PENDAHULUA
N
kemampuan (difabel) seperti yang tertuang pada UUD 1945 pasal 31 ayat 1, yang
tersebut lebih diperjelas lagi dalam UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem pendidikan
Nasional pada pasal 5 ayat 2, dan pasal 33 ayat 1 yang menyatakan bahwa “Setiap
warga Negara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, dan sosial berhak
Pendidikan jasmani merupakan bagian integral yang tidak bisa dipisahkan dari
sosial, penalaran, stabilitas emosional, tindakan moral, aspek pola hidup sehat, dan
sistematis dalam rangka mencapai tujuan pendidikan nasional (Depdikbud, 2013: 4).
aktivitas fisik untuk menghasilkan perubahan dalam kualitas individu, baik dalam hal
1
Pelaksanaan orientasi pendidikan jasmani harus disesuaikan dengan dengan
perkembangan anak, baik dari segi isi dan uraian materi serta cara penyampaian juga
seutuhnya. Konsep dasar pendidikan jasmani dan model pengajaran pendidikan jasmani
yang efektif perlu dipahami oleh mereka yang akan mengajar pendidikan jasmani.
Salah satu bentuk program pendidikan jasmani yang sesuai dengan anak
melalui aktivitas gerak untuk laju pertumbuhan dan perkembangan baik fisik maupun
kesegaran jasmani, sosial, kultural, emosional, dan rasa keindahan demi tercapainya
Pendidikan jasmani adaptif memiliki peran dan makna yang sangat berharga
bagi anak dengan kebutuhan khusus memulai pola gerak tertentu yang memungkinkan
2
optimalisasi
3
gerakan tubuh sesuai dengan fungsi setiap anggota tubuh, sehingga perkembangan
kognisi dan sosial anak dapat berkembang secara menyeluruh dan seimbang. Dengan
adanya pendidikan jasmani adaptif di sekolah-sekolah luar biasa terutama pada anak
tunanetra, maka anak dapat berkreasi dan berprestasi dan tujuan dari olahraga nasional
dapat tercapai.
Manusia adalah mahluk yang hidupnya tidak pernah lepas dari proses bergerak
mulai dari tingkatan mikroskopik atau gerak yang terjadi pada tingkatan intra sel sampai
aktual yang setiap hari dilakukan oleh manusia untuk beraktifitas atau bergerak, dan
gerak itu sendiri merupakan dasar untuk olahraga. Olahraga adalah serangkaian gerak
raga yang teratur dan terencana yang dilakukan orang dengan sadar untuk meningkatkan
manfaat bagi kehidupan manusia salah satunya seperti yang tertuang dalam UU No 3
tahun 2005 tentang sistem keolahragaan nasional yang berisi olahraga bertujuan
memelihara dan meningkatkan kesehatan dan kebugaran. Aktivitas olahraga itu sendiri
biasanya selalu diawali dengan melakukan pemanasan. Yuanita Nasution (2000: 68)
menyatakan bahwa sebelum memberikan aktivitas fisik atau penjas yang sesuai bagi
anak usia dini (6-14 tahun), sebaiknya harus mengetahui dan disesuaikan dengan
Setiap proses pembelajaran cabang olahraga baik dalam cabang senam, atletik,
maupun permainan, selalu diawali dengan pemanasan (Yudanto, 2011: 5). Hal demikian
juga di ungkapkan oleh Alter (1996: 16) yang menerangkan bahwa latihan pemanasan
4
(warm-up) merupakan salah satu bagian dasar dari program latihan permulaan
(gerakan) yang dilakukan pada saat akan melakukan aktivitas olahraga. Dengan
tubuh atlet dari keadaan istirahat (rileks) sebelum melakukan aktivitas olahraga menjadi
siap untuk berolahraga selain itu latihan pemanasan tersebut, diharapkan juga dapat
cedera. Berdasarkan pendapat di atas maka dapat dikaji bahwa pemanasan merupakan
bentuk dari penguluran atau perengangan pada otot-otot disetiap angota badan agar
Selain itu pemanasan juga memiliki manfaat lain diantaranya adalah sebagai
melalui otot-otot yang aktif, meningkatkan detak jantung sehingga akan dapat
dikeluarkan oleh metabolisme tubuh, dan masih banyak lagi yang lainya (Alter, 1996
:16). Berdasarkan beberapa pendapat diatas, dapat dikaji bahwa pemanasan sangatlah
efek bosan pada pelaku (Hakim, 2004: 63). Begitu juga dengan pemanasan yang sering
diberikan guru olahraga disekolah. Jika pemanasan yang dilakukan disekolah selalu
sama dan kurang adanya kreasi dalam menyampaikannya, maka akan membuat anak
menjadi
5
cepat merasa bosan dan anak juga kurang bergairah serta tidak semangat dalam
dan perlu dilakukan, karena dengan melakukan pemanasan yang baik akan dapat
Kesiapan belajar merupakan salah satu item yang sangat dibutuhkan oleh siswa,
karena dengan adanya kesiapan belajar yang baik maka akan membuat proses
pembelajaran berjalan dengan baik pula. Selain itu dengan adanya kesiapan belajar yang
baik maka akan dapat memudahkan siswa untuk dapat menerima pelajaran dengan baik
pula. Hal demikian juga dijelaskan oleh Mulyani (2013: 28), yang memerangkan bahwa
siswa yang memiliki kesiapan belajar yang baik akan mendapatkan hasil belajar yang
baik pula namun sebaliknya siswa yang memiliki kesiapan belajar yang rendah, akan
mendapatkan hasil belajar yang rendah juga. Indriastuti (2017: 39) dalam jurnalnya juga
menjelaskan bahwa siswa yang dalam setiap proses pembelajaran memiliki kesiapan
yang bagus maka akan berdampak positif pada hasil belajarnya, sebaliknya jika siswa
memiliki kesiapan belajar yang jelek maka akan berdampak negatif pula pada hasil
belajarnya.
Kesiapan belajar memang menjadi salah satu pokok paling penting dalam setiap
proses pembelajaran. Dengan kesiapan belajar yang cukup maka siswa juga akan mudah
dalam menerima dan menyerap materi yang diberikan oleh guru, selain itu juga akan
dapat memberikan respon yang baik dari siswa kepada guru. Misalnya jika guru
bertanya kepada salah seorang siswa yang memiliki kesiapan yang baik, maka jawaban
dari siswa tersebut pasti akan sesuai dan nyambung dengan pertanyaan yang diberikan,
akan tetapi akan berbeda cerita jika siswa yang diberi pertanyaan kurang siap, loyo,
6
dan kurang
7
semangat dalam mengikuti pelajaran, pasti jika diberi pertanyaan jawabannya akan asal
dan tidak sesuai dengan konteks yang diinginkan oleh guru yang memberi pertanyaan.
Hal di atas juga selaras dengan pendapat yang dikemukakan oleh Slameto (2010:
54) yang menjelasakan bahwa ada dua faktor penentu keberhasilan dalam sebuah
pembelajaran yaitu faktor intern dan faktor eksteren. Faktor intern merupakan faktor
yang berasal dari dalam individu yang dibagi kedalam 3 aspek yaitu: faktor jasmaniah
(meliputi faktor kesehatan dan faktor cacat tubuh), faktor psikologis (meliputi
intelegensi, perhatian, minat bakat, motif, kematangan, dan kesiapan), dan terakhir
faktor kelelahan baik jasmani maupun rohani. Kemudian faktor ekstern adalah faktor
yang berasal dari luar diri siswa bisa dari lingkungan, keluarga, sekolah, dan
sebuah kondisi yang harus disiapkan sebelum memulai kegiatan pembelajaran. Terlebih
untuk anak yang berkebutuhan kesiapan mutlak dibutuhkan demi mencapai prestasi
belajar mereka.
Hal demikian juga dijelaskan oleh Nasution (2008: 179), beliau menjelaskan
bahwa kesiapan dalam sebuah pembelajaran adalah ibarat pondasi dalam sebuah
bangunan, kalau pondasi itu baik dan bagus maka kwalitas bangunan yang berdiri
diatasnya juga akan baik dan bagus pula, namun jika pondasi itu jelek maka kwalitas
bangunan tersebut juga akan berbanding sama. kesiapan disini diibaratkan sebagai
pondasi bangunan, dan hasil belajar diibaratkan sebagai gedung yang berdiri di
atasbangunan tersebut, jika kesiapan belajar diawalnya bagus maka hasil belajarnya
juga akan bagus pula, namun jika kesiapan belajarnya jelek maka hasil belajarnya juga
akan jelek atau tidak bisa maksimal. Kesiapan dalam penjas adalah pemanasan diawal
8
pembelajaran, jika pemanasannya bagus maka hasil belajar penjasnya juga akan bagus,
begitu juga sebaliknya. Dengan demikian dapat dikaji bahwa kesiapan belajar
memanglah sangat penting dan perlu dimiliki oleh setiap siswa karena jika kesiapan
tidak ada maka akan memberikan dampak negatif yaitu tidak dapat tercapainya tujuan
pembelajaran dengan baik dan selain itu juga interaksi antara guru dengan siswa tidak
Hal demikian juga yang dialami oleh anak-anak tunanetra di SLB jurusan A.
Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan oleh peneliti kepada tiga orang guru di
tiga SLB yang ada di wilayah DIY, yaitu di SLB Yaketunis, SLBN 1 Sleman, dan
SLBN 1 Wates Kulon Progo, Pada bulan Maret 2019. Ada beberapa problem yang biasa
dialami oleh siswa tunanetra pada saat pembelajaran penjas. Salah satunya adalah
terdapat beberapa siswa yang kurang bergairah dan tidak semangat dalam mengikuti
pembelajaran, bahkan terkadang ada beberapa juga yang enggan dalam mengikuti
pembelajaran. Hal demikian itu membuat mereka kurang siap, sehingga pembelajaran
tidak dapat disampaikan dengan baik. Setelah peneliti mencoba mencari informasi dari
atas. Ternyata sikap kurang bergairah, tidak semangat, dan enggan belajarnya siswa itu
dikarenakan guru yang dalam memberikan pemanasan cenderung selalu sama, bahkan
pernah juga tidak diberikan pemanasan sama sekali kepada mereka, jadi langsung
Hal demikian dapat terjadi karena kondisi dari anak yang tidak memungkinkan,
menjadikan guru harus berhati-hati dalam memberikan pemanasan yang tepat. Selain itu
9
pada anak tunanetra juga harus mengunakan audio yang lebih banyak, karena jika guru
mengunakan metode praktik didepan kelas penglihatan mereka tidak dapat difungsikan
dengan baik sehingga dengan begitu media yang paling memungkinkan bisa digunakan
yaitu adalah audionya, ditambah lagi masih ada guru yang berlatar belakang bukan dari
penjas melainkan dari kelas, jadi hal ini menjadikan guru harus berfikir dua kali dalam
pemanasan lain yang biasa diberikan kepada siswa tunanetra di SLB, biasanya seperti:
berjalan mengelilingi lapangan dengan berbaris dan tangan memegang pundak teman
yang ada di depanya, berlari kecil mengelilingi lapangan dengan bantuan guru, dan
Padahal jika melihat latar belakang dari cerita di atas yang menerangkan bahwa,
pemanasan itu penting karena dengan adanya pemanasan akan dapat menjadikan anak
menjadi lebih siap, baik secara fisik maupun psikis atau bisa juga dikatakan dengan
adanya pemanasan akan menjadikan anak memiliki kesiapan belajar yang lebih baik
daripada anak yang tidak diberikan pemanasan sama sekali. Namun pada kenyataannya
tunanetra) yang tidak memberikan pemanasan kepada siswa dengan berbagai dalih dan
alasan tertentu, dengan begitu berdasarkan cerita di atas dapat dianalisis bahwa masih
banyak siswa tunanetra yang belum atau tidak memiliki kesiapan belajar yang baik itu
kemungkinan dikarenakan guru yang tidak memberikan pemanasan dengan baik kepada
siswanya.
10
Berdasarkan latar belakang di atas membuat penulis menjadi tertarik untuk
mencoba mengali dan memecahkan masalah di atas lebih dalam lagi, selain gerak lagu
itu sendiri belum banyak diteliti dan belum pernah diterapkan pada sekolah yang
bersangkutan, model gerak lagu ini juga dapat memberikan kesenangan dan juga
kenyamanan pada anak, karena biasanya anak-anak tunanetra itu senang dengan yang
namanya lagu, dengan begitu harapanya dengan cara memberikan eksperimen berupa
kesiapan belajar penjas pada siswa tunanetra di SLB yang ada di wilayah DIY, dapat
memecahkan masalah diatatas. Sebenarnya penelitian ini adalah lanjutan dari penelitian
penulis pada saat S1 dulu, dengan berdasar latar belakang yang hampir sama penulis
mencoba memberikan solusi dengan menciptakan model pemanasan gerak lagu yang
menarik bagi siswa, agar siswa menjadi lebih semangat dalam mengikuti pembelajaran
penjas di sekolah. Model pemanasan gerak lagu itu sendiri dulu sudah diuji cobakan
pada sekala kecil di SLBN 1 Bantul, dengan hasil sebagai berikut; hasil uji kelayakan
yang diperoleh dari beberapa penguji, mulai dari ahli materi dengan skor rata-rata: (4,2)
dengan kategori sangat baik, dari ahli media dengan skor rata-rata: (4,75) dengan
kategori sangat baik, dari praktisi dengan skor rata-rata: (4,0) dengan kategori baik, dan
dari uji lapangan mendapatkan skor rata-rata: (4,24) dengan kategori sangat baik.
Berdasarkan latar belakang di atas, maka pada penelitian kali ini, penulis akan
yaitu keseimbangan yang nantinya akan dijadikan sebagai atribut untuk membagi kelas
11
eksperimen yang diambil yaitu: “Pengaruh Pemanasan Gerak Lagu, Pemanasan Umum,
dan Keseimbangan Terhadap Kesiapan Belajar Pada Siswa Tunanetra di SLB yang ada
di Wilayah DIY”.
B. Identifikasi Masalah
1. Pemanasan yang biasa diberikan oleh guru penjas di SLB, membuat siswa bosan
2. Guru pernah, tidak memberikan pemanasan kepada siswa pada saat pembelajaran
penjas.
3. Masih ada guru penjas di SLB, yang tidak berasal dari jurusan olahraga sehingga
C. Batasan Masalah
dijelaskan, maka perlu adanya batasan masalah untuk membatasi permasalahan yang
timbul saat melakukan penelitian. Ruang lingkup batasan masalah pada penelitian ini
adalah :
tunanetra).
12
2. Penelitian dilakukan untuk mengetahui pengaruh dari pemanasan gerak lagu,
pemanasan umum, dan keseimbangan terhadap kesiapan belajar penjas pada siswa
D. Rumusan Masalah
sebagai berikut :
1. Adakah pengaruh pemanasan gerak lagu, terhadap kesiapan belajar penjas pada
2. Adakah pengaruh pemanasan umum, terhadap kesiapan belajar penjas pada siswa
kesiapan belajar penjas pada siswa tunanetra di SLB yang ada di wilayah DIY.
4. Adakah pengaruh pemanasan gerak lagu dan pemanasan umum terhadap kesiapan
belajar penjas pada siswa tunanetra di SLB yang ada di wilayah DIY.
E. Tujuan Penelitian
belajar penjas pada siswa tunanetra di SLB yang ada di wilayah DIY.
belajar penjas pada siswa tunanetra di SLB yang ada di wilayah DIY.
13
3. Memperoleh informasi tentang interaksi antara jenis pemanasan dan keseimbangan,
terhadap kesiapan belajar penjas pada siswa tunanetra di SLB yang ada di wilayah
DIY.
dan keseimbangan, terhadap kesiapan belajar penjas pada siswa tunanetra di SLB
F. Manfaat Penelitian
1. Bagi Peneliti
perkuliahan.
2. Bagi Sekolah
pada siswa tunanetra disekolah, sehingga proses belajar mengajar pada mata
3. Bagi Guru
14