Anda di halaman 1dari 85

ASUHAN KEPENATAAN PERIANESTESI PADA TN.

R DIAGNOSA
MEDIS FRAKTUR MAXILOFACIAL YANG AKAN MENJALANI
OPERASI REKONSTRUKSI MAXILOFACIAL DENGAN GENERAL
ANESTESI NASOTRACHEAL TUBE (NTT) DI IBS RSUD BENDAN

Disusun untuk memenuhi Tugas Kelompok Praktik Klinik Anestesi Komprehensif


(PK-V)
Dosen Pembimbing: Dr.Catur Budi Susilo,S.Pd.,S.Kp.,M.Kes.

Pembimbing Lapangan: Alif Achmad Fahrizal, S.Tr.Kep

Disusun Oleh:
1. Geraldini Olga Fortuna Ambarita (P07120319009)
2. Salwa Azzarah (P07120319010)
3. Diva Azalia Karangan (P07120319018)
4. Amalia Nadia Mustika (P07120319019)

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLTEKKES KEMENKES YOGYKARTA
JURUSAN KEPERAWATAN
SARJANA TERAPAN KEPERAWATAN ANESTESIOLOGI
TAHUN 2022
LEMBAR PENGESAHAN

ASUHAN KEPERAWATAN PERIANESTESI PADA TN.R DIAGNOSA


MEDIS FRAKTUR MAXILOFACIAL YANG AKAN MENJALANI
OPERASI REKONSTRUKSI MAXILOFACIAL DENGAN GENERAL
ANESTESI NASOTRACHEAL TUBE (NTT) DI IBS RSUD BENDAN

Diajukan untuk disetujui pada:


Hari :
Tanggal :
Tempat :

Mengetahui

Pembimbing Pendidikan Pembimbing Lapangan

Dr.Catur Budi Alif Achmad Fahrizal, S.Tr.Kep


Susilo,S.Pd.,S.Kp.,M.Kes.

ii
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas berkat, rahmat, dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat
menyelesaikan asuhan keperawatan perianestesi ini dengan baik. Laporan pendahuluan ini penulis susun untuk
memenuhi tugas kelompok Praktik Klinik Anestesi komprehensif (PK-V) dengan dosen pembimbing Alif
Achmad Fahrizal, S.Tr.Kep
Dalam penyusunan laporan pendahuluan ini penulis mendapatkan banyak
bantuan, bimbingan, dan saran serta dukungan dari berbagai pihak. Harapan
penulis semoga laporan pendahuluan dengan judul “Asuhan Keperawatan
Perianestesi pada Tn.R diagnosa medis fraktur maxilofacial yang akan menjalani
operasi rekonstruksi maxilofacial dengan general anestesi nasotracheal tube
(NTT) di IBS RSUD Bendan”.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan laporan ini terdapat banyak


kekurangan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat
membangun untuk kesempurnaan laporan ini, sehingga kedepannya dapat menjadi
lebih baik.

Penulis

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Oral dan maxillofacial surgery merupakan cabang ilmu kedokteran
gigi yang berhubungan dengan diagnosis, pengobatan berbagai penyakit,
luka, dan cacat yang melibatkan daerah orofasial (Malik, dkk., 2008).
Trauma pada maxillofacial mencakup cedera pada jaringan lunak dan
tulang-tulang yang membentuk struktur maxillofacial. Tulang-tulang
tersebut antara lain tulang nasoorbitoetmoid, tulang zigomatikomaksila,
tulang nasal, tulang maksila, tulang mandibula (Japardi, 2004). Trauma
orofasial terlibat sebanyak 15% dari semua kunjungan di gawat darurat,
2% dari kasus ini melibatkan trauma dentoalveolar yang terisolasi. Trauma
dentoalveolar pada anakanak paling banyak terjadi akibat terjatuh dengan
rentan usia 8-12 tahun. Sedangkan pada orang dewasa trauma akibat
kecelakaan lalu lintas (40-45%), penganiayaan atau berkelahi (10-15%),
olahraga (5-10%), jatuh (5%) dan lain-lain (5-10%) (Fonseca, dkk., 2013).

Trauma maxillofacial cukup sering terjadi. Hampir semua dokter


baik itu dokter umum maupun dokter spesialis bedah mendapatkan pasien
trauma wajah selama praktiknya(Tiwana, 2006). Dokter bedah plastik
yang memiliki keahlian khusus dalam anatomi wajah, latar belakang
estetika, dan keahlian dalam penyembuhan luka sering kali mendapatkan
rujukan untuk menangani pasien trauma wajah. Pasien dengan trauma
maxillofacial yang disertai lesi intrakranial akut memiliki prognosis yang
buruk jika terlambat mendapatkan penanganan yang tepat, sebagian dari
pasien tersebut dapat berakhir pada kecacatan fungsional bahkan kematian.
Risiko kematian pada pasien trauma maxillofacial yang disertai lesi
intrakranial akut lebih tinggi 13 hingga 75 kali dibandingkan dengan
cedera mandibula saja. Perawatan pada kasus fraktur dentoalveolar terbagi
menjadi beberapa tahap, yaitu perawatan darurat dan perawatan definitif.
Salah satu tahap pada perawatan definitif yaitu reposisi dan fiksasi gigi
yang terkena trauma. Tindakan ini menggunakan alat stabilisasi yang

1
bertujuan untuk menjaga agar retakan, patahan, atau pergeseran gigi dapat
dipertahankan pada posisi normal. Penanganan dengan splinting dapat
dilakukan dalam menangani permasalahan trauma dentoalveolar secara
definitif. Penggunaan jenis dan teknik splinting yang benar perlu
diperhatikan karena dapat menentukan tingkat keberhasilan dari prognosis
pasien (Yadav, 2012; Beogo, 2013)

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana konsep dasar fraktur maxilofasial?
2. Bagaimana konsep dasar anestesi?
3. Bagaimana konsep dasar asuhan keperawatan?
4. Bagaimana persiapan tindakan anestesi umum?
5. Bagaimana penatalaksanaan anestesi pada Tn.R diagnosa medis
fraktur maxilofacial yang akan menjalani operasi rekonstruksi
maxilofacial dengan general anestesi nasotracheal tube (NTT) di IBS
RSUD Bendan?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui konsep dasar fraktur maxillofacial
2. Untuk mengetahui konsep dasar anestesi
3. Untuk mengetahui konsep dasar asuhan keperawatan
4. Untuk mengetahui persiapan tindakan anestesi umum
5. Untuk mengetahui penatalaksanaan anestesi pada Tn.R diagnosa
medis fraktur maxilofacial yang akan menjalani operasi rekonstruksi
maxilofacial dengan general anestesi nasotracheal tube (NTT) di IBS
RSUD Bendan.

D. Manfaat
1. Bagi pasien

Memberi edukasi pada pasien, keluarga pasien tentang pentingnya


persiapan fisik maupun psikis sebelum dilakukan tindakan pembiusan
pada operasi rekonstruksi maxilofacial dengan teknik General
anestesi.

2
2. Bagi penulis

Mendapatkan pengalaman serta dapat menerapkan apa yang di


dapat dalam perkuliahan.

3. Bagi institusi Pendidikan

Sebagai bahan kepustakaan tentang asuhan keperawatan


perianestesi pada Tn.R diagnosa medis fraktur maxilofacial yang akan
menjalani operasi rekonstruksi maxilofacial dengan general anestesi
nasotracheal tube (NTT) di IBS RSUD Bendan.

4. Bagi lahan praktik

Memberikan masukan terhadap tenaga kesehatan untuk


mempertahankan dan menguatkan serta meningkatkan asuhan
keperawatan secara profesional agar terhindar dari komplikasi yang
mungkin timbul.

E. Cara Pengumpulan Data


Data didapatkan dengan cara observasi, wawancara, pemeriksaan
fisik dan studi dokumen rekam medis.

F. Waktu dan Tempat


1. Waktu : 12 Oktober 2022
2. Tempat : IBS RSUD Bendan.

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Dasar Fraktur Maksilofacial

1. Definisi
Fraktur adalah hilang atau putusnya kontinuitas tulang. Fraktur
wajah diklasifikasikan menjadi tiga bagian yaitu upper third di bagian
os. Frontalis, middle third dari bagian os. Frontalis hingga proc.
Alveolaris Maksilaris dan lower third untuk mandibula. Fraktur pada
middle third dan lower third dikenal sebagai trauma maxillofacial, dan
trauma ini juga dapat melibatkan jaringan lunak sekitarnya. (Malik N,
2008)
Fraktur maxillofacial adalah fraktur yang terjadi pada tulang –
tulang wajah seperti os. frontalis, os. temporalis, orbitozigomatikus,
nasal, maksila dan mandibula. Trauma pada maxillofacial merupakan
kondisi yang sering terjadi pada pasien gawat darurat dan memiliki
persentase 15% dari semua kasus trauma. (Fonseca dkk, 2013) Etiologi
dari trauma orofacial terdiri atas pukulan benda langsung, kecelakaan
kendaraan, jatuh dari ketinggian, cedera olahraga, dan penyebab
predisposisi seperti kista, ostemyelitis serta penyakit sistemik lainnya.
Pemeriksaan riwayat medis, kondisi umum pasien, ekstraoral,
intraoral, dan radiografi harus dilakukan sebelum dilakukan tindakan
terhadap fraktur tersebut (Malik N, 2008)..

2. Anatomi
Daerah maksilofasial terbagi atas tiga bagian, yaitu :
 Bagian sepertiga atas terdiri dari tulang frontal.
 Bagian sepertiga tengah terdiri dari maksila, zigoma, lakrimal,
nasal, palatum, nasal konka inferior dan tulang vomer.
 Bagian sepertiga bawah terdiri dari tulang mandibula.
(Fonseca,2013)

4
Gambar 1. Pembagian daerah maksilofasial melalui
pandangan frontal

Gambar 2. Pembagian daerah maksilofasial melalui


pandangan lateral
3. Etiologi
Etilogi fracture maxillofacial:
a) Penyebab khusus
1) Kekerasan langsung
 Pertengkaran interpersonal
 Perkelahian dengan menggunakan kayu, batangan logam,
batu bata dan lainlain
 Jatuh
 Kecelakaan lalu lintas

5
 Kecelakaan karena pekerjaan (kecelakaan olahraga,
kecelakaan industri)
 Iatrogenik – pada saat perawatan dental
2) Kekerasan tidak
langsung
 Jatuh dari ketinggian
 Fracture counter coup
b) Kecelakaan
1) Kecelakaan lalu lintas
2) Pesawat jatuh
3) Kecelakaan pertambangan
c) Peluru
d) Predisposisi
1) Faktor loka : adanya kista, osteomyelitis, tumor, adanya gigi
molar tiga dan sebagainya
2) Faktor sistemik : penyakit sistemik yang mempengaruhi
pembentukan struktur tulang. (Malik, 2012)

4. Klasifikasi
a) Fraktur Sepertiga Atas Wajah
Sinus frontal merupakan komponen penting dalam hubungan
skeletal kompleks antara kranium dan wajah. Cedera pada daerah
ini bisa terjadi secara terpisah atau yang lebih umum, disertai
dengan cedera lain, seperti pada otak, kranium, orbital, sepertiga
tengah wajah dan jaringan lunak. Fraktur sinus frontal biasanya
disebabkan oleh kecelakaan kecepatan tinggi dan sering dikaitkan
dengan cedera sistemik atau kraniomaksilofasial. Cedera pada
bagian tengah wajah secara langsung berhubungan dengan sinus
frontal dan perbedaan lebih lanjut harus dibuat berdasarkan
integritas kompleks NOE dan basis kranii. Klasifikasi fraktur sinus
frontal dibagi secara spesifik unit fungsional dan anatomi, yaitu :
(Fonseca,2013)
 Anterior table
 Posterior table dan basis kranii

6
 Kompetensi dural (adanya kebocoran cairan serebrospinal)
 Kompleks NOE dan integritas saluran nasofrontal
b) Fraktur Sepertiga Tengah Wajah
Fraktur sepertiga tengah wajah diklasifikasikan sebagai berikut:
1) Fraktur Nasal-Orbital-Ethmoid (NOE)
Fraktur naso-orbital-ethmoid (NOE) merupakan fraktur
yang kompleks, menggambarkan diagnosis dan rekonstruksi
yang menantang dan menunjukkan sifat rumit anatomi yang
relavan dan memerlukan perhatian estetik yang detil. Fraktur
NOE menunjukkan bahwa cedera kekuatan tinggi pada daerah
nasal dapat mematahkan dan displacement struktur tulang
termasuk tulang nasal dan juga prosesus nasal, tulang lakrimal
dan tulang ethmoid. (Andersson, 2010)
Menurut Markowitz dan Manson, fraktur NOE dapat
diklasifikasikan menjadi 3 jenis, yaitu :
 Tipe I : MCT (Medial Canthal Tendon) menempel pada
sebuah fragmen sentral yang besar.
 Tipe II : MCT menempel pada fragmen sentral yang telah
pecah namun dapat diatasi atau MCT menempel pada
fragmen yang cukup besar untuk memungkinkan
osteosintesis.
 Tipe III : MCT menempel pada sentral fragmen yang pecah
dan tidak dapat diatasi atau fragmen terlalu kecil untuk
memungkinkan terjadinya osteosintesis atau telah terlepas
total.

7
Gambar 3. Klasifikasi fraktur NOE

2) Fraktur Kompleks Zigomatik


Fraktur kompleks zigomatik adalah fraktur yang sering
terjadi pada wajah dan merupakan kedua setelah tulang nasal.4
Tulang zigomatik berhubungan erat dengan tulang maksila,
frontal dan temporal dan mereka biasanya terlibat saat fraktur
zigomatik terjadi, oleh karena itu, jenis fraktur tersebut disebut
sebagai fraktur kompleks zigomatik atau fraktur
zigomatikomaksila kompleks atau fraktur tripod.
Klasifikasi fraktur kompleks zigomatik menurut Rowe dan
Killey, yaitu :
 Tipe I : Tidak terdapat displacement yang signifikan
 Tipe II : Fraktur pada arkus zigomatik
 Tipe III : Rotasi di sekitar sumbu vertical
o Displacement dalam orbital rim
o Displacement luar orbital rim
 Tipe IV : Rotasi di sekitar sumbu longitudinal
o Displacement medial prosesus frontal zigomatik
o Displacement lateral prosesus frontal zigomatik
 Tipe V : Diplacement kompleks en bloc
o Medial
o Inferior
o Lateral (jarang)

8
 Tipe VI : Displacement partisi orbitoantral
o Inferior
o Superior (jarang)
 Tipe VII : Displacement segmen orbital rim
 Tipe VIII : Fraktur kominuta kompleks

Gambar 4. Klasifikasi fraktur kompleks zigomatik menurut Rowe dan Killey. (1A)
Tipe I, (1B) Tipe II, (1C) Tipe III, (1D) Tipe IV (a) Keluar dari zygomatic
prominence (b) Masuk ke zygomatic prominence, (2A) Tipe V (a) Keatas margin
infraorbital (b) Keluar dari sutura zigomatikofrontal, (2B) Fraktur Kompleks,
(2C,2D) Arah gaya

Pada tahun 1985, Rowe mengubah klasifikasinya dengan


membagi fraktur menjadi stabil dan tidak stabil. Klasifikasi
tersebut mirip dengan klasifikasi yang dibuat Larsen dan
Thomson, yang lebih sederhana dan praktis sebagai klasifikasi
fraktur zigomatik, yaitu :

 Group A : Fraktur stabil – menunjukkan minimal atau tidak


ada displacement dan tidak memerlukan intervensi.
 Group B : Fraktur tidak stabil – dengan displacement yang
besar dan gangguan pada sutura frontozigomatik dan
fraktur yang hancur. Membutuhkan reduksi dan fiksasi
 Group C : Fraktur stabil – tipe lain dari fraktur zigomatik,
yang membutuhkan reduksi, tetapi tidak memerlukan
fiksasi.

9
3) Fraktur Maksila
Fraktur maksila dominan terjadi pada generasi muda, yang
dapat menyebabkan terjadinya distorsi pada kontur pasien dan
keterlibatan pada sistem mastikasi, sistem okular, olfactory
apparatus dan jalur nafas nasal. Fraktur maksila sering
berhubungan dengan cedera seperti laserasi, fraktur
maksilofasial lainnya, cedera ortopedik dan cedera neurologi.
Renee Le Fort, mengembangkan sebuah klasifikasi yang terdiri
dari dari tiga jenis fraktur, yaitu :
a. Le Fort I
Fraktur Le Fort I juga dikenal sebagai fraktur Guerin sering
merupakan akibat dari penerapan kekuatan gaya horizontal
pada rahang atas, yang fraktur maksila melalui sinus
maksilaris dan sepanjang lantai hidung. Fraktur tersebut
memisahkan maksila dengan pterygoid plates dan nasal dan
struktur zigomatik.

Gambar 5. Fraktur Le Fort I


b. Le Fort II
Kekuatan yang diterapkan dalam arah yang lebih superior
sering mengakibatkan fraktur Le Fort II, yang memisahkan
maksila dan kompleks nasal dari struktur orbital dan

10
zigomatik. Le Fort II juga dikenal sebagai fraktur
piramidal.

Gambar 6. Fraktur Le Fort II


c. Le Fort III
Fraktur Le Fort III merupakan hasil dimana ketika kekuatan
gaya horizontal diterapkan pada tingkat yang cukup
superior untuk memisahkan komplek NOE, zigomatik dan
maksila dari basis kranii, yang menghasilkan pemisahan
kraniofasial.

Gambar 7. Fraktur Le Fort III

c) Fraktur Sepertiga Bawah Wajah


Fraktur mandibula adalah fraktur yang umum terjadi pada
pasien trauma maksilofasial. Fraktur mandibula bisa favorable atau

11
tidak favorable, tergantung dari angulasi fraktur dan kekuatan dari
otot tarik proksimal dan distal fraktur. Pada fraktur yang favorable,
garis fraktur dan otot tarik menolak displacement fraktur. Pada
fraktur yang tidak favorable, otot tarik mengakibatkan
displacement segmen fraktur. (Hupp JR, 2014)
Fraktur mandibula telah diklasifikasikan dalam beberapa
hal, dengan menggunakan terminologi yang belum distandarisasi.
Klasifikasi fraktur mandibular berdasarkan istilah yang diambil
dari Dorland’s Illustrated Medical Dictionary, yaitu :
 Simpel atau tertutup : Fraktur yang tidak menimbulkan luka
terbuka keluar baik melewati kulit, mukosa, maupun membran
periodontal.
 Compound atau terbuka : Fraktur yang disertai dengan luka
luar termasuk kulit, mukosa, maupun membran periodontal,
yang berhubungan dengan patahnya tulang.
 Kominutif : Fraktur dimana tulang menjadi pecah atau hancur.
 Greenstick : Fraktur dimana salah satu korteks tulang patah,
satu sisi lainnya melengkung.
 Patologik : Fraktur yang terjadi sebagai cedera yang ringan
dikarenakan adanya penyakit tulang.
 Multipel : Sebuah variasi dimana ada dua atau lebih garis
fraktur pada tulang yang sama tidak berhubungan satu sama
lain.
 Impacted : Fraktur dimana salah satu fragmennya terdorong ke
bagian lainnya.
 Atropik : Fraktur yang spontan terjadi akibat dari atropi tulang,
seperti pada rahang edentulus.
 Indirect : Titik fraktur yang jauh dari tempat dimana terjadinya
cedera.
 Complicated atau kompleks: Fraktur dimana letaknya
berdekatan dengan jaringan lunak atau bagian – bagian lainnya.

12
Gambar 8. Klasifikasi fraktur mandibula berdasarkan
istilah. (A) Greenstick, (B) Simpel, (C) Komunitif, (D)
Compound

Tergantung dari jenis cedera dan arah dan kekuatan trauma,


fraktur mandibula umumnya terjadi di beberapa lokasi, yaitu
kondilar, ramus, angle, body, symphyseal, alveolar dan daerah
prosessus koronoideus. Dingman dan Natvig mendefinisikan
berdasarkan lokasi anatomi sebagai berikut :

 Midline : Fraktur diantara insisivus sentralis


 Parasymphyseal : Fraktur yang terjadi dalam wiliyah simfisis
 Simfisis : Berbatasan dari garis vertikal sampai distal gigi
kaninus
 Body : Dari distal simfisis hingga ke garis yang bertepatan
dengan perbatasan alveolar dari otot masseter (termasuk gigi
molar 3)
 Angle : Area segitiga yang berbatasan dengan batas anterior
otot masseter hingga perlekatan posterosuperior otot masseter
(distal gigi molar 3).
 Ramus : Berbatasan dengan bagian superior angle hingga
membentuk dua garis apikal pada sigmoid notch.

13
 Prosesus kondiloideus : Area pada superior prosesus kondilus
hingga ramus.
 Prosesus koronoideus : Termasuk prosesus koronoid pada
superior mandibula hingga ramus.
 Prosesus alveolaris : Regio yang secara normal terdiri dari gigi.

Gambar 9. Fraktur mandibula berdasarkan lokasi anatomi

5. Diagnosis
Catatan lengkap dari pemeriksaan klinis yang detail untuk fraktur
maksilofasial dipertimbangkan dalam beberapa langkah dan harus
dipertahankan untuk bukti di kasus medikolegal, yaitu :
a) Anamnesis
Anamnesis yang tepat wajib dilakukan untuk mendapatkan
diagnosis fraktur maksilofasial yang tepat. Anamesis dapat
diperoleh dari pasien, jika pasien rasional dan kooperatif dan dapat
juga diperoleh dari saudara, orang yang menemani atau saksi mata
sewaktu cedera.
 Who – Identitas pasien. Nama, usia, jenis kelamin, alamat,
telepon, dll.
 When – Tanggal dan waktu cedera. Untuk mengetahui apakah
fraktur baru terjadi atau sudah lama.
 Where – Lingkungan tempat cedera. Untuk mengetahui
kemungkinan tingkat kontaminasi bakteri atau bahan kimia

14
pada luka. Disini sejarah tetanus juga harus diminta dan juga
apakah pasien telah menerima perawatan awal di tempat lain.
 How – Cara terjadinya cedera – jenis kekerasan dan arah
kekuatan dapat memberikan beberapa indikasi berdasarkan
sifat dan luasnya cedera.
 What – Tipe jenis perawatan yang diberikan (jika pasien datang
ke tempat lain sebelumnya)
 What – Kesehatan umum pasien. Memperoleh riwayat
kesehatan yang bersangkutan dari fasilitas yang menggunakan
AMPLE mnemonic.
A : Allergies
M:
Medications P :
Past illness L :
Last meal
E : Event related injury
 Sejarah trauma sebelumnya
 Waktu kehilangan kesadaran. Untuk mengetahui tingkat cedera
kepala dan rujukan yang tepat.
 Riwayat nyeri, muntah, kehilangan kesadaran, amnesia, sakit
kepala, gangguan penglihatan, kebingungan, maloklusi setelah
cedera perlu dicatat
 Jumlah darah yang keluar akibat kecelakaan
 Informasi tentang obat – obatan yang digunakan pasien.
Apakah pasien menggunakan secara rutin atau tidak
 Golongan darah pasien
b) Kondisi umum
c) Pemeriksaan ekstraoral
d) Pemeriksaan intraoral
e) Pemeriksaan radiologi

Sama seperti semua diagnosis trauma, berkaitan dengan


mekanisme cedera, gejela, tanda dan pemeriksaan khusus. Secara
umum, fraktur maksilofasial dikenali secara klinis berdasarkan gejala
15
nyeri, maloklusi dan diplopia. Tanda – tanda tersebut adalah
maloklusi, deformitas, hematoma sublingual, pendarahan
subkonjungtiva, epitaksis dan mobiliti yang abnormal.

Lokasi dan pola fraktur maksilofasial dapat dilihat dengan ro-foto


pada sudut yang tepat dan computed tomography scan (CT-scan),
biasanya koronal atau bentuk tiga dimensi. (Mitchel, 2015)

6. Pemeriksaan Klinis
a) Pemeriksaaan Ekstraoral
Sebelum pemeriksaan, wajah pasien harus dicuci dengan
lembut menggunakan larutan saline atau air bersih dan kapas untuk
membersihkan darah. Rongga mulut harus diirigasi secara
menyeluruh dan dibersihkan dengan kapas. Obat kumur juga dapat
digunakan. Evaluasi daerah wajah harus dilakukan dalam cara
yang terorganisir dan berurutan.
1) Inspeksi
Inspeksi akan mengungkapkan adanya edema, ekimosis dan
deformitas. Terkait cedera jaringan lunak harus dicatat.
Panjang, lebar dan kedalaman luka jaringan lunak harus diukur
dan ditulis. Pemeriksaan hidung dan telinga untuk kehadiran
perdarahan atau kebocoran cairan cerebrospinal. Edema
periorbital, ekimosis, perdarahan subkonjungtiva bisa terlihat
(memar di belakang telinga atau battle’s sign, kemungkinan
fraktur kranium). Pemeriksaan neurologis harus mencakup
evaluasi semua saraf kranial dengan cermat. Penglihatan,
tingkat okular, gerakan ekstraokular, reaksi pupil terhadap
cahaya harus dievaluasi secara cermat. Perubahan visual atau
pupil kemungkinan merupakan trauma intrakranial (saraf
kranial II, III, IV dan VI) atau orbital. Abnormalitas pergerakan
mata juga dapat menunjukkan masalah neurologis sentral
lainnya atau obstruksi mekanikal untuk pergerakan otot mata
akibat fraktur di sekitar daerah orbital. Mata, jika tertutup

16
karena edema, maka kelopak mata harus dipisahkan secara
lembut. Jika pasien sadar, penglihatan diuji pada setiap mata.
Kemudian pasien diminta untuk mengikuti jari klinisi dengan
matanya, tanpa menggerakkan kepala dan diminta untuk
melaporkan jika terjadi diplopia atau penglihatan ganda.
Perubahan dalam ukuran pupil dan refleks cahaya yang diuji
perlu dicatat. Sejauh mana ekimosis subkonjungtiva dan batas-
batasnya juga harus dikonfirmasi. Fungsi motorik dari otot-otot
wajah (saraf kranial VII) dan otot-otot mastikasi dan sensasi
pada daerah wajah (saraf kranial V) harus dievaluasi.
Anesthesia, paresthesia atau dysesthesia dari bibir bawah,
kelopak mata, hidung, daerah infraorbital harus diperhatikan.
Kompleks nasal harus diperiksa dengan spekulum dan
pencahayaan yang baik, untuk laserasi intranasal, deviasi
septum dan hematoma, perubahan kontur tip dan dorsal,
epistaksis dan CSS rhinorrhea.
2) Palpasi
Palpasi daerah ekstraoral dimulai dengan kedua tangan, secara
bersamaan pada masing-masing setengah dari wajah eksternal,
dengan tekanan lembut tapi kuat. Hal ini akan membantu untuk
mendeteksi kelainan dan dapat membandingkan sisi normal
dengan wilayah yang abnormal. Palpasi yang lembut harus
mulai dari bagian belakang kepala dan tempurung kepala harus
dieksplorasi untuk luka dan cedera tulang. Kemudian jari-jari
dijalankan ke dahi untuk meraba adanya depresi apapun. Jari-
jari peraba diletakkan di garis tengah dan samping supraorbital
rim dan infraorbital rim, tulang zigomatik dan lengkung
zigomatik. Area nyeri, deformitas atau mobilitas yang
abnormal harus dicatat. Palpasi nasal bridge harus dimulai dari
atas sampai ujung hidung di tengah dan kemudian ke samping.
Apabila terasa crackling, harus dicatat. Tekanan yang tetap
atau kuat pada daerah tersebut digunakan untuk mengevaluasi

17
kontur tulang dan mungkin sulit ketika daerah tersebut edema.
Setelah membersihkan intranasal, perdarahan atau kebocoran
CSS harus dipastikan.
Hidung harus dievaluasi untuk simetri, jarak interkantal
antara bagian terdalam dari medial canthal kiri dan kanan
diukur. Fraktur NOE sering menyebabkan penyebaran tulang
hidung dan terpisahnya medial canthal tendon, sehingga
menyebabkan traumatis telecanthus (pelebaran jarak interkantal
medial).
Fungsi TMJ harus dilakukan evaluasi dengan menempatkan
jari telunjuk pada daerah preaurikular atau di meatus auditori
eksternal. Semua gerakan harus diperiksa. Kemudian palpasi
posterior dan batas inferior mandibula harus dilakukan. Setiap
daerah nyeri dan deformitas harus dicatat. (Malik, 2012)

Gambar 10. Palpasi secara sistematis : Palpasi untuk - (A)


Supraorbital ridge, (B) Infraorbital ridge, (C) Lateral
margin orbital, (D) Tulang zigomatik dan lengkung, (E)
Tulang Nasal, (F) TMJ, (G) Palpasi intraoral dalam
vestibulum bukal untuk zygomatic buttress, (H) Palpasi
intraoral untuk memeriksa mobiliti pada maksila

18
b) Pemeriksaan intraoral
1) Inspeksi
Terbatasnya pembukaan mulut, oklusi gagging, laserasi,
ekimosis dan kerusakan gigi dan alveolus harus dicatat.
Mungkin ada kehadiran bekuan darah dengan foetid odor.
Sulkus bukal dan lingual diinspeksi untuk luka, ekimosis atau
sublingual hematoma. Gigi yang lepas atau longgar dan
terganggunya kesejajaran gigi harus dicatat. Oklusi harus
diperiksa. Jika terdapat patahan atau deformitas pada lengkung
gigi dapat ditemukan. Mukosa palatal juga harus diperiksa
untuk robek atau pendarahan.
2) Palpasi
Sulkus bukal dan lingual harus teraba untuk mengetahui adanya
nyeri, perubahan kontur, kreptikus, mobiliti gigi, dll.
Mandibula harus dipalpasi secara bimanual dan mobilitas
abnormal harus dicatat. Untuk menilai gigi mobilitas maksila,
kepala pasien harus distabilkan dengan tekanan diatas dahi
dengan satu tangan dan dengan ibu jari dan telunjuk di sisi
lainnya, maksila dipegang, tekanan yang tetap atau kuat dapat
digunakan untuk memperoleh mobilitas rahang atas.
Menggoyangkan segmen alveolar maksila untuk mendeteksi
fraktur alveolus atau fraktur dalam palatum.

7. Pemeriksaan Penunjang
Setelah pemeriksaan klinis, pasien harus dirujuk untuk melakukan
pemeriksaan radiologi yang diperlukan. Hal ini juga ditambah dengan
menggunakan CT-scan, jika fasilitas tersedia
Minimum X-ray yang perlukan adalah sebagai berikut :
a) Untuk fraktur sepertiga atas wajah
 Water’s dan reverse Towne’s view
 Lateral skull view
 Laminar Tomography

19
b) Untuk fraktur sepertiga tengah wajah
 15o dan 30o occipitomental view
 Submentovertex view
 Cranial posteroanterior view (skull)
 Lateral skull view
 PA view – posisi Water’s
c) Untuk fraktur sepertiga
bawah
 Orthopantomogram – OPG
 Lateral oblique view mandibula kanan dan kiri
 Posteroanterior view mandibular
 Towne’s view pada fraktur kondilus
d) Occlusal view pada mandibular atau maksila, intraoral periapikal
pada gigi secara individual juga dapat dilakukan bila diperlukan.

8. Penatalaksanaan
Prinsip dasar dari penatalaksanaan fraktur adalah reduksi, fiksasi
dan immobilisasi, untuk mengembalikan bentuk, fungsi dan oklusi
dengan morbitas minimum.
Tujuan dari prinsip tersebut adalah kepuasan bentuk wajah,
kepuasan fungsional oklusi, kepuasan jarak pergerakan rahang setelah
perawatan, tidak ada operasi kedua untuk kontur wajah atau maloklusi
dan tidak ada bone graft.
a) Reduksi
Reduksi adalah pemulihan fragmen fraktur kembali ke posisi
anatomi aslinya. Restorasi fragmen ke posisi sebenarnya dapat
dilakukan dengan :
1) Reduksi tertutup
Penjajaran tanpa visualisasi garis fraktur. Tidak ada intervensi
bedah yang diperlukan untuk reduksi tertutup. Penjajaran
fragmen fraktur dapat dilakukan tanpa pembedahan. Oklusi

20
digunakan sebagai faktor penuntun. Reduksi tertutup dapat
dicapai dengan metode manipulasi atau traksi.
 Reduksi dengan manipulasi
Ketika fragmen fraktur yang mobile secara adekuat tanpa
banyak overriding atau impaksi dan pasien datang untuk
pengobatan segera setelah trauma (fraktur baru), maka
manipulasi digital atau tangan untuk pengurangan dapat
digunakan. Instrumen yang dirancang secara khusus untuk
menangkap fragmen tersedia, seperti disimpaction forsep
 Reduksi dengan traksi
Dalam metode traksi intraoral, prefabrikasi arch bar yang
melekat pada lengkung dental maksila dan mandibula
dengan cara interdental wiring. Di sini, fragmen fraktur
dikenakan traksi elastis secara bertahap dengan
menempatkan elastis, dari atas ke bawah arch bar secara
pasti dan arah tergantung pada garis fraktur.

Dalam metode traksi ekstraoral, anchorage biasanya diambil


dari kranium pasien dan berbagai jenis head gear digunakan
untuk berbagai attachment, turun ke wajah dan terhubung ke
arch bar yang elastis dan berkawat. Setiap kali metode traksi
yang digunakan, pasien diminta untuk membuka dan menutup
mulut secara perlahan, sehingga traksi elastis mulai berfungsi.
Pasien harus diberi analgesik untuk mengontrol rasa sakit,
sehingga traksi elastis bisa lebih halus. Setelah oklusi yang
tepat tercapai, maka elastis diganti dengan wire untuk
melaksanakan fiksasi intermaxillary atau ligasi intermaxillary
(IMF atau IML). Hal ini juga dikenal sebagai fiksasi
maksilomandibula (MMF). Setelah traksi elastis diberikan,
maka pasien harus diamati selama 12 sampai 24 jam. Pada
akhir 48 jam, jika oklusi memuaskan tidak tercapai, maka
dapat dilakukan reduksi terbuka

21
2) Reduksi tertutup
Reduksi pembedahan yang memungkinkan identifikasi visual
pada fragmen fraktur.
b) Fiksasi
1) Fiksasi skeletal direk
 Fiksasi eksternal skeletal direk
Dimana perangkat berada di luar jaringan, tetapi
dimasukkan ke dalam tulang secara perkutan. Bone clamp
atau pin fiksasi dapat digunakan
 Fiksasi internal skeletal direk
Perangkat yang benar-benar terlampir dalam jaringan dan
menyatukan dengan tulang, diakhiri dengan pendekatan
langsung. Dilakukan dengan transosseous atau intraosseous
wiring atau menggunakan sistem bone plating.
2) Fiksasi skeletal indirek
Kontrol fragmen tulang dilakukan melalui area pendukung gigi
tiruan. Dengan arch bar dan IML atau Gunning splint, jika
pasien edentulus. Hal ini dapat dilakukan dengan metode
ekstraoral atau intraoral.
c) Imobilisasi
Pada fase ini, perangkat fiksasi dipertahankan untuk menstabilkan
reduksi fragmen untuk kembali ke posisi anatomi normal, sampai
penyatuan tulang klinis berlangsung. Perangkat fiksasi digunakan
untuk jangka waktu tertentu untuk immobilisasi fragmen fraktur.
d) Tahap selanjutnya
Mencegah infeksi dan rehabilitasi fungsi sedikit demi sedikit.

B. Konsep Dasar Anestesi


1. Anestesi Umum (General Anesthesia)
Menurut Mangku (2010) general anesthesia merupakan tindakan
meniadakan nyeri secara sentral disertai hilangnya kesadaran dan
bersifat pulih kembali (reversible). General anestesi menyebabkan

22
mati rasa karena obat ini masuk ke jaringan otak dengan tekanan
setempat yang tinggi. Selama masa induksi pemberian obat bius harus
cukup untuk beredar di dalam darah dan tinggal di dalam jaringan
tubuh. Beberapa teknik general anestesi inhalasi adalah Endotracheal
Tube (ETT)/Nasotracheal Tube (NTT) dan Laringeal Mask Airway
(LMA).
2. Intubasi Trakhea (ETT/NTT)
a. Pengertian
Intubasi Trakhea adalah tindakan memasukkan pipa trakhea
kedalam trakhea melalui rima glotis, sehingga ujung distalnya
berada kira-kira dipertengahan trakhea antara pita suara dan
bifurkasio trakhea (Latief, 2007). Tindakan intubasi trakhea
merupakan salah satu teknik anestesi umum inhalasi, yaitu
memberikan kombinasi obat anestesi inhalasi yang berupa gas atau
cairan yang mudah menguap melalui alat/ mesin anestesi langsung
ke udara inspirasi.
b. Ukuran ETT/NTT
Pipa endotrakheal terbuat dari karet atau plastik. Untuk operasi
tertentu misalnya di daerah kepala dan leher dibutuhkan pipa yang
tidak bisa ditekuk yang mempunyai spiral nilon atau besi (non-
kinking). Untuk mencegah kebocoran jalan nafas, kebanyakan pipa
endotrakheal mempunyai balon (cuff) pada ujung distalnya. Pipa
tanpa balon biasanya digunakan pada anak-anak karena bagian
tersempit jalan nafas adalah daerah rawan krikoid.
Pada orang dewasa biasa dipakai pipa dengan balon karena bagian
tersempit adalah trachea. Pipa pada orang dewasa biasa digunakan
dengan diameter internal untuk laki-laki berkisar 8,0 – 9,0 mm dan
perempuan 7,5 – 8,5 mm (Latief, 2007). Untuk intubasi oral
panjang pipa yang masuk 20 – 23 cm. Pada anak-anak dipakai
rumus (Latief, 2007):
Rumus tersebut merupakan perkiraan dan harus disediakan pipa
0,5 mm lebih besar dan lebih kecil. Untuk anak yang lebih kecil

23
biasanya dapat diperkirakan dengan melihat besarnya jari
kelingkingnya.
c. Indikasi Intubasi Trakhea
Indikasi intubasi trakhea sangat bervariasi dan umumnya
digolongkan sebagai berikut (Latief, 2007):
1) Menjaga patensi jalan nafas oleh sebab apapun
Kelainan anatomi, bedah khusus, bedah posisi khusus,
pembersihan sekret jalan nafas dan lain-lain.
2) Mempermudah ventilasi positif dan oksigenasi
Misalnya saat resusitasi, memungkinkan penggunaan
relaksan dengan efisien, ventilasi jangka panjang.
3) Pencegahan terhadap aspirasi dan regurgitasi.
Klasifikasi tampakan faring pada saat mulut terbuka
maksimal dan lidah dijulurkan maksimal menurut
Mallampati dibagi menjadi 4 gradasi (Latief, 2007).
d. Kotraindikasi ETT/NTT
Menurut Morgan (2006) ada beberapa kondisi yang diperkirakan
akan mengalami kesulitan pada saat dilakukan intubasi, antara lain:
1) Tumor: Higroma kistik, hemangioma, hematom
2) Infeksi: Abces mandibula, peritonsiler abces, epiglottitis
3) Kelainan kongenital: Piere Robin Syndrome, Syndrom Collin
teacher, atresi laring, Syndrom Goldenhar, disostosis
kraniofasial
4) Benda asing
5) Trauma: Fraktur laring, fraktur maxila/ mandibula, trauma
tulang leher
6) Obesitas
7) Extensi leher yang tidask maksimal: Artritis rematik,
spondylosis arkilosing, halo traction
8) Variasi anatomi: Mikrognatia, prognatisme, lidah besar, leher
pendek, gigi moncong.

24
e. Pemasangan Intubasi Trakheal
Prosedur pelaksanaan intubasi endotrakheal adalah sebagai berikut
(Latief, 2007)
1) Persiapan Alat (STATICS):
i. Scope: Laringoscope, Stetoscope
ii. Tubes: Endotracheal Tube (ETT)/ Nasotracheal Tube
(NTT) sesuai ukuran
iii. Airway: Pipa orofaring / OPA atau hidung-faring/NPA
iv. Tape: Plester untuk fiksasi dan gunting
v. Introducer: Mandrin / Stylet, Magill Forcep
vi. Conector: Penyambung antara pipa dan pipa dan peralatan
anestesi.
vii. Suction: Penghisap lendir siap pakai.
viii. Bag dan masker oksigen (biasanya satu paket dengan
mesin anestesi yang siap pakai, lengkap dengan sirkuit dan
sumber gas).
ix. Sarung tangan steril
x. Xylocain jelly/ Spray 10%
xi. Gunting plester
xii. Spuit 20 cc untuk mengisi cuff
xiii. Bantal kecil setinggi 12 cm
xiv. Obat- obatan (premedikasi, induksi/sedasi, relaksan,
analgesi dan emergency).

2) Pelaksanaan
i. Mesin siap pakai
ii. Cuci tangan
iii. Memakai sarung tangan steril
iv. Periksa balon pipa/ cuff ETT atau NTT
v. Pasang macintosh blade yang sesuai
vi. Anjurkan klien berdoa, karena intubasi/ induksi akan
dimulai

25
vii. Beri oksigen 100% dengan masker/ ambu bag 4 liter/ menit
viii. Masukkan obat-obat sedasi dan relaksan
ix. Lakukan bagging sesuai irama pernafasan
x. Buka mulut dengan teknik cross finger dengan tangan
kanan
xi. Masukkan laringoskop dengan tangan kiri sampai terlihat
epiglotis, dorong blade sampai pangkal epiglotis
xii. Masukkan ETT/NTT yang sebelumnya sudah diberi jelly
dengan tangan kanan
xiii. Sambungkan dengan bag/ sirkuit anestesi, berikan oksigen
dengan nafas kontrol 8-10 kali/ menit dengan tidal volume
6-8 ml/kgBB
xiv. Kunci cuff ETT dengan udara ± 4-8 cc, sampai kebocoran
tidak terdengar
xv. Cek suara nafas/ auskultasi pada seluruh lapangan paru kiri
kanan
xvi. Pasang OPA/NPA sesuai ukuran
xvii. Lakukan fiksasi ETT/NTT dengan plester
xviii. Lakukan pengisapan lendir bila terdapat banyak lender
xix. Bereskan dan rapikan kembali peralatan
xx. Lepaskan sarung tangan, cuci tangan.

3. Komplikasi Intubasi
Komplikasi yang sering terjadi pada intubasi antara lain trauma jalan
nafas, salah letak dari ETT/NTT, dan tidak berfungsinya ETT/NTT.
Komplikasi yang biasa terjadi adalah:
a. Saat Intubasi
1) Salah letak : Intubasi esofagus, intubasi endobronkhial, posisi
balon di laring.
2) Trauma jalan nafas : Kerusakan gigi, laserasi mukosa bibir dan
lidah, dislokasi mandibula, luka daerah retrofaring.

26
3) Reflek fisiologi : Hipertensi, takikardi, hipertense intra kranial
dan intra okuler, laringospasme.
4) Kebocoran balon.
b. Saat ETT/NTT di tempatkan
1) Malposisi (kesalahan letak)
2) Trauma jalan nafas : inflamasi dan laserasi mukosa, luka lecet
mukosa hidung.
3) Kelainan fungsi : Sumbatan ETT/NTT.
c. Setelah ekstubasi
1. Trauma jalan nafas : Udema dan stenosis (glotis, subglotis dan
trakhea), sesak, aspirasi, nyeri tenggorokan.
2. Laringospasme.

C. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan

1. Pengkajian Keperawatan
a. Primary Survey (ABCDE)

1) Airway. Tanda-tanda objektif-sumbatan Airway

a) Look (lihat) apakah penderita mengalami agitasi


atau kesadarannya menurun.

- Agitasi memberi kesan adanya hipoksia, dan penurunan


k esadaran memberi kesan adanya hiperkarbia.

- Sianosis menunjukkan hipoksemia yang disebabkan oleh


kurangnya oksigenasi dan dapat dilihat dengan melihat
pada kuku-kuku dan kulit sekitar mulut.

- Lihat adanya retraksi dan penggunaan otot-otot napas


tambahan yang apabila ada, merupakan bukti tambahan
adanya gangguan airway.

- Airway (jalan napas) yaitu membersihkan jalan napas


dengan memperhatikan kontrol servikal, pasang servikal
kollar untuk immobilisasiservikal sampai terbukti tidak

27
ada cedera servikal, bersihkan jalan napas dari segala
sumbatan, benda asing, darah dari fraktur maksilofasial,
gigi yang patah dan lain-lain. Lakukan intubasi
(orotrakeal tube) jika apnea, GCS (Glasgow Coma Scale)
< 8, pertimbangan juga untuk GCS 9 dan 10 jika saturasi
oksigen tidak mencapai 90%.

b) Listen (dengar) adanya suara-suara abnormal. Pernapasan yang


berbunyi (suara napas tambahan) adalah pernapasan yang
tersumbat

c) Feel (raba)

2) Breathing

Tanda-tanda objektif-ventilasi yang tidak adekuat

a) Look (lihat) naik turunnya dada yang simetris dan


pergerakan dinding dada yang adekuat. Asimetris
menunjukkan pembelatan (splinting) atau flail chest dan
tiap pernapasan yang dilakukan dengan susah (labored
breathing) sebaiknya harus dianggap sebagai ancaman
terhadap oksigenasi penderita dan harus segera
dievaluasi. Evaluasi tersebut meliputi inspeksi terhadap
bentuk dan pergerakan dada, palpasi terhadap kelainan
dinding dada yang mungkin mengganggu ventilasi,
perkusi untuk menentukan adanya darah atau udara ke
dalam paru.

b) Listen (dengar) adanya pergerakan udara pada kedua sisi


dada. Penurunanatau tidak terdengarnya suara napas pada
satu atau hemitoraks merupakantanda akan adanya cedera
dada. Hati-hati terhadap adanya laju pernapasanyang
cepat-takipneu mungkin menunjukkan kekurangan
oksigen.

28
c) Gunakan pulse oxymeter. Alat ini mampu memberikan
informasi tentangsaturasi oksigen dan perfusi perifer
penderita, tetapi tidak memastikan adanyaventilasi yang
adekuat

3) Circulation dengan kontrol perdarahan

a) Respon awal tubuh terhadap perdarahan adalah


takikardi untukmempertahankan cardiac output walaupun
stroke volum menurun

b) Selanjutnya akan diikuti oleh penurunan tekanan nadi


(tekanan sistolik-tekanan diastolik)

c) Jika aliran darah ke organ vital sudah dapat dipertahankan


lagi, maka timbullah hipotensi

d) Perdarahan yang tampak dari luar harus segera dihentikan


dengan balut tekanpada daerah tersebut

e) Ingat, khusus untuk otorrhagia yang tidak membeku, jangan


sumpal MAE (Meatus Akustikus Eksternus) dengan kapas
atau kain kasa, biarkan cairan atau darah mengalir keluar,
karena hal ini membantu mengurangi TTIK (TekananTinggi
Intra Kranial)

f) Semua cairan yang diberikan


harus dihangatkan untuk menghindari terjadinya koagulopati
dan gangguan irama jantung.

4) Disability

a) GCS setelah resusitasi

b) Bentuk ukuran dan reflek cahaya pupil

c) Nilai kuat motorik kiri dan kanan apakah ada parese atau
tidak

29
5) Expossure dengan menghindari hipotermia.

Semua pakaian yang menutupi tubuh penderita harus dilepas


agar tidak ada cedera terlewatkan selama pemeriksaan.
Pemeriksaan bagian punggung harus dilakukan secara log-rolling
dengan harusmenghindari terjadinya hipotermi (America College
of Surgeons ; ATLS)

b. Secondary Survey

1) Kepala dan

leher Kepala.
Inspeksi (kesimetrisan muka dan tengkorak, warna dan
distribusirambut kulit kepala), palpasi (keadaan rambut,
tengkorak, kulit kepala,massa, pembengkakan, nyeri tekan,
fontanela (pada bayi)).

Leher
Inspeksi (bentuk kulit (warna, pembengkakan, jaringan
parut,massa), tiroid), palpasi (kelenjar limpe, kelenjar tiroid,
trakea), mobilitas leher.

2) Dada dan paru

Inspeksi.
Dada diinspeksi terutama mengenai postur, bentuk
dankesimetrisan ekspansi serta keadaan kulit. Inspeksi dada
dikerjakan baik pada saat dada bergerak atau pada saat diem,
terutama sewaktu dilakukanpengamatan pergerakan pernapasan.
Pengamatan dada saat bergerakdilakukan dengan tujuan untuk
mengetahui frekuensi, sifat dan ritme/iramapernapasan.

Palpasi
Tujuan untuk mengkaji keadaan kulit padadinding dada, nyeri
tekan, massa, peradangan, kesimetrisan ekspansi, dan tactil
vremitus (vibrasi yang dapat teraba yang dihantarkan melalui
sistembronkopulmonal selama seseorang berbicara)

30
Perkusi.
Perhatikan adanya hipersonor atau ”dull” yang menunjukkan
udara (pneumotorak) atau cairan (hemotorak) yang terdapat pada
rongga pleura.

Auskultasi.
Berguna untuk mengkaji aliran udara melalui batang
trakeobronkeal dan untuk mengetahui adanya sumbatan aliran
udara.
Auskultasi juga berguna untuk mengkaji kondisi paruparu dan ron
gga pleura.

3) Kardiovaskuler

Inspeksi dan

palpasi.

Area jantung diinspeksi dan palpasi secara stimultanuntuk


mengetahui adanya ketidaknormalan denyutan atau dorongan
(heaves).

Palpasi dilakukan secara sistematis mengikuti struktur anatomi


jantung mulai area aorta, area pulmonal, area trikuspidalis,
area apikal dan area epigastrik

Perkusi.
Dilakukan untuk mengetahui ukuran dan bentuk jantung. Akan
tetapi dengan adanya foto rontgen, maka perkusi pada area
jantung jarangdilakukan karena gambaran jantung dapat dilihat
pada hasil foto torak anteroposterior

4) Ekstermitas

Beberapa keadaan dapat menimbulkan iskemik pada


ekstremitas bersangkutan, antara lain :

a) Cedera pembuluh darah.

b) Fraktur di sekitar sendi lutut dan sendi siku.

c) Crush injury.
31
d) Sindroma kompartemen.

e) Dislokasi sendi panggul.

Keadaan iskemik ini akan ditandai dengan:


pusasi arteri tidak teraba, pucat (pallor), dingin (coolness),
hilangnya fungsi sensorik dan motorik, kadang-kadang disertai
hematoma, “bruit dan thrill”, fiksasi fraktur khususnya pada
penderita dengan cedera kepala sedapatmungkin dilaksanakan
secepatnya. Fiksasi yang tertunda dapat meningkatkan resiko
ARDS (Adult Respiratory Disstress Syndrom) sampai 5 kali lipat.
Fiksasi dini pada fraktur tulang panjang yang menyertai
cederakepala dapat menurunkan insidensi ARDS.

2. Diagnose Keperawatan yang Mungkin Muncul


Masalah Umum
a) Cemas berlebihan akibat dari mengalami gangguan kondisi fisik

b) Nyeri pada bagiantubuh yang akan dilakukan pembedahan

c) Risiko cedera trauma fisik

d) Risiko cedera akibat agen anestetik

e) Kerusakan alat dan mesin anestesi

Masalah Khusus
a) Pasien yang memiliki leher pendek dan panjang

b) Pasien yang mengalami kesulitan dalam intubasi akibat kondisi


malampati

c) Pasien yang memiliki gigi goyang atau gigi tanggal

d) Potensial Kolaboratif gangguan fungsi respirasi: hipoksia,


hipoksemia

e) Tidak efektifnya fungsi respirasi: obstruksi jalan nafas, tidak


efektifnya pola napas, aspirasi, deperesi pernapasan, henti napas

32
f) Potensial Kolaboratif gangguan fungsi kardiosirkulasi: penurunan
cardiac output, hipotensi, hipertensi, hipertensi, disritmia/aritmia,
cardiac arrest

g) Risiko gangguan pemenuhan kebutuhan cairan pada pasien operasi


(kekurangan, kelebihan)

h) Risiko gangguan elektrolit pada pasien operasi (kekurangan,


kelebihan)

i) Perdarahan

j) Potensial Kolaboratif gangguan termoregulasi: hipotermia,


hipertermia

k) Peningkatan tekanan darah akibat nyeri

l) Penurunan kesadaran pasien

m) Tersadar dalam proses pembedahan

n) Potensial Kolaboratif peningkatan tekanan intra kranial

o) Kejang

p) Mual dan muntah

q) Potensial Kolaboratif gangguan hepar

33
3. Rencana Keperawatan
c. Pre-Anestesi
No SDKI SLKI SIKI

1. Nyeri Akut b.d agen pencedera fisik Setelah dilakukan asuhan keperawatan, - Identifikasi lokasi nyeri
(trauma, fraktur) diharapkan: - Berikan teknik nonfarmakologis
(SDKI D. 0077, halaman 172) - Pola nafas membaik untuk mengurangi nyeri(nafas
dalam)
- Frekuensi nadi membaik

- Tekanan darah membaik (SIKI Manajemen Nyeri I.08238,


halaman 201)
(SLKI Tingkat Nyeri L.08066,
halaman 145)

d. Intra-Anestesi
No SDKI SLKI SIKI

1. Resiko perfusi serebral tidak efektif Setelah dilakukan asuhan keperawatan - Monitor MAP(Mean Artrial
b.d cedera kepala diharapkan: Pressure)
(SDKI D.0017, halaman 51) - Monitor intake dan output
- Nilai rata-rata tekanan darah (MAP)

34
membaik cairan
(SLKI Perfusi Serebral L.02014, - Hindari pemberian cairan IV
halaman 86) hipotonik

(SIKI Manajemen Peningkatan


Tekanan Intrakranial I.09325,
halaman 205)

2. Risiko aspirasi b.d terpasang ETT Setelah dilakukan asuhan keperawatan, - monitor status pernapasan
dan trauma/pembedahan leher, diharapkan: - lakukan penghisapan jalan
mulut, dan/atau wajah napas
- Kebersihan mulut meningkat
(SDKI D.0006, halaman 28) - sediakan suction di ruangan
- Kemampuan menelan meningkat
- pertahankan pengembangan
- Akumulasi secret menurun
balon nasotracheal tube (NTT)
- Frekuensi napas membaik
(SIKI Pencegahan Aspirasi
(SLKI Tingkat Aspirasi L.01006,
I.01018)
halaman 133)

3. Resiko Infeksi b.d efek prosedur Setelah dilakukan asuhan keperawatan, - Pertahankan teknik aseptic
invasive (pembedahan dan terpasang diharapkan: pada pasien beresiko tinggi
infus) - Cuci tangan sebelum dan
- Nyeri menurun

35
(SDKI D.0142, halaman 304) - Kemerahan menurun sesudah kontak dengan pasien
dan lingkungan pasien
(SLKI Tingkat Infeksi L.14137,
halaman 139) (SIKI Pencegahan Infeksi
I.14539, halaman 278)

e. Post-Anestesi
No SDKI SLKI SIKI

1. Bersihan jalan nafas tidak efektif b.d Setelah dilakukan asuhan keperawatan - Monitor pola napas
hipersekresi jalan napas diharapkan pasien : - Monitor bunyi napas
(SDKI D.0001, halaman 18) - Sulit bicara menurun tambahan(gurgling)

- Frekuensi napas membaik - Pertahankan kepatenan jalan


napas dengan head-tilt dan
- Pola napas membaik
chin-lift(jaw-trust jika curigai
(SLKI Bersihan Jalan Napas L.01001)
trauma servikal)
- Posisikan semi-fowler atau
fowler
- Lakukan penghisapan lender

36
<15 detik

(SIKI Manajemen Jalan Napas


I.01011, halaman 186)

- Monitor saturasi oksigen


- Monitor adanya sumbatan jalan
napas

(SIKI Pemantauan Respirasi


I.01014, halaman 247)

2. Hipotermia b.d terpapar suhu Setelah dilakukan asuhan keperawatan, - Identifikasi penyebab
lingkungan rendah diharapkan pasien : hipotermia (terpapar suhu
(SDKI D.0131, halaman 286) - Keluhan kedinginan menurun lingkungan rendah)

- Merintih menurun - Lakukan penghangatan aktif

- Keluhan tidak nyaman menurun eksternal (Force Air Warmer)

(SIKI Manajemen Hipotermia


(SLKI Status Kenyamanan L.08064,
I.14507, halaman 183)
halaman 110)
- Monitor kondisi umum,
- Hipoksia menurun
kenyamanan pasien dan
- Menggigil menurun

37
- Warna kulit pucat menurun keamanan selama terapi
- Monitor respon pasien terhadap
(SLKI Termoregulasi L.14134,
terapi
halaman 129)
- Monitor kondisi kulit selama
operasi

(SIKI Terapi Paparan Panas


I.14586, halaman 431)

3. Resiko jatuh b.d kondisi pasca Setelah dilakukan asuhan keperawatan, - Pastikan roda tempat tidur dan
operasi diharapkan pasien : kursi rodaselelau dalam kondisi
(SDKI D.0143, halaman 306) - Tidak jatuh dari tempat tidur terkunci

- Tidak jatuh saat dipindahkan - Pasang handrall tempat tidur


- Atur tempat tidur mekanis pada
(SLKI Tingkat Jatuh L.14138,
posisi rendah
halaman 140)
(SIKI Pencegahan Jatuh
L.14540, halaman 279)

38
D. Persiapan Tindakan Anestesi Umum

1. Pre-Anestesi
a. Anamnesa History Taking

History taking bisa dimulai dengan menanyakan adakah riwayat


alergi terhadap makanan, obat-obatan dan suhu, alergi (manifestasi
dispneu atau skin rash) harus dibedakan dengan intoleransi
(biasanya manifestasi gastrointestinal). Riwayat penyakit sekarang
dan dahulu juga harus digali begitu juga riwayat pengobatan
(termasuk obat herbal), karena adanya potensi terjadi interaksi obat
dengan agen anestesi. Riwayat operasi dan anestesi sebelumnya
bisa menunjukkan komplikasi anestesi bila ada. Pertanyaan tentang
review sistem organ juga penting untuk mengidentifikasi penyakit
atau masalah medis lain yang belum terdiagnosis

b. Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan fisik dan history taking melengkapi satu sama lain.


Pemeriksaan yang dilakukan pada pasien yang sehat dan
asimtomatik setidaknya meliputi tanda-tanda vital (tekanan darah,
nadi, respiratory rate, suhu) dan pemeriksaan airway, jantung,
paru-paru, dan sistem musculoskeletal. Pemeriksaan neurologis
juga penting terutama pada anestesi regional sehingga bisa
diketahui bila ada defisit neurologis sebelum diakukan anestesi
regional.

Pentingnya pemeriksaan airway tidak boleh diremehkan.


Pemeriksaan gigi geligi, tindakan buka mulut, lidah relatif besar,
leher pendek dan kaku sangat penting untuk diketahui apakah akan
menyulitkan dalam melakukan intubasi. Kesesuaian masker untuk
anestesi yang jelek harus sudah diperkirakan pada pasien dengan
abnormalitas wajah yang signifikan. Mikrognatia (jarak pendek

39
antara dagu dengan tulang hyoid), incisivus bawah yang besar,
makroglosia, Range of Motion yang terbatas dari
Temporomandibular Joint atau vertebrae servikal, leher yang
pendek mengindikasikan bisa terjadi kesulitan untuk dilakukan
intubasi trakeal.

1) Skoring Mallampati:

a. Terlihat tonsil, uvula, dan palatum mole secara keseluruhan

b. Terlihat palatum mole dan durum, bagian atas tonsil dan


uvula

c. Terlihat palatum mole dan durum, dan dasar uvula

d. Hanya terlihat palatum durum

Gambar 11. Kriteria Mallampati

Klasifikasi status fisik ASA bukan alat perkiraan risiko


anestesi, karena efek samping anestesi tidak dapat dipisahkan dari
efek samping pembedahan. Penilaian ASA diklasifikasikan
menjadi 5 kategori. Kategori ke-6 selanjutnya ditambahkan untuk
ditujukan terhadap brain-dead organ donor. Status fisik ASA
secara umum juga berhubungan dengan tingkat mortalitas
perioperatif. Karena underlying disease hanyalah satu dari banyak
faktor yang berkontribusi terhadap komplikasi perioperatif, maka
tidak mengherankan apabila hubungan ini tidak sempurna.

40
Meskipun begitu, klasifikasi satus fisik ASA tetap berguna dalam
perencanaan manajemen anestesi, terutama teknik monitoring4.

Tabel 1. Klasifikasi ASA

Kelas I Pasien sehat tanpa kelainan organik, biokimia, atau psikiatri.

Kelas II Pasien dengan penyakit sistemik ringan sampai sedang, tanpa


limitasi aktivitas sehari-hari.

Kelas III Pasien dengan penyakit sistemik berat, yang membatasi


aktivitas normal.

Kelas IV Pasien dengan penyakit sistemik yang melemahkan dan


merupakan ancaman konstan terhadap kehidupan

Kelas V Pasien sekarat yang diperkirakan tidak bertahan selama 24 jam


dengan atau tanpa operasi

E Operasi emergensi, statusnya mengikuti kelas I – VI diatas.

c. Pemeriksaan Penunjang

Dasar dan luas cakupan pemeriksaan preanestesi tergantung pada


umur pasien, ada tidaknya kondisi co-morbid saat ini, sama seperti
dasar dan luas dari prosedur bedah yang direncanakan.

Tabel 2. Pemeriksaan Tambahan yang Dibutuhkan

Pemeriksaan Indikasi
rutin

Urinalisis Pada semua pasien (periksa konsentrasi


glukosa darah jika glukosa urine
positif)
FBC Pada semua wanita: pria > 40 tahun; semua
bedah mayor

Ureum, Bedah mayor


Creatinin,
Elektrolit

41
ECG Umur > 50 tahun

Foto Torak Umur > 60 tahun

Tes fungsi hati Bedah mayor pada pasien umur > 50 tahun.
(Liver Function
Test)

Tabel 3. Beberapa pemeriksaan preanestesi berserta indikasinya

No Test Indikasi

Anemia dan penyakit hematologik

1 Darah Lengkap lainnya Penyakit ginjal

Pasien yang menjalani kemoterapi

Penyakit ginjal

Penyakit metabolik misalnya; diabetes


mellitus

Nutrisi abnormal
Ureum, creatinin
2 dan konsentrasi Riwayat diare,

elektrolit muntah

Obat-obatan yang merubah keseimbangan


elektrolit atau menunjukkan efek toksik
dari adanya abnormalitas elektrolit seperti
digitalik, diuretic, antihipertensi,
kortikosteroid, hipoglikemik agent.
Konsentrasi glukosa Diabetes Mellitus
3
darah Penyakit hati yang berat

Penyakit jantung, hipertensi atau penyakit


4 Elektrokardiografi paru kronik

Diabetes Mellitus

42
Penyakit respirasi
5 Chest X-ray
Penyakit kardiovaskuler

Pasien sepsis

Penyakit paru

6 Arterial blood gases Pasien dengan kesulitan respirasi

Pasien obesitas

Pasien yang akan thorakotomi

Pasien yang akan operasi thorakotomi


7 Test fungsi paru Penyakit paru sedang sampai berat seperti
COPD, bronchiectasis

Penyakit hematologic

Penyakit hati yang


8 Skreen koagulasi berat Koagulopati

Terapi antikoagulan, misal: antikoagulan


oral (warfarin) atau heparin

Penyakit hepatobilier

9 Test fungsi hati Riwayat penyahgunaan alcohol

Tumor dengan metastase ke hepar

Bedah thyroid

Riwayat penyakit thyroid


10 Tes fungsi thyroid
Curiga abnormalitas endokrin seperti tumor
pituitari

Hasil pemeriksaan normal adalah valid selama periode waktu, jarak


dari yang 1 minggu (FBC, ureum, creatinin, konsentrasi elektrolit,

43
glukosa darah), 1 bulan (ECG), sampai 6 bulan (chest X-ray).
Pemeriksaan sebaiknya diulang dalam keadaan berikut;

1) Timbul gejala seperti nyeri dada, diare, muntah

2) Penilaian untuk efektivitas terapi seperti suplemen potassium


untuk hipokalemia, terapi insulin untuk hiperglikemia, dialysis
untuk pasien dengan gagal ginjal, produk darah untuk koreksi
koagulopati.

d. Persiapan Alat

Hal-hal yang perlu dipersiapkan di kamar operasi antara lain adalah:

1) Meja operasi dengan asesoris yang diperlukan

2) Mesin anestesi dengan sistem aliran gasnya

3) Alat-alat resusitasi (STATICS)

4) Obat-obat anestesia yang diperlukan.

5) Obat-obat resusitasi, misalnya; adrenalin, atropine, aminofilin,


natrium bikarbonat dan lain-lainnya.

6) Tiang infus, plaster dan lain-lainnya.

7) Alat pantau tekanan darah, suhu tubuh, dan EKG dipasang.

8) Alat-alat pantau yang lain dipasang sesuai dengan indikasi,


misalnya; “Pulse Oxymeter” dan “Capnograf”.

9) Kartu catatan medic anestesia

10) Selimut penghangat khusus untuk bayi dan orang tua.

Tabel 4. Komponen STATICS

S Scope Stetoscope untuk mendengarkan suara paru dan


jantung.

Laringo-Scope: pilih bilah atau daun (blade) yang


sesuai dengan usia pasien. Lampu harus cukup terang.

44
T Tubes Pipa trakea, pilih sesuai usia. Usia < 5 tahun tanpa
balon (cuffed) dan >5 tahun dengan balloon (cuffed).

A Airways Pipa mulut-faring (Guedel, orotracheal airway) atau


pipa hidung-faring (nasi-tracheal airway). Pipa ini
menahan lidah saat pasien tidak sadar untuk
mengelakkan sumbatan jalan napas.

T Tapes Plaster untuk fiksasi pipa supaya tidak terdorong atau


tercabut.

I Introducer Mandarin atau stilet dari kawat dibungkus plastic


(kabel) yang mudah dibengkokkan untuk pemandu
supaya pipa trakea mudah dimasukkan.

C Connector Penyambung antara pipa dan peralatan anastesia.

S Suction Penyedot lendir, ludah dan lain-lainnya.

e. Macam-macam Teknik Anestesi

1) Open drop method: Cara ini dapat digunakan untuk anestesik


yang menguap, peralatan sangat sederhana dan tidak mahal.
Zat anestetik diteteskan pada kapas yang diletakkan di depan
hidung penderita sehingga kadar yang dihisap tidak diketahui,
dan pemakaiannya boros karena zat anestetik menguap ke
udara terbuka.

2) Semi open drop method: Hampir sama dengan open drop,


hanya untuk mengurangi terbuangnya zat anestetik digunakan
masker. Karbondioksida yang dikeluarkan sering terhisap
kembali sehingga dapat terjadi hipoksia. Untuk
menghindarinya dialirkan volume fresh gas flow yang tinggi
minimal 3x dari minimal volume udara semenit.

3) Semi closed method: Udara yang dihisap diberikan bersama


oksigen murni yang dapat ditentukan kadarnya kemudian

45
dilewatkan pada vaporizer sehingga kadar zat anestetik dapat
ditentukan. Udara napas yang dikeluarkan akan dibuang ke
udara luar. Keuntungannya dalamnya anestesi dapat diatur
dengan memberikan kadar tertentu dari zat anestetik, dan
hipoksia dapat dihindari dengan memberikan volume fresh gas
flow kurang dari 100% kebutuhan.

4) Closed method: Cara ini hampir sama seperti semi closed


hanya udara ekspirasi dialirkan melalui soda lime yang dapat
mengikat CO2, sehingga udara yang mengandung anestetik
dapat digunakan lagi.

f. Premedikasi Anestesi

Premedikasi anestesi adalah pemberian obat sebelum anestesi.


Adapun tujuan dari premedikasi antara lain :

1) memberikan rasa nyaman bagi pasien, misal : diazepam.

2) menghilangkan rasa khawatir, misal : diazepam

3) membuat amnesia, misal : diazepam, midazolam

4) memberikan analgesia, misal : fentanyl, pethidin

5) mencegah muntah, misal : droperidol, ondansentron

6) memperlancar induksi, misal : pethidin

7) mengurangi jumlah obat-obat anesthesia, misal pethidin

8) menekan reflek-reflek yang tidak diinginkan, misal : tracurium,


sulfas atropin.

9) mengurangi sekresi kelenjar saluran nafas, misal : sulfas


atropin dan hiosin.

h. Obat Induksi

Induksi merupakan saat dimasukkannya zat anestesi sampai


tercapainya stadium pembedahan yang selanjutnya diteruskan dengan

46
tahap pemeliharaan anestesi untuk mempertahankan atau memperdalam
stadium anestesi setelah induksi.

Pada kasus ini digunakan obat induksi :

1) Propofol

Propofol (2,6-diisoprophylphenol) adalah campuran 1% obat


dalam air dan emulsi yang berisi 10% soya bean oil, 1,2%
phosphatide telur dan 2,25% glyserol. Dosis yang dianjurkan 2,5
mg/kgBB untuk induksi tanpa premedikasi.

Propofol memiliki kecepatan onset yang sama dengan barbiturat


intravena lainnya, namun pemulihannya lebih cepat dan pasien dapat
diambulasi lebih cepat setelah anestesi umum. Selain itu, secara
subjektif, pasien merasa lebih baik setelah postoperasi karena
propofol mengurangi mual dan muntah postoperasi. Propofol
digunakan baik sebagai induksi maupun mempertahankan anestesi
dan merupakan agen pilihan untuk operasi bagi pasien rawat jalan.
Obat ini juga efektif dalam menghasilkan sedasi berkepanjangan pada
pasien dalam keadaan kritis. Penggunaan propofol sebagai sedasi pada
anak kecil yang sakit berat (kritis) dapat memicu timbulnya asidosis
berat dalam keadaan terdapat infeksi pernapasan dan kemungkinan
adanya skuele neurologik

Pemberian propofol (2mg/kg) intravena menginduksi anestesi


secara cepat. Rasa nyeri kadang-kadang terjadi di tempat suntikan,
tetapi jarang disertai plebitis atau trombosis. Anestesi dapat
dipertahankan dengan infus propofol yang berkesinambungan dengan
opiat, N2O dan/atau anestetik inhalasi lain.

Propofol dapat menyebabkan turunnya tekanan darah yang cukup


berarti selama induksi anestesi karena menurunnya resitensi arteri
perifer dan venodilatasi. Propofol menurunkan tekanan arteri sistemik
kira-kira 80% tetapi efek ini disebabkan karena vasodilatasi perifer
daripada penurunan curah jantung. Tekanan sistemik kembali normal
dengan intubasi trakea.

47
Setelah pemberian propofol secara intravena, waktu paruh
distribusinya adalah 2-8 menit, dan waktu paruh redistribusinya kira-
kira 30-60 menit. Propofol cepat dimetabolisme di hati 10 kali lebih
cepat daripada thiopenthal pada tikus. Propofol diekskresikan ke
dalam urin sebagai glukoronid dan sulfat konjugat, dengan kurang
dari 1% diekskresi dalam bentuk aslinya. Klirens tubuh total
anestesinya lebih besar daripada aliran darah hepatik, sehingga
eliminasinya melibatkan mekanisme ekstrahepatik selain
metabolismenya oleh enzim-enzim hati. Propofol dapat bermanfaat
bagi pasien dengan gangguan kemampuan dalam memetabolisme
obat-obat anestesi sedati yang lainnya. Propofol tidak merusak fungsi
hati dan ginjal. Aliran darah ke otak, metabolisme otak dan tekanan
intrakranial akan menurun. Keuntungan propofol karena bekerja lebih
cepat dari tiopental dan konvulsi pasca operasi yang minimal.

Propofol merupakan obat induksi anestesi cepat. Obat ini


didistribusikan cepat dan dieliminasi secara cepat. Hipotensi terjadi
sebagai akibat depresi langsung pada otot jantung dan menurunnya
tahanan vaskuler sistemik. Propofol tidak mempunyai efek analgesik.
Dibandingkan dengan tiopental waktu pulih sadar lebih cepat dan
jarang terdapat mual dan muntah. Pada dosis yang rendah propofol
memiliki efek antiemetik.

Efek samping propofol pada sistem pernafasan adanya depresi


pernafasan, apnea, bronkospasme, dan laringospasme. Pada sistem
kardiovaskuler berupa hipotensi, aritmia, takikardi, bradikardi,
hipertensi. Pada susunan syaraf pusat adanya sakit kepala, pusing,
euforia, kebingungan, dll. Pada daerah penyuntikan dapat terjadi nyeri
sehingga saat pemberian dapat dicampurkan lidokain (20-50 mg).

2. Pemeliharaan/Intra Operasi
a. Nitrous Oksida (N2O)

Merupakan gas yang tidak berwarna, berbau manis dan tidak iritatif,
tidak berasa, lebih berat dari udara, tidak mudah terbakar/meledak,

48
dan tidak bereaksi dengan soda lime absorber (pengikat CO2).
Mempunyai sifat anestesi yang kurang kuat, tetapi dapat melalui
stadium induksi dengan cepat, karena gas ini tidak larut dalam darah.
Gas ini tidak mempunyai sifat merelaksasi otot, oleh karena itu pada
operasi abdomen dan ortopedi perlu tambahan dengan zat relaksasi
otot. Terhadap SSP menimbulkan analgesi yang berarti. Depresi
nafas terjadi pada masa pemulihan, hal ini terjadi karena Nitrous
Oksida mendesak oksigen dalam ruangan-ruangan tubuh. Hipoksia
difusi dapat dicegah dengan pemberian oksigen konsentrasi tinggi
beberapa menit sebelum anestesi selesai. Penggunaan biasanya
dipakai perbandingan atau kombinasi dengan oksigen. Penggunaan
dalam anestesi umumnya dipakai dalam kombinasi N2O : O2 adalah
sebagai berikut 60% : 40% ; 70% : 30% atau 50% : 50%

b. Sevoflurane

Merupakan gas anestesi halogenasi eter, dikemas dalam bentuk


cairan, tidak berwarna, tidak eksplosif, tidak berbau, dan tidak iritatif
sehingga baik untuk induksi inhalasi. Proses induksi dan
pemulihannya paling cepat dari semua obat-obatan anestesi inhalasi
yang ada pada saat ini. Penggunaan untuk pemeliharaan sekitar 1 –
2%.

3. Monitoring Intraoperasi
Hal-hal yang perlu dimonitor ketika durante operasi, antara lain :

a. Tekanan Darah

b. Frekuensi Nadi

c. SpO2

d. Intake dan output cairan

e. Jumlah Perdarahan

49
4. Pasca Anestesi/Pemulihan
Pasca anestesi dilakukan pemulihan dan perawatan pasca operasi dan
anestesi yang biasanya dilakukan di ruang pulih sadar atau recovery
room yaitu ruangan untuk observasi pasien pasca atau anestesi. Ruang
pulih sadar merupakan batu loncatan sebelum pasien dipindahkan ke
bangsal atau masih memerlukan perawatan intensif di ICU. Dengan
demikian pasien pasca operasi atau anestesi dapat terhindar dari
komplikasi yang disebabkan karena operasi atau pengaruh anestesinya.

Tabel 5. Aldrete Scoring System

No. Kriteria Skor

1. Aktivitas  Mampu menggerakkan ke-4 ekstremitas 2


motorik atas perintah atau secara sadar.

 Mampu menggerakkan 2 1
ekstremitas atas perintah atau secara
sadar.
0
 Tidak mampu menggerakkan
ekstremitas atas perintah atau secara
sadar.
2. Respirasi  Nafas adekuat dan dapat batuk 2

 Nafas kurang 1
adekuat/distress/hipoventilasi 0
 Apneu/tidak bernafas

3. Sirkulasi  Tekanan darah berbeda ± 20% dari 2


semula 1
 Tekanan darah berbeda ± 20-50% dari 0
semula

 Tekanan darah berbeda >50% dari


semula

4. Kesadaran  Sadar penuh 2

50
 Bangun jika dipanggil 1

51
 Tidak ada respon atau belum sadar 0

5. Warna kulit  Kemerahan atau seperti semula 2

 Pucat 1

 Sianosis 0

Aldrete score ≥ 8, tanpa nilai 0, maka dapat dipindah ke


ruang perawatan.

52
BAB III

TINJAUAN KASUS

A. Pengkajian
Hari/Tanggal : 12 Oktober 2022
Jam : 08.00 WIB
Tempat : IBS RSUD BENDAN
Metode : wawancara, observasi, pemeriksaan fisik, dan studi
dokumen
Sumber data : pasien, tim kesehatan, status kesehatan
pasien Oleh : Salwa,geral,amal,diva
Rencana Tindakan : rekonstruksi maxilofacial
1. Identitas Pasien
Nama : Tn.R
Umur : 43 tahun
Jenis Kelamin : laki-laki
Agama : Islam
Suku bangsa : Jawa
Alamat : cluwuk
No. RM : 00-002-xxx
Dx. Pre operasi : fraktur maxilofacial
Tindakan operasi : rekonstruksi maxilofacial
Tanggal operasi : 12 Oktober 2022
Dokter bedah : drg. Linda Ermiza,Sp.BM
Dokter anestesi : dr. Windy Kusuma, Sp.An
2. Identitas Penanggungjawab
Nama :Ny.S
Umur : 47 tahun
Pekerjaan : Wiraswasta
Hubungan :

53
3. Anamnesa
a. Keluhan Utama
Nyeri di wajah dan rahang, sulit menggigit.
b. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien post kecelakaan lalu lintas jatuh dari motor . Pasien memakai
helm half face. Pasien ingat kronologi kejadian. Riwayat pingsan(+),
pusing (+), mual (-), muntah(+).
c. Riwayat Penyakit Dahulu
Tidak ada riwayat penyakit dahulu.
d. Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada penyakit
keluarga
e. Alasan Masuk Rumah Sakit
Post kecelakaan lalu lintas motor . Tidak bisa bicara, pusing, luka
robek di wajah, perdarahan telinga kiri dan muntah.
4. Pengkajian Data Fokus
Alergy Tidak ada alergi obat dan makanan

Medication Mengkonsumsi obat selama rawat inap dari tanggal


10OKtober 2022

Past Illness Tidak ada

Last Meal Sudah puasa >6 jam

Environment Hanya melakukan aktivitas ringan

Look Terdapat luka pada bagian wajah akibat kecelakaan


lalu lintas
Diindikasi terdapat trauma pada leher karena
kecelakaan lalu lintas
Evaluation 1 jari pasien membukamulut
3 jari dari mandibula-hioid

54
2 jari dari hyoid-cartilago tiroid
Mallampati Sulit dinilai

Obstruksi Terdapat penumpukan secret karena pasien sulit


menelan

Neck Mobility Pergerakan leher terbatas


Ukuran leher normal (≤43 cm)

5. Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan Umum
Kesadaran pasien somnolent GCS E4V2M5. Keadaan umum
pasien lemah.
b. Tanda-tanda Vital
1) TD : 148/60 mmHg
2) Nadi : 101 x/menit
3) RR : 24
x/menit 4) SpO2 : 95%
c. Status Gizi
1) BB : 60 kg
2) TB : 155 cm
3) IMT : 25 kg/m2
d. Pemeriksaan fisik
a) B1 (Breathing) :
a) Sulit membuka mulut
b) Mallampati skor : sulit dinilai
c) Klien tidak sesak nafas
d) Suara nafas vesikuler
e) Tidak tampak pernafasan cuping hidung
2) B2 (Blood) :
a) Tekanan darah dalam rentang normal
b) Bentuk dada sama

55
3) B3 (Brain) :
a) GCS E3V2M5 somnolen. Keadaan umum pasien lemah
b) Setelah kecelakaan darah keluar dari telinga kiri
4) B4 (Bleader) :
a) Eliminasi normal
b) Terpasang kateter urin
5) B5 (Bowel) :
a) Pasien puasa 6 jam
b) Tidak ada pembesaran hepar dan abdomen
c) Tidak ada jejas abdomen
6) B6 (Bone) :
a) Tidak ada kelainan pada ekstremitas
b) Tidak ada kelainan pada tulang belakang
c) adanya multiple fraktur pada maxilafacial
6. Pemeriksaan Psikologis
GCS E3V2M5 somnolen. Keadaan umum pasien lemah.
7. Pemeliharaan Cairan
a. Kebutuhan cairan basal (M) = 4 cc x 10 kgBB1

4 cc x 10 kg

40 cc

= 2 cc x 10 kgBB2

2 cc x 10 kg

20 cc

= 1 cc x kgBB

1 cc x 40 kg

40 cc

Total = 100 cc

b. Pengganti puasa (PP) = jam puasa x M


= 6 jam x 100 cc

56
= 600 cc
c. Stress Operasi = Jenis operasi (b/s/k) x BB
= 6 cc x 60 kg
= 360 cc
d. Kebutuhan Cairan
Jam I = M + ½ PP + SO
= 100 cc + 300 cc + 360 cc
= 760 cc
Jam II = M + ¼ PP + SO
= 100 cc + 150 cc + 360 cc
= 610 cc
Jam III = M + ¼ PP + SO
= 100 cc + 150 cc + 360 cc
= 610 cc
Jam IV = M + SO
= 100 cc + 360 cc
= 460 cc

Jumlah cairan intra operasi yang harus dipenuhi selama 4 jam adalah 2440
cc

8. Pemeriksaan Penunjang
a. Rapid antigen SARS CoV-2 : Negative
b. ECG dalam batas normal
c. Rontgen Thorax, inspirasi kurang,
asimetris Dx Klinis : Post Trauma
- Tak tampak gambaran fracture/dislokasi
- Tak tampak hemato-pnemothorax
- Pulmo normal
- Cardiomegaly ringan (inspirasi kurang)
- Tak tampak penebalan hilus
d. CT scan kepala tanpa
kontras. Dx klinis : CKS
- Extracranial hematoma regio parietalis dextra

57
- Multiple fractur : fractur basis mandibula
sinistra,diplaced. fractur arcus zygomaticus bilateral
- Suspect hematosinus sphenoidalis prominent sinistra,
DD: sinus
- Tak tampak perdarahan intracranial
- Tak tampak tanda-tanda kenaikan tekanan intracranial (TIK)
- Tak tampak lateralisasi/oedeme cerebri
- Deviasi septinasi
- Air cellulae masthoidea normal
e. Laboratorium

Nama Test Hasil Nilai Rujukan Satuan


HEMATOLOGI
Darah Lengkap :
Hemoglobin 13.5 11.7-15.5 g/dL
Hematokrit 38 35-47 %
Lekosit H 18 3.6-11.0 103ul
Trombosit H 467 150-440 106/ul
Eritrosit 4.46 3.80-5.20 106ul
Mcv 85.2 80-100 fL
Mch 30.3 26-34 pg
Mchc 35.5 32-36 g/dL
RDW-SD L 36.2 36.4- 46.3 fL
MPV 9.7 8.1-12.4 fL
PCT 0.5 0.2-0.6 %
PT 11.0 9.3-11.4 Detik
APTT L 23.0 24.5-32.8 Detik
Hitung Jenis (diff) :
Eosinofil L 1.3 2-4 %
Basofil 0.4 0-1 %
Neutrofil 67.4 50-70 %
Limfosit 25.8 25-40 %
Monosit 5.1 2-8 %

58
Ureum 18.3 10-50 Mg/dL
Kreatinin L 0.41 0.0-1.20 Mg/dL
IMUNOLOGI
HbsAg Non reaktif Non reaktif -
HIV Non reaktif Non reaktif -

9. Diagnosa Anestesi
Pasien didiagnosa mengalami fracture maxilofacial dan direncakan
tindakan rekonstruksi maxillofacial dengan general anestesi. Pasien
status fisik ASA II.

B. Persiapan Penatalaksanaan Anestesi


1. Persiapan Pasien
a. Mengecek kelengkapan status klien
b. Klien telah puasa
c. Klien sudah terpasang infus RL 20 tpm pada tangan kiri dan lancar
d. Klien telah berganti baju, topi operasi, dan masker
e. Memposisikan klien
2. Persiapan Mesin dan Alat
a. Pesiapan mesin
1. Mengecek sumber gas
2. Mengecek isi volatil agen
3. Mengecek kondisi absorber
4. Melakukan kalibrasi mesin anestesi
b. Persiapan alat
1. S (Scope) : Laryngoscope ukuran 3 dan stetoscope
2. T (Tube) : Nasotracheal Tube (NTT) ukuran 7
3. A (Airway) : Oropharyngeal Airwayi, nasal kanul dan face mask
4. T (Tape) : Plester/ hepafix ±20 cm 2 lembar
5. I (Introducer) : Margil forceps atau stilet
6. C (Connector)
7. S (Suction) : Mesin dan canul suction
8. Spuit 3ml, 5ml, 10ml

59
3. Persiapan Obat
a. Obat premedikasi

 Miloz 2,5 mg

 Sulfat atropin 0,25 mg

 Fentanyl 100mcg

b. Obat induksi
 Propofol 100mg
c. Muscle Relaxan
 Roculax 10 mg
d. Antiemetic

 Ondansentron sediaan 4 mg 1 ampul


e. Analgetik

 Dexketoprofen 50 mg
 Lidocaine 40 mg
f. Antifibrinolitik

 Asam traneksamat sediaan 1000 mg


g. Obat emergency
 Efedrin 50mg/10m

C. Pengkajian Intra-Anestesi
1. Anestesi Mulai : 08.15 WIB
2. Anestesi Selesai : 12.30 WIB
3. Operasi Mulai : 08.20 WIB
4. Operasi Selesai : 12.15 WIB
5. Jumlah Perdarahan : ±200 mL
Tabel Monitor Intra-Anestesi

No Waktu TD HR SpO2 Tindakan


1 08.00 148/60 mmHg 60 95% - Pasien
dipindahkan ke
ruang operasi

60
2 08.15 130/80 mmHg 65 96% - Pasien diposisikan
supinasi
- Obat- obat anestesi
diinjeksikan
(Fentanyl 100mcg,
Propofol 100mg dan
Tramus 30mg)
- Setelah pre
oksigenasi selama
2-3 menit, mengatur
agentinhalasi
sevoflurane 2% dan
udara+O2 50%
- Intubasi dimulai
dengan
nasotracheal tube

3 08.20 125/80mmHg 67 99% - Operasi dimulai


- Injeksi
Ondansentron
4mg,
dexketoprofen
50mg.

4 08.30 112/80 mmHg 72 99% Resusitasi infus


kristaloid (500ml)
5 08.45 117/81 mmHg 69 99%
6 09.00 145/89 mmHg 66 98% - menaikan agen
inhalasi sevoflurane
menjadi 2,5%
09.05 120/80mmHg 69 99% - sevo 2%
7 09.15 100/71 mmHg 70 99% - sevo 1,5%
8 09.30 90/50 mmHg 65 99% Resusitasi infus
kristaloid (500ml)
9 09.45 76/50 mmHg 73 98% - injeksi efedrin
10mg
10 10.00 124/82 mmHg 69 99% - sevo 2%
11 10.15 119/70 mmHg 62 99%
12 10.30 109/69 mmHg 66 99%

61
13 10.45 110/66 mmHg 64 98% Resusitasi infus
kristraloid (500ml)

14 11.00 140/89 mmHg 71 98% Sevo 2,5%


15 11.15 118/71 mmHg 70 99% Sevo 2%
16 11.30 98/65 mmHg 65 99% Sevo 1,5%
17 11.45 88/60 mmHg 63 99% Injeksi efedrin 5mg
18 12.00 114/73mmHg 68 99% Resusitasi infus
kristaloid (500ml)
19 12.15 123/73 mmHg 69 99% Operasi selesai
20 12.30 125/78 mmHg 72 99% - pengakhiran
anestesi
- agen inhalasi
sevoflurane 0%
- O2 100%
- dilakukan
ekstubasi dengan
injeksi lidocain
40mg.

6. Balance Cairan

a. Intake

1) Asering 2300cc

b. Output

1) Perdarahan ±500cc
𝐵𝐵 𝑥 15
2) IWL=
24 =
60 𝑥 15 = 37,5 𝑐𝑐
24

3) Urin 500cc

c. Balance cairan = intake – output

= 2300cc – (500+37,5+500) cc

= 2300cc – 1037,5 cc

= ± 1262,5 cc

62
D. Pengkajian Post Anestesi
Pukul 12.30-13.00 WIB

1. Situation :
GCS E3M5V1 somnolent keadaan umum pasien lemah dengan alderete
score 7 dengan warna kulit pucat, pernafasan dangkal namun pertukaran
udara adekuat dibantu dengan nasal canule, tekanan darah
menyimpang<20% dari tekanan darah prainduksi, kesadaran bangun
namun cepat kembali tertidur, dan aktivitas motoric dapat menggerakan 4
ekstremitas.
2. Background :
Pasien post operasi rekonstruksi maxilofacial dengan jumlah perdarahan
durante operasi ±500cc
3. Assesment :
TTV dalam batas normal TD : 121/78 mmHg, N: 79x/menit, SPO2 :
98%, RR : 24x/menit dengan pernapasan spontan.
4. Recommendation :
a. Monitor patensi jalan nafas
b. Monitoring keadaan umum dan vital sign hingga stabil
c. Monitoring luka post operasi dan jumlah perdarahan

E. Analisis Data
Data Masalah Penyebab

Pre-Anestesi

DS: - Nyeri Akut agen pencedera fisik

(SDKI D. 0077, (trauma, fraktur)


DO:
halaman 172)
- adanya luka pada wajah
dan didapatkan multiple
fractur : fractur basis
mandibula

63
sinistra,diplaced. fractur
arcus zygomaticus bilateral
- TTV :
TD : 148/60
mmHg Nadi :
101x/menit RR :
24x/menit
SpO2 : 95%
Intra-Anestesi

DS: - Resiko perfusi Cedera kepala


serebral tidak efektif
DO:
(SDKI D.0017,
- Terdapat trauma halaman 51)
pada wajah
karena cidera
kepala sedang
- TD : 76/50
mmHg MAP : 58

DS: - Risiko aspirasi terpasang ETT/NTT dan

(SDKI D.0006, trauma/pembedahan leher,


DO:
halaman 28) mulut, dan/atau wajah
- Terdapat secret
air liur dan darah
- Efek agen muscle
relaxant Roculax
10mg
- RR 16x/mnt
- Dilakukan
ekstubasi sadar dan
pasien mengalami
batuk

64
DS: - Resiko Infeksi efek prosedur invasive
(SDKI D.0142, (pembedahan dan
DO:
halaman 304) terpasang infus)
- Tindakan
pembedahan pada
arcus zygomaticus
bilateral dan pada
basis madibula
sinistra
- Luka pembedahan
sekitar ±3 cm
- Terpasang infus
ukuran abocath
18G di tangan kiri
- TTV:
TD: 125/80 mmHg
N: 67x /menit
RR: 20x /menit
SPO2: 99%
Post-Anestesi

DS : Bersihan jalan napas Hipersekresi jalan napas


tidak efektif
DO :
(SDKI D.0001,
- Masih terdapat sisa
halaman 18)
secret dari luka
operasi daerah
mulut
- Pasien kesulitan
membuka mulut
dan menelan

65
DS: Hipotermia Terpapar suhu lingkungan
rendah
DO: (SDKI D.0131,
halaman 286)
- Pasien menggigil
- Pasien merintih
- Kulit dingin
- Pasien terpapar
suhu rendah
selama
±4 jam dengan
suhu ruangan 180C
- Suhu pasien 33,50C
DS : Resiko jatuh Kondisi pasca operasi

DO : (SDKI D.0143,
halaman 306)
- GCS E3M5V1
keadaan umum
pasien lemah
- Dapat
menggerakan 4
ekstremitas

F. Diagnosa Keperawatan dan Prioritas Masalah


a. Pre-Anestesi
1) Nyeri akut b.d agen pencidera fisik (trauma, fraktur)
b. Intra-Anestesi
1) Resiko perfusi serebral tidak efektif b.d cedera kepala
2) Resiko aspirasi b.d terpasang ETT dan trauma/pembedahan
leher, mulut, dan/atau wajah
3) Resiko infeksi b.d efek prosedur invasive (pembedahan dan
terpasang infus)

66
c. Post-Anestesi
1) Bersihan jalan nafas tidak efektif b.d hipersekresi jalan napas
2) Hipotermi b.d terpapar suhu lingkungan rendah
3) Resiko jatuh b.d kondisi pasca operasi

67
G. Perencanaan, Pelaksanaan dan Evaluasi
Diagnosa Tujuan Rencana Tindakan Implementasi Evaluasi
Keperawatan

Pre-Anestesi

Nyeri Akut b.d agen 12 Oktober 2022, 12 Oktober 2022, 12 Oktober 2022, 12 Oktober 2022,
pencedera fisik Pukul: 08.00 WIB Pukul: 08.00 WIB Pukul: 08.00 WIB Pukul: 08.00 WIB
(trauma, fraktur) Setelah dilakukan - Identifikasi lokasi nyeri 1. Mengidentifikasi S:-
tindakan keperawatan - Berikan teknik lokasi nyeri O:
(SDKI D. 0077,
selama 10 menit, farmakologis untuk 2. Memberikan teknik - lokasi nyeri pada
halaman 172)
gangguan nyeri akut mengurangi farmakologis untuk daerah wajah dan
teratasi dengan kriteria nyeri(analgetik) mengurangi mulutt
hasil: (SIKI Manajemen Nyeri nyeri(analgetik) - telah diberikan
- pola nafas membaik I.08238, halaman 201) premedikasi analgetik

- nyeri menurun ditandai (fentanyl 100mcg)

dengan frekuensi nadi - pola nafas teratur


(salwa,
geral,a - RR : 18x/menit
membaik
mal,di - nadi : 80x/menit
- tekanan darah membaik va)
- TD : 130/76 mmHg

68
(SLKI Tingkat Nyeri A: nyeri akut teratasi
L.08066, halaman 145) P: lanjutkan intervensi

(salwa,geral,amal
,diva)
Intra-Anestesi

Resiko perfusi 12 Oktober 2022, 12 Oktober 2022, 12 Oktober 2022, 12 Oktober 2022,
serebral tidak efektif Pukul: 08.15 WIB Pukul: 08.15 WIB Pukul: 08.15 WIB Pukul: 08.15 WIB
b.d cedera kepala Setelah dilakukan - Monitor MAP(Mean - Memonitor S:-
tindakan keperawatan Artrial Pressure) MAP(Mean Artrial O :
(SDKI D.0017,
selama 255 menit, - Monitor intake dan Pressure) - TD : 125/78 mmHg
halaman 51)
resiko perfusi serebral output cairan - Memonitor intake dan - MAP : 93
tidak efektif teratasi - Hindari pemberian output cairan - Intake cairan
dengan kriteria hasil: cairan IV hipotonik - Menghinindari Asering 2300cc
- Nilai rata-rata tekanan (SIKI Manajemen pemberian cairan IV - Output cairan
darah (MAP) membaik Peningkatan Tekanan hipotonik Perdarahan ±500cc
(SLKI Perfusi Intrakranial I.09325,
𝐵𝐵 𝑥 15
IWL= 24 =

69
Serebral L.02014, halaman 205) 60 𝑥 15
= 37,5 𝑐𝑐
24
halaman 86)
Urin 500cc
(salwa,geral,amal
,diva) - selama intra operasi
diberikan cairan
isotonic yaitu asering
A : resiko perfusi
serebral tidak efektif
teratasi
P : lanjutkan intervensi

(salwa,geral,amal
,diva)

Risiko aspirasi b.d 12 Oktober 2022, 12 Oktober 2022, 12 Oktober 2022, 12 Oktober 2022,
terpasang ETT dan Pukul: 08.15 WIB Pukul: 08.15 WIB Pukul: 08.15 WIB Pukul: 08.15 WIB
trauma/pembedahan Setelah dilakukan tindakan - memonitor status S : -
leher, mulut, dan/atau keperawatan selama 255 - monitor status pernapasan O:
wajah menit, resiko aspirasi pernapasan - melakukan - setelah dilakukan
(SDKI D.0006, teratasi dengan kriteria - lakukan penghisapan penghisapan jalan suction didapatkan
jalan napas

70
halaman 28) hasil: - sediakan suction di napas SpO2 : 99%, RR :
ruangan - menyediakan suction 20x/menit, pola nafas
- Kebersihan mulut
- pertahankan di ruangan teratur, tidak ada suara
meningkat
pengembangan balon - mempertahankan nafas tambahan, secret
- kemampuan menelan
nasotracheal tube pengembangan balon berkurang
meningkat
(NTT) nasotracheal tube A : resiko aspirasi
- akumulasi secret
(SIKI Pencegahan (NTT) teratasi
menurun
P : lanjutkan intervensi
- frekuensi napas Aspirasi I.01018)
membaik
(SLKI Tingkat Aspirasi
(salwa,
L.01006, halaman 133) geral,a
mal,di (salwa,geral,amal
va) ,diva)
Resiko Infeksi b.d 12 Oktober 2022, 12 Oktober 2022, 12 Oktober 2022, 12 Oktober 2022,
efek prosedur Pukul: 08.15 WIB Pukul: 08.15 WIB Pukul: 08.15 WIB Pukul: 08.15 WIB
invasive Setelah dilakukan tindakan - Pertahankan teknik 1. Mempertahankan S:-
(pembedahan dan keperawatan selama 255 aseptic pada pasien teknik aseptic pada O :
terpasang infus) menit, resiko infeksi beresiko tinggi pasien beresiko tinggi - telah diberikan
teratasi dengan kriteria - Cuci tangan sebelum 2. Mencuci tangan antibiotic ceftriaxone
(SDKI D.0142,
dan sesudah kontak sebelum dan sesudah 2gram sebelum

71
halaman 304) hasil: dengan pasien dan kontak dengan pasien dilakukan pembedahan

- Nyeri menurun ditandai lingkungan pasien dan lingkungan - pembedahan


- Kolaborasi antibiotic pasien dilakukan dengan
dengan nadi menurun
- Kemerahan menurun (SIKI Pencegahan 3. Kolaborasi antibiotic teknik aseptic dan luka
Infeksi I.14539, halaman tertutup dengan kassa
(SLKI Tingkat Infeksi
278) - pemberian obat-
L.14137, halaman 139)
obatan melalui iv line
(salwa, dengan teknik bersih
geral,a
mal,di - TD: 119/70 mmHg
va) - Nadi : 62 x/menit
- Tidak ada kemerahan
pada kulit
A : resiko infeksi
teratasi
P : lanjutkan intervensi
dengan kolaborasi
medikasi luka

(salwa,geral,amal
,diva)

72
Post-Anestesi

Bersihan jalan nafas 12 Oktober 2022, 12 Oktober 2022, 12 Oktober 2022, 12 Oktober 2022,
tidak efektif b.d Pukul: 12.30 WIB Pukul: 12.30 WIB Pukul: 12.30 WIB Pukul: 12.30 WIB
hipersekresi jalan Setelah dilakukan - Monitor pola napas - Memonitor pola napas S:-
napas tindakan keperawatan - Monitor bunyi napas - Memonitor bunyi O:
(SDKI D.0001, selama 30 menit, tambahan(gurgling) napas - pasien hanya bisa
halaman 18) bersihan jalan nafas - Pertahankan kepatenan tambahan(gurgling) merintih karena post
tidak efektif teratasi jalan napas dengan - Mempertahankan operasi pembedahan
dengan kriteria hasil: head-tilt dan chin- kepatenan jalan napas pada mulut
- Sulit bicara menurun lift(jaw-trust jika dengan head-tilt dan - SpO2 : 99%
- Frekuensi napas curigai trauma chin-lift(jaw-trust jika - RR :20x/menit
membaik servikal) curigai trauma - pola nafas teratur
- Pola napas membaik - Posisikan semi-fowler servikal) - tidak ada suara nafas
(SLKI Bersihan Jalan atau fowler - Memposisikan semi- tambahan dan tidak ada
Napas L.01001) - Lakukan penghisapan fowler atau fowler secret
lender <15 detik - Melakukan A: bersihan jalan nafas
(SIKI Manajemen Jalan penghisapan lender tidak efektif teratasi
Napas I.01011, halaman <15 detik P: lanjutkan intervensi

73
186) (SIKI Manajemen Jalan

- Monitor saturasi Napas I.01011, halaman


oksigen 186)
(salwa,g
- Monitor adanya - Memonitor saturasi eral,ama
l,diva)
sumbatan jalan napas oksigen
(SIKI Pemantauan - Memonitor adanya
Respirasi I.01014, sumbatan jalan napas
halaman 247) (SIKI Pemantauan
Respirasi I.01014,
halaman 247)

(salwa,geral,amal
,diva)
Hipotermia b.d 12 Oktober 2022, 12 Oktober 2022, 12 Oktober 2022, 12 Oktober 2022,
terpapar suhu Pukul: 12.30 WIB Pukul: 12.30 WIB Pukul: 12.30 WIB Pukul: 12.30 WIB
lingkungan rendah Setelah dilakukan tindakan - Identifikasi penyebab - Mengidentifikasi S:-
keperawatan selama 10 hipotermia (terpapar penyebab hipotermia O :
(SDKI D.0131,

74
halaman 286) menit, hipotermia teratasi suhu lingkungan (terpapar suhu - GCS E3M5V1 keadaan
dengan kriteria hasil: rendah) lingkungan rendah) umum pasien lemah

- Keluhan kedinginan - Lakukan penghangatan - Melakukan


- pasien tidak merintih
menurun aktif eksternal (Force penghangatan aktif
- tidak meringkuk
- Merintih menurun Air Warmer) eksternal (Force Air
kedinginan
- Keluhan tidak nyaman (SIKI Manajemen Warmer) dengan suhu
- sudah nyaman dengan
menurun Hipotermia I.14507, 410C
posisi supinasi
(SLKI Status halaman 183) (SIKI Manajemen - kulit berwarna merah,
Kenyamanan L.08064, - Monitor kondisi Hipotermia I.14507, hangat dan lembab
halaman 110) umum, kenyamanan halaman 183) - konjungtiva tidak

pasien dan keamanan - Memonitor kondisi pucat


selama terapi umum, kenyamanan - setelah dilakukan

- Monitor respon pasien pasien dan keamanan intervensi dengan

terhadap terapi selama terapi diberikan Force Air

- Monitor kondisi kulit - Memonitor respon Warmer dengan suhu


pasien terhadap terapi 41 C, suhu pasien
0
selama operasi
kondisi menjadi 36,4 C
0

(SIKI Terapi Paparan - Memonitor


kulit selama operasi A : hipotermia teratasi
Panas I.14586, halaman

75
431) (SIKI Terapi Paparan P : hentikan intervensi
Panas I.14586, halaman
431)

(salwa,g
eral,ama
(salwa,
l,diva)
geral,a
mal,di
va)
Resiko jatuh b.d 12 Oktober 2022, 12 Oktober 2022, 12 Oktober 2022, 12 Oktober 2022,
kondisi pasca operasi Pukul: 12.30 WIB Pukul: 12.30 WIB Pukul: 12.30 WIB Pukul: 12.30 WIB
(SDKI D.0143, Setelah dilakukan - Pastikan roda tempat - Memastikan roda S :-
halaman 306) tindakan keperawatan tidur dan kursi roda tempat tidur dan kursi O:
selama 30 menit, resiko selelau dalam kondisi rodaselelau dalam - GCS E3M5V1
jatuh teratasi dengan terkunci kondisi terkunci somnolent keadaan
kriteria hasil: - Pasang handrall tempat - Memasang handrall umum pasien lemah
- Tidak jatuh dari tempat tidur tempat tidur dengan alderete score 7
tidur - Atur tempat tidur - Mengatur tempat tidur dengan warna kulit
- Tidak jatuh saat mekanis pada posisi mekanis pada posisi pucat, pernafasan
dipindahkan rendah rendah dangkal namun

76
(SLKI Tingkat Jatuh (SIKI Pencegahan (SIKI Pencegahan pertukaran udara
L.14138, halaman 140) Jatuh L.14540, Jatuh L.14540, adekuat dibantu dengan
halaman 279) halaman 279) nasal canule, tekanan
darah
menyimpang<20% dari
(salwa,geral,amal tekanan darah
,diva)
prainduksi, kesadaran
bangun namun cepat
kembali tertidur, dan
aktivitas motoric dapat
menggerakan 4
ekstremitas
- pasien tidak jatuh dari
tempat tidur dan tidak
jatuh saat dipindahkan
A: resiko jatuh teratasi
P: lanjutkan intervensi

(salwa,geral,am
al,diva)

77
BAB IV

ANALISIS JURNAL TERKAIT

Judul Efektifitas Penggunaan Selimut Hangat Dibandingkan Selimut


Biasa Terhadap Peningkatan Suhu Pada Pasien Post Operasi Di
RSUD. Sawahlunto

Nama Jurnal Jurnal Kesehatan Medika Saintika

Volume dan halaman Vol 12 Nomor 1, halaman 9-15

Tahun Juni 2021

Penulis Putri Dafriani, Harinal Afri Resta, Akhrijun Tanjung

DOI http://dx.doi.org/10.30633/jkms.v11i1.1095

Tujan penelitian Tujuan penelitian ini untuk melihat efektivitas penggunaan


selimut hangat dibandingkan selimut biasa terhadap peningkatan
suhu pada pasien post op.

Subjek penelitian Pasien post operasi di RSUD. Sawahlunto. Sampel adalah pasien
post operasi yang dirawat di recovery room sebanyak 16 orang.
Kriteria inklusi adalah pasien pre operasi terencana.

Metode penelitian Bahan dan metode: Penelitian ini bersifat kuantitatif dengan
pendekatan cross sectional. Metode yang digunakan adalah post
test control two grup design, dimana terdapat dua grup kontrol
dan grup intervensi. Perlakuan kepada kelompok intervensi adalah
diberikan selimut panas dan kelompok kontrol diberikan selimut
biasa. Pengukuran suhu dilakukan setelah dilakukan intervensi
selama 15 menit. Alat ukur dalam penelitian ini adalah lembar
observasi. Penelitian dilakukan di Ruangan Pacu Bedah sentral
RSUD Sawahlunto pada tanggal 13 Maret sampai 3 April 2020.

78
Hasil penelitian diolah dengan sistim komputerisasi dengan
menggunakan uji T karena data yang didapatkan peneliti
terdistribusi normal.

Hasil penelitian Hasil Penelitian didapatkan suhu pada kelompok kontrol yaitu
kelompok yang menggunakan selimut biasa setelah dilakukan
intervensi selama 15 menit didapatkan suhu paling rendah adalah
35,20C dan suhu tertinggi adalah 36,30C. Hipotermi sebagai
komplikasi pasca anestesi tercepat selama 24 jam pertama setelah
tindakan operasi yaitu 10-30%, hal ini dipengaruhi akibat dari
tindakan intraoperative yaitu pemberian cairan yang dingin,
inhalasi gas-gas dingin, luka terbuka pada tubuh, aktivitas otot
yang menurun, usia lanjut atau obat-obatan yang digunakan pada
anestesi. Hasil uji T didapatkan p value 0,000, yang artinya ada
perbandingan yang signifikan antara pemakaian selimut panas dan
selimut biasa terhadap perubahan suhu tubuh pada pasien
hipotermia post operasi di ruangan recovery room RSUD
Sawahlunto tahun 2020.

Kesimpulan Pemakaian selimut hangat lebih dianjurkan untuk mengatasi


hipotermi post operasi dibandingkan selimut biasa. Selimut
hangat dapat menaikan suhu pasien dengan cepat dibandigkan
dengan pemakaian selimut biasa.

Kelebihan - Level jurnal evidence IIb

- Metode Penelitian jelas dan mudah dimengerti

- dapat dijadikan inovasi untuk pengembangan metode ERAC

Kelemahan - Kriteria inklusi usia penelitian tidak homogen sehingga terjadi


bias

- Sampel penelitian terlalu sedikit

79
BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan asuhan keperawatan anestesi yang telah dilakukan pada Tn.R
diagnosa medis fraktur maxilofacial yang akan menjalani operasi
rekonstruksi maxilofacial dengan general anestesi nasotracheal tube
(NTT) di IBS RSUD Bendan yang akan menjalani operasi rekonstruksi
maxilofacial dapat disimpulkan bahwa:
1. Berdasarkan masalah keperawatan yang muncul sesuai dengan SDKI,
penulis membuat perencanaan keperawatan berdasarkan SIKI dan
kriteria hasil berdasarkan SLKI.
2. Berdasarkan pengkajian yang dilakukan pada pre-anestesi diagnose
dan masalah keperawatan yang muncul yakni nyeri akut b.d agen
pencidera fisik (trauma, fraktur) dengan evaluasi nyeri akut teratasi
tetapi intervensi tetap dilanjutkan saat intra operasi, post operasi dan
setelah pasien kembali ke bangsal
3. Pada intra-anestesi diagnose dan masalah keperawatan yang muncul
yakni resiko perfusi serebral tidak efektif b.d cedera kepala, resiko
aspirasi b.d terpasang ETT dan trauma/pembedahan leher, mulut,
dan/atau wajah, resiko infeksi b.d efek prosedur invasive (pembedahan
dan terpasang infus). Evaluasi tindakan ketiga diagnose yang muncul
selama intra operasi sudah teratasi tetapi intervensi tetap dilanjutkan.
4. Pada post-anestesi diagnose dan masalah keperawatan yang muncul
yakni bersihan jalan nafas tidak efektif b.d hipersekresi jalan napas ,
hipotermi b.d terpapar suhu lingkungan rendah dengan evaluasi
hipotermi teratasi dan hentikan intervensi dan resiko jatuh b.d kondisi
pasca operasi dengan evaluasi sudah teratasi tetapi intervensi tetap
dilanjukan
5. Berdasarkan analisis jurnal terkait salah satu intervensi dalam kasus,
pemakaian selimut hangat lebih dianjurkan untuk mengatasi hipotermi
post operasi dibandingkan selimut biasa. Selimut hangat dapat

80
menaikkan suhu pasien dengan cepat dibandingkan dengan pemakaian
selimut biasa.
B. Saran
1. Bagi institusi rumah sakit dan tenaga kesehatan
a. Diharapkan institusi dan tenaga kesehatan untuk mempertahankan
serta mengembangkan Standard Operating Procedure (SOP) pada
pasien perioperatif demi pelayanan kesehatan yang optimal.
b. Seorang penata anestesi harus mahir dalam melakukan pengkajian,
merumuskan diagnosa, menetapkan intervesi, melaksanakan
implementasi dan mengevaluasi respon pasien pada tahap pre
anestesi, intra anestesi hingga pasca anestesi.
c. Pemakaian selimut hangat dapat dijadikan salah satu intervensi
untuk mengatasi hipotermi post operasi
2. Bagi mahasiswa
Mahasiswa diharapkan mampu berpikir kritis dalam pemberikan
asuhan keperawatan perianestesi.

81
DAFTAR PUSTAKA

Andersson L, Kahnberg KE, Pogrel MA.(2010) Oral and maxillofacial surgery.


West Sussex: Blackwell Publishing Ltd, 818-20, 879.

Christi, M. (2017). Prevalensi Kasus Fraktur Maksilofasial Dengan Fraktur Basis


Kranii Di RSUP H. Adam Malik Tahun 2014-2016.Skripsi Fakultas
Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara.

Dafriani, P., Resta, H. A., Tanjung, A., Kesehatan, S. T., Saintika, S., &
Sawahlunto, R. (2021). the Effectiveness of Using a Warm Blanket
Compared To the Increased Temperature in Post Operating Patients in Rsud.
Sawahlunto. Jurnal Kesehatan Medika Saintika Juni 2021 |Vol, 12(1), 9–15.

Fonseca, Walker, Barber, Powers, Frost (2013) Oral and maxillofacial trauma. 4th
ed. Missouri: Elsevier Saunders 179-180, 239-40, 298-9, 354, 470, 474.

Hupp JR. Ellis E., Tucker MR. (2014) Contemporary oral and maxilofacial
surgery. 6 th ed. Missouri: Elsevier Mosby, 496-9.

Malik, N.A., (2008) Oral and Maxcillofacial Surgery, Second Edition, Jitendar P
Vij, New Delhi

Mitchel DA, Kanatas AN. (2015) An introduction to oral and maxillofacial


surgery. 2 nd ed. Boca Raton: CRC Press, 233.

Putu, N., Pratiwi, E., Maliawan, S., Kawiyana, S., Kedokteran, F., & Udayana, U.
(2013). Fraktur Pada Tulang Maksila. E-Jurnal Medika Udayana, 2(12),
2076–2095.

Rahaswanti, L. W. A. (2017). Dengan Teknik Splinting ( Literature Review /


Tinjauan Pustaka ).

Syarifudin, A. (2020). PREVALENSI ANGKA KEJADIAN FRAKTUR


MAKSILOFASIAL DI RUMAH SAKIT GIGI DAN MULUT PENDIDIKAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR TAHUN 2017-2020.
2507(February), 1–9.

82

Anda mungkin juga menyukai