SALAM REDAKSI
“Menyelamatkan Hutan, Menyelamatkan Bumi”. Hutan adalah sumberdaya alam
yang selama ini menyediakan sumber kehidupan. Hutan bukanlah sumberdaya
alam yang harus di eksploitasi terus menerus. Tanpa hutan tidak ada binatang,
tanpa hutan tidak ada air, tanpa hutan tidak ada oksigen, tanpa hutan tidak ada
manusia.
Pemanasan global terus terjadi. Suhu permukaan bumi terus meningkat, es-es
abadi terus menerus hilang, muka air laut terus mengancam tenggelamnya pulau-
pulau kecil. Hutan yang menjadi tumpuan utamapun terus berkurang. Ibarat
pepatah bijak suku Indian: “Ketika pohon terakhir ditebang, Ketika sungai terakhir
dikosongkan, Ketika ikan terakhir ditangkap,
Barulah manusia akan menyadari bahwa dia tidak dapat memakan uang.”
Tahun 2013, Indonesia masih memiliki 82 juta Ha hutan alam yang tersebar di
Nusantara. Hingga detik ini, puluhan juta hektar hutan alam yang ada di Nusantara
terus di eksploitasi dan hilang akibat keserakahan manusia.
Majalah “INTIP HUTAN” edisi September ini akan menceritakan permasalahan-
permasalahan yang terjadi di hutan Indonesia. Mulai dari tata kelola hutan, sungai,
perubahan iklim, konservasi, gender, flora fauna, dan lain sebagainya.
Selamat membaca...
Terima kasih...!!
Penanggung Jawab: Soelthon G. Nanggara Pemantau Hutan
Tim Redaksi: Isnenti Apriani, Mufti F. Barri, Dwi Lesmana, Amalya Reza Oktaviani, Agung Adi S., Anggi P.
Prayoga, Andi Juanda @fwindonesia
Kontributor: Linda Rosalina, Anggi P. Prayoga, Mufti F. Barri, Andi Chairil Ichsan, Amalya Reza Oktaviani,
Isnenti Apriani, Fachrudin Surahmat Ardy Kresna Crenata, Nurika Manan, Via Mardiana
Untuk mendapatkan media
Design dan Tata Letak: Hudi Dhuhartadi Hutomo informasi Intip Hutan,
Foto: Forest Watch Indonesia silakan menghubungi bagian
Penerbit: Forest Watch Indonesia sirkulasi ke alamat di atas
Sirkulasi: Amalya Reza Oktaviani
Alamat
I N TRedaksi:
I P H U T Jl.
A NSempur
- F O RKaler
E S T No.
W A T62,
C HBogor;
I N D OTelepon
N E S I A 0251
| A P 8333308,
R I L 2 0 1 Faks
6 0251 8317926, Email
fwibogor@fwi.or.id, Website www.fwi.or.id, Facebook Pemantau Hutan, Fanspage Forest Watch Indonesia,
Twitter @fwindonesia
DAFTAR ISI
4 Kementerian Agraria dan Tata
Ruang Tidak Mematuhi Undang-
Undang Keterbukaan Informasi
Publik
Kementerian Agraria
dan Tata Ruang / BPN
Dituntut Terbuka
A AAAAAAAAAAAAAAAA
Jakarta, 19 Agustus 2016.
Organisasi masyarakat sipil Indonesia
mempertanyakan komitmen Kementerian
Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan
Nasional (KemenATR/BPN) terkait keterbukaan
informasi publik. Pernyataan ini dikeluarkan
paska diterimanya pemberitahuan keberatan
(banding) oleh KemenATR/BPN atas putusan
Komisi Informasi Pusat (KIP) yang menyatakan
dokumen Hak Guna Usaha (HGU) perkebunan
sawit yang dimohonkan Forest Watch
Indonesia (FWI) adalah informasi terbuka.
Surat Pemberitahuan dan Penyerahan
Permohonan Keberatan yang dilayangkan
oleh KemenATR/BPN kepada Pengadilan Tata
Usaha Negara (PTUN) Jakarta tertanggal 9
Agustus 2016, menandakan tidak ada kemauan
terbuka untuk memberi ruang berpartisipasi
bagi publik dalam pengawasan pembangunan
di sektor perkebunan. Padahal pemerintah
Indonesia sedang gencar-gencarnya melakukan
evaluasi terhadap kinerja perkebunan kelapa
sawit melalui usulan kebijakan moratorium. Hal
ini sejalan dengan upaya Gerakan Nasional
Penyelamatan Sumber Daya Alam (GN-PSDA) kajian terkait pemanfaatan lahan dan hutan.
yang diinisiasi Komisi Pemberantasan Korupsi “Kami sangat menyayangkan sikap KemenATR/
(KPK) dalam menyelesaikan penguasaan BPN yang melakukan banding kepada PTUN.
tanah masyarakat dalam kawasan hutan. Kami kesulitan melakukan verifikasi tanpa
Dokumen HGU perkebunan kelapa adanya dokumen sah (resmi) dari pemerintah.
sawit yang dimohonkan FWI untuk melakukan Padahal kami menemukan adanya tumpang
dalam Yudha 2005 limbah industri diklasifikasikan menjadi habitat yang tidak “nyaman” bagi pesut
sebagai zat organik terlarut, zat padat mahakam. Pesut kian terpuruk dalam klasemen
tersuspensi, nitrogen dan phospor, minuman penetapan status kepunahannya.
dan bahan-bahan terapung, logam berat cyanida Penguasaan wilayah juga berdampak
dan racun organik, warna kekeruhan, organic pada aktivitas nelayan. Semakin sempitnya ruang
tracer, bahan yang tidak mudah mengalami untuk menangkap ikan akibat hilir mudik kapal
dekomposisi biologis (refactory subtances), pengangkut bara, menyebabkan konsentrasi
dan bahan yang mudah menguap (volatile penangkapan ikan bertumpuk pada beberapa
materialis). Zat-zat tersebut jika masuk ke lokasi. Relung lokasi penangkapan ikan dengan
dalam air Sungai Mahakam maka akan terjadi daerah jelajah pesut beririsan. Tidak sedikit pesut
proses akumulasi bahan pencemar yang bersifat yang pada akhirnya mati karena tersangkut pada
beracun. Mematikan bagi seluruh makhluk hidup jaring nelayan.
yang rentan terhadap pencemaran kualitas Ironis memang jika mamalia pesut
lingkungan perairan. dijadikan sebagai ikon Kalimantan Timur
Proses pencemaran tersebut lambat namun tidak ada upaya serius yang dilakukan
laun akan mempengaruhi sistem metabolisme untuk melestarikan hewan langka ini. Tidak
tubuh hewan yang hidup di dalamnya, termasuk heran jika mamalia pesut sudah sangat sulit
pesut. Pencemaran tersebut berpotensi sekali ditemukan di Sungai Mahakam. Mungkin
dapat mematikan hewan. Sungai Mahakam hanya di bagian hulu yang jauh dari aktivitas
sesungguhnya memiliki daya dukung dan daya pertambangan, itupun jika beruntung. Padatnya
tampung yang saat ini sudah tidak seimbang hilir Sungai Mahakam akibat aktivitas manusia
(Yudha 2007). Hal ini diakibatkan oleh banyaknya menyebabkan pesut tidak mampu bertahan di
beban pencemaran yang masuk ke dalam Sungai bagian hilir. Apalagi di bagian hilir sungai sudah
Mahakam baik berupa limbah cair, padat, gas, menunjukkan terjadinya pencemaran perairan.
atau bahkan pencemaran suara. Pada tahun 2009 sampai 2013 wilayah
Pengisian batu bara ke atas kapal Daerah Aliran Sungai (DAS) Mahakan kehilangan
tongkang menimbulkan suara yang cukup keras. hutan alamnya seluas 128 ribu hektar akibat
Ini merupakan sebuah pencemaran suara yang aktivitas pertambangan, HTI, hak pengusahaan
diakibatkan dari aktivitas pertambangan batu hutan (HPH) dan perkebunan. Hingga tahun
bara. Pencemaran suara ini terus berlangsung 2013, DAS Mahakam hanya menyisakan 4,1 juta
selama pengisian. Besarnya kapal tongkang Ha hutan alam atau 50 % dari total luas wilayah
menghasilkan tingkat kebisingan yang tinggi. DAS tersebut. Alih fungsi hutan menjadi non
Bahkan saat kapal berlayar, pencemaran suara hutan semakin tidak bisa dikendalikan. Terlebih
ini semakin kuat. Suara mesin kapal tongkang banyak temuan akan adanya tumpang tindih
mengganggu sistem alamiah pendengaran pemanfaatan kawasan antar koorporasi di lahan
pesut. Dengan timbulnya suara/kebisingan yang sama. Tercatat provinsi Kalimantan Timur
yang dihasilkan oleh aktivitas transportasi kapal kehilangan hutan seluas 112 ha setiap tahunnya.
tongkang, maka ikan maupun pesut berenang (FWI, 2014)
ke arah perairan yang aman yang terhindar Kerja-kerja korporasi menjadi penyebab
dari sumber datangnya suara. Sementara itu, utama hilangnya tutupan hutan di sepanjang
pesut berenang menggunakan sonar suara. Sungai Mahakam. Korporasi yang bekerja
Mengandalkan pantulan suara untuk menentukan dengan basis sumber daya lahan membutuhkan
arah renang. Sangat beresiko bagi pesut karena ruang hingga ratusan ribu hektar. Menjadi
memungkinkan disorientasi arah. penyebab utama hilangnya hutan di Kalimantan.
Pesut merupakan makhluk mamalia Pertambangan, perkebunan kelapa sawit,
air tawar yang membutuhkan ruang terbuka HPH, dan Hutan Tanaman Industri penyebab
untuk bernafas muncul ke permukaan. Sungai utama hilangnya tutupan hutan di Kalimantan
Mahakam yang dipadati oleh aktivitas kapal Timur. Tercatat bahwa semenjak tahun 2009
Tabel 1. Kabupaten dan angka deforestasi di areal konsesi dan luar areal konsesi Provinsi Kalimantan Timur
(data yang ditunjukan keadaan hutan di Provinsi Kalimantan Timur sebelum ada pemekaran provinsi)
Tabel 2. Deforestasi di areal HPH, HTI, Perkebunan, dan Pertambangan per-kabupaten di Provinsi Kalimantan
Timur tahun 2009 sampai 2013
sampai 2013 Provinsi Kalimantan Timur pesut mahakam. Hutan tidak hanya sebagai
kehilangan hutannya hingga mencapai penyedia oksigen bagi makhluk hidup, namun
448,494.40 hektar. Ironisnya 26.31 persen juga sumber penghidupan biota di sungai,
terjadi di Kabupaten Kutai Kartanegara dan terutama pesut. Hutan dan sungai di wilayah
Kutai Barat, yang menjadi tumpuan resapan air DAS harus terintegrasi pengelolaannya. Aktivitas
di Sungai Mahakam. Tumpuan pengendali banjir pertambangan di lahan berhutan haruslah dikaji
di pemukiman di sepanjang sungai, bahkan Kota kembali. Kehilangan hutan berpengaruh pada
Samarinda sekalipun. kehidupan lainnya. Menjaga agar hutan tetap
Hutan di DAS Mahakam berperan utuh merupakan upaya melestarikan kehidupan
penting bagi kelestarian sungai dan eksistensi yang universal.
POHON HARAPAN
“Hutan Indonesia Hanya Tinggal Cerita”
Oleh: Mufti Fathul Barri (FWI)
Gambar diatas adalah grafik yang bahwa hutan Indonesia dalam keadaan kritis.
memperlihatkan 20 kata yang paling dominan Terdapat dua kata di urutan 11 dan 12
pada pesan untuk hutan Indonesia. Dari grafik yang memperlihatkan masalah utama yang
tersebut terlihat kata “Kita” merupakan kata yang dikeluhkan para penulis pesan. Dua kata tersebut
paling tinggi. Kata “Kita” terulang sebanyak 109 ialah “Penebangan” dan “Kebakaran”. Dua
kali dari 309 pesan yang disampaikan. Kata permasalahan ini yang sampai sekarang tidak
“kita” memperlihatkan bahwa masyarakat umum pernah terselesaikan. Sayangnya pada acara
menilai bahwa hutan adalah milik bersama untuk ICCEFE 2016 ini hanya stand FWI lah yang
kepentingan bersama. bercerita mengenai penebangan dan kebakaran
Masyarakat sangat merasa memilki hutan di Indonesia.
hutan. Sangat wajar jika pengelolaan hutan di Hutan Indonesia hanya tinggal cerita.
Indonesia seharusnya dilakukan secara terbuka. Inilah fakta yang sebenarnya terjadi di bumi
Sehingga haruslah disampaikan fakta tentang pertiwi. Masyarakat pun tau apa dan siapa yang
apa yang sebenarnya terjadi di Hutan Indonesia. menyebabkan hancurnya hutan di Indonesia.
Kata “kita” juga memperlihatkan bahwa Namun, para pengambil kebijakan lupa akan hal
menjaga hutan tidak bisa dilakukan sendiri. tersebut. Para pengambil kebijakan lupa tentang
Melindungi hutan merupakan sebuah gerakan apa yang diucapkan anak-anak mereka bahwa
bersama yang harus dilakukan oleh semua banjir terjadi akibat hutan diatasnya yang telah
pemangku kepentingan. Termasuk masyarakat gundul.
yang tinggal di dalam dan sekitar hutan. Kebanggaan akan rimba Indonesia yang
Dari dua puluh kata yang dominan. gagah hanyalah tinggal cerita. Masyarakat
Terdapat tujuh kata kerja yang menekankan selalu ditipu dengan cerita-cerita kondisi hutan
pentingnya melindungi hutan. Kata jaga, yang hanya menjadi perwakilan di setiap pulau.
lestarikan, save, lindungi, penebangan, sayangi, Hutan Indonesia perlu pertolongan. Saatnya
dan selamatkan memperlihatkan masyarakat bertindak dengan membuka semua informasi
sangat menginginkan adanya perlindungan tentang hutan. Menghentikan deforestasi untuk
terhadap hutan Indonesia. Kata-kata tersebut kehidupan di masa depan.
juga memperlihatkan masyarakat mengetahui
HASIL HUTAN YANG DIABAIKAN : SAGU NASIBMU KINI Oleh: Isnenti Apriani (FWI)
Indonesia memiliki letak geografis yang juga layak dilirik.
strategis, selain memiliki tutupan hutan alam Tidak semua negara diberi anugerah
yang masih rapat yaitu seluas 82,5 juta ha.¹ tanaman sagu. Lebih dari 95% tanaman sagu
Juga memiliki kekayaaan sumber daya alam dunia hanya dapat ditemui di Indonesia, Papua
mulai dari flora, fauna dan potensi hidrografis dan Nugini, dan Malaysia.² Indonesia adalah
deposit sumber alamnya yang melimpah. Dalam negara yang paling diberkati. Sebab sekitar
sejarahnya Indonesia selalu diperhitungkan 55% tanaman sagu dunia tumbuh di sini.
dunia internasional karena sumber daya Indonesia menempati Posisi Pertama dengan
alamnya tersebut. Rempah-rempah nusantara luas 1,5 Juta Ha. Hamparan Sagu terluas ada
pernah membuat para pelaut dan pengusaha di Bumi Cendrawasih Papua seluas 1,3 Juta
dunia terutama EROPA ingin menguasai bumi Ha yang terdiri dari Hutan Sagu (Alami) dan
pertiwi selama lebih dari tiga abad. Sampai saat Budidaya. Penyebaran sagu selain Papua
ini negara kita masih diperhitungkan sebagai antara lain Maluku, Sulawesi Utara, Sulawesi
produsen terbesar hasil bumi. Diantaranya Tengah, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan,
adalah kelapa sawit, kakao, rotan, kopi, dan Kalimantan Selatan, Kalimantan Barat, Jambi,
karet yang masih mendominasi pasar dunia. Sumatera Barat (Mentawai) dan Kepulauan
Selain nama-nama itu, terselip nama sagu yang Riau.
¹ Luas tutupan hutan pada periode 2009-2013 FWI.2014.Potret Keadaan Hutan Indonesia periode 2009-2013
² Freddy Numberi, Sagu, Potensi yang Masih Terabaikan, PT Bhuana Ilmu Populer, Jakarta, 2011, hlm 29. Dalam http://indolensia.blogspot.co.id/2015/03/
lumbung-sagu-dunia-itu-bernama-indonesia.html
Sagu (Metroxylon sagu baku industri kosmetik, kertas, dapat digunakan masyarakat
Rotb.) sangat cocok sebagai bioetanol, pengbungkus kapsul, sebagai atap rumbia. Seiring
bahan pangan karena memiliki dan film kemasan makanan perkembangan zaman,
kandungan karbohidrat yang yang biodegradable, dengan beberapa kegunaan utama
terdapat pada pati sagu serta kata lain dapat diuraikan secara sagu mulai menghilang. atap
kalori yang cukup tinggi. Tak sempurna oleh proses biologi. rumbia berganti seng. dinding
jarang sagu juga kerap dijadikan Tak hanya sari pati sagu yang menjadi papan dan pagar
makanan pengganti nasi. dimanfaatkan, beberapa rumah kawat (besi). (Gambar 1. Pohon
Bahkan di Timur Indonesia, sagu penduduk di Timur Indonesia Industri Sagu)
merupakan makanan pokok. menjadikan pelepah sebagai Potensi sagu sebagai
Selain sebagai pengganti nasi, dinding, atau pagar ternak. sumber bahan pangan
beberapa penelitian bahkan Bahkan limbahnya dapat dan bahan industri telah
telah menyingkap manfaatnya dijadikan sebagai biopeptisida disadari sejak tahun 1970-
untuk diolah sebagai bahan maupun kompos. Daunnya pun an. namun sampai sekarang
pengembangan tanaman sagu
di Indonesia masih jalan di
tempat. Areal sagu yang ada
belum dimanfaatkan secara
maksimal sebagai penghasil
tepung sagu untuk bahan
kebutuhan lokal (pangan)
maupun untuk komoditi ekspor.
Pemanfaatan area sagu
hanya 0,1% dari total area
sagu nasional. Rendahnya
pemanfaatan tersebut
disebabkan kurangnya minat
masyarakat dalam mengelola
³ http://www.beritasatu.com/ekonomi/338227-selain-di-papua-pohon-sagu-juga-ada-di-enam-daerah-ini.html
Bagi orang-orang yang tinggal di kota yang tertahan, yang terpendam, yang resesif.
dan nyaris tak bersentuhan dengan hutan Yang menjadi sesuatu di atas permukaan, tentu
dalam kesehariannya, apa makna hutan? Kota saja adalah realitas kota.
menghadirkan kemajuan, yang termanifestasikan Hutan, sebagai bagian dari “alam”,
dalam teknologi dan kecepatan—yang mungkin sudah pasti menempati posisi yang sama
mengingatkan kita pada futurismo Italia yang resesifnya—untuk tidak menyebut tragis.
gagal itu. Kota juga menghadirkan perpindahan Sebagaimana halnya orang-orang yang
dan pergerakan yang intens, dengan segala tinggal di kota menyadari bahwa “alam” itu ada
kerumitan dan masalah yang menyertainya. namun bisa diabaikan, begitu-pulalah agaknya
Berada dan tinggal di kota, adalah sebuah cara mereka memandang hutan. Kenyataan
aktivitas aktif, bukan pasif. Seseorang menjalani bahwa hutan ada tak mungkin bisa dipungkiri,
hidup di kota sederhananya adalah untuk kendatipun mereka tak melihatnya, kendatipun
bekerja, bukan untuk berleha-leha. mereka tak merasa benar-benar bersentuhan
Dengan hal-hal yang telah disebutkan dengannya. Namun justru karena dua hal ini—
itu, kota tak membiarkan orang-orang yang karena mereka tak melihatnya dan merasa tak
hidup di dalamnya mengalami “jeda”, yang bersentuhan dengannya, hutan di mata mereka
dengan itu mereka bisa sedikit merasakan apa dengan sendirinya menjadi mitos, fiksi, atau
itu “alam”. Kota, dengan wujud seperti yang bahkan mimpi. Pada titik kritis dari kondisi ini,
tadi tergambarkan itu, adalah realitas, sesuatu sangat mungkin hutan diposisikan sebagai ruang
yang mau tak mau harus diterima, sedangkan atau media belaka yang di sana mereka bisa
“jeda” dan “alam” adalah fiksi, atau mitos, hal- berelaksasi, menyembuhkan diri, atau menekan
hal yang bisa sepenuhnya diabaikan atau tombol reset; sekadar tempat singgah yang
dianggap tak ada. Dalam seharinya orang- pada akhirnya akan mereka tinggalkan (dan
orang tidur beberapa jam, untuk kemudian lupakan) ketika mereka harus kembali ke realitas
bangun dan bergerak beberapa jam, yang dalam yang menantinya—realitas kota dengan segala
pergerakannya itu mereka tentulah bersentuhan kepenatan yang ada padanya itu. Mengalami
dengan “alam”, seperti menghirup udara, dan bersentuhan dengan hutan, pada akhirnya,
meminum air, menjejak tanah, atau yang lainnya. tak ada bedanya dengan membaca novel,
Tetapi kota, dengan kesibukan dan segala hal mendengarkan musik, atau pergi ke bioskop; hal-
yang ada padanya, seperti membuat orang- hal yang umumnya identik dengan “penghiburan”
orang itu tak menyadarinya. Kebersentuhanan semata. Itu pun, dengan syarat “jeda” untuk
dengan alam itu pada akhirnya jadi sesuatu yang melakukannya itu ada.
berada di bawah permukaan, yang tertekan, Pertanyaannya kemudian: cukupkah hutan
¹ Ardy Kresna Crenata adalah tutor kelas Menulis Fiksi dan kelas Bahasa Jepang di Rumah Belajar. Ia bergiat di Komunitas Wahana Telisik Seni-Sastra.
memang cara pandang kita ini Tapi intinya bukan itu. Yang yang hidup, bisa merespons
benar, melakukan proyeksi- berusaha kita kejar dari cara sikap aktifnya itu, sehingga
proyeksi semacam itu. memandang hutan seperti ini, antara kita dengan hutan
Salah satu wujud adalah timbulnya kesadaran terjadi interaksi, dan akhirnya
nyata dari proyeksi yang dalam diri masyarakat kota komunikasi. Misalnya soal
dilakukan hutan, sebagai akan keberadaan, kegunaan, gangguan-gangguan alam
upayanya mengungkapkan dan kebaikan hutan. Hutan tadi. Kita bisa menafsirkannya
sesuatu kepada kota atau tak lagi dilihat sebagai sesuatu sebagai “hutan telah terusik dan
masyarakat kota, barangkali yang minor atau marginal, ia menyalahkan masyarakat
adalah gangguan alam—untuk melainkan sesuatu yang krusial kota dan akhirnya menghukum
tidak menyebut bencana alam. dan sama pentingnya dengan mereka”, atau “hutan sedang
Misalnya, apabila udara sebuah kota, dengan realitas kota. dalam keadaan tidak baik dan
kota begitu kotor, sementara Lebih jauh dari itu, kita tidak lagi ia meminta bantuan kepada
kota itu sendiri berada tidak jauh melihat hutan sebagai sebuah masyarakat kota sebagai
dari hutan, kita bisa melihatnya “objek” semata, melainkan sekutu terdekat untuk membuat
sebagai sebuah upaya dari juga sebuah “subjek”. Ia keadaannya itu membaik (atau
hutan untuk mengatakan “objek” dalam konteks tertentu bahkan menyembuhkannya)”.
bahwa kondisi mereka sudah (seperti saat kita mengambil Lalu sebagai tindak lanjut
tidak baik, tidak ideal, atau sejumlah pohon di sana untuk dari penafsiran-penafsiran ini,
bahkan memprihatinkan, kita olah kayunya), namun ia masyarakat kota melakukan
sebab ia semestinya berfungsi juga “subjek” dalam konteks sesuatu yang menyenangkan
sebagai semacam filter atau yang lain (seperti saat ia hutan, yang diinginkan hutan,
tameng yang bisa mencegah membiarkan binatang-binatang yang kelak berdampak baik
hal tersebut terjadi. Contoh buas itu menuju kota). Di titik juga bagi mereka. Sebuah
lainnya: kemunculan binatang- ini kita telah memosisikan interaksi telah terjali, antara
binatang buas. Terutama hutan bukan lagi sebagai hutan dengan masyarakat
bagi sebuah kota yang bisa sesuatu yang pasif, melainkan kota, dan berbuah sesuatu
dikatakan bertetangga dengan sesuatu yang aktif. Ia hidup, yang positif. Dan bukankah ini
hutan, kemunculan binatang- ia “bergerak” dan menjalani sesuatu yang baik? Bayangkan
binatang buas di kota tersebut hidup dengan cara-caranya saja sebuah realitas di mana
menunjukkan ada yang tidak sendiri, dan karena itulah kita masyarakat kota memahami
beres dengan hutan itu; mesti memperlakukannya apa yang “dikatakan” hutan
sesuatu yang buruk telah terjadi layaknya kita memperlakukan dan begitu juga sebaliknya.
dengan hutan sehingga habitat sesosok makhluk hidup. Jung Dari interaksi semacam ini, kita
asli binatang-binatang buas itu pun, ketika ia berinteraksi bisa mengharapkan lahirnya
tak cocok lagi mereka tinggali, dengan alam bawah sadarnya, solusi-solusi yang adil, juga
sehingga akhirnya mereka ia melakukannya seolah-olah solutif, bagi kedua belah
memasuki kota dalam rangka alam bawah sadar itu adalah pihak. Barangkali “jeda” yang
mencari habitat ideal baru. sesuatu yang hidup, yang dibutuhkan oleh masyarakat
Masyarakat kota, dalam hal dalam arti tertentu adalah kota tadi akan tersedia
ini, adalah pihak yang dikabari, dirinya sendiri. dengan sendirinya, yang dari
oleh hutan. Yang menarik kemudian sana mereka kemudian bisa
Tentu saja apa yang dari cara pandang ini adalah: memahami apa-apa saja yang
kita kemukakan barusan dengan melihat hutan sebagai bisa dilakukan untuk membuat
perlu dibuktikan terlebih sesuatu yang hidup, di mana kehidupan terasa lebih baik,
dahulu secara ilmiah, sebab ia berusaha mengemukakan tanpa harus mengorbankan
jangan-jangan kita hanya asal sesuatu kepada kita, maka hutan.(*)
menghubung-hubungkan saja. kita, juga sebagai sesuatu Baranangsiang, 5-6 April 2016
Membebaskan
Perempuan,
Melestarikan Bumi
Oleh: Amalya R.O. (FWI)
Dua penggal kalimat pangan. Istilah “kasur, dapur,
yang dicuplik dari novel Nukila sumur” tepat dalam hal ini.
"Karena lelaki adalah Amal—Cala Ibi—, bila ditafsir, Budaya patriarki ini yang
laut adalah perahu, sepertinya memang masih kemudian mendorong
yang melindungi menjadi panutan pandangan perempuan-perempuan di
pulau. Sedang kelompok konservatif terhadap berbagai daerah memenuhi
peran laki-laki dan perempuan “perannya”. Bagi perempuan
perempuan adalah dalam kehidupan rumah Mentawai yang telah “dibeli”
gunung, yang tangga, dalam bermasyarakat. oleh suaminya, dituntut
membenahi pulau." Indonesia, dan banyak negara menjadi pekerja di rumahnya
lain di dunia, seperti Afrika sendiri. Budaya ini juga yang
(Nukila Amal)
dan negara-negara di Timur menggiring perempuan-
Tengah, masih menganut perempuan di Bali untuk
budaya patriarki, di mana laki- mengabdi pada suami—dalam
laki menjadi pemimpin dalam bentuk menangani segala jenis
rumah tangga. Pemimpin pekerjaan rumah dan harus
rumah tangga, bila kita menurut menahan segala kelakuan
pada stereotip, maka adalah suami, sebejat-bejatnya—
seseorang yang menafkahi, misal yang diceritakan Oka
yang mengambil keputusan Rusmini dalam kumpulan
dan yang harus diikuti dalam cerpennya, Akar Pule. Budaya
keluarga. Sementara letak yang masih dianut dan diamini
perempuan terdapat dalam oleh masyarakat di Indonesia.
ranah-ranah domestik. Secara sadar atau tidak sadar,
Ranah domestik masyarakat masih memiliki
yang dimaksud di sini adalah stereotip tentang kuasa laki-laki
melayani suami, mengasuh dalam sebuah rumah tangga
anak, memasak, mengurus lebih tinggi dari perempuan.
rumah, mengurus keuangan, Sulitnya lepas dari
serta memastikan terpenuhinya stereotip tersebut adalah
kebutuhan sandang dan hal yang wajar, walau pun
mempertahankan stereotip tersebut sama sekali tambahan menjadi sulit dilakukan. Dengan
bukan hal yang baik. Menurut saya pribadi, seringnya berkutat dalam ranah domestik,
stereotip tersebut tidak lahir dari sejarah yang perempuan meletakkan perhatian yang lebih
singkat. Sejak zaman prasejarah, pembagian pada elemen-elemen bumi (udara, air, api, tanah),
tugas juga sudah dilakukan antara laki-laki dan untuk dapat bertahan hidup dan membesarkan
perempuan. Di saat laki-laki berburu, maka anak-anak. Terjadinya perubahan ke arah yang
perempuan bertugas mengasuh anak, mencari lebih buruk pada lingkungan, seminimal apa pun,
makanan berupa buah dan sayur yang dapat menjadi perhatian serius bagi perempuan. Dapat
dimakan dari hutan, dan meramu makanan baik dikatakan, pada posisinya, perempuan lebih
dari hasil temuan maupun buruan. Bisa jadi, peka terhadap lingkungan.
ini adalah awal pembentukan budaya patriarki. Beranjak dari hal ini, sebenarnya
Dalam pembentukannya, perempuan dianggap perempuan pengasuh anak (tanpa menafikan
memiliki sifat peduli, simpati dan merawat. Sifat- perempuan lain yang memutuskan atau dalam
sifat ini biasa diasosiasikan dengan feminin keadaan tidak memiliki anak, karena anak-
tradisional. Bahwa sifat-sifat ini disebut feminin anak di sekitar kita juga menjadi tanggung
tradisional, adalah hanya karena anggapan jawab kita sebagai orang dewasa) memiliki
kelompok konservatif. peran yang besar dalam menjaga lingkungan,
Keberadaan stereotip ini memaksa karena kepekaannya terhadap elemen-elemen
perempuan dan laki-laki, terutama perempuan, tadi. Setiap ibu dapat mendidik anaknya untuk
tetap pada bingkai tersebut. Perempuan di peka terhadap lingkungan. Tidak hanya anak
ranah domestik, dan laki-laki di ranah publik. perempuan, tapi juga kepada anak laki-laki.
Ketika perempuan berusaha memasuki ranah Sehingga mereka dapat tumbuh menjadi sosok
publik, maka akan muncul banyak tantangan yang peka terhadap lingkungan. Selama ini,
baik dari keluarga maupun masyarakat umum pendidikan Indonesia masih kurang mengajarkan
yang sebenarnya tidak punya hak. Hal tersebut kepekaan terhadap lingkungan sehingga masih
berlaku juga sebaliknya, kepada laki-laki. memungkinkan adanya anak-anak yang tidak
Perjuangan untuk mendapatkan tahu dimana nasi dari piring mereka berasal
kesetaraan dan keadilan gender dalam atau air yang mereka minum, karena selama ini
kehidupan berumah tangga dan bermasyarakat menganggap semuanya keluar dari pabrik.
memang masih terus diperjuangkan. Namun Tokoh-tokoh pejuang lingkungan lain,
selama perjuangan itu berlanjut, kita tidak boleh yang berasal dari masyarakat adat, seperti
menafikan keberadaan perempuan-perempuan Mama Aleta dari Suku Mollo, Gunarti dari Samin,
yang karena kostruksi sosial budaya harus lebih dan Eva Bande Si pembela petani, menunjukkan
banyak berkreasi di ranah domestik. Sebagian perempuan punya dan bisa mengambil peran
kelompok masyarakat adat, tidak semuanya, penting untuk kelestarian lingkungan. Secara
ada dalam konstruksi budaya patriarki. Mereka rumit, lingkungan, terutama hutan, berhubungan
lebih banyak disibukkan dengan tugas-tugas di dengan keadaan rumah tangga para perempuan,
ranah domestik. sehingga kemudian tokoh-tokoh tadi merasa
Seperti dikatakan oleh Wangari Maathai, perlu turun ke jalan untuk memperjuangkannya.
perempuan aktivis lingkungan yang menginisiasi Realistis, karena melihat masih tidak lepasnya
Gerakan Sabuk Hijau, dalam bukunya yang peran perempuan di ranah domestik, pada
berjudul Gerakan Sabuk Hijau, bahwa perempuan tatanan masyarakat adat.
adat di Kenya lebih banyak mengurusi kegiatan di Namun peran yang besar bagi
ranah domestik, terutama dalam hal mencukupi perempuan dalam ranah domestik, tidak
pangan dari hutan. Hal inilah yang kemudian menutup kemungkinan peran perempuan dalam
menjadi masalah, ketika hutan mulai hilang, kelestarian lingkungan di luar ranah tersebut.
maka mencari makanan dan sumber pendapatan Semisal kasus yang baru-baru ini terjadi
ANGIN SEGAR
DARI CANGUK
Oleh: Fachrudin Surahmat¹
¹ Penulis adalah peneliti kehidupan satwa liar di Wildlife Conservation Society. Saat ini, penulis bertugas di Lampung.
Siamang, satu di antara jenis primata yang bisa kita jumpai di areal SPWC.
Foto Kredit : Laji Utoyo/WCS-IP
Dengan penuh antusias Laji memapar- berbunga dan berbuah berbagai jenis pohon.
kan berbagai kegiatan penelitian yang dilakukan Sementara untuk program regenerasi hutan
di SPWC. Kegiatan pengambilan data perkem- pasca kebakaran rutin dilaksanakan tiap tahun
bangan pohon dan regenerasi hutan pasca ke- untuk melihat laju pertumbuhan dan jenis-jenis
bakaran, merupakan topik pembicaraan yang tumbuhan yang berkembang. Kegiatan ini
banyak dipaparkan oleh Laji. Kedua kegiatan ini dilakukan dengan mengamati jenis-jenis pohon
rutin dilakukan setiap tahunnya oleh SPWC sejak yang baru tumbuh, tinggi dan diameter pohon
tahun 1998 sampai sekarang. Data yang dicatat yang masih hidup. Pengamatan laju regenerasi
secara rutin ini memberikan informasi dan gam- hutan pasca kebakaran dilakukan pada petak
baran mengenai periode waktu yang dibutuhkan permanen yang berukuran 10 X 10 meter
setiap pohon untuk berkembang dan seberapa dengan total plot yang terdapat di areal SPWC
cepat perkembangan tersebut setiap tahunnya. sebanyak 40 buah. “Kegiatan tersebut tetap
Pengambilan data perkembangan pohon dilakukan sampai saat ini, sekitar 60 persen dari
dilakukan dengan mengamati kemunculan areal kebakaran tampak beberapa areal bekas
bunga, buah dan daun baru. Melalaui data kebakaran sudah kembali rimbun,” tambah Laji.
ini kita bisa mengetahui perkiraan waktu Ini berarti, memulihkan 60 persen kawasan
Kegiatan pengambilan data pertumbuhan pohon yang rutin dilakukan oleh SPWC
Foto Kredit : Surahmat/WCS-IP
Dua tangan dengan gurat otot itu kecintaan laki-laki itu pada lahan tak bisa begitu
menggenggam panjang selang air. Diikuti gerakan saja ditanggalkan. Ia tetap saja mengayun
ke segala arah, air dari selang membasahi lahan cangkul meski, sebetulnya penghasilan dari
yang luasnya kira-kira setengah lapangan bola. beternak domba sudah cukup.
Sebuah petak di Desa Sarongge, Kecamatan ***
Pacet, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat. Kala itu Yang saya ceritakan tadi namanya Emi.
musim kemarau, petani harus rajin menyiram Ini pertemuan kedua saya dengan Pak Emi—
lahan kalau tak mau hasil panennya buruk. begitu saya biasa menyapanya. Ia sedang berdiri
Tiba-tiba saya membayangkan tokoh di tengah lahan garapan. Tak seperti sepuluh
Santiago dalam novel The Old Man and The Sea tahun silam, kini ia mengolah lahan milik orang.
karya Ernest Hemingway. Santiago, nelayan tua Sedang lahan miliknya, sudah ditinggalkan
yang masih berkeras melaut, mencari ikan. sekitar tiga tahun lalu.
Kini saya seperti melihatnya lekat-lekat. Geraknya masih saja gesit ketika mulai
Namun bukan di tengah arus Teluk Meksiko, ini menggemburkan tanah.
kali di tengah lahan yang sekelilingnya ditumbuhi Saat saya bertanya berapakah usianya
sayuran. Kaos putihnya belepotan tanah, kini, bapak tiga anak itu terdiam lama. Rupanya
menutupi seluruh lengan hingga pergelangan ia tak pernah menghitung usia. Yang melekat
tangan. Celana panjangnya dilipat hingga di hanyalah, hampir separuh hidupnya diabdikan
bawah lutut, sementara topi ia kenakan untuk untuk kebun sayur-mayur.
melindungi kepala dari terik matahari. Namun kini sudah tidak lagi.
Sebagaimana Santiago pada laut, Perubahan itu berawal dari kemunculan
program adopsi pohon. Pada awal 2012, pria penghidupan. Namun masa itu telah lewat.
asal Kampung Baros, Cigombong, Kabupaten “Sekarang senang bapak ngurus domba.
Bogor, Jawa Barat yang kemudian menetap di Senang begitu, mau bagaimana juga. Hujan
Kampung Sarongge itu harus rela meninggalkan mau bagaimana juga itu nggak jadi soal, yang
10 petak kebun garapannya. Malang—atau penting domba makan. Biar hujan-hujan bapak
malah untung—lahan garapan seluas 4000 juga tetap nyari rumput,” kata Emi berapi-api.
meter persegi itu masuk kawasan program Saking cintanya, pernah saat tiba
adopsi. Sebuah rencana menghijaukan kembali musim hujan dan petir menggelegar, Emi tetap
kawasan konservasi di Taman Nasional Gunung merumput. Kondisi ngeri itu tak menyurutkan
Gede Pangrango (TNGGP). niat mencarikan pakan untuk ternaknya. “Ada
Emi, harus merelakan tanah yang setiap petir dan hujan besar mah hayuk aja, cari rumput
hari ia rawat sebagai kebun sayur mayur itu sampai dapat. Belum dapat cukup, meski hujan
kembali dihutankan. “Ya diminta sama taman besar mah terus saja,” kata Emi.
nasional, kan itu mau diasrikan lagi katanya, Ketekunan dan kegigihannya mencoba, berbuah
dibuat hutan lindung. Ya mau nggak mau saya hasil ternak yang tak hanya gemuk tapi juga
turun, biar semua selamat sampai anak cucu,” sehat.
kenang Emi pasrah. Dari mulut ke mulut, bandar domba kerap
Tapi rupanya kehilangan itu cepat beroleh mendatangi kandang ternak yang terletak persis
ganti. Emi kemudian dipertemukan dengan di samping rumah Emi. Orang-orang juga kerap
domba. Dari situ, perjalanan keduanya dimulai. gumun, mengapa setiap domba yang mendapat
Saat itu Presiden Susilo Bambang sentuhan tangan Emi menjadi sehat dan gemuk.
Yudhoyono memberikan bantuan untuk tiap “Banyak yang tanya: kumaha mang… domba
petani yang bersedia turun gunung. Turun ini dulunya jelek dari saya, sekarang jadi gemuk
gunung artinya, turun dari kawasan konservasi besar begini?”.
TNGGP. Sejak 1970, puluhan petani berkebun Ia hanya menjawab dengan senyuman.
di kawasan tersebut. Akibatnya, lahan yang ***
seharusnya ditumbuhi pepohonan, dibabat Kini, istri dan anak-anaknya menikmati
menjadi petak-petak garapan. Pak Emi, satu dari jerih payah sang bapak. Pria ini memang tak
puluhan Petani Sarongge yang bersedia turun. pernah ingat kapan dia lahir, tapi ia selalu ingat
Memulai kehidupan baru. Duit bantuan kampung yang kini ditinggalinya itu harus terus
tersebut ia gunakan untuk membikin kandang asri hingga anak cucunya kelak. Itu sebab,
dan membeli domba betina. “Nggak tahu kenapa dulu ia tinggalkan berpetak-petak kebun sayur
setelah turun dulu, Bapak memilih domba. sumber penghidupannya, dan mencoba beralih
Karena bapak senang saja itu. Sudah nasib saya menjadi peternak domba. Sampai kini, ia betul-
berjodoh dengan domba,” kenangnya. betul jatuh cinta kepada hewan ternaknya itu.
Dan benar saja, penghasilan Emi dari Seorang bekas Kepala Taman Nasional
beternak domba boleh dibilang moncer. “Dari Gunung Gede Pangrango (TNGGP) pernah
mulai pas di Kampung Baros, mulai dari nggak berkeluh, sulitnya penyelesaian konflik di
punya apa-apa, nggak punya tanah. Dari ngurus kawasan konservasi taman nasional. Di banyak
domba bisa beli rumah, rumah anak-anak, tanah daerah, persoalan penggarapan dan perambahan
sampai kandang itu hasil beternak domba. kerap diikuti konflik dengan masyarakat. Pak
Sampai mencukupi kebutuhan tiga anak. Lalu Emi, barangkali bisa jadi oase atau teladan—jika
bikin rumah juga buat anak tahun kemarin,” tak berlebihan—di tengah rimbun konflik yang
cerita Emi. menunggu untuk dirampungkan.
Ia tak pernah lupa, keputusan untuk Tapi tentu, Emi saja tak cukup. Sebab
turun gunung dan, beralih ke mata pencaharian tanpa pendampingan yang setia, baik itu dari
baru adalah pilihan berat. Sebab sebelumnya, pemerintah maupun non-pemerintah, mustahil
kebun sayur menjadi satu-satunya sumber terlahir Emi-emi yang lain di berbagai daerah.
Merawat "Warisan"
yang tersisa
di Tanah Jawa Oleh: Via Mardiana
P
ernah berpikir bagaimana jika suatu merasa diri tidak perlu memperhatikan
hari nanti tinggal beberapa pohon yang lingkungan karena masih banyak aktivis
tumbuh di bumi ini? Bumi akan panas, lingkungan hidup yang mati-matian menjaga
gersang, kering. Air akan menjadi barang hutan. Merasa diri tidak perlu turun tangan
berharga yang diperebutkan. Mereka yang dalam rangka reboisasi hutan karena
kaya bisa membeli, mereka yang miskin sudah banyak relawan yang terjun untuk
hanya tinggal menunggu kematian karena melakukannya. Pun yang paling memilukan
dehidrasi. Lalu, bagaimana pula jika suatu adalah merasa diri tidak harus peduli
hari nanti pohon benar-benar tidak ada di karena kita tidak melakukan penebangan
bumi ini? atau perusakan hutan dibumi. Padahal dari
Bagi kita, mungkin tidak akan perasaan tidak peduli tersebut berimbas
merasakannya. Tetapi anak cucu kita kelak pada penanganan terhadap perusakan
akan tahu bahwa mereka mempunyai orang yang kini telah terjadi. Jika hanya sebagian
tua yang tidak pandai merawat bumi. Mereka kecil saja yang sadar tentang kerusakan
akan mengecap kita sebagai generasi yang yang terjadi, bagaimana hutan yang tersisa
tidak tahu diri, generasi yang menyisakan ini bakal terjaga?.
warisan kehidupan yang pilu dimana bumi Cikal bakal dari rasa tidak peduli
sudah semakin kering dan kehidupan kita yakni kehancuran hutan itu sendiri.
berada dimasa yang sangat buruk. Acapkali Kita barangkali tinggal menunggu saja,
kita merasa tidak punya andil dalam Indonesia akan menjadi negara yang
perusakan hutan yang terjadi, kita berpikir gersang dan kering tanpa hutan. Kalimantan
bahwa yang harus bertanggung jawab yang dulu asri dengan hutan rimba yang
terhadap perusakan hutan yang terjadi disebut sebagai zamrud khatulistiwa,
adalah perusahaan-perusahaan besar yang menjadi primadona yang menawan dan
melakukan penebangan pohon di hutan. menarik perhatian dunia kini hanya menjadi
Kadang kita juga merasa pemerintahlah seonggok pulau yang menunggu untuk
yang dianggap paling bersalah karena tidak dihabiskan hutannya oleh orang-orang yang
dapat memberikan efek jera bagi pelaku tidak peduli terhadap keberlangsungan
penebangan pohon. Tetapi sebenarnya, kita kehidupan di bumi. Bagaimana bisa ada
pun ikut serta dalam memuluskan rusaknya terjadi banjir di Kalimantan, Sumatera,
hutan dibumi ini. Papua dan Sulawesi padahal keempat
Rasa acuh yang berkepanjangan, pulau tersebut mempunyai kawasan hutan
mengalami penurunan karena hilangnya habitat tersisa haruslah kita jaga. Selain menunjang
mereka. keberlangsungan hidup makhluk di dalamnya
Dewasa ini banyak fauna yang pun juga menopang kehidupan kita sebagai
dinyatakan menurun populasinya karena hutan manusia yang tidak bisa terlepas dari hutan.
yang berfungsi sebagai tempat tinggal semakin Tentu, ajakan untuk menjaga hutan sudah gencar
sedikit. Terkadang manusia hanya memikirkan dilakukan, Namun, ketika kesadaran manusia
keberlangsungan kehidupan tanpa memikirkan sebagai subjek pertama yang berhubungan
makhluk lain yang juga sangat membutuhkan langsung dengan lingkungan tidak mengerti
keberadaan hutan yang asri yang dapat maka slogan-slogan menjaga hutan pun akan
menunjang kehidupannya. menjadi celotehan semata.
Sudah jelaskan bagaimana kerugian yang Bukan hal baru kampanye-kampanye
terjadi ketika pohon-pohon populasinya semakin lingkungan dilakukan oleh banyak aktivis
berkurang? Banyaknya hal merugikan yang lingkungan di Indonesia, tetapi efek yang
dapat disebabkan oleh hilangnya keberadaan ditimbulkan belum juga merambah kesadaran
hutan khususnya di pulau Jawa seharusnya seluruh manusia yang hidup di Indonesia
dapat menjadi bahan pemikiran setiap manusia khususnya di pulau Jawa. Jika kesadaran
yang ada. Setelah dipikirkan setiap manusia masyarakat mengenai keberadaan hutan yang
yang ada harus mempunyai ide brilian setidaknya makin sedikit luasnya sudah tidak ada, bukan
untuk menjaga satu pohon yang tersisa di bumi tidak mungkin hutan dan pohon-pohon yang
ini khususnya di pulau Jawa. tersisa benar-benar akan hilang. Ketika hal
Kesadaran dan aksi yang nyata jauh itu terjadi bukankah biasanya manusia baru
lebih penting dari sekadar retorika-retorika akan menyesal? Padahal kesempatan untuk
tentang ‘savehutanIndonesia’. Karena berpikir menjaga sudah ada semenjak kerusakan-
saja tentu tidak cukup tanpa aksi nyata dalam kerusakan lingkungan ini terjadi. Tidak ada lagi
rangka reboisasi ataupun pemulihan kawasan tawar-menawar atau pertanyaan siapakah yang
hutan yang sekarang banyak dibakar untuk lebih berhak untuk merawat dan menjaga hutan
dijadikan lahan perkebunan perusahaan- yang tersisa, karena semua dari kita manusia
perusahaan kelapa sawit. Perlu dicamkan yang hidup di bumi khususnya di pulau Jawa
dalam hati kita bahwa efek yang ditimbulkan mempunyai kewajiban yang sama untuk merawat
dapat mempengaruhi berbagai sendi kehidupan yang tersisa.
terlebih mengenai eksistensi manusia itu sendiri. Kita memang tidak akan bisa
Selain kesadaran dalam setiap manusia untuk mengembalikan hijaunya hutan seperti
menjaga hutan, peran pemerintah daerah ratusan tahun yang lalu, tapi kita masih bisa
maupun pemerintah pusat tentu harus dapat untuk menjaga dan merawat yang masih ada.
membuat undang-undang hukuman yang Bagaimana pun juga, anak cucu kita mempunyai
membuat efek jera bagi para pelaku perusakan hak untuk mendapatkan kehidupan di bumi yang
hutan. Bagaimanapun sikap pemerintah baik, sehingga mutlak bagi kita yang hidup di
yang tegas terhadap pelaku perusakan hutan era sekarang untuk menjaga hutan. Siapa pun
sangat dinanti oleh masyarakat, jangan sampai ia yang lahir dari keluarga yang kaya, ataupun
pemerintah malah memuluskan niat para pelaku miskin, pun aktivis lingkungan ataupun bukan
yang sengaja melakukan perusakan tanpa memang harus menjaga hutan. Dan tidak pernah
memperhatikan efek yang ditimbulkan dari apa ada kata terlambat untuk memulai merawat,
yang telah dilakukannya. Mau tidak mau, mutlak meski yang dirawat hanyalah sebagian kecil dari
pemerintah harus memberikan ketegasan dan yang tersisa akibat rakusnya manusia. Siapa pun
hukuman yang setimpal bagi para perusak hutan kita, kita punya kewajiban untuk menjaga hutan
di Indonesia tanpa kecuali. yang masih ada. Entah itu berapa puluh pohon
Oleh karena itu, barangkali hanya yang tersisa.
sebagian kecil saja hutan pulau Jawa yang masih
KEBIJAKAN KEHUTANAN
DALAM PERSPEKTIF
PENGELOLAAN DAS