MAKALAH Bahasa, Sastra, Dan Politik
MAKALAH Bahasa, Sastra, Dan Politik
Disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Bahasa, Sastra, dan Politik
Dosen Pengampu: Siti Maemunah, S.Pd., M.Pd.
Disusun oleh:
Kelompok 2
Ana Maria Atari Angelin (191010700249)
Elida Sari (191010700055)
Lady Alif Fardya (191010700043)
Putri Puspita Herlin (191010700279)
Zahwa Nidyya Luthfiyyah (191010700049)
Puji Syukur kehadirat Allah SWT Tuhan Yang Maha Esa atas segala
rahmat-Nya sehingga makalah dengan judul “Politik Bahasa masa Hindia Belanda”
ini dapat tersusun hingga selesai.
Tidak lupa kami mengucapkan banyak terima kasih kepada Ibu Siti
Maemunah S.Pd., M.Pd. selaku dosen mata kuliah Bahasa, Sejarah, dan Politik
yang telah memberikan tugas ini kepada kami. Kami juga mengucapkan terima
kasih kepada pihak-pihak yang telah berkontribusi dalam membantu proses
pembuatan makalah ini.
Tertanda,
Tim Penulis
ii
DAFTAR ISI
SAMPUL MAKALAH........................................................................................ i
KATA PENGANTAR ........................................................................................ ii
DAFTAR ISI ..................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ........................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ...................................................................................... 2
1.3 Tujuan ........................................................................................................ 2
BAB II PEMBAHASAN .................................................................................... 3
2.1 Pembukaan “Gerbang menuju ke Barat” (1864) .......................................... 3
2.2 Bahasa Belanda sebagai “Utang Budi”........................................................ 4
2.3 Kebijakan Dwijalur: Bahasa Belanda dan Bahasa Melayu .......................... 9
BAB III PENUTUP .......................................................................................... 11
3.1 Simpulan .................................................................................................. 11
3.2 Saran ........................................................................................................ 11
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 12
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Politik merupakan cara orang hidup berkelompok dalam membuat
keputusan. Politik antara lain adalah tentang membuat kesepakatan antar manusia
sehingga dapat hidup bersama dalam kelompok seperti suku, kota, atau negara.
Menurut KBBI, politik merupakan segala urusan dan tindakan (kebijakan, siasat,
dan sebagainya) mengenai pemerintahan negara atau terhadap negara lain. Ilmu
memusatkan perhatian pada konsep bangsa dan negara karena semua proses politik
menyangkut bangsa dan negara. Sementara itu ilmu politik mempelajari
pemerintahan dalam segala bentuk dan aspeknya, baik secara teoretis maupun
praktis. Sedangkan menurut teori klasik Aristoteles, pengertian politik adalah usaha
yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama. Dalam hidup
bersama, manusia membutuhkan komunikasi dan komunikasi terjadi apabila
terdapat bahasa. Bahasa merupakan alat komunikasi yang berperanan penting
dalam kehidupan manusia dengan manusia lainnya. Setiawati & Arista (2018:3)
menyatakan, bahasa merupakan suatu sistem komunikasi yang mempergunakan
simbol-simbol atau lambang-lambang bunyi linier dan terwujud dalam satuan
lingual yang membentuk suatu tuturan bermakna berupa pesan yang ingin
disampaikan kepada orang lain sebagai lawan tuturnya.
1
abad ke-20. Kebijakan tersebut untuk meningkatkan pengetahuan bahasa Belanda
pada lapisan atas masyarakat pribumi. Pendidikan bahasa Belanda hanya
dimaksudkan bagi penduduk Eropa, sedangkan penduduk pribumi di beberapa
wilayah berpenduduk Kristen masih menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa
pengantar. Bahasa Melayu telah digunakan sejak kedatangan bangsa Belanda dan
semakin banyak digunakan sebagai Lingua Franca antar suku dan antar pulau. Pada
pertengahan abad ke-19 pendidikan milik pemerintah yang hanya diperuntukkan
bagi masyarakat Eropa dan sekitar 80% merupakan masyarakat Pribumi yang tidak
menggunakan bahasa Belanda.
1.2.3 Bagaimanakah kebijakan dwijalur bahasa Belanda dan bahasa Melayu pada
masa Hindia Belanda?
1.3 Tujuan
1.3.1 Mendeskripsikan awal politik bahasa pada masa Hindia Belanda.
2
BAB II
PEMBAHASAN
Politik Bahasa pada masa Hindia Belanda terbagi atas tiga periode, yaitu
pembukaan “gerbang menuju ke barat” (1864), Bahasa Belanda sebagai “utang
budi”, dan kebijakan dwijalur: bahasa belanda dan bahasa melayu.
3
Sehingga adanya persebaran angket di Maluku dan Minahasa yang
diperintahkan agar di dalam agama Kristen mempunyai dukungan untuk masuknya
bahasa belanda sebagai pengganti bahasa melayu. karena untuk tercapainya bahwa
bahasa belanda merupakan suatu perkembangan yang baik serta mendapatkan kerja
yang lebih mudah. Hal ini yang dikatakan bahwa adanya fungsi bahasa dapat
dikatakan untuk memenuhi sebagai bahasa pergaulan umum, karena dengan adanya
pengetahuan bahasa belanda dapat memberikan suatu pengetahuan yang dapat sulit
dipelajari pada orang timur.
Pada tahun 1864 adanya pandangan bahwa dalam bahasa belanda memiliki
suatu bahasa pengantar untuk mata pelajaran orang pribumi. karena mempunyai
putusan agar dapat memberikan dukungan segala kebutuhan pengetahuan bahasa
belanda. dalam kurun waktu pada masa hindia belanda dianggap penting karena
terdapat kaum elite pribumi yang memiliki pengetahuan bahasa sehingga mudah
jalannya menuju perkembangan dan peradaban yang dapat memperoleh kemahiran
dalam pengembangannya alih bahasa belanda. sehingga adanya penyerahan untuk
bahasa pengetahuan barat ke bahasa pribumi karena dapat dikatakan bisa berfungsi
sebagai ahli peran bahasa
4
Pertama-tama, ini adalah bagi kepentingan Anda. Saya ingin menerangkan
bahwa simpati yang Anda harapkan dari penduduk Pribumi, tidak ada [...].
Rakyat pada umumnya tidak menyadari akan keuntungan-keuntungan yang
diberikan oleh Pemerintah Belanda [..] Tanamkanlah pada orang Jawa,
dengan perantaraan bahasa Anda kesadaran akan rasa terima kasih, yang
Anda berhak mendapatkannya.
Kami masih kanak-kanak, dibandingkan dengan Anda []. Di masa-masa yang
akan datang semuanya ini tergantung pada pendidikan awal di bidang
kerohanian dan moral, apakah kami akan memperlakukan Anda sebagai
pemandu, ayah, saudara, teman atau sebagai orang asing atau musuh
Saudara perempuannya yaitu Raden Adjeng Kartini yang merupakan salah satu
wanita pribumi yang saat itu sudah menguasai bahasa Belanda, menunjukkan
pentingnya bahasa Belanda bagi Hindia-Belanda dalam surat yang ia tulis Pada
tanggal 6 November 1899:
Bila saya menguasai bahasa Belanda, maka masa depan saya terjamin.
Lapangan kerja menjadi terbuka dan saya seolah-olah anak manusia yang
bebas. Sebab saya sebagai seorang anak Jawa tahu seluk-beluk dunia pribumi
[...]. Banyak yang hingga saat ini masih merupakan teka-teki dan masih gelap
bagi orang Eropa dapat saya pecahkan. hanya dengan beberapa patah kata
saja [..] Kehalusan-kehalusan yang ada di dalam dunia pribumi, yang oleh
seorang Indolog terbesar pun tidak dapat dirasakan, dapat diangkat ke
permukaan oleh seorang pribumi.
Kartini memperlihatkan dalam surat dari awal tahun 1900 bahwa pengetahuan
bahasa Belanda juga penting bagi emansipasi wanita pribumi:
5
luar pemerintah. Dua dasawarsa pertama abad ke-20 permintaan akan tenaga
pribumi yang berpendidikan Barat meningkat sehingga penawaran pendidikan
Belanda juga semakin Besar. Namun pada tahun 1920 politik Etis dalam
pendidikan Barat dihentikan karena pasar kerja bagi mereka yang menguasai
bahasa Belanda mencapai titik jenuh.
6
sedangkan pada pendidikan lanjutan hanya ditempatkan orang belanda karena
minimnya kader pribumi terdidik. Penerjemahan buku-buku Eropa tidak dapat
dilakukan karena biaya dan minimnya penerjemah. Sehingga bahasa Belanda
sementara menjadi kunci ilmu dan kebudayaan Barat. Untuk itu diperlukan
penguasaan bahasa Belanda aktif sehingga orang berpikir dengan bahasa itu dan hal
itu dapat tercapai jika bahasa tersebut sebagai bahasa pengantar pendidikan.
Pendidikan untuk elite secara perlahan dapat mengembangkan bahasa daerah dan
memindahkan pengetahuan kepada masyarakat luas. Untuk pribumi yang
memperoleh pendidikan dengan bahasa Belanda dapat dicegah agar tidak terjadi
denasionalisme kehilangan kontak dengan masyarakat dengan tidak mengabaikan
pendidikan dengan bahasa daerah. Paham ini juga merujuk pada kepentingan
politik, pembeladaan dapat memperkuat hubungan batin antara Hindia Belanda dan
negeri Belanda, dan meningkatkan kesadaran rasa setia kawan yang penting bagi
perkembangan Hindia Belanda.
7
Hanya sedikit orang pribumi mengikuti pendapat bahasa daerah sebagai bahasa
pengantar. Sudut pandang diutarakan oleh Tjipto Mangoenkoesoemo (De Banier 8-
9, 1916: 139-140) yang memvonis mati bahasa Jawa, karena tidak lagi memenuhi
tuntutan zaman dan tidak cocok untuk menuangkan ide-ide dan pemikiran modern,
atau untuk mengalihkan pengetahuan ilmiah dan teknis. Karena karakternya yang
tidak 'demokratis', bahasa Jawa juga tidak cocok untuk menjadi bahasa pergaulan
umum. Oleh karena itu sebaiknya bahasa Belanda dijadikan bahasa pemersatu di
Hindia Belanda. Adanya keberatan bahwa bahasa Belanda begitu sulit bagi orang
pribumi, menurut Tjipto Mangoenkoesoemo dapat dipecahkan dengan
menyesuaikan bahasa Belanda dengan situasi Hindia Belanda. Seperti di Afrika
Selatan, maka akan muncul varian spesial bahasa Belanda yang sesuai kebutuhan
Hindia Belanda (Mangoenkoesoemo 1918: 274) dalam Groeneboer.
8
Pada awal 1930-an perluasan pendidikan berbahasa Belanda tidak
dipikirkan lagi karena krisis ekonomi yang mengakibatkan berkurangnya siswa HIS
yang kurang lebih 60.000 pada tahun ajaran 1930/31 dan hanya bertambah
menjelang akhir perang Dunia II menjadi sekitar 70.000 orang. Sehingga HIS
sebagai produsen tenaga berbahasa Belanda tersaingi ‘pendidikan liar’ pada akhir
1930-an jumlahnya dua kali lipat dibandingkan pendidikan regular. Pendidikan liar
sudah ada pada 1920-an, dengan tujuan pendidikan bermanfaat bagi paham
keagamaan atau politik tertentu, dan penawaran pendidikan dari pemerintah
tertinggal dalam peningkatan kebutuhan subjektif pendidikan bahasa Belanda.
9
ada pilihan lain untuk menjadikan bahasa Melayu sebagai bahasa pemersatu
sebagai bentuk reaksi atas politik bahasa yang membatasi pendidikan berbahasa
Belanda. Kaum nasionalis yang sebagain besar menggunakan bahasa Belanda
membuat keputusan untuk menjadikan bahasa Melayu sebagai bahasa pemersatu.
Bahasa Belanda memungkinkan mereka untuk menyusun rencana masa depan yang
dalam hal ini, bahasa Melayu belum dapat mengisi karena kurangnya kemungkinan
untuk menuangkan pengertian-pengertian Barat.
Pada tahun 1940 Bousquet berpendapat bahwa, adanya politik bahasa dan
budaya belanda yang menjadi masalah disebabkan bahwa orang belanda sangat
tidak menghargai bahasa dan budayanya sendiri. Sehingga terjadinya, hubungan
antara negeri belanda dan orang hindia belanda terputus karena, kurangnya rasa
tanggung jawab atas pemeliharaan identitas belanda. Dan dalamn sejarah politik
bahwa pertama kalinya bahasa di hindia belanda diperintahkan untuk merumuskan
dwi jalur, karena pada dasarnya bahwa bahasa melayu dan bahasa belanda
menjadikan tempat untuk pelajaran kepada pendidikan pribumi. Sehingga adanya
prinsip bahwa bahasa belanda merupakan suatu jalan untuk menuju ke budaya barat
agar terjalinnya kontak dengan dunia luar.
10
BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
Bahasa politik adalah kebijakan yang berisi pengarahan, perencanaan, dan
ketentuan-ketentuan yang dapat dipakai sebagai dasar pengelolaan keseluruhan
masalah kebahasaan dan kesastraan. Masuknya bahasa Belanda ke Indonesia
sempat membuat pergolakan yang terjadi di masyarakat pribumi mengenai bahasa
Belanda dan bahasa Melayu. Bahasa Belanda yang digunakan di sekolah Pribumi
dianggap berkedok untuk menyebarkan agama kristen dan akan mencegah
penyebaran agama Islam melalui bahasa Melayu. Selain itu, Bahasa Belanda
dianggap sulit untuk dipelajari bagi masyarakat Pribumi dan argumen tersebut
mendukung bahasa Melayu sebagai bahasa umum dalam pergaulan masyarakat.
Berjalannya waktu semakin bertambah peluang pendidikan berbahasa Belanda
yang dipengaruhi ‘Politik Etis’ kolonial, dimana Bahasa Belanda menjadi bahasa
bantu pembuka jalan pengetahuan Barat dengan bantuan bahasa daerah, oleh karena
itu Belanda dianggap ‘utang budi’ di Hindia Belanda. Hingga akhirnya pada tahun
1982 yaitu Kongres Pemuda, menetapkan Bahasa Melayu sebagai bahasa
pemersatu Republik Indonesia, karena pada dasarnya Indonesia hanya memiliki
satu bahasa pergaulan (Lingua Franca).
3.2 Saran
Demikianlah pokok bahasan makalah ini yang dapat kami sampaikan. Besar
harapan kami agar makalah ini dapat bermanfaat untuk pembaca. Karena
keterbatasan pengetahuan dan referensi, Kami menyadari makalah ini masih jauh
dari sempurna. Oleh karena itu, saran dan kritik yang membangun sangat
diharapkan agar makalah ini dapat disusun menjadi lebih baik lagi di masa yang
akan datang.
11
DAFTAR PUSTAKA
Abdi, H. (2021). https://hot.liputan6.com/read/4682885/pengertian-politik-
menurut-para-ahli-konsep-dan-contoh-perilakunya. diakses pada 15
September 2022.
Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan. (2011). Politik Bahasa Rumusan Seminar Politik Bahasa.
Jakarta.
Groeneboer, K. (1999). Politik bahasa pada masa Hindia Belanda. Wacana, 1(1),
32-48.
Madehang, M. (2013). POLITIK BAHASA BAHASA POLITIK. IDEAS: Journal
on English Language Teaching and Learning, Linguistics and
Literature, 1(2).
Setiawati, E., & Arista, H. D. (2018). Piranti Pemahaman Komunikasi dalam
Wacana Interaksional: Kajian Pragmatik. Universitas Brawijaya Press.
12