Anda di halaman 1dari 3

Sesatpikir dan Keseharian

Cogito, Ergo Sum adalah kalimat terkenal yang diungkapkan oleh seorang filsuf ternama
Prancis: Rene Descartes. Kalimat tersebut memiliki arti “Aku berpikir maka aku ada”. Kita tentu
sepakat bahwa berpikir dan pikiran adalah dua hal yang segera menyergap kita selepas bangun
tidur hingga tidur selanjutnya. Hidup di luar tidur ini melahirkan berbagai pikiran, jangankan orang
yang sibuk, bahkan mereka yang menganggur pun tentu melahirkan berbagai pikiran dan
melakukan kegiatan berpikir. Maka dari itu pikiran sulit dipisahkan dari adanya kita sebagai
manusia. Semua hal yang terjadi di sekitar kita adalah buah dari pemikiran – perlu ditekankan
bahwa pemikiran dan buah pikir adalah bagian dari kodrat, ketentuan dan takdir, terlepas dari
baik-buruk suatu kejadian, dari pencurian hingga kegiatan gotong royong, dari pelecehan hingga
perkawinan adalah buah dari pemikiran kita karena Tuhan berbaik hati memberi kemampuan
sekian persen kepada kita untuk ikut urun rembuk kepada akan ada takdir apa kedepannya.
Kemampuan tidak melakukan atau melakukan dan penalaran itulah yang dianugerahkan tuhan
kepada kita. Namun, apa yang terjadi apabila pemikiran keluar dari kaidah-kaidah penalaran yang
benar? Tentu, akan terjadi Fallacy atau sesatpikir.

Sesatpikir adalah kekeliruan dalam penalaran berupa pembuatan kesimpulan yang keliru
karena melanggar kaidah logika atau menambahkan hal yang menyesatkan. Seperti halnya
kegiatan berpikir yang seringkali berjalan secara otomatis, sesatpikir yang kita biarkan hinggap
dan telah beranak menjadi pemahaman umum dapat pula menjelma sebagai pemikiran yang
tidak kita sadari akan berakibat fatal. Sesatpikir dapat hinggap dalam bahasan tentang agama;
Ia dapat pula hadir di rapat-rapat desa; dan sangat sering kita jumpai dalam sektor politik. Contoh
sesatpikir yang dari masa ke masa terus berlangsung dan masih berusaha kita lunturkan adalah
pemahaman dan pengertian tentang term gender. Pendefinisian perempuan sebagai makhluk
lemah yang tidak pantas mendapat pendidikan dan selayaknya menjadi pelayan makhluk laki-
laki masih sering kita temukan. Dari banyaknya pelecehan dan kasus kekerasan seksual juga
dapat kita simpulkan bahwa pandangan bahwa perempuan hanya obyek dan bukan subyek
masih subur di sudut-sudut bangsa ini. Patriarki adalah hal yang dari dulu sudah ada dan suatu
waktu para terpelajar pernah alergi terhadap kata itu. Namun sesatpikir yang telah mendarah
daging sulit kita lunturkan dan tidak kita sadari kita jalankan. Contoh sesatpikir lain adalah
ungkapan “musik itu haram” kesimpulan ini tidak dapa kita benarkan karena bersifat terlalu sempit
dan kontekstual, mengingat konsep halal dan haram yang tidak diatur dalam Al-Quran dapat
bersifat kontekstual. Dari segi klasifikasi tentang musik sendiri para penyimpul tersebut gagal
menggolongkan mana yang musik dan bukan musik. Mereka langsung mendikotomikan musik
dan bukan musik, tanpa mengurai terlebih dahulu apa-apa saja bagian penyusun dari
keseluruhan musik tersebut. Dapat kita ketahui bahwa term musik dapat dibagi menjadi bunyi,
birama, irama, tempo, tangga nada, harmoni, timbre dan dinamika bila keseluruhan bagian dari
musik tersebut dianggap haram maka bagaimana dengan segala bunyi-bunyian dari mulut kita,
orang pun tidak dapat mengaji tanpa nada dan tempo.
Kasus cebong dan kampret tempo lalu dapat memberikan kepada kita sesatpikir-
sesatpikir yang bertebaran di media sosial dan media massa. Sesatpikir di media massa ini
cenderung lebih bahaya karena dilakukan oleh seorang dengan daya nalar yang tinggi namun
memanfaatkan kemampuannya tersebut untuk memanipulasi masa demi tujuan tertentu. Hal ini
sejalan dengan Descartes yang berpendapat bahwa orang yang bernalar tinggi dapat melakukan
hal-hal yang menakjubkan, tetapi dapat pula melakukan hal-hal yang paling keji. Dalam media
massa kita mengenal istilah framing atau pembingkaian. Framing adalah teknik memberitakan
yang membentuk sudut pandang yang dipilih media untuk menyampaikan suatu isu. Dalam
framing, ada kegiatan mengeliminasi pesan-pesan yang dianggap tak penting dan tak sesuai
dengan tujuan. Media yang tak netral cenderung mengeliminasi atau tak memberitakan isu-isu
negatif yang dapat mengganggu tujuan pemberitaannya. Framing juga digunakan sebagai teknik
dalam propaganda. Berita-berita multitafsir dan kabur ini akan dilahap oleh masyarakat dengan
tingkat nalar yang berbeda-beda. Pada tahun-tahun politik, tujuan partai adalah mencari suara
dan massa sebanyak mungkin dan media adalah salah satu alat yang paling mujarab, terbukti
pada tahun politik sebelumnya rakyat Indonesia seolah-olah terbagi menjadi cebong dan kampret
dan tidak ada yang bukan keduanya. Dalam masa tersebut kita menemukan berbagai jenis logical
fallacy seperti strawman, false cause, ad hominem, tu quoque dan personal incredulity. Berikut
adalah penjelasan beserta contoh dari masing-masing logical fallacy tersebut:
• Strawman
Melebih-lebihkan, memalsukan atau menyalahartikan argumen seseorang dan
membuat argument balasan terdengar logis. Contohnya seorang peneliti
mengatakan bahwa pabrik pengolahan sawit milik negara menimbulkan dampak
negatif untuk lingkungan, sehingga perlu dikaji dan dibenahi ulang masalah
pelestarian lingkungan dan pengolahan limbahnya. Karena sesatpikir lawan bicara
peneliti tersebut menyalahartikan bahwa si peneliti menolak adanya pengolahan
sawit dan tidak mendukung program negara.
• False cause
Asumsi terdapat hubungan sebab-akibat dan korelasi antara hal-hal yang terjadi
secara berurutan atau bersamaan. Contohnya calon presiden negara A
merupakan keturunan raja X yang terkenal sakti, pada saat kampanye selalu turun
hujan. jadi disimpulkan bahwa calon presiden A yang membawa keberkahan
berupa hujantersebut.
• Ad hominem
Mendiskrediitkan karakter atau kepribadian lawan guna melemahkan argument
lawan
• Tu quoque
Menghindar dari kritik sekaligus menggunakan kritik yang sama guna menyerang
argument si kritikus
• Personal incredulity
Menganggap suatu hal tidak benar hanya karena sulit dipahami atau dipercaya
Sesatpikir dalam keseharian seharusnya dapat dihindari dengan penanaman pola pikir
atau penalaran logis sejak dini di lingkungan keluarga, namun karena logika adalah salah satu
ilmu dasar, sudah seharusnya proses penalaran yang baik diajarkan di lembaga-lembaga
pendidikan. Selama ini minim kita jumpai kegiatan menalar sesuatu di lingkungan sekolah, yang
kita lakukan adalah menghafal, proses menghafal tanpa nalar adalah melahap bulat-bulat semua
ide, tanpa mengupas dan mengurai ide tersebut. Mungkin suatu pelintiran dari ungkapan
Descartes di awal yang cocok untuk segala kesesatan kita dalam berpikir adalah “Aku sesat
dalam berpikir, maka aku mengada-ada”.

DAFTAR PUSTAKA
Bakry, Noor Muhsin. (2014). ISIP4211-Logika. Tangerang Selatan: Universitas Terbuka.
REDAKSI, Pengantar. Cogito Ergo Sum Descartes. Jurnal Filsafat, [S.l.], p. 59-62, aug. 2007.
ISSN 2528-6811. Available at: <https://jurnal.ugm.ac.id/wisdom/article/view/31583>. Date
accessed:16 may 2022. /*doi:http://dx.doi.org/10.22146/jf.31583. */
doi:https://doi.org/10.22146/jf.31583.
Soekowathy, Arry Mth. (1986) Sistematika Macam-Macam Sesat Pikir (Fallacy) dalam
Penyimpulan. Lembaga Penelitian Universitas Gadjah Mada.
https://blog.anggriawan.com/2014/07/logical-fallacy.html
https://barki.uma.ac.id/2022/01/26/ketahui-logical-fallacy-sesat-pikir-yang-sering-terjadi-di-
kehidupan-sehari-hari/
https://katadata.co.id/safrezi/berita/61dd458d9bdfa/irama-adalah-pengertian-elemen-beserta-
unsur-musik-lainnya
https://www.kompas.com/skola/read/2022/02/14/184417169/model-analisis-framing-media
https://theconversation.com/banyaknya-sesat-pikir-dalam-kampanye-pilpres-2019-104859
http://www.timur-angin.com/2019/04/sesat-pikir-cebong-dan-kampret.html
https://yourlogicalfallacyis.com/

Anda mungkin juga menyukai