Anda di halaman 1dari 27

BAB I

PENDAHULUAN

Nutrisi memiliki dampak besar pada perkembangan fisik dan psikologis,


fungsi fisik, serta kualitas hidup yang berhubungan dengan kesehatan,
sementara malnutrisi sangat terkait dengan berbagai penyakit dan outcome yang
buruk. Ginjal memainkan peran penting dalam homeostasis tubuh melalui
ekskresi, metabolisme, dan fungsi endokrin. Volume urin dan ekskresi zat terlarut
disesuaikan untuk mempertahankan komposisi ruang ekstraseluler, osmolaritas
serum, dan volume intravaskular. Selanjutnya, ginjal mengatur keseimbangan
asam-basa, ekskresi asam amino, dan metabolisme hormon, seperti hidroksilasi
vitamin D menjadi bentuk aktif, dan produksi eritropoietin. Ketika insufisiensi
ginjal berkembang, fungsi-fungsi ini terganggu, menyebabkan gangguan
pertumbuhan dan perkembangan normal. Asupan nutrisi yang tidak memadai
dapat menjadi faktor penentu untuk pertumbuhan yang buruk dan gagal tumbuh
pada pasien anak dengan penyakit ginjal.1
Pengkajian nutrisi mencakup status nutrisi yang disajikan dan
rekomendasi intervensi diet yang mengikutinya. Pada anak-anak dengan
penyakit ginjal, penilaian yang komprehensif memerlukan beberapa evaluasi
termasuk evaluasi diet serta pengukuran antropometrik dan biokimia. 2 Diet yang
optimal tergantung pada laju filtrasi glomerulus (glomerular filtration rate/GFR),
usia, dan jenis penyakit ginjal. Evaluasi pertumbuhan dan nutrisi harus dilakukan
secara individual pada anak dengan nefropati karena karakteristik khusus dari
masing-masing anak. Penafsiran umum pengukuran antropometrik, indeks
massa tubuh (body mass index/BMI), dan perkiraan komposisi tubuh mungkin
terbatas pada pasien ginjal anak karena kelebihan cairan, yang terutama lazim
pada penyakit ginjal kronis (chronic kidney disease/CKD) stadium 5 dan sindrom
nefrotik/nefritik. Sebaliknya, deplesi cairan kronis pada nefropati poliurik juga
mengganggu keseimbangan cairan normal dan mengubah berat badan.1
CKD biasanya mengacu pada fungsi ginjal abnormal yang bertahan
selama lebih dari 3 bulan. Apa pun penyebabnya, fungsi ginjal dapat memburuk
seiring waktu yang dapat menyebabkan berbagai komplikasi. Anak-anak dengan
CKD progresif memerlukan manajemen diet yang kompleks untuk memastikan
asupan nutrisi yang tepat serta mengontrol gangguan elektrolit. Modifikasi diet

1
diperlukan untuk mengurangi tidak hanya efek langsung dari gangguan fungsi
ginjal dan kelainan elektrolit, tetapi juga konsekuensi jangka panjang dari
malnutrisi dan obesitas.3
Anak-anak dengan CKD memerlukan pertimbangan khusus untuk hasil
jangka panjang yang lebih baik, termasuk status gizi, tinggi badan yang optimal,
dan fungsi kognitif. Meskipun demikian, banyak kendala yang harus diatasi untuk
mencapai pertumbuhan linier dan status gizi yang optimal pada anak CKD. 4
Dampak CKD pada gizi anak telah diketahui dengan baik dan telah tersedia
pedoman khusus untuk tatalaksananya, namun, manajemen gizi anak sakit kritis
dengan cedera ginjal akut (acute kidney injury/AKI) didasarkan pada
pengetahuan yang diperoleh dari literatur orang dewasa karena adanya
keterbatasan data pediatrik, meskipun AKI umum ditemukan di unit perawatan
intensif anak.1 Ulasan ini menyoroti kebutuhan untuk menilai parameter
pertumbuhan pada anak-anak dengan gangguan ginjal, khususnya CKD.

2
BAB II
ISI

1. NUTRISI PADA ANAK DENGAN CKD


2.1. Penyakit Ginjal Kronis pada Anak
Pedoman Praktik Klinis untuk Evaluasi dan Penatalaksanaan Penyakit
Ginjal Kronis dari Kidney Disease Meningkatkan Global Outcomes foundation
(KDIGO 2012) mendefinisikan CKD sebagai adanya kelainan pada struktur atau
fungsi ginjal yang berlangsung lebih dari 3 bulan dengan implikasi yang
merugikan bagi kesehatan. Kriteria CKD meliputi penanda kerusakan ginjal
(albuminuria >30 mg/24 jam atau >30 mg/g), perubahan sedimen urin, kelainan
elektrolit dan kelainan lain akibat kelainan tubulus, patologi yang terdeteksi oleh
histologi atau pencitraan, dan penurunan GFR. Kategori CKD berikut
didefinisikan menurut GFR (dalam mL/min/1,73 m2): G1 jika > 90, G2 antara 60
dan 89, G3 antara 59 dan 30, G4 antara 15 dan 29, dan G5 jika < 15 (gagal
ginjal).1

2.2. Pentingnya Nutrisi pada CKD dan Gangguan Ginjal Lainnya pada
Anak
Gizi yang cukup menjadi perhatian pada semua anak dengan CKD
karena dampak asupan gizi pada pertumbuhan dan perkembangan saraf, serta
hubungan antara status gizi dan kematian. Anak-anak yang berusia di atas 5
tahun dengan CKD seringkali mengalami peningkatan massa lemak yang relatif
terhadap tinggi serta defisiensi massa otot yang sebanding dengan tingkat
keparahan penyakit. Sebagai alternatif, pada bayi di bawah 3 tahun, manifestasi
paling menonjol dari status gizi yang tidak adekuat adalah pembatasan
pertumbuhan linier, yang mungkin berdampak besar pada tinggi badan akhir.
Oleh karena itu, perhatian terhadap asupan dan status gizi sangat penting pada
bayi dan anak sangat muda dengan CKD. Perawatan nutrisi dari populasi yang
rentan ini membutuhkan tim multidisiplin termasuk ahli nefrologi, perawat ginjal,
dan ahli gizi anak yang terlatih.1
Evaluasi status gizi secara teratur dan pemberian gizi yang cukup
merupakan komponen kunci dalam penatalaksanaan keseluruhan anak dengan
CKD. Penilaian pertumbuhan dan status gizi harus dilakukan setidaknya dua kali

3
lebih sering dari anak sehat pada usia yang sama. Bayi dan anak-anak dengan
poliuria, bukti keterlambatan pertumbuhan, penurunan BMI atau BMI rendah,
komorbiditas yang mempengaruhi pertumbuhan atau asupan nutrisi, atau
perubahan akut pada status medis atau asupan makanan yang belum lama
terjadi, mungkin memerlukan evaluasi yang lebih sering.1

2.3. Penyebab Gangguan Pertumbuhan pada CKD


Penyebab gagal tumbuh antara lain gangguan CKD pada metabolisme
hormon pertumbuhan (growth hormone/GH) dan insulin-like growth factor-1 (IGF-
1), kelainan elektrolit, defisiensi nutrisi, asidosis metabolik, uremia, anemia, dan
inflamasi. Perubahan hormonal lain pada CKD yang mempengaruhi
pertumbuhan termasuk defisiensi vitamin D, hiperparatiroidisme, dan
hipogonadisme. Faktor-faktor ini dibahas secara rinci di bawah ini.5

2.3.1 Defisiensi nutrisi


Meski kondisinya membaik setelah bertahun-tahun, anak-anak dengan
CKD dan end-stage renal disease (ESRD) mengalami penurunan protein, energi
(disebut juga dengan protein-energy wasting) dan asupan nutrisi di semua
stadium CKD. Pada anak yang menerima terapi pengganti ginjal (renal
replacement therapy/RRT), terdapat hubungan yang kuat antara asupan energi
dan pertumbuhan. Penyebab penurunan asupan termasuk muntah berulang,
anoreksia, dan masalah makan. Anak-anak dengan CKD seringkali mengalami
refluks gastroesofageal, yang berkontribusi terhadap penurunan asupan nutrisi.
Motilitas lambung dan esofagus menurun, dan pengosongan lambung yang
tertunda. CKD juga dapat ditunjukkan dengan adanya sekresi abnormal serta
penghancuran peptida usus yang menyebabkan disregulasi motilitas, rasa lapar,
dan rasa kenyang.5
International Society of Renal Nutrition and Metabolism (ISRNM) pada
tahun 2008 mendefinisikan istilah protein-energy wasting (PEW) pada orang
dewasa sebagai kondisi penurunan protein tubuh atau massa tubuh tanpa lemak
(lean body mass) dan massa lemak, dan mengusulkan kriteria objektif untuk
mendefinisikan entitas tersebut. Kriteria diagnosis PEW pada dewasa termasuk
pemeriksaan biokimia (albumin serum, kolesterol, dan pre-albumin), parameter
antropometri (BMI, penurunan berat badan, lingkar lengan atas), dan asupan

4
makanan. Pada tahun 2014, kriteria revisi yang diadaptasi dari kriteria dewasa
diusulkan untuk anak-anak, yang mencakup 5 kriteria parameter berikut:
penurunan BMI, penurunan massa otot (menggunakan lingkar lengan atas),
pemeriksaan biokimia (albumin serum, kolesterol, transferin, C-reactive protein),
penurunan nafsu makan, dan perawakan pendek. Kriteria pediatrik ini termasuk
parameter yang tidak dipertimbangkan dalam kriteria PEW dewasa.6

2.3.2 Asidosis metabolik


Begitu pasien mengalami CKD stadium 3, asidosis metabolik dapat terjadi
karena berbagai mekanisme ginjal. Asidosis metabolik menginduksi degradasi
protein, produksi endogen kortikosteroid, dan resistensi organ akhir terhadap GH.
Selain itu, penelitian terbaru menunjukkan bahwa asidosis metabolik (dinilai
dengan kadar bikarbonat serum) dikaitkan dengan kematian yang lebih tinggi
pada orang dewasa dengan CKD.5 Harambat et al.7 mempelajari hubungan
antara bikarbonat serum dan outcome CKD pada 704 anak-anak dengan CKD
stadium 3-5 dan penyakit kardiovaskular. Mereka menemukan bahwa prevalensi
asidosis metabolik berkorelasi positif dengan stadium CKD yang lebih tinggi.
Seperti yang terlihat pada orang dewasa, anak-anak dengan kuartil terendah
kadar bikarbonat serum (<18 mmol/L) menunjukkan risiko terbesar dari
perburukan CKD dan perburukan hiperparatiroidisme sekunder.5

2.3.3 Hiperparatidoidisme sekunder dan osteodistrofi renal/metabolisme mineral


Efek buruk dari penurunan fungsi ginjal pada metabolisme tulang dan
mineral (kalsium dan fosfat) pada anak-anak mengakibatkan osteodistrofi ginjal
(renal osteodystrophy/ROD). Mekanisme yang mendasari ROD termasuk
penurunan ekskresi fosfat ginjal serta gangguan reabsorpsi kalsium
gastrointestinal dan ginjal, mengakibatkan hiperfosfatemia dan hipokalsemia,
kemudian merangsang produksi dan pelepasan hormon paratiroid (PTH).
Bersama-sama, kondisis ini disebut hiperparatiroidisme sekunder (secondary
hyperparathyroidism/SHPT). Terdapat efek berbahaya yang berat dari ROD dan
SHPT pada integritas dan pertumbuhan tulang, yang paling sering ditunjukkan
oleh fibrosis. Saat proses ini berlangsung, pertumbuhan tulang menjadi
terganggu.5
Selain kelainan pada metabolisme kalsium dan fosfor, terdapat gangguan
biomolekuler yang lebih rumit dan ekstensif yang menyebabkan ROD. Pada awal

5
CKD terjadi peningkatan kadar fibroblast growth factor 23 (FGF23) yang
bersirkulasi. FGF23 dan ko-reseptornya, Klotho, mengaktifkan reseptor FGF
ginjal untuk meningkatkan ekskresi fosfat. Secara bersamaan, FGF23
menurunkan produksi kelenjar paratiroid dan dengan demikian sekresi PTH
menurun. Karena FGF23 mengatur ekskresi fosfat, kadar FGF23 meningkat
seiring penurunan fungsi ginjal, menghasilkan peningkatan kadar FGF23 dalam
sirkulasi pada CKD, meskipun disertai dengan hiperfosfatemia akibat penurunan
GFR.5,8
Abnormalitas lain pada metabolisme mineral pada CKD termasuk
penurunan kadar 1,25(OH)2 vitamin D (kalsitriol). Karena 1,25 vitamin D
menekan sekresi PTH, penurunan kadarnya menghasilkan sekresi PTH. Seiring
dengan kelainan pada fungsi gastrointestinal, penurunan kalsitriol menyebabkan
gangguan penyerapan kalsium di saluran gastrointestinal. Sayangnya, seperti
pada populasi umum, pasien dengan CKD juga menderita defisiensi vitamin D
25(OH), yang selanjutnya memperburuk hipokalsemia.5,8

2.3.4 Aksis GK/IGF-1


Aksis GH/IGF-1 lebih kompleks pada anak-anak dengan CKD. Meskipun
GH memiliki efek langsung pada pertumbuhan tulang, GH terutama merangsang
pertumbuhan tulang melalui IGF-1. IGF-1 secara langsung mensimulasikan
proliferasi pre-kondrosit, hipertrofi osteoblast, remodeling tulang, dan
mineralisasi. Meskipun kadar GH serum normal atau meningkat pada CKD
pediatrik, fenomena ini juga dapat terjadi dengan berkurangnya sensitivitas
tulang terhadap GH. Kadar IGF-1 di sirkulasi rendah, terutama karena adanya
peningkatan kadar protein pengikat IGF di sirkulasi.5

2.3.5 Inflamasi
Kondisi pro-inflamasi terjadi di awal CKD dan berlanjut sepanjang
perburukan menjadi ESRD. Selain itu, terdapat kondisi yang lebih kompleks pada
CKD yang disebut kompleks malnutrisi-inflamasi. Meskipun dua fenomena ini
saling mempengaruhi, inflamasi kronis berpotensi besar menyebabkan gangguan
nutrisi. Sitokin pro-inflamasi seperti interleukin (IL)-6 memainkan peran utama
dalam proses inflamasi. Mekanisme yang mendasari kompleks malnutrisi-
inflamasi termasuk jalur pensinyalan leptin/melanocortin serta efek langsung

6
sitokin pro-inflamasi pada katabolisme otot, seperti yang ditunjukkan dalam
penelitian pada hewan.5

2.3.6 Disfungsi pubertal


Anak-anak dengan CKD juga menunjukkan pubertas yang tertunda,
ditandai dengan hipogonadisme hipergonadotrofik dengan peningkatan
gonadotropin dan kadar hormon gonad yang berada pada batas bawah normal
atau rendah secara bersamaan. Meskipun pengetahuan mengenai faktor-faktor
yang menyebabkan maturasi tertunda pada anak-anak dengan CKD telah
meningkat, sekitar 50% anak masih menunjukkan onset pubertas tertunda,
dengan peningakatan kerentanan pada mereka yang membutuhkan RRT.
Penyebab yang mendasari termasuk disregulasi aksis hipotalamus-hipofisis-
gonad, yang ditunjukkan oleh gangguan sensitivitas terhadap gonadotropin dan
pulsatilitas serta bioaktivitas luteinizing hormone.5

2.3.7 Penurunan nafsu makan


Seperti disebutkan di atas, anak-anak dengan CKD menunjukkan
peningkatan gangguan gastrointestinal, tetapi tingkat nafsu makan ini sulit untuk
dilihat karena adanya variasi yang besar pada populasi. Penyebab potensial dari
berkurangnya nafsu makan seperti ketosis, keseimbangan asam-basa yang
abnormal dan anemia, dapat dikoreksi sampai batas tertentu. Jika koreksi
berhasil, maka penekanan nafsu makan dapat diobati. Terdapat penurunan
sensasi rasa pada CKD. Terdapat pula faktor-faktor lain yang mempengaruhi
nafsu makan, termasuk penggunaan obat-obatan dan asupan cairan yang
berlebihan pada anak-anak dengan gangguan konsentrasi ginjal, dan inflamasi.5

2.3.8 Adiponektin, resistin, dan leptin


Ada banyak literatur yang menjelaskan peran penting adipokin (sitokin
yang diproduksi dan disekresikan oleh jaringan adiposa) seperti adiponektin,
resistin, dan leptin pada status gizi pada CKD. Anak-anak dengan CKD
menunjukkan kadar insulin serum yang lebih tinggi, mengindikasikan adanya
resistensi insulin perifer. Anak-anak dengan CKD memiliki kadar serum leptin
yang lebih tinggi, yang berkorelasi positif dengan kreatinin serum. Demikian pula,
kadar adiponektin serum secara signifikan lebih tinggi pada pasien dengan CKD
dibandingkan kontrol. Kadar resistin serum normal pada semua pasien CKD,
tetapi berkorelasi langsung dengan C-reactive protein (CRP, penanda inflamasi).

7
Tidak jelas mengapa kadar leptin dan adiponektin serum meningkat, dan apa
dampak kadar tersebut terhadap nafsu makan. Namun, ada kemungkinan bahwa
peningkatan leptin berkontribusi pada penurunan nafsu makan, sedangkan
adiponektin yang lebih tinggi mensimulasikan inflamasi, yang selanjutnya
berkontribusi pada kompleks inflamasi-malnutrisi.5

2.3.9 Toksisitas obat


Obat-obatan dapat memiliki efek buruk pada pertumbuhan linier pasien
dengan CKD. Obat yang paling umum termasuk kortikosteroid dan inhibitor
kalsineurin. Kortikosteroid adalah obat yang efektif untuk beberapa penyakit
glomerulus, tetapi dapat mempengaruhi pertumbuhan linier dengan berbagai
mekanisme, termasuk penurunan sekresi pulsatil GH, gangguan sensitivitas
reseptor GH terhadap IGF-1, dan penurunan produksi IGF-1. Selain itu, terapi
steroid dapat mengakibatkan penurunan kepadatan tulang dan gangguan
metabolisme kalsium-fosfor.5

2.4. Parameter Pertumbuhan


Parameter pertumbuhan pada anak dengan CKD memerlukan
pemantauan setidaknya dua kali lebih sering dari anak sehat pada usia yang
sama. Pemantauan antropometrik bayi dengan CKD stadium 2-4
direkomendasikan setiap 2-6 minggu. Untuk anak usia 1-3 tahun, pemantauan
dianjurkan setiap 1-3 bulan. Anak-anak dengan usia di atas 3 tahun harus
dipantau setiap 1-6 bulan, tergantung pada stadium CKD. Pasien yang menjalani
dialisis kronis memerlukan evaluasi nutrisi bulanan. 5,9 Untuk bayi dan anak-anak
hingga usia 2 tahun, dianjurkan untuk melakukan pemantauan z-score berat
badan, panjang badan, berat badan untuk panjang badan, dan lingkar kepala
menggunakan grafik pertumbuhan WHO. Pasien di atas usia 2 tahun dapat
dievaluasi dengan memantau berat badan, tinggi badan, BMI, dan kecepatan
pertumbuhan mereka menggunakan grafik pertumbuhan CDC untuk 2-20 tahun.
Untuk setiap penurunan tinggi badan sebesar satu SD, angka kematian
meningkat sebesar 14%.4
Anak-anak dengan CKD yang bertambah tinggi memiliki kesehatan dan
kualitas hidup yang lebih baik. Studi menunjukkan bahwa pasien anak CKD
dengan penyebab glomerulus memerlukan pemantauan berulang untuk

8
kemungkinan PEW karena mereka cenderung mengalami penurunan berat
badan yang mencolok dibandingkan dengan CKD non-glomerular. Pemantauan
status gizi dapat dilakukan dengan menggunakan parameter biokimia, termasuk
serum albumin, pre-albumin, protein total, transferin, kadar kreatinin, hemoglobin,
jumlah limfosit total, kolesterol, trigliserida, dan protein pengikat retinol. Meskipun
semua ini dapat berkontribusi pada penilaian gizi yang komprehensif, tidak
satupun dari mereka dapat dianggap sensitif atau cukup spesifik untuk
digunakan sebagai penanda diagnostik untuk PEW.4 Albumin serum telah
dipelajari secara ekstensif, terutama pada pasien dewasa dengan CKD, tetapi
ada bukti yang tak terbantahkan yang menentang penggunaannya sebagai
penanda eksklusif status gizi.2,10 GH memiliki manfaat yang signifikan dalam
meningkatkan tinggi badan dan mengejar pertumbuhan pada anak dengan CKD
karena perannya yang penting dalam merangsang pertumbuhan linier,
meningkatkan massa otot, dan meningkatkan kepadatan tulang. Selain itu,
optimalisasi tinggi badan dengan menggunakan GH ditemukan terkait dengan
peningkatan fungsi fisik dan sosial pada anak-anak dengan CKD.4

2.4.1 Indeks Massa Tubuh


BMI adalah alat klasik untuk menilai lemak tubuh dan status gizi pada
populasi pediatrik umum. Namun, beberapa sumber menyatakan bahwa berat
absolut atau data BMI mentah tidak boleh digunakan karena seringkali terjadi
perubahan yang signifikan seperti aktivitas fisik, terapi dialitik, dan obat-obatan
yang memiliki efek mendalam pada pengukuran BMI pada anak-anak dengan
CKD. Penggunaan BMI relatif terhadap tinggi-usia memberikan akurasi yang
lebih besar daripada relatif terhadap berat-usia. Dibandingkan dengan kontrol
yang sehat, anak-anak dengan CKD menunjukkan BMI-age-z-score dan LM-
height-z-score yang lebih tinggi.5
Anak-anak dengan CKD mengalami peningkatan rasio lemak terhadap
otot dan penurunan massa tanpa lemak (lean mass/LM). BMI tidak
memungkinkan untuk membedakan antara massa otot dan massa lemak. Defisit
otot sering terjadi karena lean mass wasting. Fenotipe ini biasanya menetap
pasca transplantasi ginjal.2,11 Ini menunjukkan bahwa bahkan anak-anak dengan
CKD yang memiliki BMI normal mungkin memiliki kelebihan adipositas.
Ketidakseimbangan ini mungkin terjadi bahkan dengan aktivitas fisik yang

9
memadai. BMI juga dapat menyesatkan karena banyak anak dengan CKD
mengalami retardasi pertumbuhan. Akibatnya, anak-anak berperawakan pendek
dengan CKD mungkin memiliki berat badan normal dibandingkan dengan standar
pediatrik, tetapi perawakan pendek mereka menyebabkan peningkatan BMI.
Meskipun untuk setiap persentil di bawah SDS 0 telah diusulkan bahwa koreksi
harus dipertimbangkan, persentil ke-3 (−1,88 SDS) dianggap sebagai batas yang
wajar. Faktanya, penyesuaian BMI untuk usia tinggi (usia di mana tinggi individu
akan berada pada persentil ke-50) telah divalidasi dalam literatur sebagai
pengukuran yang lebih akurat daripada BMI yang tidak disesuaikan untuk anak-
anak dengan tinggi < 3 persentil. Penggunaan BMI untuk usia sebenarnya (BMI-
for-actual age) pada anak-anak berperawakan pendek menyebabkan over-
estimasi dari insiden kekurangan berat badan (underweight), sedangkan
penggunaan BMI untuk usia-tinggi (BMI-for-height-age) mungkin lebih akurat
mencerminkan LM atau adipositas yang sebenarnya. Pada periode peripubertal
atau pubertas, height-for-age badan juga dianggap sebagai pengganti yang baik
untuk perkembangan fisik. Namun, penyesuaian ini tidak tepat setelah seorang
anak mencapai tinggi dewasa akhir.2
Terlepas dari faktor-faktor yang mempengaruhinya, BMI, atau berat
badan untuk panjang badan (weight-for-length) untuk anak-anak di bawah 2
tahun, tetap menjadi ukuran utama malnutrisi atau adipositas terbaik untuk anak-
anak dengan penyakit ginjal. Pengukuran ini mudah dihitung dan indikatif untuk
kelebihan berat badan (overweight) atau obesitas underweight pada ekstrim
atas, dan lean muscle wasting atau underweight pada ekstrim bawah.
Perencanaan BMI pada grafik pertumbuhan dan melacak persentil memberikan
informasi berharga yang dapat dievaluasi bersama dengan penilaian klinis untuk
menilai kecukupan atau kelebihan berat badan serta proporsionalitas. Anak-anak
yang menjalani dialisis dengan nilai BMI yang sangat tinggi atau rendah memiliki
risiko kematian yang lebih besar, meskipun mekanisme peningkatan risiko ini
belum diketahui.2
BMI biasanya meningkat pesat pada anak-anak yang telah menjalani
transplantasi ginjal. Dalam 18 bulan pertama pasca transplantasi, tingkat
obesitas berlipat ganda, dan perubahan berat badan paling signifikan terjadi
dalam 6 bulan pertama.2 Namun, malnutrisi tetap lazim pada subset penerima
transplantasi, terutama mereka yang memiliki efek samping gastrointestinal

10
terkait pengobatan atau BMI rendah sebelum transplantasi. 12 Anak-anak yang
menerima terapi steroid jangka panjang, seperti mereka dengan sindrom nefrotik,
mungkin mengalami penambahan berat badan dan kelebihan adipositas.
Sebaliknya, gagal tumbuh terjadi pada anak-anak dengan GFR normal yang
menderita kehilangan garam dan air melalui tubulus yang berlebihan, serta pada
mereka dengan asidosis tubulus renalis yang tidak terkoreksi. Oleh karena itu,
BMI dan berat badan untuk panjang adalah alat evaluasi penting untuk
mengidentifikasi anak-anak dengan asupan energi yang tidak memadai atau
berlebihan.2 Frekuensi penentuan BMI yang direkomendasikan diuraikan dalam
Tabel 1.

Tabel 1. Estimasi kebutuhan energi menurut jenis kelamin dan usia. 3

2.4.2 Ketebalan lipatan kulit


Menggunakan ketebalan lipatan kulit sebagai penanda massa lemak
dapat dipengaruhi oleh keahlian pemeriksa. Variabel seperti status cairan dapat
menyebabkan kesalahan interpretasi massa lemak. Reproduktivitas pengukuran
ketebalan lipatan kulit mungkin berguna jika hasilnya mendukung hasil
perhitungan persentase massa lemak seluruh tubuh.5

2.4.3 Dilusi isotop


Meskipun dilusi isotop telah diidentifikasi sebagai "standar emas" untuk
menilai komposisi tubuh, penggunaannya mungkin terbatas pada CKD karena
dampak cairan pada pengukuran. Teknik ini mungkin menyebabkan estimasi
lemak dan LM yang kurang. Selain itu, meskipun total kalium tubuh telah
digunakan untuk mengestimasi massa sel, kadar kalium yang meningkat secara
tidak normal di otot dapat menyebabkan estimasi massa sel tubuh yang
berlebihan.5

11
2.4.4 Dual energy X-ray absorptiometry
Prosedur dual energy X-ray absorptiometry (DEXA) melibatkan jalur dua
berkas foton melalui tubuh subjek untuk membuat proyeksi struktur tiga dimensi.
DEXA dapat memberikan penilaian lemak dan LM pada anak dengan CKD,
dengan menggunakan data referensi. Dibandingkan dengan kontrol, z-score LM
tungkai serupa pada anak dengan CKD stadium 2-3 tetapi lebih rendah pada
anak dengan CKD stadium 4-5 dan dialisis, menyimpulkan bahwa pada stadium
lanjut, defisit CKD pada LM tungkai umum terjadi.5

2.4.5 Bioelectrical impedance analysis


Bioelectric impedance analysis (BIA) digunakan oleh beberapa pusat
kesehatan dan dokter terlatih untuk penilaian serial keseimbangan cairan, namun
biasanya tidak berguna dalam menilai status antropometri.2

2.5. Tatalaksana Defisiensi Nutrisi pada CKD


Istilah "diet ginjal" sebenarnya kurang tepat karena diet harus
dioptimalkan dan disesuaikan untuk setiap pasien. Faktor-faktor yang perlu
dipertimbangkan adalah usia dan jenis kelamin pasien, parameter nutrisi dan
pertumbuhan saat ini, stadium CKD, dan laju progresivitas CKD. Komponen
utama dari diet termasuk kalori, protein, natrium, kalium, kalsium, fosfor, dan zat
besi. Penting untuk memulai evaluasi dengan menilai status pertumbuhan pasien
saat ini, termasuk tinggi badan, berat badan, lingkar kepala (pada anak-anak
hingga usia 36 bulan), dan BMI, sambil membandingkan nilai-nilai tersebut
dengan angka referensi yang tersedia dan menyesuaikan prematuritas pada bayi
kurang dari 2 tahun.5

2.5.1 Kebutuhan kalori dan energi


Pasien dengan CKD membutuhkan asupan kalori yang sama dengan
anak sehat dengan usia kronologis yang sama. Kebutuhan energi untuk setiap
anak ditentukan oleh ukuran tubuh, aktivitas fisik, dan atribut lainnya. Kebutuhan
nutrisi yang cukup sangat penting selama 2 tahun pertama kehidupan untuk
mengoptimalkan perkembangan dan pertumbuhan. Misalnya, jika
memungkinkan, bayi harus menerima ASI (yang mungkin memerlukan kalori
tambahan) atau susu formula yang disesuaikan dengan usianya. Karena banyak
bayi dengan CKD stadium lanjut memerlukan pembatasan kalium dan/atau

12
fosfor, formula dengan kandungan kalium dan fosfor yang rendah mungkin
diperlukan. Banyak formula khusus yang tersedia untuk memberikan asupan
makanan yang cukup untuk bayi dan anak-anak dengan CKD.4,5
Beberapa pasien juga mengalami peningkatan densitas kalori, dan
pemberian bentuk nutrisi yang lebih terkonsentrasi bermanfaat untuk pasien
dengan CKD oliguri, dengan bantuan ahli gizi ginjal yang berpengalaman, untuk
memenuhi kebutuhan kalori, zat terlarut, elektrolit, dan metabolisme spesifik
mereka.13 Untuk anak yang lebih besar, suplementasi tambahan mungkin
diperlukan untuk mencapai kebutuhan energi yang sesuai.14 Pada populasi CKD
non-dialisis, asupan energi harus dilengkapi untuk menyediakan sekitar 100%
dari perkiraan pengeluaran energi harian (untuk usia kronologis, tingkat aktivitas,
dan ukuran tubuh).5 Selain itu, asupan protein harus setidaknya 100% dari
asupan harian yang direkomendasikan (recommended daily allowance/RDA)
untuk usia dan ukuran tubuhnya. Beberapa pasien dengan CKD stadium lanjut
dalam terapi dialisis yang membutuhkan hingga 140% dari RDA untuk protein,
atau asupan energi sebesar 120-140% dari RDA untuk mengejar pertumbuhan
sesuai usianya. Namun, faktor-faktor tertentu seperti uremia, inflamasi, dan
penyakit penyerta mempengaruhi estimasi kebutuhan energi anak-anak dengan
CKD. Hambatan ini mempengaruhi kemampuan untuk menerima asupan kalori
yang tepat dan memerlukan pemantauan pertumbuhan serta penyesuaian diet
yang berkelanjutan.4 Tabel 2 menyajikan ringkasan estimasi kebutuhan energi
menurut jenis kelamin dan usia.

Tabel 2. Estimasi kebutuhan energi menurut jenis kelamin dan usia. 3

13
2.5.2 Modalitas pemberian makanan
Pada beberapa pasien, pemberian makanan secara oral mungkin kurang
optimal, yang dapat mempengaruhi nafsu makan dan meningkatkan gejala
gastrointestinal, menciptakan tantangan dalam memenuhi kebutuhan kalori.
Pasien dengan CKD mungkin memerlukan suplementasi lebih lanjut atau
manipulasi makanan enteral dengan selang nasogastrik (nasogastric tube/NGT)
atau gastrostomi (G-tube) mungkin diperlukan.4,5 Keduanya sama-sama disebut
"tube feeding", tetapi sebenarnya berbeda. Banyak anak yang pada awalnya
mulai diberi makan melalui NGT, namun terdapat bukti bahwa pemberian G-tube
umumnya lebih efektif. Pertumbuhan pada anak-anak yang diberi makan
menggunakan G-tube lebih besar daripada mereka yang diberi makan
menggunakan NGT. Namun, ada risiko dan kekhawatiran yang terkait dengan
setiap modalitas. Ada peningkatan risiko infeksi pada penggunaan G-tube,
terutama pada mereka yang menerima dialisis peritoneal (peritoneal dialysis/PD).
Kerugian utama dari pemberian makan melalui NGT termasuk tampilan kosmetik
dari selang, kebutuhan untuk mengganti selang secara berkala, dan peningkatan
risiko pasien mengalami refluks gastroesofageal. Fundoplikasi mungkin
diperlukan pada anak-anak dengan penyakit refluks gastroesofageal
(gastroesophageal reflux disease/GERD) sedang-berat yang mengalami muntah
terus-menerus untuk mengoptimalkan pemberian makan melalui selang.5
Terlepas dari modalitasnya, pemberian makanan melalui selang
dirancang untuk menyediakan cairan, kalori, dan protein yang dibutuhkan yang
tidak dapat dicapai hanya dengan pemberian makanan oral. Selain itu,

14
pemberian makanan melalui selang memungkinkan toleransi obat yang lebih
baik. Meskipun beberapa pasien menoleransi pemberian makanan melalui
selang dengan baik, banyak yang mengalami kesulitan dan mungkin memerlukan
penempatan selang gastrojejunostomi atau jejunostomi. Pada pasien yang
menerima PD, penempatan G-tube dapat menimbulkan komplikasi seperti
penyumbatan selang dan kebocoran di sekitar saluruan keluarnya, yang
memungkinan terjadinya infeksi. Untuk mengurangi terjadinya komplikasi,
pemasangan selang makanan sebelum atau setelah pemasangan kateter PD
mungkin diperlukan.5
Sangat penting untuk menyadari bahwa tujuan pertumbuhan yang lebih
baik seharusnya untuk tinggi dan berat badan. Pertumbuhan tinggi badan yang
optimal lebih sulit dicapai daripada yang berat badan. Suplementasi nutrisi
dengan pemberian makanan melalui selang lebih mudah menghasilkan
peningkatan berat badan dan BMI, tetapi tidak selalu memberikan peningkatan
tinggi badan yang signifikan, terkadang mengakibatkan sekitar 50% subjek
menjadi kelebihan berat badan atau obesitas.4,5

2.5.3 Protein
Kebutuhan protein anak dengan CKD sangat spesifik, mengingat dampak
asupan protein terhadap kematian. Oleh karena itu, asupan protein sering
dibatasi pada pasien ini. Namun, anak dengan CKD yang memerlukan dialisis
akan mengalami peningkatan kebutuhan protein karena kehilangan protein
selama hemodialisis (HD) dan PD. Kehilangan protein dua kali lebih besar per
meter persegi luas permukaan tubuh pada bayi dengan PD dibandingkan pada
pasien remaja yang sebanding dengan ukuran orang dewasa.15 Pedoman Kidney
Disease Outcomes Quality Initiative (KDOQI) saat ini merekomendasikan untuk
memberikan anak-anak dengan CKD stadium 2-3 dengan 100-140% dari RDA
protein untuk berat badan ideal, sementara anak-anak dengan CKD stadium
lebih lanjut harus menerima 100-120% dari RDA.4,5,16 Untuk mencapai
pertumbuhan yang tepat, keseimbangan nitrogen positif anak-anak perlu dijaga
dengan menilai asupan protein dan kalori. Diet rendah protein tidak
direkomendasikan untuk mengurangi perkembangan penyakit ginjal karena tidak
ada bukti konklusif bahwa pembatasan protein jangka panjang efektif terhadap
perkembangan CKD. Namun, peningkatan konsumsi protein pada anak-anak

15
dengan CKD dapat meningkatkan akumulasi produk limbah nitrogen dan uremia.
Selama periode segera setelah transplantasi, kebutuhan protein meningkat
sekitar 50% sehubungan dengan stres pembedahan dan efek katabolik steroid,
dan kembali ke rekomendasi normal (RDA sesuai usia) sekitar 3 bulan setelah
transplantasi.4

2.5.4 Fosfor/fosfat
Umumnya, kadar fosfat meningkat pada CKD. Karena tingginya
prevalensi hiperfosfatemia dan penyakit mineral tulang/ROD pada CKD,
sebagian besar anak-anak dengan CKD memerlukan pengurangan asupan
makanan yang mengandung fosfor dalam makanan. Hal ini dapat sulit dicapai
karena banyak makanan mengandung fosfat, dan, asupan fosfat yang cukup
diperlukan untuk mineralisasi tulang yang normal. Namun, hiperfosfatemia dan
faktor lain memainkan peran utama dalam perkembangan kejadian
kardiovaskular. Oleh karena itu, pendekatan umum untuk mengelola
hiperfosfatemia adalah membatasi asupan fosfat, yang seharusnya cukup untuk
mineralisasi tulang normal dan untuk mencegah gangguan mineral dan
tulang.4,5,17
Kadar fosfat serum normal bervariasi sesuai usia. Misalnya, dalam 6
bulan pertama kehidupan, asupan fosfat harus 5,2-8,4 mg/dL, dan kisaran yang
direkomendasikan menurun seiring bertambahnya usia pada individu normal.
Pada CKD, kadar fosfat serum berada di atas kisaran normal, dan diperlukan
pembatasan fosfat. Pedoman KDOQI merekomendasikan untuk membatasi
fosfor hingga 100% RDA terkait usia, kecuali jika fosfat dan PTH meningkat
secara sekunder (hiperparatiroidisme dan hiperfosfatemia sekunder), dalam hal
ini pasien harus menerima 80% RDA.4,5
Penatalaksanaan hiperfosfatemia bergantung pada pengendalian sumber
fosfat, yang diklasifikasikan menjadi organik (makanan alami) atau anorganik
(bahan tambahan makanan). Bahan makanan tambahan memiliki tingkat
absorpsi yang jauh lebih tinggi, mencapai 90%. Kandungan fosfor yang tinggi
terdapat pada sereal kulit ari gandum (bran cereal), produk susu, dan daging
olahan. Sebaliknya, daging yang tidak diproses, sereal beras, ASI, buah-buahan
segar, dan sayuran mengandung jumlah fosfor yang lebih rendah.4 Namun,
bahan aditif pada makanan yang tersembunyi dapat minembulkan masalah, dan

16
tindakan pencegahan lebih lanjut diperlukan.18 Metode manajemen lainnya
termasuk penggunaan agen pengikat fosfor berbasis kalsium dan non-kalsium,
terutama pada pasien dengan CKD stadium lanjut.4 Penatalaksanaan
hiperfosfatemia dengan agen pengikat fosfor ini umumnya efektif jika kepatuhan
tercapai. Karena sebagian besar agen pengikat fosfor mengandung kalsium,
terdapat laporan mengenai adanya risiko mengembangkan kalsifikasi vaskular
pada orang dewasa dan dewasa muda dengan CKD. Selain itu, kehati-hatian
harus dipertimbangkan ketika meresepkan obat-obatan ini karena risiko
demineralisasi tulang. Penggunaan agen pengikat fosfat yang tidak mengandung
kalsium dapat mengurangi perkembangan kalsifikasi vaskular pada orang
dewasa dengan CKD.5 Selain itu, terdapat penurunan kadar fosfat pada pasien
yang orang tuanya mendapatkan edukasi mengenai sumber fosfat dan
bagaimana cara menghindarinya, bila dibandingkan dengan orang tua yang tidak
diedukasi.19

2.5.5 Kalsium
Kadar kalsium, seperti mikronutrien lainnya, harus cukup untuk memenuhi
kebutuhan tubuh pasien. Mirip dengan fosfat, kalsium serum memainkan peran
utama dalam perkembangan tulang dan sangat penting untuk mineralisasi yang
tepat, meskipun sistemnya lebih kompleks pada CKD daripada yang diperkirakan
sebelumnya. Pada CKD stadium lanjut, produksi calcitriol menurun, yang dapat
mempengaruhi absorpsi kalsium usus, menyebabkan hipokalsemia dan
4,5
hiperparatiroidisme sekunder. Rekomendasi KDOQI merekomendasikan
bahwa asupan kalsium pada anak-anak dengan CKD menjadi 100-200% dari
RDA untuk usia (dosis maksimum 2500 mg kalsium elemental per hari, termasuk
dari makanan yang mengandung kalsium, obat-obatan seperti agen pengikat
fosfat, dan suplementasi kalsium). Untuk pasien yang menerima agen pengikat
fosfat yang mengandung kalsium, asupan kalsium total harus memperhitungkan
jumlah kalsium dalam obat tersebut. Pasien dengan hipokalsemia mungkin
memerlukan kalsium tambahan. Seperti yang telah disebutkan di atas, terdapat
bukti bahwa penggunaan agen pengikat fosfat yang mengandung kalsium dapat
meningkatkan risiko kalsifikasi vaskular.5
Pada bayi, semua asupan kalsium berasal dari ASI atau susu formula.
Susu dan produk susu menyumbang 44-70% dari total asupan kalsium. Setelah

17
susu, produk sereal merupakan sumber kalsium yang paling relevan.
Suplementasi kalsium hadir dalam berbagai bentuk dan wajib bagi mereka yang
tidak memenuhi RDA. Suplementasi dengan karbonat dan kalsium glukonat lebih
efektif daripada kalsium sitrat dan kalsium klorida, yang masing-masing dapat
menyebabkan keracunan aluminium dan asidosis metabolik.5,14 Menurut meta-
analisis belum lama ini, dalam penatalaksanaan hiperparatiroidisme sekunder,
paricalcitol dan calcitriol memiliki efek yang sama.20

2.5.6 Natrium
Meskipun merupakan hal yang umum untuk membatasi natrium pada
orang dewasa dengan CKD, rekomendasinya sedikit berbeda pada anak-anak
karena banyak dari mereka yang memiliki kelainan kongenital saluran kemih
sebagai penyebab CKD, di mana renal natrium wasting adalah kondisi yang
umum. Oleh karena itu, pembatasan natrium pada pasien tersebut harus dibatasi
karena banyak yang mungkin memerlukan natrium tambahan, terutama bayi
yang umumnya memiliki malformasi ginjal bawaan yang mengakibatkan
gangguan reabsorpsi natrium. Sebaliknya, anak-anak dengan penyakit
glomerulus sebagai etiologi CKD memang memerlukan pembatasan natrium.
Pembatasan ini biasanya berbentuk diet tanpa tambahan garam, yaitu
pembatasan 1500-2400 mg/hari sesuai pedoman KDOQI.5
Ada banyak solusi untuk membantu memantau kadar natrium, termasuk
dengan memprioritaskan makanan segar daripada makanan olahan. Sebaliknya,
pada penyakit sodium-wasting, kehilangan natrium lebih besar daripada asupan
melalui ASI, susu formula, atau makanan karena gangguan reabsorpsi natrium. 4
Oleh karena itu, suplementasi natrium setidaknya harus dimulai dengan RDA
yang disesuaikan dengan usia; penyesuaian kemudian dapat dilakukan untuk
mencegah deplesi natrium, yang akan menyebabkan retardasi pertumbuhan dan
hipertensi.14

2.5.7 Kalium
Kalium juga memainkan peran utama dalam banyak fungsi seluler yang
penting, seperti kontraksi otot dan konduksi saraf. 14 Kalium bisa dengan mudah
berpindah dari kompartemen intra- ke ekstraseluler untuk mempertahankan
kadar kalium normal (3,5–5 mmol/L), dan bahkan perubahan kecil dapat
mengubah konsentrasi kalium. Oleh karena itu, pasien dengan CKD berisiko

18
mengalami hipokalemia dan hiperkalemia, yang dapat dipengaruhi oleh banyak
faktor.4 Baik hipokalemia maupun hiperkalemia merupakan predisposisi berbagai
komplikasi sekunder; oleh karena itu, diet pada CKD harus disesuaikan untuk
mengurangi gangguan keseimbangan kalium.5 Penderita hipokalemia ringan
hingga sedang cenderung asimtomatik dibandingkan dengan penderita
hipokalemia berat yang dapat mengalami kelemahan, kram, bahkan kelumpuhan.
Sebaliknya, penurunan GFR, obstruksi urin, dan pengobatan dengan agen
hemat kalium (potassium-sparing agent) akan menjadi faktor risiko hiperkalemia,
yang memiliki efek jantung yang lebih tidak diinginkan termasuk aritmia dan henti
jantung.5,21,22
KDOQI merekomendasikan pembatasan umum kalium 40-120 mg/kg/hari
untuk bayi dan anak kecil, dan 30-40 mg/kg/hari untuk anak yang lebih besar.
Selain memberikan diet dengan jumlah kalium yang tepat, penting untuk
memberikan edukasi kepada keluarga dengan menginformasikan mengenai
berbagai makanan yang mengandung kalium dalam jumlah tinggi serta agen
pengikat kalium. Pemberian obat pada saat yang bersamaa untuk mengontrol
kadar kalium serum dengan lebih baik mungkin juga diperlukan untuk beberapa
pasien.4,5
Pemberian ASI, formula rendah kalium, dan menghindari sayuran serta
buah-buahan tinggi kalium adalah beberapa pilihan solusi pembatasan kalium.
Makanan yang mengandung kalium tinggi seperti pisang, kiwi, jeruk, alpukat,
kentang, dan tomat sebaiknya diganti dengan makanan rendah natrium seperti
apel, berry, lemon, wortel, mentimun, dan selada. 4 Namun, rekomendasi umum
untuk membatasi kalium pada pasien anak dengan CKD membutuhkan lebih
banyak bukti.23 Sebagian besar penelitian observasional bertujuan untuk
menemukan hubungan antara komplikasi jantung dan kadar kalium yang
difokuskan pada orang dewasa, dan diperlukan lebih banyak penelitian pediatrik.

Tabel 3. Makanan dengan kandungan kalium dan fosfor yang signifikan. 3

19
2.5.8 Zat besi
Salah satu komplikasi yang lebih umum dari CKD pada anak-anak adalah
anemia. Ada banyak penyebab anemia, termasuk penurunan produksi
eritropoietin dan defisiensi besi. Anemia defisiensi besi mungkin disebabkan
karena berbagai mekanisme termasuk asupan zat besi yang kurang, gangguan
absorpsi gastrointestinal, dan peningkatan aktivitas hepcidin. Penatalaksanaan
anemia pada CKD adalah kompleks, tetapi mencakup pemantauan (serum iron,
total iron binding capacity, saturasi transferrin, ferritin), dengan suplementasi zat
besi jika diperlukan. Suplementasi zat besi oral atau intravena sering diperlukan
tetapi harus dilakukan dengan hati-hati untuk menghindari bahaya kelebihan zat
besi. Suplementasi zat besi oral yang umum adalah dengan dosis awal 3-4
mg/kg/hari zat besi elemental dengan penilaian kadar zat besi secara berkala.5

2.5.9 Vitamin dan mineral


Kebanyakan pasien dengan CKD yang menjalani dialisis memiliki
metabolisme ginjal yang abnormal, asupan yang tidak mencukupi, penurunan
penyerapan gastrointestinal, ketidakseimbangan metabolisme, dan kehilangan
banyak komponen tubuh terkait dialisis, yang menyebabkan peningkatan risiko
defisiensi vitamin dan mineral. 3,24 Defisiensi vitamin pada CKD terutama
mencakup vitamin D, vitamin B12, dan folat. Defisiensi vitamin D meliputi vitamin
D dan 1,25(OH)2 vitamin D.5 Vitamin D memainkan peran utama dalam
gangguan tulang dan mineral yang diamati pada pasien dengan CKD. Defisiensi
25(OH)D3 sering terjadi pada anak-anak dengan CKD; namun, hal ini merupakan

20
faktor risiko yang dapat dimodifikasi yang dapat dikoreksi melalui asupan susu
dan suplementasi vitamin D.4
Defisiensi vitamin B12 dan folat dapat menyebabkan anemia. Defisiensi
folat juga merupakan predisposisi hiperhomosisteinemia pada anak-anak dengan
CKD, predisposisi pasien terhadap komplikasi vaskular potensial, meskipun
hubungannya mungkin tidak dapat dikonfirmasi. Namun, praktik saat ini
mencakup suplementasi asam folat dan vitamin B12 untuk pasien dialisis
pediatrik sebagai bagian dari suplemen vitamin larut air standar. 5 Canepa et al.
memperkirakan 40% prevalensi hiperhomosisteinemia pada anak-anak dengan
CKD. Kadar asam folat dan vitamin B12 ditemukan rendah pada sebagian kecil
anak dengan hiperhomosisteinemia. Namun, mereka dianggap sebagai bagian
dari suplementasi vitamin larut air standar pada anak-anak dengan CKD.25
KDOQI merekomendasikan bahwa anak-anak dengan CKD yang
menjalani dialisis menerima vitamin A, B, C, E, dan K yang cukup, serta mineral
termasuk tembaga dan zinc. Mikronutrien ini harus diberikan sebagai suplemen
jika asupan makanan tidak cukup untuk mencapai RDA. Vitamin yang larut dalam
air, termasuk tiamin (B1), piridoksin (B6), folat (B9), dan vitamin C (asam
askorbat), adalah defisiensi yang paling sering, dan pasien juga harus menerima
suplemen vitamin yang larut dalam air.3,4,24
Trace mineral yang membentuk kurang dari 0,01% dari total berat badan
manusia, termasuk zinc, selenium, asam folat, piridoksin, dan asam askorbat,
hilang selama hemodialisis, karena fungsi ginjal normal diperlukan untuk
homeostasis mineral.26,27 Karena bukti untuk mendukung penggunaan rutin
vitamin pada pasien yang menjalani hemodialisis dari analisis sistematis tidak
cukup, pendekatan individual untuk pengambilan keputusan direkomendasikan.4

2.5.10 Pemberian cairan


Asupan cairan pada pasien CKD, terutama yang menjalani dialisis, harus
dipantau secara hati-hati karena ketidakseimbangan cairan intravaskular dapat
menyebabkan komplikasi kardiovaskular, yang secara langsung akan
4
meningkatkan risiko morbiditas dan mortalitas. Meskipun kelebihan cairan
berbahaya, pembatasan cairan agresif dapat menjadi toksik bagi myokardium
anak.28 Dalam semua kasus, asupan cairan harus seimbang dan dinilai serta
dikelola dengan hati-hati.4

21
Saat ini, penilaian status cairan tergantung pada pemeriksaan fisik secara
teratur sesuai dengan tekanan darah pre-dialisis dan intra-dialitik, serta
penambahan berat badan. Namun demikian, banyak penelitian menunjukkan
bahwa metode ini tidak cukup untuk menyesuaikan target kenaikan berat badan.
Metode lain, seperti spektroskopi bioimpedansi, digunakan untuk memperkirakan
total air tubuh, massa lemak dan non-lemak, cairan ekstraseluler jaringan, dan
over-hidrasi; indeks kolapsibilitas vena cava inferior; pemantauan volume darah
relatif; N-terminal probrain natriuretic peptide (NT-proBNP); dan ultrasonografi
paru-paru, semuanya terbukti memiliki keterbatasan, yaitu sebagian besar
melalui studi pusat kesehatan tunggal. Kelebihan cairan sebagian besar telah
diuji dalam pengaturan klinis tertentu.4,29–31
Pasien dengan CKD dan komorbiditas memiliki potensi yang lebih tinggi
untuk mengalami "over-hidrasi". Penelitian telah melaporkan bahwa tidak ada
perbedaan yang signifikan antara pemberian cairan intravena isotonik atau
hipotonik dalam penatalaksanaan pada pasien ini.32 Namun, penelitian lain
berpendapat bahwa cairan isotonik menyebabkan risiko hiponatremia yang lebih
rendah.4 Penyesuaian jumlah natrium yang dikonsumsi melalui diet atau obat-
obatan merupakan langkah utama dalam mengelola status cairan pada pasien
dengan CKD.29

2. NUTRISI PADA ANAK DENGAN SINDROM NEFROTIK


Selain CKD, pasien anak dengan gangguan ginjal lainnya juga perlu
mendapatkan penilaian gizi dan penyesuaian nutrisi yang tepat, seperti pada
pasien anak dengan sindrom nefrotik atau penyakit batu ginjal. Sindrom nefrotik
adalah penyakit ginjal umum selama masa kanak-kanak yang ditandai dengan
perubahan dalam filtrasi glomerulus dan menyebabkan hilangnya protein, cairan,
dan nutrisi melalui urin. Sebagian besar pasien mengalami edema perifer yang
bergantung pada gravitasi dan edema anasarka serta asites pada kasus yang
berat. Banyaknya komplikasi jangka panjang dari penyakit ini disebabkan karena
patologi yang mendasarinya dan terapi yang digunakan untuk pengobatan,
termasuk penyakit tulang metabolik, defisiensi mikronutrien, dan hiperlipidemia.
Intervensi farmakologis dan nutrisi adalah kunci untuk manajemen yang tepat.
Pembatasan cairan dan natrium dalam kombinasi dengan kortikosteroid,
albumin, dan diuretik digunakan untuk mengelola edema. Terapi hemat steroid

22
seperti agen alkilasi dan inhibitor kalsineurin dan modifikasi diet untuk
menghilangkan produk susu dan gluten mungkin diperlukan pada pasien yang
sering kambuh atau penyakit refrakter steroid.33

3. NUTRISI PADA ANAK DENGAN NEFROLITIASIS


Penyakit batu ginjal, atau nefrolitiasis, merupakan masalah kesehatan
utama yang terkait dengan rasa sakit yang signifikan, morbiditas, dan biaya
medis. Nefrolitiasis berulang dapat menyebabkan CKD, serta peningkatan risiko
kondisi terkait seperti penyakit kardiovaskular dan fraktur. Sebagian besar anak-
anak (hingga 95%) dengan nefrolitiasis memiliki setidaknya satu kelainan
metabolik yang kemungkinan akan memerlukan kombinasi terapi diet dan
farmakologis. Kelainan metabolik yang paling umum adalah hiperkalsiuria dan
hipositraturia, baik terisolasi atau terjadi bersamaan; kelainan metabolik lainnya
termasuk hiperurikosuria, hiperoksaluria, dan sistinuria. Meskipun studi yang
berfokus pada populasi anak langka, ekstrapolasi dari penelitian pada orang
dewasa menunjukkan bahwa peningkatan angka nefrolitiasis terkait dengan
pergeseran norma diet, seperti konsumsi luas makanan olahan dan cepat saji,
diet tinggi natrium dan protein hewani, serta penurunan konsumsi buah, sayur,
dan makanan kaya kalsium. Terapi nutrisi medis bertujuan untuk mencegah
kekambuhan (relapse), dan dengan demikian, mengurangi beban penyakit batu
ginjal pada populasi anak.34

4. KESIMPULAN
Penilaian nutrisi pada anak dengan gangguan ginjal bersifat kompleks
dan penting. Banyak faktor yang harus dipertimbangkan, mulai dari pengetahuan
keluarga tentang persiapan makanan dan camilan, serta tentang perubahan
yang diharapkan dan tanda bahaya pada status anak mereka. Eksplorasi
mendalam serta memeriksa adanya malnutrisi dan pertumbuhan linier yang tidak
adekuat pada anak-anak dengan CKD penting dilakukan dengan menyesuaikan
masing-masing individu. Selain itu, tinjauan sistemik dengan meta-analisis
diperlukan untuk memperbarui praktik klinis pada pasien CKD pediatrik. Penting
untuk mengoptimalkan proses perawatan, sehingga memungkinkan setiap
pasien memperoleh manfaat sebesar mungkin melalui bantuan tim multidisiplin

23
termasuk dokter, perawat tim dialisis, ahli diet, pekerja sosial, guru, dan psikolog
untuk memenuhi target diet dan meningkatkan kepuasan hidup.

24
DAFTAR PUSTAKA

1. Román-Ortiz E, Mendizábal-Oteiza S, Codoñer-Franch P. Nutrition in


Pediatric Kidney Disease. JCS. 2018 Jan;08(01):e82–9.

2. Nelms CL, Shaw V, Greenbaum LA, Anderson C, Desloovere A, Haffner D,


et al. Assessment of nutritional status in children with kidney diseases—
clinical practice recommendations from the Pediatric Renal Nutrition
Taskforce. Pediatr Nephrol. 2021 Apr;36(4):995–1010.

3. Thomas J, Nieves J, Patel HP. Nutritional Management of the Pediatric CKD


Patient. Curr Treat Options Peds. 2020 Jun;6(2):38–51.

4. Azzouz JZ, Safdar OY, Awaleh FI, Khoja AA, Alattas AA, Jawhari AA.
Nutritional Assessment and Management in Paediatric Chronic Kidney
Disease. S. Razzaque M, editor. Journal of Nutrition and Metabolism. 2021
Oct 12;2021:1–7.

5. Silverstein DM. Growth and Nutrition in Pediatric Chronic Kidney Disease.


Front Pediatr. 2018 Aug 14;6:205.

6. Iyengar A. Nutrition assessment tools in children with chronic kidney disease.


Asian J Pediatr Nephrol. 2022;5(1):7.

7. Harambat J, Kunzmann K, Azukaitis K, Bayazit AK, Canpolat N, Doyon A, et


al. Metabolic acidosis is common and associates with disease progression in
children with chronic kidney disease. Kidney International. 2017
Dec;92(6):1507–14.

8. Akchurin OM. Chronic Kidney Disease and Dietary Measures to Improve


Outcomes. Pediatric Clinics of North America. 2019 Feb;66(1):247–67.

9. Rees L, Schaefer F, Schmitt CP, Shroff R, Warady BA. Chronic dialysis in


children and adolescents: challenges and outcomes. The Lancet Child &
Adolescent Health. 2017 Sep;1(1):68–77.

10. Eriguchi R, Obi Y, Streja E, Tortorici AR, Rhee CM, Soohoo M, et al.
Longitudinal Associations among Renal Urea Clearance–Corrected
Normalized Protein Catabolic Rate, Serum Albumin, and Mortality in Patients
on Hemodialysis. CJASN. 2017 Jul 7;12(7):1109–17.

11. García De Alba Verduzco J, Hurtado López EF, Pontón Vázquez C, de la


Torre Serrano A, Romero Velarde E, Vásquez Garibay EM. Factors
Associated With Anthropometric Indicators of Nutritional Status in Children
With Chronic Kidney Disease Undergoing Peritoneal Dialysis, Hemodialysis,
and After Kidney Transplant. Journal of Renal Nutrition. 2018 Sep;28(5):352–
8.

12. Sgambat K, Clauss S, Lei KY, Song J, Rahaman SO, Lasota M, et al. Effects

25
of obesity and metabolic syndrome on cardiovascular outcomes in pediatric
kidney transplant recipients: a longitudinal study. Pediatr Nephrol. 2018
Aug;33(8):1419–28.

13. Kogon AJ, Harshman LA. Chronic Kidney Disease: Treatment of


Comorbidities I (Nutrition, Growth, Neurocognitive Function, and Mineral
Bone Disease). Curr Treat Options Peds. 2019 Jun;5(2):78–92.

14. Levitt R, Zaritsky JJ, Mak RH. Nutritional Challenges in Pediatric Chronic
Kidney Disease. In: Geary DF, Schaefer F, editors. Pediatric Kidney Disease
[Internet]. Berlin, Heidelberg: Springer Berlin Heidelberg; 2016 [cited 2022
Oct 27]. p. 1477–505. Available from: http://link.springer.com/10.1007/978-3-
662-52972-0_56

15. Shaw V, Polderman N, Renken-Terhaerdt J, Paglialonga F, Oosterveld M,


Tuokkola J, et al. Energy and protein requirements for children with CKD
stages 2-5 and on dialysis–clinical practice recommendations from the
Pediatric Renal Nutrition Taskforce. Pediatr Nephrol. 2020 Mar;35(3):519–31.

16. Ikizler TA, Burrowes JD, Byham-Gray LD, Campbell KL, Carrero JJ, Chan W,
et al. KDOQI Clinical Practice Guideline for Nutrition in CKD: 2020 Update.
American Journal of Kidney Diseases. 2020 Sep;76(3):S1–107.

17. Hanudel MR, Salusky IB. Treatment of Pediatric Chronic Kidney Disease-
Mineral and Bone Disorder. Curr Osteoporos Rep. 2017 Jun;15(3):198–206.

18. Bacchetta J, Bernardor J, Garnier C, Naud C, Ranchin B.


Hyperphosphatemia and Chronic Kidney Disease: A Major Daily Concern
Both in Adults and in Children. Calcif Tissue Int. 2021 Jan;108(1):116–27.

19. Erem S, Razzaque MS. Dietary phosphate toxicity: an emerging global health
concern. Histochem Cell Biol. 2018 Dec;150(6):711–9.

20. Zhang T, Ju H, Chen H, Wen W. Comparison of Paricalcitol and Calcitriol in


Dialysis Patients With Secondary Hyperparathyroidism: A Meta-Analysis of
Randomized Controlled Studies: Paricalcitol and Calcitriol for Secondary
Hyperparathyroidism. Ther Apher Dial. 2019 Feb;23(1):73–9.

21. Kardalas E, Paschou SA, Anagnostis P, Muscogiuri G, Siasos G, Vryonidou


A. Hypokalemia: a clinical update. Endocrine Connections. 2018
Apr;7(4):R135–46.

22. Desloovere A, Renken-Terhaerdt J, Tuokkola J, Shaw V, Greenbaum LA,


Haffner D, et al. The dietary management of potassium in children with CKD
stages 2–5 and on dialysis—clinical practice recommendations from the
Pediatric Renal Nutrition Taskforce. Pediatr Nephrol. 2021 Jun;36(6):1331–
46.

23. Clase CM, Carrero JJ, Ellison DH, Grams ME, Hemmelgarn BR, Jardine MJ,
et al. Potassium homeostasis and management of dyskalemia in kidney
diseases: conclusions from a Kidney Disease: Improving Global Outcomes

26
(KDIGO) Controversies Conference. Kidney International. 2020
Jan;97(1):42–61.

24. Joyce T, Rasmussen P, Melhem N, Clothier J, Booth C, Sinha MD. Vitamin


and trace element concentrations in infants and children with chronic kidney
disease. Pediatr Nephrol. 2020 Aug;35(8):1463–70.

25. Capelli I, Cianciolo G, Gasperoni L, Zappulo F, Tondolo F, Cappuccilli M, et


al. Folic Acid and Vitamin B12 Administration in CKD, Why Not? Nutrients.
2019 Feb 13;11(2):383.

26. Harshman LA, Lee-Son K, Jetton JG. Vitamin and trace element deficiencies
in the pediatric dialysis patient. Pediatr Nephrol. 2018 Jul;33(7):1133–43.

27. Iorember FM. Malnutrition in Chronic Kidney Disease. Front Pediatr.


2018;6:161.

28. Rakha S, Hafez M, Bakr A, Hamdy N. Changes of cardiac functions after


hemodialysis session in pediatric patients with end-stage renal disease:
conventional echocardiography and two-dimensional speckle tracking study.
Pediatr Nephrol. 2020 May;35(5):861–70.

29. Hayes W, Paglialonga F. Assessment and management of fluid overload in


children on dialysis. Pediatr Nephrol. 2019 Feb;34(2):233–42.

30. Torterüe X, Dehoux L, Macher MA, Niel O, Kwon T, Deschênes G, et al. Fluid
status evaluation by inferior vena cava diameter and bioimpedance
spectroscopy in pediatric chronic hemodialysis. BMC Nephrol. 2017
Dec;18(1):373.

31. Milani GP, Groothoff JW, Vianello FA, Fossali EF, Paglialonga F, Edefonti A,
et al. Bioimpedance and Fluid Status in Children and Adolescents Treated
With Dialysis. American Journal of Kidney Diseases. 2017 Mar;69(3):428–35.

32. Feld LG, Neuspiel DR, Foster BA, Leu MG, Garber MD, Austin K, et al.
Clinical Practice Guideline: Maintenance Intravenous Fluids in Children.
Pediatrics. 2018 Dec;142(6):e20183083.

33. Hampson KJ, Gay ML, Band ME. Pediatric Nephrotic Syndrome:
Pharmacologic and Nutrition Management. Nutrition in Clinical Practice. 2021
Apr;36(2):331–43.

34. Carvalho-Salemi J, Moreno L, Michael M. Medical Nutrition Therapy for


Pediatric Kidney Stone Prevention, Part One. Journal of Renal Nutrition.
2017 Jan;27(1):e5–8.

27

Anda mungkin juga menyukai