Anda di halaman 1dari 3

Resume

Pak Watik, demikian sapaan akrabnya, dikenal sebagai aktivis yang komplit. Dia, yang lahir di
Banjarnegara pada 8 Februari 1948, adalah seorang konseptor, pekerja keras, dan penceramah andal.
Pendidikan formal Pak Watik dimulai di Sekolah Rakyat, lulus tahun 1960. Kemudian dia menamatkan
Sekolah Menengah Pertama pada 1963 dan Sekolah Menengah Atas pada 1966.

Aktivis sepanjang hidup barangkali kita lebih tepat menyebutnya sebagai seorang aktivis yang
berlatar belakang akademisi, profesional, dan atau teknokrat. Sebagai akademisi beliau adalah seorang
dosen ahli anatomi pada Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Sebagai profesional
beliau adalah seorang dokter bedah. Sebagai teknokrat beliau pernah menjadi Sekretaris Wakil Presiden
dan Presiden Republik Indonesia, Presiden B.J. Habibie, dan beberapa jabatan birokrasi lainnya. Dan
sebagai aktivis beliau aktif dalam organisasi Pelajar Islam Indonesia (PII), Muhammadiyah, dan Ikatan
Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI).

Sebagai seorang yang pernah bersama dalam jajaran Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah
(periode 2000-2005). Pak Watik adalah seorang organisator handal dan aktivis gerakan Islam par
excellence. Beliau seorang konseptor, organisator, dan administrator yang sangat piawai (canggih).
Sebagai orang gerakan, Pak Watik menghabiskan hampir seluruh hidupnya dalam gerakan Islam. Sejak
usia belia, beliau telah menjadi aktivis Pelajar Islam Indonesia (PII), sebuah organisasi pelajar Islam yang
dikenal sangat ideologis dan militan yang melahirkan banyak sekali kader-kader umat dan bangsa yang
malang melintang dalam blantika perpolitikan nasional.

Ketika menjadi seorang profesional dan dosen di Universitas Gadjah Mada, beliau bukan hanya
rajin memberikan khutbah dan ceramah pengajian, melainkan juga memelopori gerakan dakwah
kampus dengan merintis pendirian Yayasan Salahudin. Bersama-sama dengan Dr Amin Rais, Dr Zulkifli
Halim, dan almarhum Dr Said Tuhuleley, melalui Yayasan Salahudin itu Pak Watik memperkenalkan apa
yang dikenal dengan Bengkel Dakwah dan Peta Dakwah secara sangat saintifik. Sebuah gerakan dakwah,
baginya, haruslah dilakukan dengan berdasarkan peta yang akurat dan data yang valid sehingga pesan-
pesan dakwah dapat benar-benar mencapai sasaran sesuai dengan visi dan misi dakwah.

Setelah beliau masuk menjadi anggota Majelis Tabligh PP Muhammadiyah (1985-1990) proyek
Peta Dakwah dan Bengkel Dakwah yang semula hanya berjalan dalam lingkup Yayasan Salahuddin itu
masuk menjadi program utama Muhammadiyah sehingga menjadi semakin berdimensi nasional.
Sebagai organisator yang ulung yang sangat cerdas pikiran-pikiran beliau sangat mewarnai gerakan
Muhammadiyah sehingga benar-benar menjadi gerakan dakwah Islam yang secara organisasional
moderen dan tidak miopik, sebuah kata yang sangat sering diucapkannya. Keterlibatannya dalam
Muhammadiyah semakin intensif dan ekstensif ketika beliau terpilih dalam jajaran elite 13 PP
Muhammadiyah (periode 1990-1995, 1995-2000, dan 2000-2005).

Tidak cukup dengan itu, sebagai kader umat dan kader bangsa, Pak Watik juga menjadi salah
seorang tokoh Islam yang ikut membidani kelahiran ICMI pada tahun 1990. Sejak saat itu, beliau dikenal
sangat dekat dengan Prof Dr BJ Habibie dan tetap setia menemaninya baik selama yang terakhir ini
menjabat Menteri Riset dan Teknologi, Ketua Umum ICMI, Wakil Presiden Republik Indonesia (1998)
dan Presiden Republik Indonesia (1998-1999), maupun ketika beliau tidak lagi memegang kekuasaan
apapun. Sampai akhir hayatnya, Pak Watik menjadi Direktur The Habibie Center (THC), sebagai
manifestasi kesetiaan beliau menemani Prof BJ Habibie membangun bangsa.

Tokoh yang setia

Kesetiaan Pak Watik terhadap Bapak Prof Dr BJ Habibie bukanlah kesetiaan seorang politikus,
melainkan kesetiaan seorang teman dan sahabat. Kesetiaan tanpa pamrih. Bayangkan, bahkan ketika
Prof BJ Habibie menjadi Presiden RI sekalipun, Pak Watik tidak berharap menjadi menteri. Dan memang
nyatanya beliau tidak masuk ke dalam kabinet. Tetapi Pak Watik tetap dengan setia membantu dan
menemani Prof Dr BJ Habibie. Bahkan hal itu tetap dilakukannya ketika beliau lengser keprabon dengan
penuh kenegarawanan. A friend in need is a friend in deed, teman di waktu susah itulah teman yang
sebenarnya.

Sikap kesetiaan terhadap teman juga tampak dalam persahabatannya dengan Prof Amien Rais
dan Prof Syafii Maarif. Seperti telah diketahui Pak Watik masuk gerbong Majelis Tabligh PP
Muhammadiyah (1985-1990) diajak oleh Prof Amien Rais yang terpilih dalam Muktamar ke-42 sebagai
anggota Pleno 13 PP sekaligus merangkap Ketua Majelis Tabligh. Bersama-sama dengan Pak Watik
masuklah ke dalam gerbong itu Prof Syafii Maarif, Dr Kuntowijoyo, Dr Simuh, dan lain-lainnya. Dan
ternyata lima tahun kemudian (dalam Muktamar ke-43 tahun 1995), Pak Watik dan Buya Syafii Maarif
terpilih juga menjadi 13 anggota PP Muhammadiyah bersama-sama Dr Amien Rais yang terpilih kembali
sebagai Ketua.

Semua orang tahu betapa rukun dan kompaknya trio Muhammad Amien Rais-Ahmad Syafii
Maarif-Ahmad Watik Praktiknya dalam Majelis Tabligh dan PP Muhammadiyah ketika itu. Maka betapa
terkejutnya kami anak-anak muda Muhammadiyah ketika dalam suasana dinamika politik 1999-2004,
apalagi menjelang Pemilu Presiden Tahun 2004, sempat mendengar sinyalemen bahwa hubungan
antara tiga pendekar Muhammadiyah itu sempat renggang, atau bahkan retak. Tentu kabar tersebut
terbukti hanyalah sinyalemen belaka yang tidak mengandung kebenaran. Pasalnya, Pak Watik Pratiknya
dan Buya Syafii Maarif terlibat aktif dalam Tim Menara, sebuah Tim Sukses untuk Calon Presiden Amien
Rais (2004) yang dipimpin oleh Dr Din Syamsuddin, yang berpusat di Jl Menteng Raya 62, Jakarta Pusat.
Mereka bertiga kompak dan setia sepanjang masa.

Pak Watik menjadi contoh yang sangat bagus akan pentingnya menjaga sebuah persahabatan
dan persaudaraan. Pak Watik menjadi inspirasi bagi generasi muda. Sabtu, 20 Februari 2016, malam
ba’dha Isya’, bersama Ibu Watik Pratiknya dan semua putra-putrinya, kami berdoa dipimpin oleh Prof
Din Syamsuddin dan bercengkerama selama hampir dua jam mengenang aktivisme almarhum selama
ini. Terkenang lah kami pada sabda Nabi Muhammad saw bahwa “Jika mati anak Adam maka putuslah
amalnya, kecuali mereka yang memiliki tiga hal: amal atau shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan
anak-anak yang salih yang senantiasa mendoakannya” (al-Hadits). Kami yakin, Pak Watik Pratiknya wafat
dengan meninggalkan ketiganya sekaligus! Insya Allah.•

Dr dr Ahmad Watik Pratiknya wafat hari Jum’at, tanggal 19 Februari 2016, dalam usia 68 tahun
di Rumah Sakit Islam Jakarta (RSIJ), salah satu rumah sakit yang didedikasikan oleh Muhammadiyah
untuk bangsa dan kemanusiaan di mana beliau sendiri menjadi ketua Badan Pembina Harian (BPH)-nya
selama lebih dari sepuluh tahun. Bangsa Indonesia, khususnya umat Islam dan warga Muhammadiyah,
kehilangan lagi salah seorang putra dan pemimpin terbaiknya yang sangat setia menghela berbagai
gerakan Islam sepanjang hidupnya.

Meski pernah terdaftar sebagai calon pengumpul suara (vote gatter) anggota legislatif (DPR RI)
dari Golkar daerah pemilihan Jawa Tengah dalam Pemilu 1997, Dr. Watik bukanlah seorang politikus.
Dan meski Dr. Nurcholish Madjid dalam suatu wawancara dengan Tempo pernah menyebutnya oposan
“orang seperti Watik Pratiknya yang selama ini dikenal oposan dan sekarang ikut ICMI, saya tak
mengenal itu kompromi. Itu adalah kedewasaan” (baca Tempo edisi 29 Desember 1990; lihat juga
Nurcholish Madjid, Dialog Keterbukaan: Artikulasi Nilai-Nilai Islam dalam Wacana Sosial Politik
Kontemporer, Penerbit Paramadina, Jakarta, 1998, hal 46), rasanya Pak Watik bukanlah oposan dalam
pengertian politik, melainkan lebih sebagai amar ma’ruf nahi munkar.

Anda mungkin juga menyukai