Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

POLITIK BAHASA MASA HINDIA BELANDA

Disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Bahasa, Sastra, dan Politik
Dosen Pengampu: Siti Maemunah, S.Pd., M.Pd.

Disusun oleh:
Kelompok 2
Ana Maria Atari Angelin (191010700249)
Elida Sari (191010700055)
Lady Alif Fardya (191010700043)
Putri Puspita Herlin (191010700279)
Zahwa Nidyya Luthfiyyah (191010700049)

PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA


FAKULTAS SASTRA
UNIVERSITAS PAMULANG
2022
KATA PENGANTAR

Puji Syukur kehadirat Allah SWT Tuhan Yang Maha Esa atas segala
rahmat-Nya sehingga makalah dengan judul “Politik Bahasa masa Hindia Belanda”
ini dapat tersusun hingga selesai.

Tidak lupa kami mengucapkan banyak terima kasih kepada Ibu Siti
Maemunah S.Pd., M.Pd. selaku dosen mata kuliah Bahasa, Sejarah, dan Politik
yang telah memberikan tugas ini kepada kami. Kami juga mengucapkan terima
kasih kepada pihak-pihak yang telah berkontribusi dalam membantu proses
pembuatan makalah ini.

Karena keterbatasan maupun pengalaman penyusun, maka kami yakin


masih terdapat banyak kekurangan dalam makalah ini. Oleh karena itu, kami sangat
mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan
makalah ini. Akhir kata, semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi para
pembaca.

Tangerang Selatan, 13 September 2022

Tertanda,

Tim Penulis

ii
DAFTAR ISI

SAMPUL MAKALAH........................................................................................ i
KATA PENGANTAR ........................................................................................ ii
DAFTAR ISI ..................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ........................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ...................................................................................... 2
1.3 Tujuan ........................................................................................................ 2
BAB II PEMBAHASAN .................................................................................... 3
2.1 Pembukaan “Gerbang menuju ke Barat” (1864) .......................................... 3
2.2 Bahasa Belanda sebagai “Utang Budi”........................................................ 4
2.3 Kebijakan Dwijalur: Bahasa Belanda dan Bahasa Melayu .......................... 9
BAB III PENUTUP .......................................................................................... 11
3.1 Simpulan .................................................................................................. 11
3.2 Saran ........................................................................................................ 11
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 12

iii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Politik merupakan cara orang hidup berkelompok dalam membuat
keputusan. Politik antara lain adalah tentang membuat kesepakatan antar manusia
sehingga dapat hidup bersama dalam kelompok seperti suku, kota, atau negara.
Menurut KBBI, politik merupakan segala urusan dan tindakan (kebijakan, siasat,
dan sebagainya) mengenai pemerintahan negara atau terhadap negara lain. Ilmu
memusatkan perhatian pada konsep bangsa dan negara karena semua proses politik
menyangkut bangsa dan negara. Sementara itu ilmu politik mempelajari
pemerintahan dalam segala bentuk dan aspeknya, baik secara teoretis maupun
praktis. Sedangkan menurut teori klasik Aristoteles, pengertian politik adalah usaha
yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama. Dalam hidup
bersama, manusia membutuhkan komunikasi dan komunikasi terjadi apabila
terdapat bahasa. Bahasa merupakan alat komunikasi yang berperanan penting
dalam kehidupan manusia dengan manusia lainnya. Setiawati & Arista (2018:3)
menyatakan, bahasa merupakan suatu sistem komunikasi yang mempergunakan
simbol-simbol atau lambang-lambang bunyi linier dan terwujud dalam satuan
lingual yang membentuk suatu tuturan bermakna berupa pesan yang ingin
disampaikan kepada orang lain sebagai lawan tuturnya.

Dari pengertian tersebut politik bahasa merupakan kebijakan yang berisi


pengarahan, perencanaan, dan ketentuan-ketentuan yang dapat dipakai sebagai
dasar pengelolaan keseluruhan masalah kebahasaan dan kesastraan. Kebijakan
tersebut meliputi pengaturan kepada kedudukan dan fungsi, pembinaan dan
pengembangan, sarana, dan kelembagaan bahasa dalam penggunaan bahasa di
suatu negara. Sedangkan politik bahasa menurut Alwasilah (1997:4 dalam
Madehang, 2013) adalah tanggung jawab dalam berbahasa sebagai alat untuk
mengejar kepentingan masing-masing. Kepentingan yang dimaksud antara lain
berupa mencapai kepentingan nasional yaitu keamanan nasional dan kesejahteraan
nasional. Politik bahasa telah ada sejak masa Hindia Belanda yang dimulai pada

1
abad ke-20. Kebijakan tersebut untuk meningkatkan pengetahuan bahasa Belanda
pada lapisan atas masyarakat pribumi. Pendidikan bahasa Belanda hanya
dimaksudkan bagi penduduk Eropa, sedangkan penduduk pribumi di beberapa
wilayah berpenduduk Kristen masih menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa
pengantar. Bahasa Melayu telah digunakan sejak kedatangan bangsa Belanda dan
semakin banyak digunakan sebagai Lingua Franca antar suku dan antar pulau. Pada
pertengahan abad ke-19 pendidikan milik pemerintah yang hanya diperuntukkan
bagi masyarakat Eropa dan sekitar 80% merupakan masyarakat Pribumi yang tidak
menggunakan bahasa Belanda.

1.2 Rumusan Masalah


1.2.1 Bagaimanakah awal politik bahasa pada masa Hindia Belanda?

1.2.2 Bagaimanakah bahasa Belanda pada masa Hindia Belanda?

1.2.3 Bagaimanakah kebijakan dwijalur bahasa Belanda dan bahasa Melayu pada
masa Hindia Belanda?

1.3 Tujuan
1.3.1 Mendeskripsikan awal politik bahasa pada masa Hindia Belanda.

1.3.2 Menjelaskan bahasa Belanda pada masa Hindia Belanda.

1.2.3 Mendeskripsikan kebijakan dwijalur bahasa Belanda dan bahasa Melayu


pada masa Hindia Belanda?

2
BAB II
PEMBAHASAN
Politik Bahasa pada masa Hindia Belanda terbagi atas tiga periode, yaitu
pembukaan “gerbang menuju ke barat” (1864), Bahasa Belanda sebagai “utang
budi”, dan kebijakan dwijalur: bahasa belanda dan bahasa melayu.

2.1 Pembukaan “Gerbang menuju ke Barat” (1864)


Pendidikan pribumi pada masa 1830-an telalu didominasi oleh pendidikan
Barat semacam Hindia Inggris yang menunjukan dampak negatif karena terjadi
pengelompokan daerah akibat pendidikan Barat yang tidak terkontrol melalui
bahasa Belanda yang dapat membahayakan pemerintahan kolonial. Akibatnya,
terjadi kekecewaan di masyarakat terlebih lagi adanya perburuan kerja.

Pada peraturan pemerintah di Belanda pada tahun 1854 ditentukan


pendidikan pribumi di Hindia Belanda. Namun, terjadi pergolakan pada tahun itu
untuk tidak menggunakan bahasa Belanda di sekolah Pribumi. Penyebabnya, ada
usulan pada saat itu agar bahasa Belanda dijadikan sebagai bahasa pengantar
menggantikan bahasa Melayu. Alasannya demi perbaikan kualitas pendidikan di
wilayah kekristenan seperti Maluku dan Minahasa. Sementara itu, pada tahun 1857
juga ada usulan lain untuk menggunakan bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar
di daerah Nias yang saat itu masih menyembah berhala. Dalam hal ini, bahasa
Belanda berkedok sebagai cara untuk menyebarkan agama Kristen di wilayah
tersebut.

Bahasa Belanda tidak dapat dipaksakan menjadi bahasa pergaulan di daerah


primitif di Nusantara seperti Nias atau Dayak di Borneo. Karena dengan cara itu
pula dapat mencegah penyebaran agama Islam melalui bahasa Melayu, selain itu
muncul keraguan besar apakah penduduk pribumi memiliki kemampuan intelektual
untuk mempelajari bahasa Belanda yang sulit. Argumen tersebut justru mendukung
bahasa Melayu sebagai bahasa umum dalam pergaulan. Pada akhirnya, tahun 1858
diputuskan bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar di Nias, tidak dengan bahasa
Belanda.

3
Sehingga adanya persebaran angket di Maluku dan Minahasa yang
diperintahkan agar di dalam agama Kristen mempunyai dukungan untuk masuknya
bahasa belanda sebagai pengganti bahasa melayu. karena untuk tercapainya bahwa
bahasa belanda merupakan suatu perkembangan yang baik serta mendapatkan kerja
yang lebih mudah. Hal ini yang dikatakan bahwa adanya fungsi bahasa dapat
dikatakan untuk memenuhi sebagai bahasa pergaulan umum, karena dengan adanya
pengetahuan bahasa belanda dapat memberikan suatu pengetahuan yang dapat sulit
dipelajari pada orang timur.

Pada tahun 1864 adanya pandangan bahwa dalam bahasa belanda memiliki
suatu bahasa pengantar untuk mata pelajaran orang pribumi. karena mempunyai
putusan agar dapat memberikan dukungan segala kebutuhan pengetahuan bahasa
belanda. dalam kurun waktu pada masa hindia belanda dianggap penting karena
terdapat kaum elite pribumi yang memiliki pengetahuan bahasa sehingga mudah
jalannya menuju perkembangan dan peradaban yang dapat memperoleh kemahiran
dalam pengembangannya alih bahasa belanda. sehingga adanya penyerahan untuk
bahasa pengetahuan barat ke bahasa pribumi karena dapat dikatakan bisa berfungsi
sebagai ahli peran bahasa

2.2 Bahasa Belanda sebagai “Utang Budi”


Setelah bertambahnya peluang mengikuti pendidikan berbahasa Belanda
yang dipengaruhi ‘Politik Etis’ kolonial, bahasa Belanda yang merupakan ‘gerbang
menuju Barat’ memperoleh arti ‘etis’ yang tidak lagi hanya dilihat sebagai ‘bahasa
sumber’, melainkan bahasa bantu pembuka jalan pengetahuan Barat dengan
bantuan bahasa daerah. Oleh karena itu, Belanda ‘utang budi’ di Hindia Belanda
yang hendaknya bahasa daerah disebarkan sekaligus menjadi faktor penting proses
‘pendidikan menuju otonomi’. Hal tersebut diajukan oleh Raden Mas Pandji Sosro
Kartono dalam pidatonya Het Nederlandsch in indië (Bahasa Belanda di Hindia
Belanda), yang dibawakan di Gent (Belgia) pada 1899 sebagai penampilan pertama
seorang Indonesia dalam bahasa Belanda di Eropa. Baginya hal tersebut penting
bagi Belanda sendiri. Sostro Kartono (1899:2) dalam Groeneboer (1999) berkata:

4
Pertama-tama, ini adalah bagi kepentingan Anda. Saya ingin menerangkan
bahwa simpati yang Anda harapkan dari penduduk Pribumi, tidak ada [...].
Rakyat pada umumnya tidak menyadari akan keuntungan-keuntungan yang
diberikan oleh Pemerintah Belanda [..] Tanamkanlah pada orang Jawa,
dengan perantaraan bahasa Anda kesadaran akan rasa terima kasih, yang
Anda berhak mendapatkannya.
Kami masih kanak-kanak, dibandingkan dengan Anda []. Di masa-masa yang
akan datang semuanya ini tergantung pada pendidikan awal di bidang
kerohanian dan moral, apakah kami akan memperlakukan Anda sebagai
pemandu, ayah, saudara, teman atau sebagai orang asing atau musuh

Saudara perempuannya yaitu Raden Adjeng Kartini yang merupakan salah satu
wanita pribumi yang saat itu sudah menguasai bahasa Belanda, menunjukkan
pentingnya bahasa Belanda bagi Hindia-Belanda dalam surat yang ia tulis Pada
tanggal 6 November 1899:

Bila saya menguasai bahasa Belanda, maka masa depan saya terjamin.
Lapangan kerja menjadi terbuka dan saya seolah-olah anak manusia yang
bebas. Sebab saya sebagai seorang anak Jawa tahu seluk-beluk dunia pribumi
[...]. Banyak yang hingga saat ini masih merupakan teka-teki dan masih gelap
bagi orang Eropa dapat saya pecahkan. hanya dengan beberapa patah kata
saja [..] Kehalusan-kehalusan yang ada di dalam dunia pribumi, yang oleh
seorang Indolog terbesar pun tidak dapat dirasakan, dapat diangkat ke
permukaan oleh seorang pribumi.
Kartini memperlihatkan dalam surat dari awal tahun 1900 bahwa pengetahuan
bahasa Belanda juga penting bagi emansipasi wanita pribumi:

Saya sangat ingin mempelajari bahasa Belanda dengan sempurna dan


menguasainya, sehingga saya bisa berbuat apa sa dengannya Lalu saya akan
berusaha lewat pena saya menarik perhatian mereka yang dapat menolong
kami berusaha mengadakan perbaikan di dalam nasib wanita Jawa (Kartini
1912 15, 41).
Keinginan untuk memberikan pendidikan barat kepada sebagian pribumi terkait
dengan Politik Etis, yang berakibat pada satu pihak kekuasaan pemerintah
bertambah luas karena ‘pasifikasi’ daerah-daerah luar Jawa. Sedangkan di pihak
lain bertambah besarnya campur tangan pemerintah secara langsung di bidang
ekonomi, pendidikan dan pemerintah. Akibatnya, Politik Etis meningkatkan
kebutuhan terhadap tenaga pribumi yang berbahasa Belanda, baik dalam maupun

5
luar pemerintah. Dua dasawarsa pertama abad ke-20 permintaan akan tenaga
pribumi yang berpendidikan Barat meningkat sehingga penawaran pendidikan
Belanda juga semakin Besar. Namun pada tahun 1920 politik Etis dalam
pendidikan Barat dihentikan karena pasar kerja bagi mereka yang menguasai
bahasa Belanda mencapai titik jenuh.

Perkembangan ekonomi tersebut meningkatkan permintaan pendidikan Belanda


dan pendidikan Barat di kalangan pribumi, karena dianggap sebagai kunci untuk
maju secara sosial. hal itu menjadi faktor dasar pembentukan Sekolah Belanda
Pribumi (Hollands-Inlandse School, HIS) pada 1908, dengan bahasa Belanda
sebagai bahasa pengantar. Adanya HIS muncul banyak diskusi masalah bahasa
pengantar pada pendidikan Barat. Bahasa Pengantar menjadi tema utama pada
kongres Pendidikan kolonial di Den Haag pada 1916 dan 1919 dan di Batavia pada
Tahun 1918 yang diikuti oleh orang Eropa dan Pribumi, yang memunculkan dua
kecenderungan.

Satu pihak menganggap hanya pendidikan berbahasa ibu-jadi bahasa daerah


sebagai pengantar baik bagi anak. Pemakaian bahasa asing sebagai pengantar
dinilai tidak hanya bertanggung jawab dari segi pendidikan. Jika dilihat dari tingkat
kesulitan bahasa Belanda, biaya dan jumlah guru juga dianggap merugikan
masyarakat karena pendidikan tidak akan mencapai massa rakyat. Penawaran
Bahasa Belanda yang hanya kepada elite saja memisahkan elite dengan masyarakat
karena pembelandaan yang mendalam akan berdampak pada pengabaian bahasa
daerah. Sehingga bagi pihak ini, tidak mungkin memindahkan pengetahuan Barat
yang diperoleh ke masyarakat. Keberatan mengenai pengetahuan dan ilmu Barat
tidak dapat disampaikan dalam bahasa daerah, karena dianggap tidak tepat.
Perkembangan bahasa daerah terhambat karena tidak pernah digunakan. Karena hal
itu bahasa Belanda akan menghambat perkembangan menuju kemandirian
nasional. Kemampuan membaca buku dan majalah berbahasa Belanda memang
memberi keuntungan, sehingga bahasa Belanda dapat dijadikan mata pelajaran.

Pihak lain menganggap bahasa daerah masih belum cocok untuk


mengalihkan pengetahuan Barat. Bahasa pribumi hampir tidak ada buku ajar,

6
sedangkan pada pendidikan lanjutan hanya ditempatkan orang belanda karena
minimnya kader pribumi terdidik. Penerjemahan buku-buku Eropa tidak dapat
dilakukan karena biaya dan minimnya penerjemah. Sehingga bahasa Belanda
sementara menjadi kunci ilmu dan kebudayaan Barat. Untuk itu diperlukan
penguasaan bahasa Belanda aktif sehingga orang berpikir dengan bahasa itu dan hal
itu dapat tercapai jika bahasa tersebut sebagai bahasa pengantar pendidikan.
Pendidikan untuk elite secara perlahan dapat mengembangkan bahasa daerah dan
memindahkan pengetahuan kepada masyarakat luas. Untuk pribumi yang
memperoleh pendidikan dengan bahasa Belanda dapat dicegah agar tidak terjadi
denasionalisme kehilangan kontak dengan masyarakat dengan tidak mengabaikan
pendidikan dengan bahasa daerah. Paham ini juga merujuk pada kepentingan
politik, pembeladaan dapat memperkuat hubungan batin antara Hindia Belanda dan
negeri Belanda, dan meningkatkan kesadaran rasa setia kawan yang penting bagi
perkembangan Hindia Belanda.

Perdebatan antara D.J.A. Westerveld seorang tokoh dari sudut pandang


‘bahasa daerah sebagai pengantar’ dan Tjipto Mangoenkoesoemo wakil sudut
pandang ‘bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar’ di Semarang akhir 1915
menarik seorang sosialis Belanda membela bahasa Jawa dan nasionalis Jawa
membela bahasa Belanda.

Menurut Westerveld 1916: 270-271 dalam hanya untuk kepentingan


Belanda -penawaran pendidikan Barat hanya tergantung pada permintaan akan
tenaga berbahasa Belanda di pemerintahan dan perusahaan-dan tidak menyangkut
kepentingan Jawa; bahasa Belanda mempersempit jalan menuju pengetahuan dan
dengan demikian menuju kekuasaan. Perkembangan menuju kemandirian nasional
akan diperlambat karena Hindia Belanda menjadi semakin tergantung kepada kaum
intelektual Belanda, sedangkan kepercayaan akan kemampuan sendiri, juga
kepercayaan akan kualitas bahasa sendiri, dirusakkan.

7
Hanya sedikit orang pribumi mengikuti pendapat bahasa daerah sebagai bahasa
pengantar. Sudut pandang diutarakan oleh Tjipto Mangoenkoesoemo (De Banier 8-
9, 1916: 139-140) yang memvonis mati bahasa Jawa, karena tidak lagi memenuhi
tuntutan zaman dan tidak cocok untuk menuangkan ide-ide dan pemikiran modern,
atau untuk mengalihkan pengetahuan ilmiah dan teknis. Karena karakternya yang
tidak 'demokratis', bahasa Jawa juga tidak cocok untuk menjadi bahasa pergaulan
umum. Oleh karena itu sebaiknya bahasa Belanda dijadikan bahasa pemersatu di
Hindia Belanda. Adanya keberatan bahwa bahasa Belanda begitu sulit bagi orang
pribumi, menurut Tjipto Mangoenkoesoemo dapat dipecahkan dengan
menyesuaikan bahasa Belanda dengan situasi Hindia Belanda. Seperti di Afrika
Selatan, maka akan muncul varian spesial bahasa Belanda yang sesuai kebutuhan
Hindia Belanda (Mangoenkoesoemo 1918: 274) dalam Groeneboer.

Pembelandaan dikemukakan oleh Tjipto Mangoenkoesoemo hanya


didukung oleh beberapa orang Eropa. Sehingga pendapat yang menang yang tidak
begitu ekstrem yang mengatakan bahwa bahasa Belanda untuk sementara waktu
masih harus menjadi bahasa pengantar dalam pendidikan Barat, tetapi sekaligus
harus diperhatikan pendidikan dalam bahasa pribumi sehingga lambat laun bahasa-
bahasa daerah dapat menggantikan posisi bahasa Belanda sebagai bahasa
pengantar. Hal itu didukung hampir sepenuhnya oleh pihak Pribumi dan
kebanyakan orang Eropa.

Di pihak pribumi perluasan pendidikan berbahasa Belanda semakin


dituntut, dan pemerintah menggantungkan kapasitas HIS bagi tenaga kerja
berbahasa Belanda di pasar kerja. Kelebihan tenaga kerja dapat membahayakan
negara, karena akan menyebabkan kekecewaan, kehilangan muka dan
ketidakpuasan, dan Pendidikan Belanda-Pribumi (Hollands-Inlands Onderwijs-
Commissie; HIOC), dibentuk sehubungan permasalahan tersebut, pada 1931
menganjurkan agar pendidikan Barat untuk orang pribumi tidak lagi diperluas dan
membiarkan perkembangan pendidikan berbahasa Belanda tergantung pada
keuntungan ekonomi. Hal itu menimbulkan dua pemikiran, sebagian sepenuhnya
setuju dan sebagian tidak mendukung.

8
Pada awal 1930-an perluasan pendidikan berbahasa Belanda tidak
dipikirkan lagi karena krisis ekonomi yang mengakibatkan berkurangnya siswa HIS
yang kurang lebih 60.000 pada tahun ajaran 1930/31 dan hanya bertambah
menjelang akhir perang Dunia II menjadi sekitar 70.000 orang. Sehingga HIS
sebagai produsen tenaga berbahasa Belanda tersaingi ‘pendidikan liar’ pada akhir
1930-an jumlahnya dua kali lipat dibandingkan pendidikan regular. Pendidikan liar
sudah ada pada 1920-an, dengan tujuan pendidikan bermanfaat bagi paham
keagamaan atau politik tertentu, dan penawaran pendidikan dari pemerintah
tertinggal dalam peningkatan kebutuhan subjektif pendidikan bahasa Belanda.

2.3 Kebijakan Dwijalur: Bahasa Belanda dan Bahasa Melayu


Bahasa Melayu tidak pernah menjadi perbincangan mengenai bahasa
pengantar, hingga pada tahun 1916 seorang tokoh nasionalis Jawa, Ki Hadjar
Dewantara membela pendidikan bahasa Melayu sebagai bahasa asing dalam
seluruh pendidikan. Pernyataan tersebut didukung ELS bahwa bahasa Melayu dapat
dijadikan bahasa persatuan karena lebih sederhana dan lebih demokratis daripada
bahasa Jawa (Surya Ningrat 1916: 32-72). Kedua pendapat tersebut menimbulkan
ketidaksetujuan terlebih dari pihak nasionalis-budawan Jawa yang melihat adanya
intimidasi terhadap bahasa Jawa. Pada tahun 1928 yaitu pada kongres pemuda,
bahasa Melayu ditetapkan menjadi bahasa persatuan Republik Indonesia di
kemudian hari.

Bahasa Melayu yang menjadi pilihan bahasa pemersatu karena pada


dasarnya, Indonesia hanya memiliki satu bahasa pergaulan (Lingua Franca).
Pemilihan tersebut didasarkan karena politik bahasa yang tidak pernah mendukung
penyebaran bahasa Belanda. Bahasa Belanda hanya dibutuhkan pada kebutuhan
sosial ekonomi yang ditujukan bagi elite pribumi. Seperti yang dikemukan oleh
Takdir Alisjahbana pada 1933 “Bahasa Belanda akan dapat memenuhi fungsi
bahasa pergaulan umum Nusantara”. Bagi penduduk pribumi dan elite masyarakat
bahasa Belanda menjadi “bahasa ibu kedua”. Kecemasan pemerintah kepada
masyarakat prbumi yang mudah terpengaruh propaganda kaum nasionalis membuat
pemerintah membatasi pendidikan berbahasa Belanda. Karena hal tersebut tidak

9
ada pilihan lain untuk menjadikan bahasa Melayu sebagai bahasa pemersatu
sebagai bentuk reaksi atas politik bahasa yang membatasi pendidikan berbahasa
Belanda. Kaum nasionalis yang sebagain besar menggunakan bahasa Belanda
membuat keputusan untuk menjadikan bahasa Melayu sebagai bahasa pemersatu.
Bahasa Belanda memungkinkan mereka untuk menyusun rencana masa depan yang
dalam hal ini, bahasa Melayu belum dapat mengisi karena kurangnya kemungkinan
untuk menuangkan pengertian-pengertian Barat.

Kembali pada semula, saat pendapat mengenai ketidaksetujuan bahasa


Melayu yang menjadi bahasa pemersatu karena mengintimidasi bahasa Jawa. Justru
pemilihan bahasa Melayu memungkinkan untuk meneruskan pandangan yang
diperoleh melalui bahasa Belanda kepada rakyat yang dapat menyebar luas melalui
bahasa, tanpa mengenal bentuk-bentuk sopan santun dalam berbahasa seperti
bahasa Jawa. Adanya permasalahan pada tahun 1930-an yang mengatakan bahwa
di antara bahasa belanda dan bahasa melayu merupakan bahasa pesartuan. Sehingga
muncul masalah budaya dibandingkan dengan politis. Tetapi terdapat adanya
penyebaran baik dari bahasa belanda dan bahasa melayu yang lebih mengarah
politik bahasa secara pragmatis. Karena mempunyai sifat yang praktis dan
ekonomis.

Pada tahun 1940 Bousquet berpendapat bahwa, adanya politik bahasa dan
budaya belanda yang menjadi masalah disebabkan bahwa orang belanda sangat
tidak menghargai bahasa dan budayanya sendiri. Sehingga terjadinya, hubungan
antara negeri belanda dan orang hindia belanda terputus karena, kurangnya rasa
tanggung jawab atas pemeliharaan identitas belanda. Dan dalamn sejarah politik
bahwa pertama kalinya bahasa di hindia belanda diperintahkan untuk merumuskan
dwi jalur, karena pada dasarnya bahwa bahasa melayu dan bahasa belanda
menjadikan tempat untuk pelajaran kepada pendidikan pribumi. Sehingga adanya
prinsip bahwa bahasa belanda merupakan suatu jalan untuk menuju ke budaya barat
agar terjalinnya kontak dengan dunia luar.

10
BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
Bahasa politik adalah kebijakan yang berisi pengarahan, perencanaan, dan
ketentuan-ketentuan yang dapat dipakai sebagai dasar pengelolaan keseluruhan
masalah kebahasaan dan kesastraan. Masuknya bahasa Belanda ke Indonesia
sempat membuat pergolakan yang terjadi di masyarakat pribumi mengenai bahasa
Belanda dan bahasa Melayu. Bahasa Belanda yang digunakan di sekolah Pribumi
dianggap berkedok untuk menyebarkan agama kristen dan akan mencegah
penyebaran agama Islam melalui bahasa Melayu. Selain itu, Bahasa Belanda
dianggap sulit untuk dipelajari bagi masyarakat Pribumi dan argumen tersebut
mendukung bahasa Melayu sebagai bahasa umum dalam pergaulan masyarakat.
Berjalannya waktu semakin bertambah peluang pendidikan berbahasa Belanda
yang dipengaruhi ‘Politik Etis’ kolonial, dimana Bahasa Belanda menjadi bahasa
bantu pembuka jalan pengetahuan Barat dengan bantuan bahasa daerah, oleh karena
itu Belanda dianggap ‘utang budi’ di Hindia Belanda. Hingga akhirnya pada tahun
1982 yaitu Kongres Pemuda, menetapkan Bahasa Melayu sebagai bahasa
pemersatu Republik Indonesia, karena pada dasarnya Indonesia hanya memiliki
satu bahasa pergaulan (Lingua Franca).

3.2 Saran
Demikianlah pokok bahasan makalah ini yang dapat kami sampaikan. Besar
harapan kami agar makalah ini dapat bermanfaat untuk pembaca. Karena
keterbatasan pengetahuan dan referensi, Kami menyadari makalah ini masih jauh
dari sempurna. Oleh karena itu, saran dan kritik yang membangun sangat
diharapkan agar makalah ini dapat disusun menjadi lebih baik lagi di masa yang
akan datang.

11
DAFTAR PUSTAKA
Abdi, H. (2021). https://hot.liputan6.com/read/4682885/pengertian-politik-
menurut-para-ahli-konsep-dan-contoh-perilakunya. diakses pada 15
September 2022.
Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan. (2011). Politik Bahasa Rumusan Seminar Politik Bahasa.
Jakarta.
Groeneboer, K. (1999). Politik bahasa pada masa Hindia Belanda. Wacana, 1(1),
32-48.
Madehang, M. (2013). POLITIK BAHASA BAHASA POLITIK. IDEAS: Journal
on English Language Teaching and Learning, Linguistics and
Literature, 1(2).
Setiawati, E., & Arista, H. D. (2018). Piranti Pemahaman Komunikasi dalam
Wacana Interaksional: Kajian Pragmatik. Universitas Brawijaya Press.

12

Anda mungkin juga menyukai