Anda di halaman 1dari 5

1.

Apa dampak yang akan terjadi manakala tidak ada kegiatan Jam’ al- Qur’ān pada masa
Khalifah Utsman (sehingga muncul Mushaf Utsmani) terhadap aplikasi Alqur’an di
tengah-tengah umat Islam sampai saat ini?
terbatasnya alat tulis menjadikan hifzul quran adalah metode terbaik dalam melestarikan
al quran pada masa rasullullah saw, pada masa pemerintahan abu bakar terjadi perang
yamamah yang menyebabkan wafatnya 70 orang hifz al-quran, oleh karena itu jika tidak
dilakukan jamul quran dan perang terus mewafatkan para hifz al quran, al quran juga
akan ikut musnah.
Munculnya nasikh mansukh, perubahan ketentuan hukum maupun kata dalam ayat
tertentu juga memerlukan penyertaan ayat lain secara tepat, oleh karena itu jika tidak
dilakukan jamul quran, akan terjadi ketidaksesuaia dan penyelewengan susunan al quran
baik dari segi susunan kata, kalimat, dan terjemah, munculnya berbagai versi mushaf al
quran yang dapat menimbulkan perpecahan.
2. Mengapa Rasmil Utsmani dijadikan standar baku bagi penulisan al-Qur`ān sepanjang
zaman, serta tidak dilegalkan untuk menggunakan standar yang lain, Jelaskan!

 kesesuaian rasm menjadi tolok ukur validitas suatu qiraat. Faktor lain ialah perbedaan di
antara mushaf-mushaf Utsmani yang dikirim ke berbagai wilayah Islam. 

Perlu diperhatikan bahwa Rasm Mushaf Utsmani mempunyai spesifik dan karakter tersendiri
dibandingkan dengan Rasm Imla’i yang banyak digunakan pada penulisan huruf atau
kalimat-kalimat Arab masa kini, seperti tulisan di koran, majalah, dan lain-lain.

Sebenarnya ada banyak pendapat tentang pembakuan rasm al utsmani ini yaitu :
A. sebagian dari mereka berpendapat bahwa rasm usmani itu bersifat tauqifi. Mereka bahkan
sampai pada tingkat menyaklarkannya. Untuk pendpat yang satu ini, merujuk pada
sebuah riwayat yang menginformasikan bahwa Nabi pernah berpesan kepada
muawwiyah.2
Artinya : “letakkanlah tinta pegang pena baik-baik luruskan huruf ba’ bedakan huruf sin
jangan butakan huruf mim buat baguslah tulisan Allah panjangkan tulisan Al-Rahman
dan buatlah bagus tulisan Ar-Rahim lalu, letakkan penamu diatas telinga kiri karena itu
akan membuat mu lebih ingat”
mereka juga mengutip pernyataan ibn Al-Mubarak,
“Sahabat, juga yang lainnya, sama swekali tidak campur tangan dalam urusan Rasm
mushaf, sehelai rambut sekalipun. Itu adalah ketetapan nabi. Beliaulah yang menyuruh
mereka menulisnya seperti dalam bentuknya yang dikenal , dengan menambahkan alif
dan menghilangkan lantaran rahasia yang tidak dapat dijangkau akal. Hal ini merupakan
salah satu rahasia yang khusus diberikan allah untuk kitab sucinya yang tidak diberikan
untuk kitab samawi lainnya. Sebagaimana halnya susunan al qur’an itu mu’jizat,
(tulisan)nya pun mu’jizat pula”.3
B. Sebagian besar ulama berpendapat bahwa waktu rasm usmani bukan tauqifi, tetapi
merupakan sebuah kesepakatan cara penulisan (istillahi) yang disetujui usman dan
diterima Umar, sehingga wajib diikuti dan di taati siapapun yang memilih Al-Qur’an.
Tidak ada yang boleh menyalahinya. Asyhab bercerita bahwa ketika ditanya tentang
penulisan Al-Qur’an, apakah perlu menulis seperti yang dipakai banyak orang sekarang .
Malik menjawab yang artinya “Saya tidak berpendapat demikian. Seseorang hendaknya
menulisnya sesuai dengan tulisan pertama”.
Lalu imam bin hambal juga berkata yang artinya:
“Haram ukumnya menyalahi khath Mushat utsmani dalam soal wawu, alif, ya’,
atau huruf lainnya”.
C. Sebagian besar ulama berpendapat bahwa rasm 'utsmani bukanlah tauqifi. Tidak ada
halangan untuk menyalahinya ketika suatu generasi sepakat menggunakan cara tertentu
untuk menulis al quran yang berlainan dengan rasm 'utsmani. Allah tidak mewajibkan
juru tulis al quran dan kaligrafer mushaf suatu bentuk tertentu dan meninggalkan jenis
tulisan lainnya.
D. Sunnah menunjukan bolennya penulisan mushaf dengan cara yang mudah. Sebab,
rosulullah dahulu menyuruh menuliskannya tanpa menjelaskan harus menggunakan
bentuk tertentu.

Berkaitan dengan ketiga pendapat di atas, al-qaththan memilih pendapat ke dua karena
lebih efektif dalam memelihara al quran dari perubahan dan penggantian hurufnya. Jika yang
pertama berkaitan dengan bentuk huruf dan yang kedua berkaitan dengan cara penulisan huruf
maka untuk memperkuat pendapatnya, al-qaththan mengutip ucapan al-baihaqi di dalam kitab
syu'b al-iman,
"Siapa saja yang hendak menulis mushaf, hendaknya memerhatikan cara orang-orang yang
pertama kali menulisnya. Jangan berbeda dangannya. Tidak boleh pula mengubah sedikitpun
apa-apa yang mereka tulis karena mereka lebih banyak pengetahuannya, ucapan dan
kebenarannya lebih dipercaya, serta lebih dapat memegang amanah daripada kita. Jangan ada
diantara kita yang merasa dapat menyamai mereka".
3. Perbedaan qira`at Al-Qur’an yang berkaitan dengan subtansi lafadz atau kalimat,
adakalanya mempengaruhi makna dari lafadz tersebut dan adakalanya tidak. Berikan satu
contoh perbedaan qira`at yang mempengaruhi perbedaan makna dan selanjutnya
berpengaruh terhadap hukum yang diistimbathkan darinya!

1) Perbedaan qirā’āt yang berpengaruh terhadap istinbāth hukum. Contoh firman


Allah dalam QS. al-Baqarah/2: 222:
mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: "Haidh itu adalah
suatu kotoran". Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di
waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci.
Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang
diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang
yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.

Ayat di atas adalah larangan Allah terhadap suami untuk berhubungan intim
dengan isterinya yang sementara haid. Dalam ayat tersebut di atas terdapat
perbedaan bacaan pada lafaz (yāthhùrnā) ‫ يطهرن‬dengan bacaan takhfif yakni
disukun huruf tho (‫( ط‬hamma huruf ha (‫( ها‬hamzah, al-Kissa’i dan ‘Ashim
membacanya (yāththāhārnā) ‫ يطهرن‬bertasydid huruf tha (‫( ط‬dan ha (‫( ها‬serta
menasabkan kedua huruf tesebut (‫ ط‬dan ‫ ها‬.(Sedangkan Ibn Kathir, Nafi’, Abu
‘Amr, Ibn ‘Amir menurut riwayat Hafsah membacanya seperti yang tertulis
dalam teks tersebut.
Berdasarkan qirā’āt ‫ )يطهرن‬yāththāhhārnā) berarti amat suci, maka seorang
suami boleh melakukan hubungan seks dengan isterinya ketika berhenti haid dan
telah mandi.27 Tentu saja penafsiran seperti ini diakui oleh M. Quraish Shihab
sebagai yang lebih baik dan memang lebih suci.28 Sedang qirā’āt ‫يطهرن‬
(yāthhùrnā) membolehkan seorang suami untuk melakukan hubungan seks
dengan isterinya ketika berhenti haid walaupun belum mandi.
Perbedaan bacaan dari ayat di atas menimbulkan perbedaan hukum yang
dikandungnya. Bacaan pertama dengan bacaan takhfif lafaz ‫ يطهرن‬bahwa seorang suami
haram hukumnya untuk berhubungan intim dengan isterinya
dalam keadaaan haid sampai berhenti haidnya dan mandi. Pandangan ini
diperpegangi oleh Imam Mālik, Imam Syāfi’i dan Ahmād. Bacaan kedua dengan
tasydid lafaz ‫ يطهرن‬menurut Imam Abu Hānifāh bahwa yang dimaksud dari ayat
di atas adalah larangan kepada suami untuk berhubungan intim sampai isterinya
suci, artinya berhenti darah haid. Dengan demikian, suami diperbolehkan untuk
berhubungan intim dengan isterinya karena telah berhenti haid, meskipun belum
mandi.
Jika dua qirā’āt berbeda makna, tetapi tidak jelas kontradiksi antara keduanya,
sedangkan keduanya mengacu kepada hakikat yang sama, maka kedua qirā’āt
itu saling melengkapi. Perbedaan kedua qirā’āt tidak kontradiksi dari segi
makna, keduanya termasuk qirā’āt sahìh. Perbedaan yang ditimbulkan terhadap
perbedaan istinbāth hukum di sini hanya perbedaan dari wajib mandi setelah
berhenti haid dan boleh saja sebelum mandi jika sudah berhenti haid. Dengan
demikian mencermati perbedaan pandangan ulama memberi kesan kedua
pandangan yang berbeda itu dapat dikompromikan yakni bahwa suami haram
menggauli isterinya yang sedang haid sampai berhenti dari haidnya.
Namun demikian, para ulama berbeda pendapat tentang pengertian al-tāthāhhùr.
Sebagian ulama menyatakan bahwa yang dimaksud adalah mandi (al-ightisāl bi
al-mā’i). Sedangkan lainnya mengatakan bahwa yang dimaksud adalah wudhu.
Sebagian lainnya lagi mengatakan bahwa yang dimaksud adalah mencuci atau
membersihkan kemaluan tempat keluarnya darah haid tersebut. Sementara
ulama lainnya menyatakan bahwa yang dimaksud adalah mencuci atau
membersihkan kemaluan tempat keluarnya darah haid dan berwudhu
Dengan memperhatikan berbagai pandangan di atas, dapat dikatakan bahwa
sebetulnya pendapat yang lebih kuat adalah bahwa batas keharaman seorang
suami untuk menggauli isterinya yang mengalami haid adalah berhenti dari
darah haidnya dan telah melakukan mandi.

4. Jelaskan tentang pengertian ilmu Nasikh dan Mansukh, faedah mengetahuinya serta beri
contoh satu surat yang dinasakh dan yang memansukhkan yang dilatar belakangi sebuah
peristiwa dan pada akhirnya melahirkan kaidah hukum Islam.

Nasikhmemiliki dua pengertian yakni secara etimologi (bahasa) dan juga secara
terminoligi (istilah). Berikut makna kata Nasikh secara bahasa yang dipandang paling
relevan :
1.“Ar-Raf’ulal-izalah”yang berarti penghapusan.
2.“An-Naqlu”yang berarti penyalinan ataupun penulikan.
3.“Al-Ibthal”yang berarti penghilangan atas sesuatu.
4.“At-TaghyirwalIbtal Wal Iqamahash-Shai’ Maqamahu”yang artinya ialah mengganti
atau menukar.
Makna diatasmempunyai dasar Kalamullah pada ayat 106 Q.S Al-Baqarah, artinya : “Ayat
mana saja yang Kami nasikhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami
datangkanyanglebihbaikdaripadanyaatau yangsebandingdengannya.Tiadakahkamu
mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu?”5.“At-Tahwil wal
Baqa ‘ihi fi Nafsihi / At-Tabdil”yang artinya “memalingkan, meyalin atau memindahkan”.
Namun tiada kalamullah yang mencontohkan ataupun mendasari makna ini.

Selanjutnya makna kata Nasikh secara istilah yang dijelaskan oleh ahli Fiqih (Fuqaha)
yaitu bahwa Nasikh adalah “rof’u as syaari’ hukman syar’iyyan bi dalilin syar’iyyin
mutaraakhin ‘anhu”yang berarti “pengangkatan (penghapusan)oleh as Syaari’ (Allah Swt)
terhadap hukum syara’ (yang lampau) dengan dalil syara’ yang terbaru. Yang dimaksud
dengan pengangkatan hukum syara’ adalah penghapusan kontinuitas pengamalan hukum
tersebut dengan mengamalkan hukum yang ditetapkan terakhir”.Sama halnya dengan
Nasikh, kata Mansukhjuga memiliki pengertian secara etimologi (bahasa) dan juga
terminologi (istilah).

Maka secara etimologi Mansukh artinya “suatu hal yang diganti”.Sedang secara
istilah/terminologi, Mansukh diartikan sebagai “hukum syara’ yang menempati posisi awal,
yang belum diubah danbelum diganti dengan hukumsyara’yangdatang kemudian”.Dari
pengertian-pengertian diatas, selanjutnya kita perlu memahami kata Nasakh. Yang
dimaksud Nasakh adalah suatu perbuatan pembatalan atau penghapusan pada hukum syara’
dari hukum lama menuju hukum baru yang bersumber dalil syara’ yang datang
kemudian. Maka dalam menasakhkan diperlukan dua unsur penting yaitu Nasikh dan
Manshuk. Dimana Nasikh merupakan hukum/dalil syara’ yang sifatnya menghapus suatu
hukum atau merupakan subjek penghapus, sedangkan Mansukh merupakan hukum/dalil
syara’ yang nantinya dihapus atau diganti atau juga merupakan objek
penghapusannya.Seperti yang dijelaskan oleh Imam Ibnu Abdil Bar, bahwa karena
adanya naskh maka tidak seluruh ilmu yang ada itu diwajibkan bagi ulama dan umat
Islam untuk dikerjakan.

Kaum muslim memiliki kewajiban untuk mengetahui nasikh wa al-mansukh dan setelah
mengerti, kita diwajibkan untuk mengamalkan ayat nasikh atau ayat yang mengganti dan
tidak diwajibkan untuk mengamalkan ayat mansukh atau ayat yang diganti. Dengan
begitu kita tidak akan mengerjakan apa yang tidak lagi diperintahkan ataupun mengabaikan
apa yang telah Allah perintahkan

Anda mungkin juga menyukai