Home PIDANA Penegakan Hukum Dibangun dari Pilar Asu…
Penegakan Hukum Dibangun dari
Pilar Asumsi, Aneh Namun Nyata LEGAL OPINION Question: Yan namanya hukum atau proses persidangan di pengadilan itu, benar- benar mengesampingkan asumsi? Maksudnya apa betul, asumsi demikian ditabukan dalam bukum?
Brief Answer: Hukum justru sarat “asumsi”.
Harus kita akui, bahwa proses peradilan itu sendiri bernuansa aspek “indirect evidence” yang tidak lain dilandasi oleh suatu asumsi (kemudian dijewantahkan oleh sang hakim sebagai alat bukti “Persangkaan” ataupun “Petunjuk”. Hakim yang memeriksa perkara, bukanlah saksi mata langsung atas suatu perkara yang disidangkan—karenanya, asumsi tidak terelakkan.
Sebagai contoh, dalam stelsel
pembuktian hukum acara perdata, pembuktian bersifat formil semata, dimana akta otentik diasumsikan benar adanya sepanjang tidak ada alat bukti otentik lain yang membantahnya.
Begitu pula dalam cerminan perkara
pidana, mungkin ilustrasi yang paling tepat mewakili ialah dalam konteks tindak pidana penadahan, dimana si penadah dapat dijerat pidana bila dirinya “patut menduga” bahwa barang yang diterima olehnya ialah bersumber dari suatu kejahatan.
Tidak ada yang melihat langsung
kejadian yang sebenarnya, namun putusan tetap harus dibuat oleh Majelis Hakim pemutus. Tidak ada yang salah dengan “berasumsi”, sepanjang asumsi tersebut dibangun atas dasar nalar yang terjaga tingkat logisnya—sehingga masih dalam tataran dapat dipertanggung-jawabkan. Kita, selaku anggota warga masyarakat, juga harus senantiasa berasumsi agar dapat melakukan fungsi preventif demi kebaikan kita sendiri. Mengapa? Karena hukum juga berasumsi, bahwa setiap warga negara “dianggap” tahu hukum.
PEMBAHASAN:
Contoh kasus berikut dapat memudahkan
pemahaman, betapa kehidupan berhukum tidak pernah dapat dilepaskan dari kegiatan ber- asumsi, sebagaimana dapat SHIETRA & PARTNERS rujuk putusan Mahkamah Agung RI perkara pidana “penadahan” register Nomor 257 K/PID/2016 tanggal 21 Juni 2016, dimana Terdakwa didakwa karena telah membeli, menawarkan, menukar, menerima gadai, menerima hadiah, atau untuk menarik keuntungan, menjual, menyewakan, menukarkan, menggadaikan, mengangkut, menyimpan atau menyembunyikan sesuatu benda yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduga diperoleh dari kejahatan, sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 480 Ayat Ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Bermula pada 03 Juni 2014, saat Saksi Agus
Windi Haryanto pulang dari membeli makanan burung telah melihat burung murai batu milik Korban yang mempunyai ciri-ciri bulu kepala hitam, bulu dada berwarna oranye, ekor hitam panjang, kaki putih, kuku bagian belakang yang sebelah kanan berwarna hitam dan yang sebelah kiri berwarna putih yang dititipkan oleh Korban Saksi Agus Windi Haryanto, kinihilang diambil orang karena sangkar burungnya telah berpindah di lantai dan pintunya terbuka.
Pada tanggal 10 Juni 2014, Saksi SUGIYONO
telah membeli burung murai batu dari Terdakwa di rumah Terdakwa dengan harga Rp3.000.000,00. Waktu itu Saksi Sugiyono baru memberikan uang muka sebesar Rp1.400.000,00. Berlanjut pada tanggal 12 Juni 2014, Terdakwa mengantarkan burung murai batu yang telah dibeli oleh Saksi Sugiyono ke rumah Saksi Sugiyono sembari menerima pelunasannya.
Tanggal 13 Juni 2014, Saksi Sugiyono
menjual burung Murai batu tersebut ke Saksi Rohariyanto dengan harga Rp5.000.000,00. Tibalah pada tanggal 16 Juli 2014, saat Saksi Rohariyanto mengikutkan burung murai batu yang dibelinya dari Saksi Sugiyono tersebut, dalam latihan bersama kicauan burung, Korban melihatnya dan mengenalinya bahwa burung yang dibawa Saksi Rohariyanto tersebut adalah burungnya yang telah hilang diambil orang pada tanggal 03 Juni 2014.
Burung yang dijual oleh Terdakwa ke Saksi
Sugiyono, adalah burung milik Korban yang dititipkan di rumah Saksi Agus Windi Haryanto, yang hilang dicuri orang, dan Terdakwa tidak dapat menjelaskan asal-usul burung yang dijualnya kepada Saksi Sugiyono.
Terhadap tuntutan pihak Jaksa, yang
kemudian menjadi putusan Pengadilan Negeri Pati Nomor 95/Pid.B/2015/PN.Pti. tanggal 10 September 2015, dengan amar sebagai berikut: “MENGADILI : 1. Menyatakan Terdakwa Suparmo al Pram Wibowo bin Hadi Suprapto terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana: ‘Penadahan’; 2. Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama: 6 (enam) bulan; 3. Menetapkan masa penangkapan dan penahanan yang telah dijalani Terdakwa sebelum putusan ini berkekuatan hukum tetap dikurangkan seluruhnya dari pidana yang diajtuhkan; 4. Memerintahkan Terdakwa agar tetap ditahan.”
Dalam tingkat banding, yang menjadi
putusan Pengadilan Tinggi Semarang Nomor 241/PID/2015/PT.SMG tanggal 05 November 2015, dengan amar sebagai berikut: “MENGADILI : - Menerima permintaan banding dari Jaksa / Penuntut Umum dan Penasihat Hukum Terdakwa; - Menguatkan putusan Pengadilan Negeri Pati Nomor 95/Pid.B/2015/PN.Pti. tanggal 10 September 2015 yang dimohonkan banding tersebut.”
Baik pihak Terdakwa maupun pihak Jaksa,
masing-masing mengajukan upaya hukum kasasi. Adapun keberatan yang diajukan Jaksa Penuntut, antara lain bahwa putusan pidana penjara yang diputuskan Hakim Pengadilan, dinilai masih terlalu ringan, mengingat: