Anda di halaman 1dari 18

DI

S
U
S
U
N
OLEH
KELOMPOK : 11

NAMA : RINATA
PUTSALSABILA
SALWANI
UNIT/SEMESTER : I/I
PRODI : S1-PGMI
DOSEN : FAISAL, MA
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kita panjatkan kepada Allah SWT, karena atas karunia-
Nya kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik. Shalawat serta salam
kita panjatkan kepada Nabi Muhammad SAW. kepada keluarganya, sahabatnya
dan kepada kita selaku umatnya semoga kita mendapat syafa’at darinya di akhirat
kelak.
Pada kesempatan ini kami mengucapkan banyak terimakasih kepada pihak
yang mendukung dalam penyusunan makalah ini. Sehingga penulis dapat
menyelesaikan Makalah ini penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari
kata sempurna, maka kami menerima kritik dan sarannya dari para pembaca,
karena kami telah berusaha melakukan semaksimal mungkin agar mencapai
tujuan sesuai dengan apa yang diharapkan.

Sigli, Januari 2024

Penulis
DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR.................................................................................... i
DAFTAR ISI .................................................................................................. ii

BAB I : PENDAHULUAN ....................................................................... 1


A. Latar Belakang.......................................................................... 1
B. Rumusan Masalah .................................................................... 2

BAB II : PEMBAHASAN.......................................................................... 2
A. Pengertian Ilmu Kalam............................................................. 2
B. Epistimologi Ilmu ..................................................................... 4
C. Rancang Bangun Ilmu kalam Kontemporer, Sebuah Tawaran
Alternatif................................................................................... 9

BAB III : PENUTUP.................................................................................... 14


A. Kesimpulan.............................................................................. 14
B. Saran ....................................................................................... 14

DAFTAR PUSTAKA..................................................................................... 15

BAB I
PENDAHULUAN
A. Pendahuluan
Satu hal yang niscaya dalam Islam adalah setiap umat Islam diwajibkan
mematuhi dan menghamba hanya kepada Allah swt. Sedangkan sebuah kepatuhan
dan penghambaan tidak akan terjadi kepada suatu zat yang tidak dikenal dan
dipahami. Maka dari itu, upaya mengenal dan memahami zat yang disembah dan
wajib ditaati, yakni Allah swt, merupakan suatu hal utama (fardh ‘ain) yang harus
diketahui bagi setiap insan yang beriman. Sehingga layak dikatakan bahwa ilmu
Tauhid (Akidah), sebagai suatu ilmu yang menjadikan hakikat Tuhan sebagai
objek sentral dalam kajiannya, merupakan ilmu yang luhur dalam kajian keilmuan
Islam.
Dalam pandangan al-Ghazali, segala sesuatu setidaknya terdiri dari tiga
unsur; pengetahuan (ilm), kondisi (hal), dan perilaku (amal). Maka, dapat
dikatakan bahwa ilmu Tauhid adalah ilmu tentang keyakinan/kepercayaan yang
bertujuan untuk menghasilkan keimanan yang pasti tanpa ada keraguan sedikit
pun tentang ajaran-ajaran dasar agama. Sebagai ilmu, ilmu Tauhid tidak statis,
akan tapi ia menerima dinamika perubahan dan pengembangan (qabil lin-niqasy
wa at-tagyir). Akhirnya, ilmu Tauhid dapat menghasilkan keimanan yang pasti
serta menghasilkan perilaku yang baik dan terpuji, sebagai sari buah dari
kepasrahan total terhadap Allah swt.
Namun, dalam perkembangan sejarahnya, ilmu Tauhid berevolusi serta
identik menjadi ilmu Kalam yang hanya menitikberatkan pada debat argumentatif-
teoritis mengenai aspek-aspek ketuhanan (teosentris) daripada membumikan nilai-
nilai ketuhanan untuk kemaslahatan manusia (antroposentris). Oleh karena itu,
reformulasi ilmu Kalam merupakan suatu yang niscaya. Selanjutnya, makalah ini
akan membahas perihal problem epistemologis serta metodologis yang muncul
dari ilmu Kalam, sekaligus mengupayakan munculnya epistemologi baru di
dalamnya.

B. Rumusan Masalah
1. Bagiamana Pengertian Ilmu Kalam
2. Bagaiman yang Dimaksud dengan Epistemologi Ilmu Kalam
3. Bagimana Bentuk Rancang Bangun Ilmu Kalam Kontemporer: Sebuah
Tawaran Alternatif

BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Ilmu Kalam
Ilmu Kalam, sebagaimana diketahui, membahas ajaran-ajaran dasar dari
suatu agama, seperti hakikat ketuhanan, risalah, dll. Ada dua alasan kenapa ilmu
ini disebut dengan ilmu Kalam, yaitu; pertama, “kalam” dimaksudkan sebagai
sabda Tuhan atau al-Qur’an yang pernah menjadi diskursus utama dikalangan
umat Islam di abad 9-10 M, sehingga menimbulkan fitnah besar yang dikenal
dengan al-mihnah. Kedua, “kalam” dimaksudkan sebagai metodologi, bukan
suatu objek kajian. Yakni metodologi berpikir, metodologi berdialog, atau cara
mempertahankan pendapat dan pendirian masing-masing mutakallimin. Selain
ilmu Kalam, ilmu ini biasa disebut juga dengan beberapa istilah, antara lain ilmu
Ushuluddin, ilmu Tauhid, ilmu Akidah, atau Fiqh al-Akbar.
Lebih lanjut, secara konseptual ilmu kalam sering didefinisikan sebagai
ilmu yang membahas dalil-dalil yang memantapkan keabsahan akidah keagamaan,
membantah argumentasi lawan, dan menolak penyimpangan kaum sempalan.
Dengan demikian, kerangka pengetahuan ilmu kalam memiliki dua cabang;
pertama, bersifat posistif, yaitu meneguhkan keabsahan akidah melalui dalil yang
meyakinkan. Kedua, bersifat negatif, yakni membantah argumentasi lawan, dan
menolak penyimpangan interpretasi kaum sempalan . Karena itu, Ibnu Khaldun
(1981: 580), begitu pula Ahmad Amin (mendefinisikan ilmu kalam sebagai ilmu
yang mengandung berbagai argumentasi tentang akidah keimanan yang diperkuat
dengan dalil-dalil rasional, serta menolak penyimpangan dalam dogma yang
dianut oleh kaum Muslim awal. Sedangkan menurut at-Tahanawi, ilmu kalam
adalah ilmu yang mampu mengukuhkan akidah Islam dengan memaparkan
argumentasi-argumentasi dan menyanggah atas beberapa kekeliruan dan keraguan
Ilmu Kalam, sebagaimana yang dikatakan oleh al-Sahrastani, baru
menjadi disiplin ilmu yang berdiri sendiri setelah tokoh-tokoh Mu’tazilah
mempelajari buku-buku filsafat yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab
yang selanjutnya disinergikan dengan nalar keislaman. Momen ini terjadi pada
masa Khalifah al-Ma’mun. Sementara itu, meski ilmu kalam memiliki perangkat
metodologi yang mapan dalam level operasionalnya. Namun, jika melihat sejarah
perkembangannya, ilmu ini sejak dari semula tidak lepas dari interes-interes
politik dari dominasi kekuasaan pada masa itu. Infiltrasi inilah yang menjadikan
ilmu kalam menjadi benteng intelektual bagi para penguasa. Sehingga terjadi
truth-claim dan al-mihnah, pemaksaan dan intimidasi intelektual, pada masa itu.
Dampak dari infiltrasi itu masih sangat kita rasakan hingga saat ini, sebagaimana
terekam dalam literatur Kalam klasik yang kita kaji selama ini.
Karena adanya pengaruh kekuasan itulah, ilmu kalam menjadi semacam
ideologi tertutup, bukan lagi menjadi kajian yang terbuka untuk didialogkan dan
didialektikan guna mendapatkan kebenaran yang meyakinkan tanpa ada keraguan
sedikitpun, sebagaimana tujuan asal dari ilmu ini. Akhirnya, menurut Hasan
Hanafi, ilmu kalam menjadi semacam ilmu yang berbahaya bagi kaum beriman,
sebab ia cenderung memecah-belah daripada menyatukan, serta lebih menarik
perpecahan daripada kesepakatan. Sehingga ilmu kalam telah tercerabut dari
fungsi aksiologisnya sebagai ilmu, yaitu suatu proses untuk mengenal hakikat
Tuhan dan menggapai kebahagiaan di dunia dan di akherat. Maka dari itu, perlu
adanya upaya mereformulasi ilmu kalam sebagai sebuah ilmu yang terbuka dan
mampu berdialek dengan diskursus dan realitas lainnya.

B. Epistemologi Ilmu Kalam


Sebagaimana penjelasan di awal, epistemologi merupakan teori dan
sistem pengetahuan yang berkaitan dengan hakekat pengetahuan (the nature of
knowledge), sumber pengetahuan (the origin of knowledge), struktur dan metode
mendapatkan sebuah pengetahuan (method of inquiry), serta kesahihan
pengetahuan (validity of knowledge). Dalam hal ini, yang akan dibahas adalah
epistemologi ilmu kalam.

1. Hakekat Ilmu Kalam


Pembahasan mengenai hakekat pengetahuan (the nature of knowledge)
dalam kerangka epistemologi dapat dijelaskan melalui dua arus besar pemikiran
filsafat, terutama di Barat, yakni rasionalisme (idealisme) dan empirisisme
(realisme). Rasionalisme adalah paham yang menyatakan bahwa akal atau reason
merupakan perangkat terpenting dalam memperoleh dan menguji pengetahuan.
Paham ini mengajarkan bahwa pengetahuan diperoleh dengan cara berpikir.
Pengalaman, dalam konteks paham ini tidak sama sekali diingkari,
melainkan dipandang sebagai sejenis perangsang bagi pikiran. Para penganut
rasionalisme yakin bahwa kebenaran atau kesesatan terletak di dalam ide kita, dan
bukannya di dalam diri obyek tertentu.
Berbeda dengan rasionalisme, paham empirisisme menyatakan bahwa
pengetahuan manusia tidak didapatkan lewat penalaran rasional yang abstrak,
melainkan melalui pengalaman konkrit yang ditangkap lewat. Jika rasionalisme
merupakan pengembangan dari filsafat yang dicetuskan oleh Plato, maka
empirisisme bersumber dari filsafat Aristoteles. Empirisisme menekankan
kemampuan manusia untuk persepsi atau pengamatan atau apapun yang diterima
pancaindra dari lingkungan. Pengetahuan itu diperoleh dengan membentuk ide
sesuai fakta yang diamati.
Jika ditelaah dari dua sudut pandang tersebut, kecenderungan epistemologi
dalam pemikiran Islam, termasuk ilmu kalam, lebih pada wilayah rasionalisme
daripada pengetahuan yang diberikan oleh empirisisme. Karena sangat kentalnya
aspek rasionalisme dalam ilmu kalam akhirnya menjadikan ilmu ini jatuh pada
wilayah nalar metafisis-spekulatif (teosentris). Ia menjadi semacam peranti teoritis
yang dibangun di atas logika normatif tanpa adanya verifikasi terhadap fenomena
sosial yang terjadi. Kondisi seperti ini setidaknya disebabkan oleh objek kajiannya
yang lebih metafisik, serta juga disebabkan faktor bahasa yang sulit untuk
menjelaskan objek tersebut. Sebagai sebuah pernyataan tentang Tuhan, misalnya,
sudah barang tentu ia tidak mudah diverifikasi atau difalsifikasi secara objektif
dan empirik.
Pernyataan bahwa ilmu kalam merupakan kajian yang terlalu “melangit”
setidaknya diamini juga oleh kaum intelektual muslim kontemporer. Hasan Hanafi
misalnya, memandang bahwa ilmu kalam, yang merupakan wadah dari kajian ke-
ushuluddin-an, adalah argumentasi nalar yang diperoleh melalui metode
pembentukan akidah secara rasional. Oleh karena itu, ia hanya akan menjadi
rumusan teoritis belaka yang tidak memiliki kerangka dasar dalam realitas, jika
tidak ada upaya membumikannya dalam realitas praktis. Dari sinilah, menurutnya,
muncul adanya titik temu antara ilmu kalam (ilmu ushuluddin) dengan ilmu ushul
fiqh, yaitu relasi antara al-ashl dengan al-far’u. Ilmu kalam memberikan dasar-
dasar teoritis bagi aktifitas-praktis yang dibangun dalam kajian ushul fiqh.
Senada dengan konsepsi di atas, Amin Abdullah juga menekankan perlu
adanya reformulasi gagasan-gagasan pemikiran kalam yang disesuaikan dengan
perkembangan zaman yang ada. Sehingga orang tidak lagi segan mempertanyakan
kembali pengetahuan kalam yang diformulasikan oleh mutakallimin abad tengah
dan klasik. Upaya ini bertujuan untuk meminimalisir anomali-anomali dalam
epistemologi kalam. Sehingga akhirnya ilmu kalam, atau falsafah kalam, dapat
menjadi dasar-dasar teoritis bagi aktifitas-praktis kapanpun dan dimanapun.
2. Sumber Pengetahuan Ilmu Kalam
Berdasarkan pengertian kalam di atas menunjukkan bahwa sumber
pengetahuan sekaligus pula sebagai mekanisme kerja dalam ilmu kalam adalah
akal dan wahyu. Meski mutakallimin ada perbedaan dalam mefungsikan
keduanya, namun mereka sepakat bahwa keduanya merupakan media untuk
memahami Tuhan. Akal, sebagai daya berpikir yang ada pada manusia, berusaha
untuk mengenal Tuhan, serta wahyu, yang merupakan firman-firman suci,
diturunkan kepada manusia dengan memberikan kabar-kabar tentang Tuhan dan
kewajiban-kewajiban manusia terhadap-Nya.
Selanjutnya perbedaan yang muncul adalah sejauh manakah posisi akal dan
wahyu sebagai sumber pengetahuan untuk merumuskan akidah Islam. Perbedaan
ini, pada akhirnya memberi corak dan warna yang berbeda dan perbedaan itu
semakin kokoh dalam bentuk mazhab-mazhab kalam. Mazhab kalam yang
mengedepankan akal atau rasional dalam menjelaskan berbagai persoalan akidah
Islam banyak menggunakan pendekatan filsafat meski tidak serta merta
mengabaikan wahyu. Menurutnya akal memiliki kedudukan tinggi bagi manusia.
Karena tingginya kedudukan akal itu, ia mampu mengenal Tuhan, mengetahui
wajibnya mengenal Tuhan, memilih perbuatan baik dan buruk, dan mengakui
wajibnya berbuat baik dan menjauhi yang jahat. Kelompok ini diwakili oleh
Mu’tazilah. Meski demikian, mereka tetap membawa teks wahyu sebagai
penopang argumentasi rasional mereka.
Di lain pihak, terdapat golongan yang menurut mereka akal hanya mampu
mengenal bukti keberadaan Tuhan. Adapun kewajiban mengenal Tuhan, memilah
baik dan buruk, dan mengetahui wajibnya berbuat baik dan menjauhi larangan
hanya dapat diketahui berdasarkan wahyu. Terkait dengan persoalan akidah,
mereka lebih mengutamakan teks al-Qur’an dan Sunnah (naql) daripada akal
(‘aql). Maksudnya akal harus tunduk kepada ketentuan al-Qur’an dan Sunnah.
Kelompok ini diwakili oleh al-Asy’ariyah.
Dari paparan di atas mengenai posisi akal dan wahyu, dapat dipahami
bahwa kaum rasionalis, seperti Mu’tazilah, menetapkan akal sebagai sumber
pengetahuan sentral daripada wahyu. Sedangkan kaum tradisional, seperti al-
Asy’ariyah, tetap menjadikan wahyu sebagai sumber pengetahuan utama, tanpa
menafikan peran akal, dalam mengenal hakekat Tuhan dan permasalahan teologi
lainnya.
3. Metodologi Ilmu Kalam
Sari Nusibeh dalam History of Islamic Philosophy menjelaskan bahwa
epistemologi kalam sesungguhnya menggunakan pendekatan konservatif-
dialektis. Yakni pendekatan yang mengasumsikan adanya dua dominan
kebenaran; (1) kebenaran melalui teks wahyu, sehingga teks masih menjadi titik
pusat dalam cakrawala pemikirannya, dan (2) kebenaran melalui nalar logika-
deduktif atau silogisme dalam mendekati teks. Hal itu juga dikemukan oleh al-
Jabiri dengan menyatakan bahwa epistemologi kalam, meski menggunakan nalar
logika, masih berkutat pada otoritas teks (nalar bayani), sebagai ukuran validitas
kebenaran, daripada menggunakan nalar demonstratif (burhani).
Meski ilmu kalam menggunakan nalar logika sebagai pola pendekatan
berpikirnya. Namun, hal itu tidak memberikan adanya peluang koreksi atau uji
rasionalitas di dalamnya. Karena premis mayor, dalam ilmu kalam, mengambil
dari suatu yang sudah diterima secara umum atau yang diyakini dari ajaran agama.
Akhirnya, ia menjadi sangat tertutup dan diterima sebagai suatu kebenaran tanpa
ada koreksi di dalamnya. Kondisi ini masih ditambah lagi dengan adanya tuntutan
personal personal komitmen yang sangat kuat terhadap ajaran agama yang
dianutnya. Sehingga jika hal tersebut tidak disadari maka akan muncul adanya
truth-claim di masing-masing pihak, hingga sangat dimungkinkan juga terjadi
taqdis al-fikr dalam khazanah ilmu kalam, sebagaimana yang terjadi pada abad
klasik dan pertengahan.
4. Validitas Kebenaran Ilmu Kalam
Bertitik tolak dari sumber pengetahuan dan rumusan metodologi yang
dibangun dalam epistemologi kalam yang berupa nalar bayani, maka tradisi
pemikiran kalam lebih mengutamakan pendekatan tekstual-lughawiyah daripada
kontekstual-bahtsiyah apalagi irfaniyah-bathiniyah. Ilmu kalam, sebagaimana
keilmuan yang dibangun dalam nalar bayani, secara umum mengukur validitas
keilmuannya berdasarkan adanya keserupaan atau kedekatan sebuah teks dengan
realitas. Semakin dekat realitas dengan sebuah teks, semakin kuat pula kebenaran
realitas itu. Akibatnya, rumusan-rumusan teoritis yang ada dalam ilmu kalam
seringkali tercerabut dari dimensi pengalaman empirik dan permasalahan yang
dihadapi masyarakat.
Selain itu, ilmu kalam juga memberikan peran maksimal terhadap fungsi
akal sebagaimana yang diterapkan dalam teori koherensi. Menurut teori ini, suatu
pernyataan dianggap benar, bila pernyataan itu bersifat koheren atau konsisten
dengan pernyataan sebelumnya yang dianggap benar baik yang bersifat sensual
rasional maupun transenden. Jadi, teori ini berangkat dari logika-deduktif, yakni
menarik kesimpulan khusus dari hal-hal umu. Namun, pada kenyataannya, hal
tersebut terkadang pula tidak memberikan solusi yang tepat dalam menjawab
problem akidah masyarakat muslim. Ilmu kalam mengemukakan berbagai analisa
sulit yang tidak dimengerti oleh kebanyakan orang. Sehingga orang semakin sulit
mendapatkan suatu akidah keimanan yang pasti tanpa ada keraguan sedikitpun.
Maka tidaklah mengherankan jika banyak dari mutakallimin berbalik menjadi
kaum sufi yang mempercayai kondisi-kondisi yang tidak dapat dijangkau oleh
akal serta keimanan hati atas dasar pengalaman intuitif.
Lebih jauh lagi, ilmu kalam juga kurang memberikan peran maksimal
terhadap pengetahuan empiris yang dibangun atas dasar teori korespondensi.
Menurut teori ini, suatu pernyataan dianggap benar jika terdapat fakta empiris
yang mendukung pernyataan tersebut. Teori ini pada dasarnya dibangun atas
dasarr logika-induktif, yaitu menarik kesimpulan umum dari hal-hal khusus dan
empirik. Menurut Amin Abdullah anomali inilah yang saat ini menonjol dalam
kajian ilmu kalam. Menurutnya, ilmu kalam pada saat ini harus mampu menjawab
isu-isu globalisasi, dan tidak hanya berkutat pada rumusan mengenai Tuhan dan
segala aspek-Nya. Jika masih seperti demikian, maka lambat laun ilmu kalam
akan terjadi out of date atau punah sebelum masa kematangannya.

C. Rancang Bangun Ilmu Kalam Kontemporer: Sebuah Tawaran Alternatif


Sebagaimana yang dijelaskan oleh Amin Abdullah, perihal problem
epistemologis ilmu kalam, setidaknya dapat ditarik dua hal darinya, yaitu: (1)
bahwa ilmu kalam itu sangat melangit dan tidak membumi. Artinya, ilmu kalam
gagal dan tidak mampu menjadi rumusan teoritis yang dapat dijadikan acuan bagi
aktifitas-praktis umat Islam dalam menjawab tantangan globalisasi. Dan (2)
bahwa ilmu kalam, melalui bangunan teoritisnya, tidak mampu memberikan
akidah keimanan yang pasti tanpa ada keraguan sedikitpun. Sehingga bagaimana
mungkin suatu ilmu yang dibangun atas tujuan untuk mengenal Tuhan, namun
pada akhirnya menyulitkan bagi mereka yang menyelaminya.
Atas dasar itulah, menjadi suatu kebutuhan yang primer bagi umat Islam
saat ini untuk merumuskan rancang bangun alternatif dan baru dalam rumusan
ilmu kalam. Ilmu kalam yang mampu menjadi modal teoritis bagi
keberlangsungan umat Islam untuk mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat.
Oleh karena itu, menurut penulis, setidaknya ada empat rumusan alternatif yang
dapat dijadikan acuan ke depan untuk mereformulasi konsep keilmuan kalam
kontemporer. Keempat rumusan itu adalah;
1. Rumusan ala Hasan Hanafi; Dari Teosentris Menuju Antroposentris
Melalui teologi Antroposentris ini, Hasan Hanafi ingin menjadikan kalam
tidak sekedar sebagai dogma keagamaan yang kosong, melainkan menjelma
sebagai ilmu tentang perjuangan sosial, serta menjadikan keimanan berfungsi
secara aktif dan faktual sebagai landasan etik dan motivasi bagi tindakan manusia.
Salah satu langkah konkret yang dipraktekkan olehnya adalah mencoba
merekontruksi kalam dengan cara tafsir ulang atas tema-tema dalam kalam klasik
secara metaforis-analogis. Menurutnya, semua gambaran tentang Tuhan dan sifat-
sifat-Nya sebenarnya lebih mengarah pada pembentukan manusia yang baik dan
ideal. Konsep wujud, misalnya, tidak menjelaskan wujud Tuhan, karena Tuhan
memerlukan pengakuan. Tanpa manusiapun, Tuhan tetap wujud. Jadi, wujud di
sini berarti tajribah wujudiyah pada manusia, sebuah tuntutan bagi manusia untuk
mampu mewujudkan eksistensi dirinya.
2. Rumusan ala Amin Abdullah; Dari Ilmu Kalam Menuju Falsafah Kalam
Rumusan ini berangkat dari kesadaran yang dibangun oleh Amin Abdullah
bahwa ilmu kalam yang diwariskan oleh abad pertengahan tidaklah luput dari
konteks sosio-pilitik pada masa itu. Oleh karena itu, ilmu kalam harus terbuka
untuk didiskusikan ulang secara kontekstual (qabil lin-niqasy wat-tagyir).
Menurutnya, penggunaan istilah ilmu kalam lebih terbebani muatan dogmatik
yang terbentuk dari lapisan pemikiran ortodoksi Islam abad pertengahan, sehingga
perlu adanya istilah lain sebagai pengganti istilah ilmu kalam, yaitu falsafah
kalam. Falsafah kalam mengasumsikan bahwa kajian kalam tidak lain dan tidak
bukan adalah suatu bentuk gagasan-gagasan perihal ketuhanan yang dibentuk oleh
tantangan zamannya, maka upaya untuk mengembangkan ilmu ini masih sangat
terbuka. Dengan pengistilahan “falsafah” dalam kalam ini, orang tidak akan ragu
lagi untuk mempertanyakan ulang gagasan-gagasan kalam yang diwariskan oleh
pemikir klasik dan pertengahan. Lebih lanjut, istilah falsafah kalam dapat
meminimalisir adanta truth-claim, karena gagasan apapun dapat saja kurang pas
dan sesuai dengan tantangan zaman yang melingkarinya.
3. Rumusan Aqidah Sufistik
Dalam rumusan aqidah sufistik, Ibn ‘Arabi menjelaskan bahwa Tuhan pada
dasarnya memiliki dua wajah: Zat dan Sifat. Tuhan ketika berada pada level Zat,
menurutnya, tidak dapat dikenali. Sehingga jalan yang paling tepat untuk
menggambarkan Tuhan pada level ini adalah bahwa Dia bukanlah seperti apapun
(laisa kamitslihi sya`i). Secara sepintas, konsep ini ada kemiripan dengan konsep
para filosof dan Mu’tazilah yang menghapus segala sifat apapun dari Tuhan.
Namun, perlu diketahui pula bahwa selain menjelaskan Tuhan pada level Zat, Ibn
‘Arabi juga menjabarkan hakekat Tuhan pada level nama atau sifat. Menurutnya,
nama dan sifat Tuhan muncul hanya dalam konteks hubungan-Nya dengan
kosmos. Tujuan diperkenalkannya nama dan sifat Tuhan tidak lain adalah upaya
Tuhan untuk memperkenalkan diri-Nya kepada mahluk-Nya, terutama manusia.
Dari sini dapat dipahami bahwa, konsep teologi sufi dalam batasan tertentu
memiliki kesamaan dengan konsep teologi kaum mutakallimin, yakni
menekankan sifat tanzih Tuhan. Akan tetapi, di sisi lain, teologi kaum sufi juga
memberikan karakteristik tasybih (keserupaan) antara sifat Tuhan dan sifat-sifat
manusia. Karena dengan adanya keserupaan sifat itulah, manusia diperkenankan
mengenal sifat-sifat Tuhan (at-takhalluq bi akhlaqi Allah).
4. Rumusan Epistemologi Budi-Jawa
Kata “budi” merupakan istilah dalam bahasa Indonesia yang diserap dari
bahasa Sansekerta. Menurut terminologi Hindu, kata ini berarti “asas-hikmah”.
Kesadaran budi adalah intuisi yang menjadi sumber iman yang sejati dan menjadi
perantara antara akal dan Tuhan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI),
kata “budi” berarti “alat batin yang merupakan paduan akal dan perasaan untuk
menimbang baik dan buruk”. Epistemologi Budi, dengan demikian, berbeda
dengan epistemologi Barat maupun epistemologi Islam. Jika Barat mengutamakan
kekuatan penalaran dan Islam mengandalkan daya hati, maka Budi
mengombinasikan keduanya.
Terkait dengan rasa, dalam tradisi epistemologi Budi-Jawa sendiri
mempunyai kedudukan yang sangat penting. Sebuah ungkapan Jawa menyatakan,
wong Jawa iku nggone rasa. Namun, rasa yang dimaksud di sini bukanlah
sekadar feeling, emotion, sentimentality, lust, mood, ataupun sensation. Rasa di
sini dimaksudkan sebagai hati nurani, sebagaimana dalam kesusasteraan Jawa
klasik. Dalam bahasa aslinya, yaitu Sansekerta, “rasa” mempunyai berbagai arti.
Arti pokoknya adalah air atau sari buah-buahan atau tumbuhan. Dari situlah rasa
berarti pengecapan (taste), dan perasaan (cinta, marah, dll), lalu rasa juga berarti
sifat dasar (karakter) dari seorang manusia. Namun rasa juga berarti inti yang
merupakan pernyataan kodrat Ilahi (Jatman, 2000: 26). Senada dengan uraian
Darmanto di atas, Suwardi Endraswara (2012:220) juga menyatakan bahwa rasa
dalam budaya Jawa mencakup perpaduan antara intuisi, akal, dan nalar sehat.
Rasa sendiri mempunyai beberapa hierarki, mulai dari yang paling wadhag,
berhubungan dengan badan kasar, badan halus, dan roh. Menurut Harun
Hadiwiyono sebagaimana dikutip oleh Darmanto Jatman, ketiga bentuk keadaan
ini disebut sebagai keadaan bilogis, psikologis, dan rohani. Secara berurutan,
hierarki dimaksud adalah: pertama, rasa pangrasa, yakni rasa badan wadhag,
seperti yang dihayati seseorang melalui inderanya: rasa pedas, rasa gatal, rasa
sakit dan rasa enak. Kedua, rasa rumangsa, adalah rasa eling, rasa cipta, rasa
grahita, seperti ketika seseorang menyatakan bahwa Kramadangsa telah
ngrumangsani kaluputane atau rumangsa amung titah, Kramadangsa amung
sukur. Ketiga, rasa sejati, adalah rasa yang mengenal rasa yang merasakan dan
rasa yang dirasakan. Sudah manunggal tetapi masih dapat disebut. Rasa damai,
rasa bebas, dan rasa abadi termasuk dalam pilihan ini. Keempat, sejatining rasa,
yakni rahsa, yang berarti hidup itu sendiri yang abadi.
Di sisi lain, ngelmu rasa (ilmu tentang rasa) Jawa yang mempunyai
tingkatan paling tinggi dan terbesar adalah rasa tauhid, yaitu ilmu ketuhanan. Ilmu
ini merupakan pencarian terus-menerus terhadap kegaiban Tuhan. Dalam tradisi
Jawa, jika seseorang telah mampu menemukan Tuhan, maka dirinya akan
mencapai pencerahan batin, sehingga hidupnya akan tenang. Kesemuanya ini
dapat ditempuh melalui empat tahap laku batin, yakni syariat, tarekat, makrifat,
dan hakekat
Magnis-Suseno menganalisa bahwa konsep terdalam dalam mistik Jawa
berupa Manunggaling Kawula Gusti tak hanya berkutat pada teori dan pemikiran
belaka, melainkan memiliki implikasi yang signifikan dalam kehidupan parksis
masyarakat Jawa. Masih menurut Suseno, walaupun tujuan akhir dari usaha-usaha
mistik jawa adalah pencapaian kesatuan hamba dengan Tuhan. Namun,
penekanannya tidak terletak pada pengalaman transedensi itu sendiri. Itu semua
mewujud dan mengaktualisasikan diri dalam rasa, dalam perasaan terhadap
realitas. Rasa adalah tolak ukur pragmatis terhadap arti segala usaha mistik
masyarakat Jawa. Rasa membawa maksudnya dalam dirinya sendiri, rasa adalah
keadaan yang puas, tenang, ketentraman batin (tentreming manah), dan ketiadaan
ketegangan.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Membaca Ilmu Kalam dari sisi epistemologi merupakan aktifitas yang
menjadikan seseorang akan lebih arif dan terbukan dalam melihat gagasan-
gagasan akidah keimanan. kritik epistemologi mau tidak mau harus dilakukan jika
umat Islam ingin mengetahui berbagai anomali-anomali yang terjadi dalam
realitas kehidupan Muslim dan menjadikan agama sebagai salah satu alat
memecahkan problem sosial yang sedang dihadapi. Untuk itu diperlukan
pendekatan alternatif dari berbagai disiplin ilmu-ilmu yang lain, bahkan sikap
dan pengalaman agama lain untuk melihat lebih dekat agama kita sendiri

B. Saran
Kami selaku penulis berharap semoga makalah ini dapat menjadi pedoman
untuk kita bersama,terkhusus bagi pembaca makalah ini,namun kami selaku
penulis menyaran kan kepada pembaca agar sebagus nya mencari referensi lain
untuk menambah keyakinan kita dalam menimba ilmu,dan membuat ilmu yang
kita pegang menjadi kokoh. Sekian dari kami,banyak maaf atas segala ke khilafan.

DAFTAR PUSTAKA

A. Khudori Soleh, 2004, Wacana Baru Filsafat Islam, Yogyakarta: Pustaka


Pelajar

Abdul Qadir al-Jilani, t.t., Sirrul Asrar fi Ma Yahtaju bihi al-Abrar, Mesir: al-
Mathba’ah al-Bahiyah al-Mishriyah
Ahmad Amin, t.t., Dhuha al-Islam, vol. III, Cetakan ke-6, Kairo: Maktabah al-
Nahdhah al-Mishriyah

Ahmad M. Subhi, t.t., Fi ‘Ilm al-Kalam; Dirasat Falsafiyah li Ara’I al-Firaq al-
Islamiyah fi Ushuluddin, Beirut: Dar al-Nahdhah al-Arabiyah

Ahmad Tafsir, 1994, Filsafat Umum: Akal dan Hati Sejak Thales Sampai James,
Bandung: PT Remaja Rosdakarya

Darmanto Jatman, 2000, Psikologi Jawa, Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya

Endraswara, Suwardi, 2012, Falsafah Hidup Jawa: Menggali Mutiara Kebijakan


dari Intisari Filsafat Kejawen, Yogyakarta: Cakrawala

Frans Magnis-Suseno, 2003, Etika Jawa: Sebuah Analisa Falsafi tentang


Kebijaksanaan Hidup Jawa, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama

Anda mungkin juga menyukai