Anda di halaman 1dari 12

LITERATUR REVIEW SURVEILANS KESEHATAN MASYARAKAT PADA

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN LUAR BIASA


PENYAKIT MENULAR CAMPAK
TUGAS REMIDI SURVEILANS KESEHATAN MASYARAKAT
Dosen Pengampu : Oktovina Risky Indrasari, S.KM., M.Ke

SYSTEMATIC LITERATUR REVIEW

DISUSUN OLEH
IRFAN HIDAYATUR ROHMAN
NIM.10319027

S1 KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS TEKNOLOGI DAN MANAJEMEN KESEHATAN
INSTITUT ILMU KESEHATAN
BHAKTI WIYATA KEDIRI

TAHUN AKADEMIK
2021/2022
A. IDENTITAS JURNAL YANG DIGUNAKAN
JURNAL I
Kajian Spasial Faktor Risiko Terjadinya Kejadian Luar Biasa
Judul
Campak Dengan Geographical Information System
Tahun Terbit 2016
Penerbit Jurnal Mkmi, Vol. 12 No. 4,
Pengarang Apris Lemo Isu1 , Pius Weraman1 , Intje Pucauly2

JURNAL II
Campak Di Wilayah Puskesmas Tejakula I Kecamatan
Judul
Tejakula Kabupaten Buleleng Tahun 2012
Tahun Terbit 2012
Penerbit Jurnal Kesehatan Lingkungan Vol. 4 no 2,
Nyoman Giarsawan¹, I Wayan Suarta Asmara², Anysiah Elly
Pengarang
Yulianti³

JURNAL III
Faktor Risiko Campak Anak Sekolah Dasar pada Kejadian
Judul
Luar Biasa di Kabupaten Pesawaran, Provinsi Lampung
Tahun Terbit 2019
Penerbit Jurnal Epidemiologi Kesehatan Komunitas
Ferry Ardhiansyah*, Kamilah Budi R**, Ari Suwondo***,
Pengarang
Mexitalia Setiawati**, Apoina Kartini**

JURNAL IV
Faktor Yang Mempengaruhi Klb Campak Anak Usia Sekolah
Judul
Dasar
Tahun Terbit 2020
Penerbit Jurnal Ilmiah Ilmu Kesehatan Vol .8, No.1
Pengarang Ferry Ardhiansyah1) , Kamilah Budhi R.2) , Ari Suwondo3)
B. LATAR BELAKANG
Penyakit campak merupakan salah satu penyakit menular yang masih menjadi
masalah kesehatan bayi dan anak. Penyakit tersebut disebabkan oleh virus golongan
Paramyxovirus. Pada tahun 2013, di dunia terdapat 145.700 orang meninggal akibat
campak, sedangkan sekitar 400 kematian setiap hari sebagian besar terjadi pada balita
(WHO, 2015).
Menurut Kemenkes RI (2015),campak merupakan penyakit endemik di negara
berkembang termasukIndonesia. Di Indonesia, campak masih menempati urutan ke-5
penyakit yang menyerang terutama pada bayi dan balita. Pada tahun 2014 di
Indonesia ada 12.943 kasus campak. Angka ini lebih tinggi dibandingkan pada tahun
2013 sebanyak 11. 521 kasus. Jumlah kasus meninggal sebanyak 8 kasus yang terjadi
di 5 provinsi yaitu Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kepulauan Riau dan Kalimantan
Timur. Incidence rate (IR) campak pada tahun 2014 sebesar 5,13 per 100.000
penduduk.Angka ini meningkat dibandingkan tahun 2013 yang sebesar 4,64 per
100.000 penduduk. Kasus campak terbesar pada kelompok umur 5-9 tahun dan
kelompok umur 1- 4 tahun sebesar 30% dan 27,6%.
Campak adalah penyakit menular dengan gejala prodomal. Gejala ini meliputi
demam, batuk, pilek dan konjungtivitis kemudian diikuti dengan munculnya ruam
makulopapuler yang menyeluruh di tubuh. Menurut Nugrahaeni (2012), kejadian
campak disebabkan oleh adanya interaksi antara host, agent dan environment.
Perubahan salah satu komponen mengakibatkan keseimbangan terganggu sehingga
terjadi campak. Berdasarkan penelitian Mujiati (2015) dan Giarsawan dkk (2012),
faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian campak yaitu umur, status gizi,
status imunisasi, pemberian vitamin A, pemberian ASI eksklusif, kepadatan hunian,
ventilasi, riwayat kontak,dan pengetahuan ibu. Menurut Widagdo (2012) penyakit
campak dapat mengakibatkan kematian. Terjadinya kematian dapat dipicu dengan
komplikasi penyakit yaitu bronkhopneumonia yang timbul akibat penurunan daya
tahan anak yang menderita campak.
Berdasarkan latar belakang yang ada maka dapat disimpukan bahwa penyakit
campak harusnya memiliki perhatian khusus dari pemerintah. Terutama pada lini
yang paling kecil, karena angka kejadian penyakit campak tidak langsung serta merta
dapat terdeteksi oleh pemerintah sehingga pemerintah dalam hal ini adalah dinas
Kesehatan baik kota atau kabupaten harus memaksimalkan fungsi puskesmas dalam
hal deteksi dini kejadian campak yang ada di wilayah kerjanya. Kegiatan surveilans
perlu dilakukan secara sistematis dan teratur untuk mengetahui trend perkembangan
penyakit yang ada.

C. ETIMOLOGI DAN DESKRIPSI PENYAKIT


Penyakit Campak dikenal juga dengan istilah morbili dalam bahasa latin dan
measles Dalam bahasa Inggris. Campak, pada masa lalu dianggap sebagai suatu hal
yang harus dialami oleh setiap anak, mereka beranggapan, bahwa penyakit Campak
dapat sembuh sendiri bila ruam sudah keluar, sehingga anak yang sakit Campak tidak
perlu diobati. Ada anggapan bahwa semakin banyak ruam keluar semakin baik.
Bahkan ada upaya dari masyarakat untuk mempercepat keluarnya ruam, dan ada pula
kepercayaan bahwa penyakit Campak akan berbahaya bila ruam tidak keluar pada
kulit sebab ruam akan muncul dirongga tubuh lain seperti dalam tenggorokan, paru-
paru, perut atau usus. Hal ini diyakini akan menyebabkan sesak napas atau diare yang
dapat menyebabkan kematian. 12,13 Penyakit Campak adalah yang sangat potensial
untuk menimbulkan wabah, penyakit ini dapat dicegah dengan pemberian imunisasi
Campak. Tanpa imunisasi, 90% dari mereka yang mencapai usia 20 tahun pernah
menderita Campak. Dengan cakupan Campak yang mencapai lebih dari 90% dan
merata sampai ke tingkat desa diharapkan jumlah kasus Campak akan menurun oleh
karena terbentuknya kekebalan kelompok (herd immunity). Campak merupakan salah
satu penyakit yang menular yang disebabkan oleh virus yang ditandai dengan gejala
kulit kemerahan dan dapat menular dari droplet orang ke orang melalui udara.
Menurut data dari World Health Organization (WHO), dari tahun 2000-2013, dari 146
juta populasi anak, 40 juta dian- taranya menderita campak (measles) dari 481.000
anak yang terjangkit campak 74% meninggal dunia. Sebagian besar kasus campak
menyerang anak-anak usia pra sekolah dan usia SD. Jika seseorang pernah men-
derita campak, maka dia akan mendapatkan kekebalan terhadap penyakit tersebut
seumur hidupnya.

D. PEMBAHASAN
1. Faktor Yang Mempengaruhi
a) Pencahayaan
Pada penelitian yang dilakukan oleh (Isu et al., 2016) pada jurnalnya
yang berjudul Kajian Spasial Faktor Risiko Terjadinya Kejadian Luar
Biasa Campak Dengan Geographical Information System.
Menunjukkan bahwa Setiap rumah sebaiknya ditata jendelanya agar
cahaya matahari dapat masuk ke dalam ru- mah. Hasil penelitian
menunjukan bahwa persen tase hubungan faktor risiko kondisi
lingkungan (pencahayaan) pada kasus dan kontrol dengan insi- den
campak sebesar 80,4% kondisi rumah memilik I tingkat pencahayaan
tergolong terang (>60 lux) dan sebanyak 19,6% yang memiliki tingkat
penca hayaan di bawah standar/gelap (<60 lux). Secara statistik, nilai
probabititas p=0,860 (PValue >0.05) maka dalam hal ini pencahhayaan
tidak berpengaruh terhadap kejadian campak.
b) Ventilasi
Ada beberapa penelitian yang membahas kondisi ventilasi dengan
kejadian campak. Pada penelitian yang dilakukan oleh (Isu et al., 2016)
mengatakan bahwa hubungan ventilasi dengan ke- jadian campak pada
kasus dan kontrol menunjuk- kan bahwa secara keseluruhan ventilasi
yang me- menuhi syarat/baik lebih besar 80,4% dari yang jelek
(19,6%) dengan nilai probabilitas (p=0,597) dan niai Odds Ratio (OR)
sebesar 0,779 (CI 95%; 0,389 – 1,560). Artinya dengan ventilasi
merupa- kan salah satu faktor protektif. Dengan demikian,
kemungkinan untuk terjadinya kejadian campak lebih kecil. Hal ini
selaras dengan penelitian yang dilakukan oleh (Ardhiansyah et al.,
2019) yang mengatakan bahwa Ventilasi rumah berpengaruh terhadap
kejadian campak anak usia sekolah dasar pada peristiwa KLB di
Kabupaten Pesawaran. Hasil Odds Ratio diketahui bahwa siswa tinggal
di rumah dengan ventilasi kurang memiliki peluang 1,279 kali untuk
terkena campak. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Abdul
Razak, yang menunjukkan bahwa ventilasi rumah kurang baik
mempuyai risiko menimbulkan kejadian campak 11,0 kali
dibandingkan dengan rumah dengan ventilasi yang cukup.
c) Kepadatan Hunian
Pada penelitian yang dilakukan oleh (Isu et al., 2016) mengatakan
bahwa Hasil analisis faktor risiko kepadatan hunian dengan insiden
campak menunjukkan bahwa kejadian campak dengan padat penghuni
lebih be- sar 67,6% dari yang tidak padat/longgar (32,4%) dengan nilai
probabilitas (p=0.000) dan Odds Ratio (OR) sebesar 18,621. Artinya
bahwa besar- nya risiko penderita yang tinggal dirumah dengan tingkat
kepadatan hunian yang tinggi akan mudah menularkan penyakit
campak sebesar 18,6 kali ke- pada anak-anak/penghuni yang tidak
sakit. Penelitian lain yang dilakukan oleh (Giarsawan, 2012)
mengatakan hal yang sama dalam penelitiannya yang mana Hasil
pengujian statistik Chi Square
kepadatan hunian rumah terhadap kejadian campak diperoleh hasil p
= 0,000 < α = 0,05. Hal ini menyatakan bahwa ada pengaruh kepadatan
hunian rumah terhadap kejadian campak. Hasil pengujian statistik juga
menyatakan Odds Ratio (OR) adalah 41,250 (Convidence Interval 95%
= 4,663 – 364,906) yang berarti rumah dengan kategori padat
mempunyai resiko anak akan terkena campak 41,250 kali lebih banyak
dibandingkan dengan rumah kategori tidak padat penghuni. Selain itu
hal yang sama juga ditemukan pada penelitian (Ardhiansyah et al.,
2019) yang mengatakan bahwa Hasil Odds Ratio diketahui bahwa anak
yang tinggal dirumah kepadatan hunian yang padat memiliki peluang
1,379 kali untuk terkena campak. Penelitian ini sejalan dengan
Penelitian Nyoman Giarsawan menunjukkan bahwa rumah dengan
kepadatan hunian yang tinggi mempuyai risiko menimbulkan kejadian
campak 41,25 kali dibandingkan dengan rumah dengan rumah yang
tidak padat.
d) Status Imunisasi
Pada penelitian yang dilakukan oleh (Giarsawan, 2012)
mengatakan bahwa Hasil pengujian menggunakan uji statistik Chi
Square status imunisasi terhadap kejadian campak memiliki nilai p =
0,002 < α (0,05) dan Odds Ratio (OR) adalah 16,923 (Convidence
Interval 95% = 1,938 – 147,767). Hal ini dapat dijelaskan bahwa faktor
status imunisasi pada anak akan mempengaruhi terjadinya kasus
campak. Berdasarkan hasil penelitian, jumlah
kasus campak di wilayah Puskesmas Tejakula I adalah sejumlah 23
kasus, dimana 10 kasus (43,48%) diantaranya tidak mendapat
imunisasi campak (imunisasi tidak lengkap), kasus campak terbanyak
terjadi di Desa Sambirenteng dengan jumlah kasus sebanyak 10 orang
(43,48%), 3 diantaranya tidak memperoleh imunisasi campak
(13,05%). Hasil uji statistik Odds Ratio diperoleh 16,923 artinya anak
yang mempunyai status imunisasi tidak lengkap memiliki
kemungkinan 16,923 kali lebih banyak beresiko terkena campak
dibandingkan dengan anak dengan status imunisasi lengkap. Hal ini
sejalan dengan penelitian yang dilakuka oleh (Ardhiansyah et al.,
2019) yang mengatakan bahwa Riwayat imunisasi BIAS campak
berpengaruh terhadap kejadian campak anak usia sekolah dasar
pada peristiwa KLB di Kabupaten Pesawaran Hasil Odds Ratio
diketahui bahwa siswa yang tidak melakukan imunisasi BIAS campak
memiliki peluang 13,716 kali untuk terkena campak. Hasil penelitian
ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Zahidie, et al. yang
menunjukkan bahwa anak yang tidak mendapatkan imunisasi campak
mempunyai resiko sebesar 10,1 kali untuk terkena campak
(95%CI=4,5-22,5).
e) Riwayat Infeksi
Pada penelitian yang dilakukan oleh (Ardhiansyah et al., 2019)
mengatakan bahwa Riwayat kontak dengan penderita campak
berpengaruh terhadap kejadian campak anak usia sekolah dasar pada
peristiwa KLB di Kabupaten Pesawaran. Hasil Odds Ratio diketahui
bahwa siswa memiliki riwayat kontak dengan penderita campak
memiliki peluang 4,141 kali untuk terkena campak. Hasil ini sesuai
dengan penelitian Casaeri bahwa terjadinya penyakit campak adalah
adanya kontak dengan penderita, sehingga alangkah baiknya bila
penderita penyakit campak, sementara diisolasi di rumah sakit atau
hanya boleh didalam rumah saja.
Hal ini selaras dengan penelitian yang dilakukan oleh (Isu et al.,
2016) yang mengatakn bahwa Penelitian ini ditemukan anak yang
pernah kontak dengan penderita campak lebih kecil (16,7%) daripada
yang tidak pernah kontak de- ngan penderita lain ( 83,7%), tetapi hasil
analisis statistik menunjukkan bahwa adanya hubungan yang bermakna
antara riwayat kontak dengan insi- den campak dengan nilai p=0.000
dan Odds Ratio (OR)=0,021 (CI 95%;0.003 – 0,155).
E. SKEMA UPAYA PENANGGULANGAN
Upaya penanggulangan KLB dilaksanakan dengan tujuan untuk memutus rantai
penularan sehingga jumlah kesakitan, kematian maupun luas daerah yag terserang
dapat ditekan seminimal mungkin. Dalam operasionalnya maka kegiatan
penanggulangan selalu disertai kegiatan penyelidikan yang selanjutnya digunakan
istilah penyelidikan dan penanggulangan KLB.
1. Persiapan Penyelidikan dan Penanggulangan
Persiapan penyelidikan dan penanggulangan KLB meliputi persiapan
administrasi, tim penyelidikan epidemiologi, bahan logistik dan bahan 17
laboratorium serta rencana kerja penyelidikan epidemiologi KLB. Pelaksanaan
penyelidikan epidemiologi KLB bekerjasama dengan unit kesehatan terkait
setempat, dapat melakukan wawancara, pemeriksaan medis dan laboratorium
terhadap penderita, pemeriksaan orang-orang yang mendapat serangan
penyakit, pemeriksaan sumber-sumber penyebaran penyakit, pemeriksaan data
perawatan penderita di unitunit pelayanan kesehatan, pemeriksaan data
perorangan, sekolah, asrama, dan tempat-tempat lainnya yang berhubungan
dengan penyebaran penyakit dengan memperhatikan etika pemeriksaan medis
dan etika kemasyarakatan setempat. Rekomendasi dirumuskan dengan
memperhatikan asas segera, efektip dan efisien dalam rangka penanggulangan
KLB yang sedang berlangsung sesuai dengan kemampuan yang ada serta
disampaikan kepada tim penanggulangan KLB dengan memperhatikan
kerahasiaan jabatan dan implikasi terhadap kesejahteraan dan keselamatan
masyarakat.
2. Memastikan Adanya KLB
Kepastian adanya suatu KLB berdasarkan pengertian dan kriteria kerja
KLB yang secara formal ditetapkan oleh Bupati/Walikota atas rekomendasi
teknis Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, baik bersumber data
kesakitan dan atau data kematian yang ada di masyarakat, maupun bersumber
data kesakitan dan atau kematian yang ada di unit-unit pelayanan penderita
serta hasil pemeriksaan laboratorium. Untuk memastikan adanya KLB, maka
data penderita setidak-tidaknya menunjukkan perkembangan penyakit dari
waktu ke waktu berdasarkan tanggal mulai sakit dan atau tanggal berobat yang
dapat digunakan untuk memperkirakan tanggal mulai sakit, tempat kejadian
menurut unit pelayanan penderita berobat, tempat tinggal penderita, tempat
usaha atau karakteristik tempat lain, serta menurut umur, jenis kelamin dan
kelompok-kelompok tertentu sesuai dengan 18 kebutuhan untuk memastikan
adanya KLB.
3. Menegakkan Etiologi
Etiologi suatu KLB dapat ditegakkan berdasarkan gambaran klinis
penderita perorangan, gambaran klinis kelompok, gambaran epidemiologi dan
hasil pemeriksaan laboratorium atau alat penunjang pemeriksaan lainnya.
Gambaran klinis penderita perorangan dapat diperoleh berdasarkan
wawancara dan pemeriksaan medis penderita, gambaran klinis kelompok
penderita dapat diperoleh dari prosentase gejala dan tanda-tanda penyakit yang
ada pada sekelompok penderita pada daerah yang terjadi KLB. Gambaran
epidemiologi dibuat dalam bentuk kurva epidemiologi KLB, angka serangan
(attack rate) dan angka fatalitas kasus (case fatality rate) berdasarkan golongan
umur dan jenis kelamin. Gambaran epidemiologi lain dapat dibuat berdasarkan
pengelompokan tertentu sesuai dengan kebutuhan mengetahui etiologi KLB.
Pemeriksaan laboratorium untuk memeriksa spesimen tertentu sesuai dengan
perkiraan etiologi berdasarkan hasil pemeriksaan klinis dan epidemiologi.
Bahan spesimen yang menimbulkan perlukaan atau risiko perlukaan
diupayakan hanya diambil dari beberapa orang saja sebagai contoh pengujian
laboratorium.
4. Identifikasi Gabaran KLB
Gambaran epidemiologi KLB menjelaskan distribusi penyebaran
penyakit dalam bentuk tabel, kurva epidemi, grafik dan peta, baik dalam angka
absolut maupun dalam angka serangan (attack rate), dan angka fatalitas kasus
(case fatality rate) berdasarkan golongan umur, jenis kelamin, dan tempat-
tempat tertentu yang bermakna secara epidemiologi. Umur dikelompokkan
dalam kelompok umur kurang dari 1 tahun, 1 – 4 tahun, 5 – 9 tahun , 10 – 14
tahun, 15 – 44 tahun dan 45 tahun atau lebih, sesuai dengan kebutuhan
epidemiologi menurut umur. Tempat dikelompokkan berdasarkan tempat
kejadian. Gambaran epidemiologi lain dapat dibuat berdasarkan
pengelompokan tertentu sesuai dengan kebutuhan untuk mengetahui etiologi
KLB, besar masalah KLB dan menjadi dasar membangun hipotesis sumber
dan cara penyebaran penyakit.
5. Mengetahui Sumber Penyebaran
Cara untuk mengetahui sumber dan cara penyebaran penyakit adalah
berdasarkan metode epidemiologi deskriptip, analitik dan kesesuaian hasil
pemeriksaan laboratorium antara penderita dan sumber penyebaran penyakit
yang dicurigai.
6. Menetapkan Cara Penanggulangan
Cara-cara penanggulangan KLB meliputi upaya-upaya pengobatan yang
tepat terhadap semua penderita yang ada di unit-unit pelayanan kesehatan dan
di lapangan, upaya-upaya pencegahan dengan menghilangkan atau
memperkecil peran sumber penyebaran penyakit atau memutuskan rantai
penularan pada KLB penyakit menular. Caracara penanggulangan KLB
sebagaimana tersebut diatas sesuai dengan masing-masing cara
penanggulangan KLB setiap jenis penyakit, keracunan atau masalah kesehatan
tertentu dan penyakit berpotensi KLB yang belum jelas etiologinya.
7. Rekomendasi
Rekomendasi merupakan salah satu tujuan penting dari suatu
penyelidikan dan penanggulangan KLB. Rekomendasi berisi cara-cara
penanggulangan KLB yang sedang berlangsung, usulan penyelidikan dan
penanggulangan KLB lebih luas dan atau lebih teliti, dan upaya
penanggulangan KLB dimasa yang akan datang. Perumusan suatu
rekomendasi berdasarkan fakta hasil penyelidikan dan penanggulangan KLB,
merujuk hasil-hasil penelitian dan pembahasan para ahli terhadap 21 masalah
yang sama atau berkaitan, kemampuan upaya penanggulangan KLB dan
kondisi kelompok populasi yang mendapat serangan KLB. Rekomendasi
disampaikan kepada tim penanggulangan KLB berdasarkan asas cepat, tepat
dan bertanggungjawab untuk segera menghentikan KLB dan mencegah
bertambahnya penderita dan kematian pada KLB.
F. KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan diatas dapat diketahui bahwa penelitian-penelitian yang
dilakukan memiiliki hasil yang selaras terhadap factor resiko kejadian KLB Campak. Hal
ini menunjukkan bahwa factor-faktor yang ada memiliki andil dan saling berkaitan satu
sama lain dalam meningkatkan potensi kejadian KLB campak. Oleh krena itu perlu
adanya system kewaspadaan dini dan respon cepat tanggap ketika trend penyakit campak
menunjukkan adanya kenaikan yang signifikan. Selain itu peran pemerintah juga penting
dalam mengoordinasi tiap-tiap sector yang terkait dengan KLB. Hal ini bertujuan untuk
mempermudah proses pelacarakn dan pemutusan rantai penyebaran terjadinya infeksi
campak.
DAFTAR PUSTAKA
Ardhiansyah, F., Rahardjani, K. B., Suwondo, A., Setiawati, M., & Kartini, A. (2019). Faktor
Risiko Campak Anak Sekolah Dasar pada Kejadian Luar Biasa di Kabupaten
Pesawaran, Provinsi Lampung. Jurnal Epidemiologi Kesehatan Komunitas, 4(2), 64–72.
https://ejournal2.undip.ac.id/index.php/jekk/article/view/4798
Giarsawan, N. I. W. S. A. A. E. Y. (2012). Campak Di Wilayah Puskesmas Tejakula I
Kecamatan Tejakula Kabupaten Buleleng Tahun 2012. Jurnal Kesehatan Lingkungan,
4(2), 140–145.
Isu, A., Weraman, P., & Pucauly, I. (2016). Kajian Spasial Faktor Risiko Terjadinya Kejadian
Luar Biasa Campak Dengan Geographical Information System. Jurnal MKMI, 12(4),
250–260.

Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. (2011). Peraturan Menteri Kesehatan Republik


Indonsesia Nomor 2046/MENKES/PER/XII/2011. Jenis Penyakit Menular Tertentu
Yang Dapat Menimbulkan Wabah Dan Upaya Penanggulangan, 1–30.
https://infeksiemerging.kemkes.go.id/download/PERMENKES_1501_2010_JENIS_PE
NYAKIT_MENULAR_POTENSIAL_WABAH_DAN_UPAYA_PENANGGULANG
AN.pdf

Kemenkes RI. (2014). Situasi Dan Analisa Imunisasi. In Kementerian Kesehatan Indonesia
(pp. 1–8).

1624-12295-2-PB.pdf. (n.d.).

Kementerian Kesehatan RI. (2018). Situasi Campak dan Rubella di Indonesia 2018.
Kementerian Kesehatan RI Pusat Data dan Informasi. Jakarta Selatan: Infodatin;2018.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, ISSN 2442-7659.

Muniroh, Abroery, Cahyati, W. H., & Rahayu, S. R. (2020). Investigasi Kejadian Luar Biasa
Campak Di Kota Purwokerto Kabupaten Banyumas Tahun 2016. Seminar Nasional
Pascasarjana, 1–11.

Ardhiansyah, F., Rahardjani, K. B., Suwondo, A., Setiawati, M., & Kartini, A. (2019). Faktor
Risiko Campak Anak Sekolah Dasar pada Kejadian Luar Biasa di Kabupaten
Pesawaran, Provinsi Lampung. Jurnal Epidemiologi Kesehatan Komunitas, 4(2), 64–72.
https://ejournal2.undip.ac.id/index.php/jekk/article/view/4798

Azis, A., & Ramadhani, N. R. (2019). Hubungan Status Imunisasi, Umur Dan Jenis Kelamin
Terhadap Penyakit Campak Di Kota Tangerang Selatan Tahun 2018. Jurnal Ilmiah
Kesehatan, 18(2), 37–41. https://doi.org/10.33221/jikes.v18i2.228

Usia, A., & Dasar, S. (2020). 3) 1) 2). 8487(1), 1–11.

Anda mungkin juga menyukai