Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUA
N

A. Latar Belakang Masalah

Pendidikan merupakan kebutuhan dasar satiap manusia untuk menjamin

keberlangsungan hidupnya agar lebih bermartabat. Karena itu negara memiliki

kewajiban untuk memberikan pelayanan pendidikan yang bermutu kepada setiap

warganya tanpa terkecuali termasuk mereka yang memiliki perbedaan dalam

kemampuan (difabel) seperti yang tertuang pada UUD 1945 pasal 31 ayat 1, yang

menyatakan bahwa “Tiap-tiap warga Negara berhak mendapatkan pendidikan”. Hal

tersebut lebih diperjelas lagi dalam UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem pendidikan

Nasional pada pasal 5 ayat 2, dan pasal 33 ayat 1 yang menyatakan bahwa “Setiap

warga Negara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, dan sosial berhak

memperoleh pendidikan khusus.

Pendidikan jasmani merupakan bagian integral yang tidak bisa dipisahkan dari

pendidikan secara keseluruhan. Pendidikan jasmani ditujukan untuk mengembangkan

aspek kebugaran jasmani, keterampilan gerak, keterampilan berfikir kritis, keterampilan

sosial, penalaran, stabilitas emosional, tindakan moral, aspek pola hidup sehat, dan

pengenalan lingkungan bersih melalui aktivitas jasmani yang direncanakan secara

sistematis dalam rangka mencapai tujuan pendidikan nasional (Depdikbud, 2013: 4).

Pada dasarnya pendidikan jasmani adalah proses pendidikan yang memanfaatkan

aktivitas fisik untuk menghasilkan perubahan dalam kualitas individu, baik dalam hal

fisik, mental, serta emosional.

1
Pelaksanaan orientasi pendidikan jasmani harus disesuaikan dengan dengan

perkembangan anak, baik dari segi isi dan uraian materi serta cara penyampaian juga

harus disesuaikan sehingga menarik dan menyenangkan. Sasaran pembelajaran bukan

hanya mengembangkan keterampilan olahraga, tetapi pada perkembangan pribadi anak

seutuhnya. Konsep dasar pendidikan jasmani dan model pengajaran pendidikan jasmani

yang efektif perlu dipahami oleh mereka yang akan mengajar pendidikan jasmani.

Salah satu bentuk program pendidikan jasmani yang sesuai dengan anak

berkebutuhan khusus adalah program pendidikan jasmani adaptif. Pendidikan jasmani

adaptif merupakan pendidikan jasmani yang diadaptasikan atau dimodifikasi untuk

memudahkan peserta didik berkebutuhan khusus berpartisipasi aktif dalam

pembelajaran (Depdikbud, 2013: 7). Mulyono, (2009:3) juga menerangkan bahwa

pendidikan jasmani adaptif merupakan pendidikan jasmani yang telah dimodifikasi

untuk mempertemukan kebutuhan-kebutuhan anak yang menyandang ketunaan.

Syarifuddin, & Muhadi (1992:

4) menerangkan bahwa pendidikan jasmani adaptif adalah suatu proses mendidik

melalui aktivitas gerak untuk laju pertumbuhan dan perkembangan baik fisik maupun

psikis dalam rangka pengoptimalkan seluruh potensi: kemampuan, keterampilan

jasmani yang disesuaikan dengan kemampuan dan keterbatasan anak, kecerdasan,

kesegaran jasmani, sosial, kultural, emosional, dan rasa keindahan demi tercapainya

tujuan pendidikan yaitu terbentuknya manusia seutuhnya.

Pendidikan jasmani adaptif memiliki peran dan makna yang sangat berharga

bagi anak dengan kebutuhan khusus memulai pola gerak tertentu yang memungkinkan

otot- otot tesebut, khususnya yang menunjang persendian tubuh, memungkinkan

2
optimalisasi

3
gerakan tubuh sesuai dengan fungsi setiap anggota tubuh, sehingga perkembangan

kognisi dan sosial anak dapat berkembang secara menyeluruh dan seimbang. Dengan

adanya pendidikan jasmani adaptif di sekolah-sekolah luar biasa terutama pada anak

tunanetra, maka anak dapat berkreasi dan berprestasi dan tujuan dari olahraga nasional

dapat tercapai.

Manusia adalah mahluk yang hidupnya tidak pernah lepas dari proses bergerak

mulai dari tingkatan mikroskopik atau gerak yang terjadi pada tingkatan intra sel sampai

aktual yang setiap hari dilakukan oleh manusia untuk beraktifitas atau bergerak, dan

gerak itu sendiri merupakan dasar untuk olahraga. Olahraga adalah serangkaian gerak

raga yang teratur dan terencana yang dilakukan orang dengan sadar untuk meningkatkan

kemampuan fungsionalnya (Giriwijoyo, 2005: 32). Olahraga memiliki banyak sekali

manfaat bagi kehidupan manusia salah satunya seperti yang tertuang dalam UU No 3

tahun 2005 tentang sistem keolahragaan nasional yang berisi olahraga bertujuan

memelihara dan meningkatkan kesehatan dan kebugaran. Aktivitas olahraga itu sendiri

biasanya selalu diawali dengan melakukan pemanasan. Yuanita Nasution (2000: 68)

menyatakan bahwa sebelum memberikan aktivitas fisik atau penjas yang sesuai bagi

anak usia dini (6-14 tahun), sebaiknya harus mengetahui dan disesuaikan dengan

karakteristik pertumbuhan dan perkembangan anak, baik pertumbuhan fisik, maupun

mental, dan emosionalnya.

Setiap proses pembelajaran cabang olahraga baik dalam cabang senam, atletik,

maupun permainan, selalu diawali dengan pemanasan (Yudanto, 2011: 5). Hal demikian

juga di ungkapkan oleh Alter (1996: 16) yang menerangkan bahwa latihan pemanasan

4
(warm-up) merupakan salah satu bagian dasar dari program latihan permulaan

(conditioning program). Latihan pemanasan ini terdiri dari sekelompok latihan

(gerakan) yang dilakukan pada saat akan melakukan aktivitas olahraga. Dengan

melakukan aktivitas tersebut diharapkan akan memberikan penyesuaian pada kondisi

tubuh atlet dari keadaan istirahat (rileks) sebelum melakukan aktivitas olahraga menjadi

siap untuk berolahraga selain itu latihan pemanasan tersebut, diharapkan juga dapat

memperbaiki penampilan atlet serta mampu mengurangi kemungkinan terjadinya

cedera. Berdasarkan pendapat di atas maka dapat dikaji bahwa pemanasan merupakan

bentuk dari penguluran atau perengangan pada otot-otot disetiap angota badan agar

dalam setiap melakukan aktivitas fisik/olahraga terdapat kesiapan serta untuk

mengurangi dampak cedera yang sangat rentan terjadi.

Selain itu pemanasan juga memiliki manfaat lain diantaranya adalah sebagai

berikut: meningkatkan suhu tubuh beserta jaringan-jaringanya, menaikkan aliran darah

melalui otot-otot yang aktif, meningkatkan detak jantung sehingga akan dapat

mempersiapkan bekerjanya sistem cardiovascular, meningkatkan tingkat energi yang

dikeluarkan oleh metabolisme tubuh, dan masih banyak lagi yang lainya (Alter, 1996

:16). Berdasarkan beberapa pendapat diatas, dapat dikaji bahwa pemanasan sangatlah

diutamakan dalam setiap sebelum melakukan aktivitas jasmani.

Biasanya sesuatu yang diberikan secara terus-menerus sama, akan menimbulkan

efek bosan pada pelaku (Hakim, 2004: 63). Begitu juga dengan pemanasan yang sering

diberikan guru olahraga disekolah. Jika pemanasan yang dilakukan disekolah selalu

sama dan kurang adanya kreasi dalam menyampaikannya, maka akan membuat anak

menjadi

5
cepat merasa bosan dan anak juga kurang bergairah serta tidak semangat dalam

mengikuti pembelajaran. Padahal pemanasan diawal pembelajaran itu sangat penting

dan perlu dilakukan, karena dengan melakukan pemanasan yang baik akan dapat

memberikan tubuh menjadi lebih siap dalam megikuti pembelajaran.

Kesiapan belajar merupakan salah satu item yang sangat dibutuhkan oleh siswa,

karena dengan adanya kesiapan belajar yang baik maka akan membuat proses

pembelajaran berjalan dengan baik pula. Selain itu dengan adanya kesiapan belajar yang

baik maka akan dapat memudahkan siswa untuk dapat menerima pelajaran dengan baik

pula. Hal demikian juga dijelaskan oleh Mulyani (2013: 28), yang memerangkan bahwa

siswa yang memiliki kesiapan belajar yang baik akan mendapatkan hasil belajar yang

baik pula namun sebaliknya siswa yang memiliki kesiapan belajar yang rendah, akan

mendapatkan hasil belajar yang rendah juga. Indriastuti (2017: 39) dalam jurnalnya juga

menjelaskan bahwa siswa yang dalam setiap proses pembelajaran memiliki kesiapan

yang bagus maka akan berdampak positif pada hasil belajarnya, sebaliknya jika siswa

memiliki kesiapan belajar yang jelek maka akan berdampak negatif pula pada hasil

belajarnya.

Kesiapan belajar memang menjadi salah satu pokok paling penting dalam setiap

proses pembelajaran. Dengan kesiapan belajar yang cukup maka siswa juga akan mudah

dalam menerima dan menyerap materi yang diberikan oleh guru, selain itu juga akan

dapat memberikan respon yang baik dari siswa kepada guru. Misalnya jika guru

bertanya kepada salah seorang siswa yang memiliki kesiapan yang baik, maka jawaban

dari siswa tersebut pasti akan sesuai dan nyambung dengan pertanyaan yang diberikan,

akan tetapi akan berbeda cerita jika siswa yang diberi pertanyaan kurang siap, loyo,

6
dan kurang

7
semangat dalam mengikuti pelajaran, pasti jika diberi pertanyaan jawabannya akan asal

dan tidak sesuai dengan konteks yang diinginkan oleh guru yang memberi pertanyaan.

Hal di atas juga selaras dengan pendapat yang dikemukakan oleh Slameto (2010:

54) yang menjelasakan bahwa ada dua faktor penentu keberhasilan dalam sebuah

pembelajaran yaitu faktor intern dan faktor eksteren. Faktor intern merupakan faktor

yang berasal dari dalam individu yang dibagi kedalam 3 aspek yaitu: faktor jasmaniah

(meliputi faktor kesehatan dan faktor cacat tubuh), faktor psikologis (meliputi

intelegensi, perhatian, minat bakat, motif, kematangan, dan kesiapan), dan terakhir

faktor kelelahan baik jasmani maupun rohani. Kemudian faktor ekstern adalah faktor

yang berasal dari luar diri siswa bisa dari lingkungan, keluarga, sekolah, dan

masyarakat. Rohmantin (2016: 2) juga menjelaskan bahwa kesiapan belajar merupakan

sebuah kondisi yang harus disiapkan sebelum memulai kegiatan pembelajaran. Terlebih

untuk anak yang berkebutuhan kesiapan mutlak dibutuhkan demi mencapai prestasi

belajar mereka.

Hal demikian juga dijelaskan oleh Nasution (2008: 179), beliau menjelaskan

bahwa kesiapan dalam sebuah pembelajaran adalah ibarat pondasi dalam sebuah

bangunan, kalau pondasi itu baik dan bagus maka kwalitas bangunan yang berdiri

diatasnya juga akan baik dan bagus pula, namun jika pondasi itu jelek maka kwalitas

bangunan tersebut juga akan berbanding sama. kesiapan disini diibaratkan sebagai

pondasi bangunan, dan hasil belajar diibaratkan sebagai gedung yang berdiri di

atasbangunan tersebut, jika kesiapan belajar diawalnya bagus maka hasil belajarnya

juga akan bagus pula, namun jika kesiapan belajarnya jelek maka hasil belajarnya juga

akan jelek atau tidak bisa maksimal. Kesiapan dalam penjas adalah pemanasan diawal

8
pembelajaran, jika pemanasannya bagus maka hasil belajar penjasnya juga akan bagus,

begitu juga sebaliknya. Dengan demikian dapat dikaji bahwa kesiapan belajar

memanglah sangat penting dan perlu dimiliki oleh setiap siswa karena jika kesiapan

tidak ada maka akan memberikan dampak negatif yaitu tidak dapat tercapainya tujuan

pembelajaran dengan baik dan selain itu juga interaksi antara guru dengan siswa tidak

bisa disampaikan dengan baik pula.

Hal demikian juga yang dialami oleh anak-anak tunanetra di SLB jurusan A.

Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan oleh peneliti kepada tiga orang guru di

tiga SLB yang ada di wilayah DIY, yaitu di SLB Yaketunis, SLBN 1 Sleman, dan

SLBN 1 Wates Kulon Progo, Pada bulan Maret 2019. Ada beberapa problem yang biasa

dialami oleh siswa tunanetra pada saat pembelajaran penjas. Salah satunya adalah

terdapat beberapa siswa yang kurang bergairah dan tidak semangat dalam mengikuti

pembelajaran, bahkan terkadang ada beberapa juga yang enggan dalam mengikuti

pembelajaran. Hal demikian itu membuat mereka kurang siap, sehingga pembelajaran

tidak dapat disampaikan dengan baik. Setelah peneliti mencoba mencari informasi dari

guru yang bersangkutan, barulah ditemukan kemungkinan penyebab dari masalah di

atas. Ternyata sikap kurang bergairah, tidak semangat, dan enggan belajarnya siswa itu

dikarenakan guru yang dalam memberikan pemanasan cenderung selalu sama, bahkan

pernah juga tidak diberikan pemanasan sama sekali kepada mereka, jadi langsung

masuk pada inti pembelajaran.

Hal demikian dapat terjadi karena kondisi dari anak yang tidak memungkinkan,

menjadikan guru harus berhati-hati dalam memberikan pemanasan yang tepat. Selain itu

9
pada anak tunanetra juga harus mengunakan audio yang lebih banyak, karena jika guru

mengunakan metode praktik didepan kelas penglihatan mereka tidak dapat difungsikan

dengan baik sehingga dengan begitu media yang paling memungkinkan bisa digunakan

yaitu adalah audionya, ditambah lagi masih ada guru yang berlatar belakang bukan dari

penjas melainkan dari kelas, jadi hal ini menjadikan guru harus berfikir dua kali dalam

memberikan pemanasan yang lebih kepada anak (siswa tunanetra). Bentuk-bentuk

pemanasan lain yang biasa diberikan kepada siswa tunanetra di SLB, biasanya seperti:

berjalan mengelilingi lapangan dengan berbaris dan tangan memegang pundak teman

yang ada di depanya, berlari kecil mengelilingi lapangan dengan bantuan guru, dan

bernyanyi sambil bertepuk tangan.

Padahal jika melihat latar belakang dari cerita di atas yang menerangkan bahwa,

pemanasan itu penting karena dengan adanya pemanasan akan dapat menjadikan anak

menjadi lebih siap, baik secara fisik maupun psikis atau bisa juga dikatakan dengan

adanya pemanasan akan menjadikan anak memiliki kesiapan belajar yang lebih baik

daripada anak yang tidak diberikan pemanasan sama sekali. Namun pada kenyataannya

masih ada beberapa guru disekolah-sekolah luarbiasa, terkhusus jurusan A (jurusan

tunanetra) yang tidak memberikan pemanasan kepada siswa dengan berbagai dalih dan

alasan tertentu, dengan begitu berdasarkan cerita di atas dapat dianalisis bahwa masih

banyak siswa tunanetra yang belum atau tidak memiliki kesiapan belajar yang baik itu

kemungkinan dikarenakan guru yang tidak memberikan pemanasan dengan baik kepada

siswanya.

10
Berdasarkan latar belakang di atas membuat penulis menjadi tertarik untuk

mencoba mengali dan memecahkan masalah di atas lebih dalam lagi, selain gerak lagu

itu sendiri belum banyak diteliti dan belum pernah diterapkan pada sekolah yang

bersangkutan, model gerak lagu ini juga dapat memberikan kesenangan dan juga

kenyamanan pada anak, karena biasanya anak-anak tunanetra itu senang dengan yang

namanya lagu, dengan begitu harapanya dengan cara memberikan eksperimen berupa

pengaruh pemanasan gerak lagu, pemanasan umum, dan keseimbangan terhadap

kesiapan belajar penjas pada siswa tunanetra di SLB yang ada di wilayah DIY, dapat

memecahkan masalah diatatas. Sebenarnya penelitian ini adalah lanjutan dari penelitian

penulis pada saat S1 dulu, dengan berdasar latar belakang yang hampir sama penulis

mencoba memberikan solusi dengan menciptakan model pemanasan gerak lagu yang

menarik bagi siswa, agar siswa menjadi lebih semangat dalam mengikuti pembelajaran

penjas di sekolah. Model pemanasan gerak lagu itu sendiri dulu sudah diuji cobakan

pada sekala kecil di SLBN 1 Bantul, dengan hasil sebagai berikut; hasil uji kelayakan

yang diperoleh dari beberapa penguji, mulai dari ahli materi dengan skor rata-rata: (4,2)

dengan kategori sangat baik, dari ahli media dengan skor rata-rata: (4,75) dengan

kategori sangat baik, dari praktisi dengan skor rata-rata: (4,0) dengan kategori baik, dan

dari uji lapangan mendapatkan skor rata-rata: (4,24) dengan kategori sangat baik.

Berdasarkan latar belakang di atas, maka pada penelitian kali ini, penulis akan

mencoba menkolaborasikan dengan model eksperimen 2 x 2, dan satu variabel moderat

yaitu keseimbangan yang nantinya akan dijadikan sebagai atribut untuk membagi kelas

keseimbangannya. Berdasarkan dasar pemikiran di atas berikut judul penelitian

11
eksperimen yang diambil yaitu: “Pengaruh Pemanasan Gerak Lagu, Pemanasan Umum,

dan Keseimbangan Terhadap Kesiapan Belajar Pada Siswa Tunanetra di SLB yang ada

di Wilayah DIY”.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka dapat diidentifikasi masalah-

masalah sebagai berikut:

1. Pemanasan yang biasa diberikan oleh guru penjas di SLB, membuat siswa bosan

dan kurang semangat mengikuti pelajaran berikutnya.

2. Guru pernah, tidak memberikan pemanasan kepada siswa pada saat pembelajaran

penjas.

3. Masih ada guru penjas di SLB, yang tidak berasal dari jurusan olahraga sehingga

pengetahuan mereka tentang penjas dan bentuk-bentuk dari pemanasan kurang.

4. Siswa kurang bergairah dalam mengikuti pembelajaran penjas disekolah.

5. Siswa kurang siap dalam mengikuti pembelajaran penjas di sekolah.

C. Batasan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah dan identifikasi masalah yang telah

dijelaskan, maka perlu adanya batasan masalah untuk membatasi permasalahan yang

timbul saat melakukan penelitian. Ruang lingkup batasan masalah pada penelitian ini

adalah :

1. Penelitian ini di tujukan untuk anak-anak berkebutuhan khusus jurusan A (anak

tunanetra).

12
2. Penelitian dilakukan untuk mengetahui pengaruh dari pemanasan gerak lagu,

pemanasan umum, dan keseimbangan terhadap kesiapan belajar penjas pada siswa

tunanetra di SLB yang ada di wilayah DIY.

D. Rumusan Masalah

Setelah melalui pembatasan masalah, maka dapat diuraikan rumusan masalah

sebagai berikut :

1. Adakah pengaruh pemanasan gerak lagu, terhadap kesiapan belajar penjas pada

siswa tunanetra di SLB yang ada di wilayah DIY.

2. Adakah pengaruh pemanasan umum, terhadap kesiapan belajar penjas pada siswa

tunanetra di SLB yang ada di wilayah DIY.

3. Apakah terdapat interaksi antara jenis pemanasan dan keseimbangan, terhadap

kesiapan belajar penjas pada siswa tunanetra di SLB yang ada di wilayah DIY.

4. Adakah pengaruh pemanasan gerak lagu dan pemanasan umum terhadap kesiapan

belajar penjas pada siswa tunanetra di SLB yang ada di wilayah DIY.

E. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Memperoleh informasi tentang pengaruh pemanasan gerak lagu, terhadap kesiapan

belajar penjas pada siswa tunanetra di SLB yang ada di wilayah DIY.

2. Memperoleh informasi tentang pengaruh pemanasan umum, terhadap kesiapan

belajar penjas pada siswa tunanetra di SLB yang ada di wilayah DIY.

13
3. Memperoleh informasi tentang interaksi antara jenis pemanasan dan keseimbangan,

terhadap kesiapan belajar penjas pada siswa tunanetra di SLB yang ada di wilayah

DIY.

4. Memperoleh informasi tentang pengaruh pemanasan gerak lagu, pemanasan umum,

dan keseimbangan, terhadap kesiapan belajar penjas pada siswa tunanetra di SLB

yang ada di wilayah DIY.

F. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitian ini adalah :

1. Bagi Peneliti

Penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan wawasan pengetahuan, serta

kemampuan dalam menerapkan teori-teori yang telah didapatkan selama

perkuliahan.

2. Bagi Sekolah

Hasil penelitian ini diharapkan dapat dipergunakan sebagai metode pemanasan

pada siswa tunanetra disekolah, sehingga proses belajar mengajar pada mata

pelajaran penjas adaptif lebih semangat dan menyenangkan.

3. Bagi Guru

a. Penelitian ini diharapkan dapat memacu kreativitas guru dalam memodifikasi

pemanasan, dalam pembelajaran penjas adaptif disekolah.

b. Sebagai media pembelajaran.

14

Anda mungkin juga menyukai