Anda di halaman 1dari 47

Pengumpulan Informasi

&
Identifikasi Drug Related
Problem (DRP)
Nama : Cut Sara Salsabila
NIM : 1908109010007

Asuhan Kefarmasian (A)


DATA PASIEN

Nama : NA
JK : Perempuan
Umur : 74 tahun
Alamat : Lingka Kuta, Kec. Gandapura, Kab. Bireuen
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
BB : 37 kg
TB : 152 cm
Indeks BMI : 16,02 Kg/m2 (Moderate Thinnes)
No. HP : 081360884410

Data diambil pada 18 April


2022
KASUS PASIEN
Ibu NA merupakan seorang ibu rumah tangga yang berusia 74 tahun. Ibu NA sudah didiagnosa
mengidap Diabetes Melitus Tipe II selama 4 tahun dan rutin mengonsumsi obat Gliclazide 80mg.
Pada Mei 2021, Ibu NA mengeluhkan demam, batuk, hilang nafsu makan, dan lemas sampai susah
bangun dari tempat tidur. Setelahnya Ibu NA dibawa ke Medical Lab Prodia Banda Aceh dan
dilakukan pengecekan darah lengkap. Namun, saat ditanya hasil pengecekan ibu NA mengaku
sudah tidak mengingat lagi. Ibu NA kemudian disarankan dokter untuk melakukan foto thorax, dan
pada akhirnya Ibu NA didiagnosa mengidap Tuberkulosis Paru. Ibu NA mengaku tidak melalukan
pemeriksaan tes dahak. Terapi Farmakologi yang diberikan adalah Kombinasi Dosis Tetap yang
diminum 1 kali sehari 2 tablet sebelum makan selama 6 bulan. Lalu, pada bulan ke-6, dilakukan
pemeriksaan kembali dengan foto thorax, ditemukan masih ada sisa lesi. Oleh sebab itu, dokter
menyarankan untuk melanjutkan terapi. Ibu NA sudah menjalani terapi selama 9 bulan dan sudah
dinyatakan sembuh.
ANAMNESA
Keluhan
 Demam, batuk, hilang nafsu makan, dan lemas sampai susah bangun dari tempat tidur
Informasi Diet
 Dahulu sebelum didiagnosa DM tipe II sangat suka makan makanan yang manis, namun
sekarang sudah dihindari untuk dikonsumsi.
 Ibu NA rutin makan sayur, serta jarang mengonsumsi daging dan lemak jenuh lainnya
 Tidak mengonsumsi suplemen dan obat-obatan herbal (hanya mengonsumsi obat yang
diresepkan)
Riwayat Kebiasaan Sosial
 Jarang berolahraga
 Tidak merokok atau meminum alkohol.
Riwayat Penyakit Dahulu
 Diabetes Melitus Tipe II (berlangsung sampai sekarang)
Riwayat Penyakit Keluarga
 Diabetes Melitus Tipe II
 Hipertensi
Pemeriksaan Fisik Labs Test

• General : BB 37Kg, TB 152cm, BMI :  Cek darah lengkap di Medical Lab


16,02 Kg/m2 Prodia Banda Aceh, namun pasien
tidak mengingat hasilnya.
• Glukosa Darah Sewaktu : 320 mg/dl
 Tidak dilakukan pemeriksaan BTA
• Tekanan Darah : 120mg/dl
 Foto Thorax
• Kadar Kolesterol Total : 162 mg/dl
• Asam Urat : 3,5 mg/dl
• Abdomen : -
DIAGNOSA
● Tuberkulosis Paru
● Diabetes Melitus Tipe II
TERAPI FARMAKOLOGI
Kombinasi Dosis Tetap Obat Antidiabetes Oral

Rifampicin 150 mg Gliclazid 80 mg

75 mg Isoniazid Keterangan : Obat Gliclazid diberikan 1 kali


sehari 1 tablet dipagi hari sebelum makan

Pirazinamid 400 mg

275 mg Etambutol
Keteragan :
Obat KDT diberikan 1 kali sehari 2 tablet
dipagi hari sebelum makan
TUBERKULOSIS
Tuberkulosis (TB) merupakan suatu penyakit menular yang disebabkan oleh kuman dari kelompok Mycobacterium
yaitu Mycobacterium tuberculosis (Kemenkes RI, 2014)

Klasifikasi berdasarkan lokasi anatomi (Kemenkes RI, 2013):


• TB Paru : kasus TB yang melibatkan parenkim paru atau trakeobronkial. TB milier diklasifikasi sebagai TB paru
karena terdapat lesi di paru. Pasien TB paru dan ekstraparu diklasifikasikan sebagai kasus TB paru
• TB ekstraparu : Kasus TB yang melibatkan organ di luar parenkim paru.

Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan (WHO, 2017):


• Pasien baru TB : Pasien yang belum pernah mendapatkan pengobatan TB sebelumnya atau sudah pernah
menelan OAT namun kurang dari 1 bulan (<28 dosis)
• Pasien yang sudah pernah diobati TB: Pasien yang sebelumnya pernah menelah OAT selama 1 bula atau lebih
(>28 dosis)
• Pasien yang riwayat pengobatan sebelumnya tidak diketahui:
o Klasifiksi berdasarkan hasil pemeriksaan uji kepekaan obat
o Klasifikasi pasien TB berdasarkan status HIV
FAKTOR RESIKO
Menurut Kemetrian Kesehatan 2015, hal yang menjadi risiko sakit TB dan pengaruh
HIV/AIDS terhadap maslah TB adalah sebagai berikut :
• Diperkirakan 10% yang terinfeksi TB akan menjadi sakit TB
• Faktor daya tahan tubuh yang rendah : infeksi HIV/AIDS, malnutrisi (gizi buruk), dan
Diabetes Melitus (DM).
• Infeksi HIV menyebabkan penurunan sistem kekebalan tubuh, sehingga mudah mengalami
infeksi oportunistik, seperti tuberkulosis.
• Hal lain yang mempermudah penularan TB:
a. Hunian padat, misalnya dipenjara, pengungsian
b. Status sosial ekonomi yang tidak menguntungkan, seperti kemiskinan dan pelayanan
kesehatan yang buruk
c. Lingkungan Kerja, misalnya laboratorium klinik, rumah sakit
Diabetes Melitus
Diabetes Melitus merupakan suatu kondisi kronik dimana tubuh tidak dapat memproduksi insulin yang cukup
atau tidak efektif untuk dipergunakan, sehingga pada akhirnya menyebabkan penderita tidak dapat
menggunakan glukosa dengan sebaik-baiknya (Arliny, 2015)

International Diabetes Federation (2012), melaporkan penderita diabetes melitus beresiko 2,5 kali lebih
tinggi untuk berkembang menjadi tuberkulosis dibanding yang tidak DM. Saat ini, prevalensi terjadinya TB
paru meningkat seiring dengan peningkatan prevalensi pasien DM.

Faktor yang mempermudah terjadi TB paru pada DM adalah :


• Fisikokimia : hiperglikemia, hipoglikemia, asidosis menyebabkan tekanan osmosis ekstra sel meningkat, sel
dehidrasi (+), fagositosis menurun, adanya penetrasi kuman, angiopati.
• Kekebalan menurun : pada DM terjadi gangguan metabolisme protein, kadar kortisol plasma meningkat,
benda keton meningkat, asidosis, aktifitas fagositosis makrofag dan imunitas humoral menurun (Mihardja,
2015).

Sumber:
• Arliny, Y. (2015). Tuberkulosis dan Diabetes Melitus Implikasi Klinis Dua Epidemik. Jurnal Kedokteran, Vol 15(1). 36-
43.
• Mihardja, L., Lolong, D. B., & Gihani, L. (2015). Prevalensi Diabetes Melitus pada Tuberkulosis dan Masalah Terapi.
Jurnal Ekologi Kesehatan, Vol.14(4), 350-358.
IDENTIFIKASI DRP
IDENTIFIKASI DRP

Gambar. Poin DRP yang diidentifikasi berdasarkan


klasifikasi PCNE
P1
TREATMENT
EFFECTIVENESS
Penatalaksanaan TB berdasarkan Pedoman Nasional
Pelayanan Kedokteran Tata Laksana Tuberkulosis
Berdasarkan hasil wawancara Ibu NA mengatakan bahwa setelah
penggunaan obat yang diresepkan perlahan-lahan keluhan yang
dirasakan berkurang.
• Keluhan demam yang dirasakan sudah teratasi.
• Keluhan batuk mulai teratasi setelah penggunaan obat selama 1,5
bulan.
• Rasa lemas berangsur-angsur membaik, hal ini beriringan dengan
peningkatan berat badan. Ibu NA sekarang sudah sanggup
bangun dari tempat tidurnya. Berat badan Ibu NA semulanya 37
Kg kini sudah mencapai 42 Kg.

Lesi Foto thorax yang kedua setelah pengobatan 6 bulan hanya


tersisa sedikit. Lalu dokter menyarankan untuk diterapi sampai 9
Kombinasi dosis tetap terdiri dari 4 macam obat yaitu
bulan.
Rifampicin, Pirazinamid, Isoniazid, dan Etambutol yang
dapat mencegah terjadinya resistensi
Perlu pengawasan setelah pengobatan selesai untuk mendeteksi dini
terjadinya kekambuhan. Setelah 1 bulan dari waktu ibu NA
dinyatakan sembuh belum ada tanda-tanda terjadi kekambuhan.

Sumber : Kesimpulan : Obat yang diresepkan sudah efektif mengatasi


KemenKes RI. (2013). Pedoman Nasional Pelayanan keluhan yang dirasakan pasien.
Kedokteran Tata Laksana Tuberkulosis. KemenKes, Jakarta
Tujuan Penatalaksanaan Diabetes Melitus Berdasarkan
Pedoman Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus
Tipe II Dewasa di Indonesia :

Ibu NA sudah 4 tahun mengidap DM tipe II, beliau mengatakan saat


awal mengidap DM kerap kali merasa lapar dan mulut terasa
kering. Hasil pengecekan glukosa darah sewaktu ibu NA mencapai
320 mg/dl, sehingga diterapi menggunakan Gliclazid dari
golongan Sulfonilurea. Berdasarkan hasil wawancara, pasien belum
pernah melakukan pengecekan HBA1C dan biasanya hanya
mengontrol gula darah dengan pengecekan glukosa darah sewaktu.
Sehingga target HBA1C tidak dapat dimonitoring, namun untuk
glukosa darah sewaktu terjadi penurunan setelah minum obat.
Pemeriksaan terakhir pada bulan april 2022, glukosa darah
sewaktu mencapai 190 mg/dl.

Kesimpulan : Ibu NA mengatakan sudah jarang merasakan lapar yang berlebih.


Obat yang diresepkan sudah efektif mengatasi keluhan Untuk keluhan mulut terasa kering sudah tertangani.
yang dirasakan pasien.

Sumber : PERKENI. (2021). Penatalaksanaan Diabetes Melitus Berdasarkan Pedoman


Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe II Dewasa di Indonesia. PB
Perkeni, Jakarta.
P2
TREATMENT
SAFETY
Rifampicin
Berdasarkan hasil wawancara terkait efek samping yang
mungkin terjadi. Ibu NA mengatakan saat penggunaan
obat urinenya berubah warna menjadi merah

Perubahan warna urine terjadi karena :

Sumber :
• Monthly Index of Medical Specialities (MIMS). (2021). https://www.mims.com/indonesia/drug. Diakses pada
29 April 2022.
• Fraga, A. D., Oktavia, N., & Mulia, R. A. (2021). Evaluasi Penggunaan Obat Tuberkulosis Pasien Baru
Tuberkulosis Paru di Puskesmas Oebobo Kupang Tahun 2020. Jurnal Farmagazine, Vol. VIII(1)
Isoniazid
Berdasarkan hasil wawancara terkait efek samping yang
mungkin terjadi. Saat penggunaan obat, Ibu NA kerap kali
mengeluhkan kaki yang terasa kebas.

Berdasarkan Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Tata Laksana Peripheral neuropathy terjadi karena :
Tuberkulosis, berikut efek samping minor dan penanggulangannya:

Sumber:
• KemenKes RI. (2013). Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Tata Laksana Tuberkulosis. KemenKes, Jakarta
• Monthly Index of Medical Specialities (MIMS). (2021). https://www.mims.com/indonesia/drug. Diakses pada 29 April 2022.
• National Center for Biotechnology Informasi (NCBI). (2021). https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK531488/. Diakses pada 29
April 2022.
Pirazinamid

Berdasarkan hasil wawancara terkait efek samping yang


mungkin terjadi. Ibu NA mengaku tidak mengeluhkan efek
samping yang disebutkan.

Perlu diperhatikan, bahwa pemberian obat berpotensi


menyebabkan hepatotoksik

Sumber :
• Monthly Index of Medical Specialities (MIMS). (2021). https://www.mims.com/indonesia/drug. Diakses
pada 29 April 2022.
• Ramappa, V., & Aithai, G. (2013). Hepatotoxicity Related to Anti-tuberculosis Drug : Mechanisms and
Management. J Clin Exp Hepato, Vol.3 (1), 37-49
Mekanisme Isoniazid menyebabkan hepatotoksik Mekanisme Rifampicin meyebabkan hepatotoksik
berdasarkan jurnal Clinical and Experimental berdasarkan Indonesia Jurnal Chest, 2020 :
Hepatology, 2013 :

Berdasarkan KemenKes RI tahun2013 Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Tata


Laksana Tuberkulosis, jika mengalami Hepatotoksik segera diskusikan dengan dokter
dan hentikan OAT

Sumber:
• Banjuradja, I., & Singh, G. (2020). Mekanisme Hepatotoksik dan Tatalaksana Tuberkulosis pada
gangguan Hati. Indonesia Jurnal Chest, Vol. 7 (2). 52-64.
• Ramappa, V., & Aithai, G. (2013). Hepatotoxicity Related to Anti-tuberculosis Drug : Mechanisms
and Management. Journal Clincal and Experimental Hepatologi, Vol.3 (1), 37-49
Etambutol

Berdasarkan hasil wawancara terkait efek samping yang


mungkin terjadi. Ibu NA mengaku tidak mengeluhkan efek
samping yang disebutkan.

Berdasarkan KemenKes RI tahun2013 Pedoman Nasional Pelayanan Keterangan : Ibu NA merupakan pasien DM-Tuberkulosis,
Kedokteran Tata Laksana Tuberkulosis, jika mengalami gangguan sehingga dikhawatirkan mengalami komplikasi pada mata.
penglihatan segera diskusikan dengan dokter dan hentikan pengobatan Oleh sebab itu, perlu dilakukan pemantauan lebih lanjut untuk
mengantisipasi terjadinya efek samping
Sumber:
• KemenKes. (2019). Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Tata Laksana Tuberkulosis.
KemenKes, Jakarta.
• Monthly Index of Medical Specialities (MIMS). (2021). https://www.mims.com/indonesia/drug.
Diakses pada 29 April 2022.
Gliclazide
Berdasarkan hasil wawancara, Ibu NA mengatakan selama
4 tahun menjalani pengobatan DM tidak pernah mengalami
keadaan hipoglikemia. Glukosa darah sewaktu saat
penggunaan obat ialah 190mg/dl, dengan ini dapat
dikatakan Ibu NA tidak mengalami hipoglikemia. Untuk
resiko kenaikan berat badan, Ibu NA mengatakan selama 4
tahun penggunaan tidak mengalami kenaikan yang
berlebihan, hanya 1 atau 2Kg, sama seperti sebelum
penggunaan obat. Namun pada satu bulan sebelum
didiagnosa TB paru, BB Ibu NA mengalami penurunan yang
sangat drastis, lalu setelah mulai sembuh BB berangsur-
angsur naik kembali. Dengan kata lain, kenaikan BB ini
bukan disebabkan oleh efek samping penggunaan obat.

Sumber : PERKENI. (2021). Penatalaksanaan Diabetes Melitus Berdasarkan


Pedoman Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe II Dewasa di
Indonesia. PB Perkeni, Jakarta.
Kesimpulan: Pasien berpotensi mengalami
efek samping urine berwarna merah akibat
penggunaan Rifampicin dan berpotensi
mengalami kaki kebas akibat penggunaan
Isoniazid.
Keterangan:
Keluhan yang dirasakan pasien
digolongakan sebagai efek
samping minor

Sumber:
KemenKes. (2019). Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Tata
Laksana Tuberkulosis.
C1
DRUG SELECTION
Berdasarkan wawancara pasien berusia 74 tahun dengan
berat badan 37Kg. Ibu NA baru pertama kali didiagnosa
mengalami TB paru. Obat yang diterima oleh ibu NA adalah
KDT (Kombinasi Dosis Tetap) yang berisi:
• Rifampicin 150mg
• Isoniazid 75mg
• Pyrazinamid 400mg
• Etambutol 275mg

Sumber :
• International Union Againts Tuberculosis and Lung Disease. (2019). Manangement of Diabetes Mellitus-
Tuberculosis. World Diabetes Foundation, Paris.
• KemenKes. (2013). Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Tata Laksana Tuberkulosis. KemenKes,
Jakarta.
Rifampicin Isoniazid

Rifampicin merupakan derivat semisintetik Isoniazid masuk ke dalam sel M. tubeculosis


rifamisin B. Rifampicin bekerja dengan sebagai prodrug dengan berdifusi secara pasif.
menghambat sintesis DNA bakteri dengan INH kemudian diaktifkan oleh enzim katalase-
mengikat Beta-Subunit dari DNA peroksidase yang diekspresikan oleh gen KatG
dependent-RNA polimerase sehingga sehingga menjadi bentuk aktifnya. INH aktif
menghambat peningkatan enzim tersebut ke akan menghambat biosintesis asam mikolat (long
DNA dan menghambat transkripsi mRNA chain alfa-branched Beta-hydroxylated fatty acid)
(Loubser, 2010) dinding sel M. tuberculosis (Siregar, 2015)

Sumber :
• Loubser, S. (2010). Tuberculosis Drugs-First Line.
https://immunopaedia.org/index.php?id=260&L=0&key=0. Diakses pada 27 April 2022.
• Siregar, M. I. T. (2015). Mekanisme Resistensi Isoniazid & Mutasi Gen KatG Ser315Thr (G944C)
Mycobacterium Tuberculosis sebagai Penyebab Tersering Resistensi Isoniazid. JMJ. Vol. 3 (II), 119-131.
Pyrazinamid Etambutol

Pyrazinamid adalah pro-drug yang diubah Etambutol dapat menekan pertumbuhan


menjadi bentuk aktif (asam pyrazianoic) oleh kuman tuberkulosis yang telah resisten
enzim pyrazinamidase (PncA). Asam terhadap Isoniazid dan Streptomisin. Obat
pyrazianoic menghambat aksi sintetase asam ini bekerja dengan menghambat sintesis
lemak I (FAS I). FAS I terlibat dalam sintesis metabolisme sel sehingga menyebabkan
asam mycolic rantai pendek yang merupakan kematian sel. EMB menghambat aksi
komponen struktural penting dari dinding sel arabinosyl (EmbB) yang merupakan enzim
mikobakteri dan melekat ke lapisan membran terkait yang terlibat dalam
arabinogalactam. Obat ini bersifat sintesis arabinogalaktan (Loubser, 2010).
bakteriosidal (Loubser, 2010)

Kesimpulan :
Berdasarkan literatur, penggunaan KDT pada pasien TB
dengan DM sudah tepat indikasi

Sumber : Loubser, S. (2010). Tuberculosis Drugs-First Line.


https://immunopaedia.org/index.php?id=260&L=0&key=0. Diakses pada 27 April
2022.
Gliclazid 80mg
Berdasarkan wawancaran glukosa darah sewaktu Ibu NA
adalah 320mg/dl. Obat yang diterima Ibu NA untuk terapi
Diabetes Melitus Tipe II adalah Gliclazide dari golongan
Sulfonilurea. Obat golongan ini merupakan pilihan kedua
setelah metformin. Saat proses wawancara, Ibu NA
mengatakan belum pernah menggunakan metformin
sehingga tidak bisa dievaluasi alasan dipilih lini kedua dari
pada penggunaan metformin sebagai lini pertama.

Keterangan :
Pemeriksaan terakhir gula darah sewaktu : 190mg/dl

Kesimpulan :
Berdasarkan literatur, penggunaan gliclazide dengan
obat untuk tuberkulosis (rifampisin) dapat menimbulkan
interaksi obat, sehingga dinilai kurang tepat.

Sumber :
• International Union Againts Tuberculosis and Lung Disease. (2019). Manangement of Diabetes Mellitus-Tuberculosis. World
Diabetes Foundation, Paris.
• Sari, W. D. P, Nurmainah, & Utari, E. K. (2019). Interaksi Obat Hipoglikemik Oral (OHO) dengan Obat Antituberkulosis (OAT)
pada Pasien Diabetes Melitus Tipe II yang terinfeksi TB. Jurnal Farmasi Kalbar, Vol. IV (1), 57-65
C2
DRUG FORM
Obat yang diterima pasien:
Kombinasi Dosis Tunggal Kesimpulan :
• Rifampicin Tidak terdapat masalah dalam penggunaan obat
• Isoniazide bentuk tablet.
• Pyrazinamide Sediaan Tablet
• Etambutol
Gliclazide

Hasil wawancara :
• Pasien tidak dalam keadaan khusus yang
menyulitkan dalam mengonsumsi obat dalam
sediaan tablet (bukan pasien post-stroke)
• Pasien tidak mengeluhkan adanya kesulitan
saat penggunaan obat bentuk tablet
C3
DOSE SELECTION
Berdasarkan wawancara, Ibu NA mengatakan bahwa pada
2 bulan pertama diberikan 4KDT yaitu kombinasi dosis
tetap yang terdiri dari :
• Rifampicin 150mg
• Isoniazid 75mg
• Pyrazinamid 400mg
• Etambutol 275mg

Pada terapi bulan 3-6 diberikan 2KDT yang berisi:


• Rifampicin 150mg
• Isoniazid 75mg

Setelah pemeriksaan foto thorax ke-2, ditemukan masih


tersisa lesi sehingga terapi 2KDT dilanjutkan sampai bulan
ke-9.

Ibu NA mengatakan setiap harinya mengonsumsi dua tablet


KDT dipagi hari sebelum makan sesuai dengan instruksi
yang diberikan dokter. Pemberian 2 tablet dikarenakan
Kesimpulan : Berdasarkan literatur, pemberian dosis KDT dan regimen 1 berat badan Ibu NA adalah 37Kg.
kali sehari 2 tablet sudah tepat sesuai dengan berat badan dan fase
pemberian. Penggunaan obat sudah tepat yaitu sebelum makan
Sumber :
• International Union Againts Tuberculosis and Lung Disease. (2019). Manangement of Diabetes Mellitus-Tuberculosis.
World Diabetes Foundation, Paris.
• KemenKes. (2016). Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Tata Laksana Tuberkulosis
Gliclazid 80mg
Berdasarkan wawancara, pasien dengan
glukosa darah sewaktu 320mg/dl diresepkan
Gliclazide 80mg. Pasien mengatakan bahwa
Gliclazid dikonsumsi 1 kali sehari 1 tablet
sebelum makan dipagi hari.

Kesimpulan : Mengingat adanya potensi


interaksi dengan rifampisin yang dapat
mengurangi efektifitas obat gliclazid, maka
frekuensi pemberian 1 kali sehari dinilai
kurang tepat.

Sumber :
KemenKes. (2013). Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Tata Laksana Tuberkulosis.
KemenKes, Jakarta.
C4
TREATMENT
DURATION
Berdasarkan wawancara, Ibu NA mengonsumsi obat 4KDT
selama 2 bulan awal, lalu dilanjut dengan penggunaan 2KDT
selama 4 bulan. Setelah 6 bulan pengobatan, Ibu NA kembali
diperiksa dengan foto thorax. Hasil yang didapatkan, masih
terdapat sisa lesi pada foto thorax, sehingga dokter
menyarankan untuk melanjutkan penggunaan 2KDT sampai
bulan ke-9.

Keterangan :
• Ibu NA baru pertama kali didiagnosa Tuberkulosis paru
• Glukosa darah sewaktu : 190mg/dl (setelah minum
obat)

Kesimpulan : Berdasarkan literatur, durasi penggunaan


obat KDT dinilai sudah tepat

Sumber :
• International Union Againts Tuberculosis and Lung Disease. (2019). Manangement of Diabetes Mellitus-Tuberculosis.
World Diabetes Foundation, Paris.
• KemenKes. (2016). Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Tata Laksana Tuberkulosis. KemenKes, Jakarta.
Berdasarkan wawancara, pasien sudah mengonsumsi
obat antidiabetes oral selama 4 tahun. Obat yang
digunkan berasal dari golongan sulfonilurea yaitu
gliclazid 80mg.

Kesimpulan : Berdasarkan literatur, durasi pengunaan


obat antidiabetes oral dinilai sudah tepat

Sumber :
• Gusti, E. K. M., Kuswinarti, Dahlan, A. (2020). Persepsi Pasen DM Tipe 2 terhadap Penggunaan Obta Antidiabetes
Oral di RSUD dr. Hasan Sadikin Bandung. JMPF, Vol. 1(1), 56-65.
• Ningrum, D. K. (2020). Kepatuhan Minum Obat pada Penderita Diabetes Melitus Tipe II. Higeai Journal of Public
Health Research and Development, Vol. 4 (3), 492-505.
C5
DISPENSING
“Poin ini dapat diabaikan karena bukan
obat racikan”
C6
DRUG USE
PROCESS
Poin ini dapat diabaikan
karena pemberian obat tidak
dilakukan di Fasilitas Kesehatan
C7
PATIENT RELATED
Pasien menggunakan obat lebih sedikit dari yang Berdasarkan wawancara, Ibu NA mengatakan
C7.1 diresepkan atau tidak menggunakan obat sama bahwa setiap hari dipagi hari selalu menimun obat
sekali yang diresepkan. Ibu NA meminum keseluruhan dari
tablet, tidak membagi tablet, tidak mengurangi dan
melebihkan dosis.

Pasien menggunakan obat lebih banyak dari yang Berdasarkan wawancara, pasien mematuhi instruksi
C7.2 diresepkan. yang diberikan dengan mengonsumsi 1 kali sehari 2
tablet KDT dan 1 kali sehari 1 tablet gliclazid.

Berdasarkan wawancara, pasien tidak


C7.3 Pasien menyalahgunakan obat (tidak sesuai anjuran) menyalahgunakan obat dan patuh mengonsumsi obat
setiap hari sebelum makan

Berdasarkan wawancara, pasien tidak mengunakan


C7.4 Pasien menggunakan obat yang tidak diperlukan
obat lain selain yang diresepkan
Pasien mengonsumsi makanan yang menyebakan Berdasarkan wawancara, pasien tidak mengonsumsi
C7.5 interaksi obat makanan yang berinteraksi dengan obat, serta
selalu mengonsum obat sebelum makan.
KDT (MIMS)

Gliclazide (MIMS)

Berdasarkan wawancara, pasien menyimpan obat di


C7.6 Pasien menyimpan obat secara tidak tepat
suhu ruang dan menjauhkannya dari anak-anak.

KDT (MIMS)

Gliclazide (MIMS)
Berdasarkan wawancara, pasien mengonsumsi obat
C7.7 Waktu dan interval dosis tidak tepat pada waktu dan interval dosis yang sesuai dengan
instruksi.

C7.8 Pasien secara tidak sengaja memberikan atau Berdasarkan wawancara, pasien mengonsumsi obat
menggunakan obat dengan cara yang salah dengan cara yang benar.

Berdasarkan wawancara, pasien dapat mengonsumsi


C7.9 Pasien tidak dapat menggunakan obat/bentuk obat sesuai dengan petunjuk dan tidak bermasalah
sediaan sesuai petunjuk dengan bentuk sediaan yang diberikan.

Berdasarkan wawancara, pasien memahami dengan


C7.10 Pasien tidak memahami instruksi yang diberikan baik instruksi yang diberikan.

Kesimpulan: Tidak terdapat masalah terkait pasien


PRIORITAS DRP
Prioritas masalah yang telah diidentifikasi adalah pada poin Drug
Selection yaitu adanya potensi interaksi Gliclazid dengan
rifampicin. Penggunaan bersamaan dapat menyebabkan penurunan
konsentrasi obat gliclazid dalam plasma, sehingga terjadi
penurunan efektivitas penurunan kadar gula darah. Berdasarkan
literatur, agar penggunaannya menjadi lebih efektif perlu
ditingkatkan dosis. Ibu NA mengonsumsi obat gliclazide 80mg 1 kali
sehari 1 tablet. Namun berdasarkan KemenKes tahun 2013 terkait
Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Tata Laksana
Tuberkulosis, Gliclazide dapat diberikan 2 kali sehari 1 tablet.
Sehingga perlu didiskusikan kembali dengan dokter untuk Masalah lain yang telah diidentifikasi adalah pada
penggantian regimen dosis Gliclazid. bagian Treatment Safety yaitu adanya efek samping
yang dirasakan pasien. Efek samping yang dirasakan
berupa urine berwarna merah yang diduga
disebabkan oleh Rifampisin dan Peripheral
Neuropathy (kaki terasa kebas) yang diduga
disebakan oleh penggunaan Isoniazid. Efek samping
ini golongkan sebagai efek samping minor.
SOAP
ANALISIS SOAP

Pasien mengeluhkan sering SUBJECTIVE ASSESSMENT Potensi interaksi antara


lapar dan mulut terasa kering Rifampicin dengan Gliclazide

Mendiskusikan dengan dokter


• Glukosa darah sewaktu (Saat OBJECTIVE PLAN terkait regimen dosis yang diterima
didiagnosa) : 320mg/dl pasien dan menyarankan pada
• Glukosa darah sewaktu dokter untuk meningkatkan frekuensi
(Sekarang) : 190mg/dl minum obat Gliclazide menjadi 2
kali sehari 1 tablet
ANALISIS SOAP
Pasien diduga mengalami efek
• Pasien merasakan urine berwarna
samping urine berwarna merah yang
merah sesaat setelah minum obat SUBJECTIVE ASSESSMENT disebabkan oleh penggunaan
• Kaki kebas dirasakan setelah
Rifampisini, sedangkan kaki kebas
beberapa minggu menggunakan
diduga terjadi karena penggunaan
obat
Isoniazid.

• Memberikan edukasi pada pasien


bahwa urine merah disebabkan karna
• Rifampicin 150mg
kandungan warna pada obat
• Isoniazid 75mg OBJECTIVE PLAN Rifampicin.
• Saat diminta memberikan skala
• Jika rasa kebas semakin parah, perlu
kebas dari 1- 5 yang dirasakan,
mendiskusikan dengan dokter untuk
Ibu NA menjawab 3
pemberian obat piridoksin 50/75mg
perhari
TERIMA KASIH

Anda mungkin juga menyukai