Disusun oleh :
PENDIDIKAN MATEMATIKA
Alhamdulillah, puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan rahmat, dan karunia-Nya. Shalawat serta salam semoga tercurah kepada Nabi
Muhammad SAW. Tak lupa juga kami ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang terlibat
dalam pembuatan makalah ini, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada
waktunya. Adapun tujuan penulisan Makalah ini adalah untuk memenuhi tugas Mata Kuliah
Problematika Pendidikan Matematika pada semester 6 di tahun akademik 2021/2022 dengan
judul “Permasalahan Dalam Pendidikan Matematika” Kami menyadari bahwa dalam penyusunan
makalah ini masih banyak terdapat kekurangan. Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan
adanya kritik dan saran yang bersifat positif, guna penyusunan makalah yang lebih baik lagi
dimasa yang akan datang. Harapan kami, semoga makalah yang sederhana ini dapat memberikan
informasi kepada pembaca mengenai model-model pembelajaran.
Penulis
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI.............................................................................................................................................3
BAB I PENDAHULUAN.........................................................................................................................4
A. Latar Belakang.......................................................................................................................................4
C. Tujuan …………...................................................................................................................................5
A. Kesimpulan...........................................................................................................................................16
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Matematika memiliki peranan penting dalam segala aspek kehidupan terutama dalam
meningkatkan daya pikir manusia (Sumatini, 2016, Sahudin, 2014; Damaningsih, 2016).
Pembelajaran matematika merupakan suatu proses yang mengandung dua jenis kegiatan yang
tidak terpisahkan yaitu belajar dan mengajar. Kedua kegiatan tesebut berpadu menjadi suatu
kegiatan yang membuat terjadinya interaksi antara peserta didik dengan guru dan sesama
peserta didik disaat berlangsungnya proses belajar disekolah (Sahudin, 2014). Proses
pembelajaran merupakan sesuatu yang penting dalam dunia pendidikan yang patut
diperhatikan, direncanakan dan dipersiapkan, karena pembelajaran merupakan penentu utama
dalam keberhasilan pendidikan (Hamid, 2013; Damaningsih, 2016).
Problematika pembelajaran matematika dapat disebabkan oleh faktor dari peserta didik
maupun guru. Salah satu faktor guru yang menimbulkan problematika dalam pembelajaran
matematika adalah kurangnya penguasaan metode dan pendekatan pembelajaran yang tepat
untuk digunakan dalam setiap kelas yang berbeda.
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan
PEMBAHASAN
Proses pembelajaran merupakan sesuatu yang penting dalam dunia pendidikan yang
patut diperhatikan, direncanakan dan dipersiapkan, karena pembelajaran merupakan
penentu utama dalam keberhasilan pendidikan (Hamid, 2013; Damaningsih, 2016).
Proses belajar mengajar matematika berhubungan dengan banyak konsep.
Konsep matematika memiliki hubungan antara satu konsep dengan konsep lainnya.
Peserta didik menganggap bahwa matematika merupakan pelajaran yang sulit, karena
sifatnya yang abstrak (Novitasari, 2016). Pada pembelajaran matematika penguasaan
konsep menjadi salah satu problematika yang sering muncul di sekolah menengah
pertama (Novitasari, 2016). Konsep matematika yang abstrak tersusun secara berurutan
dan berjenjang serta diperlukan pembuktian khusus, sehingga dalam proses pembelajaran
konsep matematika sebelumnya harus dikuasai karena merupakan prasyarat untuk
melanjutkan konsep berikutnya (Misel, 2016; Suandito, 2017). Kualitas pembelajaran
memerlukan berbagai upaya untuk mewujudkannya. Upaya tersebut terkait dengan
berbagai komponen yang terlibat di dalam pembelajaran (Hikmawati, 2013). Pemerintah
perlu menghasilkan guru yang berkualitas untuk setiap kelas matematika (Wasserman,
2010).
Penggunaan metode yang kurang tepat dalam menyampaikan materi dapat membuat
proses belajar mengajar cenderung tidak efektif (Agustyaningrum, 2016). Masalah dalam
belajar dapat dibedakan menjadi dua yaitu ketidakmampuan belajar yang terletak dalam
perkembangan kognitif peserta didik tersebut dan penyebab kesulitan belajar di luar anak
atau masalah lain pada peserta didik (Dumont, 1994; Steenbrugge, et all., 2011; Asnawir
& Usman B, 2002; Hikmawati, 2013). Diagnosis 7 ketidakmampuan belajar dapat ditarik
dari penilaian global anak termasuk pembelajaran dan konteks sekolah (Mazzocco &
Myers, 2003; Steenbrugge, dkk., 2001). Diagnosis utama didasarkan pada gabungan
penggunaan alat diagnostik (Denburg & Tranel, 2003; Kamphaus, dkk., 2000;
Steenbrugge, et all., 2011). Banyak peserta didik di semua tingkat pendidikan di negara-
negara berkembang memiliki masalah dalam pembelajaran matematika (Mundla, 2012).
Masalah yang timbul disebabkan oleh masalah dari dalam dan dari luar diri peserta didik.
Masalah akademik dan pribadi peserta didik dalam lembaga pendidikan dapat
diidentifikasi dan diselesaikan dalam sejumlah cara yang berhubungan dengan psikolog
pendidikan, konselor sekolah, dan penelitian pendidikan.
Biasanya, masalah peserta didik cenderung banyak, beragam dan kompleks dan
membutuhkan interdisipliner pendekatan untuk memahami mereka secara memadai.
Problematika pembelajaran matematika dapat disebabkan oleh faktor dari peserta didik
maupun guru. Salah satu faktor guru yang menimbulkan problematika dalam
pembelajaran matematika adalah kurangnya penguasaan metode dan pendekatan
pembelajaran yang tepat untuk digunakan dalam setiap kelas yang berbeda.
Kedua kompetensi tersebut memberikan makna bahwa dalam proses belajar mengajar
matematika, guru dan siswa harus menyadari bahwa sasaran dari belajar matematika
adalah kemampuan untuk memecahkan masalah serta menggunakannya dalam kehidupan
sehari-hari. Dalam NCTM (1989) dinyatakan bahwa “… problem solving should become
the focus of mathematics in school”. Ini berarti bahwa fokus dari pembelajaran
matematika di sekolah adalah kemampuan siswa untuk memecahkan masalah. Masalah
yang diberikan kepada siswa mencakup masalah tertutup yaitu masalah dengan solusi
tunggal, masalah terbuka dengan solusi tidak tunggal, dan masalah dengan berbagai cara
penyelesaian. Kategori masalah tersebut dikenal sebagai problem solving question.
Sering terjadi guru menerangkan suatu konsep terlalu jelas. Mungkin dalam hal ini guru
menganggap siswanya memerlukan semua keterangan itu atau bahkan guru ingin menguasai
kelas. Ketika siswa memerlukan bantuan guru dalam pemecahan masalah pun sering guru tidak
berperan sebagai “penuntun”, melainkan menyelesaikan sendiri masalah tersebut secara tuntas.
Keterangan yang terlalu jelas bagi siswa akan mengurangi kepuasan siswa. Kepuasan
menyelesaikan sendiri persoalan yang dihadapnya menjadi hilang. Nampaknya, pemberian
“clue”, “hint”, atau pertanyaan menuntun pada saat siswa menemui kesulitan dalam
memecahkan masalah merupakan langkah yang bijaksana.
Drill (latihan) soal-soal banyak dilakukan terutama menghadapi UAN maupun Ulangan
Blok atau UAS. Guru lebih intens dalam menggunakan drill dengan pertimbangan bahwa soal
Ulangan Blok atau UAS maupun UAN menggunakan bentuk soal yang sesuai dengan drill, yaitu
soal bentuk pilihan ganda. Dalam pemecahan masalah, siswa tidak dibiasakan atau dikondisikan
untuk berlatih menyelesaikan soal dengan langkah-langkah yang logis dan sistematis. Umumnya
guru tidak cukup sabar untuk mencermati langkah-langkah jawaban siswa. Dengan demikian
banyak siswa yang lebih memilih jalan pintas atau “njujug” tanpa mengetahui proses
mendapatkan jawaban. Keterampilan untuk mendapatkan jawaban secara cepat dan tepat perlu
dimiliki siswa, namun menurut NCTM (dalam Taylor, 1993: 14); kemampuan memberikan
alasan secara matematis, mengkomunikasikannya secara efektif, dan menciptakan hubungan
antara Matematika dengan subjek atau aspek lain dalam kehidupan juga tak kalah pentingnya.
Menghafal rumus ataupun definisi masih sering ditekankan guru pada siswanya.
Walaupun pemahaman belum dimiliki dengan baik, hafalan diberikan guru sebagai jalan pintas.
Jalan pintas melalui hafalan dilakukan dengan pertimbangan bahwa pemahaman akan dibenahi
melalui latihan soal pada tahap berikutnya. Menurut Ausubel, hafalan bertentangan dengan
prinsip belajar bermakna, karena menghafal sebenarnya mendapatkan informasi yang terisolasi
dengan struktur kognisi siswa (Hudoyo, 1988: 62). Dengan hafalan, sangat mungkin pemahaman
yang diperoleh tidak mantap. Pemahaman yang tidak mantap akan mengakibatkan siswa
mengalami kesulitan dalam menerapkan pada masalah sehari-hari. Bloom (dalam Ruseffendi,
1980: 23) menempatkan aplikasi sebagai tahap kelanjutan setelah tahap pemahaman. Dengan
demikian, hafalan seharusnya diberikan setelah siswa memperoleh pemahaman. Di samping itu,
hafalan seyogyanya dibatasi hanya pada istilah-istilah, notasi, definisi, prosedur, dan algoritma.
Agar hafalan dapat bertahan lama dalam memori dan mudah “dipanggil” kembali, guru dapat
menggunakan berbagai metode menghafal yang sesuai.
Agaknya sulit untuk menunjuk penyebab terjadinya sifat pasif siswa. Gurukah,
keluargakah atau masyarakat (budaya), atau mungkin interaksi di antara ketiganya. Apakah guru
yang kurang memberikan kesempatan dan 10 kepercayaan diri siswa untuk bertanya ataukah
siswa yang tidak mau atau tidak berani untuk bertanya karena alasan tertentu. Sifat pasif siswa
akan mengakibatkan kurangnya interaksi siswa-siswa, siswa-guru. Kesulitan dalam memahami
konsep atau miskonsepsi yang terjadi pada siswa tidak segera dapat diatasi, karena siswa tidak
berani bertanya. Ketidakpahaman atau miskonsepsi akan semakin bertambah bilamana guru juga
tidak mampu melacak kadar pemahaman siswa. Tampaknya masih ada kemungkinan untuk
mengubah sifat pasif siswa, jika guru mampu menciptakan lingkungan belajar yang mendukung
(supportive), interpersonal, dan interaktif (Taylor, 1993: 15). Ketelatenan guru untuk
menciptakan suasana belajar yang mendukung, saling membangun kepercayaan, baik antara guru
dengan siswa dan siswa dengan siswa adalah sebagian upaya yang dapat dilakukan guru sesuai
saran Taylor.
1. Problemtika guru
Ada beberapa masalah yang dialami guru matematika terkait dengan kurikulum:
1. Menurut Yuwono (2014:1), dengan adanya tuntutan kurikulum (UN), guru dituntut untuk
menyelesaikan materi yang harus dihabiskan pada suatu satuan waktu tertentu sehingga guru
mengabaikan aspek pembelajaran yang lain.
2. Menurut Rusilowati (2013: 1) pada pelaksanaan kurikulum 2013, guru merasa kesulitan dalam
memahami cara penilaian, pembuatan instrumen observasi, memahami model-model
pembelajaran, dan membuat instrument penilaian.
3. Menurut Alawiyah (2013:1), guru juga belum siap dan sulit mengubah pola pikir dari
kurikulum KTSP ke kurikulum 2013. Meski sudah dilakukan pengawasan serta pendampingan.
Akan tetapi, selama proses pelatihan lebih mengoptimalkan pemberian ceramah sehingga
menjadikan pelatihan berjalan tidak optimal.
2. Problematika siswa
ada beberapa masalah yang dialami siswa dalam pembelajaran matematika terkait dengan
kurikulum, diantaranya yaitu:
1. Menurut Yuwono (2014:1) adanya sistem tagihan: (contoh: lulusan UN 100%) yang hanya
mengutamakan hasil belajar jangka pendek. terjadi kecenderungan pengajaran matematika
matematika ke arah penekanan penekanan pada kemampuan kemampuan prosedural, prosedural,
aspek hitung menghitung, hafalan rumus, hanya mementingkan Langkahlangkah prosedural
prosedural (algoritmis) dan memberikan memberikan perhatian perhatian yang rendah pada
proses pemerolehan pemerolehan konsep prosedur, prosedur, atau rumus. Akibatnya, siswa tidak
mengalami proses pembelajaran matematika secara bermakna.
2. menurut Arbai (2014), pada pelaksanan kurikulum 2013, siswa merasa terbebani karena selalu
diberikan pekerjaan rumah yang bebabnnya melebihi kemmapuan anak. Orang tua yang
membantu anak mengerjakan PR juga banyak yang ikut kebingungan karena materi yang
diajarkan berbeda dengan zaman mereka dulu.
1. Menurut Alawiyah (2013:11), minimnya informasi mengenai pedoman dan sosialisasi dari
perubahan kurikulum KTP ke kurikulum 2013. Hal ini terlihat dari kasus kekurangan buku
panduan pelajaran dari pemerintah pusat pada satuan Pendidikan, karena belum terdistribusikan
dengan baik.
2. Menurut Alawiyah (2013:11), isi buku pada kurikulum 2013 juga banyak yang tidak sesuai.
Ditemukan adanya ketidaksesuaian antara isi buku dengan materi dan perkembangan kognitif
peserta didik. Beberapa temuan tersebut antara lain masih adanya analogi- analogi yang masih
dirasa belum pantas diberikan kepada siswa karena mengandung kata-kata kasar, dan beberapa
materi atau bahan bacaan tidak sesuai dengan usia siswa.
3. Memupuk siswa untuk memberi kritik secara konstuktif dan untuk memberikan penilaian diri
sendiri
4. Berusaha menghindari pemberian hukuman atau celaan terhadap ide-ide yang tidak biasa
5. Dapat menerima perbedaan menurut waktu dan kecepatan antar siswa dalam kemampuan
berpikir. Untuk dapat meningkatkan kemampuan siswa dalam memecahkan masalah sangatlah
diperlukan suatu strategi khusus.
Perry dan Conroy (dalam Sutawidjaja, 1998: 9) mengemukakan mengenai strategi yang
dapat digunakan untuk meningkatkan kemampuan memecahkan masalah yaitu:
1. Strategi untuk meningkatkan kemampuan untuk memecahkan masalah yang berkaitam dengan
siswa;
a. siswa harus diberanikan untuk menerima ketidaktahuan dan merasa senang untuk
mencari tahu b. setiap siswa dalam kelompok harus diberanikan untuk membuat soal atau
pertanyaan
2. Strategi untuk meningkatkan kemampuan memecahkan masalah yang berkaitan dengan guru
a. guru harus sadar akan sikap positif dan cara-cara yang mengembangkan hal ini
c. guru harus mencari masalah yang menarik yang sering muncul secara spontan
d. guru perlu memperjelas situasi belajar dengan bertanya untuk menggalakkan jawaban
dan penyajian siswa
e. guru harus mau membiarkan pemecahan suatu masalah menurut persepsi siswa
walaupun mungkin mempunyai arah yang berbeda dengan yang direncanakan
f. masalah tidak harus selalu diselesaikan oleh siswa. Masalah dapat dilontarkan sebagai
awal dari penyajian materi baru.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan