Anda di halaman 1dari 69

ANALISIS PELAKSANAAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN

RHEUMATIC HEART DISEASE (RHD) DAN POST SECTIO CAESAREA


DENGAN INTERVENSI INOVASI RELAKSASI NAFAS DALAM
TERHADAP PENURUNAN AMBANG NYERI DI RUANG ICU
RSUD TAMAN HUSADA KOTA BONTANG
TAHUN 2016

KARYA ILMIAH AKHIR NERS

DISUSUN OLEH:

NASRIYANI, S.Kep
NIM 14.11.308250.134

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN MUHAMMADIYAH
SAMARINDA
2016
LEMBAR PERSETUJUAN

ANALISIS PELAKSANAAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN


RHEUMATIC HEART DISEASE (RHD) DAN POST SECTIO CAESAREA
DENGAN INTERVENSI INOVASI RELAKSASI NAFAS DALAM
TERHADAP PENURUNAN AMBANG NYERI DI RUANG ICU
RSUD TAMAN HUSADA KOTA BONTANG
TAHUN 2016

KARYA ILMIAH AKHIR NERS

DISUSUN OLEH:

Nasriyani, S.Kep
NIM 14.11.308250.134

Disetujui untuk diujikan


Pada tanggal 20 Pebruari 2016
Pembimbing I

Moch. Dadang Suharno, S.Kep, Ns.


NIP 19811126 200903 1 003

Mengetahui,
Koordinator Mata Kuliah Elektif

Ns. Siti Khoiroh Muflihatin,M.Kep


NIDN 1115017703
LEMBAR PENGESAHAN
ANALISIS PELAKSANAAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN
RHEUMATIC HEART DISEASE (RHD) DAN POST SECTIO CAESAREA
DENGAN INTERVENSI INOVASI RELAKSASI NAFAS DALAM
TERHADAP PENURUNAN AMBANG NYERI DI RUANG ICU
RSUD TAMAN HUSADA KOTA BONTANG
TAHUN 2016

KARYA ILMIAH AKHIR NERS

DISUSUN OLEH:

Nasriyani, S.Kep
NIM 14.11.308250.134

Diseminarkan dan diujikan


Pada tanggal 20 Pebruari 2016

Penguji I Penguji II

Ns. Siti Khoiroh Muflihatin,M.Kep Moch. Dadang Suharno, S.Kep., Ns.


NIDN 1115017703 NIP 19811126 200903 1 003

Mengetahui,
Ketua
Program Studi S1 Keperawatan

Ns. Siti Khoiroh Muflihatin,M.Kep


NIDN 1115017703
Analisis Pelaksanaan Asuhan Keperawatan pada Pasien Rheumatic Heart
Disease (RHD) dan Post Sectio Caesarea dengan Intervensi Inovasi Relaksasi
Nafas dalam terhadap Penurunan Ambang Nyeri di Ruang ICU RSUD
Taman Husada Kota Bontang
Tahun 2016

Nasriyani1,Siti Khoiroh Muflihatin2, Moch. Dadang Suharno 3

INTISARI

Rheumatic Heart Disease (RHD) atau penyakit jantung rematik menurut WHO
tahun 2001 adalah cacat jantung akibat karditis rematik. Menurut Afif (2008)
RHD adalah penyakit jantung sebagai akibat adanya gejala sisa (sekuele) dari
demam rematik, yang ditandai dengan terjadinya cacat katup jantung dengan satu
atau lebih gejala mayor yaitu poliartritis migrans akut, karditis, korea, nodul
subkutan dan eritema marginatum. Karya Ilmiah Akhir bertujuan untuk
menganalisa intervensi intervensi relaksasi nafas dalam yang diterapkan secara
kontinyu pada pasien kelolaan dengan Rheumatic Heart Disease (RHD) dan post
Sectio Caesarea di ruang ICU RSUD Taman Husada Kota Bontang. Hasil analisa
menunjukkan bahwa intervensi inovasi relaksasi nafas dalam yang diterapkan
secara kontinyu efektif terhadap penurunan keluhan nyeri dimana pada hari
pertama pasien masih mengeluh nyeri dengan skala 7, menurun pada hari kedua
skala 6 dan hari ketiga skala 4. Perawat ruangan diharapkan dapat menerapkan
pemberian intervensi ini.

Kata kunci: RHD, nyeri, relaksasi nafas dalam

1
Mahasiswa Program Profesi Ners STIKES Muhammadiyah Samarinda
2
RSUD Taman Husada Bontang
Analysis of Nursing in Rheumatic Heart Disease (RHD) Patients and Post
Sectio Caesarea with Innovation Intervention Breath of Relaxation in to
Decrease the Pain Threshold in the ICU Hospital Taman
Husada of Bontang 2016

Nasriyani1,Siti Khoiroh Muflihatin2, Moch. Dadang Suharno 3

ABSTRACT

Rheumatic Heart Disease (RHD) according to WHO 2001 is a heart defect due to
rheumatic carditis. RHD is heart disease as a result of residual symptoms
(sequelae) of rheumatic fever, which is characterized by the occurrence of heart
valve defects with one or more major symptoms are acute migratory polyarthritis,
carditis, korea, subcutaneous nodules and erythema marginatum. Final Scientific
intervention aims to analyze the breath of relaxation intervention intervention in
applied continuously in patients managed with RHD and post Sectio Caesarea in
the ICU Hospital Taman Husada of Bontang. The analysis shows that deep
breathing relaxation innovation interventions are applied continuously effective to
decrease pain where on the first day the patient still complains of pain with a scale
of 7, decreased in the second day with a scale of 6 and third day with a scale of 4.
Room nurses are expected to apply the provision of this intervention.

Keywords: RHD, pain, breath of relaxation

1
Undergaduate students of nursing STIKES Muhammadiyah Samarinda
2
STIKES Muhammadiyah Samarinda
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Jantung meskipun hanya sebesar kepalan tangan, adalah otot terkuat

dalam tubuh manusia. Bila terdapat gangguan atau kerusakan pada jantung

akan dapat mengakibatkan gangguan pada seluruh sistem seperti gangguan

vaskularisasi darah, pemenuhan kebutuhan oksigen dan metabolisme tubuh

yang akan berdampak sistemik (Muttaqin, 2009).

Secara global, penyakit kardiovaskular menduduki peringkat pertama

penyebab kematian. World Health Organisation (WHO) dalam The top 10

causes of death, pada tahun 2008 sejumlah 7,2juta jiwa atau 12,8% meninggal

karena penyakit jantung koroner. Penyakit jantung koroner secara klinis

termasuk silent ischaemia, angina pektoris stabil, angina pektoris tidak stabil,

infark miokard, gagal jantung, dan kematian. Sekitar 80% dari kematian

tersebut, terjadi di negara berpenghasilan rendah-menengah (WHO, 2011).

Indonesia masuk ke dalam kategori negara berpenghasilan menengah.

Berdasarkan Profil Kesehatan Indonesia 2008, penyebab kematian di

Indonesia dalam 12 tahun terakhir menunjukkan peningkatan proporsi

kematian disebabkan oleh penyakit tidak menular, dari 42% menjadi 60%.

Stroke, hipertensi, penyakit jantung iskhemik dan penyakit jantung lainnya

adalah penyakit tidak menular utama penyebab kematian. Prevalensi penyakit

jantung sendiri mencapai 12,5%, yang terdiri dari penyakit jantung iskhemik,

infark miokard akut, gagal jantung, aritmia jantung, penyakit jantung reumatik
kronik, demam reumatik akut, kardiomiopati dan penyakit jantung lainnya.

Pada kasus-kasus penyakit jantung tersebut, jumlah pasien penyakit jantung

rawat inap di rumah sakit terbanyak adalah penyakit jantung iskhemik

(30,17%), dan Case Fatality Rate (CFR) tertinggi terjadi pada kasus infark

miokard akut (13,49%) (Depkes, 2009).

Rheumatic Heart Disease (RHD) atau penyakit jantung rematik

menurut WHO tahun 2001 adalah cacat jantung akibat karditis rematik.

Menurut Afif (2008) RHD adalah penyakit jantung sebagai akibat adanya

gejala sisa (sekuele) dari demam rematik, yang ditandai dengan terjadinya

cacat katup jantung. RHD adalah hasil dari demam rematik yang merupakan

suatu kondisi yang dapat terjadi 2-3 minggu setelah infeksi streptococcus beta

hemolyticus grup A pada saluran nafas bagian atas (Underwood J.C.E, 2000).

Jurnal Meador R.J. et al. (2009) mengatakan bahwa RHD eksaserbasi akut

adalah suatu sindroma klinik penyakit akibat infeksi streptococcus beta

hemolyticus grup A pada tenggorokan yang terjadi secara akut ataupun

berulang dengan satu atau lebih gejala mayor yaitu poliartritis migrans akut,

karditis, korea, nodul subkutan dan eritema marginatum.

RHD merupakan kondisi kegawatan sehingga penatalaksanaan yang

dilakukan secara tepat dan cepat merupakan kunci keberhasilan dalam

mengurangi risiko kematian. Tujuan penatalaksanaan RHD adalah untuk

memperbaiki prognosis dengan cara mencegah komplikasi dan mencegah

kematian (Majid, 2008).

Pengenalan RHD sangat penting diketahui dan dipahami oleh perawat.

Perawat perlu untuk memahami patofisiologi RHD, nyeri dada yang khas pada
RHD, analisa EKG dan hasil laboratorium sebagai kunci utama pengkajian

RHD. Perawat sebagai bagian dari tenaga kesehatan, mempunyai peran yang

sangat strategis dalam penatalaksanaan RHD tersebut. Perawat profesional

yang menguasai satu area spesifik sistem kardiovaskular sangat dibutuhkan

dalam melakukan proses keperawatan secara optimal. Penanganan pasien yang

optimal akan menghindarkan dari risiko komplikasi yang akan memperburuk

pasien dan menghindarkan dari risiko kematian. Ners harus memenuhi

kompetensi tersebut (RCN, 2012).

Setiap pasien yang menjalani perawatan jangka panjang harus

mendapatkan perawatan dari seorang Ners yang mendedikasikan dirinya

hanya kepada salah satu bagian dari keperawatan dan melakukan proses

keperawatan kepada pasien yang mengalami penyakit spesifik seperti penyakit

kardiovaskular. Ners memberikan perawatan langsung kepada pasien dan

mempunyai peranan penting dalam melakukan edukasi kepada pasien tentang

pengelolaan penyakitnya, serta mencegah dari rehospitalisasi. Ners dapat

mengetahui lebih baik dibanding dengan perawat biasa dalam mengerti

kebutuhan pasien, merancang dan mengimplementasikan proses keperawatan

spesifik, memberikan umpan balik pasien, transparan dan jujur (RCN, 2010).

Ners selain bertanggung jawab terhadap perawatan pasien, juga

bertanggung jawab dalam meningkatkan praktek keperawatan yang lebih baik

dengan melakukan edukasi dan mentoring kepada perawat lain, membuat

suatu pengetahuan yang baru untuk perawat, meningkatkan implementasi

berdasarkan riset, mengembangkan dan mengimplementasikan kebijakan dan

intervensi terkini, memberikan solusi terhadap permasalahan perawatan,


menjamin kualitas, dan mempunyai inisiatif dalam perubahan (RCN, 2010).

Untuk menjadi seorang ners, CNA (2009) mendefinisikan seorang ners adalah

seorang perawat yang teregister, telah menempuh pendidikan sarjana

keperawatan dan memiliki keahlian dalam keperawatan klinis.

Peran perawat Ners dalam manajemen RHD sangat penting. Kondisi

RHD dapat terjadi di berbagai setting perawatan pasien meliputi UGD, rawat

inap dan bahkan di rawat jalan. Oleh karena itu, kompetensi manajemen

RHD harus dikuasai bukan hanya oleh perawat UGD saja tetapi oleh seluruh

perawat rumah sakit yang kemungkinan kontak dengan pasien. Peran perawat

Ners dalam manajemen RHD diantaranya deteksi tanda dan gejala,

monitoring tanda vital, deteksi dan pencegahan perburukan, pencegahan

dan deteksi komplikasi pasca tindakan, edukasi klien dan keluarga, serta

rehabilitasi pasca tindakan. Pendekatan yang digunakan tentunya

menggunakan pendekatan proses keperawatan yaitu pengkajian, penegakkan

diagnosis keperawatan, penentuan tujuan dan outcomes, pemilihan rencana

tindakan, implementasi dan evaluasi (Hendra, 2013).

Faktor yang berhubungan dengan masalah nyeri pada pasien dengan

RHD dan post sectio caesarea adalah ketidakmampuan untuk mengatasi dan

atau minimal mengurangi nyeri yang dirasakan. Tindakan perawat Nursing

Diagnosis Handbook with NIC Interventions and NOC Outcomes menjelaskan

terapi keperawatan relaksasi nafas dalam untuk mengatasi nyeri. Nyeri akut

yang sering terjadi adalah nyeri post operasi. Kualitas, kuantitas, dan durasi

nyeri berhubungan secara alamiah dengan proses pembedahan. Beberapa

trauma, termasuk trauma pembedahan, merupakan kerusakan jaringan. Nyeri


dihasilkan dengan melepaskan substansi di bawah jaringan yang trauma

sampai pada ambang batas nyeri, ini merupakan stimulus normal yang tidak

membahayakan. Panjangnya insisi secara langsung dapat menimbulkan

sensasi nyeri yang dirasakan yang di produksi dengan melepaskan substansi.

Durasi dan luasnya pembedahan juga secara langsung menimbulkan besarnya

nyeri yang dirasakan. Insisi pembedahan yang transversal umumnya

menimbulkan nyeri yang lebih ringan daripada insisi pembedahan yang

vertikal atau diagonal, karena beberapa syaraf dan otot serta fascia sedikit

yang terpotong.

Berdasarkan uraian diatas, penulis tertarik untuk menulis Karya Ilmiah

Akhir Ners (KIA-N) dengan judul “Analisis Pelaksanaan Asuhan

Keperawatan Pada Pasien Rheumatic Heart Disease (RHD) dan post Sectio

Caesarea dengan intervensi inovasi relaksasi nafas dalam terhadap penurunan

ambang nyeri di ruang ICU RSUD Taman Husada Kota Bontang”.

1.2 Perumusan Masalah

Perumusan masalah dalam Karya Ilmiah Akhir Ners (KIA-N) ini

adalah bagaimanakah gambaran analisis pelaksanaan asuhan keperawatan

pada pasien Rheumatic Heart Disease (RHD) dan post Sectio Caesarea

dengan intervensi inovasi relaksasi nafas dalam terhadap penurunan ambang

nyeri di ruang ICU RSUD Taman Husada Kota Bontang?.

a. Tujuan Penulisan

i. Tujuan Umum

Penulisan Karya Ilmiah Akhir Ners (KIA-N) ini bertujuan

untuk menganalisis kasus kelolaan pada pasien Rheumatic Heart


Disease (RHD) dan post Sectio Caesarea dengan intervensi inovasi

relaksasi nafas dalam terhadap penurunan ambang nyeri di ruang ICU

RSUD Taman Husada Kota Bontang.

ii. Tujuan Khusus

a. Menganalisa kasus kelolaan pasien dengan Rheumatic Heart

Disease (RHD) dan post Sectio Caesarea.

b. Menganalisa intervensi relaksasi nafas dalam yang diterapkan

secara kontinyu pada pasien kelolaan dengan Rheumatic Heart

Disease (RHD) dan post Sectio Caesarea.

b. Manfaat Penulisan

i. Manfaat Bagi Pelayanan Keperawatan

a. Memberikan informasi bagi perawat khususnya Ners dalam

melakukan proses keperawatan.

b. Menambah pengetahuan perawat dalam menerapkan riset-riset

keperawatan untuk memberikan proses keperawatan berkualitas.

c. Memberikan masukan dan contoh (role model) dalam melakukan

inovasi keperawatan untuk menjamin kualitas asuhan keperawatan

yang baik dan memberikan pelayanan kesehatan yang lebih baik.

d. Memberikan rujukan bagi bidang diklat keperawatan dalam

mengembangkan kebijakan terkait dengan pengembangan

kompetensi perawat kardiovaskular.

ii. Manfaat Bagi Pengembangan Ilmu Keperawatan

a. Memperkuat dukungan dalam menerapkan model konseptual

keperawatan, memperkaya ilmu pengetahuan keperawatan,


menambah wawasan dan pengetahuan bagi perawat ners dalam

memberikan asuhan keperawatan pasien dengan gangguan sistem

kardiovaskular.

b. Memberikan rujukan bagi institusi pendidikan dalam

melaksanakan proses pembelajaran tentang asuhan keperawatan

pada pasien dengan gangguan sistem kardiovaskular.

c. Memberikan rujukan bagi institusi pendidikan dalam

melaksanakan proses pembelajaran dengan melakukan intervensi

berdasarkan riset-riset terkini.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Penyakit

2.1.1 Konsep Rheumatic Heart Disease

a. Pengertian

Pengertian Rheumatic Heart Disease (RHD) atau penyakit

jantung rematik menurut WHO tahun 2001 adalah cacat jantung

akibat karditis rematik.Menurut Afif (2008) RHD adalah penyakit

jantung sebagai akibat adanya gejala sisa (sekuele) dari demam

rematik, yang ditandai dengan terjadinya cacat katup jantung.

Definisi lain juga mengatakan bahwa RHD adalah hasil dari

demam rematik yang merupakan suatu kondisi yang dapat terjadi

2-3 minggu setelah infeksi streptococcus beta hemolyticus grup A

pada saluran nafas bagian atas (Underwood J.C.E, 2000).

Jurnal Meador R.J. et al. (2009) mengatakan bahwa RHD

eksaserbasi akut adalah suatu sindroma klinik penyakit akibat

infeksi streptococcus beta hemolyticus grup A pada tenggorokan

yang terjadi secara akut ataupun berulang dengan satu atau lebih

gejala mayor yaitu poliartritis migrans akut, karditis, korea, nodul

subkutan dan eritema marginatum.

b. Epidemiologi RHD

Berdasarkan klasifikasi RHD yakni stenosis mitral,

ditemukan perempuan lebih sering terkena daripada laki-laki


dengan perbandingan 7 banding 1 (Chandrasoma, 2006). RHD

diduga hasil dari respon autoimun, namun patogenesis yang pasti

masih belum jelas. Walaupun RHD adalah penyebab utama

kematian 100 tahun yang lalu pada orang berusia 5-20 tahun

di Amerika Serikat, insiden penyakit ini telah menurun di negara

maju, dan tingkat kematian telah menurun menjadi hanya

di atas 0% sejak tahun 1960-an. Di seluruh dunia, RHD masih

merupakan masalah kesehatan yang utama.

RHD kronis diperkirakan terjadi pada 5-30 juta anak-anak

dan orang dewasa muda, 90.000 orang meninggal karena penyakit

ini setiap tahun. Angka kematian dari penyakit ini masih 1%-

10%. Sebuah sumber daya yang komprehensif mengenai diagnosis

dan pengobatan disediakan oleh WHO (Thomas, 2008).

Dilaporkan di beberapa tempat di Amerika Serikat pada

pertengahan dan akhir tahun 1980-an telah terjadi peningkatan

insidens RHD, demikian juga pada populasi aborigin di Australia

dan New Zealand dilaporkan peningkatan penyakit ini. Tidak

semua penderita infeksi saluran nafas yang disebabkan infeksi

Streptococus Beta Hemolitik grup A menderita RHD. Sekitar 3%

dari penderita infeksi saluran nafas atas terhadap Streptococus Beta

Hemolitik grup A di barak militer pada masa epidemi yang

menderita RHD dan hanya 0,4% didapati pada anak yang tidak

diobati setelah epidemi infeksi Streptococus Beta Hemolitik grup

A pada populasi masyarakat sipil (Chakko S. et al, 2001).


Dalam laporan WHO Expert Consultation Geneva, 29

Oktober sampai 1 November 2001 yang diterbitkan tahun 2004

angka mortalitas untuk RHD 0,5 per 100.000 penduduk di negara

maju hingga 8,2 per 100.000 penduduk di negara berkembang dan

di daerah Asia Tenggara diperkirakan 7,6 per 100.000.

Diperkirakan sekitar 2000-332.000 yang meninggal diseluruh

dunia karena penyakit tersebut. Angka disabilitas pertahun (The

disability-adjusted life years (DALYs)1 lost) akibat RHD

diperkirakan sekitar 27,4 per 100.000 di negara maju hingga

173,4 per 100.000 di negara berkembang yang secara ekonomis

sangat merugikan. Data insidens RHD yang dapat dipercaya sangat

sedikit sekali. Pada beberapa negara data yang diperoleh hanya

berupa data lokal yang terdapat pada anak sekolah. Insidens per

tahunnya cenderung menurun di negara maju, tetapi di negara

berkembang tercatat berkisar antara 1 di Amerika Tengah 150

per 100.000 di China. Sayangnya dalam laporan WHO yang

diterbitkan tahun 2004 data mengenai RHD Indonesia tidak

dinyatakan (Afif, 2008).

c. Etiologi

RHD mempunyai hubungan dengan infeksi kuman

Streptococus Beta Hemolitik grup A pada saluran nafas atas dan

infeksi kuman ini pada kulit mempunyai hubungan untuk

terjadinya glomerulonefritis akut. Kuman Streptococus Beta

Hemolitik dapat dibagi atas sejumlah grup serologinya yang


didasarkan atas antigen polisakarida yang terdapat pada dinding sel

bakteri tersebut. Tercatat saat ini lebih dari 130 serotipe M yang

bertanggung jawab pada infeksi pada manusia, tetapi hanya grup A

yang mempunyai hubungan dengan etiopatogenesis RHD.

Hubungan kuman Streptococcus beta hemolitycus grup A sebagai

penyebab RHD terjadi secara tidak langsung, karena organisme

penyebab tidak dapat diperoleh dari lesi, tetapi banyak penelitian

klinis, imunologis dan epidemiologis yang membuktikan bahwa

penyakit ini mempunyai hubungan dengan infeksi Streptococcus

beta hemolitycus grup A, terutama serotipe M1, 3, 5, 6, 14, 18, 19

dan 24 (Afif. A, 2008).

Sekurang-kurangnya sepertiga penderita menolak adanya

riwayat infeksi saluran nafas karena infeksi streptokokkus

sebelumnya dan pada kultur apus tenggorokan terhadap

Streptococcus beta hemolitycus grup A sering negatif pada saat

serangan RHD. Tetapi respons antibodi terhadap produk

ekstraseluler Streptococus dapat ditunjukkan pada hampir semua

kasus RHD dan serangan akut RHD sangat berhubungan dengan

besarnya respon antibodi. Diperkirakan banyak anak yang

mengalami episode faringitis setiap tahunnya dan 15%-20%

disebabkan oleh Streptococus grup A dan 80% lainnya disebabkan

infeksi virus. Insidens infeksi Streptococcus beta hemolitycus grup

A pada tenggorokan bervariasi di antara berbagai negara dan


di daerah didalam satu negara. Insidens tertinggi didapati pada

anak usia 5 -15 tahun.

Beberapa faktor predisposisi lain yang berperan pada

penyakit ini adalah keadaan sosio ekonomi yang rendah, penduduk

yang padat, golongan etnik tertentu, faktor genetik, golongan HLA

tertentu, daerah iklim sedang, daerah tropis bercuaca lembab dan

perubahan suhu yang mendadak (Park M.K., 1996).

d. Patofisiologi

Hubungan antara infeksi infeksi Streptococcus beta

hemolitycus grup A dengan terjadinya RHD telah lama diketahui.

Demam rematik merupakan respon autoimun terhadap infeksi

Streptococcus beta hemolitycus grup A pada tenggorokan. Respons

manifestasi klinis dan derajat penyakit yang timbul ditentukan oleh

kepekaan genetic host, keganasan organisme dan lingkungan yang

kondusif. Mekanisme patogenesis yang pasti sampai saat ini tidak

diketahui, tetapi peran antigen histokompatibilitas mayor, antigen

jaringan spesifik potensial dan antibodi yang berkembang segera

setelah infeksi streptokokkus telah diteliti sebagai faktor risiko

potensial dalam patogenesis ini.

RHD terjadi akibat sesitisasi dari antigen Streptococcus

beta hemolitycus grup A di faring. Streptococcus adalah bakteri

gram positif berbentuk bulat, berdiameter 0,5-1 mikron dan

mempunyai karakteristik dapat membentuk pasangan atau rantai

selama pertumbuhannya. Streptococcus beta hemolitycus grup A


ini terdiri dari dua jenis, yaitu hemolitik dan non hemolitik. Yang

menginfeksi manusia pada umumnya jenis hemolitik. Lebih kurang

95% pasien menunjukkan peninggian titer antistreptolisin O

(ASTO), antideoksiribonukleat B (anti DNA-ase B) yang

merupakan dua jenis tes biasa dilakukan untuk infeksi kuman.

RHD merupakan manifestasi yang timbul akibat kepekaan

tubuh yang berlebihan (hipersentivitas) terhadap beberapa produk

yang dihasilkan oleh Streptococcus beta hemolitycus grup A.

Kaplan mengemukakan hipotesis tentang adanya reaksi silang

antibody terhadap Streptococcus beta hemolitycus grup A dengan

otot jantung yang mempunyai susunan antigen mirip antigen

Streptococcus beta hemolitycus grup A. Hal inilah yang

menyebabkan reaksi autoimun.

Sistem imun dalam keadaan normal dapat membedakan

antigen tubuh sendiri dari antigen asing, karena tubuh mempunyai

toleransi terhadap self antigen, tetapi pengalaman klinis

menunjukkan bahwa adakalanya timbul reaksi autoimun. Reaksi

autoimun adalah reaksi sistem imun terhadap antigen sel jaringan

sendiri. Antigen tersebut disebut autoantigen, sedang antibody

yang dibentuk disebut autoantibodi.

Reaksi autoantigen dan autoantibodi yang menimbulkan

kerusakan jaringan dan gejala-gejala klinis disebut penyakit

autoimun, sedangkan bila tidak disertai gejala klinis disebut

fenomena autoimun.
Berikut digambarkan skema patofisiologi (pathway) dari

RHD sehingga timbulnya masalah keperawatan:

Adanya infeksi kuman


Streptococcus beta hemolitycus grup A
pada saluran nafas bagian atas

artritis, karditis, khorea,


nodulus subkutan, eritema marginatum

Tubuh mengeluarkan antibodi berlebihan


namun tidak dapat membedakan antara antibodi dan antigen

Reaksi autoantigen dan autoantibodi


(respon autoimun)

Rheumatic Heart Disease (RHD)

Jantung Persendian Kulit SSP

Peradangan katup mitral


Peradangan Peradangan Gerakan volunter,
membran sinovial kulit irreguler, cepat
dan jaringan
subkutan
Peningkatan sel
retikuloendotelial,
sel plasma dan Polyartritis, Kelenjar otot,
limfosit Arthralgia Bercak merah, khorea
eritema
marginatum
Peradangan aktif
(endokarditis, miokarditis, Nyeri akut Resiko cedera
perikardium)
Kerusakan
intergritas
Jaringan parut kulit

Stenosis katup mitral


Penurunan
curah jantung

Baroreseptor:
meningkatkan
volume dan tekanan
darah

Gambar 2.1. Pathway Rheumatic Heart Disease (RHD)


e. Manifestasi Klinis

RHD Akut terdiri dari sejumlah manifestasi klinis, di

antaranya artritis, khorea, nodulus subkutan, dan eritema

marginatum. Berbagai manifestasi ini cenderung terjadi bersama-

sama dan dapat dipandang sebagai sindrom, yaitu manifestasi ini

terjadi pada pasien yang sama, pada saat yang sama atau dalam

urutan yang berdekatan. Manifestasi klinis ini dapat dibagi menjadi

manifestasi mayor dan manifestasi minor, yaitu:

1). Manifestasi Klinis Mayor

Manifestasi mayor terdiri dari artritis, karditis, khorea,

eritema marginatum, dan nodul subkutan. Artritis adalah gejala

mayor yang sering ditemukan pada RHD Akut. Munculnya

tiba-tiba dengan nyeri yang meningkat 12-24 jam yang diikuti

dengan reaksi radang.

Biasanya mengenai sendi-sendi besar seperti lutut,

pergelangan kaki, siku, dan pergelangan tangan.Sendi yang

terkena menunjukkan gejala-gejala radang seperti bengkak,

merah, panas sekitar sendi, nyeri dan terjadi gangguan fungsi


sendi. Kelainan pada tiap sendi akan menghilang sendiri tanpa

pengobatan dalam beberapa hari sampai 1 minggu dan seluruh

gejala sendi biasanya hilang dalam waktu 5 minggu, tanpa

gejala sisa apapun.

Karditis merupakan proses peradangan aktif yang

mengenai endokarditis, miokarditis, dan perikardium. Dapat

salah satu saja, seperti endokarditis, miokarditis, dan

perikarditis. Endokarditis dapat menyebabkan terjadinya

perubahan-perubahan pada daun katup yang menyebabkan

terdengarnya bising yang berubah-ubah. Ini menandakan

bahwa kelainan yang ditimbulkan pada katup belum menetap.

Miokarditis ditandai oleh adanya pembesaran jantung dan

tanda-tanda gagal jantung. Sedangkan perikarditis adalah nyeri

pada perikardial. Bila mengenai ketiga lapisan disebut

pankarditis.

Karditis ditemukan sekitar 50% pasien RHD Akut.

Gejala dini karditis adalah rasa lelah, pucat, tidak bergairah,

dan anak tampak sakit meskipun belum ada gejala-gejala

spesifik. Karditis merupakan kelainan yang paling serius pada

RHD Akut, dan dapat menyebabkan kematian selama stadium

akut penyakit. Diagnosis klinis karditis yang pasti dapat

dilakukan jika satu atau lebih tanda berikut ini dapat

ditemukan, seperti adanya perubahan sifat bunyi jantung


organik, ukuran jantung yang bertambah besar, terdapat tanda

perikarditis, dan adanya tanda gagal jantung kongestif.

Korea merupakan gangguan sistem saraf pusat yang

ditandai oleh gerakan tiba-tiba, tanpa tujuan, dan tidak teratur,

seringkali disertai kelemahan otot dan emosi yang tidak stabil.

Gerakan tanpa disadari akan ditemukan pada wajah dan

anggota-anggota gerak tubuh. Gerakan ini akan menghilang

pada saat tidur. Korea biasanya muncul setelah periode laten

yang panjang, yaitu 2-6 bulan setelah infeksi Streptokokkus

dan pada waktu seluruh manifestasi RHD lainnya mereda.

Korea ini merupakan satu-satunya manifestasi klinis yang

memilih jenis kelamin, yakni dua kali lebih sering pada anak

perempuan dibandingkan pada laki-laki.

Eritema marginatum merupakan manifestasi RHD pada

kulit, berupa bercak-bercak merah muda dengan bagian

tengahnya pucat sedangkan tepinya berbatas tegas, berbentuk

bulat atau bergelombang, tidak nyeri, dan tidak gatal.

Tempatnya dapat berpindah-pindah, di kulit dada dan bagian

dalam lengan atas atau paha, tetapi tidak pernah terdapat di

kulit muka. Eritema marginatum ini ditemukan kira-kira 5%

dari penderita RHD dan merupakan manifestasi klinis yang

paling sukar didiagnosis.

Nodul subkutan merupakan manifestasi mayor RHD

yang terletak dibawah kulit, keras, tidak terasa sakit, mudah


digerakkan, berukuran antara 3-10mm. Kulit diatasnya dapat

bergerak bebas. Biasanya terdapat di bagian ekstensor

persendian terutama sendi siku, lutut, pergelangan tangan dan

kaki. Nodul ini timbul selama 6-10 minggu setelah serangan

RHD Akut.

2). Manifestasi Klinis Minor

Manifestasi klinis minor merupakan manifestasi yang

kurang spesifik tetapi diperlukan untuk memperkuat diagnosis

RHD. Manifestasi klinis minor ini meliputi demam, atralgia,

nyeri perut, dan epistaksis.

Demam hampir selalu ada pada poliartritis rematik.

Suhunya jarang melebihi 39°C dan biasanya kembali normal

dalam waktu 2 atau 3 minggu, walau tanpa pengobatan.

Atralgia adalah nyeri sendi tanpa tanda objektif pada sendi,

seperti nyeri, merah, hangat, yang terjadi selama beberapa hari

atau minggu. Rasa sakit akan bertambah bila penderita

melakukan latihan fisik. Gejala lain adalah nyeri perut dan

epistaksis, nyeri perut membuat penderita kelihatan pucat dan

epistaksis berulang merupakan tanda subklinis dari RHD.

Para ahli lain ada menyatakan manifestasi klinis yang

serupa yaitu umumnya dimulai dengan demam remiten yang

tidak melebihi 39°C atau arthritis yang timbul setelah 2-3


minggu setelah infeksi. Demam dapat berlangsung berkali-kali

dengan tanda umum berupa malaise, astenia, dan penurunan

berat badan. Sakit persendian dapat berupa atralgia, yaitu nyeri

persendian dengan tanda-tanda panas, merah, bengkak atau

nyeri tekan, dan keterbatasan gerak. Artritis pada RHD dapat

mengenai beberapa sendi secara bergantian. Manifestasi lain

berupa pankarditis (endokarditis, miokarditis, dan perikarditis),

nodul subkutan, eritema marginatum, korea, dan nyeri

abdomen (Mansjoer, 2000).

Langkah pertama dalam mendiagnosis RHD adalah

menetapkan bahwa anak anda baru-baru ini mengalami infeksi

Streptococus. Dokter mungkin melakukan tes hapusan

tenggorokan, tes darah, atau keduanya untuk memeriksa adanya

antibodi Streptococus. Namun, ada kemungkinan bahwa tanda-

tanda infeksi strep mungkin hilang pada saat anda membawa

anak anda ke dokter. Dalam hal ini, dokter akan memerlukan

anda untuk mencoba mengingat apakah anak anda baru-baru ini

mengalami sakit tenggorokan atau gejala lain dari infeksi

Streptococus.

Selanjutnya dokter akan melakukan pemeriksaan fisik

dan memeriksa anak anda untuk tanda-tanda demam rematik,

termasuk nyeri sendi dan peradangan. Dokter juga akan

mendengarkan jantung anak anda untuk memeriksa irama

abnormal atau murmur yang mungkin menandakan bahwa


jantung telah tegang. Selain itu, ada beberapa tes yang dapat

digunakan untuk memeriksa jantung dan menilai kerusakan,

termasuk:

a). Chest X-ray, untuk memeriksa ukuran jantung dan untuk

melihat apakah ada kelebihan cairan di jantung atau paru-

paru.

b). Ekokardiogram, sebuah tes non-invasif yang menggunakan

gelombang suara untuk menciptakan sebuah gambar

bergerak dari jantung dan terpaparnya ukuran.

f. Diagnosis

Sebuah diagnosis RHD dibuat setelah konfirmasi adanya

demam rematik. Menurut kriteria Jones (direvisi tahun 1992)

menyediakan pedoman untuk diagnosis RHD (AHA, 1992).

Kriteria Jones menuntut keberadaan 2 mayor atau 1 mayor dan 2

kriteria minor untuk diagnosis demam rematik. Kriteria diagnostik

mayor termasuk karditis, poliarthritis, korea, nodul subkutan dan

eritema marginatum. Kriteria diagnostik minor termasuk demam,

arthralgia, panjang interval PR pada EKG, peningkatan reaktan

fase akut (peningkatan tingkat sedimentasi eritrosit [ESR]),

kehadiran protein C-reaktif, dan leukositosis.

g. Komplikasi

Gagal jantung dapat terjadi pada beberapa kasus.

Komplikasi lainnya termasuk aritmia jantung, pankarditis dengan


efusi yang luas, pneumonitis reumatik, emboli paru, infark, dan

kelainan katup jantung.

h. Pemeriksaan Penunjang

Pasien demam rematik 80% mempunyai ASTO positif.

Ukuran proses inflamasi dapat dilakukan dengan pengukuran LED

dan protein C-reaktif.

i. Penatalaksanaan

Tata laksana demam rematik aktif atau reaktivitas adalah

sebagai berikut:

1). Tirah baring dan mobilisasi bertahap sesuai keadaan jantung.

Eradikasi terhadap kuman Streptococus dengan

pemberian penisilin benzatin 1,2 juta unit IM bila berat

badan > 30 kg dan 600.000-900.000 unit bila berat badan < 30

kg, atau penisilin 2x500.000 unit/hari selama 10 hari. Jika

alergi penisilin, diberikan eritromisin 2x20 mg/kg BB/hari

untuk 10 hari. Untuk profilaksis diberikan penisilin benzatin

tiap 3 atau 4 minggu sekali.

Bila alergi penisilin, diberikan sulfadiazin 0,5 g/hari

untuk berat badan < 30 kg atau 1 g untuk yang lebih besar.

Jangan lupa menghitung sel darah putih pada minggu-minggu

pertama, jika leukosit < 4.000 dan neutrofil < 35% sebaiknya

obat dihentikan. Diberikan sampai 5-10 tahun pertama terutama

bila ada kelainan jantung dan rekurensi.


2). Antiinflamasi

Salisilat biasanya dipakai pada demam rematik tanpa

karditis, dan ditambah kortikosteroid jika ada kelainan jantung.

Pemberian salisilat dosis tinggi dapat menyebabkan intoksikasi

dengan gejala tinitus dan hiperpnea. Untuk pasien dengan

artralgia saja cukup diberikan analgesik.

Pada artritis sedang atau berat tanpa karditis atau tanpa

kardiomegali, salisilat diberikan 100 mg/kg BB/hari dengan

maksimal 6 g/hari, dibagi dalam 3 dosis selama 2 minggu,

kemudian dilanjutkan 75 mg/kg BB/hari selama 4-6 minggu.

3). Kortikosteroid

Kortikosteroid diberikan pada pasien dengan karditis

dan kardiomegali. Obat terpilih adalah prednison dengan dosis

awal 2 mg/kg BB/hari terbagi dalam 3 dosis dan dosis

maksimal 80 mg/hari.Bila gawat, diberikan metilprednisolon

IV 10-40 mg diikuti prednison oral. Sesudah 2-3 minggu secara

berkala pengobatan prednison dikurangi 5 mg setiap 2-3 hari.

Secara bersamaan, salisilat dimulai dengan 75 mg/kg BB/hari

dan dilanjutkan selama 6 minggu sesudah prednison

dihentikan. Tujuannya untuk menghindari efek rebound atau

infeksi Streptococus baru.

j. Pencegahan

Dapat dicegah melalui penatalaksanaan awal dan adekuat

terhadap infeksi Streptococus pada semua orang. Langkah pertama


dalam mencegah serangan awal adalah mendeteksi adanya infeksi

Streptococus untuk penatalaksanaan yang adekuat, dan pemantauan

epidemi dalam komunitas. Setiap perawat harus mengenal dengan

baik tanda dan gejala faringitis Streptococus, panas tinggi (38,90

sampai 400C, atau 1010 sampai 1040F), menggigil, sakit

tenggorokan, kemerahan pada tenggorokan disertai aksudat, nyeri

abdomen, dan infeksi hidung akut. Kultur tenggorok merupakan

satu-satunya metode untuk menegakkan diagnosa secara akurat.

Pasien yang rentan memerlukan terapi antibiotika oral

jangka panjang atau perlu menelan antibiotika profilaksis sebelum

menjalani prosedur yang dapat menimbulkan invasi oleh

mikroorganisme ini. Pemberian penisilin sebelum pemeriksaan gigi

merupakan contoh yang baik. Pasien juga harus diingatkan untuk

menggunakan antibiotika profilaksis pada prosedur yang lebih

jarang dilakukan seperti sitoskopi.

2.1.2 Konsep Sectio Caesarea

a. Pengertian

Sectio caesarea merupakan prosedur bedah untuk pelahiran

janin dengan insisi melalui abdomen dan uterus (Liu, 2007). Sectio

caesarea adalah suatu persalinan buatan, dimana janin dilahirkan

melalui suatu insisi pada dinding perut dan dinding rahim dengan

sayatan rahim dalam keadaan utuh serta berat janin diatas 500

gram (Sarwono, 2005).


Sectio caesarea atau bedah caesar adalah sebuah bentuk

melahirkan anak dengan melakukan sebuah irisan pembedahan

yang menembus abdomen seorang ibu (laparotomi) dan uterus

(hiskotomi) untuk mengeluarkan satu bayi atau lebih (Dewi, 2007).

Sehingga penulis dapat menyimpulkan bahwa sectio caesarea

adalah suatu tindakan operasi yang bertujuan untuk melahirkan

bayi dengan jalan pembukaan dinding perut.

b. Etiologi

Peningkatan angka sectio caesarea terus terjadi di

Indonesia. Meskipun diktum “once a caesarean always a

caesarean” di Indonesia tidak dianut, tetapi sejak dua dekade

terakhir ini telah terjadi perubahan tren sectio caesarea

di Indonesia. Dalam 20 tahun terakhir ini terjadi kenaikan proporsi

sectio caesareadari 5% menjadi 20%. Menurut Depkes RI (2010)

secara umum jumlah persalinan sectio caesarea di rumah sakit

pemerintah adalah sekitar 20-25% dari total persalinan, sedangkan

di rumah sakit swasta jumlahnya sangat tinggi, yaitu sekitar 30-

80% dari total persalinan.

Peningkatan ini disebabkan oleh teknik dan fasilitas operasi

bertambah baik, operasi berlangsung lebih asepsis, teknik anestesi

bertambah baik, kenyamanan pasca operasi dan lama perawatan

yang menjadi lebih singkat. Di samping itu morbiditas, mortalitas

maternal dan perinatal dapat diturunkan secara bermakna (Dewi,

2007).
c. Indikasi

1). Indikasi Medis

Ada 3 faktor penentu dalam proses persalinan yaitu:

a). Power

Yang memungkinkan dilakukan operasi caesar,

misalnya daya mengejan lemah, ibu berpenyakit jantung

atau penyakit menahun lain yang mempengaruhi tenaga.

b). Passanger

Diantaranya, anak terlalu besar, anak “mahal”

dengan kelainan letak lintang, primi gravida diatas 35 tahun

dengan letak sungsang, anak tertekan terlalu lama pada

pintu atas panggul, dan anak menderita fetal distress

syndrome (denyut jantung janin kacau dan melemah).

c). Passage

Kelainan ini merupakan panggul sempit, trauma

persalinan serius pada jalan lahir atau pada anak, adanya

infeksi pada jalan lahir yang diduga bisa menular ke anak,

umpamanya herpes kelamin (herpes genitalis), condyloma

lota (kondiloma sifilitik yang lebar dan pipih), condyloma

acuminata (penyakit infeksi yang menimbulkan massa

mirip kembang kol di kulit luar kelamin wanita), hepatitis B

dan hepatitis C (Dewi, 2007).


2). Indikasi Ibu

a). Usia

Ibu yang melahirkan untuk pertama kali pada usia

sekitar 35 tahun, memiliki resiko melahirkan dengan

operasi. Apalagi pada wanita dengan usia 40 tahun ke atas.

Pada usia ini, biasanya seseorang memiliki penyakit yang

beresiko, misalnya tekanan darah tinggi, penyakit jantung,

kencing manis, dan preeklamsia. Eklampsia (keracunan

kehamilan) dapat menyebabkan ibu kejang sehingga dokter

memutuskan persalinan dengan sectio caesarea.

b). Tulang Panggul

Cephalopelvic diproportion (CPD) adalah ukuran

lingkar panggul ibu tidak sesuai dengan ukuran lingkar

kepala janin yang dapat menyebabkan ibu tidak melahirkan

secara alami. Tulang panggul sangat menentukan mulus

tidaknya proses persalinan.

c). Persalinan sebelumnya dengan sectio caesarea

Persalinan melalui bedah caesar tidak

mempengaruhi persalinan selanjutnya harus berlangsung

secara operasi atau tidak. Apabila memang ada indikasi

yang mengharuskan dilakukanya tindakan pembedahan,

seperti bayi terlalu besar, panggul terlalu sempit, atau jalan

lahir yang tidak mau membuka, operasi bisa saja dilakukan.

d). Faktor Hambatan Jalan Lahir


Adanya gangguan pada jalan lahir, misalnya jalan

lahir yang kaku sehingga tidak memungkinkan adanya

pembukaan, adanya tumor dan kelainan bawaan pada jalan

lahir, tali pusat pendek, dan ibu sulit bernafas.

e). Kelainan Kontraksi Rahim

Jika kontraksi rahim lemah dan tidak terkoordinasi

(inkordinate uterine action) atau tidak elastisnya leher

rahim sehingga tidak dapat melebar pada proses persalinan,

menyebabkan kepala bayi tidak terdorong, tidak dapat

melewati jalan lahir dengan lancar.

f). Ketuban Pecah Dini

Robeknya kantung ketuban sebelum waktunya

dapat menyebabkan bayi harus segera dilahirkan.Kondisi

ini membuat air ketuban merembes ke luar sehingga tinggal

sedikit atau habis.Air ketuban (amnion) adalah cairan yang

mengelilingi janin dalam rahim.

g). Rasa Takut Kesakitan

Umumnya, seorang wanita yang melahirkan secara

alami akan mengalami proses rasa sakit, yaitu berupa rasa

mules disertai rasa sakit di pinggang dan pangkal paha yang

semakin kuat dan “menggigit”. Kondisi tersebut karena

keadaan yang pernah atau baru melahirkan merasa

ketakutan, khawatir, dan cemas menjalaninya. Hal ini bisa

karena alasan secara psikologis tidak tahan melahirkan


dengan sakit. Kecemasan yang berlebihan juga akan

mengambat proses persalinan alami yang berlangsung

(Kasdu, 2003).

3). Indikasi Janin

a). Ancaman Gawat Janin (fetal distress)

Detak jantung janin melambat, normalnya detak

jantung janin berkisar 120- 160. Namun dengan CTG

(cardiotography) detak jantung janin melemah, lakukan

sectio caesarea segara untuk menyelamatkan janin.

b). Bayi Besar (makrosemia)

c). Letak Sungsang

Letak yang demikian dapat menyebabkan poros

janin tidak sesuai dengan arah jalan lahir. Pada keadaan ini,

letak kepala pada posisi yang satu dan bokong pada posisi

yang lain (Cendika, dkk. 2007).

d). Faktor Plasenta

(1). Plasenta previa

Posisi plasenta terletak dibawah rahim dan menutupi

sebagian atau seluruh jalan lahir.

(2). Plasenta lepas (Solution placenta)

Kondisi ini merupakan keadaan plasenta yang lepas

lebih cepat dari dinding rahim sebelum waktunya.

Persalinan dengan operasi dilakukan untuk menolong


janin segera lahir sebelum ia mengalami kekurangan

oksigen atau keracunan air ketuban.

(3). Plasenta accreta

Merupakan keadaan menempelnya plasenta di otot

rahim. Pada umumnya dialami ibu yang mengalami

persalinan yang berulang kali, ibu berusia rawan untuk

hamil (di atas 35 tahun), dan ibu yang pernah operasi

(operasinya meninggalkan bekas yang menyebabkan

menempelnya plasenta).

e). Kelainan Tali Pusat

(1). Prolapsus tali pusat (tali pusat menumbung)

Keadaan penyembulan sebagian atau seluruh tali pusat.

Pada keadaan ini, tali pusat berada di depan atau di

samping atau tali pusat sudah berada di jalan lahir

sebelum bayi.

(2). Terlilit tali pusat

Lilitan tali pusat ke tubuh janin tidak selalu berbahaya.

Selama tali pusat tidak terjepit atau terpelintir maka

aliran oksigen dan nutrisi dari plasenta ke tubuh janin

tetap aman (Kasdu, 2003).

d. Penjahitan Uterus dan Abdomen

1). Penjahitan Uterus


Setelah plasenta lahir, uterus dapat diangkat melewati

insisi dan diletakkan di atas dinding abdomen, atau biasa

disebut eksteriorisasi uterus. Keuntungan eksteriorisasi uterus

ini antara lain dapat segera mengetahui uterus yang atonik dan

melemas sehingga cepat melakukan massage. Selain itu, lokasi

perdarahan juga dapat ditentukan dengan jelas.

Insisi uterus ditutup dengan satu atau dua lapisan

jahitan kontinu menggunakan benang yang dapat diserap

ukuran 0 atau 1. Penutupan dengan jahitan jelujur mengunci

satu lapis memerlukan waktu lebih singkat.

2). Penjahitan Abdomen

Setelah rahim telah tertutup dan memastikan tidak ada

instrumen yang tertinggal, maka dilakukan penutupan

abdomen. Sewaktu melakukan penutupan lapis demi lapis,

titik-titik perdarahan diidentifikasi, diklem dan diligasi. Otot

rektus dikembalikan ke letaknya semula, dan ruang subfasia

secara cermat diperiksa.

Fasia rektus di atasnya ditutup dengan jahitan

interrupted. Jaringan subkutan biasanya tidak perlu ditutup

secara terpisah apabila ketebalannya 2 cm atau kurang. Dan

kulit ditutup dengan jahitan matras vertikal dengan benang

sutera 3-0 atau 4-0.

e. Penyulit Pasca Operasi


Morbiditas setelah sectio caesarea dipengaruhi oleh

keadaan-keadaan ketika prosedur tersebut dilakukan. Penyulit yang

dapat terjadi mencakup histerektomi, cedera operatif pada struktur

panggul, serta infeksi dan perlunya transfusi.

Laserasi kandung kemih dan cedera uretra. Insidensi

laserasi kandung kemih pada saat operasi cesarea adalah 1,4 per

1000 prosedur, dan untuk cedera uretra adalah 0,3 per 1000.

Cedera kandung kemih cepat terdiagnosis, Sebaliknya diagnosis

cedera uretra sering terlambat terdiagnosis (Cunningham, 2005).

f. Komplikasi

1). Infeksi Puerperal (nifas)

a). Ringan, kenaikan suhu beberapa hari saja

b). Sedang, kenaikan suhu disertai dehidrasi dan perut

kembung

c). Berat, dengan peritonitis, sepsis dan ileus paralitik.

2). Perdarahan, karena:

a). Banyak pembuluh darah yang terputus dan terbuka

b). Atonia Uteri

c). Perdarahan pada plasenta

3). Luka kandung kemih, emboli paru dan komplikasi lainnya

yang jarang terjadi.

4). Kemungkinan ruptura uteri atau terbukanya jahitan pada uterus

karena operasi sebelumnya (Mochtar,1998).

2.2 Konsep Keperawatan


Peran perawat dalam manajemen pasien dengan RHD dan post Sectio

Caesarea sangat penting. Kondisi RHD dan post Sectio Caesarea dapat

terjadi di berbagai setting perawatan pasien meliputi UGD, rawat inap dan

bahkan di rawat jalan. Oleh karena itu, kompetensi manajemen RHD dan post

Sectio Caesarea harus dikuasai bukan hanya oleh perawat UGD saja tetapi

oleh seluruh perawat rumah sakit yang kemungkinan kontak dengan pasien

RHD dan post Sectio Caesarea. Peran perawat dalam manajemen RHD dan

post Sectio Caesarea diantaranya deteksi tanda dan gejala, monitoring tanda

vital, deteksi dan pencegahan perburukan, pencegahan dan deteksi komplikasi

pasca tindakan, edukasi klien dan keluarga, serta rehabilitasi pasca tindakan.

Pendekatan yang digunakan tentunya menggunakan pendekatan proses

keperawatan yaitu pengkajian, penegakkan diagnosis keperawatan, penentuan

tujuan dan outcomes, pemilihan rencana tindakan, implementasi dan evaluasi

(Hendra, 2013).

2.2.1 Pengkajian

Pengkajian adalah tahap awal dari proses keperawatan dan

merupakan proses yang sistematis dalam pengumpulan data dari

berbagai sumber data untuk mengevaluasi dan mengidentifikasi status

kesehatan klien (Lyer et al. 1996 dalam Setiadi (2012). Pengumpulan

data dapat dilakukan dengan menggunakan tiga metode, yaitu

wawancara, observasi, dan pemeriksaan fisik. Pada anamnese

diperoleh data:

a. Identitas pasien

b. Keluhan utama
c. Data Primary Survey

1). B1 (Breath)

2). B2 (Blood)

3). B3 (Bladder)

4). B4 (Brain)

5). B5 (Bowel)

6). B6 (Bone)

d. Data Secondary Survey (Pengkajian Fungsional

Gordon) 1). Pola persepsi kesehatan-managemen

kesehatan

2). Pola metabolik-nutrisi

3). Pola eliminasi

4). Pola aktivitas dan latihan (olahraga)

5). Pola istirahat dan tidur

6). Pola persepsi-kognitif

7). Pola konsep diri-persepsi diri

8). Pola hubungan-peran

9). Pola reproduksi-seksualitas

10). Pola toleransi terhadap stres-koping

11). Pola keyakinan-nilai

12). Pengkajian head to toe

13). Pemeriksaan penunjang

14). Terapi yang diresepkan

2.2.2 Diagnosa keperawatan


NANDA menyatakan bahwa diagnosa keperawatan adalah

keputusan klinik tentang respon individu, keluarga, dan masyarakat

tentang masalah kesehatan, sebagai dasar seleksi intervensi

keperawatan untuk mencapai tujuan asuhan keperawatan sesuai dengan

kewenangan perawat (Setiadi, 2012).

Carpenito (2000) menyebutkan ada lima tipe diagnosa, yaitu

aktual, risiko, kemungkinan, sehat dan sindrom. Diagnosa keperawatan

aktual menyajikan keadaan yang secara klinis telah divalidasi melalui

batasan karakteristik mayor yang dapat diidentifikasi. Diagnosa

keperawatan risiko menjelaskan masalah kesehatan yang nyata akan

terjadi jika tidak dilakukan intervensi. Masalah dapat timbul pada

seseorang atau kelompok yang rentan dan ditunjang dengan faktor

risiko yang memberikan kontribusi pada peningkatan kerentanan.

Menurut NANDA, diagnosa keperawatan risiko adalah keputusan

klinis tentang individu, keluarga, atau komunitas yang sangat rentan

untuk mengalami masalah dibanding individu atau kelompok lain pada

situasi yang sama atau hampir sama. Diagnosa keperawatan

kemungkinan menjelaskan bahwa perlu adanya data tambahan untuk

memastikan masalah keperawatan kemungkinan. Pada keadaan ini

masalah dan faktor pendukung belum ada tetapi sudah ada faktor yang

dapat menimbulkan masalah. Diagnosa keperawatan Wellness

(Sejahtera) atau sehat adalah keputusan klinik tentang keadaan

individu, keluarga, dan atau masyarakat dalam transisi dari tingkat

sejahtera tertentu ke tingkat sejahtera yang lebih tinggi yang


menunjukkan terjadinya peningkatan fungsi kesehatan menjadi fungsi

yang positif. Diagnosa keperawatan sindrom adalah diagnosa yang

terdiri dari kelompok diagnosa aktual dan risiko tinggi yang

diperkirakan akan muncul karena suatu kejadian atau situasi tertentu

(Setiadi, 2012).

Diagnosa Keperawatan yang biasa muncul pada klien RHD dan

mengalami pembedahan Sectio Caesarea adalah:

a. Nyeri berhubungan dengan agen injuri (biologi, kimia, fisik,

psikologis).

b. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan intoleransi aktivitas

dan penurunan kekuatan pertahanan

c. Cemas berhubungan dengan kurang pengetahuan, hospitalisasi.

2.2.3 Rencana Keperawatan

Perencanaan adalah bagian dari fase pengorganisasian dalam

proses keperawatan sebagai pedoman untuk mengarahkan tindakan

keperawatan dalam usaha membantu, meringankan, memecahkan

masalah atau untuk memenuhi kebutuhan klien. Proses perencanaan

keperawatan meliputi penetapan tujuan perawatan, penetapan kriteria

hasil, pemilihan intervensi yang tepat, dan rasionalisasi dari intervensi

dan mendokumentasikan rencana perawatan (Setiadi, 2012).

Intervensi keperawatan adalah suatu tindakan langsung kepada

klien yang dilaksanakan oleh perawat, yang ditujukan kepada kegiatan

yang berhubungan dengan promosi, mempertahankan kesehatan klien

(Setiadi, 2012).Tujuan dan outcomes berdasarkan Nursing Outcomes


Classification (NOC) dan Nursing Interventions Classification

(NIC)untuk diagnosa keperawatan sebagai berikut:

a. Nyeri berhubungan dengan agen injuri (biologi, kimia, fisik,

psikologis)

1). NOC:

a). Pain level

b). Pain control

c). Comfort level

2). Kriteria Hasil:

a). Mampu mengontrol nyeri (tahu penyebab nyeri, mampu

menggunakan tehnik nonfarmakologi untuk mengurangi

nyeri, mencari bantuan)

b). Melaporkan bahwa nyeri berkurang dengan menggunakan

manajemen nyeri

c). Mampu mengenali nyeri (skala, intensitas, frekuensi dan

tanda nyeri)

d). Menyatakan rasa nyaman setelah nyeri berkurang

e). Tanda vital dalam rentang normal

3). NIC:

a). Pain Management

(1). Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif

termasuk lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi,

kualitas dan faktor presipitasi


(2). Observasi reaksi nonverbal dari ketidaknyamanan

(3). Gunakan teknik komunikasi terapeutik untuk

mengetahui pengalaman nyeri pasien

(4). Kaji kultur yang mempengaruhi respon nyeri

(5). Evaluasi pengalaman nyeri masa lampau

(6). Evaluasi bersama pasien dan tim kesehatan lain

tentang ketidakefektifan kontrol nyeri masa lampau

(7). Bantu pasien dan keluarga untuk mencari dan

menemukan dukungan

(8). Kontrol lingkungan yang dapat mempengaruhi nyeri

seperti suhu ruangan, pencahayaan dan kebisingan

(9). Kurangi faktor presipitasi nyeri

(10). Pilih dan lakukan penanganan nyeri (farmakologi, non

farmakologi dan inter personal)

(11). Kaji tipe dan sumber nyeri untuk menentukan

intervensi

(12). Ajarkan tentang teknik non farmakologi

(13). Berikan analgetik untuk mengurangi nyeri

(14). Evaluasi keefektifan kontrol nyeri

(15). Tingkatkan istirahat

(16). Kolaborasikan dengan dokter jika ada keluhan dan

tindakan nyeri tidak berhasil

(17). Monitor penerimaan pasien tentang manajemen nyeri

b). Analgesic Administration


(1). Tentukan lokasi, karakteristik, kualitas, dan derajat

nyeri sebelum pemberian obat

(2). Cek instruksi dokter tentang jenis obat, dosis, dan

frekuensi

(3). Cek riwayat alergi

(4). Pilih analgesik yang diperlukan atau kombinasi dari

analgesik ketika pemberian lebih dari satu

(5). Tentukan pilihan analgesik tergantung tipe dan

beratnya nyeri

(6). Tentukan analgesik pilihan, rute pemberian, dan dosis

optimal

(7). Pilih rute pemberian secara IV, IM untuk pengobatan

nyeri secara teratur

(8). Monitor vital sign sebelum dan sesudah pemberian

analgesik pertama kali

(9). Berikan analgesik tepat waktu terutama saat nyeri

hebat

(10). Evaluasi efektivitas analgesik, tanda dan gejala (efek

samping)

b. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan intoleransi aktivitas

dan penurunan kekuatan pertahanan

1). Batasan karakteristik

a). Penurunan waktu reaksi

b). Kesulitan membolak-balik posisi tubuh


c). Asik dengan aktivitas lain sebagai pengganti gerak

d). Dispnea saat beraktivitas

e). Perubahan cara berjalan

f). Pergerakan menentak

g). Keterbatasan kemampuan untuk melakukan ketrampilan

motorik halus

h). Keterbatasan kemampuan melakukan ketrampilan motorik

kasar

i). Keterbatasan rentang pergerakan sendi

j). Tremor yang diindikasi oleh pergerakan

k). Ketidakstabilan postur tubuh

l). Melambatnya pergerakan

m). Gerakan tidak teratur atau tidak

terkoordinasi 2). NOC:

a). Ambulasi; kemampuan untuk berjalan dari satu tempat

ketempat lain secara mandiri atau dengan alat bantu

b). Ambulasi: kursi roda; kemampuan untuk berjalan dari satu

tempat ketempat lain dengan kursi roda

c). Keseimbangan; kemampuan untuk mempertahankan

keseimbangkan postur tubuh

d). Performa mekanika tubuh; tindakan individu untuk

mempertahankan kesejajaran tubuh yang sesuai dan untuk

mencegah peregangan otot skeletal


e). Gerakan terkoordinasi; kemampuan otot untuk bekerjasama

secara volunter dalam menghasilkan suatu gerakan yang

terarah

f). Pergerakan sendi: aktif (sebutkan sendinya); rentang

pergerakan sendi aktif dengan gerakan atas inisiatif sendiri

g). Mobilitas; kemampuan untuk bergerak secara terarah dalam

lingkungan sendiri dengan atau tanpa alat bantu

h). Fungsi skeletal; kemampuan tulang untuk menyokong

tubuh dan memdasilitasi pergerakan

i). Performa berpindah; kemampuan untuk mengubah letak

tubuh secara mandiri atau dengan alat bantu.

3). Tujuan/ kriteria hasil:

Pasien akan:

a). Memperlihatkan penggunaan alat bantu secara benar

dengan pengawasan

b). Meminta bantuan untuk aktivitas mobilitas jika perlu

c). Melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari secara mandiri

dengan alat bantu

d). Menyangga berat badan

e). Berjalan dengan menggunakan langkah-langkah yang

benar f). Berpindah dari dan ke kursi atau dari kursi

g). Menggunakan kursi roda secara efektif

4). NIC:
Pengkajian merupakan proses yang kontinu untuk menentukan

tingkat performa hambatan mobilitas pasien.

a). Aktivitas keperawatan tingkat 1

(1). Kaji kebutuhan terhadap bantuan pelayanan

kesehatan dirumah dan kebutuhan pengobatan

(2). Ajarkan pasien tentang dan pantau penggunaan alat

bantu mobilitas

(3). Ajarkan dan bantu pasien dalam proses berpindah

(4). Rujuk keahli terapi fisik untuk program latihan

(5). Berikan penguatan positif selama aktivitas

(6). Bantu pasien untuk menggunakan alas kaki antiselip

yang mendukung untuk berjalan

(7). Pengaturan posisi (NIC): ajarkan pasien bagaimana

menggunakan postur dan mekanika tubuh yang

benar pada saat melakukan aktivitas dan pantau

ketepatan pemasangan traksi

b). Aktivitas keperawatan tingkat 2

(1). Kaji kebutuhan belajar pasien

(2). Kaji terhadap kebutuhan bantuan layanan kesehatan

dari lembaga kesehatan dirumah dan alat kesehatan

yang tahan lama

(3). Ajarkan dan dukung pasien dalam latihan ROM aktif

atau pasif untuk mempertahankan atau meningkatkan

kekuatan dan ketahanan otot


(4). Instruksikan dan dukung pasien untuk menggunakan

trapeze atau pemberat untuk meningkatkan serta

mempertahankan kekuatan ekstremitas atas

(5). Ajarkan tehnik ambulasi dan berpindah yang aman

(6). Instruksikan pasien untuk menyangga berat badannya

(7). Instruksikan pasien untuk mempertahankan

kesejajaran tubuh yang benar

(8). Gunakan ahli terapi fisik dan okupasi sebagai suatu

sumber untuk mengembangkan perencanaan dan

mempertahankan atau meningkatkan mobilitas

(9). Berikan penguatan positif selama aktivitas

(10). Awasi seluruh upaya mobilitas dan bantu pasien, jika

perlu

(11). Gunakan sabuk penyokong saat memberikan bantuan

ambulasi atau perpindahan

c). Aktivitas keperawatan tingkat 3 dan 4

(1). Tentukan tingkat motivasi pasien untuk

mempertahankan atau megambalikan mobilitas sendi

dan otot

(2). Gunakan ahli terapi fisik dan okupasi sebagai suatu

sumber untuk mengembangkan perencanaan dan

mempertahankan atau meningkatkan mobilitas

(3). Dukung pasien dan keluarga untuk memandang

keterbatasan dengan realitas


(4). Berikan penguatan positif selama aktivitas

(5). Berikan analgesic sebelum memulai latihan fisik

(6). Penguatan posisi:

(a). Pantau pemasangan alat traksi yang benar

(b). Letakkan matras atau tempat tidur terapeutik

dengan benar

(c). Atur posisi pasien dengan kesejajaran tubuh

yang benar

(d). Letakkan pasien pada posisi terapeutik

(e). Ubah posisi pasien yang imobilisasi minimal

setiap 2 jam, berdasarkan jadwal spesifik

(f). Letakkan tombol pengubah posisi tempat tidur

dan lampu pemanggil dalam jangkauan pasien

(g). Dukung latihan ROM aktif dan atau pasif, jika

perlu

d). Perawatan dirumah

(1). Kaji lingkungan rumah terhadap kendala dalam

mobilitas

(2). Rujuk untuk mendapat layanan kesehatan dirumah

(3). Rujuk ke layanan fisioterapi untuk memperoleh

latihan kekuatan, keseimbangan dan cara berjalan

(4). Rujuk kelayanan ke terapi okupasi untuk alat bantu

(5). Anjurkan untuk berlatih bersama anggota keluarga

atau teman
(6). Ajarkan cara bangun dari tempat tidur secara

perlahan.

c. Cemas berhubungan dengan kurang pengetahuan, hospitalisasi

1). NOC:

a). Anxiety control

b). Coping

2). Kriteria Hasil:

a). Klien mampu mengidentifikasi dan mengungkapkan gejala

cemas

b). Mengidentifikasi, mengungkapkan dan menunjukkan

tehnik untuk mengontol cemas

c). Vital sign dalam batas normal

d). Postur tubuh, ekspresi wajah, bahasa tubuh dan tingkat

aktivitas menunjukkan berkurangnya kecemasan

3). NIC:

a). Anxiety Reduction (penurunan kecemasan)

(1). Gunakan pendekatan yang menenangkan

(2). Nyatakan dengan jelas harapan terhadap pelaku

pasien

(3). Jelaskan semua prosedur dan apa yang dirasakan

selama prosedur
(4). Temani pasien untuk memberikan keamanan dan

mengurangi takut

(5). Berikan informasi faktual mengenai diagnosis,

tindakan prognosis

(6). Dorong keluarga untuk menemani anak

(7). Lakukan back / neck rub

(8). Dengarkan dengan penuh perhatian

(9). Identifikasi tingkat kecemasan

(10). Bantu pasien mengenal situasi yang menimbulkan

kecemasan

(11). Dorong pasien untuk mengungkapkan perasaan,

ketakutan, persepsi

(12). Instruksikan pasien menggunakan teknik relaksasi

(13). Barikan obat untuk mengurangi kecemasan

2.2.4 Implementasi

Pelaksanaan impelentasi keperawatan disesuaikan dengan rencana

dan kondisi pasien.

2.2.5 Evaluasi

Evaluasi perawatan secara umum meliputi evaluasi proses dan

evaluasi hasil yang disesuaikan dengan kondisi pasien. Tahap

penilaian atau evaluasi adalah perbandingan yang sistematis dan

terencana tentang kesehatan klien dengan tujuan yang telah ditetapkan,

dilakukan dengan cara bersinambungan dengan melibatkan klien,

keluarga, dan tenaga kesehatan lainnya. Tujuan evaluasi adalah untuk


melihat kemampuan klien dalam mencapai tujuan yang disesuaikan

dengan kriteria hasil pada tahap perencanaan (Setiadi, 2012).

2.3 Konsep Intervensi Inovasi

Intervensi inovasi yang dilakukan adalah relaksasi nafas dalam yang

diterapkan secara kontinyu pada pasien dengan RHD dan post Sectio

Caesarea di ruang ICU RSUD Taman Husada Kota Bontang untuk mengatasi

masalah nyeri. Adapun konsep intervensi inovasi relaksasi nafas dalam ini

adalah sebagai berikut:

2.3.1 Konsep Nyeri

a. Pengertian Nyeri

The International Association for the Study of Pain

(Townsend, 2008), mendefinisikan nyeri sebagai suatu pengalaman

sensori dan emosional yang tidak nyaman yang berhubungan

dengan kerusakan jaringan aktual dan potensial. Perasaan yang

tidak nyaman tersebut sangat bersifat subjektif dan hanya orang

yang mengalaminya yang dapat menjelaskan dan mengevaluasi

perasaan tersebut (Mubarak & Chayatin, 2007).

Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Smeltzer dan

Bare (2001) bahwa nyeri adalah pengalaman sensori dan emosional

yang tidak menyenangkan akibat dari kerusakan jaringan yang

aktual dan potensial, menyakitkan tubuh, serta diungkapkan oleh

individu yang mengalaminya.

Nyeri akut yang sering terjadi adalah nyeri post operasi.

Kualitas, kuantitas, dan durasi nyeri berhubungan secara alamiah


dengan proses pembedahan. Beberapa trauma, termasuk trauma

pembedahan, merupakan kerusakan jaringan. Nyeri dihasilkan

dengan melepaskan substansi di bawah jaringan yang trauma

sampai pada ambang batas nyeri, ini merupakan stimulus normal

yang tidak membahayakan. Panjangnya insisi secara langsung

dapat menimbulkan sensasi nyeri yang dirasakan yang di produksi

dengan melepaskan substansi. Durasi dan luasnya pembedahan

juga secara langsung menimbulkan besarnya nyeri yang dirasakan.

Insisi pembedahan yang transversal umumnya menimbulkan nyeri

yang lebih ringan daripada insisi pembedahan yang vertikal atau

diagonal, karena beberapa syaraf dan otot serta fasia sedikit yang

terpotong.

b. Fisiologi Nyeri

Reseptor nyeri (nosireptor) adalah ujung syaraf bebas yang

pertama sekali merasakan nyeri. Jejas atau stimulus pada jaringan

akan merangsang nosiseptor untuk melepaskan zat-zat kimia, yaitu

prostaglandin, histamine, bradikinin, asetilkolin, dan substansi P

(Smeltzer & Bare, 2001). Zat-zat kimia ini mensensitisasi ujung

syaraf dan menyampaikan impuls nyeri ke otak. Ada dua jenis

ujung syaraf bebas yang termasuk dalam nosisepsi, yaitu serabut

A-delta, adalah serabut halus, bermielin, dan merupakan serabut

hantaran cepat yang membawa sensasi tusukan tajam. Serabut-

serabut ini membantu kita untuk menentukan lokasi dan intensitas

nyeri. Serabut C adalah serabut syaraf yang tidak dibungkus oleh


mielin. Serabut ini halus dan hantarannya lambat serta bertanggung

jawab terhadap nyeri tumpul, menyebar, dan persisten (Taylor,

2009).

Nyeri pada insisi pada awalnya diperantarai oleh serabut A-

delta, tetapi beberapa menit kemudian nyeri menjadi menyebar

akibat aktifasi serabut C. Impuls nyeri dibawa oleh serabut A-delta

perifer dan dihantarkan langsung ke substansia gelatinosa pada

akar dorsal sum-sum tulang belakang, kemudian konduksi lambat

serabut C membuat durasi impuls rasa sakit menjadi lebih lama.

Impuls sensori/ eferen memasuki akar dorsal sumsum

tulang belakang, membentuk sinaps kimia dengan menggunakan

neurotransmiter (seperti substansi P). Impuls nyeri berpindah ke

sisi yang berlawanan dari sumsum tulang belakang dan merambat

ke otak melalui sistem spinotalamus. Sistem spinotalamus

bersinapsis di thalamus dan impuls disampaikan ke korteks

serebral dimana stimulus nyeri diinterpretasikan. Ketika transmisi

nyeri dikirim ke otak, individu merasakan nyeri. Beberapa impuls

nyeri berakhir langsung di neuron motorik melalui arkus reflex di

sumsum tulang. Neuron motorik kemudian muncul dari kornu

anterior sumsum tulang belakang untuk mengaktifkan struktur

yang sesuai seperti, bila seseorang menyentuh permukaan yang

panas, sinyal nyeri diubah menjadi impuls motorik yang

merangsang tangan menjauh dari sumber panas (Potter & Perry,

2009).
Persepsi nyeri dalam tubuh diatur oleh substansi yang

dinamakan neuroregulator. Substansi ini mempunyai aksi rangsang

dan aksi hambat. Substansi P adalah salah satu contoh

neurotansmiter dengan aksi merangsang. Ini mengakibatkan

pembentukan aksi potensial, yang menyebabkan hantaran impuls

dan mengakibatkan pasien merasakan nyeri. Serotonin adalah salah

satu contoh neurotransmiter dengan aksi menghambat. Serotonin

mengurangi efek dari impuls nyeri. Substansi kimia lainnya

mempunyai efek inhibitor terhadap transmisi nyeri adalah endorfin

dan enkafelin. Substansi ini bersifat seperti morfin yang diproduksi

oleh tubuh. Endorfin dan enkafelin ditemukan dalam konsentrasi

yang tinggi dalam sistem syaraf pusat.Kadar endorfin dan enkafelin

setiap individu berbeda. Kadar endorfin ini dipengaruhi oleh

berbagai faktor seperti ansietas. Hal ini akan berpengaruh juga

terhadap perasaan nyeri seseorang. Walaupun stimulusnya sama,

setiap orang akan merasakan nyeri yang berbeda. Individu yang

mempunyai kadar endorfin yang banyak akan merasakan nyeri

yang lebih ringan daripada mereka yang mempunyai kadar

endorfin yang sedikit (Smeltzer & Bare, 2001).

c. Pengukuran Intensitas Nyeri

Walaupun tidak dapat diketahui secara pasti bagaimana

nyeri dirasakan oleh pasien, perawat harus mengerti tentang nyeri

dan menggunakan pendekatan dalam pengkajian nyeri, termasuk

deskripsi verbal tentang nyeri. Individu merupakan penilai terbaik


dari nyeri yang dialaminya. Pengkajian nyeri yang dilakukan

meliputi: data subjektif dan data objektif.

1). Data subjektif

a). Intensitas (skala) nyeri. Individu dapat diminta untuk

membuat tingkatan nyeri pada skala verbal, misalnya tidak

nyeri, sedikit nyeri, nyeri hebat, atau sangat hebat, atau

sampai 10. Dimana 0 mengindikasikan tidak adanya nyeri,

dan 10 mengindikasikan nyeri sangat hebat.

Gambar 2.2. Pengukuran intensitas (skala) nyeri


(Potter & Perry, 2009; Smeltzer & Bare, 2001)
b). Karakteristik nyeri, termasuk area nyeri yang dirasakan,

durasi (menit, jam, hari, bulan), irama (terus-menerus,

hilang timbul, periode bertambah dan berkurangnya

intensitas atau keberadaan dari nyeri), dan kualitas (seperti

ditusuk, terbakar, sakit, nyeri seperti di tekan).

c). Faktor-faktor yang meredakan nyeri, misalnya gerakan,

kurang bergerak, pengerahan tenaga, istirahat, obat-obat

bebas, dan apa yang dipercaya pasien dapat membantu

mengatasi nyerinya.

d). Efek nyeri terhadap aktivitas kehidupan sehari-hari,

misalnya tidur, nafsu makan, konsentrasi, interaksi dengan

orang lain, gerakan fisik, bekerja, dan aktivitas-aktivitas

santai.

e). Kekhawatiran individu tentang nyeri. Dapat meliputi

berbagai masalah yang luas, seperti beban ekonomi,

prognosis, pengaruh terhadap peran dan perubahan citra diri

(Smeltzer & Bare, 2001).

2). Data objektif

Data objektif didapatkan dengan mengobservasi

respons pasien terhadap nyeri. Menurut Taylor (1997), respons

pasien terhadap nyeri berbeda-beda, dapat dikategorikan

sebagai (1) respons perilaku, (2) respons fisiologik, dan (3)

respons afektif. Respons perilaku terhadap nyeri dapat

mencakup pernyataan verbal, perilaku vokal, ekspresi wajah,


gerakan tubuh, kontak fisik dengan orang lain, atau perubahan

respons terhadap lingkungan. Respons perilaku ini sering

ditemukan dan kebanyakan diantaranya dapat di observasi.

Individu yang mengalami nyeri akan menangis, merapatkan

gigi, mengepalkan tangan, melompat dari satu sisi ke sisi lain,

memegang area nyeri, gerakan terbatas, menyeringai,

mengerang, pernyataan verbal dengan kata-kata. Perilaku ini

sangat beragam dari waktu ke waktu.

Respons fisiologik antara lain seperti meningkatnya

pernafasan dan denyut nadi, meningkatnya tekanan darah,

meningkatnya ketegangan otot, dilatasi pupil, berkeringat,

wajah pucat, mual, dan muntah. Respons fisiologik ini dapat

digunakan sebagai pengganti untuk laporan verbal dari nyeri

pada pasien tidak sadar (Smeltzer & Bare, 2001).

2.3.2 Konsep Relaksasi Nafas Dalam

a. Pengertian

Teknik relaksasi nafas dalam merupakan suatu bentuk

asuhan keperawatan, yang dalam hal ini perawat mengajarkan

kepada klien bagaimana cara melakukan napas dalam, napas

lambat (menahan inspirasi secara maksimal) dan bagaimana

menghembuskan napas secara perlahan, Selain dapat menurunkan

intensitas nyeri, teknik relaksasi napas dalam juga dapat

meningkatkan ventilasi paru dan meningkatkan darah (Smeltzer &

Bare, 2002).
Pada kondisi rileks tubuh akan menghentikan produksi

hormon adrenalin dan semua hormon yang diperlukan saat stress.

Karena hormon seks esterogen dan progesteron serta hormon stres

adrenalin diproduksi dari blok bangunan kimiawi yang sama.

Ketika kita mengurangi stres maka mengurangi produksi kedua

hormon seks tersebut. Jadi, perlunya relaksasi untuk memberikan

kesempatan bagi tubuh untuk memproduksi hormon yang penting

untuk mendapatkan haid yang bebas dari nyeri (Smeltzer & Bare,

2002).

Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa relaksasi

merupakan metode efektif untuk menurunkan nyeri yang

merupakan pengalaman sensori dan emosional yang tidak

menyenangkan dengan mekanismenya yang menghentikan siklus

nyeri.

b. Tujuan

Smeltzer & Bare (2002), menyatakan bahwa tujuan teknik

relaksasi napas dalam adalah untuk meningkatkan ventilasi alveoli,

memelihara pertukaran gas, mencegah atelektasi paru,

meningkatkan efisiensi batuk, mengurangi stress baik stress fisik

maupun emosional yaitu menurunkan intensitas nyeri dan

menurunkan kecemasan.
c. Patofisiologi teknik relaksasi nafas dalam terhadap penurunan

nyeri

Teknik relaksasi nafas dalam dapat mengendalikan nyeri

dengan meminimalkan aktifitas simpatik dalam sistem saraf

otonom. Meningkatkan aktifitas komponen saraf parasimpatik

vegetative secara stimulant. Teknik tersebut dapat mengurangi

sensasi nyeri dan mengontrol intensitas reaksi seseorang terhadap

rasa nyeri (Handerson Christine, 2005).

Pada kondisi rileks tubuh akan menghentikan produksi

hormon adrenalin dan semua hormon yang diperlukan saat stres.

Karena hormon seks estrogen dan progesterone serta hormon stres

adrenalin diproduksi dari blok bangunan kimiawi yang sama.

Ketika kita mengurangi stres maka mengurangi produksi kedua

hormon seks tersebut. Jadi, perlunya relaksasi untuk memberikan

kesempatan bagi tubuh untuk memproduksi hormon yang penting

untuk mendapatkan kondisi yang bebas dari nyeri (Smeltzer &

Bare, 2002).

Teknik relaksasi napas dalam adalah untuk meningkatkan

ventilasi alveoli, memelihara pertukaran gas, mencegah atelektasi

paru, meningkatkan efisiensi batuk, mengurangi stress baik stress

fisik maupun emosional yaitu menurunkan intensitas nyeri dan

menurunkan cemas.

Berikut gambar patofisiologi teknik relaksasi nafas dalam

terhadap penurunan nyeri (Prasetyo, 2010):


Gambar 2.3 Patofisiologi teknik relaksasi nafas dalam terhadap
penurunan nyeri (Prasetyo, 2010)

d. Prosedur Teknik Relaksasi Nafas Dalam

Priharjo (2003), mengemukakan bahwa bentuk pernafasan

yang digunakan pada prosedur ini adalah pernafasan diafragma

yang mengacu pada pendataran kubah diafragma selama inspirasi

yang mengakibatkan pembesaran abdomen bagian atas sejalan

dengan desakan udara masuk selama inspirasi.Tahap persiapan

pelaksanaan teknik relaksasi nafas dalam ini adalah persiapan

lingkungan dan persiapan responden.Lingkungan harus nyaman,

tenang, mungkin perlu kursi, matras, sedangkan responden atau

klien yang harus rileks.


Adapun langkah-langkah teknik relaksasi napas dalam

adalah sebagai berikut:

1). Ciptakan lingkungan yang tenang

2). Usahakan tetap rileks dan tenang

3). Menarik nafas dalam dari hidung dan mengisi paru-paru

dengan udara melalui hitungan

4). Perlahan-lahan udara dihembuskan melalui mulut sambil

merasakan ekstrimitas atas dan bawah rileks

5). Anjurkan bernafas lagi melalui hidung dan menghembuskan

melalui mulut secara perlahan-lahan

6). Membiarkan telapak tangan dan kaki rileks

7). Usahakan agar tetap konsentrasi/ mata sambil terpejam dan

pada saat konsentrasi pusatkan pada daerah yang nyeri

8). Anjurkan untuk mengulangi prosedur hingga nyeri terasa

berkurang, ulangi sampai 15 kali, dengan selingi istirahat

singkat setiap lima kali, bila nyeri menjadi hebat, seseorang

dapat bernafas secara dangkal dan cepat (Priharjo, 2003).

2.4 Jurnal Ilmiah Terkait

Jurnal ilmiah terkait dengan intervensi inovasi relaksasi nafas dalam

untuk mengatasi masalah nyeri salah satunya adalah e-jurnal keperawatan

tentang efektifitas teknik relaksasi nafas dalam terhadap penurunan nyeri pada

pasien postoperasi sectio caesare di IRNA DBLU RSUP Prof. Dr. R. D.

Kandou Manado (Patasik, dkk. 2013). Diperoleh hasil yaitu tingkat nyeri pada

pasien post operasi sectio caesarea sebelum dilakukan teknik relaksasi nafas
dalam di IRNA D BLU RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado sebagian besar

mengalami nyeri hebat sampai sangat hebat, tingkat nyeri pada pasien post

operasi sectio caesarea sesudah dilakukan teknik relaksasi nafas dalam

di IRNA D BLU RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado sebagian besar

mengalami penurunan ke kategori nyeri ringan selebihnya ke kategori nyeri

sedang, dan teknik relaksasi nafas dalam efektif terhadap penurunan nyeri

pada pasien post operasi sectio caesarea. Efek relaksasi nafas dalam membuat

responden merasa rileks dan tenang. Responden menjadi rileks dan tenang saat

mengambil oksigen di udara melalui hidung, oksigen masuk ke dalam tubuh

sehingga aliran darah menjadi lancar dan menyebabkan pasien mengalihkan

perhatiannya pada nyeri ke hal-hal yang membuatnya senang dan bahagia

sehingga melupakan nyeri yang sedang dialaminya. Inilah yang menyebabkan

intensitas nyeri yang dirasakan pasien post operasi sectio caesarea berkurang

setelah dilakukan teknik relaksasi nafas dalam.

Pada jurnal yang lainnya yaitu Jurnal Ilmu Kesehatan tentang

efektifitas teknik relaksasi nafas dalam terhadap peningkatan adaptasi

regulator tubuh untuk menurunkan nyeri pasien post operasi fraktur

di Rumah Sakit Ortopedi Soeharso Surakarta oleh Margono (2014). Diperoleh

hasil bahwa teknik relaksasi nafas dalam efektif untuk meningkatkan adaptasi

regulator tubuh pada pasien post operasi fraktur di RSO Soeharso Surakarta.

Hasil penelitian regulasi tubuh sebelum perlakuan pada kelompok

perlakuan menunjukan bahwa terjadi perbedaan yang signifikan pada semua

parameter. Menurut teori pengendalian gerbang (gate control theory)

menyatakan bahwa impuls nyeri dapat diatur atau dihambat oleh mekanisme
pertahanan di sepanjang sistem saraf pusat. Teori ini menjelaskan hantaran

saat sebuah pertahanan dibuka dan impuls dihambat saat sebuah pertahanan

tertutup. Upaya menutup pertahanan merupakan dasar teori menghilangkan

nyeri. Upaya tersebut dapat dilakukan dengan teknik relaksasi nafas dalam.

Pada kelompok perlakuan dalam penelitian ini dengan pemberian terapi non

farmakologi relaksasi nafas dalam akan lebih cepat terpenuhi kebutuhan

fisiologi untuk melakukan metabolisme pada jaringan yang terjadi inflamasi.

Oksigen merupakan kebutuhan utama bagi manusia, dengan O2 fungsi organ-

organ manusia akan berjalan seimbang dan sesuai kebutuhannya oksigen.

Dengan terpenuhinya kebutuhan oksigen maka akan terjadi homeostasis

sehingga dapat beradaptasi terhadap nyeri.


BAB 3 LAPORAN KASUS KELOLAAN UTAMA
3.1. Pengkajian.................................................................................59
3.2. Masalah Keperawatan...............................................................82
3.3. Intervensi Keperawatan.............................................................83
3.4. Intervensi Inovasi......................................................................88
3.5. Implementasi.............................................................................89
3.6. Evaluasi.....................................................................................103

BAB 4 ANALISA SITUASI


4.1. Profil RSUD Taman Husada Bontang.......................................110
4.2. Analisis Masalah Keperawatan.................................................112
4.3. Analisis Intervensi Inovasi........................................................116
4.4. Alternatif Pemecahan Masalah.................................................121

SILAHKAN KUNJUGI PERPUSTAKAAN MUHAMMADIYAH


KALIMANTAN TIMUR
BAB V

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Kesimpulan dari pelaksanaan analisis kasus pasien Rheumatic Heart

Disease (RHD) dan post Sectio Caesarea ini dibuat berdasarkan tujuan khusus

penulisan sebagai berikut:

5.1.1 Telah dapat dianalisa kasus kelolaan pasien dengan Rheumatic Heart

Disease (RHD) dan post Sectio Caesarea di ruang ICU RSUD Taman

Husada Bontang dimana didapatkan diagnosa keperawatan berupa

nyeri berhubungan dengan agen injuri (biologi), hambatan mobilitas

fisik berhubungan dengan intoleransi aktivitas dan cemas berhubungan

dengan kurang pengetahuan, hospitalisasi.

5.1.2 Menganalisa intervensi inovasi relaksasi nafas dalam terhadap

penurunan ambang nyeri pada pasien dengan Rheumatic Heart Disease

(RHD) dan post Sectio Caesarea di ruang ICU RSUD Taman Husada

Kota Bontang dan diperoleh hasil bahwa penerapan teknik relaksasi

nafas dalam sebagai terapi non farmakologi dapat efektif menurunkan

ambang nyeri pasien. Hal ini terlihat dari respon pasien pada saat

penulis memberikan tindakan keperawatan secara subjektif pasien

mengatakan nyeri berkurang.


5.2 Saran

5.2.1 Bagi Perawat

a. Perawat sebaiknya memberikan edukasi kesehatan terkait

Rheumatic Heart Disease (RHD) dan post Sectio Caesarea,

pencegahan dan penatalaksanaan kepada pasien dan keluarga.

Edukasi yang diberikan disesuaikan dengan kebutuhan pasien.

Pemberian edukasi sebaiknya selama pasien dirawat.

b. Perawat juga perlu memberikan motivasi kepada pasien dan

keluarga untuk mematuhi penatalaksanaan untuk penyakit

Rheumatic Heart Disease (RHD) dan post Sectio Caesarea.

c. Perawat dapat menerapkan relaksasi nafas dalam terhadap

penurunan ambang nyeri dan akan meningkatkan kenyamanan.

5.2.2 Pasien

Pasien sebaiknya mengubah gaya hidup lebih sehat, aktifitas

fisik yang teratur, pola makan yang teratur, mematuhi program

pengobatan, rutin kontrol ke rumah sakit.

5.2.3 Institusi Pendidikan

Disarankan bagi penulis selanjutnya agar dapat melakukan

pembahasan lebih lanjut mengenai faktor-faktor lain yang bisa

mengurangi nyeri. Hal ini tentu saja akan menjadi landasan ilmu

pengetahuan bagi perawat untuk bisa menerapkan tindakan

keperawatan tersebut saat memberikan asuhan keperawatan kepada

pasien.
DAFTAR PUSTAKA

Afif. (2008). Demam Rematik dan Penyakit Jantung Rematik Permasalahan


Indonesia. http://www.usu.ac.id (Diperoleh tanggal 4 Pebruari 2016)

American Heart Association (AHA) (1992). Scientific Position, Risk factors


and coronary heart diease. AHA Scientific Position

Carpenito. (2000). Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Jakarta : EGC

Cendika, dkk. (2007). Panduan Pintar dan Hamil Melahirkan. Jakarta:


Wahyu Media

Chakko S, Bisno A.L., 2001. Acute Rheumatic Fever. In : Fuster V,


Alexander RW, O’ Rourke et al. Hurst The Heart; vol. II; 10th ed. Mc Graw-Hill:
New York; 1657-65. http://www.emedicine.com (Diperoleh tanggal 4 Pebruari
2016)

Chandrasoma. (2006). Ringkasan Patologi Anatomi. Jakarta: EGC

Cunningham. (2005). Obstetri Williams. Edisi 21. Jakarta: EGC

Departemen Kesehatan RI. (2009). Profil kesehatan Indonesia 2008.


Jakarta: Depkes RI

Departemen Kesehatan RI. (2010). Buku Acuan Persalinan Normal.


Jakarta: Depkes RI

Dewi. (2007). Operasi Caesar, Pengantar dari A sampai Z. Jakarta: EDSA


Mahkota

Henderson Christine. (2005). Buku Ajar Konsep Kebidanan. Jakarta: EGC

Kasdu. (2005). Solusi Problem Persalinan. Jakarta: Puspa Swara

Liu. (2007). Manual Persalinan. Jakarta: EGC

Majid, A. (2008). Penyakit jantung koroner: patofisiologi, pencegahan, dan


pengobatan terkini. e-joernal USU repository Universitas Sumatera Utara. 1-54

Mansjoer, dkk. (2000). Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 3. Jakarta: Medica


Aesculpalus, FKUI
Margono. (2014). Efektifitas teknik relaksasi nafas dalam terhadap
peningkatan adaptasi regulator tubuh untuk menurunkan nyeri pasien post
operasi fraktur di Rumah Sakit Ortopedi Soeharso Surakarta. Jurnal Ilmu
kesehatan. 1.(1). 23-30

Meador R.J, Russel IJ, Davidson A, et al. (2009). Acute Rheumatic Fever.
http://www.emedicine.com (Diperoleh tanggal 4 Pebruari 2016)

Mubarak dan Chayatin. (2009). Ilmu Kesehatan Masyarakat Teori dan


Aplikasi. Jakarta: Salemba Medika.

Muttaqin. (2009). Pengantar asuhan keperawatan klien dengan gangguan


sistem kardiovaskuler. Jakarta: Salemba Medika

Park, M.K., 1996. Acute Rheumatic Fever. In: Pediatric Cardiology for
Practitioners. 3rd ed. St. Louis: Mosby, 302-309

Patasik, dkk. (2013). Efektifitas teknik relaksasi nafas dalam terhadap


penurunan nyeri pada pasien post operasi sectio caesare di IRNA D BLU RSUP
Prof. Dr. R. D. Kandou Manado. E-jurnal keperawatan. 1.(1). 1-8

Potter dan Perry. (2009). Fundamental Keperawatan Buku 1 Ed. 7. Jakarta:


Salemba Medika

Priharjo. (2003). Perawatan nyeri. Jakarta. EGC.

Royal College of Nursing. (2010). Specialist nurses: Changing lives, saving


money. http://www.rcn.org.uk (Diperoleh tanggal 4 Pebruari 2016)

Royal College of Nursing. (2012). RCN factsheet: Specialist nursing in the


UK. http://www.rcn.org.uk (Diperoleh tanggal 4 Pebruari 2016)

Sarwono. (2005). Ilmu kebidanan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka

Setiadi. (2012). Konsep dan Penulisan Dokumentasi Asuhan Keperawatan


Teori dan Praktik. Yogyakarta : Graha Ilmu

Smeltzer dan Bare. (2001). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta:
EGC

Taylor. (2009). Operation Managemen. Wiley

Thomas. (2008). Rheumatic Heart Disease. http://www.emedicine.com


(Diperoleh tanggal 4 Pebruari 2016)

Townsend. (2008). Essentials of Psychiatric Mental Health Nursing. (3th


edition). Philadelphia: W.B. Saunders Co.
Underwood, J.C.E. (2000). Patologi Umum dan Sistemik. Vol.2. 2nd ed.
Jakarta: EGC

World Health Organisation. (2011). The top 10 causes of death in 2008.


http://www.who.int (Diperoleh tanggal 4 Pebruari 2016)

Anda mungkin juga menyukai