Anda di halaman 1dari 31

Tugas Kelompok

MK Perkembangan Peserta
Didik
Prodi S1 BK-FIP
Nilai :

MAKALAH PERKEMBANGAN SOSIAL DAN MORAL

Disusun Oleh:

Kelompok 6

1. Nur Salsabila Desianti (1232451005)


2. Siti Fadila (1232451011)
3. Mitha Apriliana (1231151002)

DOSEN PENGAMPU : Syahrial, M.Pd


MATA KULIAH : PERKEMBANGAN PESERTA DIDIK
KELAS : BK Reguler B 2023

PROGRAM STUDI S1 BIMBINGAN KONSELING


FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NEGERI MEDAN
2023

1
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat
dan rahmat-Nya kami dapat menyelesaikan tugas pembuatan Makalah serta pada mata
kuliah Perkembangan Peserta Didik dari dosen Bapak Syahrial, M.Pd Kami mengucapkan
terimakasih kepada Dosen pengampu yang sudah memberikan arahan dan bimbingan
sehingga kami dapat menyelesaikan tugas ini.
Dalam penulisan Makalah ini, kami sangat menyadari masih terdapat banyak
kekurangan dalam pengetikan dan penyusunan pada Makalah ini. Oleh karena itu kami
sangat mengharapkan saran dan kritikan yang membangun, supaya dapat melakukan
perbaikan di tugas-tugas selanjutnya agar menjadi lebih baik di kemudian hari. Semoga
Makalah ini dapat berguna bagi para pembaca dalam menambah wawasan dan ilmu
pengetahuan mengenai perkembangan sosial dan perkembangan moral meliputi
pengertian, ciri-ciri serta faktor-faktor yang mempengaruhinya. Akhir kata kami ucapkan
terima kasih.

Medan, September 2023

Kelompok 6

i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ........................................................................................................... i
DAFTAR ISI …………………………………………………………………………………………………. ii

BAB I............................................................................................................................... 1
PENDAHULUAN ............................................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ......................................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah .................................................................................................... 2
1.3 Tujuan Penulisan ...................................................................................................... 2
BAB II .............................................................................................................................. 3
PEMBAHASAN ................................................................................................................. 3
2.1 Hakikat Perkembangan Sosial .................................................................................... 3
2.2. Hubungan Antara Kemampuan Social Dengan Kemampuan Berpikir............................... 6
2.3. Karakteristik Perkembangan Sosial ............................................................................ 8
2.4. Faktor-faktor yang mempengaruhi Perkembangan Sosial ............................................ 13
2.5. Pengertian Perkembangan Moral ............................................................................. 14
2.6. Bentuk-Bentuk Perkembangan Moral ........................................................................ 17
2.7. Hubungan Antara Moral Dan Tingkah Laku................................................................ 20
2.8. Ciri-Ciri Perkembangan Moral .................................................................................. 21
2.9. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perkembangan Moral ............................................ 22
BAB III ........................................................................................................................... 27
PENUTUP ...................................................................................................................... 27
3.1. Kesimpulan ........................................................................................................... 27
3.2. Saran ................................................................................................................... 27
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................ 28

ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Peserta didik yang merupakan manusia adalah makhluk sosial yang saling
membutuhkan manusia lain untuk dapat berkembang menjadi manusia yang utuh. Dalam
perkembangannya, pendapat dan sikap peserta didik dapat berubah karena interaksi dan
saling berpengaruh antar sesama peserta didik maupun dengan proses sosialisasi. Dengan
mempelajari perkembangan hubungan sosial diharapkan dapat memahami pengertian dan
proses sosialisasi peserta didik. Pada awal manusia dilahirkan, manusia belum memiliki
sifat sosial yang berarti manusia sama sekali tidak memiliki kemampuan untuk berinteraksi
dengan orang lain. Kemampuan sosial anak diperoleh dari berbagai kesempatan dan
pengalaman berinteraksi dengan orang-orang di lingkungannya. Kebutuhan berinteraksi
anak dengan orang lain dapat dirasakan ketika usia anak sekitar enam bulan, disaat itu
mereka mampu mengenal manusia lain, terutama ibu dan anggota-anggota keluarganya.
Anak mulai mampu membedakan arti senyum dan perilaku sosial lain, seperti
marah (tidak senang mendengar suara keras) dan kasih sayang. Perkembangan sosial
pada masa remaja berkembang kemampuan untuk memahami orang lain sebagai individu
yang unik. Baik menyangkut sifat-sifat pribadi, minat, nilai-nilai atau perasaan sehingga
mendorong remaja untuk bersosialisasi lebih akrab dengan lingkungan sebaya atau
lingkungan masyarakat baik melalui persahabatan atau percintaan.
Masa kini, yang merupakan masa tenang setelah mengalami berbagai aspek
gejolak perkembangan pada masa remaja. Meskipun segi-segi yang dipelajari sama tetapi
isi bahasannya berbeda, karena masa dewasa merupakan masa pematangan kemampuan
dan karakteristik yang telah dicapai pada masa remaja. Oleh karena itu perkembangan
sosial orang dewasa tidak akan jauh berbeda kaitannya dengan perkembangan sosial
remaja perkembangan sosial orang dewasa tidak akan jauh berbeda kaitannya dengan
perkembangan sosial remaja.
Selain itu perkembangan moral hampir dapat di pastikan merupakan perkembangan
sosial, sebab perilaku moral yang diperlukan seperti proses perkembangan yang lainnya,
proses perkembangan moral selalu dengan proses belajar, belajar itu sendrir memiliki tujuan
untuk memenuhi kebutuhan yang lain belum terpenuhi dengan kompetensi-kompetensi
yang dimiliki. Konsekuensinya, kualitas hasil perkembangan sosial sangat bergantung pada

1
kualitas proses belajar (khususnya belajar sosial), baik di lingkunga sekolah, keluarga,
maupun di lingkungan masyarakat. Jadi proses belajar sangat menentukan kemampuan
siswa dalam bersikap dan berperilaku sosial yang sangat selaras dengan norma moral
agama , moral tradisi, moral hukum dan norma moral yang berlaku di dalam masyarakat.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa yang dimaksud dengan perkembangan sosial?
2. Apa hubungan antara kemampuan sosial dengan kemampuan berpikir?
3. Apa saja karakteristik perkembangan sosial?
4. Factor-faktor apa saja yang mempengaruhi perkembangan sosial?
5. Apa yang dimaksud dengan perkembangan moral?
6. Apa saja bentuk-bentuk perkembangan moral?
7. Bagaimana hubungan antara moral dan tingkah laku?
8. Apa saja ciri-ciri perkembangan moral?
9. Apa saja factor-faktor yang mempengaruhi perkembangan moral?

1.3 Tujuan Penulisan


1. Untuk mengetahui pengertian perkembangan social?
2. Untuk mengetahui hubungan antara kemampuan sosial dengan kemampuan
berpikir?
3. Untuk mengetahui karakteristik perkembanagn sosial?
4. Untuk mengetahui Factor-faktor apa saja yang mempengaruhi perkembangan
sosial?
5. Untuk mengetahui pengertian perkembangan moral?
6. Untuk mengetahui bentuk-bentuk perkembangan moral?
7. Untuk mengetahui hubungan antara moral dan tingkah laku?
8. Untuk mengetahui ciri-ciri perkembangan moral?
9. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan moral?

2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Hakikat Perkembangan Sosial
Manusia tumbuh dan berkembang dari masa bayi ke masa dewasa melalui
beberapa langkah dan jenjang. Kehidupan anak dalam menelusuri perkembangannya itu
pada dasarnya merupakan kemampuan mereka dalam berinteraksi dengan lingkungan.
Pada proses integrasi dan interaksi ini, faktor intelektual dan emosional mengambil peranan
penting. Proses tersebut merupakan proses sosialisasi yang mendudukkan anak-anak
sebagai insan yang secara aktif melakukan proses sosialisasi. Manusia tumbuh dan
berkembang di dalam lingkungan. Lingkungan itu dapat dibedakan atas lingkungan fisik dan
lingkungan sosial. Lingkungan sosial memberikan banyak pengaruh terhadap pembentukan
berbagai aspek kehidupan terutama kehidupan sosiopsikologis.
Manusia sebagai makhluk sosial senantiasa berhubungan dengan sesama
manusia. Pada dasarnya, bersosialisasi merupakan proses penyesuaian diri terhadap
lingkungan kehidupan sosial, bagaimana seharusnya seseorang hidup di dalam
kelompoknya, baik dalam kelompok kecil maupun kelompok masyarakat luas. Interaksi
seseorang dengan manusia lain diawali sejak bayi lahir dengan cara yang amat sederhana.
Sepanjang kehidupannya, pola aktivitas sosial anak mulai terbentuk.
Menurut Piaget, interaksi sosial anak pada tahun pertama sangat terbatas, terutama
hanya dengan ibunya. Perilaku sosial anak tersebut berpusat pada akunya atau egosentrik
dan hampir keseluruhan perilakunya berpusat pada dirinya. Bayi tidak lama memperhatikan
lingkungannya, sehingga jika kebutuhan dirinya telah terpenuhi, bayi itu tidak peduli lagi
terhadap lingkungannya, sisa waktunya hidupnya digunakan untuk tidur. Pada tahun kedua,
anak sudah belajar kata tidak dan sudah mulai belajar menolak lingkungan, seperti
mengatakan "tidak mau ini", "tidak mau itu", "tidak pergi", dan semacamnya. Anak telah
mulai mereaksi lingkungan secara aktif, ia telah belajar membedakan dirinya daripada orang
lain, perilaku emosinya telah mulai berkembang dan lebih berperan. Perkenalan dan
pergaulan dengan manusia lain menjadi semakin luas. Anak mengenal kedua orangtuanya,
anggota keluarganya, teman bermain sebaya. Sejak anak mulai belajar di sekolah, mereka
mulai belajar mengembangkan interaksi sosial. Dengan belajar, anak menerima pandangan
kelompok (masyarakat), memahami tanggung jawab, dan berbagai pengertian dengan
orang lain. Menginjak masa remaja, interaksi dan pengenalan atau pergaulan dengan teman

3
sebaya terutama lawan sejenis menjadi semakin penting. Pada akhirnya, pergaulan sesama
manusia menjadi sesuatu kebutuhan.
Kebutuhan bergaul dan berhubungan dengan orang lain mulai dirasakan sejak anak
berumur enam bulan. Pada usia tersebut, anak telah mampu mengenal manusia lain,
terutama ibu dan anggota keluarganya. Anak mulai mengenal dan mampu membedakan arti
senyum dan perilaku sosial yang lain, seperti marah (tidak senang mendengar suara yang
keras) dan kasih sayang. Akhirnya, setiap orang menyadari bahwa manusia saling
membutuhkan.
Berdasarkan uraian tersebut, dapat dimengerti bahwa hubungan sosial (sosialisasi)
merupakan hubungan antarmanusia yang saling membutuhkan. Hubungan sosial dimulai
dari tingkat yang sederhana dan terbatas yang didasari oleh kebutuhan yang sederhana.
Semakin dewasa dan bertambah umur, kebutuhan manusia menjadi semakin kompleks dan
tingkat hubungan sosial juga berkembang menjadi amat kompleks.
Perkembangan sosial terbina melalui perkembangan pribadi. Hal ini karena hanya
pribadi-pribadi dari individu yang yang terbina dengan baiklah yang dapat menciptakan
perkembangan sosial dengan baik. Perkembangan pribadi akan memunculkan identitas
pribadi yang lambat laun akan memunculkan identitas kelompok Menurut Erikson (dalam
Monks, 1992: 132), identitas pribadi seseorang tumbuh dan terbentuk melalui
perkembangan proses krisis psikososial yang berlangsung dari fase ke fase. la berasumsi
bahwa setiap individu yang sedang tumbuh dipaksa harus menyadari dan berinteraksi
dengan lingkungan sosialnya yang berkembang semakin luas. Jika individu yang
bersangkutan mampu mengatasi krisis demi krisis, individu tersebut akan mempunyai
kepribadian yang sehat yang ditandai oleh kemampuan menguasai lingkungannya, fungsi-
fungsi psikofisisnya terintegrasi, dan memahami dirinya secara optimal. Sebaliknya, kalau
individu tidak mampu mengatasi krisis-krisis psikososial tersebut, individu tersebut akan larut
(deffuse) ditelan arus kehidupan masyarakatnya yang terus berkembang (ever changing
society).
Dalam pandangan Erikson, tahapan perkembangan kepribadian dari masa bayi
(infancy) sampai masa tua (old age) dapat dijelaskan sebagai berikut.
1. Masa bayi (masa bayi)
Terjamin tidaknya kualitas kehidupan masa bayi (cinta kasih), sentuhan, makanan,
menu, bahkan dasar dan rasa kepercayaan (trust) atau sebaliknya. Apabila tercapai

4
pertimbangan yang memuaskan antara kepercayaan dan ketidakpercayaan akan menjadi
kekuatan psikososial yang kepercayaan dan ketidakpercayaan akan menjadi kekuatan
psikososial yang amat fundamental bagi taraf perkembangan berikutnya.
2. Masa kanak-kanak awal (early childhood)
Terjamin tidaknya kesempatan untuk mengembangkan self controlnya (apa yang
dapat ia kuasai dan laku- kan) tanpa mengurangi self esteem (harga dirinya) akan
menumbuhkan rasa otonomi (autonomy) kemampuan mandiri atau sebaliknya diliputi rasa
ketergantungan disertai malu dan ragu-ragu (shame and doubt).
3. Masa kanak-kanak (childhood)
Terjamin tidaknya kesempatan untuk ber- prakarsa (dengan adanya kepercayaan,
kemandirian memungkinkan untuk berprakarsa), akan menumbuhkan inisiatif. Sebaliknya,
kalau terlalu banyak dilarang, ditegur, anak akan diliputi perasaan serba salah dan berdosa
(guilty).
4. Masa anak sekolah (school age)
Pada masa ini, anak pada umumnya mulai dituntut untuk dapat mengerjakan atau
menyelesaikan sesuatu dengan baik bahkan sempurna. Kemampuan melakukan hal-hal
tersebut menimbulkan kepercayaan atas kecakapannya menyelesaikan suatu tugas. Kalau
tidak, anak akan merasa rendah diri (inferiority) yang akan dibawanya pada tingkat
perkembangan selanjutnya.
5. Masa remaja (adolescence)
Masa ini dikenai sebagai strum and drang (angin dan topan). Remaja dihadapkan
kepada sejumlah pertanyaan: siapa sebenar- nya aku ini?, akan menjadi apa aku nanti?,
apa perananku sebagai anggota masyarakat?, apa pekerjaanku?, akan menjadi bapak atau
ibu macam apa?, mengapa harus beragama? Dan sebagainya. Jika individu mampu
menjawab petanyaan -pertanyaan itu dengan bekal kepercayaan pada lingkungan,
kemandirian, inisiatif, kepercayaan atas kemampuan dan kecakapannya, ia akan mampu
mengintegrasikan seluruh unsur kepribadiannya. Dengan kata lain, ia akan menemukan
identitas/jati dirinya. Sebaliknya, kalua tidak, ia akan berada dalam kebingungan dan
kekcacauan (confusion).
6. Masa dewasa muda (young adulthood)
Dengan terbentuknya identitas dirinya secara definitif, kini ia dituntut untuk mampu
turut ambil bagian dalam membina kehidupan bersama. Jika ia mampu memelihara

5
perasaan keseimbangan, antara aku dan kita atau kami (kemandirian dan kebersa maan),
akan tumbuh rasa keakraban (intimacy). Jika tidak, ia diliputi rasa keterasingan (isolation).
7. Masa dewasa (adulhood)
Pada masa ini, seseorang yang mempunyai kesempatan dan kemampuan untuk
hidup secara kreatif, produktif, dan bersemangat dalam membina kehidupan generasi
mendatang tentu akan tumbuh kegairahan hidup (generality). Jika tidak, seseorang akan
cukup puas saja dengan keadaan.
8. Masa tua (old age)
Bagi orang yang bergairah tentu akan merasa mendapat tempat dan penghargaan
sebagaimana layaknya di tengah-tengah masya rakat. Ia merasa menjadi merupakan
bagian dari masyarakatnya (integrity). Sebaliknya, jika ia tidak dapat melakukan perannya
dengan baik, ia akan merasa kurang berharga.
Keluarga merupakan lingkungan pertama yang memberikan pengaruh ter hadap
berbagai aspek perkembangan anak, terutama perkembangan sosialnya. Kondisi dan tata
cara kehidupan keluarga merupakan lingkungan yang kondusif bagi sosialisasi anak. Di
dalam keluarga, berlaku norma-norma kehidupan keluarga. Dengan demikian, pada
dasarnya keluarga merekayasa perilaku kehidupan budaya anak. Bersosialisasi
memerlukan kematangan fisik dan psikis. Untuk mampu mempertimbangkan dalam proses
sosial, memberi dan menerima pendapat orang lain, memerlukan kematangan intelektual
dan emosional. Di samping itu, kemampuan berbahasa ikut pula menentukan. Dengan
demikian, untuk mampu bersosialisasi dengan baik diperlukan kematangan fisik sehingga
setiap orang mampu menjalankan fungsinya dengan baik.

2.2. Hubungan Antara Kemampuan Social Dengan Kemampuan Berpikir


Dalam perkembangan sosial anak, mereka dapat memikirkan dirinya dan orang lain.
Pemikiran itu terwujud dalam refleksi diri, yang sering mengarah kepenilaian diri dan kritik
dari hasil pergaulannya dengan orang lain. Hasil pemikiran dirinya tidak akan diketahui oleh
orang lain, bahkan sering ada yang menyembunyikannya atau merahasiakannya. Pikiran
anak sering dipengaruhi oleh ide-ide dari teori-teori yang menyebabkan sikap kritis terhadap
situasi dan orang lain, termasuk kepada orang tuanya. Kemampuan abstraksi anak sering
menimbulkan kemampuan mempersalahkan kenyataan dan peristiwa-peristiwa dengan

6
keadaan bagaimana yang semstinya menurut alam pikirannya. Disamping itu pengaruh
egoisentris sering terlihat, diantaranya berupa :
1. Cita-cita dan idealism yangbaik, terlalu menitik beratkan pikiran sendiri, tanpa memikirkan
akibat labih jauh dan tanpa memperhitungkan kesulitan praktis yang mungkin menyebabkan
tidak berhasilnya menyelesaikan persoalan.
2. Kemampuan berfikir dengan pendapat sendiri, belum disertai pendapat orang lain daalm
penilaiannya.
Melalui banyak pengalaman dan penghayatan kenyataan serta dalam menghadapi
pendapat orang lain, maka sikap ego semakin berkurang dan diakhir masa remaja sudah
sangat kecil rasa egonya sehingga mereka dapat bergaul dengan baik.
Maka, Kemampuan sosial dan kemampuan berpikir memiliki hubungan yang erat
dan saling memengaruhi. Keduanya berperan penting dalam interaksi sosial dan
perkembangan individu. Berikut adalah beberapa aspek hubungan antara kemampuan
sosial dan kemampuan berpikir:
Kemampuan Sosial dalam Berkomunikasi: Kemampuan sosial, termasuk
kemampuan untuk berbicara, mendengarkan, dan memahami komunikasi verbal dan
nonverbal, sangat penting dalam berinteraksi dengan orang lain. Kemampuan berpikir kritis
dapat membantu individu dalam menganalisis informasi yang diterima melalui komunikasi
sosial dan merumuskan tanggapan yang tepat.
Empati dan Pemahaman Perspektif Lain: Empati adalah kemampuan untuk
merasakan dan memahami perasaan dan perspektif orang lain. Ini memainkan peran
penting dalam kemampuan sosial dan juga dalam kemampuan berpikir. Kemampuan
berpikir kritis dapat membantu individu dalam memahami sudut pandang orang lain,
mengevaluasi perasaan mereka, dan merumuskan respon yang sesuai.
Kemampuan Berpikir dalam Memecahkan Konflik: Dalam interaksi sosial, konflik
adalah hal yang tak terhindarkan. Kemampuan berpikir kritis dapat membantu individu dalam
memecahkan konflik dengan cara yang konstruktif, dengan merancang solusi yang
mempertimbangkan berbagai sudut pandang dan dampak potensial.
Kemampuan Berpikir Sosial: Kemampuan berpikir sosial mencakup pemahaman
tentang norma sosial, aturan, dan konvensi yang mengatur interaksi sosial. Ini juga
mencakup pemahaman tentang implikasi moral dari tindakan dalam konteks sosial.

7
Kemampuan berpikir ini membantu individu dalam berperilaku secara tepat dalam berbagai
situasi sosial.
Pertimbangan Etika dalam Keputusan Sosial: Kemampuan berpikir kritis juga
memainkan peran penting dalam pertimbangan etika dalam interaksi sosial. Individu yang
memiliki kemampuan berpikir kritis cenderung lebih mampu untuk merenungkan dampak
moral dari tindakan sosial mereka dan membuat keputusan yang sesuai dengan nilai-nilai
etika mereka.
Kemampuan Sosial dalam Pengembangan Hubungan: Kemampuan sosial dalam
membangun hubungan yang sehat dan positif dengan orang lain sangat penting dalam
kehidupan sehari-hari. Kemampuan berpikir kritis dapat membantu individu dalam memilih
teman atau mitra yang cocok dan dalam memahami dinamika hubungan sosial.
Kemampuan Berpikir Dalam Menyampaikan Ide dan Pendapat: Kemampuan
berpikir kritis juga memungkinkan individu untuk lebih efektif menyampaikan ide dan
pendapat mereka kepada orang lain. Ini membantu dalam membangun hubungan yang kuat
dan memengaruhi perubahan sosial yang positif.
Resolusi Masalah Sosial: Kemampuan berpikir kritis juga diterapkan dalam
merancang solusi untuk masalah sosial kompleks. Individu yang mampu berpikir kritis
mungkin lebih cenderung untuk mencari solusi yang berkelanjutan dan efektif untuk masalah
sosial.
Maka, kemampuan sosial dan kemampuan berpikir adalah keterampilan yang saling
memperkuat dalam interaksi sosial. Kemampuan berpikir kritis membantu individu dalam
memahami, merespons, dan berperilaku secara tepat dalam situasi sosial, sementara
kemampuan sosial membantu individu dalam membangun hubungan yang sehat dan
berkontribusi pada masyarakat dengan cara yang positif.

2.3. Karakteristik Perkembangan Sosial


Perkembangan Sosial berarti perolehan kemampuan berperilaku yang sesuai
dengan tuntutan sosial. Menjadi orang yang mampu bermasyarakat (sozialized)
memerlukan tiga proses. Diantaranya adalah belajar berperilaku yang dapat diterima secara
sosial, memainkan peran sosial yang dapat diterima, dan perkembangan sifat sosial.
Perkembangan sosial seseorang ditekankan agar dapat diterima dalam masyarakat.
Tentunya individu harus menjalani proses pembelajaran agar dapat menyesuaikan dengan

8
lingkungan sosial supaya dapat diterima oleh masyarakat. Perkembangan sosial merupakan
“Pencapaian kematangan dalam hubungan sosial. Dapat juga diartikan sebagai proses
belajar untuk menyesuaikan diri terhadap norma-norma kelompok, moral, dan tradisi,
meleburkan diri menjadi satu kesatuan dan saling berkomunikasi dan bekerja sama.”
Perkembangan sosial diharapkan agar mampu bermanfaat bagi masyarakat dan berdampak
positif pada perkembangan masyarakat dengan adanya saling membantu antar individu
sosial. Pengembangan sosial juga ditujukan untuk berkembangnya moral seseorang.
a) Karakteristik Perkembangan Sosial Pada Anak Sd/MI
Melalui pergaulan atau hubungan sosial, baik dengan orang tua, anggota keluarga, orang
dewasa lainnya maupun teman bermainnya, anak usia SD/MI mulai mengembangkan
bentuk-bentuk tingkah laku sosial, diantaranya:
1. Pembangkangan (Negativisme)
Bentuk tingkah laku melawan pada orang lain. Tingkah laku ini terjadi sebagai reaksi
terhadap penerapan disiplin atau tuntutan orang tua atau lingkungan yang tidak sesuai
dengan kehendak anak. Sikap orang tua terhadap anak seyogyanya tidak memandang
pertanda mereka anak yang nakal, keras kepala, tolol atau sebutan negatif lainnya,
sebaiknya orang tua mau memahami sebagai proses perkembangan anak dari sikap
dependent menuju kearah independent.
2. Agresi (Agresi)
Yaitu perilaku menyerang balik secara fisik (nonverbal) maupun kata-kata (verbal).
Agresi merupakan salah bentuk reaksi terhadap rasa frustasi (rasa kecewa karena tidak
terpenuhi kebutuhan atau keinginannya). Biasanya bentuk ini diwujudkan dengan
menyerang seperti; mencubit, menggigit, menendang dan lain sebagainya. Sebaiknya orang
tua berusaha mereduksi, mengurangi agresifitas anak dengan cara mengalihkan perhatian
atau keinginan anak. Jika orang tua menghukum anak yang agresif, maka agresivitas anak
akan semakin meningkat.
3. Berselisih (Bertengkar)
Sikap ini terjadi jika anak merasa tersinggung atau terganggu oleh sikap atau
perilaku anak lain. Misalnya, ketika anak sedang mengerjakan latihan soal kemudian teman-
temannya mengganggu dengan mengobrol atau lari-larian di dalam kelas, pertengkarannya
juga bisa disebabkan oleh rebutan mainan atau barang miliknya direbut oleh temannya.

9
4. Menggoda (Teasing)
Menggoda merupakan bentuk lain dari sikap agresif, menggoda merupakan
serangan mental terhadap orang lain dalam bentuk verbal (kata-kata ejekan atau cemoohan)
yang menimbulkan marah pada orang yang digodanya.
5. Perseingan (Rivaly)
Keinginan untuk melebihi orang lain dan selalu didorong oleh orang lain. Yaitu
persaingan prestice (merasa ingin menjadi lebih dari orang lain).
6. Kerja sama (Kerjasama)
Yaitu sikap mau bekerja sama dengan orang lain. Pada usia enam sampai tujuh
tahun anak sudah dapat mengembangkan sikap kerjasama dengan lebih baik lagi, misalnya
anak sudah mampu bekerja kelompok dengan teman-temannya dalam menyelesaikan
suatu tugas atau latihan-latihan yang diberikan oleh seorang guru.
7. Tingkah laku berkuasa (Perilaku yang berpengaruh)
Yaitu tingkah laku untuk menguasai situasi sosial, mendominasi atau bersikap
bossiness. Wujud dari sikap ini adalah; memaksa, meminta, menyuruh, mengancam dan
sebagainya.
8. Mementingkan diri sendiri (selffishness)
Yaitu sikap egosentris dalam memenuhi interest atau keinginannya. Apabila ditolak
atau tidak dipenuhi keinginannya, maka anak tersebut akan protes dengan menangis,
menjerit, atau marah-marah.
9. Simpati (Simpati)
Yaitu sikap emosional yang mendorong individu untuk menaruh perhatian terhadap
orang lain mau mendekati atau bekerjasama dengan dirinya. Seiring bertambah usia, anak
mulai dapat mengurangi sikap "selfish" dan anak mulai mengembangkan sikap sosialnya
dan mengembangkan rasa simpati atau peduli pada orang lain. Misalnya teman sedang
sedih karena nilai ulangnya yang rendah anak akan bersimpati untuk menghibur dan
memberikan semangat pada teman-temannya.
Perkembangan sosial anak sangat dipengaruhi oleh lingkungan sosialnya, jika
lingkungan sosialnya memfasilitasi dan mendukung serta memberikan peluang terhadap
perkembangan anak secara positif, maka anak akan mencapai pekembangan sosial secara
matang. Namun sebaliknya, proses perkembangan seorang anak akan tidak berjalan secara
positif.

10
b) Karakteristik Perkembangan Sosial pada Masa Remaja
Remaja berasal dari Bahasa latin yang berarti "tumbuh untuk mencapai
kematangan" (Wong, 2009). Masa remaja merupakan masa yang sangat panjang. Oleh
karena itu, beberapa ahli membagi masa remaja menjadi tiga fase (Hockenberry, 2005).
Fase-fase ini bisa dikatan sebagai karakteristik perkembangan remaja berdasarkan usianya.
Fase-fase tersebut antara lain:
1) Masa remaja awal (11-14 tahun)
Selama tahap remaja awal, remaja merasa harus menjadi bagian dari kelompok.
Sebab, kelompok dapat memberikan status kepada dirinya. Remaja akan berusaha
mengikuti gaya kelompok, mulai dari gaya berpakaian, merias wajah, serta menata rambut
dengan kriteria yang dianut oleh kelompok. Remaja berusaha untuk menjadi bagian dari
kelompok dengan cara-cara demikian. Sebab, menjadi individu yang berbeda dari kelompok
dapat menyebabkan remaja tidak dapat diterima, bahkan diasingkan oleh kelompok.
2) Masa remaja pertengahan (15-17 tahun)
Masa ini ditandai dengan berkembangnya kemampuan berpikir yang baru, mampu
mengarahkan diri sendiri, mulai mengembangkan kematangan tingkah laku, belajar
mengendalikan diri dan membuat keputusan yang berkaitan dengan tujuan yang ingin
dicapai.
3) Masa remaja akhir (18-20 tahun)
Masa ini ditandai dengan persiapan akhir remaja untuk memasuki peran dewasa.
Selama periode ini; remaja berusaha memantapkan tujuan dan mengembangkan identitas
personal. Ciri dari tahap ini adalah:
• Remaja memiliki keinginan yang kuat untuk menjadi pribadi yang matang
• Remaja berusaha agar dapat diterima dalam kelompo teman sebaya serta orang dewasa
c) Karakteristik Perkembangan Sosial pada Masa Dewasa
Dewasa melambangkan segala organisme yang telah matang yang lazimnya
merujuk pada manusia yang bukan lagi anak-anak dan telah menjadi pria atau wanita.
Menurut Hurlock (1968) masa dewasa ini terbagi menjadi tiga periode, yaitu sebagai berikut:
1) Masa Dewasa Awal (18/20-40 Tahun)
Secara biologis, masa ini merupakan puncak pertumbuhan fisik yang prima,
sehingga dipandang sebagai usia yang tersehat dari populasi manusia yang keseluruhan.
Meskipun banyak yang mengalami sakit, tetapi jarang yang sampai parah. Kesehatan fisik

11
ini akan terpelihara dengan baik apabila akan didukung oleh kebiasaan-kebiasaan positif,
seperti makan yang teratur dan tidak berlebihan, tidak merokok, tidak meminum-minuman
keras atau mengkonsumsi NAZA (narkoba), tidur yang teratur, dan berolahraga. Secara
psikologis, pada usia ini tidak sedikit diantara mereka yang kurang mampu mencapai
kematangan. seseorang yang sudah berusia dewasa awal dituntut untuk menuntaskan
tugas- tugas perkembangan, diantaranya:
a) Mengembangkan sikap, wawasan, dan pengamalan ajaran agama;
b) Memperoleh atau memulai memasuki dunia kerja
c) Memilih pasangan (suami atau istri)
d) Mulai memasuki pemikahan
e) Belajar hidup berkeluarga
f) Merawat dan mendidik anak
g) Mengelola rumah tangga
h) Memperoleh kemampuan dan kemantapan karier dan mengambil tanggung jawab
atau peran sebagai warga masyarakat
i) Mencari kelompok social yang menyenagkan
2) Masa Dewasa Madya/Setengah Baya (40-60 Tahun)
Pada usia ini, aspek fisik sudah mulai agak melemah, termasuk fungsi- fungsi alat
indra, seperti tidak sedikit orang yang menggunakan kaca mata untuk membaca, atau
mengalami sakit dengan penyakit tertentu yang sebelumnya tidak teralami (seperti rematik,
atau asam urat). Tugas-tugas perkembangan yang harus dituntaskan pada usia ini meliputi:
a) Memantapkan pengamalan ajaran agama
b) Mencapai tanggungjawab sosial sebagai warga Negara
c) Membantu anak yang sudah remaja untuk belajar menjadi orang dewasa yang
bertanggung jawab dan bahagia
d) Menerima dan menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan yang terjadi pada aspek
fisik (penurunan kemampuan atau fungsi)
e) Mencapai dan mempertahankan prestasi yang memuaskan dalam karier; dan
f) Memantapkan peran-perannya sebagai orang dewasa.
3) Masa Dewasa Lanjut/Masa Tua (60-Meninggal)

12
Masa ini ditandai dengan semakin melemahnya kemampuan fisik dan psikis. Pada
umumnya mereka mengalami penurunan kemampuan dalam aspek pendengaran,
penglihatan, daya ingat, cara berfikir, dan berinteraksi sosial. Pada usia ini pula seseorang
dimungkinkan akan mengalami masa pikun, masa kembali ke usia kanak-kanak, yang
bersifat dependent (tergantung) kepada orang lain. Adapun tugas-tugas perkembangan
yang harus dituntaskan oleh seseorang yang telah masuk pada usia ini adalah sebagai
berikut:
a) Lebih memantapkan diri dalam mengamalkan norma atau ajaran agama
b) Mampu menyesuaikan diri dengan menurunnya kemampuan fisik dan kesehatan.
c) Menyesuaikan diri dengan menjelang dan disaat masa pensiun
d) Menyesuaikan diri dengan kematian pasangan hidup
e) Membentuk hubungan dengan orang lainyang seusia
f) Memantapkan hubungan yang harmonis dengan anggota keluarga

2.4. Faktor-faktor yang mempengaruhi Perkembangan Sosial


1. Keluarga
Keluarga merupakan lingkungan pertama yang memberikan pengaruh terhadap
berbagai aspek perkembangan, termasuk perkem- bangan sosial. Kondisi dan tata cara
kehidupan keluarga merupakan lingkungan yang kondusif bagi sosialisasi anak. Proses
pendidikan yang bertujuan mengembangkan kepribadian lebih banyak ditentukan oleh
keluarga, pola pergaulan, etika berinteraksi dengan orang lain banyak ditentukan oleh
keluarga. Anak atau remaja yang berasal dari keluarga yang memiliki interaksi sosial yang
baik, akan tumbuh dengan perkembangan sosial yang baik. Mereka akan belajar
bertoleransi dengan orang lain. Mereka mampu menjadi orang yang bisa menerima
kelebihan dan kekurangan orang lain.
2. Kematangan
Untuk dapat bersosilisasi dengan baik diperlukan kematangan fisik dan psikis
sehingga mampu mempertimbangkan proses sosial, memberi dan menerima nasehat orang
lain, memerlukan kematangan intelektual dan emosional, di samping itu kematangan dalam
berbahasa juga sangat menentukan.

13
3. Status Sosial Ekonomi
Kehidupan sosial banyak dipengaruhi oleh kondisi sosial ekonomi keluarga dalam
masyarakat. Perilaku anak akan banyak memperhatikan kondisi normatif yang telah
ditanamkan oleh keluarganya.
4. Pendidikan
Pendidikan merupakan proses sosialisasi anak yang terarah. Hakikat pendidikan
sebagai proses pengoperasian ilmu yang normatif, anak memberikan warna kehidupan
sosial anak di dalam masyarakat dan kehidupan mereka dimasa yang akan datang.
5. Kapasitas Mental
Emosi dan Intelegensi Kemampuan berfikir dapat banyak mempengaruhi banyak
hal, seperti kemampuan belajar, memecahkan masalah, dan berbahasa. Perkembangan
emosi perpengaruh sekali terhadap perkembangan sosial anak. Anak yang berkemampuan
intelek tinggi akan berkemam- puan berbahasa dengan baik. Oleh karena itu jika
perkembangan ketiganya seimbang maka akan sangat menentukan keberhasilan
perkembangan sosial anak.

2.5. Pengertian Perkembangan Moral


Menurut Salam (2000:2), “ Secara umum pengertian moral adalah sesuatu yang
berhubungan dengan kemampuan dalam menentukkan benar atau salah serta baik atau
buruknya suatu perilaku pada diri seseorang. Jika dihubungkan dengan perkembangan
moral pada peserta didik.’’ Perkembangan moral adalah perkembangan yang berkaitan
dengan kemampuan seseorang untuk mengetahui baik dan buruk suatu perbuatan,
kesadaran untuk melakukan perbuatan baik, kebiasaan melakukan baik, dan rasa cinta
terhadap perbuatan baik. Moral berkembang sesuai dengan usia anak.
Moral berasal dari bahasa Latin mores sendiri berasal dari kata mos yang berarti
kesusilaan, tabiat, atau kelakuan. Dalam hal ini, moral selalu berhubungan dengan
kesusilaan. Selanjutnya Salam mengartikan moral sebagai hal-hal yang berkaitan dengan
kesusilaan. Dalam perkembangannya, perkembangan moral selalu dihubungkan sebagai
pengembangan sosial. Karena perilaku moral pada umumnya merupakan unsur
fundamental dalam bertingkah laku sosial. Istilah moral berasal dari kata latin mos (moris),
yang berarti adat istiadat, kebiasaan, peraturan/nilai-nilai atau tata cara kehidupan. Moralitas
juga bisa didefinisikan dengan berbagai cara, diantaranya moralitas dikatakan sebagai

14
kapasitas untuk membedakan yang benar dan yang salah bertindak stas perbedaan tersebut
dan mendapatkan penghargaan diri ketika melakukan yang benar dan merasa bersalah atau
malu ketika malanggar standar tersebut.
Perkembangan moral merupakan suatu kebutuhan yang penting bagi remaja dalam
menemukan identitas dirinya, menghubungkan sikap personal yang harmonis, dan
menghindari konflik-konflik peran yang terjadi selama transisi, sehingga perkembangan
moral dapat di artikan sebagai perkembangan yang berkaitan dengan aturaan dan konvensi
mengenai apa yang harus dilakukan oleh manusia dalam interaksi dengan orang lain dalam
menjalankan di kehidupannya sehari-hari. Menurut pendapat Sjarkawi (2006:34)
menyatakan, ‘’moral adalah nilai kebaikan manusia sebagai manusia. Moral memandang
bagaimana manusia harus hidup sebagai manusia yang baik. Perbedaan kebaikan moral
dengan kebaikan lainnya adalah kebaikan moral adalah kebaikan manusia sebagai
manusia. Kebaikan moral mengandung nilai-nilai yang universal tentang kemanusiaan.
Sedangkan kebaikan lainnya merupakan kebaikan yang dikaitkan dengan status seseorang
misalnya status sebagai siswa, suami, istri, dan lain-lain.” Selanjutnya Sjarkawi (2006:35)
menjelaskan, “moral berkaitan dengan moralitas. Moralitas adalah segala yang berkaitan
dengan urusan sopan santun.
Moralitas dipengaruhi cara berpikir seseorang tentang moral.” Sedangkan menurut
Henderson (1964:112), “moralitas menunjukkan perbuatan terhadap diri sendiri atau orang
lain yang diperlukan untuk mencapai tujuan akhir manusia yaitu kehidupan yang baik.’’
Dapat dikatakan bahwa sistem moralitas, baik dan buruk dijabarkan secara kronologis mulai
yang paling abstrak hingga yang lebih operasional. Nilai merupakan perangkat moralitas
yang paling abstrak. Nilai merupakan suatu perangkat keyakinan atupun perasaan yang
diyakini sebagai suatu identitas yang memberikan corak kusus kepada pola pemikiran,
perasaan, keterikatan dan prilaku.
Moral dapat berbentuk formula, peraturan, atau ketentuan pelaksanaan, misalnya
saja etika belajar, etika mengajar dan lain sebagainya. Dilihat dari sumber nilai ataupun
moral dapat diambil dari wahyu ilahi ataupun dari budaya. Dengan demikian dapat diartikan
bahwa, moral sama saja dengan akhlak manakala sumber atau produk budaya sesuai
dengan prinsip-prinsip akhlak yang ada pada individu yang bersangkutan. Dalam berperilaku
sehari-hari, individu yang memiliki moralitas yang baik akan menunjukan perbuatan
terhadap diri sendiri atau orang lain yang diperlukan untuk mencapai tujuan akhir manusia,

15
yaitu kehidupan yang lebih baik di masyarakat dan di lingkungan sekitar. Menurut pendapat
Haris (1976: 31) mengemukakan, ‘’moralitas adalah wilayah dari perilaku yang pada
dasarnya berkaitan dengan pembenaran tentang apa yang harus dilakukan, tentang hal-hal
yang benar dan salah, baik dan buruk, dan tentang tugas dan kewajiban. Namun definisi
tidak seluruhnya tepat. Dalam beberapa kasus engkau menyatakan sesuatu harus dilakukan
tetapi hal tersebut tidak berkaitan dengan moral. Misalnya seseorang harus makan karena
dia lapar, atau seseorang dia harus berobat karena dia sedang sakit.” Turiel (2007)
mengatakan, “ada perbedaan antara moralitas dan konvensi sosial bagi anak. Menurutnya
perilaku moral, seperti memukul seseorang tanpa alasan, memiliki efek intrinsik (misalnya
kejahatan) terhadap kesejahteraan orang lain. Inti dari ciri kognisi moral berpusat pada
pertimbangan terhadap efek perilaku tertentu terhadap kesejahteraan orang lain.
Konvensi sosial tidak memiliki konsekuensi interpersonal. Misalnya ketika memberi
panggilan profesor atau bapak atau ibu kepada dosen atau menggunakan nama mereka.
Konvensi sosial hanya berkaitan dengan koordinasi sejumlah perilaku yang memperlancar
fungsi sosial kelompok tertentu.’’ Dari beberapa pendapat diatas, pengertian perkembangan
moral adalah perkembangan yang berkaitan dengan aturan dan konvensi mengenai apa
yang seharusnya dilakukan oleh manusia dalam interaksinya dengan orang lain.
Perkembangan moral adalah perubahan-perubahan perilaku yang terjadi dalam kehidupan
anak berkenaan dengan tata cara, kebiasaan, adat, atau standar nilai yang berlaku dalam
kelompok sosial agar anak tersebut mampu menyesuaikan diri dimana saja dia berada
dengan berpedoman pada nilai-nilai moral yang sudah di tanamkan, baik itu di lingkungan
keluarga maupun dalam pergaulannya di luar.
Adapun nilai-nilai moral yang penting ditanamkan pada anak antara lain:
kepedulian, kerjasama, berani, keteguhan hati dan komitmen, Adil, suka menolong,
kejujuran dan integritas, humor, mandiri dan percaya diri, loyalitas, sabar, rasa bangga,
banyak akal, sikap respek, tanggung jawab, toleransi. Berkaitan dengan nilai-nilai moral
yang seharusnya diajarkan oleh sekolah kepada siswa-siswa nilai-nilai tersebut adalah rasa
hormat, tanggung jawab, kejujuran, keadilan, toleransi, kebijaksanaan, disiplin diri, suka
membantu, belas kasih, kerjasama, keberanian, dan demokrasi. Kemampuan menghormati
nilai seseorang atau sesuatu. Rasa hormat dapat dilihat pada tiga bentuk: menghormati diri
sendiri, menghormati orang lain, menghormati kehidupan dan lingkungan sekaligus
memeliharanya.

16
2.6. Bentuk-Bentuk Perkembangan Moral
Perkembangan moral dapat berlangsung melalui beberapa cara:
1. Pendidikan Langsung, yaitu penanaman pengertian tentang tingkah laku yang benar dan
salah,atau baik buruknya orang tua,guru atau orang dewasa lainnya.
2. Identifikasi yaitu dengan cara mengidentifikasi atau meniru penampilan tingkah laku moral
seseorang yang menjadi idolanya
3. Proses Coba-coba (trial & error ) yaitu dengan cara mengembangkan tingkah laku moral
secara coba-coba. Tingkah laku yang mendatngkan pujian atau penghargaan akan terus
dikembangkan,sementara tingkah laku yang mendatangkan hukuman atau celaan akan
dihentikannya.
Dalam membahas proses perkembangan moral ini, dalam teori Lawrence Kohlerg
membagi perkembangan moral kedalam 3 tingkat yaitu:
1) Tingkat Pra Konvensional
Pada tingkat ini anak tanggap terhadap aturan-aturan budaya dan terhadap
ungkapan-ungkapan budaya mengenai baik dan buruk, benar dan salah. Akan tetapi hal ini
semata ditafsirkan dari segi sebab akibat fisik atau kenikmatan perbuatan (hukuman,
keuntungan, pertukaran dan kebaikan). Tingkatan ini dapat dibagi menjadi dua tahap:
a) Orientasi hukuman dan kepatuhan
Akibat-akibat fisik suatu perbuatan menentukan baik buruknya, tanpa
menghiraukan arti dan nilai manusiawi dari akibat tersebut. Anak hanya semata-mata
menghindarkan hukuman dan tunduk kepada kekuasaan tanpa mempersoalkannya. Jika ia
berbuat “baik’, hal itu karena anak menilai tindakannya sebagai hal yang bernilai dalam
dirinya sendiri dan bukan karena rasa hormat terhadap tatanan moral yang melandasi dan
yang didukung oleh hukuman dan otoritas
b) Orientasi Relativis-instrumental
Perbuatan yang benar adalah perbuatan yang merupakan cara atau alat untuk memuaskan
kebutuhannya sendiri dan kadang-kadang juga kebutuhan orang lain. Hubungan antar
manusia dipandang seperti hubungan di pasar (jual-beli). Terdapat elemen kewajaran
tindakan yang bersifat resiprositas (timbal-balik) dan pembagian sama rata, tetapi ditafsirkan
secara fisik dan pragmatis. Resiprositas ini merupakan tercermin dalam bentuk: “jika engkau
menggaruk punggungku, nanti juga aku akan menggaruk punggungmu”. Jadi perbuatan
baik tidaklah didasarkan karena loyalitas, terima kasih atau pun keadilan.

17
2) Tingkat Konvensional
Pada tingkat ini anak hanya menuruti harapan keluarga, kelompok atau bangsa.
Anak memandang bahwa hal tersebut bernilai bagi dirinya sendiri, tanpa mengindahkan
akibat yang segera dan nyata. Sikapnya bukan hanya konformitas terhadap harapan pribadi
dan tata tertib sosial, melainkan juga loyal (setia) terhadapnya dan secara aktif
mempertahankan, mendukung dan membenarkan seluruh tata-tertib atau norma-norma
tersebut serta mengidentifikasikan diri dengan orang tua atau kelompok yang terlibat di
dalamnya. Tingkatan ini memiliki dua tahap:
a) Orientasi kesepakatan antara pribadi atau orientasi “anak manis”
Perilaku yang baik adalah yang menyenangkan dan membantu orang lain serta
yang disetujui oleh mereka. Pada tahap ini terdapat banyak konformitas terhadap gambaran
stereotip mengenai apa itu perilaku mayoritas atau “alamiah”. Perilaku sering dinilai menurut
niatnya, ungkapan “dia bermaksud baik” untuk pertama kalinya menjadi penting. Orang
mendapatkan persetujuan dengan menjadi “baik”.
b) Orientasi hukuman dan ketertiban
Terdapat orientasi terhadap otoritas, aturan yang tetap dan penjagaan tata
tertib/norma-norma sosial. Perilaku yang baik adalah semata-mata melakukan kewajiban
sendiri, menghormati otoritas dan menjaga tata tertib sosial yang ada, sebagai yang bernilai
dalam dirinya sendiri.
3) Tingkat Pasca-Konvensional (Otonom / Berlandaskan Prinsip)
Pada tingkat ini terdapat usaha yang jelas untuk merumuskan nilai-nilai dan prinsip
moral yang memiliki keabsahan dan dapat diterapkan, terlepas dari otoritas kelompok atau
orang yang berpegang pada prinsip-prinsip itu dan terlepas pula dari identifikasi individu
sendiri dengan kelompok tersebut. Ada dua tahap pada tingkat ini.
a) Orientasi kontrak sosial
Legalitas Pada umumnya tahap ini amat bernada semangat utilitarian. Perbuatan
yang baik cenderung dirumuskan dalam kerangka hak dan ukuran individual umum yang
telah diuji secara kritis dan telah disepakati oleh seluruh masyarakat. Terdapat kesadaran
yang jelas mengenai relativitas nilai dan pendapat pribadi sesuai dengannya. Terlepas dari
apa yang telah disepakati secara konstitusional dan demokratis, hak adalah soal “nilai” dan
“pendapat” pribadi. Hasilnya adalah penekanan pada sudut pandangan legal, tetapi dengan
penekanan pada kemungkinan untuk mengubah hukum berdasarkan pertimbangan rasional

18
mengenai manfaat social. Di luar bidang hukum yang disepakati, maka berlaku persetujuan
bebas atau pun kontrak. Inilah “ moralitas resmi” dari pemerintah dan perundang-undangan
yang berlaku di setiap negara.
b) Orientasi Prinsip Etika
Universal Hak ditentukan oleh keputusan suara batin, sesuai dengan prinsip-prinsip
etis yang dipilih sendiri dan yang mengacu pada komprehensivitas logis, universalitas,
konsistensi logis. Prinsip-prinsip ini bersifat abstrak dan etis (kaidah emas imperatif
kategoris) dan mereka tidak merupakan peraturan moral konkret seperti kesepuluh Perintah
Allah. Pada hakikat inilah prinsip-prinsip universal keadilan, resiprositas dan persamaan hak
asasi manusia serta rasa hormat terhadap manusia sebagai pribadi individual. Berdasarkan
penelitian empirisnya tersebut, secara kreatif Kohlberg menggabungkan berbagai gagasan
dari Dewey dan Piaget, bahkan berhasil melampaui gagasan-gegasan mereka. Dengan kata
lain ia berhasil mengkoreksi gagasan Piaget mengenai tahap perkembangan moral yang
dianggap terlalu sederhana. Kohlberg secara tentatif menguraikan sendiri tahap-tahap 4, 5
dan 6 yang ditambahkan pada tiga tahap awal yang telah dikembangkan oleh Piaget. Dewey
pernah membagi proses perkembangan moral atas tiga tahap : tahap pramoral, tahap
konvensional dan tahap otonom. Selanjutnya Piaget berhasil melukiskan dan
menggolongkan seluruh pemikiran moral anak seperti kerangka pemikiran Dewey, :
(1) pada tahap pramoral anak belum menyadari keterikatannya pada aturan;
(2) tahap konvensional dicirikan dengan ketaatan pada kekuasaan;
(3) tahap otonom bersifat terikat pada aturan yang didasarkan pada resiprositas (hubungan
timbal balik).
Berkat pandangan Dewey dan Piaget maka Kohlberg berhasil memperlihatkan 6
tahap pertimbangan moral anak dan orang muda seperti yang tertera di atas. Hubungan
antara tahap-tahap tersebut bersifat hirarkis, yaitu tiap tahap berikutnya berlandaskan
tahap-tahap sebelumnya, yang lebih terdiferensiasi lagi dan operasi-operasinya terintegrasi
dalam struktur baru. Oleh karena itu, rangkaian tahap membentuk satu urutan dari struktur
yang semakin dibeda-bedakan dan diintegrasikan untuk dapat memenuhi fungsi yang sama,
yakni menciptakan pertimbangan moral menjadi semakin memadai terhadap dilema moral.
Tahap-tahap yang lebih rendah dilampaui dan diintegrasikan kembali oleh tahap yang lebih
tinggi. Reintegrasi ini berarti bahwa pribadi yang berada pada tahap moral yang lebih tinggi,
mengerti pribadi pada tahap moral yang lebih rendah.

19
2.7. Hubungan Antara Moral Dan Tingkah Laku
Menurut Santrock (2003) dalam waty (2017), moral lebih kuat mengenai tingkah
laku yang dapat diterima dan tidak dapat diterima, tingkah laku etis, atau tidak etis, dan cara-
cara dalam berinteraksi. Seorang remaja akan mengalami perkembangan moral, seiring
dengan semakin luasnya ia berinteraksi. Pada awalnya, seorang remaja hanya berinteraksi
di lingkungan keluarganya. Di sini pembentukan dasar-dasar moral terjadi dan akan menjadi
acuan bagi para remaja ketika ia berinteraksi (Santrock, 2003). Pembentukan moral terasa
sulit bagi remaja karena ketidak konsistenan dalam konsep benar dan salah yang
ditemukannya dalam kehidupan sehari-hari yang membuat remaja bingung. Hal ini akan
menjadi penghalang bagi remaja dalam proses pembentukan moralnya.
Perkembangan moral merupakan kebiasaan atau aturan yang harus dipatuhi oleh
seseorang dalam berinteraksi dengan orang lain. Perkembangan moral memiliki dimensi
intrapersonal, yang mengatur aktivitas seseorang ketika dia tidak terlibat dalam interaksi
sosial dan dimensi interpersonal yang mengatur interaksi sosial dan penyelesaian konflik
(Santrock, 2005). Sigmund Freud (dalam waty, 2017) mendasarkan bahwa karakter dan
moralitas seseorang akan nampak lebih jelas lagi pada sat ia mulai bergaul dan bergaul
dengan orang lain. Seiring dengan perkembangan sosial, anak juga mengalami
perkembangan moral. Adapun yang dimaksud dengan perkembangan moral adalah
perkembangan yang berkaitan dengan aturan mengenai apa yang seharusnya dilakukan
oleh manusia dalam interaksinya dengan oran lain (Santrock dalam waty 2017).
Gunarsa (1995) mengatakan bahwa seseorang dikatakan memperlihatkan adanya
perkembangan moral, jika perilakunya sesuai dengan aturan-aturan yang ada dalam
masyarakatnya, dengan kata lain perkembangan moral bersangkut paut dengan
bertambahnya kemampuan menyesuaikan diri terhadap aturan-aturan atau kaidah-kaidah
yang ada dalam lingkungan hidupnya atau dalam masyarakatnya dan diperlihatkan dalam
perilaku yang terus-menerus atau bersifat tetap. Interaksi sosial memegang peran penting
dalam perkembangan moral pertama, dengan memberi anak standar perilaku yang disetujui
kelompok sosialnya dan kedua dengan memberi mereka sumber motivasi untuk mengikuti
standar tersebut melalui persetujuan dan ketidaksetujuan. Tanpa interaksi dengan orang
lain anak tidak akan mengetahui perilaku yang disetujui secara sosial, maupun memiliki
sumber motivasi yang mendorongnya untuk tidak berbuat sesuka hatinya. Interaksi sosial
awal terjadi di dalam kelompok keluarga (Hurlock, 1999 dalam waty, 2017 ). Anak belajar

20
dari orangtua, saudara kandung, dan anggota keluarga lain apa yang dianggap benar dan
salah oleh kelompok sosial tersebut. Penolakan sosial atau hukuman bagi perilaku yang
salah, dan dari penerimaan sosial atau penghargaan bagi perilaku yang benar, anak
memperoleh motivasi yang diperlukan untuk mengikuti standar perilaku yang ditetapkan
anggota keluarga. Banyak faktor yang membuat remaja sekarang menjadi seorang individu
yang kurang bermoral, seperti keluarga yang bersikap dingin dan tidak perduli satu sama
lainnya, pengaruh teman sebaya yang berkelakuan buruk, kecanggihan teknologi yang
disalah gunakan hingga faktor lingkungan yang negatif. Selain keluarga, faktor yang paling
besar pengaruhnya terhadap moral remaja adalah lingkungan sosial anak remaja tersebut,
Hurlock (1999). Meninjau uraian di atas dapat disimpulkan bahwa perkembangan moral
mempengaruhi interaksi sosial seperti Interaksi sosial memegang peran penting dalam
perkembangan moral: pertama, dengan memberi anak standar perilaku yang disetujui
kelompok sosialnya dan kedua dengan memberi mereka sumber motivasi untuk mengikuti
standar tersebut melalui persetujuan dan ketidaksetujuan. Tanpa interaksi dengan orang
lain anak tidak akan mengetahui perilaku yang disetujui secara sosial, maupun memiliki
sumber motivasi yang mendorongnya untuk tidak berbuat sesuka hatinya.

2.8. Ciri-Ciri Perkembangan Moral


Perkembangan moral pada masa bayi (0-2 tahun) Pada masa bayi ini tingkah laku
hampir semuanya didominasi oleh dorongan naluriah belaka(Impulsif). Oleh arena itu
tingkah laku anak belum bisa dinilai sebagai tingkah laku bermoral atau tidak bermoral. Pada
masa ini, anak cenderung suka mengulangi perbuatan yang menyenangkan,dan tidak
mengulangi perbuatan yang menyakitkan ( menyenangkan).
Perkembangan moral pada masa pra sekolah (2-6 tahun) Pada masa ini anak sudah
memiliki dasar tentang sikap moralitas terhadap kelompok sosialnya (orangtua,saudara, dan
teman sebaya). Melalui pengalaman berinteraksi dengan ornag lain (orang tua,saudara dan
teman sebaya) anak belajar memahami tentang kegiatan atau perilaku mana yang baik
/boleh/diterima/disetujui atau buruk/tidak boleh/ditolak /tidakdisetujui. Berdasarkan
pemahamannya itu,maka pada masa ini anak harus dilatih atau dibiasakan mengenai
bagaimana dia harus bertingkah laku. Pada saat mengenalkan konsep-konsep baik-
buruk,benar-salah atau menanamkan disiplin pada anak ,orang tua atau guru hendak
memberikan penjelasan tentang alasannya.

21
Perkembangan Moral pada masa sekolah (6-12 tahun) Pada masa ini anak mulai
mengenal konsep moral (mengenai benar salah atau baik buruk pertama kali dari lingkungan
keluarga. Pada mulanya mungkin anak tidak mngerti konsep moral ini,tetapi lambat laun
anak akan memahaminya. Pada masa ini anak sudah dapat mengikuti pertautan atau
tuntutan dari orang tua atau lingkungan sosialnya. Pada akhir usia ini,anak sudah dapat
memahami alasan yang mendasari suatu peraturan. Disamping itu,anak sudah dapat
mengasosiasikan setiap bentuk perilaku dengan konsep benar-salah atau baik-buruk.
Perkembangan Moral pada masa Remaja (awal 12-15, madya 15-18, akhir 19-22
tahun) Melalui pengalaman atau berinterkasi sosial dengan orang tua,guru,teman sebaya
atau orang dewasa lainnya,tingkat moralitas remaja sudah lebih matang jika dibandingkan
dengan usi anak. Mereka sudah lebih mengenal tentang nilai-nilai moral atau konsep-
konsep moralitas sperti kejujuran,keadilan,kesopanan dan kedisiplinan. Pada masa ini
muncul dorongan untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang dapat dinilai baik oleh orang
lain. Remaja berperilaku bukan hanya untuk memenuhi kepuasan fisiknya,tetapi psikologis
(rasa puas dengan adanya penerimaan dan penilaian positif dari orang lain tentang
perbuatannya) Perkembangan moral pada masa dewasa Pada umumnya perkembangan
moral pada masa remaja dengan perkembangan moral pada masa dewasa sama, lebih
matang lagi dalam hal bersikap pada orang lain, dan mampu menghargai orang lain.

2.9. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perkembangan Moral


Perkembangan peserta didik banyak di pengaruhi oleh berbagai faktor eksternal
dan faktor internal. Begitupun dengan perkembangan moral dan spiritual dari peserta didik.
Meskipun kedua aspek perkembangan tersebut dipengaruhi oleh faktor eksternal dan
internal yang hampir sama tetapi kadar atau bentuk pengaruhnya berbeda. Menurut
Baharudin (2011), ‘’Pada perkembangan moral peserta didik faktor internal meliputi faktor
genetis atau pengaruh sifat-sifat bawaan yang ada pada diri peserta didik.’’ Selanjutnya sifat-
sifat yang mendasari adanya perkembangan moral dikembangkan atau dibentuk oleh
lingkungan. Peserta didik akan mulai melihat dan memasukkan nilai-nilai yang ada di
lingkubgan sekitarnya baik lingkungan keluarga maupun lingkungan masyarakat yang dapat
meliputi para tetua yang mungkin menjadi teladan di masyarakat, para tetangga, teman
maupun guru yang ada di lingkungan sekolah.

22
Semua aspek di atas memiliki peran yang penting dalam perkembangan moral
peserta didik yang kadarnya tau besarnya pengaruh bergantung pada usia atau kebiasaan
dari peserta didik itu sendir Untuk membentuk jati dirinya, peserta didik akan menentukan
sikap dalam menerapkan nilai-nilai karena dipengaruhi faktor eksternal dan internal tadi. Hal
tersebut tentunya dipengaruhi oleh pengetahuan peserta didik akan nilai-nilai moral yang
tentunya pertama kali akan dilihat dari sosok atau jati diri orang tua. Meskipun terkadang
orang tua tidak secara formal memberikan nilai-nilai moral tersebut, peserta didik tetap
mampu menginternalisasi atau memasukkan nilai-nilai tersebut ke dalam jati dirinya yang
diwujudkan dengan sikap dan tingkah laku peserta didik. Oleh karena itu, para sosiolog
beranggapan bahwa masyarakat sendiri mempunyai peran penting dalam pembentukan
moral. Pembentukan moral bagi peserta didik harus dilakukan agar perilaku mereka sesuai
dengan norma yang berlaku di masyarakat.
Menurut Yusuf (2011), ‘’usaha membentuk tingkah laku sebagai pencerminan nilai-
nilai hidup tertentu tersebut, banyak faktor yang mempengaruhinya diantaranya yaitu:
a. Tingkat harmonisasi hubungan antara orang tua dan anak.
b. Banyak model (orang-orang dewasa yang simpatik, teman-teman, orang-orang yang
terkenal dan hal-hal lain) yang diidentifikasi oleh anak sebagai gambaran-gambaran ideal.
c. Lingkungan meliputi segala segala unsur lingkungan sosial yang berpengaruh, yang
tampaknya sangat penting adalah unsur lingkungan berbentuk manusia yang langsung
dikenal atau dihadapi oleh seseorang sebagai perwujudan dari nilai-nilai tertentu.
d. Tingkat penalaran, dimana perkembangan moral yang sifatnya penalaran menurut
Kohlberg, dipengaruhi oleh perkembangan nalar sebagaimana dikemukakan oleh piaget.
Makin tinggi tingkat penalaran seseorang menrut tahap-tahap perkembangan piaget, makin
tinggi pula tingkat moral seseorang.
e. Interaksi sosial dalam memberik kesepakatan pada anak untuk mempelajari dan
menerapkan standar perilaku yang disetujui masyarakat, keluarga, sekolah, dan dalam
pergaulan dengan orang lain.”
Selain mempengaruhi perkembangan moral, faktor eksternal dan faktor internal
pada perkembangan peserta didik juga dipengaruhi oleh perkembangan spiritual. Menurut
Baharudin (2009), “Perkembangan spiritual juga dipengaruhi oleh faktor internal dan
eksternal pula. Faktor internal pada perkembangan spiritual juga berupa faktor keturunan

23
yaitu berupa pembawaan dimana faktor ini merupakan karakteristik dari orang itu sendiri,
dasar pemikiran dari individu berdasarkan kepercayaan dan budaya yang dimilikinya.’’
Faktor eksternal dapat berupa keluarga yang sangat menentukan pula dalam
perkembangan spiritual anak karena orang tua memiliki peran yang sangat penting sebagai
pendidik atau penentu keyakinan yang mendasari anak. Kemudian pendidikan keagamaan
yang diterapkan di sekolah juga dapat menjadi faktor penentu perkembangan spiritual anak,
karena dengan adanya pendidikan anak akan mulai berpikir secara logika dan menentukan
apa yang baik dan tidak bagi dirinya dan kelak akan menjadi karakter dari peserta didik.
Selain itu, adanya budaya yang berkembang di masyarakat akan mempengaruhi
perkembangan spiritual peserta didik pula. Baik perkembangan yang menuju arah yang baik
(positif) atau menuju ke arah yang buruk (negatif), itu semua tergantung pada bagaimana
cara anak berinteraksi dengan masyarakat tersebut. Tahapan tahapan perkembangan pada
peserta didik merupakan sebuah proses perubahan kualitatif yang mengacu pada kualitas
fungsi organ-organ jasmaniah dan bukan pada organ jasmani. arti perkembangan terletak
pada penyempurnaan fungsi psikologis yang termanifestasi pada kemampuan organ
fisiologis dan proses perkembangan akan berlangsung sepanjang kehidupan manusia.
Oleh karena itu perkembangan moral peserta didik banyak dipengaruhi faktor luar
Menurut Baharudin (2009), ‘’Dalam perkembangan tersebut dipengaruhi oleh beberapa hal
sebagai berikut:
a. Faktor Internal
Faktor internal yang mempengaruhi perkembangan moral anak yaitu faktor yang ada dalam
diri siswa itu sendiri yang meliputi pembawaan dan potensi psikologis tertentu yang turut
mengembangkan dirinya sendiri.
Dengan demikian faktor internal bisa dibagi menjadi 2 macam faktor fisik dan faktor psikis,
yakni: 1) Faktor fisik Di dunia ini orang mempunyai bentuk tubuh yang bermacam-macam.
Ada yang tinggi ceking, ada yang pendek gemuk, dan ada yang sedang antara tinggi dan
besar badanya. Sudah jelas, masing-masing mempunyai pengaruh tersendiri bagi
perkembangan seorang anak.
2) Faktor psikis Dalam hal kejiwaan, ada anak periang, sehingga banyak pergaulan. Akan
tetapi ada pula yang selalu tampak murung, pendiam, mudah tersinggung karenanya suka
menyendiri, kecerdasan dan temperamen.

24
3) Faktor Genetika (Hereditas) Hereditas merupakan totalitas karakeristik individu yang
diwariskan orang tua kepada anak, atau segala potensi baik fisik maupun psikis yang dimiliki
individu sejak masa konsepsi sebagai pewarisan dari pihak orang tua melalui gen-gen.
Pengaruh gen terhadap kepribadian, sebenarnya tidak secara langsung, tetapi yang
berpengaruh langsung dengan gen adalah kualitas sistem syaraf, keseimbangan biokimia
tubuh, dan struktur tubuh.
b. Faktor eksternal
Faktor eksternal adalah hal-hal yang datang atau ada diluar diri siswa/peserta didik yang
meliputi lingkungan (khususnya pendidikan) dan pengalaman berinteraksi siswa tersebut
dengan lingkungan. Diantara faktor eksternal yang mempengaruhi perkembangan moral
peserta didik adalah:
1) Faktor Lingkungan Sosial Masyarakat Lingkungan masyarakat sangat mempengaruhi
perkembangan moral peserta didik, karena lingkungan terdapat berbagai macam karakter
masyarakat, sehingga berbagai macam karakter itu sangat berpengaruh pada
perkembangan moral.
2) Culture Jika dihitung disekitar kita, ada berpuluh bahkan beratus kelompok masyarakat
yang masing-masing mempunyai kultur, budaya, adat istiadat, dan tradisi tersendiri, dan hal
ini jelas berpengaruh terhadap perkembangan moral peserta didik.
3) Educatif Etik pergaulan/moral membentuk perilaku kehidupan bermasyarakat dan
bernegara. Melihat pendidikan adalah proses pengoperasian ilmu yang normatif, yang
memberikan warna kehidupan sosial anak di dalam masyarakat dan kehidupan mereka di
masa yang akan datang. Oleh karena itu Faktor pendidikan ini relatif paling besar
pengaruhnya dibandingkan dengan faktor yang lain.
4) Religious Proses pembentukan prilaku seorang anak dengan agama merupakan faktor
penting yang mempengaruhinya karena pondasi agama merupakan salah satu faktor yang
sangat berpengaruh dan berperan penting sebagai media kontrol dalam perkembangan
peserta didik.”
Perkembangan moral menurut teori Psikoalisa yang disampaikan oleh Freud dalam
buku yang ditulis oleh Santrock (2008:36), “kepribadian manusia memiliki tiga struktur: id,
ego, dan superego. Id merupakan struktur kepribadian yang terdiri dari naluri (instinct), yang
merupakan gudang energi psikis individu. Id tidak sadar secara total; id tidak memiliki kontak

25
dengan realita. Ketika anak menghadapi tuntutan dan hambatan realitas, suatu struktur
kepribadian baru muncul yaitu ego. Ego berurusan dengan tuntutan realitas.
Ego disebut badan pelaksana (executive branch), karena ego membuat keputusan-
keputusan rasional. Id dan ego tidak memiliki moralitas. Id dan ego tidak memperhitungkan
suatu perbuatan benar atau salah.’’ Namun untuk ketentuan benar salah diputuskan
superego sebagai struktur kepribadian ketiga. Superego merupakan badan moral dalam
kepribadian dan benar-benar memperhitungkan apakah sesuatu benar atau salah.
Superego mirip dengan apa yang selalu kita sebut dengan kata hati. Sedangkan menurut
Sigmud Frued seperti yang dikutip oleh (Berk, 2006: 477), mengemukakan, ‘’Anak-anak usia
dini berkeinginan memiliki orangtua yang berbeda jenis, namun menekan keinginan tersebut
karena takut hukuman dan kehilangan cinta orangtua. Untuk memelihara cinta orangtuanya,
anak-anak membentuk superego, atau kata hati, dengan mengidentifikasi diri dengan
orangtua yang berjenis kelamin sama, pada saat itu mereka mengambil standar-standar
moral yang menjadi kepribadian mereka.”

26
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Perkembangan sosial merupakan proses untuk mencapai kematangan hubungan
sosial baik dalam keluarga ataupun dalam kelompok masyarakat guna untuk proses
penyesuaian diri. Perkembangan sosial memiliki karakteristik dengan pola tingkah laku yang
berbeda dalam kehidupan keluarga, sekolah maupun di kalangan kelompok masyarakat.
Dalam perkembangan menuju kematangan sosial, anak mewujudkan dalam bentuk interaksi
sosial, yaitu pembangkangan, agresif, bertengkar, menggoda, persaingan, kerja sama,
tingkah laku berkuasa, mementingkan diri sendiri, dan simpati. Faktor yang mempengaruhi
perkembangan sosial yaitu menyangkut aspek lingkungan keluarga, kematangan, status
sosial ekonomi, pendidikan, kapasitas mental. Pengaruh perkembangan sosial tingkah laku
pada anak dapat melahirkan dirinya dan orang lain. Cara mengoptimalkan perkembangan
sosial anak kemampuan sosialnya memberikan dukungan untuk bersosialisasi dan melatih
anak agar terampil melakukan interaksi dam komunikasi. Perkembangan moral (moral
development) melibatkan perubahan seiring usia pada pikiran, perasaan, dan perilaku
berdasarkan prinsip dan nilai yang mengarahkan bagaimana seseorang seharusnya
bertindak. Perkembangan moral memiliki dimensi intrapersonal (nilai dasar dalam diri
seseorang dan makna diri) dan dimensi interpersonal (apa yang seharusnya dilakukan orang
dalam interaksinya dengan orang lain).

3.2. Saran
Dalam mempelajari makalah ini, sebaiknya para pembaca juga membaca buku atau
meteri yang bersangkutan dengan makalah ini, karena makalah ini disajikan secara ringkas
untuk memudahkan pembaca, memperoleh inti dari bahasan yang terdapat dalam makalah.
Selain itu untuk dapat lebih memahami apa yang tersaji dalam makalah ini alangkah baiknya
bila di barengi dengan melakukan penelitian sederhana tentang perkembangan social dan
moral.

27
DAFTAR PUSTAKA
Fitri, M. (2020). Faktor yang mempengaruhi perkembangan moral pada anak usia dini. Al-
Athfaal: Jurnal Ilmiah Pendidikan Anak Usia Dini, 3(1), 1-15.
Liansari, V. (2023). Perkembangan Peserta Didik. Sidoarjo: Umsida Press.
Masganti, S. (2012). Perkembangan Peserta Didik. Medan : Perdana Publishing.
Sumanto, Sri dan Amelia. (2020). Perkembangan Peserta Didik. Pamulang:UNPAM Press.
Utami, C. F., & Fitriyani, P. (2019). Pengaruh pola asuh demokratif terhadap perkembangan
sosial remaja. Jurnal Perawat Indonesia, 3(1), 65-71.
Waty, A. (2017). Hubungan interaksi sosial dengan perkembangan moral pada remaja di
SMA UISU Medan. Jurnal Psikologi Konseling, 10(1).

28

Anda mungkin juga menyukai