenarnya perbuatan Tuhan sendiri.
Selanjutnya, teori kasb Asy’ariah ini dapat dilihat dalam perbuatan-perbuatan
involunter (harakah al-idtirar). Menurut Asy’ariah, dalam perbuatan itu ada dua unsur,
penggerak yang mewujudkan gerak, dan badan yang bergerak. Penggerak adalah pembuat
gerak (Tuhan) dan yang bergerak adalah badan manusia. Yang bergerak tidak mungkin
Tuhan, karena gerak menghendaki tempat yang bersifat jasmani; jadi manusia tempat
berlakunya perbuatan-perbuatan Tuhan. Tegasnya, dalam perbuatan-perbuatan, Tuhan
mengambil tempat dalam diri manusia. Al-Kasb itu hanyalah perbuatan paksaan.
Selanjutnya, Al-Bazdawi mengatakau bahwa dalam perwujudan, terdapat dua
perbuatan, yaitu perbuatan manusia dan perbuatan Tuhan. Perbuatan Tuhan adalah
menciptakan perbuatan manusia, bukan penciptaan daya. Duduk, misalnya, adalah perbuatan
yang diciptakan Tuhan. Melakukan perbuatan duduk dengan daya yang diciptakan Tuhan
adalah perbuatan manusia. Di sini Al-Bazdawi ingin menjelaskan bahwa perbuatan manusia
itu diciptakan Tuhan, bukan perbuatan Tuhan. la menjelaskan bahwa manusia mempunyai
kebebasan dalam kemauan dan perbuatannya. Kebebasan dalam paham ini dalam arti yang
kecil sekali. Perbuatan manusia hanyalah melakukan perbuatan yang telah diciptakan Tuhan;
tepatnya bukan menciptakan tetapi melakukan perbuatan menciptakan perbuatan lebih efektif
ketimbang melakukan. Jadi, perbuatan manusia adalah perbuatan Tuhan, bukan perbuatan
manusia.
4.    Keadilan Tuhan
Berdasarkan kepercayaan terhadap mutlaknya kekuasaan Tuhan, Asy’ariah
berpendapat bahwa Tuhan tidak mempunyai tujuan dalam perbuatan-Nya; dalam pesgertian
ia terdorong oleh sebab-sebab untuk berbuat sesuatu. Mereka mengakui bahwa perbuatan-
perbuatan Tuhan menimbulkan kebaikan-kebaikan dan keuntungan-keuntungan. Tetapi,
kebaikan dan keuntungan itu tidak menjadi pendorong Tuhan untuk berbuat. Tuhan berbuat
semata-mata karena kekuasaan dan kehendak mutlak-Nya; bukan karena kepentingan
manusia atau ada tujuan lain.
Asy’ariah meninjau ini dari sudut kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan. Dari
tinjauan ini, mereka memberikan interpretasi keadilan sebagai menempatkan sesuatu pada
tempat yang sebenarnya, yaitu mempunyai kekuasaan mutlak terhadap harta yang dimiliki
serta mempergunakannya sesuai dengan kehendak dan pengetahuan pemilik. Dengan
demikian, keadilan Tuhan mengandung arti bahwa Tuhan dapat berbuat sekehendak-Nya
terhadap makhluk-Nya. Sebaliknya, ketidakadilan berarti menempatkan sesuatu bukan pada
tempatnya. Selanjutnya, Asy’ariah mengemukakan bahwa Tuhan tidak berbuat salah kalau
memasukkan seluruh manusia ke dalam neraka. Berbuat salah dan tidak adil adalah perbuatan
melanggar hukum; karena di atas Tuhan tidak ada undang-undang, maka apa saja yang
diperbuat Tuhan tetap bersifat adil.
Pendapat Asy’ariah di atas sama dengan yang dikemukakan Maturidiah Bukhara.
Manusia berbuat baik dan berbuat buruk, menurut Maturidiah Bukhara, atas kehendak Tuhan,
tetapi perbuatan buruk manusia tidak diridai Tuhan karena menentang rida-Nya. Tegasnya,
tidak dapat dikatakan Tuhan bersifat tidak adil jika ia memberikan siksa kepada orang yang
berbuat buruk.
Abd Al-Jabbar mengatakan bahwa keadilan Tuhan erat hubungannya dengan hak.
Keadilan diartikan memberikan hak seseorang. Tuhan bersifat adil; artinya, segala perbuatan-
Nya baik, Ia tidak berbuat yang buruk dan tidak dapat mengabaikan kewajiban-kewajiban-
Nya terhadap manusia. Oleh karena itu, Tuhan tidak dapat bersifat zalim dalam memberikan
siksaan, tidak dapat meletakkah beban yang tidak dapat dipikul manusia dan memberi pahala
kepada orang yang patuh padanya serta memberikan siksaan kepada orang yang menentang
perintah-Nya. Keadilan Tuhan juga mengandung arti berbuat menurut semesti-nya serta
sesuai dengan kepentingan manusia.
Tegasnya, keadilan menurut Mu’tazilah mengandung arti kewajiban-kewajiban yang
harus dihormati Tuhan. Keadilan bukan hanya memberi pahaia dan siksa, tetapi juga
berkewajiban membuat apa yang terbaik bagi manusia dalam arti yang luas. Misalnya, tidak
memberi beban yang berat bagi manusia, pengirim-an rasul dan nabi untuk melaksanakan
kewajiban-kewajiban.
Pendapat Mu’tazilah sama dengan pemahaman Maturidiah Samarkand yang melihat
keadilan manusia dari sudut kepentingan manusia. Mereka mengakm, tidak selamanya akal
pikiran manusia mengetahui baik dan buruk. Karena itu, atas keadilan Tuhan, ditu-runkanlah
syara’ untuk menolong akal manusia dan menerangi ja-lan hidupnya. Tuhan tidak
menghendaki keburukan. Kekuasaan-Nya tidak dalam arti semena-mena, tetapi harus
diartikan bahwa Tuhan tidak boleh mengerjakan sesjuatu yang menurut akal buruk, seperti
menyiksa orang saleh. Perbuatan terebut tidak mungkin terjadi sebab menghapuskan segala
norma akhlak dan akal pikiran yang berlawanan pula dengan ketentuan syarak sendiri yang
ditetapkan berdasarkan kebijaksanaan Tuhan dan keadilan-Nya.
BAB III

KESIMPULAN

Ilmu kalam adalah Ilmu yang membahas tentang masalah ketuhanan serta berbagai masalah
yang berkaitan dengannya berdasarkan dalil-dalil yang meyakinkan.

Ilmu Kalam juga dinamakan ilmu aqaid atau ilmu ushuludin, karena persoalan kepercayaan
yang menjadi pokok ajaran agama itulah yang menjadi pokok pembicaraannya.

Masalah-masalah dalam ilmu kalam mencakup persoalan akal dan wahyu, konsep iman,
kebebasan dan keterikatan manusia, dan keadilan tuhan.
DAFTAR PUSTAKA

http://duniapendidikan33.blogspot.com/2015/12/makalah-tentang-ilmu-kalam.html

https://cakheppy.wordpress.com/2010/05/10/permasalahan-ilmu-kalam-maqamat-dan-ahwal/

Anda mungkin juga menyukai