Anda di halaman 1dari 27

MAKALAH

PERKEMBANGAN PESERTA DIDIK

OLEH:

ANDI NURUL PAJRIANTI

220902501016

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AKUNTANSI

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR

2022
KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah senantiasa kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, sehingga saya dapat
menyelesaikan makalah ini untuk memenuhi tugas mata kuliah Perkembangan Peserta Didik.

Saya menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna dikarenakan terbatasnya pengalaman dan pengetahuan
yang saya miliki. Oleh karena itu, saya mengharapkan segala bentuk saran serta masukan bahkan kritik yang membangun dari berbagai
pihak. Saya berharap semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi perkembangan dunia pendidikan.

Makassar, November 2022

Andi Nurul Pajrianti

2
Daftar Isi
KATA PENGANTAR .............................................................................................................................. 2

BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................................................... 4

A. Latar belakang ............................................................................................................................. 4

B. Rumusan masalah ............................................................................................................... 4

C. Tujuan ........................................................................................................................... 4

BAB II PEMBAHASAN ............................................................................................................................ 5

A. Perkembangan Sosial ............................................................................................................ 5

1. Pengertian Sosial ........................................................................................................... 5

2. Perkembangan Sosial ......................................................................................................... 5

3. Permasalahan Sosial dan Emosional pada Anak Usia Dini ........................................................................... 7

4. Pengertian Moral, Sikap dan Nilai ..................................................................................................... 10

B. Kesadaran Beragama ........................................................................................................... 13

Latar Belakang Manusia Memerlukan Agama ........................................................................................... 14

C. HUBUNGAN ANTARA ASPEK PERKEMBANGAN SISWA DENGAN PEMBELAJARAN...................................................................................... 15

1. Hubungan Perkembangan Intelektual dengan Pembelajaran ..................................................................... 15

2. Hubungan Perkembangan Bahasa dengan Pembelajaran.......................................................................... 16

3. Hubungan Perkembangan Emosi dengan pembelajaran ........................................................................... 16

4. Hubungan Perkembangan Sosial dengan Pembelajaran ........................................................................... 17

5. Hubungan Perkembangan Kesadaran Beragama dengan Pembelajaran ........................................................................................ 17

6. Hubungan Perkembangan Fisik (Motorik) dengan pembelajaran ................................................................. 17

BAB III PENUTUP ............................................................................................................................... 18

A. Kesimpulan............................................................................................................ 18

B. Saran .............................................................................................................. 18

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................................. 19

3
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Setiap anak yang lahir ke dunia, sangat rentan dengan berbagai masalah. Masalah yang dihadapi anak, terutama anak usia dini, biasanya berkaitan
proses perkembangannya. Pada fase perkembangan berikutnya yaitu fase perkembangan anak sekolah. Pada gilirannya, gangguan tersebut dapat
menghambat proses perkembangan anak yang optimal.
Kesadaran beragama adalah keadaan tahu dan mengerti seseorag hamba terhadap penciptanya sehingga keberadaan Tuhannya
tercipta di dalam dirinya yang dengan keadan tersebut ia melaksanakan segala perintah. Tuhannya dan menjauhi-Nya tanpa adanya unsur keterpaksaan.
Kesadaran beragama merupakan hasil proses mengenai motivasi yang berpengaruh terhadap penilaian, keputusan dan interaksi orang lain. Pengalaman
beragama terjadi dalam keinginan seseorang manusia untuk menyembah tuhan dan untuk berdoa walaupun pengalaman tersebut tidak terbatas dalam
waktu- waktu tertentu, misalnya berdoa, waktu shalat, dan sebagainya.

B. Rumusan masalah

1. Apa sajakah Permasalahan Sosial yang sering terjadi pada anak usia dini?

2. Apa sajakah yang perlu diketahui tentang Kesadaran Agama?

3. Apa sajakah Hubungan antara Aspek Perkembangan Siswa dengan Pembelajaran ?

C. Tujuan

1. Untuk mengetahui permasalah sosial yang terjadi pada anak usia dini

2. Untuk mengetahui mengetahui tentang Kesadaram

3. Untuk mengetahui Hubungan antara Aspek Perkembangan Siswa dengan Pembelajaran

4
BAB II
PEMBAHASAN

A. Perkembangan Sosial

1. Pengertian Sosial

Menurut Plato (Nugraha, 2005:1-13) secara potensial (fitrah) manusia dilahirkan sebagai makhluk sosial (zoon politicon). Syamsuddin
(1995:105) mengungkapkan bahwa “sosialisasi adalah proses belajar untuk menjadi makhluk sosial”, sedangkan menurut Loree (Nugraha, 1970 : 86) “sosialisasi
merupakan suatu proses dimana individu (terutama) anak melatih kepekaan dirinya terhadap rangsangan-rangsangan sosial terutama tekanan-tekanan
dan tuntutan kehidupan (kelompoknya) serta belajar bergaul dengan dengan bertingkah laku, seperti orang lain di dalam lingkungan sosialnya.

Muhibin (1999:35) mengatakan bahwa perkembangan sosial merupakan proses pembentukan social self (pribadi dalam masyarakat), yakni
pribadi dalam keluarga, budaya, bangsa dan seterusnya. Adapun Harlock (1978 : 250) mengutarakan bahwa perkembangan sosial merupakan
pemerolehan kemampuan berperilaku yang sesuai dengan tuntutan sosial.
Jadi dapat disimpulkan bahwa perkembangan sosial adalah kemampuan seseorang dalam berperilaku di dalam lingkungan sekitarnya
(masyarakat) yang sesuai dengan tuntutan sosial (norma, nilai atau harapan sosial). Sumber : (Nugraha, 2005 : 1.13)

2. Perkembangan Sosial

a. Perkembangan Pemahaman Diri

Pemahaman diri mencakup berbagai hal, seperti kesadaran diri (self-awareness), pengenalan diri (self-recognition), konsep diri (self-concept),
dan harga diri (self-esteem). Konsep diri merupakan gambaran menyeluruh tentang atribut, kemampuan, sikap, dan nilai-nilai yang dimiliki individu, yang
diyakini olehnya memberikan gambaran tentang siapa dirinya.
Harga diri merupakan bagian dari konsep diri yang berisi penilaian seseorang tentang seberapa bernilai dirinya

b. Perkembangan Hubungan Sosial

Pada masa kanak-kanak awal, hubungan sosial dengan teman sebayanya menjadi meningkat, terutama dalam konteks bermain. Dalam
5
pengamatannya terhadap perilaku anak usia 2-5 tahun, Parten (2014 : 4.43) mengidentifikasi enam kategori perilaku anak di masa kanak-kanak dalam bermain
sosial dan non sosial. Berikut penjelasannya:

6
1) Unoccupied Behavior

Anak tidak tampak sedang bermain, hanya mengamati hal-hal yang menarik minatnya.

2) Onlooker Behavior

Anak menghabiskan waktunya dengan mengamati anak lain bermain. Anak berbicara, bertanya, atau membuat usulan tetapi tidak ikut bermain.
Anak secara jelas mengamati kelompok anak lain dan bukannya melakukan sesuatu yang menarik minatnya.
3) Solitary Independent Play

Anak bermain sendiri dengan mainan yang berbeda dari mainan yang dimainkan oleh anak-anak yang ada di dekatnya dan tidak melakukan
usaha apapun untuk mendekati anak lain yang sedang bermain di dekatnya.
4) Parallel Play

Anak bermain di antara anak-anak lain dengan mainan yang sama seperti yang dimainkan oleh anak lain, tetapi mereka bermain sendiri-
sendiri dan tidak harus dalam cara yang sama. Setiap anak tidak berupaya untuk mempengaruhi kegiatan bermain anak lain.
5) Associative Play

Anak bermain dengan anak lain, saling berbicara tentang apa yang dimainkan, saling meminjam mainan, mengikuti satu sama lain, dan
berusaha untuk mengontrol siapa yang boleh bermain di dalam kelompok.
6) Cooperative Play

Anak dalam bermain dalam kelompok yang terorganisasi untuk sejumlah tujuan, untuk membuat sesuatu, memainkan permainan yang lebih
formal, atau melakoni suatu situasi.
c. Perkembangan Kemampuan Mengarahkan Diri (Self-Regulation)

Self-Regulation merupakan kemampuan anak untuk mengarahkan perilakunya sendiri tanpa diingatkan oleh orang tua atau orang lain. Dalam
hal ini, anak mampu mengarahkan tindakannya untuk mematuhi aturan sosial. Sebagai contoh, anak dapat mengikuti kegiatan di dalam kelas tanpa harus
diingatkan oleh guru. Beberapa anak mencapai kemampuan mengarahkan diri pada usia 4-5 tahun. Namun, ada pula anak yang tetap bergantung pada
orang dewasa untuk mengontrol perilakunya agar sejalan dengan aturan yang diberikan.

7
d. Perkembangan Perilaku Sosial

Terdapat sejumlah bentuk perilaku sosial diantaranya adalah :

1. Perkembangan Perilaku Prososial

Perilaku prososial merupakan perilaku yang disengaja dengan maksud memberi keuntungan kepada orang lain. Tingkah laku prososial mencakup
perilaku-perilaku, seperti berbagi dan bekerja sama dengan orang lain, menolong dan peduli terhadap orang lain, serta bersimpati dan memberi rasa
nyaman pada orang yang tertekan.
2. Perkembangan Empati

Empati merupakan kemampuan untuk menempatkan diri dalam posisi orang lain dan merasakan apa yang orang lain rasakan dalam situasi tertentu.

3. Permasalahan Sosial dan Emosional pada Anak Usia Dini

Menurut Undang-Undang bagi Pendidikan Individu Penyandang cacat (IDEA) bahwa gangguan sosial emosi yaitu ketidak mampuan atau mengatur
hubungan interpersonal yang memuaskan dengan teman sebaya dan guru.
Rolf, Edelbrock dan Strauss menemukan bahwa anak-anak dengan masalah perkembangan sosial emosi cenderung memiliki hambatan yang besar dalam
pertemanan, penyesuaian sosial, tingkah laku dan dan akademis apabila dibandingkan dengan kelompok anak yang normal.
1. Permasalahan Perilaku Sosial

Menurut Nugraha (2005:1 ) berikut adalah beberapa permasalahan yang biasa dihadapi oleh anak usia dini diantaranya adalah sebagai berikut:
a. Maladjustment

Individu yang penyesuaian dirinya buruk disebut maladjustment. Anak yang demikian sering disebut sebagai anak yang bermasalah. Ada dua jenis
maladjustment, yaitu sebagai berikut:
1) Anak puas terhadap tingkah lakunya, tetapi lingkungan sosial tidak dapat menerima. Misalnya saja anak bersikap sangat bossy, sok kuasa. Si
anak sendiri tidak merasa ada yang salah pada dirinya, sementara lingkungan tidak bisa menerima itu.
2) Tingkah laku diterima lingkungan sosial, tetapi menimbulkan konflik yang berkepanjangan pada anak misalnya anak berpenampilan sopan, ramah, dan
memiliki segala perilaku yang dapat diterima oleh lingkungan, padahal itu bukan tingkah laku yang sebenarnya ingin ia tampilkan. Anak melakukan
hal itu karena terpaksa (atau bisa juga karena takut).

8
Maladjustment umumnya disebabkan adanya penolakan diri. Anak tidak menyukai dirinya sendiri dan juga orang lain (ketidakpuasan terhadap diri
menularkan ketidakpuasan terhadap lingkungan). Biasanya penolakan diri terjadi karena anak merasa tidak seperti apa yang ia inginkan.
Adapun beberapa ciri yang biasa muncul pada anak bermasalah diantaranya sebagai berikut:

a. Menunjukkan kekhawatiran dan kecemasan yang berlebihan,

b. Sering tampak depresi dan jarang tersenyum atau bercanda,

c. Suka mencuri benda-benda kecil walaupun sering dihukum,

d. Sering tenggelam dalam lamunan, Sering bertengkar dengan anak yang lebih kecil (tempat ia bisa menunjukkankekuasaan),

e. Merasa diperlakukan tidak adil (misalnya dihukum lebih banyak dibanding anak lain),

f. Sangat cemas terhadap penampilan diri, Tidak mampu mengubah tingkah laku yang salah walaupun sering dimarahi atau dihukum,
g. Suka berbohong, Sulit mengambil keputusan,

h. Melawan terhadap setiap bentuk otoritas, Ngompol yang berkelanjutan,

i. Berkata atau mengancam mau bunuh diri, Sering merusak, Membandut untuk menarik perhatian,

j. Menyalahkan orang lain atau mencari alasan bila ditegur, dan Suka mengadu untuk mendapat perhatian orang dewasa.Hal yang paling mendasar
dalam mencegah timbulnya masalah maladjustment adalah usaha meningkatkan pengenalan terhadap diri dan lebih realistik terhadap kemampuan
sendiri. Dalam hal ini dukungan lingkungan sangat berpengaruh
karena usaha perbaikan akan sia-sia, bila lingkungan tetap menuntut sesuatu yang tidak realistis.

b. Egosentrisme

Seseorang dikatakan egosentris bila lebih peduli terhadap dirinya sendiri daripada orang lain. Mereka lebih banyak berpikir dan bicara
mengenai diri sendiri dan aksi mereka semata-mata untuk kepentingan pribadi. Umumnya, anak-anak masih egosentris dalam berpikir dan berbicara. Hal
ini bisa merugikan diri dan sosial jika berkelanjutan. Karena umumnya begitu anak memasuki dunia sekolah, egosentrisme sedikit demi sedikit mulai
berkurang.
Ada tiga hal yang mendasari egosentrisme, yaitu sebagai berikut :

1. Merasa Superior. Karena merasa superior, anak egosentris berharap orang menunggunya, memuji sepak terjangnya, dan diberi peran pimpinan.
9
Mereka menjadi sok berkuasa, tidak peduli terhadap orang lain, tidak mau bekerja sama, dan sibuk bicara mengenai diri sendiri.

10
2. Egosentrisme karena merasa inferior. Individu akan memfokuskan semua permasalahan terhadap diri sendiri karena merasa tidak berharga di
dalam kelompok. Anak yang demikian biasanya mudah dipengaruhi dan selalu mau disuruh orang lain. Karena selalu merasa bahwa andil mereka
dalam kelompok sangat kecil maka sering kali mereka justru diabaikan. Namun, bukan berarti mereka tidak disukai.
3. Egosentrisme karena merasa menjadi korban. Perasaan tidak diperlakukan secara adil membuat mereka marah kepada semua orang. Akibatnya
keinginan mereka untuk ikut andil dalam kelompok sangat kecil dan kelompok cenderung mengabaikan mereka. Apabila mereka menunjukkan
kemarahannya secara agresif maka kelompok akan menolaknya.

c. Anak yang Terisolasi

Isolated child merupakan anak yang terisolasi dari lingkungannya. Ia mengalami masalah penerimaan sosial. Hal ini dapat terjadi karena
sikap dan perilaku anak yang kurang disukai teman-temannya. Atau anak sendiri yang tidak suka melakukan interaksi sosial, dan menjalin hubungan
pertemanan. Untuk mengidentifikasi anak yang mengalami masalah penerimaan sosial, kita dapat melakukan sosiometri untuk menemukan siapakah anak
yang paling disukai dan yang paling tidak disukai. Dengan demikian, guru dapat menemukan anak bermasalah dan perlu membimbingnya.
Adapun kategori penerimaan anak dalam lingkungan sosial sebagai mana yang dikemukakan Hurlock (1978:11.12), adalah sebagai berikut:
1) Star, yaitu anak yang disenangi oleh lingkungan temannya sehingga populer.

2) Accepted, anak yang cukup dapat diterima lingkungan temannya sehingga cukup populer.

3) Climber, yaitu anak yang berusaha untuk diterima oleh lingkungan teman sebayanya dengan mengikutikeinginan/peraturan

lingkungan. Anak di sini selalu takut bila tidak mengikuti akan kehilangan teman.
4) Fringer (pinggiran), yaitu anak seperti golongan climber, tetapi lebih takut tidak diterima.

5) Ineglettee, yaitu anak yang ditolak lingkungan sebab mereka pemalu, menolak atau membuat ulah yang negatif.

6) Isolate, yaitu anak yang terisolasi dari lingkungan teman sebayanya dapat karena tidak ada motivasi dalam diri anak itu untuk bergaul atau anak

tidak menarik bagi lingkungannya.

d. Agresif

Agresif merupakan tingkah laku menyerang baik secara fisik maupun verbal atau baru berupa ancaman yang disebabkan adanya rasa
permusuhan. Tingkah laku ini sering kali muncul sebagai reaksi terhadap frustasi, misalnya karena dilarang melakukan sesuatu. Agresi juga sering timbul
karena tingkah laku agresif yang sebelumnya mengalami penguatan. Hal ini terjadi karena ada beberapa keluarga dimana anak agresif justru dihargai.
11
Selain itu tingkah laku orang tua sering dicontoh oleh anak. Biasanya tingkah laku yang muncul pada anak dapat marah secara verbal maupun menyerang,
temper tantrum, dan merusak.

12
e. Negativisme

Negativisme adalah perlawanan terhadap tekanan dari pihak lain untuk berperilaku tertentu. Perilaku ini biasanya dimulai pada anak usia dua tahun
dan mencapai puncaknya antara usia tiga sampai enam tahun. Ekspresi fisiknya mirip dengan ledakan kemarahan, namun secara bertahap berubah
menjadi penolakan secara lisan untuk menuruti perintah. Masa ini biasa juga disebut sebagai masa “berkata tidak” karena hampir semua hampir semua
permintaan dijawab anak dengan berkata “tidak”. Negativisme ini akan menjadi masalah yang berarti jika orang dewasa kurang memahami kelaziman masa
ini. Masa ini akan berakibat buruk jika orang dewasa memperlakukan anak dengan paksaan, tekanan ataupun menegurnya dengan kata-kata celaan atau
hardikan yang justru akan memperburuk keadaan.

f. Pertengkaran

Pertengkaran merupakan perselisihan pendapat yang mengandung kemarahan. Perilaku ini umumnya dimulai apabila seseorang melakukan
penyerangan terhadap orang lain yang tidak beralasan.
g. Mengejek dan Menggertak

Mengejek merupakan serangan secara lisan terhadap orang lain, sedangkan menggertak merupakan serangan yang bersifat fisik. Dengan
dua perilaku ini si penyerang melampiaskan dendamnya dan menyaksikan ketidakenakan korban akibat perilakunya.
h. Perilaku yang Sok Kuasa

Perilaku sok kuasa adalah perilaku yang berkecenderungan untuk mendominasi orang lain atau menjadi “bos”.

Perilaku ini pada umumnya tidak disukai oleh lingkungan sosial.

i. Prasangka

Menurut Hurlock (1991:1 .13) prasangka ini terbentuk pada masa kanak-kanak tatkala anak melihat adanya perbedaan sikap dan
penampilan di antara mereka, dan perbedaan ini dianggap sebagai tanda kerendahan. Pada perkembangan selanjutnya prasangka muncul karena
individu tidak berpikir positif terhadap kejadian yang dialaminya.

4. Pengertian Moral, Sikap dan Nilai

Moral berasal dari kata latin “mores” yang berarti tata cara, kebiasaan, dan adat. Perilaku sikap moral berarti perilaku yang sesuai dengan kode
moral kelompok sosial, yang dikembangakan oleh konsep moral. Yang dimaksud dengan konsep moral ialah peraturan perilaku yang telah menjadi

13
kebiasaan bagi anggota suatu budaya. Konsep moral inilah yang menentukan pola perilaku yang diharapakan dari seluruh anggota kelompok.

14
Menurut piaget (sinilungan, 1997), hakikat moralitas adalah kecenderungan menerima dan menaati sistem peraturan. Selanjutnya, kohlberg
(gnarsa, 1985) mengemukakan bahwa aspek moral adalah sesuatu yang tidak dibawa dari lahir, tapi sesuatu yang berkembang dan dapat
diperkembangkan/dipelajari. Perkembangan moral merupakan proses internalisas i nilai/norma masyarakat sesuai dengan kematangan dan
kemampuan seseorang dalam menyesuaikan diri terhadap aturan yang berlaku dalam kehidupannya. Jadi, perkembangan moral mencangkup aspek
kognitif yaitu pengetahuan tentang baik/buruk atau benar/salah, dan aspek afektif yaitu sikap perilaku moral itu dipraktekkan. Piaget mengajukan
perkembangan moral, yang digambarkan pada aturan permainan. Menurut beliau hakekat moralitas adalah kecenderungan menerima dan menaati
sistem peraturan.
Ada beberapa masalah dalam penanaman nilai moral pada anak, hal tersebut terkait dengan gangguan-gangguan yang dialami anak selama
tahap pertumbuhannya. Gangguan-gangguan tersebut akan mempengaruhi usaha-usaha penanaman nilai moral pada anak. Gangguan-gangguan tersebut,
yaitu:
1. Gangguan perkembangan pervasif.

Ditandai dengan masalah awal pada tiga area perkembangan utama: perilaku, interaksi sosial, dan komunikasi.

Terdiri dari:

a. Retardasi mental.

Muncul sebelum usia 18 tahun dan dicirikan dengan keterbatasan substandar dalam berfungsi, yang dimanifestasikan dengan fungsi
intelektual secara signifikan berada dibawah rata-rata (mis., IQ dibawah 70) dan keterbatasan terkait dalam dua bidang keterampilan adaptasi atau
lebih.
b. Autisme

Dicirikan dengan gangguan yang nyata dalam interaksi sosial dan komunikasi, serta aktivitas dan minat yang terbatas. Gejala-gejalanya
meliputi kurangnya responsivitas terhadap orang lain, menarik diri dari hubungan sosial, kerusakan yang menonjol dalam komunikasi, dan respon yang
aneh terhadap lingkungan.
c. Gangguan perkembangan spesifik

Dicirikan dengan keterlambatan perkembangan yang mengarah pada kerusakan fungsional pada bidang-bidang, seperti membaca,
aritmetika, bahasa, dan artikulasi verbal.
2. Defisit perhatian dan gangguan perilaku disruptif.
15
a. Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD)

Dicirikan dengan tingkat gangguan perhatian, impulsivitas, dan hiperaktivitas yang tidak sesuai dengan tahap perkembangan.

16
b. Gangguan perilaku

Dicirikan dengan perilaku berulang, disruptif, dan kesengajaan untuk tidak patuh, termasuk melanggar norma dan peraturan sosial. Sebagian
besar anak-anak dengan gangguan ini mengalami penyalahgunaan zat atau gangguan kepribadian antisosial setelah berusia 18 tahun.
c. Gangguan penyimpangan oposisi

Gangguan ini merupakan bentuk gangguan perilaku yang lebih ringan, meliputi perilaku yang kurang ekstrim.

Perilaku dalam gangguan ini tidak melanggar hak-hak orang lain sampai tingkat yang terlihat dalam gangguan perilaku.

3. Gangguan Ansietas

Gangguan ansietas sering terjadi pada masa kanak-kanak atau remaja dan berlanjut ke masa dewasa, biasanya berupa :
a) Gangguan obsesif kompulsif, gangguan ansietas umum, dan fobia banyak terjadi pada anak-anak dan remaja, dengan gejala yang sama dengan

yang terlihat pada orang dewasa.


b) Gangguan ansietas akibat perpisahan adalah gangguan masa kanak-kanak yang ditandai dengan rasa takut berpisah dari orang yang paling dekat

dengannya. Gejala-gejalanya meliputi menolak pergi ke sekolah, keluhan somatik, ansietas berat terhadap perpisahan dan khawatir tentang adanya
bahaya pada orang-orang yang mengasuhnya.
Adapun beberapa pendekatan yang dapat digunakan dalam penanaman nilai moral pada anak, menurut Dwi Siswoyo dkk, (2005:72-81) adalah indoktrinasi,
klarifikasi nilai, teladan atau contoh, dan pembiasaan dalam perilaku.
1. Indoktrinasi

Menurut Kohn (dalam Dwi Siswoyo, 2005:72) menyatakan bahwa untuk membantu anak-anak supaya dapat tumbuh menjadi dewasa, maka
mereka harus ditanamkan nilai-nilai disiplin sejak dini melalui interaksi guru dan siswa. Dalam pendekatan ini guru diasumsikan telah memiliki nilai-nilai
keutamaan yang dengan tegas dan konsisten ditanamkan kepada anak. Aturan mana yang boleh dilakukan dan mana yang tidak boleh dilakukan
disampaiakan secara tegas, terus menerus dan konsisten. Jika anak melanggar maka ia dikenai hukuman, akan tetapi bukan berupa kekerasan.
2. Klarifikasi Nilai

Dalam pendekatan klarifikasi nilai, guru tidak secara langsung menyampaikan kepada anak mengenai benar salah, baik buruk, tetapi siswa
diberi kesempatan untuk menyampaiakan dan menyatakan nilai-nilai dengan caranya sendiri. Anak diajak untuk mengungkapkan mengapa perbuatan ini
benar atau buruk. Dalam pendekatan ini anak diajak untuk mendiskusikan isu-isu moral. (Dwi Siswoyo (2005:76).
17
3. Teladan atau Contoh

Anak-anak mempunyai kemampuan yang menonjol dalam hal meniru. Oleh karena itu seorang guru hendaknya dapat dijadikan teladan atau
contoh dalam bidang moral. Baik kebiasaan baik maupun buruk dari guru akan dengan mu dah dilihat dan kemudian diikuti oleh anak. Figur seorang guru
sangat penting utuk pengembangan moral anak. Artinya nilai-nilai yang tujuannya akan ditanamkan oleh guru kepada anak seyogyanya sudah mendarah
daging terlebih dahulu pada gurunya.
4. Pembiasaan dalam Perilaku

Kurikulum yang terkait dengan penanaman moral, lebih banyak dilakukan melalui pembiasaan-pembiasaan tingkah laku dalam proses
pembelajaran. Ini dapat dilihat misalnya, pada berdoa sebelum dan sesudah belajar, berdoa sebelum makan dan minum, mengucap salam kepada
guru dan teman, merapikan mainan setelah belajar, berbaris sebelum masuk kelas dan sebagainya. Pembiasaan ini hendaknya dilakukan secara
konsisten. Jika anak melanggar segera diberi peringatan.Pendidikan moral tidak hanya terbatas pada lingkungan sekolah oleh guru saja. Ini dapat dilakukan
oleh siapa saja,
kapan saja, dan dimana saja. Tiga lingkungan yang amat kondusif untuk melaksanakan pendidikan ini, yaitu lingkungan keluarga, lingkungan
pendidikan, dan lingkungan masyarakat.

B. Kesadaran Beragama Pengertian

Kesadaran Beragama
Secara bahasa, kesadaran berasal dari kata dasar “sadar” yang mempunyai arti; merasa, tahu dan ingat kepada keadaan yang sebenarnya, ingat
kembali dari pingsan dan sebagainya, bangun tidur, insaf, tahu dan mengerti. Kesadaran berarti; keinsafan, keadaan mengerti, hal yang dirasakan atau
dialami oleh seseorang. Arti kesadaran yang dimaksud adalah keadaan tahu, ingat dan merasa ataupun keinsafan atas dirinya sendiri kepada keadaan
yang sebenarnya. Seseorang yang dalam kesadaran memiliki karakteristik sebagai berikut: Tahu dan mengerti dengan apa yang diucapkan dan yang dilakukan,
bertanggung jawab, sanggup menerima amanah, mengenal dan memahami serta menerima diri dengan berbagai bentuk kelebihan dan kekurangan,
memiliki kesiapan dalam menjalani kehidupan dan mengerti resiko yang akan dihadapi sebagai konsekuensi logis dari tuntutan kehidupan

Kata beragama berasal dari kata dasar “agama”. Agama berarti kepercayaan kepada Tuhan (Dewa dan sebagainya) dengan ajaran kebaktian
dan kewajiban-kewajiban yang bertalian dengan kepercayaan itu. Sedangkan kata beragama berarti menganut (memeluk) agama; beribadat; taat kepada
18
agama baik hidupnya (menurut agama).

19
Menurut Harun Nasution pengertian agama berdasarkan asal kata, yaitu: al-din, religi (relegere, religare) dan agama. Al-din (smit) berarti
undang-undang atau hukum. Kemudian dalam bahasa arab, kata ini mengandung arti menguasai, menundukan, patuh, utang, balasan, dan kebiasaan.
Adapun kata religi (latin) atau relegere berarti mengumpulkan dan membaca. Kata agama terdiri dari; a (tidak) dan gam (pergi), agama mengandung arti
tidak pergi, tetap di tempat atau diwarisi turun-temurun.
Kesadaran beragama menurut Zakiah Darajat ialah, aspek mental dari aktivitas agama. Aspek ini merupakan bagian atau segi agama yang hadir
(terasa) dalam pikiran dan dapat diuji melalui introspeksi. Dengan adanya kesadaran agama dalam diri seseorang yang akan ditunjukan melalui aktivitas
keagamaan, maka munculah pengalaman beragama. Adapun yang dimaksud dengan pengalaman beragama ialah unsur perasaan dalam kesadaran
agama, yaitu perasaan yang membawa kepada keyakinan yang dihasilkan dalam tindakan (amaliah) nyata.
Dari uraian dan pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa, kesadaran beragama adalah keadaan tahu dan mengerti seseorag hamba terhadap
penciptanya sehingga keberadaan Tuhannya tercipta di dalam dirinya yang dengan keadan tersebut ia melaksanakan segala perintah. Tuhannya dan
menjauhi-Nya tanpa adanya unsur keterpaksaan.

Latar Belakang Manusia Memerlukan Agama

Dalam bukunya Prof. Dr. Abudin Nata (Metodologi Study Islam) mengatakan bahwasannya ada tiga alasan yang melatarbelakangi manusia
memerlukan agama adalah sebagai berikut:
a. Latar belakang fitrah manusia

Bukti bahwa manusia sebagai makhluk yang memiliki potensi beragama ini dapat dilihat dari bukti historis dan antropologis. Melalui bukti ini kita
ketahui bahwa pada manusia primitif yang kepadanya tidak pernah datang informasi tentang Tuhan, ternyata mereka mempercayai adanya Tuhan.
Kenyataan bahwa manusia memiliki Fitrah keagamaan tersebut buat pertama kalinya ditegaskan dalam ajaran islam, yakni bahwa agama adalah kebutuhan Fitri
Manusia. Fitrah keagamaan yang ada dalam diri manusia inilah yang melatarbelakangi perlunya manusia pada agama. Firman Allah SWT yang Artinya:
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah, (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu, tidak ada
peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”. (Q.S Ar-Rum :30).

20
b. Kelemahan dan kekurangan manusia

Disamping manusia memiliki berbagai kesempurnaan juga memiliki kekurangan yang melatar belakangi untuk memerlukan agama. Hal ini antara
lain Penjelasan fitrah dalam QS Ar-Rum ayat 30, Fitrah Allah: Maksudnya ciptaan Allah. manusia diciptakan Allah mempunyai naluri beragama Yaitu agama
tauhid. kalau ada manusia tidak beragama tauhid, Maka hal itu tidaklah wajar.

C. HUBUNGAN ANTARA ASPEK PERKEMBANGAN SISWA DENGAN PEMBELAJARAN

1. Hubungan Perkembangan Intelektual dengan Pembelajaran

Kemampuan intelektual yang dapat diberikan adalah dasar-dasar keilmuan seperti membaca, menulis, dan berhitung, serta bisa juga
diberikan pengetahuan-pengetahuan tentang manusia, hewan, lingkungan alam sekitarnya. Pada masa ini baik sekali dilatih menghafal, seperti berhitung,
syair dan konsep-konsep atau istilah-istilah yang berkaitan dengan mata pelajaran.
Untuk mengembangkan daya nalarnya dilatih mengungkapkan pendapat, gagasan, atau penilaiannya terhadap berbagai hal, baik yang
dialaminya maupun yang terjadi di lingkungannya. Misalnya, yang berkaitan dengan materi pelajaran, tata tertib sekolah, pergaulan yang baik dengan teman
sebaya atau orang lain, masalah kebersihan dan kesehatan, masalah kemacetan lalu lintas, ataupun masalah banjir.
Kemampuan siswa dapat dikembangkan oleh guru dengan memberikan kesempatan kepada mereka memberikan komentar atau pendapatnya
tentang materi pelajaran yang dibacanya atau yang telah dijelaskan guru.
Untuk mengembangkan kemampuan intelektual atau kemampuan berpikir siswa guru dapat menerapkan pendapat jones et.al. tentang “core
thinking skills” sebagai berikut :
a) Mengasah ketajaman panca indra untuk menerima semua informasi dari luar.

b) Melaksanakan persepsi dan perhatian untuk menampung informasi.

c) Mengevaluasi, melakukan penilaian.

d) Menyimpulkan, menduga, elaburasi (generating).

e) Menginformasi, paraphrase dengan kata-kata sendiri.

f) Mengidentifikasi ciri penting(analyzing).


21
g) Mengurutkan, membedakan, mengelompokkan.

h) Mengingat, dengan strategi antara lain pengulangan, memberi makna, membuat catatan, melakukan asosiasipengalaman sehari-

hari.

22
2. Hubungan Perkembangan Bahasa dengan Pembelajaran

Dua faktor yang mempengaruhi perkembangan bahasa, yaitu :

a) Proses jadi matang, dengan kata lain anak itu menjadi matang ( organ-organ suara/bicara sudah berfungsi ) untuk berkata-kata.

b) Proses belajar, dapat mempelajari bahasa lain dengan jalan mengimitasi atau meniru ucapan atau kata-kata yang didengarnya.

Kedua proses ini berlangsung sejak masa kanak-kanak, sehingga pada usia sekolah dasar, ia sudah sampai pada tingkat

a) Dapat membuat kalimat yang lebih sempurna,

b) Dapat membuat kalimat majemuk,

c) Dapat menyusun dan mengajukan pertanyaan.

Pemberian pelajaran bahasa di sekolah berguna agar peserta didik dapat menguasai dan mempergunakannya sebagai alat untuk :
a) Berkomunikasi dengan orang lain.

b) Menyatakan isi hatinya ( perasaannya)

3. Hubungan Perkembangan Emosi dengan pembelajaran

Pada usia ini kebayakan anak dalam mengambil tindakan dengan emosi secara kasar, hal ini bisa mereka lakukan dengan teman-teman
sebayanya. Hal ini sebenarnya bisa terjadi atau tidak berpengaruh pada lingkungan keluarga. Namun dalam lingkungan sekolah pembelajaran untuk
mengatasi keadaan seperti di atas bisa dilakukan bagi seorang guru dengan menciptakan suasana proses belajar mengajar yang menyenangkan atau
kondusif.
Suasana belajar mengajar yang kondusif adalah sebagai berikut :

a) Mengembangkan iklim (suasana) kelas yang bebas dari ketegangan.

b) Memperlakukan siswa sebagai siswa yang mempunyai harga diri.

c) Memberikan nilai secara adil dan objektif.

23
d) Mencipkan kondisi kelas yang tertib, bersih dan sehat.

Emosi merupakan faktor dominan yang mempengaruhi tingkah laku individu dan belajar siswa. Apabila emosi positif yang ada pada siswa proses
belajar akan berjalan baik, misalnya siswa dapat memperhatikan penjelasan dengan baik. Begitu pun sebaliknya.

24
4. Hubungan Perkembangan Sosial dengan Pembelajaran

Kemampuan berinteraksi seorang anak dengan lingkungan tempat mereka belajar akan membawa kemudahan bagi mereka untuk menerima
pelajaran. Misalnya dalam mengerjakan tugas dari sekolah mereka sudah dapat berusaha sendiri- sendiri atau pun dengan membentuk suatu
kelompok.

5. Hubungan Perkembangan Kesadaran Beragama dengan Pembelajaran

Kesadaran beragama merupakan hal yang sangat penting ada pada diri anak usia ini, karena bisa sebagai pengontrol mereka dalam
menentukan tingkah laku yang baik yang harus mereka lakukan sebagai pegangan dalam menghadapi goncangan yang bisa terjadi pada usia remaja.
Kemampuan mereka dalam memilih sikap yang baik itu merupakan awal untuk membiasakan bertingkah laku yang benar. Dengan demikian mereka akan
mudah untuk diterima dalam kelompok belajarnya.
Hal yang dapat dilakukan seorang guru selain memberikan pendidikan materi tentang agama, seorang guru hendaknya dapat menonjolkan
sikap-sikap yang baik dan mengusahakan unutk tidak memperlihatkan sikap-sikap kurang baik.

6. Hubungan Perkembangan Fisik (Motorik) dengan pembelajaran

Perkembangan fisik yang normal merupakan salah satu faktor penentu kelancaran proses belajar, baik dalam bidang pengetahuan maupun
keterampilan. Perkembangan motorik ini sangat mendasar bagi belajar keterampilan yang sangat menunjang keberhasilan belajar peserta didik. Pada
usia sekolah dasar kematangan perkembangan motorik umumnya telah dicapainya, oleh karena itu mereka sudah siap menerima pelajaran keterampilan.
Untuk memfasilitasi perkembangan motorik atau keterampilan ini, maka sekolah perlu menyiapkan guru khusus untuk mengajar olahraga, atau
kesenian. Misal sarana prasarananya lapangan untuk fasilitas olahraga dan kesenian.

25
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Perkembangan sosial adalah kemampuan seseorang dalam berperilaku di dalam lingkungan sekitarnya (masyarakat) yang sesuai
dengan tuntutan sosial (norma, nilai atau harapan sosial).Perkembangan emosional adalah suatu keadaan yang kompleks, dapat berupa
perasaan ataupun getaran jiwa yang ditandai oleh perubahan biologis yang muncul menyertai terjadinya suatu perilaku.
2. Secara bahasa, kesadaran berasal dari kata dasar “sadar” yang mempunyai arti; merasa, tahu dan ingat kepada keadaan yang sebenarnya,
ingat kembali dari pingsan dan sebagainya, bangun tidur, insaf, tahu dan mengerti. Kesadaran berarti; keinsafan, keadaan mengerti, hal yang
dirasakan atau dialami oleh seseorang. Arti kesadaran yang dimaksud adalah keadaan tahu, ingat dan merasa ataupun keinsafan atas
dirinya sendiri kepada keadaan yang sebenarnya.
3. Kemampuan intelektual yang dapat diberikan adalah dasar-dasar keilmuan seperti membaca, menulis, dan berhitung, serta bisa juga
diberikan pengetahuan-pengetahuan tentang manusia, hewan, lingkungan alam sekitarnya. Pada masa ini baik sekali dilatih menghafal,
seperti berhitung, syair dan konsep-konsep atau istilah- istilah yang berkaitan dengan mata pelajaran.

B. Saran

Diharapkankan agar kita untuk selalu memperhatikan pertumbuhan dan perkembangan baik sosial dan kesadaran beragama anaknya, agar anaknya
tumbuh menjadi anak yang kematangan interaksi sosialnya tercapai dan berakhlak mulia. Didalam pendidikan untuk terus memperbanyak referensi
tentang perkembangan sosial dan perkembangan kesadaran beragaama, guna menambah wawasan bagi masyarakat.

26
DAFTAR PUSTAKA

Fakhrurrozi, Muhammad. 2012. Hubungan Antara Aspek Perkembangan Siswa Dengan Pembelajaran. Muhammad Fakhrurrozi
Blogspot.
Hildayani, Rini, dkk. 2014. Psikologi Perkembangan Anak. Jakarta : Universitas Terbuka.
Hurlock, E.B. 1978. Child Development. Tokyo : McGraw Hill. Inc. International Student ed.
Nugraha, Ali, dkk. 2005. Metode Pengembangan Sosial Emosional. Jakarta : Universita
Terbuka.
Sari, Nurmalita. 2015 Perkembangan Sosial Emosi pada Anak Usia Prasekolah. Buletin Psikologi. Syamsuddin,
A. 2000. Psikologi Pendidikan. Bandung : Remaja Rosda Karya.
Syamsu Yusuf L.N 2000. Psikologi perkembangan anak dan remaja Bandung: SPs UPI dan Nani M Sugandhi : PT Raja Grafindo
Persada

27

Anda mungkin juga menyukai