Anda di halaman 1dari 15

Fayza Achsina S.

12201113062

BAB VI
IMPLIKASI REKONSTRUKSI

1. Pendahuluan
Dari hasil korespondensi yang menemukan hubungan-hubungan antar bahasa kerabat
maupun usaha menemukan bentuk protonya, masih dapat diturunkan sejumlah kesimpulan
teoretis yang menyangkut persoalan: apakah ada pola-pola perubahan fonetis yang dapat
disimpulkan secara universal, perubahan-perubahan fonetis mana yang terjadi dalam
perkembangan bahasa-bahasa, perubahan-perubahan morfologis mana yang dapat dicatat,
apakah ada tendensi runtutan waktu dalam korespondensi fonemis, dan bagaimana status
bentuk-bentuk rekonstruksi untuk menjelaskan bermacam-macam peristiwa bahasa dewasa
ini.

2. Tipe-tipe perubahan fonetis


Pada saat mengadakan rekonstruksi fonem-fonem proto, tampak bahwa perubahan
sebuah fonem proto ke dalam fonem-fonem bahasa kerabat sekarang ini berlangsung dalam
beberapa macam tipe.
a. Pewarisan Linear
Pewarisan linear adalah pewarisan sebuah fonem proto ke dalam bahasa
sekarang dengan tetap mempertahankan ciri fonetis fonem protonya.
Misalnya, fonem proto */d/ menurunkan fonem /d/. Fonem-fonem Austronesia
Purba dalam kata */ikan/ diturunkan secara linear dalam kata /ikan/ pada
bahasa Melayu sekarang.
b. Pewarisan dengan Perubahan
Pewarisan dengan perubahan terjadi bila suatu fonem proto mengalami
perubahan dalam bahasa sekarang. Misalnya, fonem proto Austronesia Purba
*/i/ dalam kata */ikur/ ‘ekor’ berubah menjadi fonem /e/ dalam kata /ekor/
pada bahasa Melayu.
c. Pewarisan dengan Penghilangan
Pewarisan dengan penghilangan merupakan suatu tipe perubahan fonem
dimana fonem proto menghilang dalam bahasa sekarang. Misalnya, fonem */a/
dalam suatu bahasa proto berubah menjadi fonem zero /ø/ dalam bahasa
sekarang. Kata */hubi/ ‘ubi’ dalam bahasa Austronesia Purba berubah menjadi
kata /ubi/ dalam bahasa Melayu.
Fayza Achsina S.
12201113062

d. Pewarisan dengan Penambahan


Pewarisan dengan penambahan adalah suatu proses perubahan berupa
munculnya suatu fonem baru dalam bahasa sekarang, baik itu penambahan
vokal (vokalisasi) maupun penambahan sengau homorgan sebelum konsonan
(nasalisasi homorgan). Penambahan vokal pada suku kata terakhir terdapat
pada kata Austronesia Purba */luh/ ‘air mata’ dalam bahasa Polinesia Purba
menjadi */lo/. Sementara itu, proses nasalisasi homorgan terdapat pada kata
Austronesia Purba */pat/ ‘empat’ menjadi /əmpat/ dalam bahasa Melayu.
e. Penanggalan Parsial
Penanggalan parsial merupakan suatu proses pewarisan dimana sebagian dari
fonem proto menghilang dalam bahasa kerabat sedangkan sebagian lain dari
ciri fonem proto bertahan dalam bahasa kerabat tersebut. Misalnya dalam
bahasa Inggris, fonem /k/ dalam bahasa Inggris Kuno ada yang bertahan tetapi
juga menghilang. Dalam kata acknowledgement fonem /k/ bertahan, sementara
dalam kata knowledge fonem /k/ menghilang walaupun secara ortografis
dipertahankan.
f. Perpaduan (Merger)
Perpaduan atau merger merupakan suatu proses perubahan bunyi di mana dua
fonem proto atau lebih berpadu menjadi suatu fonem baru dalam bahasa yang
sekarang. Perpaduan dapat juga berwujud penggabungan antara satu fonem
purba dengan satu ciri fontis dari fonem lainnya. Hal ini dapat dilihat dari
proses perpaduan dua fonem dalam bahasa Inggris Tengahan /æ/ dan /ɛ/ yang
sama-sama menjadi /iy/ dalam bahasa Inggris sekarang.: bahasa Inggris
Tengahan /d ɛ:d/ dan /gæ :s/ menjadi /diyd/ dan /giys/ dalam bahasa Inggris
modern masing-masing untuk kata ‘deed’ dan ‘geese’.
g. Pembelahan (Split)
Merupakan suatu proses perubahan fonem di mana suatu fonem proto
membelah diri menjadi dua fonem baru atau lebih atau suatu fonem proto
memantulkan sejumlah fonem yang berlainan dalam bahasa kerabat atau
dalam bahasa yang lebih muda. Pembelahan ini dapat pula berwujud suatu
fonem proto yang membelah diri sebagaian menjadi fonem yang baru,
sedangkan sebagian yang lain ciri fonetisnya bergabung dengan fonem yang
lainnya.
Fayza Achsina S.
12201113062

3. Macam-macam perubahan bunyi


Macam-macam perubahan bunyi berbeda dari tipe perubahan bunyi. Bila tipe
perubahan bunyi lebih mengacu kepada perubahan bunyi tanpa mengaitkannya dengan fonem
lain, macam-macam perubahan bunyi didasarkan pada hubungan bunyi tertentu dengan
fonem lainnya dalam lingkungan yang lebih luas. Perubahan tersebut dapat berupa asimilasi,
disimilasi, berdasarkan tempat (metatesis, aferesis, dsb), dan perubahan-perubahan lainnya.
a. Asimilasi (bareng” aja y pls panjang banget soalnya)
Asimilasi merupakan suatu proses perubahan bunyi ketika dua fonem yang
berbeda dalam bahasa proto mengalami perubahan dalam bahasa sekarang menjadi
fonem yang sama. Penyamaan kedua fonem tersebut terbagi menjadi dua,
1. Asimilasi Regresif
Fonem yang mendahului disamakan dengan fonem yang menyusulnya.
Cirinya, fonem yang mengalami perubahan terletak sebelum fonem yang
memengaruhinya, jadi yang berubah adalah bagian depan.
2. Asimilasi Progresif
Fonem kedua disamakan dengan fonem yang mendahuluinya. Cirinya, fonem
yang berubah disesuaikan dengan fonem sebelumnya, jadi yang berubah
adalah bagian belakang.
Macam Asimilasi
1. Sifat Penyamaan
● Asimilasi Total
Terjadi bila kedua bunyi disamakan secara identik.
contoh: ad-temptare (Latin) ‘mencoba’ menurunkan kata attempt
(Inggris).
● Asimilasi Parsial
Terjadi bila hanya sebagian ciri artikulatoris atau fonetis yang
disamakan.
contoh: in-possible menjadi im-possible
con-plete menjadi complete
2. Letak Fonem
● Asimilasi Langsung
Terjadi antara dua fonem yang berdekatan.
● Asimilasi Tak Langsung
Terjadi antara dua fonem yang letaknya berjauhan.
Fayza Achsina S.
12201113062

contoh: oraŋutaŋ (Inggris) merupakan pinjaman dari bahasa Melayu


oraŋ + utan. /ŋ/ pada kata orang mengasimilasi /n/ pada kata utan
sehingga menjadi utaŋ.
3. Perpanjangan Pengimbangan (compensatory lengthening)
Merupakan jenis asimilasi di mana menghilangnya sebuah fonem konsonan
menyebabkan vokal yang mendahuluinya mengalami perpanjangan.
contoh: fimf (Pra-Inggris) menjadi fīf atau fiif (Inggris Kuno).
4. Asimilasi Harmoni Vokal
Sering dijumpai dalam bahasa Finn, Hungar, dan Turki. Dalam bahasa Finn
fonem /e/ dipakai untuk menyatakan kasus ilatif. Tapi dalam hal lain, vokal /e/
dipengaruhi oleh vokal sebelumnya sehingga terjadi asimilasi harmoni vokal
seperti pää-hän ‘kepala’, puu-hun ‘pohon’, yö-hön ‘malam’.
Dalam bahasa Turki, harmoni vokal terjadi antara vokal akar kata dan vokal
akhiran kasus. Misalnya,
akar kata: su ‘air’
kasus: genitif sunun, akusatif suyu, ablatif sudan.
5. Arah Penyesuaian Fonem
● Palatalisasi
Proses perubahan yang terjadi atas konsonan /k/ yang berubah menjadi
konsonan palatal karena pengaruh vokal depan, atau fonem dental
menjadi fonem palatal karena vokal belakang.
contoh:
1) /geldan/ (Pra-Inggris) → /jeldan/ (Inggris Kuno) → yield
(Inggris Moderen)
2) /d’avuh/ (Asutronesia Purba) → /jauh/ (Melayu)
● Labialisasi
Proses pada vokal yang terjadi karena peranan bibir dalam menentukan
ciri-ciri fonem yang mengalami perubahan. Misalnya vokal /a/ yang
terletak di depan vokal /u/ akan menjadi /ɔ/.
contoh: kata */landu/ (Pra-Nordis Kuno) menjadi /lɔnd/ (Pra-Nordis).
Begitu juga fonem /a/, /e/, dan /i/ akan berubah menjadi /ɔ/, /ø/, dan /y/
bila fonem tersebut berada sebelum /w/.
contoh: */sekkwa/ (Pra-Nordis Kuno) menjadi /søkkua/.
*/liŋwa/ menjadi /lyŋ/.
Fayza Achsina S.
12201113062

● Faringealisasi
Faringealisasi merupakan proses asimilasi tata bahasa dalam konsonan
maupun vokalnya yang bila dalam tata bahasa dikenal dengan nama
emphasis. Seperti contoh pada kata ʔab ‘ayah’ dalam bahasa Arab-
Mesir akan mengalami proses faringealisasi bila mendapat sufiks atau
pluralis, akan tetapi berlaku sebaliknya pada kata ʔum ‘ibu’ yang tidak
mengalami faringealisasi. Apabila kedua kata tersebut dijabarkan lebih
lanjut, maka akan seperti berikut.
dualis : ʔab —> ʔabb:n, ʔum —> ʔumme:n
pluralis : ʔab —> ʔabbaha:t ʔum —> ʔummaha:t
Asimilasi juga terjadi dalam pengucapan vokal. Bila ada sekelompok vokal yang
berdampingan dengan konsonan-konsonan tertentu seperti /y/, maka pengucapannya
sesuai atau mendekati pengucapan vokal-vokal tersebut.
Misalnya, fonem proto Indo-Eropa */e/ yang terletak sebelum fonem /y/ dalam bahasa
German akan diucapkan lebih tinggi. Sehingga, fonem proto Indo-Eropa */ey/ akan
menjadi Proto German /i/.

b. Disimilasi
Kebalikan dari asimilasi, yakni proses perubahan serangkaian fonem yang sama
menjadi fonem-fonem yang berbeda. Contohnya dalam bahasa Ngaju Dayak yang
dibandingkan dengan bahasa Melayu dan Tagalog, dengan fonem /s/ seringkali
didisimilasikan dengan fonem /t/:
Melayu: sisik - susu ‘sisik’, ‘susu’
Ngaju: tisik - tuso
Tagalog: sisid - suksok ‘menyelam’, ‘menusuk’
Ngaju: teser - tusok
Disimilasi terjadi karena adanya usaha kelegaan. Seringkali bunyi nasal dan bunyi
likuida saling menggantikanm dalam usaha disimilasi. Contoh-contoh lainnya
terdapat pada bahasa Italia venēnu menjadi veleno ‘racun’. Urutan likuida yang sama
dapat dibedakan juga dengan mengganti fonem likuida yang satu dengan yang lain.
Contoh: Latin peregrinus menjadi Inggris pilgrim ‘musafir’.
Disimilasi merupakan sebuah kecenderungan upaya untuk menyederhanakan bentuk
yang sudah ada sehingga lebih mudah diucapkan. Salah satu contohnya terdapat pada
bahasa Latin marmor yang masuk ke bahasa Inggris menjadi marble ‘batu pualam’.
Fayza Achsina S.
12201113062

Selain definisi-definisi di atas, disimilasi juga dapat diuraikan sebagai proses


menghilangnya sebuah segmen dalam satu bentuk karena terdapat dua segmen yang
sama dan berurutan dalam bentuk tersebut. Disimilasi seperti ini juga disebut sebagai
haplologi. Contoh: perlahan-lahan menjadi pelan-pelan.
c. Perubahan Berdasarkan Tempat
Berdasarkan tempatnya, dapat diperoleh beberapa macam perubahan bunyi,
sebagai berikut.
(1) Metatesis
Metatesis merupakan suatu proses perubahan bunyi yang berwujud
pertukaran tempat dua fonem. Metatesis dapat dilihat dari contoh berikut:
- *t’ilak bahasa Austronesia Purba menjadi kilat dalam bahasa Melayu,
- *kikil bahasa Austronesia Purba menjadi kelik ‘ketiak’ bahasa Lamalera,
- kəlip bahasa Austronesia Purba menjadi pəlik dalam bahasa Melayu.
Selain contoh di atas, metatesis juga terlihat pada contoh bahasa Indonesia
atau Melayu. rontal - lontar, peluk - pekul, beting - tebing, apus - usap, dan
lain sebagainya.
Dalam hal-hal tertentu dapat juga terjadi metatesis antara konsonan
dan vokal. Misalkan pada bahasa contoh berikut:
- hros → hors (Inggris Kuno)
- ōridda → ōirda (Inggris Kuno)
- wyrtha → wright (Inggris Kuno)
- dtitte (Jerman) → three (Inggris Modern)
Metatesis sering memperlihatkan gejala teratur yang memengaruhi
suatu urutan tertentu dalam fonotaktik suatu bahasa. Jika likuida (r/l)
dinyatakan dengan /R/, sedangkan vokal dengan V dan konsonan dengan K,
maka metatesis dalam bahasa-bahasa Slavia dapat dinyatakan dengan kaidah:
(K)VRK → (K)RVK. Seperti contoh kata *grodu menjadi gradū.
(2) Aferesis
Aferesis adalah suatu proses perubahan bunyi antara bahasa kerabat
berupa penghilangan sebuah fonem pada awal sebuah kata. Berikut contoh
aferesis yang terjadi antara bahasa Austronesia Purba dan Polinesia Purba
- dukut → ukut (menyelam),
- *rabi → *afi (malam),
- *hatay → *ate (hati),
Fayza Achsina S.
12201113062

- *hatul → *atu (teratur).


(3) Sinkop
Bila perubahan bunyi berwujud pengilangan sebuah fonem di tengah
kata, maka disebut sinkop. Dalam bahasa Austronesia Purba terdapat sejumlah
kata yang akan mengalami perubahan dalam bahasa Polinesia Purba, seperti:
- *urat → *ua (urat)
- *iya → *ia (dia)
- *taru → *tau (manusia)
- *tuha → *tua (tua)
(4) Apokop
Apokop (apocope) merupakan perubahan bunyi berupa menghilangnya
sebuah fonem pada akhir kata. Dalam bahasa Inggris Kuno bentuk orang
pertama tunggal pada kata kerja berakhiran /e/ misalnya helpe yang berarti
menolong, mengalami apokop pada bahasa Inggris Tengahan. Begitu juga
singe menjadi sing. Hal tersebut juga terjadi pada Austronesia Purba terhadap
Polinesia Purba. *datar → *lata’ (datar).
(5) Protetis
Protetis adalah suatu proses perubahan kata berupa penambahan fonem
pada awal kata. Dalam bahasa Melayu dan Indonesia yakni: əlang, əmas,
əmpat, əmpedu merupakan hasil protetis dari kata: lang, mas, pat, dan pedu.
Selain itu, bahasa Latin schola mengalami protetis dari bahasa Prancis Kuno
menjadi escola, Spanyol escuela, dan Portugis escola.
(6) Epentesis
Epentesis atau Mesogog adalah proses perubahan kata berupa
penambahan sebuah fonem di tengah kata. Dalam bahasa Melayu penambahan
sengau homorgan pada sebuah konsonan merupakan gejala yang umum.
Mislanya kata dalam bahasa Austronesia Purba yang akan memperoleh
epentesis berupa nasal homorgan dalam bahasa Melayu berikut:
- *kapak → *kampak
- *kapung → *kampung
- *tipang → *timpang
(7) Paragog
Bila sebuah kata mengalami perubahan berupa penambahan fonem
pada akhir kata, maka peristiwa ini disebut paragog. Antara Austronesia Purba
Fayza Achsina S.
12201113062

dan Polinesia Purba terdapat proses perubahan ini: *bun → *funa (tutup), *but
→ *futi (menyentak).
d. Perubahan Lainnya
Bila suatu proses merger terjadi atas dua vokal proto dan kedua vokal tersebut
menjadi sebuah vokal tunggal maka perubahan tersebut disebut monoftongisasi, tetapi
sebaliknya apabila satu fonem proto (vokal) berubah dan menghasilkan dua vokal
disebut diftongisasi. Dalam kasus ini sering terjadi monoftongisasi pada bahasa
Austronesia Purba dan bahasa Polinesia Purba sebagai berikut.

*/hatay/ → */ate/ ‘hati’, */binay/ → */fa-fine/ ‘bini’, *hǝnay/ →

*/one/ ‘pasir’, */pǝlay/ → */fole/ ‘melemahkan’, */tapay/ →

*/sape/ ‘sampai; kata */apuy/ → */afi/ ‘api’; kata */babau/ →

*/fafo/ ‘sebelah atas’, */danau/ → */lano/, */ilau/ ‘bercermin’ →

*/ilo/ ‘mengetahui’, */katau/ → */kaso/ ‘kayu atap’, */lakau/ →

*/lako/ ‘mengubah’, */laᶇau/ → */laᶇo/ ‘lalat’, */linau/ →

*/(ma)-lino/ ‘tenang’ */panau/ → */fano/ ‘pergi’

Sementara pada kasus diftongisasi juga terjadi pada kata-kata, seperti /kuto/
dalam bahasa Ma’nyan berubah menjadi /kutau/ dalam bahasa Campa, kata /babi/
dalam bahasa Melayu berubah menjadi /bawuy/ dalam bahasa Ma’nyan atau /bawoi/
dalam bahasa Ngaju-Dayak, /asu/ dalam bahasa Batak, Nias, Bali, dan sebagainya
menjadi /athau/ dalam bahasa Campa dan sebagainya.
Sebuah proses lain yang mengubah bentuk kata disebut anaptiksis atau suara
bakti yaitu proses penambahan suatu bunyi pada sebuah kata untuk melancarkan
ucapan. Contohnya, seperti kata çloka Sans menjadi seloka dalam bahasa Melayu;
berlaku juga pada kata glana menjadi gelana atau gulana, çrgala menjadi serigala,
dan kata candra menjadi cendera atau candera.
Selanjutnya, suatu peristiwa perubahan yang mirip dengan anaptiksis disebut
samprasarana yakni istilah yang digunakan untuk menyebut suatu peristiwa
perubahan fonem yang bersifat non-silabis, tetapi karena sonoritasnya yang tinggi
dibandingkan konsonan-konsonan lain berubah menjadi silabis. Contohnya dalam
bahasa Inggris sub-standar kata elm ‘sejenis pohon’ mengalami perubahan
samprasarana atas fonem /m/ yang menjadi silabis karena sonoritasnya lebih tinggi
Fayza Achsina S.
12201113062

dari /l/ sehingga menjadi /elm/. Samprasarana biasanya diikuti oleh perubahan lain
yang sudah dikemukakan di atas, yaitu anaptiksis. Contohnya pada kata Indo-Eropa
Kuno *[agros] ‘ladang’ menurunkan Pra-Latin */agr/. Fonem /r/ dalam kata /agr/ ini
mendapat fungsi silabis atau mengalami samprasarana sehingga menjadi /ŗ/ yang
mana kata itu menjadi /ager/ ‘ladang’ dalam bahasa Latin.
4. Perubahan morfemis
Perubahan yang terjadi pada sebuah kata atau sebuah morfem sejauh hanya
menyangkut perubahan bunyi tidak merupakan obyek perubahan morfemis. Tetapi ketika
perubahan-perubahan itu terjadi berdasarkan percontohan bentuk-bentuk morfem yang lain,
maka perubahan itu dimasukkan dalam perubahan morfemis. Dalam hal ini, sejak zaman
Yunani Kuno sudah dikenal suatu proses perubahan morfemis yang sangat penting yaitu
analogi atau keteraturan dengan lawannya yaitu anomali atau ketidak-teraturan. Dengan
demikian analogi merupakan suatu proses yang mengubah morf-morf atau kombinasi morf-
morf atau pola-pola linguistik berdasarkan bentuk-bentuk yang sudah ada, atau menciptakan
morfem-morfem baru berdasarkan morfem-morfem yang sudah ada.
Dalam bahasa Inggris Tengahan ada kata rĩm, kemudian bentuk itu diubah menjadi
rhyme karena penulis-penulis Inggris Modern Awal menghubungkan kata itu dengan
rhythm. Inggris Tengahan delite dari kata Perancis Kuno deliter yang lebih jauh berasal dari
kata Latin dēlectāre, tetapi dalam bahasa Inggris Moderen ditulis delight karena dianggap ada
hubungan dengan light. Suatu peristiwa perubahan yang lain yang terjadi karena analogi
adalah perubahan bentuk yang terjadi karena pencampuran antara dua bentuk yang berlainan
yang memiliki bidang semantik yang berbeda. Peristiwa ini disebut kontaminasi atau
peracunan, seperti contoh kata Inggris femelle ‘wanita’ berubah menjadi female karena
pengaruh kata male ‘laki-laki’. Bila kontaminasi tadi terjadi karena pengaruh antonimnya,
maka dalam bahasa Finn kontaminasi terjadi karena sinonimnya. Seperti contoh kata viipale
‘irisan’, ‘potongan’ berubah menjadi siipale karena pengaruh kata siivu yang berarti
‘potongan’ atau ‘irisan’.
Suatu bentuk analogi yang lain adalah hiperkorek, yaitu suatu proses yang
dimaksudkan untuk memperbaiki suatu bentuk yang sebenarnya sudah benar, tetapi diadakan
perubahan sehingga salah.
Etimologi rakyat (folks etymology, popular etymology) merupakan pembentukan yang
sebenarnya tidak sesuai dengan sejarah perkembangan itu sendiri. Secara semantik etimologi
rakyat tidak jelas penjelasannya. Kata Latin homo ‘manusia’, ‘orang’ dalam bahasa Inggris
Kuno hanya dijumpai dalam bentuk majemuk seperti: bryd-guma ‘orang yang sudah kawin’
Fayza Achsina S.
12201113062

bandingkan dengan kata Jerman Brāutigam. Tetapi kemudian kata bryd-guma diubah
menurut suatu bentuk yang tersebar luas groom yang berarti ‘orang laki-laki’ sehingga
menjadi bride-groom. Bentuk kuno yang tidak teratur dan maknanya yang sudah tidak jelas
digantikan oleh bentuk-bentuk baru yang lebih umum walaupun agak jauh dari kebenarannya.
Dalam bahasa Indonesia juga terdapat kata-kata yang dibentuk berdasarkan analogi.
Kata berniaga sebenarnya merupakan suatu bentuk baru berdasarkan analogi, yang umum
terjadi dalam bahasa Melayu, yaitu pembentukan sebuah kata jadian dengan mempergunakan
prefiks ber-. Demikian juga kata berjuang tidak dibentuk dari kata dasar juang. Awalnya
dalam bahasa Minang kata itu berbentuk baujuang lalu berdasarkan analogi dibentuk
berjuang.
Ada pula perubahan morfemis lain yang terjadi karena salah analisa. Dalam bahasa
Jawa Kuno awalan ma- akan berubah menjadi pa- jika didahului konsonan /n/ berdasarkan
proses disimilasi, oleh karena itu kata tan mangan akan berubah menjadi tan pangan.
Sebagaimana sudah dijelaskan diatas masalah analogi sudah dipersoalkan secara
akademik sejak jaman Yunani Kuno. Ada dua sarjana yang menyediakan waktu khusus untuk
mempersoalkan analogi ini yaitu Kurylowics dan Mańczak. Kurylowics mengajukan
beberapa kaidah berdasarkan prinsip Linguistik Umum dan hubungan antar bentuk-bentuk
untuk menjelaskan terjadinya analogi dalam bahasa, berikut dalil-dalilnya.
1. Penanda-penanda morfologis ganda cenderung menggantikan yang tunggal.
Walaupun ada begitu juga kasus yang menunjukkan bahwa kaidah itu tidak
selalu diikuti.
2. Analogi bergerak dari bentuk dasar ke bentuk-bentuk turunan.
3. Sebuah konstruksi yang terdiri dari sebuah bentuk tetap dan sebuah variabel
digunakan sebagai sebuah pola bagi sebuah bentuk isolasi dengan fungsi yang
sama.
4. sebuah bentuk analogi yang baru mengambil alih fungsi utama sebuah
konstruksi, sementara bentuk yang digantikannya itu digunakan untuk fungsi
sekunder.
Sebaliknya, Mańczak mengajukan kaidah-kaidah berikut.
1. Kata-kata yang panjang, kecuali paradigma, seing dibentuk kembali menurut kata-
kata yang pendek bukan kebalikannya.
2. Alternasi akar-akar lebih sering diabaikan daripada dimanfaatkan.
3. bentuk infleksi yang panjang sering kali dibentuk kembali menurut bentuk pendek.
4. Akhiran zero sering diganti dengan akhiran penuh.
Fayza Achsina S.
12201113062

5. Usia unsur bahasa


Hubungan antara sebuah bahasa proto dengan bahasa-bahasa kerabat secara
metodologis bermanfaat untuk suatu tujuan lain yaitu menetapkan usia unsur-unur bahasa.
Hubungan antara bahasa proto dan bahasa-bahasa pantulannya itu merupakan hasil observasi
empiris, yang menghasilkan kesimpulan-kesimpulan:
(1) bahasa-bahasa berubah secara teratur, sekurang-kurangnya sejauh menyangkut sistem
fonologinya;
(2) perubahan semacam itu dalam sebuah bahasa terjadi dalam jangka tertentu.
(3) perubahan dalam jangka waktu tertentu itu dapat dirumuskan dalam kaidah-kaidah
yang berlaku bagi tiap segmen dengan tidak memandang soal makna, frekuensi, dan
status gramatikal dari kata atau morfem tempat terdapatnya fonem tadi.
Prinsip pertama dan kedua sebagai dikemukakan di atas, dapat dipergunakan sebagai
dasar untuk menghitung usia unsur-unsur bahasa. Yang dimaksud dengan usia di sini adalah
urutan waktu relatif yang dianggap ada antara dua korespondensi. Pada waktu membicarakan
rekonstruksi fonemis telah dikemukakan sebuah dalil bahwa bila telah ditetapkan suatu
fonem proto sebagai fonem yang memantulkan seperangkat korespondensi fonemis, maka
fonem proto yang sama tidak boleh dipergunakan lagi untuk melambangkan seperangkat
korespondensi yang lain. Dalil ini dipakai dengan asumsi bahwa korespondensi-
korespondensi tersebut berlangsung dalam suatu masa-laku yang sama. Dalam kenyataan
korespondendi-korespondensi yang ada secara empiris dewasa ini tidak harus berasal dari
masa-laku yang sama, tetapi dari runtunan masa yang berlainan. Dengan demikian bila ada
beberapa korespondensi semacam itu, maka data-data tersebut dapat dipergunakan untuk
menyusun usia unsur-unsur bahasa tersebut, seperti yang dimaksud dalam bagian ini.
a. Bahasa-bahasa Eropa
Dalam sejarah bahasa Belanda dan Jerman di satu pihak dan bahasa Inggris di
pihak lain, terdapat korespondensi fonemis antara /a/ dan /ɔ/. Kesimpulan ini
dibuktikan oleh rekurensi berikut:
Glos Belanda Jerman Inggris
minuman xədraŋ gədrank θrəŋ
panggang bradən bratən brɔθ
panjang laŋ laŋ lɔŋ
jatuh fal fal fɔl
Menurut catatan sejarah, korespondensi ini terjadi pada suatu waktu tidak
lama sesudah suku-suku Anglo-Sakson memisahkan diri dari Frisia dan Saksen darat
pada abad XII - XIII. Korespondensi ini bahkan masih terasa sampai abad XVI -
XVII, misalnya seperti tampak dalam kata /ba:s/ dan /b ɔ:s/, yang memang
tercatat baru muncul pada saat itu.
Di samping korespondensi /a/ dan /ɔ/, ada juga sejumlah besar kata yang
berasal dari Prancis, yang masuk sesudah korespondensi /a/ dan /ɔ/ berakhir. Kata-
Fayza Achsina S.
12201113062

kata yang baru masuk ini membentuk suatu korespondensi baru berupa /a/ dan /æ/,
seperti tampak pada kata-kata:
Gloss Belanda Inggris
garasi garadz gaeridz
tangan hant haent
gantung haŋ haeŋ
tanah lant laent
lampu lamp laemp
Dengan bantuan ilmu sejarah dan lain-lain, dapat ditentukan bahwa waktu
berlansungnya korespondensi itu sesudah abad XVII. Di samping kedua koresponensi
tersebut terdapat pula sebuah korespondensi yang lain yaitu antara /a/ dan /a/ seperti
terdapat dalam kata vader, Vater, dan father.
Berdasarkan keterangan sejarah dan sebagainya dapat ditentukan bahwa
urutan berlakunya korespondensi antara bahasa Inggris dan Belanda-Jerman adalah
mula-mula /a/ - /a/, kemudian /a/ - /ɔ/, dan terakhir antara /a/ - /æ/.
Penetapan usia unsur bahasa dapat juga dilakukan dalam sebuah bahasa,
misalnya antara Inggris Kuno dan Inggris Modern. Masa berlangsungnya fonem /ū/
dalam bahasa Inggris Kuno hanya akan berlangsung dalam waktu tertentu, sampai
diganti oleh fonem lain yaitu /ou/ dalam bahasa Inggris Modern. Hal itu terbukti dari
kenyataan lain di luar bahasa Inggris sendiri yaitu: bahwa kata-kata seperti mūtus
‘bisu’ dalam bahasa Latin, ketika masuk dalam bahasa Inggris bukan berubah menjadi
/ou/ tetapi menjadi /ū/. Hal ini menunjukkan bahwa korespondensi fonemis antara /ū/
- /ou/ pada suatu waktu telah berakhir dan diganti dengan korespondensi baru
antara /ū/ - yu/, seperti terdapat dalam kata-kata: acūtus-acute, fumus-fume, dan lain-
lain. Antara kedua korespondensi itu terdapat suatu masa yang terpisah, dan kaidah-
kaidah itu harus dinyatakan pula dalam urutan kronologisnya. Jika kaidah semacam
itu yang terdapat dalam semua bahasa kerabat dikumpulkan bersamam-sama, maka
secara ideal dapat diramalkan hasil yang berbeda-beda dalam bahasa-bahasa kerabat
itu.
Pentingnya masalah ini adalah bahwa observasi empiris tadi diubah menjadi
kaidah-kaidah teoretis, yang kemudian dapat dipergunakan kembali untuk menjadi
unsur individual dengan kaidah-kaidah yang sesuai. Jika kaidah-kaidah itu bersifat
umum, maka tidak boleh ada kekecualian, tetapi kalau ada kekecualian maka hal itu
dapat ditampung dalam kaidah-kaidah lain.
Harus diperhatikan pula bahwa korespondensi itu tidak perlu berlangsung
dengan pola satu-satu, tetapi dapat juga berlangsung dengan pola satu-banyak. Pola
satu-banyak dapat dilihat misalnya pada fonem /t/ Indo-Eropa yang berubah
menjadi /t/ Jerman dalam konteks /s-/ dan /k-/, dan lain-lain, tetapi akan menjadi /th/
dalam hal-hal yang lain. Kaidah yang bersifat sensitif terhadap konteks semacam itu
menggambarkan perkembangan yang terpisah dari variasi alofonis asli.
Penyimpangan lain terjadi karena pengaruh analogi dari bentuk-bentuk yang
berdekatan, baik secara semantik maupun secara gramatikal. Misalnya suatu contoh
dalam bahasa Jerman adalah bentuk genitif adverbial des Nahcts dibentuk
berdasarkan pola lawan katanya de Tags. Dalam keadaan lain analogi dapat
Fayza Achsina S.
12201113062

disebabkan oleh hubungan sintagmatik, seperti tampak dalam contoh bahasa Latin
eorum deum digantikan oleh bentuk eorum deorum.
b. Bahasa-bahasa Austronesia Barat
Pada permasalahan ko-okurensi yaitu menghilangnya fonem /r/ anatara vokal
dalam bahasa Jawa, Bali, dan Lamalera terjadi secara bertahap. Contoh lainnya
adalah:
Jawa: maŋhuri - *maŋhuhi - maŋwi
Berdasarkan contoh di atas, secara relatif dapat ditentukan bahwa bentuk seperti
maŋhuri lebih tua dari maŋwi. Kenyataan ini memberikan suatu kemungkinan,
sekurang-kurangnya memberi suatu kesimpulan bahwa korespondensi antara bahasa
kerabat sebenarnya tidak terjadi pada waktu yang sama. Maka timbul permasalahan
baru: kapann suatu korespondensi mulai berlaku dan kapan korespondensi itu
berakhir.
Berikut contoh korespondensi fonemis dalam bahasa Melayu dan Jawa yang
dapat mengungkapkan usia relatif dari unsur-unsur bahasa.
Melayu: ular - lapar - sandar - ipar
Jawa : ulɔ - lɔpɔ - sənde - ipe
Dari kedua korespondensi tersebut yaitu antara /ar/ dan /ɔ/, dan antara /ar/ dan /e/,
dapat diturunkan suatu hipotesa bahwa ada dua masa korespondensi, yaitu
1. Masa hilangnya fonem /r/ dalam segmen /ar/ didampingi oleh fonem /ɔ/, dan
2. Masa fonem /r/ didampingi hilangnya fonem /X/ menjadi fonem /e/
Kedua korespondensi itu harus berasal dari jaman yang berbeda. Korespondensi
kedua harus memelalui suatu jaman dimana /r/ Melayu didampingi oleh fonem /y/ dalam
bahasa Jawa, yaitu /sandar/ - */sanday/; /ipar/ - */ipay/. Setelah masa korespondensi ini,
selanjutnya terjadilah proses persandian dalam menjadi /sande/ dan /ipe/. Kemudian bentuk
/sande/ karena proses asimilasi berubah menjadi /sənde/.
Mengapa sampai pada hipotesa ini? kesimpulan bahwa bentuk /ipar/ dan /sandar/ pada
suatu waktu berubah menjadi */sanday/ dan */ipay/ didasarkan pada perbandingan dengan
bahasa Sunda, misalnya terdapat kata /oray/ yang berarti ‘ular’. Bentuk ini dapat dimasukkan
dalam kategori */sanday/ dan */ipay/.
Untuk mengadakan perhitungan usia unsur-unsur bahasa seperti di atas sangat
diperlukan catatan-catatan deskriptif, yang mungkin akan berguna untuk menjelaskan
bermacam-macam peristiwa historis yang belum terungkap. Misalnya pada korespondensi
Melayu dan dialek Jakarta:
Fayza Achsina S.
12201113062

Melayu: buah - payah - kata - gila


Jakarta: buε - payε - katε - gilε
Data tersebut juga mengalami ko-okurensi . Untuk menemukan proses yang terlebih
dahulu antara hilangnya /h/ dan berubahnya /a/ menjadi /ε/ perlu diadakan perbandingan
dengan bahasa lain berdasarkan data-data deskriptif. Di Palembang misalnya fonem /i/ pada
akhir kata berkorespondensi dengan /a/ yang terbuka dalam bahasa Melayu seperti pada
contoh:
Melayu : tua (terbuka) buah (tertutup)
Palembang : tui (terbuka) buah (tertutup)
Berdasarkan data dialek Palembang tersebut kita mengambil kesimpulan bahwa mula-mula
terjadi korespondensi antara /a/ dengan /ε/ dalam bahasa Melayu dan Jakarta. oleh sebab itu
kata /buah/ dan /payah/ mula-mula ketanggalan /h/ menjadi /bua/ dan /paya/ sebagai suatu ko-
okurensi. Setelah itu, baru berubah menjadi /buε/ dan /payε/.
Berdasarkan uraian di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa:
1. Berdasarkan korespondensi fonemis kita dapat menentukan secara relatif usia dari
unsur-unsur tertentu dalam suatu bahasa.
2. Dalam menetapkan korespondensi fonemis untuk menentukan usia unsur-unsur
bahasa, kita harus mempergunakan bahan-bahan dari Lingusitik Deskriptif.
6. Status bentuk rekonstruksi
Untuk setiap rumpun bahasa, bahasa asli dapat dianggap sebagai bahasa ibu khusus,
dan bentuk rekonstruksi dapat dianggap sebagai “dokumen” sejarah. Situasi sebenarnya
mungkin berbeda dengan bentuk rekonstruksi, tetapi dengan mempertahankan asumsi ini, kita
dapat menelusuri sejarah bahasa kembali ke zaman prasejarah dan memahami aspek
strukturalnya. Sejauh ini, metode perbandingan memberikan kesan bahwa metode tersebut
telah diubah untuk merekonstruksi kata-kata asli sebanyak mungkin. Namun hal ini patut
dipertanyakan, karena nyatanya jumlah kata kerabat dalam bahasa kerabat lain sangat sedikit.
Buku Franz Bopp yang klasik, secara definitif menciptakan bahasa Indo-Eropa pada
waktu terbitnya pada tahun 1816. Bukti relasi genetis dari bahasa tersebut terletak dalam
morfologi perbandingan seperti berikut.

Sansekerta Yunani Latin Lithaunia Gotik Hittit Rekonstr


uksi

ɑ́smi eimi sum esmi im esmi *esmi


Fayza Achsina S.
12201113062

ɑ́si essi es esi is – *es(s)i

ɑ́sti esti est esti ist eszi *es-ti

sɑ́nti enti sunt – sind asanzi *s-enti

Melalui tabel perbandingan berikut, diketahui bahwa bentuk tunggal rekonstruksi akar
katanya adalah *es, sedangkan bentuk jamak adalah *s. Hal ini juga mengindikasikan bahwa
alomorf akar tunggal presens lebih banyak mengandung vokal. Dari kaidah ablaut dan
korespondensi bunyi antara bahasa kerabat dapat diramalkan variasi bentuknya.
Hasil-hasil rekonstruksi dapat disusun sebuah Tata Bahasa Indo-Eropa yang dapat
menerangkan bentuk gramatikal dari bahasa kerabat sinkronis dianggap tak teratur
(irregular). Bentuk gramatikal yang berkoresponden dalam bahasa kerabat dalam banyak hal
memperlihatkan kesamaan baik dari segi komposisi maupun distribusi morfem dan struktur
morfologisnya. Kesamaan struktur morfologis dianggap esensial untuk menetapkan suatu
keluarga bahasa dan menempatkan keanggotaannya dan dalam hal besar mengatasi
ketidakhadiran kosa kata yang berkoresponden. Oleh sebab itu, untuk tujuan operasional
bahasa induk (bahasa moyang atau parent language) akan dibatasi sebagai: sebuah
gambaran abstrak yang lahir dari suatu tahap perkembangan anggota sebuah keluarga
bahasa yang dengannya dapat diadakan perbandingan kesamaan yang terdapat dalam
bahasa tersebut di zaman sejarah.

Anda mungkin juga menyukai