Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

“ SEJARAH DAN PERKEMBANGAN OTONOMI DAERAH DI


INDONESIA”

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan


Dosen pengampu :
Dwi Edi Wibowo S.H, M.Hum

Disusun oleh:
Ahrenza Yakzhan (0622015701)  
M. Naja Sajidan (0622015821)  
Muh. Zuhad Mahya Raul (0622015781)  
Rani Maharani (0622015721)  
Nur Fitri Rahmawati (0622015791)  
Nirmala Falujatunnisa (0622016001)  

UNIVERSITAS PEKALONGAN
FAKULTAS ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
2022
KATA PENGANTAR 
 

Puji syukur  dipanjatkan ke Hadirat Allah swt. Karena berkat limpahan rahmat dan
karuniaNya penulis dapat menyusun tugas kelompok yang berjudul “Sejarah dan
Perkembangan Otonomi Daerah di Indonesia. 
 
Makalah ini merupakan salah satu tugas kelompok yang diberikan dalam mata kuliah
Kewarganegaraan. 
 
Kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan yang esensi pada makalah ini, baik
pada segi teknis penulisan maupun materi, mengingat akan kemampuan yang kami miliki.
Oleh karena itu, kami mengundang pembaca untuk memberikan saran serta kritik konstruktif 
untuk penyempurnaan makalah selanjutnya. 
 
Akhir kata semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua. 
 

Pekalongan, 23 November 2022 

 
 
Penulis 
 

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...........................................................................................................................2
DAFTAR ISI.........................................................................................................................................3
BAB I....................................................................................................................................................4
PENDAHULUAN.................................................................................................................................4
1.1 LATAR BELAKANG.................................................................................................................4
1.2 RUMUSAN MASALAH.............................................................................................................5
1.3 TUJUAN.....................................................................................................................................5
BAB II...................................................................................................................................................6
PEMBAHASAN...................................................................................................................................6
2.1 Perkembangan Otonomi Daerah pada Masa Penjajahan Belanda................................................7
2.2 Perkembangan Otonomi Daerah pada Masa Penjajahan Jepang..................................................8
2.3 Perkembangan Otonomi Daerah pada masa Orde Lama..............................................................9
2.4 Perkembangan Otonomi Daerah pada Masa Demokrasi Liberal................................................10
2.5 Perkembangan Otonomi Daerah pada Masa Demokrasi Terpimpin..........................................11
2.6 Perkembangan Otonomi Daerah pada Masa Orde Baru.............................................................12
2.7 Perkembangan Otonomi Daerah pada Masa Reformasi.............................................................13
BAB III................................................................................................................................................16
PENUTUP...........................................................................................................................................16
3.1 KESIMPULAN.........................................................................................................................16
3.2 SARAN................................................................................................................................16
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................................................17

3
BAB I 

PENDAHULUAN 

 
1.1 LATAR BELAKANG 

Banyaknya tingkat urbanisasi di kota adalah salah satu bukti bahwasanya mindset dan
presepsi masyarakat desa bahwasanya desa itu tidak dapat mensejahterakan mereka telah menjamur,
artinya kebijakan pemerintah tentang daerah pun dirasa sudah gagal dalam membangun wilayah
desa. Bukan lagi permasalahan sumber daya alam yang terbatas tetapi juga permasalah mengenai
harapan hidup yang akan dibutuhkan oleh masyarakat desa, minimnya lapangan pekerjaan karna
usaha yang digarap hanya dijalnkan oleh beberapa orang saja, selain itu keterbatasan sumber daya dan
lulusan juga menghambat bagi berkembangnya desa tersebut, maka dari itu solusi akhir yang diambil
adalah urbanisasi, mengadu nasib di kota yang nantinya akan menyebabkan penambahan penduduk
yang akan berdampak buruk. 
Masih ingat kembali kebijakan pemerintah tentang pembangunan satu desa satu miliar
sepertinya tidak akan berjalan mulus seperti yang diperkirakan, karena pada dasarnya permasalahn
pemerintah adalah apa yang dibicarakan tidak sesuai dengan kebijakan yang akan dijalankan selain itu
kasus korupsi yang telah menjamur dimana-mana, bahkan telah merambat ke distrik yang lebih kecil
yakni desa tidak terkecuali kasus korupsi pada golongan DPRD. Sebenarnya fungsi dari adanya
DPRD tersebut adalah mewakili rakyat sebagai dewan daerah tetpi nyatanya pembuktian menyatakan
bahwa dana yang di peroleh hanya di proses untuk sendiri tidak sepenuhnya oleh rakyat. Permasalah
yang terjadi dari masa orde lama sampai sekarang yang menyatakan bahwa kekuasaan DPRD terlalu
tinngi bahkan mungkin seperti yang dilansir beberapa sumber bahwasanya di dalam UU No.1 tahun
1945 dan beberapa undang-undang daerah lainnya bersifat parlementer. Dimana titik kekuasaan
berdiri pada DPRD.  Sebenarnya permasalahan yang terus terjadi adalah tidak adanya evaluasi yangt
baik yang dijalankan pemerintah dalam mengatur serta membuat undang-undang daerah tersebut atau
kebijkan-kebijan daerah.  
Kasus orde lama telah menjabarkan bahwasanya distrik daerah adalah distrik empuk yang
akan dijadikan alat kekuasaan politik, maka dari itu partai yang mendominasi pada saat itu dapt
dengan mudah menguasai pemerintahan khususnya pemerintahan daerah, dilansir dari beberapa
sumber pada masa orde lama kebanyakan peraturan pemerintah termasuk pemerintah daerah dapat
dikuaai partai komunis indonesia atau PKI dengan mudah. Atau masa orde baru yang mengajarkan
bahwasanya pembangunan sentralisasi tidak berjalan sesuai mestinya. Malah terjadi ketumpang
tindihan antara daerah satu dengan daerah lainnya yang menggunakan system pemerataan daerah
akibatnya daerah-daerah khusus yang mempunyai ciri berbeda tidak dapat mengikuti perkembangan
dengan baik. 
Dari contoh tersebut maka dapat disimpulkan bahwasanya evaluasi yang cukup dan melihat
pada masa lalu harus dilakukan setiap kali kebijakan tentang pemerintah ataupun tentang daerah akan
dibuat. Adanya sejarah adalah untuk menambahkan kedwasaan kebijaksanaan serta kewibawaan
seseorang maka tiada salahnya jika kita mengulas kembali mengenai permasalahan peraturan sejarah
pada masa silam. 

4
1.2 RUMUSAN MASALAH

1. Bagaimana perkembangan sejarah tentang peraturan serta otonomi daerah di indonesia dari
waktu ke waktu? 

2. Bagaimana kendala yang dihadapi dalam mengatasi permaalahan otonomi daerah pada setiap
masanya? 

3. Bagaimana solusi untuk mengetahui cara yang tepat untuk menghadapi permasalahan
otonomi daerah pada saat sekarang jika dilihat dari sisi sejarah? 

1.3 TUJUAN

1. Agar pembaca dapat mengerti secara umum mengenai sejarah perkembangan otonomi daerah
di Indonesia. 

2. Mampu mengklasifikasi dan membedakan setiap permasalahan daerah berdasarkan masanya


masing-masing. 

3. Menumbuhkan rasa kewibawaan untuk menjaga sejarah atau sikap tangung jawab sebagai
seorang warga Negara yang baik dengan mengambil kebijakan yang dilakukan dengan
mengevaluasi permasalahn yang terjadi pada masa lalu. 

5
BAB II

PEMBAHASAN

Otonomi berasal dari 2 kata yaitu ,  auto berarti sendiri,nomosberarti rumah tangga atau
urusan pemerintahan.Otonomi dengan demikian berarti mengurus rumah tangga sendiri.Dengan
mendampingkan kata ekonomi dengan kata daerah,maka istilah “mengurus rumah tangga sendiri”
mengandung makna memperoleh kekuasaan dari pusat dan mengatur atau menyelenggarakan rumah
tangga pemerintahan daerah sendiri. 

Beberapa yang menjadi landasan teori dalam otonomi daerah diantaranya: 

1.          Asas tertib penyelenggara negara 


2.          Asas Kepentingan umum 
3.          Asas Kepastian Hukum 
4.          Asas keterbukaan 
5.          Asas Profesionalitas 
6.          Asas efisiensi 
7.          Asas proporsionalitas 
8.          Asas efektifitas 
9.          Asas akuntabilitas 

Pemeran Penting Dalam Otonomi Daerah diantaranya adalah APBD (Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah) Di dalam Otonomi daerah selalu identik dengan yang namanya Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah atau yang sering disebut APBd.Di sini saya akan membahas sedikit
mengenai APBD. Keberhasilan otonomi daerah tidak lepas dari kemampuan bidang keuangan yang
merupakan salah satu indikator penting  dalam   menghadapi otonomi daerah. Kedudukan faktor
keuangan dalam penyelenggaraan suatu pemerintah sangat penting, karena pemerintahan daerah tidak
akan dapat melaksanan fungsinya dengan efektif dan efisien tanpa biaya yang cukup untuk
memberikan pelayanan pembangunan dan keuangan inilah yang mrupakan salah satu dasar kriteria
untukmengetahui secara nyata kemampuan daerah dalam mengatur dan mengurus rumah tangganya
sendiri.
Suatu daerah otonom diharapkan mampu atau mandiri di dalam membiayai kegiatan pemerintah
daerahnya dengan tingkat ketergantungan kepada pemerintah pusat mempunyai proposal yang lebih
kecil dan Pendapatan Asli Daerah harus menjadi bagian yang  terbesar dalammemobilisasi dana
penyelenggaraan pemerintah daerah. Oleh karena itu,sudah sewajarnya apabila PAD dijadikan tolak
ukur dalam pelaksanaan otonomi daerah demi mewujudkan tingkat kemandirian dalam menghadapi
otonomi daerah. 
Mardiasmo mendefinisikan anggaran sebagai pernyataan mengenai estimasi kinerja yang hendak
dicapai selama periode waktu tertentu yang dinyatakan dalam ukuran finansial,sedangkan
penganggaran adalah proses atau metode untuk mempersiapkan suatu anggaran.Mardiasmo
mendefinisikan nya sebagai berikut ,anggaran publik merupakan suatu dokumen yang
menggambarkan kondisi keuangan dari suatu organisasi yang meliputi informasi mengenai
pendapatan belanja dan aktifitas

6
2.1 Perkembangan Otonomi Daerah pada Masa Penjajahan Belanda 

Sejarah perpolitikan di Indonesia tidak bisa terlepas dari masa dimana Indoensia mengalami
penjajahan, terutama di masa penjajahan Belanda. Karena itu sistem pemerintahan pun tidak bisa
terlepas dari sejarah dimana Indonesia mengalami masa penjajahan tersebut. Pada masa penjajahan
Belanda, sistem pemerintahan di Indonesia telah dikenal dan diakui adanya sistem pemerintahan
daerah. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya undang-undang ketatanegaraan yang dikeluarkan oleh
pemerintah Hindia Belanda yang dikenal dengan sebutan reglement op het beleid der regering van
nederlandsch indie (stb 1885/2), undang-undang ini sebenarnya bukan mengenai desentralisasi akan
tetapi lebih kepada sistem desentralisasi, tetapi dalam undang-undang ini berisi tentang dekonsentrasi
yang merupakan salah satu bentuk desentralisasi itu. Disamping itu, pada masa itu telah dikenal
wilayah-wilayah administratif, misalnya Jawa yang secara hierarkis dikenal dengan gewest (yang
kemudian disebut residentie), afdeeling district, dan onderdistrict. 
Pada tahun 1903 pemerintah kolonial Belanda mengeluarkan decentralisatie wet (Staastblaad
No. 329 tahun 1903) yang memberi peluang dibentuknya satuan pemerintahan (gewest) yang
mempunyai sistem keuangan sendiri. 
Pada tahun 1903, pemerintah kolonial mengeluarkan Staatsblaad No. 329 yang memberi
peluang dibentuknya satuan pemerintahan yang mempunyai keuangan sendiri. Kemudian staatblaad
ini deperkuat dengan Staatblaad No. 137/1905 dan S. 181/1905. Pada tahun 1922, pemerintah
kolonial mengeluarkan sebuah undang-undang S. 216/1922. Dalam ketentuan ini dibentuk sejumlah
provincie, regentschap, stadsgemeente, dan groepmeneenschap yang semuanya menggantikan locale
ressort. Selain itu juga, terdapat pemerintahan yang merupakan persekutuan asli masyarakat setempat
(zelfbestuurende landschappen). 
Pemerintah kerajaan satu per satu diikat oleh pemerintahan kolonial dengan sejumlah kontrak
politik (kontrak panjang maupun kontrak pendek). Dengan demikian, dalam masa pemerintahan
kolonial, warga masyarakat dihadapkan dengan dua administrasi pemerintahan. 
Pada tahun 1903, pemerintah kolonial mengeluarkan staatsblaad No. 329 yang memberi
peluang dibentuknya satuan pemerintahan yang mempunyai keuangan sendiri. Kemudian staatblaad
ini deperkuat dengan Staatblaad No. 137/1905 dan S. 181/1905. Pada tahun 1922, pemerintah kolonial
mengeluarkan sebuah undang-undang S. 216/1922. Dalam ketentuan ini dibentuk sejumlah provincie,
regentschap, stadsgemeente, dan groepmeneenschap yang semuanya menggantikan locale ressort.
Selain itu juga, terdapat pemerintahan yang merupakan persekutuan asli masyarakat setempat
(zelfbestuurende landschappen). 
Pemerintah kerajaan satu per satu diikat oleh pemerintahan kolonial dengan sejumlah kontrak
politik (kontrak panjang maupun kontrak pendek). Dengan demikian, dalam masa pemerintahan
kolonial, warga masyarakat dihadapkan dengan dua administrasi pemerintahan. 
Penyelenggaraan pemerintahan diserahkan kepada sebuah raad atau dewan di masing-masing
daerah. Decentralisatie wet ini kemudian diperkuat dengan decentralisatiebesluit (S 137/1905) dan
locale radenordonannti (S 181/1905) yang menjadi undang-undang terbentuknya locale ressort dan
locale raad. Akan tetapi pemerintah daerah hampir tidak mempunyai kewenangan, dan bahkan
anggota raad sebagiannya diangkat, dan sebagian lagi merupakan pejabat pemerintah. dan beberapa
anggota yang dipilih. Hanya raad ditingkat gementee yang dipilih. Dewan daerah atau locale raad
memang berhak menentukan peraturan setempat (locale verondeningen) yang menyangkut hal-hal
yang belum diatur oleh pemerintah kolonial Belanda. Pengawasan terhadap pemerintah setempat
dilaksanakan sepenuhnya oleh gouveneu general (gubernur jenderal) Hindia Belanda yang
berkedudukan di Batavia. 

7
Kemudian pada tahun 1922 pemerintah kolonial Belanda mengeluarkan undang – undang
baru yang bernama wet op de bestuurhevormin (S.216/1922). Dengan ketentuan perundang-undangan
yang baru ini maka dibentuklah sejumlah provincie, regentschap, stadsgemeente, dan
groepmeneenschap yang semuanya menggantikan locale resort. Pembentukan sejumlah daerah
dilakukan dengan dikeluarkannya ordonantie seperti ordonantie pembentukan provincie Jawa-
Madura, provincie West Java, regentschap Batavia. Sementara pulau-pulau di luar Jawa Madura
dibentuk melalui groepmeneenschap ordonant. Sehari-hari pemerintahan dijalankan oleh gouveneur
untuk provincie, regent di regenschap, dan burgermeester di gemeente. selain pembentukan
pemerintahan yang baru tersebut, terdapat pula pemerintahan yang merupakan persekutuan asli
masyarakat daerah setempat yang oleh banyak kalangan disebut zelfbestuurende lanschappen, yakni
persekutuan masyarakat adat yang olah pemerintah kolonial Belanda tetap diakuai keberadaanya,
seperti desa di Jawa, nagari di Minangkabau, nagori di Rantau Kuatan (Riau), ratin dan penghulu di
Siak, subak di Bali, marga di Sumatera Selatan, lembang di Toraja dan lain – lain di beberapa pulau di
daerah jajahan Hindia Belanda. Untuk desa di Jawa diatur dengan inlandsche gemmente-ordinantie
(S.83/1906) atau IGO, dan untuk masyarakat adat di luar Jawa diatu dengan inlandsche gemmente-
ordinantie buitengewesten (IS. 506/1931) atau IGOB. Untuk desa-desa di luar Jawa kemudian diatur
lebih lanjut degan desa ordinantie (S.356/1941) yang kemudian tidak terlaksana karena terjadinya
Perang Dunia II. 

2.2 Perkembangan Otonomi Daerah pada Masa Penjajahan Jepang 

Berakhirnya desentralisasi dan otonomi daerah masa penjajahan Belanda ditandai dengan
tergantinya regim kolonialisme Hindia Belanda oleh Jepang.hal ini dapat dijelaskan melalui berbagai
perubahan bentuk pemerintahan yang telah ada pada masa penjajahan Hindia Belanda oleh
pemerintahan Jepang dengan perubahan yang mendasar seperti struktur pemerintahan sebelum
masuknya Jepang terdiri atas Gubernur Jenderal, Gubernur, Residen dan Controleur, kasunan, Bupati,
Wedana dan Asisten Wedana, kemudian diubah menjadi struktur yang bersifat teritorial yang dibagi
kedlam tiga komando oleh pemerintahan Jepang, yaitu: 
a. Sumatera dibawah komando Panglima angkatan darat XXV yang berkedudukan di
Bukittinggi; 
b. Jawa dan Madura berada dibawah komando panglima angkatan darat XVI yang
berkedudukan di Jakarta; 
c. Daerah lainnya berada dibawah komando panglima angkatan laut yang berkedudukan di
Makassar. 
Hirarki komando utama adalah Gunseireiken/Saiko Sikkan (panglima besar yang sejajar dengan
gubernur jenderal) dan yang mengeluarkan peraturan-peraturan disebut Osamu Seirei dan Gunseiken
(pembesar pemerintahan). Di wilayah komando Jawa – Madura Gunseireiken mengeluarkan Osamu
Seirei 1942/27 tentang tata pemerintahan daerah, dengan membagi Jawa kedalam beberapa Syuu
(dikepalai Syuutyookan) kemudian Syuu dibagi kedalam beberapa Ken (yang dikepalai oleh Kentyoo),
Ken dibagi kedalam beberapa Si (yang dikepalai Sityoo). Struktur tersebut menghilangkan gubernur
dan parlemen. Struktur pemerintahan yang dibangun Jepang tersebut dalam rangka kepentingan
militer Jepang di Indonesia yang sewaktu-waktu dengan mudah dapat dimobilisasi untuk mencapai
tujuan-tujuan pemerintahan militer Jepang.  
Ketika menjalar PD II Jepang melakukan invasi ke seluruh Asia Timur mulai Korea Utara ke
Daratan Cina, sampai Pulau Jawa dan Sumatra. Negara ini berhasil menaklukkan pemerintahan
kolonial Inggris di Burma dan Malaya, AS di Filipina, serta Belanda di Daerah Hindia Belanda.
Pemerintahan Jepang yang singkat, sekitar tiga setengah tahun berhasil melakukan perubahan-
perubahan yang cukup fundamental dalam urusan penyelenggaraan pemerintahan daerah di wilayah-

8
wilayah bekas Hindia Belanda. Pihak penguasa militer di Jawa mengeluarkan undang-undang
(Osamu Seire) No. 27/1942  yang mengatur penyelenggaraan pemerintahan daerah.  

2.3 Perkembangan Otonomi Daerah pada masa Orde Lama 

Salah satu masa yang paling penting untuk dicatat dalam perkembangan politik dan
pemerintahan Negara kesatuan republik Indonesia adalah masa revolusi kemerdekaan antara tahun
1945 sampai dengan 1949. Urgensinya adalah bahwa pada masa ini pemerintah Indonesia belum
dapat menjalankan secara penuh otoritasnya dalam mengatur dan menjalankan sistem
pemerintahannya, karena pengakuan kedaulatan secara penuh baru diperoleh melalui Perjanjian Meja
Bundar  pada tahun 1949, dimana Belanda mengakui kedaulatan Indonesia sebagai bekas jajahan
Hindia Belanda. Yang paling penting saat itu adalah bagaimana memelihara persatuan dan kesatuan
bangsa dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Tetapi walaupun pada masa ini
pemerintah Indonesia menerapkan sistem pemerintahan yang sentralistik dalam rangka memperkuat
NKRI, tetapi justru yang paling pertma dipikirkan adalah bagimana mengatur pemerintahan daerah
dalam bingkai NKRI. 
Dalam hal ini juga pemerintahan soekarno susah untuk digenerilisasi apakah pembangunan
yang dilakukan bersifat tersentralisasi atau desentralisasi, hal itu menyebabkan orde baru ditandai
sebagai era yang penuh gejolak, karena adanya pemberontakan-pemberontakan baik berupa
pemberontakan di daerah-daerah yang menuntut pemisahan diri dari indonesia seperti RMS, Atjeh
Merdeka, dan lainnya maupun pemberontakan yang bersifat ideology seperti pemberontakan PKI
pada persitiwa G30SPKI. 
Di lain pihak, era pemerintahan orde lama ditandai dengan seringkali berubahnya system
konstitusi yang dengan sendirinya akan merubah system pemerintahan yang ada di daerah. Ditandai
lagi dengan peristiwa belanda yang masih belum menerima sepenuhnya kemerdekaan indonesia,
karna pemerintah takut daerah terbengkalai dengan adanya kemelut antara indonesia dengan belanda
maka dari itulah sebabnya undang-undang pertama yang dibuat pada saat itu yakni  UU No. 1 tahun
1945 yang mengatur pemerintahan daerah yang hanya berisi 6 pasal dengan tanpa adanya
penjelasan.  
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1945 menitikberatkan pada asas dekonsentrasi, mengatur
pembentukan KND di keresidenan, kabupaten, kota berotonomi, dan daerah-daerah yang dianggap
perlu oleh mendagri. Pembagian daerah terdiri atas dua macam yang masing-masing dibagi dalam tiga
tingkatan yakni: 
1)    Provinsi 
2)    Kabupaten/kota besar 
3)    Desa/kota kecil. 
 
UU No. 1 tahun 1945 menetapkan adanya 3 jenis daerah otonom (tampa menyebut otoritas
masing-masing daerah), yaitu 1) keresidenan; 2) kabupaten; dan 3) kota berotonomi. Sedangkan
provinsi yang berjumlah 8 berdasarkan penetapan Panitia persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI)
hanya diarahkan berbentuk daerah administratif tanpa otonomi. Dalam perkembangannya, khusus
wilayah provinsi Sumatera berubah menjadi daerah otonom berdasarkan Peraturan pemerintah Nomor
8 tahun 1947. Menurut ketentuan menteri dalam negeri, komite nasional daerah menjadi badan
perwakilan rakyat daerah dan bersama-sama dengan kepala daerah menjalankan pemerintahan
daerah. 

9
UU No. 1 Tahun 1945 sukar diterima oleh daerah-daerah di luar jawa dan Madura, mengingat
pada saat itu daerah kesultanan Yogyakarta dan kasunanan di Surakarta di Solo pun juga tidak diatur
secara jelas. Pemerintahan pusat pada saati itu sangat menghargai keberadaan kedua daerah tersebut
tetap diakui oleh pemerintahan Hindia Belanda, walaupun dengan berbagai pembatasan dan
intervensi.  Undang – Undang kedua setelah merdeka yang mengatur tentang pemerintahan daerah di
Indonesia dalah UU No. 22 tahun 1948. Undang-undang ini menganut sistem otonomi material,
artinya undang-undang menentukan secara rinci kewajiban (otoritas) apa saja yang diberikan dari
pemerintah pusat kepada daerah, di luar daripada itu menjadi otoritas pemerintah pusat. dalam
undang-undang nomor 22 tahun 1948 ini telah dikenal tiga tingkatan daerah yaitu; (i) Provinsi atau
daerah tingkat I, (ii) kabupaten dan kota besar sebagai daerah tingkat II; dan (iii) desa atau kota kecil
(negeri, marga, lembang) sebagai daerah tingkat III. UU No. 22 Tahun 1948 memuat 6 point dimana
dalam isi UU tersebut wewenang DPRD sangat besar maka dapat disimpulkan bahwa UU No. 22
Tahun 1948 bersifat parlementer. Sebab kewenangan Kepala Daerah sangat minimal.  
Maka dapat disimpulkan bahwa pokok pembahasan UU No. 22 Tahun 1948 adalah sebagai
berikut : 
1. Sangat menghargai keberadaan daerah-daerah. Sebagai satu kesatuan masyarakat yang
berbudaya dan memiliki karakter sendiri-sendiri. 
2. Kekuasaan kepala daerah di minimalkan, yang dikedepankan adalah kekuasaan DPRD. 
3. Memiliki nuansa parlementer 

2.4 Perkembangan Otonomi Daerah pada Masa Demokrasi Liberal 


 
Babak kedua dalam perkembanngan sistem pemerintahan di Indonesia, khususnya hubungan
antara pemerintah pusat dengan daerah adalah masa demokrasi liberal. Pada masa ini sistem poltik
yang dianut oleh Indonesia adalah sistem yang memberi haluan yang besar kepada kekuatan politik,
diakui keberadaanya dan turut menentukan kebijakan. Indikasi sistem politik leiberal ditandai oleh
beberapa hal diantaranya adalah; (i) dianutnya sistem multi partai, (ii) pengakuan dan kebebasan
kepada semua kelompok idiologis memebentuk partai atau kekuatan politik tertentu, dan (iii)
dianutnya sistem parlementer dengan pengakuan adanya kelompok oposisi dalam sistem politik dan
pemerintahan. 
Pada masa tersebut kembali pemerintah Indonesia mengeluarkan UU No. 1 tahun 1957
tentang pokok – pokok pemerintahan daerah. Undang-undang ini mengalami penyesuaian dari
undang-undang sebelumnya. Tetapi dalam UU No. 1 tahun 1957 ini dianut istilah baru dalam sistem
pemerintahan daerah yaitu apa yang disebut dengan  daerah swantara sebagai suatu kategorisasi
dalam pemerintahan daerah. Dalam UU No. 1 tahun 1957 ini yang disebut dengan daerag swantara
adalah daerah yang berhak untuk mengurus rumah tangganya sendiri. Dengan demikian pada masa ini
dikenal juga tiga tingkatan pemerintahan daerah yaitu; (i) daerah swantara tingkat I, (ii) daerah
swantara  tingkat II, dan (iii) derah swantara tingkat III. Adapun wilayah administratif daerah
berdasarkan sebutan swantara bertingkat disesuaikan dengan tingkatan dalam UU No. 22/1948). 
Perbedaan utama antara UU No. 1 tahun 1957 dengan UU No. 22 tahun 1948 adalah pada
subtansi pemberian otonomi kepada daerah. UU. No. 22 tahun 1948 memberikan otonomi materil
kepada daerah, artinya otnomi yang dirinci sedemikian rupa sehingga jelas kewenangan yang menjadi
urusan pemerintah daerah dan selebihnya adalah urusan pemerintah pusat. Sedangkan dalam UU No.
1 tahun 1957 tidak merinci secara mendalam apa saja yang menjadi kewenangan yang menjadi urusan
pemerintah daerah, tetapi dalam UU No. 1 tahun 1957 ini sudah dikenal otonomi yang nyata dan
seluas-luasnya. 

10
UU No. 22 Tahun 1948 secara de facto hanya berlaku hanya berlaku dalam wilayah yang
dikuasai oleh Republik Indonesia pasca perjanjian Renville. Wilayah RI saat itu sangat kecil. Sejak
tanggal 27 Desember 1949 dengan sendirinya indonesia membentuk Negara serikat. Pengaturan
tentang pemerintah daerah diatur berdasarkan keberadaan Negara-negara bagian yang untuk lebih
jelasnya dapat dicermati dalam pasal 2 konstitusi Republik Indonesia Serikat sebagai berikut : 
“Republik Indonesia Serikat meliputi seluruh daerah indonesia, yaitu daerah bersama : 
Negara Republik Indonesia, dengan daerah menurut status quo seperti tersebut dalam perjanjian
Renville tanggal 17 Januari tahun 1948 : 
a. Negara Indonesia Timur; 
b. Negara Pasundan, termasuk distrik federal Jakarta; 
c. Negara Jawa Timur; 
d. Negara Madura. 
Satuan-satuan Kenegaraan yang tegak sendiri : 
a. Jawa Tengah; 
b. Bangka; 
c. Belitung; 
d. Riau; 
Kalimantan Barat (Daerah Istimewa): 
a. Dayak Besar; 
b. Daerah Banjar; 
c. Kalimantan Tenggara; dan 
d. Kalimantan Timur; 
Daerah-daerah Indonesia selebihnya yang bukan daerah-daerah bagian. 
Keberadaan RIS tidak bertahan lama, sebab pada tanggal 17 Agustus 1950, seluruh wilayah indonesia
serikat menyatakan diri melebur dalam bentuk Negara kesatuan Republik Indonesia.

2.5 Perkembangan Otonomi Daerah pada Masa Demokrasi Terpimpin 


 
Masa demokrasi terpimpin ditandai dengan keluarnya dekrit presiden 5 juli 1959, sebagai
tanda berakhirnya UUDS 1950, serta berlakunya kembali UUD 1945. Berlakunya kembali UUD 945
menandai kembalinya era pemerintahan presidensil dengan kewenangan besar ada ditangan presiden.
Dengan kewengan yang dipegangnya, presiden Soekarno kemudian menetapkan undang-undang
operasional pemerintahan menjadi revolusioner dengan berbagai simbol-simbol perjuangan seperti
manifesto politik. Untuk mencapai tujuan politiknya, Soekarno melakukan konsolidasi secara internal
melalui penyesuaian-penyesuaian struktur pemerintahan dari pusat sampai daerah. Dalam konteks
konsolidasi tersebut Soekarno kemuadian menerbitkan dua peraturan yaitu Penetapan Presiden No. 6
tahun 1959 dan penetapan Presiden No. 5 tahun 1960. 
  Salah satu yang mendapatkan perhatian dari Presiden Soekarno setelah memegang teraju
pemerintahan adalah mereposisi hubungan pusat dan daerah, yakni dengan mencabut UU No. 1 tahun
1957, bila dicermati maka tidak ada bedanya antara UU No. 1 tahun 1957 tidak memiliki perbedaan
yang berarti dengan UU No. 22 Tahun 1948. Dalam banyak hal menyangkut pemerintahan daerah
tetap sama, kecuali aturan mengenai tingkatan daerah, dan fatalnya kedua UU tersebut sama-sama
bersifat Parlementer. Maka pemerintah menetapkan Penetapan Presiden No. 6 tahun 1959 dan No. 5
tahun 1960. Salah satu alasan yang menjadi pertimbangan adalah bahwa UU No. 1 tahun 1957
dianggap produk dari sistem yang liberal dan kenyataanya tidak sesuai dengan kehidupan politik yang

11
berkembang dalam konteks demokrasi terpimpin. Selain hal dicabutnya UU No. 1 Tahun 1957
dibubarkan sebab adanya dekrit presiden5 juli 1959.  
Penetapan presiden No. 6 tahun 1959 mengatur tugas dan fungsi kepala derah serta Badan
Pemeriksa Harian (BPH), sedangkan Penetapan Presiden no. 5 tahun 1960 mengatur tugas dan fungsi
Dewan Perwakilan Rakyat daerah Gotong Royong (DPRGR). Berdasarkan Penetapan Presiden no. 6
tahun 1959, kepala daerah diberi status pegawai negara dan pengangkatannya ditunjuk oleh presiden.
Dengan demikian maka kepala daerah tidak bertanggungjawab kepada DPRGR melainkan kepada
Presiden melalui menteri dalam negeri. Sementara itu tugas dan fungsi DPRDR adalah bersama-sama
dengan kepala daerah menetapkan peraturan daerah. Kedua penetapan presiden tersebut masih
menganut tiga tingkatan pemerintahan daerah, masing-masing: (i) daerah tingkat I, (ii) daerah tingkat
II, dan (iii) daerah tingkat III. 

2.6 Perkembangan Otonomi Daerah pada Masa Orde Baru 


 
Sejak tahun 1966, pemerintah Orde Baru berhasil membangun suatu pemerintahan nasional
yang kuat dengan menempatkan stabilitas politik sebagai landasan untuk mempercepat pembangunan
ekonomi Indonesia. Politik yang pada masa pemerintahan Orde Lama dijadikan panglima, digantikan
dengan ekonomi sebagai panglimanya, dan mobilisasi massa atas dasar partai secara perlahan digeser
oleh birokrasi dan politik teknokratis. Banyak prestasi dan hasil yang telah dicapai oleh pemerintahan
Orde Baru, terutama keberhasilan di bidang ekonomi yang ditopang sepenuhnya oleh kontrol dan
inisiatif program-program pembangunan dari pusat. Dalam kerangka struktur sentralisasi kekuasaan
politik dan otoritas administrasi inilah, dibentuklah Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 tentang
Pokok-pokok Pemerintahan Daerah.  
Mengacu pada UU ini, Otonomi Daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban Daerah untuk
mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.
Selanjutnya yang dimaksud dengan Daerah Otonom, selanjutnya disebut Daerah, adalah kesatuan
masyarakat hukum yang mempunyai batas wilayah tertentu yang berhak, berwenang dan
berkewajiban mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri dalam ikatan Negara Kesatuan
Republik Indonesia, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 
Undang-undang No. 5 Tahun 1974 ini juga meletakkan dasar-dasar sistem hubungan pusat-
daerah yang dirangkum dalam tiga prinsip: 
1.        Desentralisasi, penyerahan urusan pemerintah dari Pemerintah atau Daerah tingkat atasnya
kepada Daerah menjadi urusan rumah tangganya; 
2.        Dekonsentrasi, pelimpahan wewenang dari Pemerintah atau Kepala Wilayah atau Kepala Instansi
Vertikal tingkat atasnya kepada Pejabat-pejabat di daerah;  
3.        Tugas Pembantuan (medebewind), tugas untuk turut serta dalam melaksanakan urusan
pemerintahan yang ditugaskan kepada Pemerintah Daerah oleh Pemerintah oleh Pemerintah Daerah
atau Pemerintah Daerah tingkat atasnya dengan kewajiban mempertanggungjawabkan kepada yang
menugaskannya. 
Dalam kaitannya dengan Kepala Daerah baik untuk Dati I (Propinsi) maupun Dati II
(Kabupaten/Kotamadya), dicalonkan dan dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dari sedikit-
dikitnya 3 (tiga) orang dan sebanyak-banyaknya 5 (lima) orang calon yang telah dimusyawarahkan
dan disepakati bersama antara Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah/Pimpinan Fraksi-fraksi
dengan Menteri Dalam Negeri, untuk masa jabatan 5 (lima) tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1
(satu) kali masa jabatan berikutnya, dengan hak, wewenang dan kewajiban sebagai pimpinan

12
pemerintah Daerah yang berkewajiban memberikan keterangan pertanggungjawaban kepada Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah sekurang-kurangnya sekali setahun, atau jika dipandang perlu olehnya,
atau apabila diminta oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, serta mewakili Daerahnya di dalam dan
di luar Pengadilan. 
Berkaitan dengan susunan, fungsi dan kedudukan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah,
diatur dalam Pasal 27, 28, dan 29 dengan hak seperti hak yang dimiliki oleh anggota Dewan
Perwakilan Rakyat (hak anggaran; mengajukan pertanyaan bagi masing-masing Anggota; meminta
keterangan; mengadakan perubahan; mengajukan pernyataan pendapat; prakarsa; dan penyelidikan),
dan kewajiban seperti:
a) mempertahankan, mengamankan serta mengamalkan PANCASILA dan UUD 1945;
b) Menjunjung tinggi dan melaksanakan secara konsekuen Garis-garis Besar Haluan
Negara, Ketetapan-ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat serta mentaati segala
peraturan perundang-undangan yang berlaku;
c) Bersama-sama Kepala Daerah menyusun Anggaran Pendapatan dan Belanja daerah
dan peraturan-peraturan Daerah untuk kepentingan Daerah dalam batas-batas
wewenang yang diserahkan kepada Daerah atau untuk melaksanakan peraturan
perundangundangan yang pelaksanaannya ditugaskan kepada Daerah; dan
d) Memperhatikan aspirasi dan memajukan tingkat kehidupan rakyat dengan berpegang
pada program pembangunan Pemerintah. 
Dari dua bagian tersebut di atas, nampak bahwa meskipun harus diakui bahwa UU No. 5
Tahun 1974 adalah suatu komitmen politik, namun dalam prakteknya yang terjadi adalah sentralisasi
(baca: kontrol dari pusat) yang dominan dalam perencanaan maupun implementasi pembangunan
Indonesia. Salah satu fenomena paling menonjol dari pelaksanaan UU No. 5 Tahun 1974 ini adalah
ketergantungan Pemda yang relatif tinggi terhadap pemerintah pusat.

2.7 Perkembangan Otonomi Daerah pada Masa Reformasi 

Upaya serius untuk melakukan desentralisasi di Indonesia pada masa reformasi dimulai di
tengah-tengah krisis yang melanda Asia dan bertepatan dengan proses pergantian rezim (dari rezim
otoritarian ke rezim yang lebih demokratis). Pemerintahan Habibie yang memerintah setelah jatuhnya
rezim Suharto harus menghadapi tantangan untuk mempertahankan integritas nasional dan
dihadapkan pada beberapa pilihan yaitu , 
a) melakukan pembagian kekuasaan dengan pemerintah daerah, yang berarti mengurangi peran
pemerintah pusat dan memberikan otonomi kepada daerah; 
b) pembentukan negara federal; atau 
c) membuat pemerintah provinsi sebagai agen murni pemerintah pusat. 
Pada masa ini, pemerintahan Habibie memberlakukan dasar hukum desentralisasi yang baru untuk
menggantikan Undang-Undang No. 5 Tahun 1974, yaitu dengan memberlakukan Undang-Undang
No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 tentang
Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Beberapa hal yang mendasar mengenai
otonomi daerah dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang
sangat berbeda dengan prinsip undang-undang sebelumnya antara lain : 
1. Dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 pelaksanaan otonomi daerah lebih
mengedepankan otonomi daerah sebagai kewajiban daripada hak, sedang dalam Undang-
undang Nomor 22 Tahun 1999 menekankan arti penting kewenangan daerah dalam mengatur
dan mengurus kepentingan masyarakat melalui prakarsanya sendiri. 

13
2. Prinsip yang menekankan asas desentralisasi dilaksanakan bersama-sama dengan asas
dekonsentrasi seperti yang selama ini diatur dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974
tidak dipergunakan lagi, karena kepada daerah otonom diberikan otonomi yang luas, nyata
dan bertanggung jawab. Hal ini secara proporsional diwujudkan dengan pengaturan,
pembagian dan pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan, serta perimbangan
keuangan pusat dan daerah. Di samping itu, otonomi daerah juga dilaksanakan dengan
prinsip-prinsip demokrasi yang juga memperhatikan keanekaragaman daerah. 
3. Beberapa hal yang sangat mendasar dalam penyelenggaraan otonomi daerah dalam Undang-
undang Nomor 22 Tahun 1999, adalah pentingnya pemberdayaan masyarakat, menumbuhkan
prakarsa dan kreativitas mereka secara aktif, serta meningkatkan peran dan fungsi Badan
Perwakilan Rakyat Daerah. Oleh karena itu, dalam Undang-undang ini otonomi daerah
diletakkan secara utuh pada daerah otonom yang lebih dekat dengan masyarakat, yaitu daerah
yang selama ini berkedudukan sebagai Daerah Tingkat II, yang dalam Undang-undang ini
disebut Daerah Kabupaten dan Daerah Kota. 
4. Sistem otonomi yang dianut dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 adalah otonomi
yang luas, nyata dan bertanggung jawab, dimana semua kewenangan pemerintah, kecuali
bidang politik luar negeri, hankam, peradilan, moneter dan fiskal serta agama dan bidang-
bidang tertentu diserahkan kepada daerah secara utuh, bulat dan menyeluruh, yang ditetapkan
dengan peraturan pemerintah. 
5. Daerah otonom mempunyai kewenangan dan kebebasan untuk membentuk dan melaksanakan
kebijakan menurut prakarsa dan aspirasi masyarakat. Sedang yang selama ini disebut Daerah
Tingkat I atau yang setingkat, diganti menjadi daerah propinsi dengan kedudukan sebagai
daerah otonom yang sekaligus wilayah administrasi, yaitu wilayah kerja Gubernur dalam
melaksanakan fungsi-fungsi kewenangan pusat yang didelegasikan kepadanya. 
6. Kabupaten dan Kota sepenuhnya menggunakan asas desentralisasi atau otonom. Dalam
hubungan ini, kecamatan tidak lagi berfungsi sebagai peringkat dekonsentrasi dan wilayah
administrasi, tetapi menjadi perangkat daerah kabupaten/kota. Mengenai asas tugas
pembantuan dapat diselenggarakan di daerah propinsi, kabupaten, kota dan desa. Pengaturan
mengenai penyelenggaraan pemerintahan desa sepenuhnya diserahkan pada daerah masing-
masing dengan mengacu pada pedoman yang ditetapkan oleh pemerintah. 
7. Wilayah Propinsi meliputi wilayah laut sepanjang 12 mil dihitung secara lurus dari garis
pangkal pantai, sedang wilayah Kabupaten/Kota yang berkenaan dengan wilayah laut sebatas
1/3 wilayah laut propinsi. 
8. Pemerintah Daerah terdiri dari Kepala Daerah dan perangkat daerah lainnya sedang DPRD
bukan unsur pemerintah daerah. DPRD mempunyai fungsi pengawasan, anggaran dan
legislasi daerah. Kepala daerah dipilih dan bertanggung jawab kepada DPRD. Gubernur
selaku kepala wilayah administratif bertanggung jawab kepada Presiden. 
9. Peraturan Daerah ditetapkan oleh Kepala Daerah dengan persetujuan DPRD sesuai pedoman
yang ditetapkan Pemerintah, dan tidak perlu disahkan oleh pejabat yang berwenang. 
10. Daerah dibentuk berdasarkan pertimbangan kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial
budaya, sosial politik, jumlah penduduk, luas daerah, dan pertimbangannya lain yang
memungkinkan terselenggaranya otonomi daerah, daerah, daerah yang tidak mampu
menyelenggarakan otonomi daerah dapat dihapus dan atau digabung dengan daerah lain.
Daerah dapat dimekarkan menjadi lebih dari satu daerah, yang ditetapkan dengan undang-
undang. 
11. Setiap daerah hanya dapat memiliki seorang wakil kepala daerah, dan dipilih bersama
pemilihan kepala daerah dalam satu paket pemilihan oleh DPRD. 
12. Daerah diberi kewenangan untuk melakukan pengangkatan, pemindahan, pemberhentian,
penetapan pensiun, pendidikan dan pelatihan pegawai sesuai dengan kebutuhan dan
kemampuan daerah, berdasarkan nama, standar, prosedur yang ditetapkan pemerintah. 
13. Kepada Kabupaten dan Kota diberikan otonomi yang luas, sedang pada propinsi otonomi
yang terbatas. Kewenangan yang ada pada propinsi adalah otonomi yang bersifat lintas

14
Kabupaten dan Kota, yakni serangkaian kewenangan yang tidak efektif dan efisien kalau
diselenggarakan dengan pola kerjasama antar Kabupaten atau Kota. Misalnya kewenangan di
bidang perhubungan, pekerjaan umum, kehutanan dan perkebunan dan kewenangan bidang
pemerintahan tertentu lainnya dalam skala propinsi termasuk berbagai kewenangan yang
belum mampu ditangani Kabupaten dan Kota. 
14. Pengelolaan kawasan perkotaan di luar daerah kota dapat dilakukan dengan cara membentuk
badan pengelola tersendiri, baik secara intern oleh pemerintah Kabupaten sendiri maupun
melalui berkerjasama antar daerah atau dengan pihak ketiga. Selain DPRD, daerah juga
memiliki kelembagaan lingkup pemerintah daerah, yang terdiri dari Kepala Daerah,
Sekretariat Daerah, Dinas-Dinas Teknis Daerah, Lembaga Staf Teknis Daerah, seperti yang
menangani perencanaan, penelitian dan pengembangan, pendidikan dan latihan, pengawasan
dan badan usaha milik daerah. Besaran dan pembentukan lembaga-lembaga itu sepenuhnya
diserahkan pada daerah. Lembaga pembantu Gubernur, Pembantu Bupati/Walikota, Asisten
Sekwilda, Kantor Wilayah dan Kandep dihapus. 
15. Kepala Daerah sepenuhnya bertanggung jawab kepada DPRD, dan DPRD dapat meminta
Kepala Daerahnya berhenti apabila pertanggungjawaban Kepala daerah setelah 2 (dua) kali
tidak dapat diterima oleh DPRD.

15
BAB III

PENUTUP 
 
3.1 KESIMPULAN 

Pada masa penjajahan belanda maupun jepang sebenarnya indonesia telah memiliki cikal
bakal terbentuknya pemerinthan daerah dan pengertian kepada masyarakat bahwasanya daerah itu
harus dijaga dan keberadaannya penting maka sebisa mungkin buatlah undang-undang agar desa
tersebut dapat dilindungi secara hukum. 
Jika dilihat masa-masa penting bagi otonomi daerah di indonesia adalah pada masa orde lama
dan orde baru yang harus diharis bawahi. Karena keduanya memiliki sisi historis yang
berbeda.dimulai dengan orde lama dengan mempertahankan wilayah daerah indonesia dari belanda
mulai mencoba membuat beberapa peraturan peraturan daerah agar tidak lepas seperti irian jaya
walaupun pada akhirnya pasal-pasal yang dikeluarkan tersebut belum tentu sama dengan ciri khas
masyarakat indonesia yang beragam. Disinyalir bahwa beberapa peraturan malah sempat menjadi alat
politik oleh salah satu partai politik yang Berjaya pada masa itu. Lantas mengapa pada masa orde
lama dianggap penting? Dikarenakan pada masa ordelama lah yang harus ditingkatkan semangat kita
dalam memacu evaluasi dalam mempertahankann wilayah indonesia yang seutuhnya.  
Pada masa orde baru dingitkan lagi bahwasanya peristiwa menyamaratakan semua daerah di
indonesia dalam hal keseragaman budaya dan pembangunan adalah salah. Setiap daerah memiliki ciri
ataupun budaya yang berbeda masing-masing jadi dengan adanya program desentralisasi antar budaya
pada kenyataannnya tidak cocok karena setiap daerah harus menyesuaikan pembangunan yang tidak
sama dengan karakteristiknya yang malah justru akan menghapus salah satu ke khazanahan budaya
indonesia. setiap daerah memiliki tingkat kebutuhan yang berbeda dan focus perhatian yang berbeda
pula. 

3.2 SARAN

Sudah seharusnya kita sebagai pemuda generasi bangsa maupun bangsa yang
memiliki semboyan kebhinekaan tunggal-an serta JAS MERAH untuk meningkatkan kembali
perhatian kita kepada hal sejarah karena pada seyogyanya kebijakan yang dibuat haruslah
menguntungkan semua pihak maka dari it dibuuhkan evaluasi terhadap permasalahan
kebijakan yang terjadi pada masa lalu.

16
DAFTAR PUSTAKA

 
Dr. H Syafei, inu kencana, M.Si.2012. Sistem Politik Indonesia. Yogyakarta : Refika Aditama.
Ir. Sujamto. 1987. Cakrawala Otonomi Daerah. Jakarta : Sinar Grafika.
Saragi P, Tumpal. 2004. Mewujudkan Otonomi Masyarakat Desa Alternatif Pemberdayaan Desa.
Jakarta : CV. Cipruy.
DR. Kaloh J, 2007, Mencari Bentuk otonomi Daerah, Suatu Solusi Dalam Menjawab Kebutuhan
Lokal Dan Tantangan Global, Jakarta, Rhineka Cipta.
http://susisitisapaah.blogspot.com/2011/03/sejarah-perkembangan-otonomi-daerah-di.html
http://www.boyyendratamin.com/2011/12/otonomi-khusus-sebagai-kebijakan.html 

17

Anda mungkin juga menyukai