Disusun Oleh :
Kelompok 4
Dian 7182210016
JURUSAN MANAJEMEN
FAKULTAS EKONOMI
2021
KATA PENGANTAR
Dengan memanjatkan Puji dan Syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas
rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan penyusunan makalah Perekonomian
Indonesia sesuai materi yaitu evaluasi otonomi daerah di indonesia dalam tinjuan
keberhasilan pemekaran daerah.
Semoga dengan adanya makalah ini, dapat membantu Mahasiswa atau Mahasiswi
dalam memahami materi Perekonomian Indonesia. Dalam pembuatan makalah ini masih
banyak terdapat kekurangan, terutama sekali dalam hal penyajian materi. Untuk itu kritik dan
saran pembaca yang membangun sangat penting bagi penulis.
Akhir kata semoga Makalah Perekonomian Indonesia ini dapat berguna bagi kita pada
khususnya dan bagi para pembaca pada umumnya.
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...........................................................................................................................ii
DAFTAR ISI........................................................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN......................................................................................................................1
1.3 Tujuan..........................................................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN.......................................................................................................................3
3.1 Kesimpulan................................................................................................................................27
3.2 Saran..........................................................................................................................................27
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................................................28
BAB I
PENDAHULUAN
Memasuki akhir dekade 1990-an Indonesia mengalami perubahan sosial politik yang
bermuara kepada pilihan melaksanakan desentralisasi sebagai salah satu modal utama
pembangunan Indonesia. Hal ini ditandai dengan pemberlakuan UU 22/1999 tentang
Otonomi Daerah yang kemudian dirubah menjadi UU 32/2004. Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2004-2009 menempatkan revitalisasi proses
desentralisasi dan otonomi daerah ini sebagai satu prioritas dalam pembangunan nasional.
Semangat otonomi daerah itu sendiri salah satunya bermuara kepada keinginan daerah
untuk memekarkan diri yang kemudian diatur dalam PP 129/2000 tentang Persyaratan
Pembentukan, dan Kriteria Pemekaran, Penghapusan dan Penggabungan Daerah. Dalam
prakteknya, pemekaran daerah jauh lebih mendapat perhatian dibandingkan penghapusan
ataupun penggabungan daerah. Dalam PP tersebut, daerah berhak mengajukan usulan
pemekaran terhadap daerahnya selama telah memenuhi syarat teknis, administratif, dan fisik1
dengan tujuan untuk mensejahterakan masyarakat yang ada di wilayahnya.
Pemekaran wilayah pada otonomi daerah seakan punya daya tarik tersendiri, sehingga
tidak heran jika terus menjadi perbincangan di berbagai kalangan. Kuatnya wacana tersebut
juga semakin menguatkan kontroversi dan perdebatan antar elit, kelompok masyarakat
bahkan pembuat kebijakan sekalipun. Belum lagi tanggapan masyarakat beragam yang
sedikit banyak meramaikan kontroversi tersebut. Banyak yang mempertanyakan urgensi
gagasan manuver tersebut dengan berbagai alas an mendasar seperti alasan politis, sosiologis,
religius bahkan historis.
1.3 Tujuan
Untuk mengetahui pentingnya evaluasi pelaksanaan otonomi daerah.
Untuk mengetahui konsep pemekaran wilayah.
Untuk mengetahui aspek yang perlu diperhatikan dalam evaluasi otonomi daerah.
Untuk mengetahui evaluasi kinerja daerah otonom baru yang meliputi kinerja
perekonomian daerah, kinerja keuangan pemerintah daerah, kinerja pelayanan publik,
dan kinerja aparatur pemerintah daerah.
BAB II
PEMBAHASAN
Pengelolaan berbagai aspek oleh Pemerintah Daerah ini juga memerlukan pengawasan
dari berbagai pihak terutama dari masyarakat di daerah sendiri yang mengetahui kondisi yang
benar-benar terjadi di lapangan. Karena kebebasan dalam pengambilan keputusan rawan
terjadi penyimpangan sehingga perlu adanya kontrol untuk mencegah adanya penyimpangan
tersebut. Karena wewenang ini adalah bagian dari amanah yang diberikan rakyat dan negara
untuk mengurusi wilayah. Namun dalam pelaksanaannya tentulah tidak bisa mencapai
kesempurnaan. Artinya selama ini terdapat penyimpangan dalam memanfaatkan
kewenangannya. Dan di dalam kasus ini penyimpangan yang terjadi adalah dalam hal
pengelolaan Sumber Daya Alam. Contohnya adalah pemberian Izin Investasi
Kehutanan,Pertambangan,Perkebunan dan Perikanan yang kerapkali diberikan terkait
kepentingan kelompok tertentu di Daerah dan ditambahkan pula bahwa penyimpangan ini
marak terjadi ketika menjelang Pemilihan Kepala Daerah atau Pilkada . Jelas hal ini tidak adil
dan harus dilakukan evaluasi karena SDA yang ada di daerah harus digunakan sebaik
mungkin untuk kemakmuran semua rakyat yang ada di daerah.
Oleh karena adanya penyimpangan tersebut maka dilakukanlah evaluasi melalui berbagai
hal. Salah satunya adalah memberikan usul pada DPR RI yang dalam hal ini sebagai pembuat
kebijakan di tingkat Pusat yang saat ini sedang membahas Rancangan Undang Undang
tentang Pemda. Usulan yang disampaikan tersebut adalah mencabut kewenangan pemberian
Izin investasi Kehutanan, Pertambangan,Perkebunan dan Perikanan di Pemerintah Daerah
tingkat Kabupaten/Kota. Kemudian wewenang ini tidak hilang begitu saja, namun
ditambahkan ke kewenangan Pemerintah Propinsi, artinya ada pemindahan wewenang ke atas
dari tingkat Kabupaten/Kota ke tingkat Propinsi agar meminimalisir penyimpangan yang
terjadi di daerah dan pengontrolan oleh pemerintah menjadi lebih mudah dilakukan.
Terjadinya penyimpangan dalam hal pengelolaan di daerah berarti juga terjadi pengkhianatan
atas amanah yang diberikan rakyat kepada pemerintah yang bersangkutan. Sehingga bentuk
penyimpangan semacam ini harus diwaspadai dan dihindari dengan cara evaluasi dan
pengawalan dari kita semua warga Indonesia. Karena memang penerapan asas Desentralisasi
di Indonesia dirasa belum efektif. Sehingga sangat diperlukan penataaan ulang agar terjadi
pola pemerintahan yang baik dan sehat. Karena pembiaran atas penyimpangan yang terjadi
terhadap penerapan otonomi daerah ini akibatnya adalah kerugian rakyat dan pada kebijakan
nasional secara menyeluruh.
Pada dasarnya penerapan Desentralisasi dan Otonomi daerah adalah sebuah cara yang
bagus dalam pengelolaan suatu wilayah Karena rakyat dan masyarakat setempat memiliki
kewenangan yang cukup luas dalam mengatur wilayahnya sesuai dengan kepentingan dan
dikembangkan sesuai dengan potensi yang dimiliki tiap daerah. Namun apabila didalamnya
terjadi pelanggaran dan penyalahgunaan maka perlu dilakukan penindakan terhadap oknum
yang menyalahgunakan wewenang tersebut. Dan perlu juga dilakukan evaluasi terhadap
kinerja pemerintah yang melaksanakan otonomi daerah ini. Jangan sampai dengan
dilakukannya desentralisasi yang bertujuan baik ini justru membawa daerahnya tidak kepada
kemakmuran rakyatnya.
Gagasan pemekaran wilayah dan pembentukan Daerah Otonom Baru memiliki dasar
hukum yang cukup kuat. Secara yuridis landasan yang memuat persoalan pembentukan
daerah terdapat dalam pasal 18 UUD 1945 yang intinya, bahwa membagi daerah Indonesia
atas daerah besar (provinsi) dan daerah provinsi akan dibagi dalam daerah yang lebih kecil.
Selanjutnya dalam Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang
memberi peluang pembentukan daerah dalam suatu NKRI, yaitu daerah yang dibentuk
berdasarkan pertimbangan kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial budaya, sosial politik,
jumlah penduduk, luas daerah dan pertimbangan lain yang memungkinkan terselenggaranya
otonomi daerah.
Dari sisi pemerintah pusat, proses pembahasan pemekaran wilayah yang datang dari
berbagai daerah melalui dua tahapan besar yaitu proses teknokratis (kajian kelayakan teknis
dan administratif), serta proses politik karena selain harus memenuhi persyaratan teknokratis
yang telah diatur dalam UU dan Peraturan Pemerintah, proposal pemekaran harus didukung
secara politis oleh DPR. Berikut akan digambarkan tentang skema proses pengusulan
pemekaran di tingkat daerah.
Evaluasi difokuskan pada empat aspek utama yakni (a) perekonomian daerah, (b)
keuangan daerah, (c) pelayanan publik serta (d) aparatur pemerintah daerah. Setiap aspek
akan diwakili oleh beberapa indikator, dan sebuah indeks yang dibentuk dari indikator
bersangkutan. Indeks tersebut pada intinya adalah rata-rata tertimbang dari seluruh indikator
di aspek yang bersangkutan. Untuk menghilangkan dampak dari ‘satuan’, maka indeks akan
dihitung berdasarkan nilai masing-masing indikator yang telah distandardisasi. Standardisasi
menggunakan jarak nilai minimum dan maksimum indikator yang bersangkutan sebagai
denominator. Adapun penjelasan indikator serta perhitungannya dapat dijelaskan sebagai
berikut :
Keuangan pemerintah daerah tidak saja mencerminkan arah dan pencapaian kebijakan
fiskal dalam mendorong pembangunan di daerah secara umum, tetapi juga menggambarkan
sejauhmana pelaksanaan tugas dan kewajiban yang diembankan pada pemerintah daerah
(kabupaten) dalam konteks desentralisasi fiskal. Oleh karena itu, evaluasi kinerja keuangan
pemerintah daerah dalam konteks pemekaran daerah ini menggunakan indikator-indikator
kinerja keuangan yang tidak saja merefleksikan kinerja keuangan dari sisi keuangan
pemerintah daerah secara mikro tetapi juga secara makro sehingga diperoleh indikator-
indikator yang terukur, berimbang dan komprehensif. Indikator-indikator dimaksud adalah:
Aparatur pemerintah menjadi hal pokok yang dievaluasi berkaitan dengan seberapa
jauh ketersediaan aparatur dapat memenuhi tuntutan pelayanan kepada masyarakat. Selain itu
dari sisi pembiayaan, jumlah aparatur juga sangat menentukan seberapa besar menyumbang
pembiayaan daerah sendiri dan pada akhirnya berimplikasi terhadap permintaan barang dan
jasa pada daerah itu sendiri. Kalau dilihat dari sisi jumlah aparatur, apabila jumlah aparatur
yang berhubungan langsung dengan pelayanan publik semakin banyak maka akan semakin
baik pula ketersediaan pelayanan yang diberikan oleh pemerintah. Dalam evaluasi pemekaran
daerah terdapat 3 indikator utama yang dapat menunjukkan ketersediaaan dan kualitas
aparatur pemerintah, yakni:
Aspek utama ketiga yang menjadi fokus evaluasi ini adalah kinerja pelayanan publik
dari pemerintah daerah. Analisis akan dibagi ke dalam tiga bagian: pendidikan, kesehatan dan
infrastruktur.
Pendidikan
Secara umum dapat dikatakan bahwa DOB memiliki daya tampung sekolah yang
lebih rendah dibandingkan kelompok sampel lainnya. Hal ini berlaku untuk jenjang
pendidikan dasar dan SLTP maupun untuk jenjang pendidikan SLTA. Terdapat kesenjangan
yang cukup tinggi antara daya tampung sekolah di DOB dan daerah lainnya. Secara tren,
terlihat tren penurunan daya tampung sekolah selama periode 2001-2005. Untuk DOB, tren
tersebut jauh lebih kentara dibandingkan kelompok lainnya. Hal ini makin lebih
memperihatinkan karena secara rata-rata (yaitu seluruh rata-rata kabupaten) tidak terlihat
adan tren menurun ini. Namun demikian jika DOB dibandingkan dengan daerah kontrol,
maka tren penurunan daya tampung sekolah ini dapat diidentifikasi pula.
Indikator ini sejatinya mengandung dua makna yang krusial. Pertama adalah
ketersediaan sekolah dan kedua adalah partisipasi masyarakat. Jika rendahnya indikator ini
lebih disebabkan oleh pertambahan sekolah yang tidak dapat mengimbangi pertambahan
siswa, maka permasalahannya adalah ketersediaan sekolah yang kurang memadai.
Ketersediaan tenaga pendidik merupakan elemen penting keberhasilan pembangunan sektor
pendidikan. Rasio jumlah siswa per guru memiliki pengaruh terhadap efektifitas proses
belajar mengajar di sekolah dan lebih jauh lagi terhadap upaya meningkat kualitas sumber
daya manusia di daerah. Perkembangan indikator ini di DOB tidak jauh berbeda dengan
daerah induk. Walaupun pada pendidikan tingkat lanjut terdapat kesenjangan antara daerah
induk dan DOB, namun selisih tersebut relatif tidak terlalu besar.
Kecenderungan menurunnya rasio dimaksud sepanjang tahun 2001-2005 perlu
menjadi perhatian. Jika penurunan lebih diakibatkan oleh semakin banyaknya jumlah guru,
maka berarti efektifitas kelas yang semakin meningkat. Namun jika penurunannya lebih
disebabkan oleh menurunnya jumlah siswa, maka masalahnya adalah peran serta masyarakat.
Hal ini dapat diteliti lebih lanjut dengan membandingkan pertumbuhan jumlah guru dengan
pertumbuhan jumlah siswa.
Kualitas Infrastruktur
Salah satu hal yang menjadi motor penggerak pelayanan publik adalah aparatur
pemerintah daerah yang dalam jumlah maupun kualitasnya sangat menentukan arah
pembangunan di daerah. Terlebih lagi karena 70% aparatur berada di pemerintahan
kabupaten/kota. Kualitas dan produktifitas menjadi sangat penting.5 Pengukuran
produktifitas aparatur tidaklah mudah. Karena itu di samping melihat jumlah, penelitian ini
juga melihat kualitas yang didekati oleh tingkat pendidikan dan karakteristik fungsionalnya.
Spesifik untuk karakteristik fungsional ini, kelompok guru dan tenaga medis akan dilihat
secara khusus karena keduanya mencerminkan potensi peningkatan mutu modal manusia.
Selama periode 2001-2005 tidak terdapat perubahan yang berarti dalam jumlah
aparatur, baik di kelompok daerah induk, DOB maupun daerah kontrol. Jumlah
aparatur di daerah induk secara rata-rata masih lebih besar dibandingkan dengan DOB.
Sedikit penurunan jumlah aparatur terjadi pada saat verifikasi PNS di tahun 2003.
Dalam periode penelitian ini, rata-rata aparatur daerah induk mencapai 6388 orang
sedangkan di DOB hanya sebesar 3455 orang6. Selisih tersebut terjadi karena jumlah
aparatur yang direkrut di awal pembentukan DOB biasanya sangat terbatas. Yang otomatis
direkrut biasanya adalah aparatur yang sebelumnya bekerja di wilayah-wilayah tersebut
seperti guru, camat, lurah dan stafnya. Mekanisme pembagian aparat kabupaten induk kepada
DOB tidak diatur secara khusus. Proses penempatan (pembagian) aparatur lebih dikarenakan
keinginan aparatur sendiri untuk melakukan perpindahan (mutasi). Terdapat dua motif besar
yakni: (i) peningkatan posisi dan jabatan di kabupaten DOB, yang pada akhirnya berimplikasi
terhadap kesejahteraan aparatur, dan (ii) hubungan sosial yang cukup erat antara aparatur
dengan DOB dalam konteks tempat tinggal maupun daerah asal sehingga terbuka peluang
untuk membangun daerah tersebut. Ada beberapa implikasi dari keadaan tersebut. Pertama, di
kabupaten DOB, proses pembentukan sistem, mekanisme maupun harmonisasi kerja aparatur
membutuhkan waktu yang relatif cukup lama.
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Maraknya pemekaran wilayah pasca reformasi ini di satu pihak perlu disyukuri karena
memberikan tempat bagi aspirasi, keberagaman, dan otonomi lokal, sesuatu yang dulu
diabaikan pada era Orde Baru. Namun di lain pihak, fenomena pemekaran wilayah secara
besar-besaran tersebut sekaligus membawa masalah-masalah baru. Setiap pemekaran akan
membawa implikasi-implikasi yang luas sebagai bentuk konsekuensi logis, seperti perubahan
struktur pemerintahan, anggaran belanja pemerintah, batas dan nama wilayah, pembagian
sumber penerimaan dan pendapatan daerah yang sebelumnya menginduk kepada daerah asal.
Perubahan-perubahan tersebut, meski secara de jure telah diatur berdasarkan undang-undang,
dalam praktiknya tidak semudah membalikkan tangan. Lepasnya daerah baru dari daerah
lama, berarti pula adanya gradasi otoritas, pengurangan anggaran belanja, penurunan
penerimaan dan pendapatan, di samping satu hal yang sudah pasti adalah berkurangnya luas
wilayah. Hal ini apabila tidak diperhatikan secara seksama dalam proses pembentukan daerah
otonom baru berpotensi akan memicu konflik lintas daerah, sehingga menjadi kendala
pelaksanaan otonomi daerah.
3.2 Saran
https://www.kompasiana.com/allam/552e34c86ea8343d1f8b45a1/evaluasi-pelaksanaan-
otonomi-daerah
Andrew, Phillip Stevens (2005), Assesing The Performance of Local Governance, National
Institute Economic Review, National Institute of Economic and Social Research, USA
Asanuma, Shinji, and Bambang PS Brodjonegoro (2003), Indonesia’s Decentralization
Policy: Origins, Issues and Policy Directions, (seminar paper), Jakarta
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (2004), Evaluasi Kebijakan Pembentukan DOB,
Kajian Kelembagaan, Sumberdaya Aparatur dan Keuangan di DOB, Direktorat Otda
Bappenas-Jakarta.
Badan Pusat Statistik (2005), Analisis dan Penghitungan Tingkat Kemiskinan Tahun 2005,
BPS, Jakarta
Badan Pusat Statistik (2006), PDRB Kabupaten/Kota tahun 1998-2005, BPS, Jakarta
Badan Pusat Statistik dan Departemen Keuangan (2006), Statistik Keuangan Daerah
Kabupaten/Kota di Indonesia tahun 1998-2005, BPS-Depkeu, Jakarta
Badan Pusat Statistik dan Departemen Keuangan (2006), Statistik Keuangan Daerah
Provinsi di Indonesia tahun 1999-2005, BPS-Depkeu, Jakarta
Badan Pusat Statistik dan Departemen Keuangan (2006), Data Dasar Perhitungan Dana
Alokasi Umum Kabupaten/Kota di Indonesia tahun 2001-2003, BPSDepkeu, Jakarta
Bird, Richard M. dan Francois Vailancourt (2000), Desentralisasi Fiskal di Negara-Negara
Berkembang, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta